PERJALANAN sang Pendekar Mabuk
menuju negeri Samudera Kubur menjadi berantakan. Semula ia berangkat ke negeri
Samudera Kubur yang ada di Pulau Blacan bersama Perawan Sinting dan Mahesa
Gibas, si pelayan sang Adipati Jayengrana itu. Dengan mengendarai sebuah perahu
layar mereka menyeberangi lautan menuju Pulau Blacan.
Tiba-tiba badai datang, lautan
mengamuk, ombak melonjak- lonjak bagai ratusan kuda liar. Akhirnya perahu itu
pecah, tiga penumpangnya menyebar arah. Tak tahu bagaimana nasib Perawan
Sinting dan Mahesa Gibas.
Murid si Gila Tuak itu pingsan
dan terdampar di pantai, ia ditemukan oleh seorang kakek berjambul putih.
Kemudian dibawa ke pondok sang kakek yang tak jauh dari pantai. Di pondok
itulah Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu siuman dalam keadaan sekujur
tulangnya bagaikan remuk terpatah-patah. Ia mencoba bangkit, namun tubuh terasa
sakit.
"Tetaplah berbaring dulu
sebelum kekuatanmu pulih kembali.
Anak muda!" ujar sang
kakek yang mengenakan jubah abu-abu itu.
Suto kaget, lalu merasa asing
dengan wajah tua bertulang pipi menonjoi itu. Ia tak pernah bertemu dengan
tokoh tua yang rambutnya pendek warna hitam, tapi rambut bagian depan di
sekitar ubun-ubun itu berwarna putih uban. Sang kakek menganggap wajar jika dirinya
diperhatikan dengan dahi berkerut tajam. Ia sunggingkan senyum tipis dan
menampakkan sikap bijaknya dengan memperkenalkan diri lebih dulu.
"Aku yang menemukan kau
terkapar di pantai, tak jauh dari kayu- kayu pecahan perahu. Mungkin itu
perahumu yang dihantam ombak ganas tadi malam. Kau tak perlu takut padaku,
karena aku bukan hantu penunggu pantai, juga bukan iblis penunggu hutan
ini."
"Lalu siapa kau
sebenarnya, Pak Tua?" tanya Suto Sinting dengan
menyeringai menahan rasa
sakitnya.
Kakek bertubuh kurus dan tak
terlalu tinggi itu semakin lebarkan senyum.
"Aku adalah seorang
pengelana yang sudah bosan berkelana," jawab sang kakek yang berusia
sekitar tujuh puluh tahun lebih itu.
Sambungnya lagi, "Namaku
yang sebenarnya adalah Jumantara,
tapi aku dikenal dengan nama:
si Jambul Haha. Dalam bahasa orang- orang sini, 'Haha' itu artinya putih. Jadi
yang dimaksud Jambul Haha adalah Jambul Putih. Tapi kalau tanyakan kepada orang
daerah Pantai Porong ini nama Jambul Putih, tak ada yang tahu. Tapi jika kau
tanyakan nama si Jambul Haha, semua orang tahu dan mengenalku."
"Nama
Ki Jumantara! "Jambul Ha
Se bab nama asl mat,"
senyumnya dalam sekejap. Jad
tidak harus berwajah Pendekar
Mabuk
nya. Ternyata bumbung Bumbung
tersebut ikut terp besar menyapu habis perah
Itu ia meminum tuak dari bum
maka seluruh sakitnya akan menjadi segar kembali
"Ah, tenang saja! Nanti
bumbung
datang sendiri," pikir
Suto penuh rasa
Se bab, bambu bumbung tuak itu
temu. sakti, seperti punya nyawa sendiri, karen
jelmaan daritokoh sakti zaman
dulu,
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pedang Biru"),
Bumbung tuak itu sudah
beberapa kali Suto, baik tak sengaja ataupun disenga oleh seseorang. Namun pada
saat-saa
tentu bumbung tuak itu
tahu-tahu muncul tak
dari Suto Sinting. Seakan bumbung
tuak itu tahu di mana majikan setianya itu berada, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Asmara Janda Liar").
"Sebentar lagi rasa sakit
di sekujur tubuhmu akan hilang," ujar si Jambul Haha. "Tapi kurasa
me-
.u kehilangan
pea?. asal ceplos sa dirimu di
pantai, petaka. Kulitmu
bawa kemari, kusalurkan
ngeluarkan Racun Keong Hawa
murniku keba
tulang dan uratmu menjadi
percayalah, tak sampai mata buhmu akan segar kembali."
kasih, Ki Jambul Haha. Aku tak
tahu rus membalas budi baik dan jasamu sendiri jasa baik akan terbalas
Tapi kita tak tahu kapan da-
dan kita tak perlu mengha
Karena siapa pun yang menolong
de-
harapkan batas jasa, itu
namanya bukan san melainkan memburuhkan jasa untuk
ari upah." Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum sebagai ucapan berterima kasih atas petuah si Jambul Haha.
Kakek berkulit hitam namun tak sampai kering itu segera pergi ke sisi lain,
kemudian datang kembali dengan
membawakan sepoci teh
panas dan gula
batu di tempat
khusus seperti mangkuk dari
perak kusam.
"Kubuatkan teh untukmu,
biar badanmu cepat segar, Nak, Tapi sebelum kau minum teh ini, terlebih dulu
tolong sebutkan siapa namamu?"
"Namaku... Suto Sinting,
Ki."
"Oh, nama yang bagus
sekali itu," puji si Jambul Haha. "Dalam bahasa orang Pantai Porong,
Sinting itu berarti tampan, Suto itu berarti anak. Jadi Suto Sinting itu anak
tampan. Cocok sekali dengan wajahmu yang ganteng, Nak."
"Ah, kau terlalu
mengada-ada dalam memujiku, Ki Jambul Haha."
"O, ya... kau belum
berkenalan dengan cucuku yang bernama Mahayuni. Sebentar, akan kupanggilkan.
Dia sedang berlatih jurus baru di dekat danau sana. Dia sudah wanti-wanti agar
aku memanggilnya jika kau sudah siuman."
Suto Sinting hanya bisa
tersenyum, anggukkan kepala kecil, lalu berkecamuk sendiri dalam hatinya
setelah si Jambul Haha pergi memanggil cucunya.
"Baik sekali pak tua itu.
Punya cucu perempuan segala. Hmmm,.. seperti apa cucunya itu? Tapi... bagaimana
keadaan Perawan Sinting dan Mahesa Gibas? Bagaimana nasib mereka? Oh, aku lupa
menanyakannya kepada Ki Jambui Hahatadi."
Tiba-tiba mata Pendekar Mabuk
menangkap sebuah benda yang berdiri di pojok dipan, bersandar pada dinding
kayu. Benda itu membuat mata Suto Sinting berbinar-binar penuh kegembiraan.
Benda tersebut tak lain adalah bumbung tuaknya yang tadi tidak ada di tempat
itu.
"Nah, datang juga
akhirnya!"
Kemudian Suto meraih bumbung
tuak itu dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...!
Beberapa kejap kemudian, rasa
sakit pun hilang. Badan menjadi segar, pernapasan lancar. Suto tersenyum dan
mencium bumbung tuaknya sebagai ungkapan kegembiraannya. Ia mampu bangkit
dengan tanpa menggeliat, bahkan ia mampu berdiri dengan tegak dan gagah. Baju
coklatnya yang tanpa lengan dan celana putihnya yang telah kering itu
membuatnya tampak semakin kekar. Pakaian itu pas untuk tubuhnya yang berotot
dan berdada bidang.
Tapi tiba-tiba pandangan
matanya menjadi buram, makin lama semakin gelap, dan... blaap!
"Ooh...?! Aku buta...?!
Mataku menjadi buta atau... atau "
Suto Sinting tak ingat apa-apa
lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan terkulai tanpa daya sedikit pun. Sukma bagai
melayang entah ke mana, dan rasa apa pun tak pernah ada lagi pada diri Pendekar
Mabuk.
Beberapa saat kemudian, tak
diketahui berapa lamanya, tahu-tahu Pendekar Mabuk mulai rasakan desiran angin.
Setelah merasakan desiran angin, ia mulai mendengar suara gemuruh samar-samar.
Suara gemuruh itu menjadi jelas beberapa kejap berikutnya. Ternyata suara itu
adalah suara ombak lautan.
Napas terhirup dengan ringan
dan longgar. Suto Sinting mulai
dapat rasakan hawa panas di
punggungnya. Hawa panas itu datang dari cahaya terik matahari.
Kemudian seluruh rasa telah
kembali dimilikinya. Kini mata pun mulai dapat terbuka dan berkedip-kedip
sesaat. Pendekar Mabuk akhirnya tersentak kaget dalam hatinya saat memandangi
tanah berpasir, ia segera bangkit dan menjadi tertegun bengong. Ternyata ia dalam keadaan terkapar di pantai, dan baru
saja siuman dari pingsannya.
"Oh, apa yang telah
terjadi pada diriku?" pikirnya dengan heran sekait. "Mengapa aku
berada di pantai lagi? Bukankah aku tadi berada di pondoknya Ki Jambul Haha?!
Aneh, kenapa bisa jadi begini?"
Mata si tampan berambut
sepundak tanpa ikat kepala itu mulai
menemukan sebatang bambu
tergeletak tak jauh dari jangkauannya. Bambu itu adalah bumbung tuak tempat
minumnya.
"Seingatku tadi aku minum tuak dari
bumbung ini di pondoknya
si Jambul Haha?! Ya, ya... aku
meminumnya tiga teguk, kemudian aku merasa pusing, pandangan mata kabur, dan... tak ingat
apa-apa lagi. Tahu-tahu aku sudah ada di sini?!"
Suto mencoba untuk bangkit.
Ternyata badannya terasa segar dan tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Hal
itu juga membuat Pendekar Mabuk terheran-heran, ia memandangi keadaan dirinya
dan sekelilingnya.
"Pakaianku utuh, badanku
tak ada yang terluka, tapi... tapi kayu
yang terdampar di sana itu
sepertinya pecahan perahu yang kunaiki bersama Perawan Sinting dan Mahesa
Gibas?! Hmmm... ya, aku ingat sekarang. Perahu hancur dihantam ombak, lalu aku
terkapar di... di mana ini? Seingatku si Jambul Haha menyebutkan nama daerah
ini: Pantai Potong. Apa benar nama tempat ini Pantai Potong?!"
Suto Sinting menyangka dirinya
dibuang kembali oleh si Jambul Haha. Karenanya ia segera bergegas mencari
pondok berdinding kayu di dalam kerimbunan hutan pantai itu. Bumbung tuak
diperiksa sebentar, ternyata masih berisi dua pertiga bagian. Suto merasa
tenang jika bumbung tuaknya masih menyimpan tuak sebanyak itu.
"Keanehan apa yang telah
kualami ini sebenarnya? Aku jadi sangat penasaran, merasa seperti dibuai
bulan-bulanan oleh si Jambul Haha yang... o, ya... seingatku Jambul Haha akan
memperkenalkan cucu gadisnya kepadaku. Kalau tak salah ia menyebutkan nama sang
cucu... Mahayuni. Hmmm, ya... aku tak salah dengar, ia menyebutkan nama
Mahayuni sebagai nama cucunya yang sedang berlatih di dekat danau. Kalau
begitu, aku harus mencari sebuah danau sebagai patokan mencari pondoknya si
Jambul Haha."
Langkah si tampan Suto Sinting
terhenti seketika. Dari atas pohon meluncur turun sekelebat bayangan yang menghadangnya.
Bayangan itu kini tampak utuh sebagai sosok seorang perempuan cantik berambut
terurai sepanjang punggung. Matanya memandang tajam, namun punya keindahan yang
menarik, terutama pada bulu mata lentiknya.
Perempuan itu mengenakan jubah
tanpa lengan warna merah bintik-bintik kuning emas. Dadanya ditutup dengan
selembar kain sutera warna hijau muda transparan. Apa yang dibungkusnya itu
tampak menonjol kencang seakan selalu menantang. Sedangkan kain penutup pinggul
dan bagian bawah lainnya juga terbuat dari kain sutera transparan berbelahan
dua. Belahan itu memanjang dari bawah sampai ke atas paha. Semilir angin
menyingkapkan kain halus itu membuat pahanya yang mulus tampak mengintai ke
arah Suto Sinting.
Melihat caranya memandang,
perempuan berusia sekitar dua puluh enam
tahun itu sepertinya menganggap Suto
sebagai musuhnya. Tapi sikap Suto justru lunak dan menampakkan
keramahannya. Suto menegurnya lebih dulu dengan tutur kata dan suara yang
lembut.
"Sepertinya kita baru
bertemu kali ini. Nona. Siapakah dirimu
sebenarnya, dan mengapa
menghadang langkahku dengan sikap seperti itu? Bukankah kita belum pernah
saling bermusuhan, Nona?"
Gadis itu tak menjawab.
Kakinya melangkah ke samping, tapi matanya masih tertuju pada Suto Sinting.
Pandangan mata itu membuat Pendekar Mabuk jadi salah tingkah, bahkan sempat
clingak-clinguk tanpa arti.
"Kau telah memasuki
wiiayah kekuasaan kami!" ujar perempuan
itu secara tiba-tiba. Nada
bicaranya ketus dan sangat tidak bersahabat. Pendekar Mabuk menanggapi dengan
cengar-cengir. Pandangan matanya sempat nakal, tertuju pada belahan dada yang
kelihatan sekal dan 'mlenuk' seperti bakpao mengintip itu.
"Kau pasti mata-mata dari
Tanjung Leak!" tuduh perempuan cantik itu.
"Tanjung Leak itu di
mana? Apakah banyak leaknya?!"
Pertanyaan Suto
tak ditanggapi dengan
jawaban semestinya. Se bagai
pengganti jawaban, perempuan cantik itu segera menyerang Suto dengan tendangan
kipasnya yang memutar cepat. Wuuut...!
Suto rundukkan kepala agak
limbung sedikit seperti orang mabuk
mau jatuh. Weess...! Kaki yang
berkelebat ingin menendang kepala Suto
itu akhirnya hanya menendang angin.
Badan si murid sinting Gila Tuak itu tegak kembali. Nyengir.
"Kau terlalu galak
terhadap seorang tamu, Nona."
Kata-kata Pendekar Mabuk tak dihiraukan.
Perempuan itu cepat- cepat lepaskan pukulan tangan kosongnya ke wajah Suto
Sinting. Beet..., beet, beet...! Suto hanya menghindar ke kanan-kiri sambil
sempoyongan mundur seperti pemabuk keberatan kepala. Jurus mabuknya itu
berhasil hindari serangan lawan, tapi justru membuat lawan bertambah penasaran.
Perempuan cantik itu segera
lepaskan tendangan menyamping atas. Wuut...! Kali ini tangan Suto berkelebat
menangkis. Plaakk...! Namun ternyata tendangan itu cukup ringan, dan yang
terberat tendangan kaki kirinya perempuan itu.
Dengan satu lompatan rendah,
tubuh si perempuan memutar balik
dan kaki kirinya tahu-tahu
menyodok perut Suto. Buuhk...! "Heehk...!" Pendekar Mabuk mendelik dan tubuhnya terlempar ke
belakang dalam keadaan menahan
rasa sakit, seperti orang mau buang hajat.
Brruk...! Pendekar Mabuk jatuh
tepat di bawah pohon. Punggungnya membentur akar pohon yang menggunduk keras.
Duuhk...!
"Uuuhkk...!" pemuda
tampan itu semakin meringis dengan tubuh meliuk kesakitan. Tulang punggungnya
terasa memar karena benturan keras itu.
"Edan! Main tipu juga
dia." gerutu Suto Sinting dalam hatinya. "Tendangannya cukup
berbobot. Perutku terasa mual dan mulas. Napasku jadi sesak. Belum lagi
punggungku ini, aduuuh... jangan- jangan tulang punggungku retak ini?!"
Perempuan itu bergegas dekati
Suto dengan langkah galaknya.
Pendekar Mabuk masih tetap
duduk di tanah dan menyeringai kesakitan. Wajahnya sedikit mendongak pandangi
si perempuan yang kini berdiri di depannya dalam jarak dua langkah. Mata
perempuan itu semakin tajam, kelihatan bertambah garang.
"Kalau kau tak mau
minggat dari sini, kukirim kau ke neraka!" "Ja... jangan,
jangan...!" Pendekar Mabuk berlagak ketakutan sambil bangkit berdiri
dengan dipaksakan.
"Jangan kirim aku ke
neraka, Nona. Sumpah mati, aku belum tahu jalannya. Nanti nyasar ke rumah
janda, repot kan?!"
"Hmmm...!" dengus
perempuan itu dengan wajah benci. Tangannya mulai meraih gagang pedang. Suto
berlagak semakin ketakutan dan gemetar.
"Ja... jangan... jangan
cabut pedangmu, Nona. Ak... aku paling ngeri melihat pedang. Lebih baik melihat
wanita cantik daripada melihat pedang. Sumpah!"
"Pergi kau dari wilayah
kami. Sekarang juga!" bentak perempuan itu.
"Nona, ak... aku... aku
bukan mata-mata dari Tanjung Leak!
Berani mati berdiri sambil
nyengir, aku memang bukan mata-mata, Nona! Bahkan aku tak tahu di mana Tanjung
Leak itu!"
"Lalu kenapa kau berada
di wilayah ini?! Apa kerjamu?" "Nganggur. Eh, maksudmu... maksudmu,
aku tidak punya
pekerjaan apa-apa, karena aku
baru saja siuman dari pingsanku." Sreett...! Pedang dicabut, Suto makin
berlagak takut.
"Aduh, mati aku kalau kau
mencabut pedang, Nona," sambil
tangannya menyilang bagai
menutupi matanya dari pantulan kemilau pedang itu.
"Kalau kau tak mau
berterus terang tentang dirimu, kutebas lehermu sekarang juga!" ancam si
perempuan cantik.
"Aku sudah mengaku apa
adanya, Nona! Percayalah padaku, lihatlah tampangku! Apakah wajahku punya kesan
sebagai wajah orang jahat?!"
"Ya!" bentak si
perempuan.
"Oh, kalau begitu, kusarankan
cucilah matamu dengan air sirih biar terang, Nona."
"Kurang ajar! Bukannya
pergi malah menghina! Hiaat...!"
Wees...! Pedang ditebaskan ke
arah pundak Suto. Tapi dengan gesitnya tangan Suto mengangkat bumbung tuak dan
bumbung itu dipakai menangkis tebasan pedang. Trangng...! Suara yang timbul
seperti besi beradu dengan besi.
Perempuan cantik itu
sebenarnya terkejut, namun rasa kagetnya disimpan dalam hati. Hanya saja, hati
itu tak hanya menyimpan rasa kaget, melainkan menggumam penuh kekaguman.
"Hebat! Bambu tempat tuak
itu tidak lecet sedikit pun?! Bahkan suaranya berdentang, sepertinya pedangku
menghantam besi berongga. Hmmm... pasti dia menyalurkan tenaga dalamnya ke
dalam bumbung tuak itu. Berarti dia bukan orang sembarangan. Setidaknya punya
ilmu yang patut diperhitungkan. Tapi aku yakin, kali ini ia tak akan bisa
hindari tebasan jurus 'Pedang Ceplok" yang belum pernah ada
tandingnya!"
Tanpa banyak bicara, perempuan
itu segera lepaskan jurus
'Pedang Ceplok' yang punya
kecepatan cukup berbahaya. Pedang itu ditebaskan dari atas ke bawah bagai
membelah telur, lalu dengan gerakan cepat yang nyaris tak terlihat, pedang itu
menyentak ke kanan dan ke kiri. Wuuut, bet, bet...!
Tapi Pendekar Mabuk sengaja
jatuhkan diri hingga duduk di tanah, lalu kakinya menendang lutut perempuan itu
dengan satu sentakan pendek yang penuh tenaga dalam. Dees...! Krakk...!
"Oouh...!" perempuan
itu memekik sambil jatuh berlutut. "Maaf, Nona... ini sekadar perkenalan
saja!"
Bet, plook...!
Tiba-tiba Suto Sinting berbalik
dan merangkak, lalu kakinya menyodok ke belakang tepat kenai pipi perempuan
cantik itu. Sodokan kaki Suto membuat si perempuan terpental dan terguling-
guling bagai disereduk babi hutan.
"Ooouuh...!" ia
mengerang di semak-semak sana. Wajahnya
menjadi merah karena tendangan
kaki Suto, kakinya dipegangi karena sendi lututnya terasa lepas dan sakit
sekali.
Pendekar Mabuk cepat bangkit
dan menenggak tuaknya. Tuak itu
membuat tubuhnya segar kembali
dan rasa sakit di perut serta di punggung lenyap beberapa kejap berikutnya.
Kini Suto Sinting sengaja melangkah kalem dekati perempuan itu sambil
sunggingkan senyum mengejek. Perempuan itu berang sekali, kemudian menyabetkan
pedangnya ke arah kaki Suto. Wuutt...! Suto melompat, seet...! Ia hinggap di
atas ilalang setinggi betis. Ilalang itu tidak patah ataupun rusak, bahkan
lebih melengkung dari semula pun tidak. Perempuan itu hanya memandang dengan
mata tak berkedip dan mulut ternganga sedikit alias bengong.
"Ilmu peringan tubuhnya
sangat tinggi!" gumam perempuan itu dalam hati. "Pantas jurus 'Pedang
Ceplok'-ku bisa dihindarinya, rupanya ia memang berilmu lebih tinggi dariku.
Aduuh... lututku sakit sekali, seperti habis dihantam pakai batu sebesar anak
kerbau. Uuh... mungkin tempurung lututku pecah. Tak bisa kupakai bergerak. Aaduuuh...!"
Perempuan itu menahan sakit
dengan menggigit bibir bawahnya. Hati Suto menjadi berdebar-debar, matanya tak
mau pindah dari wajah itu, karena ekspresi wajah itu mengingatkan Suto pada
wajah seorang perempuan yang sedang menikmati gairah kemesraannya.
"Menggairahkan sekali ia
jika menggigit bibir begitu. Hmm, hmmm...!" geram Suto dengan geregetan.
"Mau diteruskan atau
berhenti sampai di sini saja, Nona?!"
tantang Pendekar Mabuk dengan
tersenyum-senyum. Sang Nona hanya memandang penuh kedongkolan.
*
* *
2
MELIHAT sikap Suto Sinting
penuh keramahan dan canda, perempuan itu akhirnya mengendurkan ketegangannya,
menepis permusuhannya, dan mencoba untuk tidak terlalu bercuriga. Bujukan Suto
membuat perempuan itu akhirnya mau meminum tuak sakti tersebut.
"Aneh! Ajaib
sekali!" gumam hati si perempuan dengan keheranan yang besar. "Begitu
aku meminum tuaknya, rasa sakitku hilang. Lututku sudah bisa digerakkan, dan...
oh?! Aku bisa berdiri. Berdiri tegak sekali! Benar-benar manusia langka pemuda
ini! Bahkan kurasakan sekujur badanku menjadi segar, kegusaran hatiku pun
menjadi tenang kembali. Oh, jangan-jangan aku sedang berhadapan dengan cucunya
malaikat?!"
Se gala pujian dan kekaguman
tetap tersimpan dalam hati demi menjaga gengsi. Bahkan ucapan terima kasih pun
tak dilontarkan oleh si perempuan. Wajah
cantiknya tetap dijaga agar kelihatan angkuh dan berwibawa. Tapi pedangnya
sudah disarungkan kembali dan pandangan matanya tak segalak tadi.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanyanya dengan ketus.
"Namaku... Suto!"
jawab Pendekar Mabuk, sengaja tak mau menonjolkan kependekarannya. Bahkan ia
berusaha untuk tidak menyebutkan nama lengkapnya supaya perempuan itu
menganggapnya berdusta. Seba b, siapa tahu nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk
sudah terkenal di wiiayah tersebut, sehingga si perempuan bisa saja menganggap
Suto menyombongkan diri jika menyebutkan nama lengkapnya sebagai Suto Sinting.
"Terus terang saja, aku
terdampar di pantai sebelah sana itu!"
Suto menuding tempatnya terdampar.
"Aku dan dua temanku dalam perjalanan mengarungi lautan menggunakan perahu
layar biasa. Tahu-tahu ada ombak datang, perahuku tersapu ombak, bahkan
berputar-putar seperti mau tersedot angin puting beliung. Akhirnya, perahuku
pecah, aku terkapar di pantai dan terpisah dengan kedua temanku itu."
Perempuan tersebut pandangi
Suto dengan mata tak berkedip, ia bukan saja menemukan daya tarik yang
menggetarkan hati, namun juga menemukan sebentuk kejujuran dalam penuturan
cerita tadi.
"Lalu, mengapa kau menuju
ke hutan ini? Mengapa kau tidak menyusuri pantai?"
"Aku mencari sebuah
pondok," jawab Suto dengan kalem,
ia sudah turun dari atas ilalang
sejak tadi, dan kini berhadapan dengan perempuan itu dalam jarak tiga langkah.
"Pondok siapa yang kau
cari?" desak perempuan itu penuh curiga. "Pondok seorang kakek
berjambul putih."
Perempuan itu terkejut,
matanya sedikit menyentak lebar, lalu
netral kembali. Tapi sorot
pandangan matanya itu memancarkan kecurigaan yang menjadi besar lagi seperti
tadi. Hanya saja, Suto Sinting berlagak tidak peduli dengan reaksi tersebut, ia
tetap lanjutkan ucapannya yang dilontarkan dengan suara lembut. Sangat
bersahabat kesannya.
"Aku tidak tahu sekarang
aku ada di mana. Tapi pada waktu aku siuman yang pertama, aku sudah berada di
sebuah pondok. Rupanya seorang kakek berjambul putih telah menolongku dan
membawaku ke pondok, ia juga telah menyembuhkan diriku yang katanya terkena
racun kuil keong. Entah racun apa namanya, aku lupa. Pada waktu aku meminum
tuakku ini untuk sembuhkan rasa sakit di sekujur tubuhku, sang kakek sedang
memanggil cucunya untuk diperkenalkan padaku."
Pendekar Mabuk bergeser ke
kiri, tangannya bersidekap di dada, dan bumbung tuaknya menggantung di pundak.
"Dan pada waktu kuminum
tuak ini, tiba-tiba pandangan mataku
jadi gelap, lalu aku tak sadar
diri lagi. Ketika aku siuman, ternyata aku masih dalam keadaan terkapar di
pantai, dekat kayu pecahan perahuku. Makanya aku segera masuk ke hutan ini
untuk mencari pondok si kakek dan menanyakan, mengapa aku dibuang kembali ke
pantai?!"
Perempuan itu masih diam,
masih memandangi Suto, masih
menyimpan debar-debar lembut
akibat daya pikat yang terpancar melalui wajah dan senyum si murid sinting Gila
Tuak dan Bidadari Jalang itu. Ia menunggu lanjutan cerita dari Suto. Tapi
karena Suto ternyata tidak melanjutkan ceritanya, maka si perempuan yang makin
lama tampak semakin curiga itu segera perdengarkan suaranya.
"Siapa nama kakek yang
menolongmu itu?"
"Dia memperkenalkan diri
kepadaku dengan nama Jambul Haha, dan "
"Ooh ?!" si
perempuan makin terkejut, wajahnya terang-terangan
menegang. Pendekar Mabuk
heran, tapi berusaha untuk cuek sementara.
"... dan cucunya yang
akan diperkenalkan padaku itu bernama Mahayuni, lalu "
"Oooh...?!" sentakan
kaget si perempuan kian jelas dan nyata.
Akhirnya Pendekar Mabuk
penasaran dan merasa jengkel.
"Ah, oh, ah, oh... kenapa
kau begitu terus, Nona?! Mengapa kau kaget-kagetan sejak tadi?!"
Perempuan itu bicara dengan
tegas. "Kau jangan berpura-pura
kalem! Jelaskan, siapa kau sebenarnya,
atau kuulangi kekasaranku tadi?!"
"Aneh," Suto
Sinting tersenyum. "Sekarang kau
bahkan mengancamku lagi?!"
"Karena aku tahu
maksudmu. Kau ingin memperdaya diriku!" "Memperdaya bagaimana? Tak
perlu kuperdaya, kau memang
sudah tak berdaya dalam
berhadapan denganku, Nona." Perempuan itu mendengus kesal dan jadi serba
salah.
"Nona, aku bicara apa
adanya dan berusaha bersikap jujur di
depanmu, karena aku tahu kau
perempuan yang tidak pantas untuk ditipu atau dikelabuhi. Kalau memang aku
mengada-ada dan bermaksud memperdaya dirimu, mengapa aku harus sembuhkan luka
di lututmu itu? Mestinya kubiarkan saja, atau kubunuh, atau kuperkosa kan
mudah?!"
"Benar juga," gumam
hati si perempuan. Lalu ia ajukan tanya
dengan nada sedikit tenang,
tak seketus dan setegas tadi.
"Benarkah kau bertemu
dengan seorang kakek bernama Jambul Haha?!"
"Benar! Bahkan dari
mulutnya aku mengetahui kalau tempat ini bernama Pantai Porong. Entah benar
atau tidak, aku tak tahu. Bagaimana? Apa benartempat ini bernama Pantai Porong?"
"Benar!" jawab
perempuan itu pelan. "Apakah Pantai Porong masih dalam wilayah tanah
Jawa?" "Memang!" jawabnya pendek.
"Kalau begitu si Jambul
Haha tidak membohongiku," gumam Suto seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Jika kau benar bertemu
dengan kakek bernama Jambul Haha, tentunya kau tahu siapa nama asli kakek
itu?"
"Hmmm...," Suto
berpikir sebentar, "O, ya... ia juga memperkenalkan nama aslinya yang
menurutnya hanya berlaku untuk orang-orang penting saja. Ia mempunyai nama asli
Ki Jumantara."
Perempuan itu terkesip,
kepalanya tersentak ke belakang sedikit,
tanda ia terkejut mendengar
nama Ki Jumantara.
"Apakah kau kenal dengan
Ki Jumantara atau si Jambul Haha?!" tanya Suto Sinting dengan nada tetap
lembut.
Setelah diam beberapa saat,
perempuan itu akhirnya menjawab
dengan suara seperti orang
menggumam. "Itu nama almarhum kakekku."
Kini Suto Sinting terkejut.
"Oh...?! Maksudmu... kau adalah cucu Ki Jumantara?"
"Benar. Akulah yang
bernama Mahayuni!" jawabnya tegas sekali.
Pendekar Mabuk terperangah,
kemudian manggut-manggut sambil terbengong.
Mahayuni berkata dengan pelan,
"tapi itu tak mungkin." "Tak mungkin bagaimana?"
"Kakekku telah meninggal
tujuh tahun yang lalu."
Mata si tampan Suto terbelalak
tanpa sungkan-sungkan lagi. Baginya penjelasan Mahayuni seperti petir menyambar
ujung hidungnya. Taarr...!
"Aku
bersungguh-sungguh."
Mahayuni sekarang mulai
tampakkan kejujurannya lewat pancaran mata yang tak setajam tadi. Bahkan raut
wajahnya tampak mulai murung, seperti ada duka yang melapisi kecantikan
berhidung mancung itu. Mau tak mau Suto Sinting pun kontan percaya pada
kata-kata Mahayuni.
"Beliau tewas di tangan
lawannya dalam suatu pertarungan satu lawan satu."
"Siapa yang
membunuhnya?"
"Si Bayangan Setan dari
Pulau Blacan!"
"Hahh...?!"
tersentak lagi hati Suto mendengar jawaban itu.
Jantungnya bagaikan dibetot
tanpa permisi oleh suara Mahayuni.
Karena wajah Suto Sinting
kelihatan tegang sekali, Mahayuni pun ajukan tanya dalam keheranannya.
"Apakah kau mengenal nama
si Bayangan Setan? Kelihatannya kau terkejut sekali, Suto."
"Justru perahuku pecah
dan aku terdampar di sini itu lantaran aku sedang memburu si Bayangan Setan di
Pulau Blacan! Aku punya urusan sendiri dengan si Bayangan Setan dan ingin
mengajaknya adu nyawa dalam sebuah pertarungan!" tutur Suto Sinting dengan
cepat dan penuh semangat.
Mahayuni sunggingkan senyum
tawar. Bagi Suto senyum itu aneh
juga. Karenanya Suto
memandangi dengan dahi berkerut heran.
"Pulau Blacan sudah
hancur! Kau tak akan temukan si Bayangan Setan jika ke sana!"
"Hancur...?!" makin
heran lagi si Pendekar Mabuk itu. Seakan semua yang didengar dari mulut
Mahayuni yang berbibir agak tebal tapi sensual itu serba mengandung keanehan.
"Sebaiknya kau pulang
saja, dan jangan berada di wilayah Pantai Porong. Nanti kau disangka mata-mata
dari tanjung Leak."
"Tunggu dulu,"
sergah Suto ketika Mahayuni ingin tinggalkan
dirinya. Tanpa sadar tangan
Suto mencekal lengan Mahayuni. Perempuan cantik itu hanya pandangi tangan
tersebut, membuat Suto Sinting akhirnya segera sadar dan melepaskan
genggamannya,
"Aku butuh penjelasan
darimu tentang si Bayangan Setan," kata Suto tegas, '
"Carilah di Bukit
Lahat!"
"Bukan soal tempatnya
saja, tapi keteranganmu itu kusangsikan, Mahayuni!"
"Sama saja aku menyangsikan
keteranganmu yang mengaku bertemu dengan mendiang kakekku!"
"Hmm, ehhh,
hhhmm...," Soto salah tingkah sendiri karena
menjadi gugup.
"Semoga kita tak akan
jumpa lagi!"
Blaas...! Mahayuni melesat
pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk kelabakan sebentar, akhirnya menyusul
Mahayuni dengan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya sama dengan kecepatan
cahaya itu. Zlaaapp...!
Dalam sekejap Mahayuni sudah
terhadang langkahnya oleh Suto
Sinting. Pendekar Mabuk itu
sengaja berdiri tepat di depan Mahayuni dalam jarak sepuluh langkah kurang.
Akibatnya, Mahayuni hentikan langkah dengan menarik napas menyimpan kejengkelan
hatinya.
Pendekar Mabuk hampiri si
cantik dan berhenti dalam jarak empat
langkah. Mereka saling berhadapan dengan sama-sama tegang seperti ingin lakukan
pertarungan. Pendekar Mabuk sendiri bicara dengan nada tegas dan tanpa senyum,
ia tampak serius sekali.
"Kuharap kau percaya
padaku, bahwa aku memang ditolong oleh kakekmu, sehingga terhindar dari racun
kulit keong itu."
"Kuharap kau juga percaya,
bahwa istana Samudera Kubur sudah hancur dan si Bayangan Setan tidak ada di
sana!" balas Mahayuni.
"Baik. Aku akan percayai
kata-katamu itu. Tapi jelaskan, kapan Samudera Kubur hancur?!"
"Delapan tahun yang
lalu!"
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk terperangah dan tampak bingung, ia berkata dengan suara seperti orang
menggumam, namun didengar oleh Mahayuni.
"Padahal perjalananku
menuju Samudera Kubur baru memakan waktu delapan hari."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, baru tiga hari
yang lalu aku berhadapan dengan orang-orangnya si Bayangan Setan yang menculik
Rama Jiwana, menanti Adipati Jayengrana."
"Tidak mungkn! Kurasa kau
orang yang kurang pengetahuan dalam hal ini, Suto!"
"Aku denyar sendiri suara
si Bayangan Setan menyuruh orang-
orangnya untuk pulang ke
Samudera Kubur!"
"Barangkali yang dimaksud
adalah Bukit Lahat!" sentak Mahayuni karena merasa jengkel melihat sikap
Suto yang ngotot itu.
Sikap saling ngotot itu
membuat mereka semakin mirip orang ingin lakukan pertarungan. Karenanya,
tiba-tiba sekeping logam berbentuk daun bergerigi melesat dengan cepat dari
arah belakang Pendekar Mabuk. Ziiing...! Jeerb...!
"Aaahk...!" Suto
Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat- kuat. Ia memegangi punggungnya.
Punggung itu terluka dan berdarah. Rupanya ada orang yang lemparkan
senjata rahasia beracun tinggi ke arah
Suto Sinting. Senjata itu kini menancap di punggung Suto dan membuat Suto
terkulai jatuh, lalu tak sadarkan diri.
Mahayuni terkejut, ia segera
mendekati Pendekar Mabuk dan memeriksanya. Mahayuni menjadi semakin kaget
setelah mengetahui punggung Suto terluka oleh senjata rahasia yang mirip daun bergerigi itu. Ia mengenali pemilik
senjata rahasia tersebut.
Maka perempuan cantik itu
menjadi cemas dan tegang, ia bangkit,
lalu berseru dengan lantang
dengan marahnya. "Rahisan! Keluar kau!"
Kurang dari dua helaan napas,
sesosok bayangan turun dari atas pohon, ia bagaikan elang menghampiri
mangsanya. Gerakannya cepat dan
menebarkan angin kencang di sekelilingnya.
Wuuusss...!
Daun-daun terhembus, semak
ilalang tersingkap, bahkan ranting kering yang berjatuhan di tanah dapat
berserakan bersama rumput- rumput kering. Rambut panjang Mahayuni tersingkat
meriap-riap bagai dihembus angin kencang. Sudah pasti bayangan yang turun dari atas pohon itu adalah orang
berilmu tinggi yang gerakannya mampu hadirkan angin kencang, nyaris menyerupai
badai.
Seraut wajah mungil segera
menjelma ketika angin kencang itu mulai reda. Seraut wajah mungil itu milik
seorang gadis kecil berambut kepang kuda. Gadis kecil itu mengenakan baju tanpa
lengan warna hijau dan celananya juga warna hijau. Ikat pinggangnya dibalut kain beludru warna
merah. Di pinggang si gadis kecil itu terselip sebilah pedang bersarung hitam
dengan gagang ukiran bentuk kepala burung hantu.
Gadis kecil yang tingginya
sebatas perut Mahayuni itu tersenyum
ketika ditatap Mahayuni dengan
pandangan mata berangnya. Wajahnya yang cantik mungil seperti baru berusia
sekitar sepuluh tahun itu kelihatan tenang. Seolah-olah ia merasa tak melakukan
apa- apa.
"Mengapa kau serang
pemuda ini, Rahisan?! Tahukah kau bahwa racun dalam senjata rahasiamu itu dapat
menewaskan pemuda itu dalam waktu kurang dari seperempat hari?!"
"Itu bagus, bukan?!"
"Apanya yang
bagus?!" bentak Mahayuni.
"Apakah aku salah jika
membelamu?! Apakah aku tak boleh melumpuhkan orang ini sebelum dia
menyerangmu?!" ujar gadis itu dengan lagak tengil dan sok tua.
"Kau keliru, Rahisan! Aku
tidak bermusuhan dengan pemuda
ini!"
"Lho...?!" Rahisan
memandang dengan bengong.
"Dia terdampar di pantai!
Perahunya pecah dihantam ombak badai. Dia sedang berdebat denganku tentang si
Bayangan Setan!"
"Jadi... kalian
berteman?!" Rahisan makin bingung.
*
* *
3
TERNYATA Pantai Porong
merupakan wilayah kekuasaan Panembahan Pancalingga. Di situ berdiri sebuah
padepokan yang juga sebuah perguruan cukup besar dengan jumlah murid hampir
mencapai seratus orang.
Perguruan beraliran putih itu
diketuai langsung oleh Panembahan Pancalingga. Dalam silsilahnya, Mahayuni
adalah murid sekaligus cucu dari Panembahan Pancalingga, karena sang penembahan
adalah adik dari Ki Jumantara alias si Jambul Haha.
Racun yang ada di senjata
rahasia gadis kecil itu hanya bisa disembuhkan oleh sang Panembahan sendiri.
Beruntung saat itu, luka beracun yang diderita Pendekar Mabuk belum sampai
membuat nyawa sang pendekar melayang. Panembahan Pancalingga menyerap habis
racun itu dengan cara menempelkan telapak tangannya pada luka. Telapak tangan
itu berubah menjadi biru, lama-lama menjadi hitam.
Tangan lelaki kurus berjubah
putih dengan sorban putih juga itu
segera disentakkan ke atas,
maka melesatlah cahaya biru berasap samar-samar dan tangan yang hitam itu
menjadi bersih seperti semula.
"Lain kali kau tak boleh
gegabah menggunakan senjatamu itu, Rahisan!"
"Baik, Eyang!" jawab
Rahisan dengan wajah penuh rasa takut. "Pemuda ini bukan orang Tanjung
Leak. Ilmunya bahkan jauh
lebih tinggi dari si Penguasa
Tanjung Leak itu."
"Maksud Eyang, orang ini
lebih sakti dari Nyai Gincu Barong?!" "Benar, Rahisan!
Justru sebenarnya kita beruntung
kedatangan
tamu pemuda ini, karena
dia pasti akan
memperkuat pihak kita jika
orang-orang Tanjung Leak
menyerang lagi."
Percakapan itu terjadi pada
saat Pendekar Mabuk belum siuman, namun racun senjata rahasia itu sudah diserap
habis oleh sang Panembahan. Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai pendopo
beralas tikar. Beberapa murid Perguruan Pantai Porong mengerumuninya, termasuk
Mahayuni yang paling dekat dengan tempat Suto berbaring menunggu siuman,
sementara yang lain hanya berkerumun dari jarak agak jauh. Rahisan dan Mahayuni
berada di samping kanan-kiri Pendekar Mabuk, mendengarkan kata-kata Eyang
Panembahan mereka.
"Dia mengaku bernama
Suto, Eyang," ujar Mahayuni. "Benarkah itu namanya?"
"Benar," jawab Eyang
Panembahan. "Nama lengkapnya adalah
Suto Sinting, gelarnya adalah
Pendekar Mabuk." "Ooohhh...?!"
Semua orang yang ada di situ
menggaung antara terkejut dan
bangga. Selama ini mereka
hanya mendengar nama dan kesaktian sang Pendekar Mabuk, tak pernah bertatap
muka dengan pendekar yang kondang ketampanannya itu. Baru sekarang mereka dapat
berjumpa dan melihat sendiri seperti apa kegagahan dan ketampanan sang Pendekar
Mabuk alias Suto Sinting itu.
Karenanya, beberapa murid yang
semula berada agak jauh kini
mendekat secara serempak ingin
melihat lebih jelas lagi sosok si Pendekar Mabuk itu. Bahkan beberapa orang
dari mereka saling berdesak-desakan, ingin mendapat tempat paling depan,
terutama para gadisnya. Tetapi Mahayuni segera menenangkan mereka agar kembali
tertib seperti semula. Mereka pun menurut apa perintah Mahayuni, karena
Mahayuni dipandang sebagai murid tertua dan tertinggi tingkatannya dibanding
mereka. Tingkatan kedua diduduki oleh Rahisan yang merupakan cucu langsung dari
Eyang Panembahan Pancalingga.
"Kalian boleh bertukar
pendapat dengan Pendekar Mabuk, boleh saling berkenalan, tapi tetap jaga
kesopanan dan hormat. Sebab, aku melihat noda merah kecil di tengah
keningnya," ujar Eyang Panembahahan.
"Apa arti noda merah
kecil itu, Eyang?" tanya Rahisan.
Salah seorang murid menimpali,
"Apakah noda merah itu berarti sang pendekar sedang masuk angin?!"
"Husy!" hardik
Mahayuni membuat orang tersebut mengkerut. Mereka saling berkerut dahi, merasa
heran dengan penglihatan sendiri. Sebab mereka tidak melihat ada noda merah kecil
dikening Pendekar Mabuk. Bahkan sebutir jerawat pun tak ada. Mereka akhirnya
berkesimpulan, hanya orang-orang berilmu tinggi yang sudah mencapai kepekaan
Indera ketujuh saja yang bisa melihat noda merah kecil itu. Dan ternyata
penjelasan sang Panembahan pun memang begitu.
"Noda merah kecil sebesar
biji jagung itu tidak bisa dilihat oleh sembarang orang. Seba b noda merah itu
merupakan tanda penghargaan sekaligus jabatan bagi si Pendekar Mabuk. Bagi
orang yang tahu, tak akan berani bertingkah sembarangan di depan pemuda ini,
sebab noda merah itu menandakan bahwa dia adalah seorang Manggala Yudha alias
Panglima Perang dari Sebuah negeri di alam gaib, yaitu negeri Puri Gerbang
Surga wi dengan ratunya yang kukenal bernama Gusti Ratu Kartika Wangi," (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode; "Manusia Seribu Wajah").
Para murid manggut-mahggut,
merasa terkesima dan terkagum- kagum oleh penuturan Eyang Panembahan alias guru
mereka itu. Si gadis kecil Rahisan sempat bertanya kepada kakek kandungnya itu
dengan lagak sok tuanya.
"Bukankah negeri Puri
Gerbang Surgawi itu adanya di Pulau
Serindu, Eyang. Seingatku,
ratu negeri Puri Gerbang Surga wi bernama Dyah Sariningrum dan berjuluk Gusti
Mahkota Sejati. Bukan Ratu Kartika Wangi
seperti yang Eyang katakan tadi. Pikirlah dulu baik-baik, Eyang. Siapa tahu
catatan dalam ingatan Eyang sedikit keliru."
Sang Panembahan tersenyum
bijaksana. "Rahisan, negeri Puri
Gerbang Surga wi itu ada dua;
satu di alam gaib, satu di alam nyata. Dyah Sariningrum itu ratu Puri Gerbang
Sur gawi di alam nyata. Dia anak dari Gusti Ratu Kartika Wangi."
"Ooo...," Rahisan
manggut-manggut.
"Kalau begitu, Pendekar
Mabuk ini adalah tamu agung kita, Eyang?" ujar Mahayuni.
"Iya! Tapi... pendekar
yang satu ini memang agak konyol. Lihat saja, sebagai Manggala Yudha dari
sebuah negeri terhormat hanya mengenakan pakaian seperti ini dan membawa-bawa
bumbung tuak itu," sambil sang Panembahan menuding bumbung tuak yang
tergeletak di lantai atas kepala Suto. "Itu kan namanya konyol! Jadi cara
kita bersikap kepadanya tak perlu muluk-muluk. Dia bahkan tak suka dihormati
secara muluk-muluk. Dan hati-hati...," Panembahan agak mengecilkan suara.
"Ada apa, Eyang?"
"Hati-hati, pendekar ini
agak mata keranjang. Jangan mengawali melirik nakal. Sebab kalau diawali dengan
lirikan nakal, maka kalian, terutama yang perempuan, bakal
mendapat lirikan yang lebih nakal lagi. Biasanya kalau sudah begitu, gadis mana
pun pasti akan terbuai olehnya dan bisa jadi tergila-gila padanya."
"Hi, hi, hi, hi...!' para
murid wanita tertawa cekikikan. "Habis ganteng, Eyang," celetuk salah
seorang murid wanita.
"Memang dia ganteng, tapi
kalau tidak diawali dia tidak mau berbuat nakal. Sekali terkena kenakalannya,
ooh... heboh! Pokoknya heboh!"
"Dari mana Eyang tahu
banyak tentang pendekar heboh ini?" tanya si kecil Rahisan.
"Lho, Eyang kan sering
berhubungan batin dengan bibi gurunya; si Bidadari Jalang itu."
"Lho, katanya Pendekar
Mabuk itu muridnya si Gila Tuak?"
"Lha, iya! Memang
muridnya si Gila Tuak. Tapi dia juga menjadi muridnya Bidadari Jalang."
"Jadi dia punya dua guru,
Eyang?" tanya Mahayuni.
"Benar. Punya dua guru;
Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Mereka ibarat kakak-beradik dalam satu
perguruan."
Mereka saling berkasak-kusuk
dengan wajah berseri-seri, sesekali tampak mengagumi kehebatan ilmu Pendekar
Mabuk. Kejap berikut, Panembahan Pancalingga perintahkan kepada Mahayuni untuk
memindahkan Suto Sinting sebelum pemuda itu siuman.
"Bawa dia ke kamar
peristirahatan. Bisa malu kita kalau dia siuman dan ternyata masih digeletakkan
di lantai begini."
Para murid, terutama yang
wanita, saling berebut membawa Suto ke kamar peristirahatan.
"Biar aku saja yang membawanya.... Jangan,
aku saja! Badanku
lebih kuat
kok,... Minggir-minggir, sini kubawanya sendiri Eh,
jangan sendirian. Aku juga mau
membawanya.... Tidak, aku saja "
Tubuh Suto ditarik ke
sana-sini oleh beberapa tangan.
Panembahan Pancalingga menjadi
cemas.
"Eeh, eeh... jangan
dibetot ke sana-sini! Kalian pikir rebutan kalkun panggang?!"
Akhirnya tubuh kekar itu jatuh
dari ketinggian satu perut. Bruuk,
gleduuuhk !
"Naaah jatuh kan?! Aduh,
bisa bocor kepalanya itu!"
Jatuhnya Suto membuat
pingsannya justru menjadi siuman, ia tersentak kaget dan langsung menyeringai
sambil mengerang kesakitan. Kedua tangannya, pegangi kepala.
"Aaauuhh.!"
Mereka justru ketakutan dan
ditinggal kabur begitu saja. Bruubut.
.! Tinggal Eyang Panembahan
yang ada di situ, clingak-clinguk salah tingkah, karena merasa tak enak
terhadap sang Manggala Yudha yang dihormati
itu.
"Aduh, anak-anak
bagaimana ini?! Kalau sudah begitu ditinggal pergi begitu saja. Celaka! Pasti
aku yang kena getahnya!"
Namun ternyata Pendekar Mabuk
tidak tersinggung dan tak ada
yang disalahkan. Pemuda itu
justru mengambil sikap bijaksana, mengucapkan terima kasih kepada Eyang
Panembahan walaupun sebelumnya Eyang Panembahan lebih dulu buru-buru memberikan
hormat kepada sang Manggala Yudha itu. Keramahan dan keceriaan Suto Sinting
membuat mereka menjadi tak sungkan-sungkan untuk mendekat dan saling ajukan
tanya. Hal itu, terjadi setelah badan Suto merasa segar kembali akibat
menenggak tuak saktinya.
"Dia memang tidak seperti
seorang panglima, ya?" bisik salah seorang murid lelaki. "Dia memang
selalu merendah. Tuh, lihat saja kepalanya sampai rendah, kan?"
"Itu karena dia sedang
garuk-garuk jempol kakinya!" sentak yang lain dengan suara pelan.
Mereka terkesima mendengar
cerita pertarungan Pendekar Mabuk saat melawan Pangeran Cabul dan Rogana, si
manusia badak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan
Sinting"). Tapi mereka segera menjadi tegang dan berdebar-debar ketika
Suto ceritakan pertarungannya dengan Gober, orang kepercayaan si Bayangan
Setan, kisah pengejaran ke Samudera kubur dan pertemuannya dengan Ki Jambal
Haha.
Bukan para murid saja yang
terkejut mendengar nama Jambul Haha disebutkan, melainkan Eyang Panembahan
sendiri juga kaget, hingga terpaksa ajukan beberapa pertanyaan yang bersifat
menguji kesungguhan cerita tersebut. Tentu saja tes uji kesungguhan itu berhasil
dijawab oleh Suto secara benar, karena bagi Suto pertemuan dengan Jambul Haha
bukan sekadar isapan jempol.
Salah seorang murid berbisik
kepada temannya, "Kurasa cerita itu sungguh-sungguh terjadi. Bukan hanya
isapan jempol semata."
"Lagi pula jempolnya siapa
yang mau dihisap sampai mata?!"
tanggap murid yang memang rada
culun. Mereka cekcok sendiri, lalu digertak oleh si kecil Rahisan, keduanya
diam, mengkerut seperti harum manis kena angin.
Panembahan Pancalingga
mengangkat kedua tangannya, semua suara hilang. Suasana menjadi sepi senyap
seketika itu juga. Rupanya kedua tangan Panembahan
Pancalingga mempunyai daya bungkam sendiri bagi murid-muridnya, sehingga tak
satu pun berani bersuara. Bahkan yang suara batuk pun tak ada. Suara napas pun
tak terdengar.
"Hebat Juga Eyang
Panembahan ini," pikir Suto. "Jurus apa yang dipakainya, sehingga
dengan mengangkat kedua tangan saja
sudah bisa bikin bungkam mulut mereka?"
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa
kedua tangan Eyang Panembahan sebenarnya tak memiliki kekuatan pembungkam. Yang
membuat mulut mereka bungkam adalah wibawa dan kharisma sang Panembahan, di
mana ia sebagal guru dan penguasa wilayah Pantai Porong sangat dihormati dan
ditakuti oleh para muridnya.
"Agaknya, mendiang Ki
Jambul Haha, yaitu kakakku sendiri, sengaja ingin mempertemukan Pendekar Mabuk
dengan kita. Entah apa sebenarnya maksud roh Ki Jambul Haha itu. Tapi firasatku
mengatakan, Ki Jambul Haha ingin supaya Pendekar Mabuk membantu kita dalam
menghadapi orang-orang Tanjung Leak, terutama Nyai Gincu Barong itu!"
Tiba-tiba, mereka bersorak
serentak, "Hidup Pendekar Mabuutik...!!"
Suto Sinting clingak-clinguk
kaget, ia memperhatikan mereka.
Hanya si kecil Rahisan yang
tidak ikut bersorak dan mengangkat satu tangan. Mahayuni saja ikut bersorak, tapi
gadis kecil Rahisan hanya diam, cuek, bersidekap, matanya memandang agak angkuh
kepada Pendekar Mabuk.
"Rahisan, kenapa kau
tidak ikut gembira menyambut kedatangan Pendekar Mabuk ini?!" tanya
Mahayuni.
"Ah belum tentu dia
unggul melawan Nyai Gincu Barong," jawab
Rahisan sambil mencibir
terang-terangan di depan Suto Sinting. "Buktinya, ia masih bisa terkena
senjata rahasiaku! Hmmm...! Kita lihat saja hasilnya nanti. Jangan bersorak
dulu sebelum dia memang unggul melawan Nyai Gincu Barong!"
"Tengil amat gadis lucu
itu?" pikir Suto Sinting sambil sunggingkan senyum geli. Tapi ia segera
berkata dengan nada merendahkan diri.
"Tiap manusia memang
punya kelemahan, demikian juga aku. Dan kurasa memang belum tentu aku unggul
melawan Nyai Gincu Barong. Tetapi jika Eyang Panembahan yang melawan Nyai Gincu
Barong, tentunya Nyai Gincu Barong akan tumbang dalam satu gebrakan. Bisa jadi
Nyai Gincu Barong akan sakit sendiri, jatuh sendiri, mati sendiri dan mengubur
diri sendiri!" "O, tidak begitu, Nak Mas Pendekar...," sela
Eyang Panembahan. "Aku sudah bersumpah untuk tidak mau lakukan
pertarungan, kecuali menghindari dan mengobati yang terluka. Sumpah ini
kuucapkan di depan kakakku; si Jambul Haha, pada saat dia dalam keadaan sekarat
dan aku tak bisa kejar si Bayangan Setan itu!
Jadi aku tak berani melanggar sumpah. Barangkali dengan alasan itulah,
maka roh kakakku mempertemukan dirimu dengan pihakku, agar kau menjadi wakilku
melawan Nyai Gincu Barong."
Mahayuni menarik tangan gadis
kecil berlagak tengil itu. "Rahisan, hati-hati bicaramu. Jangan
menyinggung perasaan
Pendekar Mabuk."
Rahisan justru membantah
dengan suara keras.
"Masa' seorang pendekar
perasaannya mudah tersinggung dengan ucapan seperti itu saja?! Hmmm! Pendekar
cap apa dia kalau begitu?!"
Suto menyahut, "Cap
tengkorak nyengir!"
Lalu yang lainnya tertawa
serentak. Suto Sinting sendiri ikut tertawa walau tidak terbahak-bahak.
Tetapi di balik sambutan ramah
orang-orang Padepokan Pantai Porong itu, ternyata Suto Sinting tetap menyimpan
misteri yang membuatnya sangat penasaran, akhirnya ia dibayang-bayangi oleh
kegelisahan. Menjelang tidur malam di kamarnya, Pendekar Mabuk kelihatan sangat
resah, tak bisa tenang.
"Benarkah Samudera Kubur
sudah hancur delapan tahun yang
lalu?! Kalau begitu, haruskah
aku mengejar si Bayangan Setan ke Bukit Lahat?! Apakah ia masih menyandera Rama
Jiwana? Terus, bagaimana dengan Perawan Sinting dan Mahesa Gibas? Seharusnya
dalam saat-saat bingung begini, aku bisa bertemu dengan Perawan Sinting dan
membicarakannya. Tapi... kelihatannya pihak Panembahan sangat membutuhkan
bantuanku. Lalu, mana yang harus
kulakukan lebih dulu; menghadapi Nyai Gincu Barong lebih dulu?!"
Akhirnya Suto memutuskan untuk
mencari Perawan Sinting di sepanjang Pantai Porong. Ia berharap dapat menemukan
Perawan Sinting atau Mahesa Gibas di pantai tersebut, ia juga berharap kedua
sahabatnya itu terdampar di pantai itu juga dalam keadaan masih bernyawa.
*
* *
4
POTONGAN tiang layar ditemukan
Suto bersama sesobek kain layarnya. Semula ia merasa senang, karena dapat
menemukan bagian lain dari perahunya. Tetapi di sekitar tempat itu tak
ditemukan Perawan Sinting maupun Mahesa Gibas. Hanya saja, ia menemukan bekas
telapak kaki yang bergerak dari pantai ke hutan.
"Apakah ini bekas jejak
kaki Perawan Sinting?!" tanyanya dalam
hati. "Atau jangan-jangan
ini Jejak kaki si Mahesa Gibas?! Oh, aku lupa menanyakan ukuran kaki mereka
sebelum berlayar. Akibatnya aku tak bisa membedakan telapak kaki siapa yang ada
di pasir pantai ini?!"
Pendekar Mabuk pandangi arah
hutan dengan teliti. Tak ada
tanda-tanda gerakan manusia di
sana. Bahkan suara rintih atau dengus
napas pun tak terdengar. Maka, jurus 'Lacak Jantung' pun digunakan oleh Suto
Sinting. Jurus itu dapat mendeteksi detak jantung seseorang yang berada di
sekitarnya.
"Hmmm..., aku mendengar
detak jantung yang berirama kalem- kalem saja. Arahnya di sebelah sana. Aku
yakin di sana pasti ada orang. Hanya saja, apakah dia Perawan Sinting atau
Mahesa Gibas, aku tak bisa menduganya."
Suto segera menuju sasaran
dengan lompatan-lompatan peringan tubuhnya, sehingga suara langkahnya tak
terdengar oleh siapa pun. Ia menyelinap di antara pohon-pohon mendekati suara
detak jantung itu.
"Ooh...?!" dahi
Pendekar Mabuk berkerut heran. "Suara detak jantung itu menghilang? Aneh.
Padahal tadi sudah semakin keras, berarti semakin dekat. Mengapa tiba-tiba
hilang begitu saja? Apakah orang itu mati?!"
Mata setengah dipejamkan,
konsentrasi dipusatkan pada kepekaan pendengaran. Jurus 'Lacak Jantung'
digunakan lagi. Akhirnya ia memandang ke arah pantai, karena kini suara detak
jantung itu ada di pantai.
"Mengapa bisa pindah ke
pantai secepat ini?!" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah yang ada di
pantai adalah detak jantung orang lain? Maksudku, bukan orang yang ada di
dekat-dekat sini?"
Rasa penasaran membuat
Pendekar Mabuk terpaksa memeriksa keadaan hutan sebentar. Tetapi ternyata di
sekitar tempat didengarnya detak jantung
tadi memang tak ada orang, bahkan sesosok mayat pun tak ada. Pendekar Mabuk
berkesimpulan, si pemilik detak jantung itu memang sudah pindah ke daerah
pantai. Maka ia pun segera mengejar ke pantai kembali. Zlaaap...!
Di sana juga tak ada orang.
Tapi anehnya, detak jantung itu menjadi semakin jelas, bahkan sepertinya sedang
mendekati Suto Sinting. Pandangan dan kewaspadaan Suto segera ditingkatkan.
Bumbung tuak yang digantungkan di pundak kini sudah digenggam dengan tangan
kirinya.
"Ada sesuatu yang
bergerak mendekatiku, tapi ia tak punya rupa,"
batin sang pendekar. "Aku
harus hati-hati. Siapa tahu tiba-tiba ia menyerangku tanpa bisa kusentuh
tubuhnya, aku harus tetap waspada."
Sampai beberapa saat, detak
jantung itu masih terdengar jelas tapi wujud pemiliknya tak kelihatan. Bahkan
Suto merasa si pemilik detak jantung itu
sedang mengitarinya dalam jarak sekitar delapan langkah.
"Aneh, tak kulihat
sosoknya tapi jelas kudengar detak jantungnya. Hmmm... kurasa kali ini aku
berhadapan dengan Bayangan Setan yang mampu hadir tanpa sosok tubuh itu. Jika
memang "
Ucapan batin sang Pendekar
Mabuk terhenti karena tiba-tiba pandangan matanya menangkap sesuatu. Sesuatu
yang dilihatnya adalah seekor kupu-kupu yang terbang mengelilinginya.
Rasa ingin membuang air kecil
pun timbul, dan Suto mencari tempat yang tersembunyi untuk membuang air
seninya. Tapi kupu- kupu itu hinggap di ilalang persis di depan Suto.
Sambil memandangi kupu-kupu itu, dengan cuek Suto menuntaskan hajat
kecilnya tersebut.
"Hmmm... kupu-kupu itu
sepertinya memandangiku terus. Apakah ia
tertarik dengan alat pembuang airku ini?" ujarnya dalam hati dengan
konyol. Lalu, perhatiannya kepada kupu-kupu itu dilanjutkan.
Namun kejap berikut, setelah
pembuangan hajat kecil itu selesai, Pendekar Mabuk baru menyadari ada yang aneh
pada seekor kupu- kupu yang berwarna hitam bintik-bintik kuning dengan ukuran
kecil itu.
Pendekar Mabuk pandangi
kupu-kupu yang sekarang terbang kembali mengelilinginya dan ternyata suara
detak jantung tersebut berasal dari binatang kecil tersebut. Menurutnya, ini
hal yang aneh. Tak pernah ia dapat melacak detak jantung seekor kupu-kupu.
Bahkan detak jantung seekor burung pun tak berhasil dilacaknya dengan ilmu
tersebut. Tapi mengapa sekarang Suto bisa mendengarkan suara detak jantung
seekor kupu-kupu?
"Aku yakin dia bukan
kupu-kupu sembarangan," pikirnya dalam membatin. "Tak mungkin seekor
kupu-kupu mempunyai detak jantung sekeras ini. Tapi jika kupu-kupu itu terbang
melintasi kepalaku, suara detak jantung pun kudengar lebih keras lagi. Ah, apa
iya seekor kupu-kupu mempunyai sentakan jantung sama dengan ukuran detak
jantung manusia?!"
Tiba-tiba kupu-kupu hitam
bintik-bintik kuning itu melesat cepat seakan ingin menabrak wajah Suto.
Wees...! Pendekar Mabuk hanya
lengkungkan badan ke belakang
hingga kepalanya terdongak.
Dengan begitu kupu-kupu tersebut tak berhasil kenai wajahnya. "Hei, kenapa
dia sepertinya mau menyerangku?!" ujar Suto membatin dengan heran.
Kupu-kupu itu segera hinggap
di atas ujung sebongkah batu berukuran satu dada. Pendekar Mabuk mendekati
dengan rasa penasaran. Namun baru mendapat beberapa langkah, kupu-kupu itu terbang
kembali dan melesat ingin menerjang Suto Sinting. Dengan gerakan limbung cepat
seperti orang mabuk mau tumbang, gerakan kupu-kupu itu berhasil dihindari Suto
Sinting lagi. Wuuus...!
Kejap berikut kupu-kupu itu
terbang tinggi dan memutar cepat. Putaran tubuhnya mengeluarkan asap yang makin
lama semakin tebal. Asap itu bergerak turun sambil berputar, sampai akhirnya
menyentuh tanah dan, buuss...!
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk terbelalak kaget, karena hilangnya
asap dan kupu-kupu, muncullah
seraut wajah cantik berjubah hitam bola-bola kuning. Seraut wajah cantik
itu mempunyai rambut panjang terurai dan mengenakan mahkota
hias berukuran kecil.
Pendekar Mabuk mengucal-ngucal
matanya, khawatir kalau dia salah pandang. Ternyata apa yang dipandangnya saat
itu memang benar, ia berhadapan dengan seraut wajah cantik berhidung mancung
dan berbibir menggemaskan. Tubuhnya sekal, padat dan berisi. Dadanya yang
ditutup dengan pinjung kain kuning itu kelihatan montok sekali. Sebagian
belahan dadanya tersumbul naik dari dalam pinjung.
Wanita cantik itu tampak sudah
berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun. Kecantikannya cukup
matang, demikian pula keseksian tubuhnya tampak sedang matang-matangnya. Kain
penutup pinggul yang berwarna kuning itu mempunyai dua belahan, depan dan
belakang. Belahan yang depan cukup panjang. Dari bawah sampai mendekati pusar.
Satu gerakan kaki saja dapat menyingkapkan kain dan menimbulkan dayatarik yang
dapat membuat Suto panas-dingin. Wanita cantik itu sunggingkan senyum tipis
berkesan sinis. Tapi senyuman itu justru menambah kecantikannya menjadi semakin
memancarkan daya pikat tinggi.
"Cantik sekali dia?!" puji Suto dalam hatinya. Senyuman itu dibalas
oleh Pendekar Mabuk dengan senyuman tipis pula. Setelah maju tiga langkah,
Pendekar Mabuk sengaja tampilkan kesan bahwa ia sangat mengagumi kecantikan
perempuan itu.
"Kupu-kupu yang
cantik," ujar Suto pelan. "Siapa sangka kalau kupu-kupu kecil itu
ternyata adalah seorang wanita yang
menarik dan menggemaskan. Sayang sekali tak kutahu namanya."
Dengan mata memandang nakal
mengoda hasrat lelaki, wanita berkulit putih itu perdengarkan suaranya yang
bening tanpa serak sedikit pun.
"Apakah kau pernah
mendengar nama Andani?"
"Belum. Terus terang
saja, aku orang baru di sini. Jadi masih merasa asing dengan nama Andani.
Siapakah orang yang memiliki nama Andani itu?"
"Orang itu ada di
depanmu."
"Oo...," Suto
Sinting manggut-manggut dalam senyumnya yang menawan.
"Ternyata nama itu sangat
sesuai dengan kecantikan orangnya", tambah Suto Sinting. Si wanita perlear
senyumnya, namun matanya tetap memandang Suto tanpa kedip penuh goda.
''Apakah kau orang Pantai
Porong juga, Andani?" "Bukan. Aku orang pendatang, Suto."
Pemuda tampan itu terkejut.
"Oh, kau sudah tahu namaku?!" "Siapa orang yang tidak kenal nama
Suto Sinting dalam pakaian
berciri coklat-putih dan
bumbung tuak yang selalu dibawanya itu? Siapa orang yang tidak kenal wajah
tampan berbadan kekar dan gagah itu
adalah milik Suto Sinting?! Kurasa semua orang mengenalmu dari ciri-cirimu itu,
Suto."
"Ternyata wawasanmu lebih
luas daripada Mahayuni atau yang lain."
"Siapa Mahayuni itu?
Kekasihmukah?!"
"Bukan," jawab Suto
Sinting dengan lemparkan senyum ke arah lautan lepas, ia melangkah ke perairan
sambil lanjutkan kata. "Mahayuni adalah seorang sahabat baru. Ia
tidak mengenaliku saat kami jumpa
pertama."
Pendekar Mabuk palingkan
pandang ke arah Andani. "Apakah kau sama sekali tidak mengenal
Mahayuni?"
Wanita itu mendekat dengan
memandang ke arah lautan juga. "Sudah kukatakan tadi, aku hanyalah tamu di
Pantai Porong ini!
Tamu yang kebetulan saja lewat
di Pantai Porong dan singgah sebentar karena melihat cahaya ketampanan dari
seorang pemuda yang ternyata adalah Pendekar Mabuk."
"Jangan memujiku, nanti
aku lupa daratan, ingatnya cuma lautan." Andani lepaskan tawa kecil.
"Ini adalah keberuntungan besar bagiku," kata Andani tanpa pandangi
Suto. "Barangkali memang
sudah kehendak dewata aku
harus bertemu denganmu, Suto." "Apa maksudmu berkata begitu?"
"Aku membutuhkan seorang
tabib. Kudengar kau juga dikenal
sebagai Tabib Darah
Tuak?"
"Hanya beberapa orang
saja yang menjulukiku demikian."
"Tapi julukan itu
membuatku menaruh harap padamu, Tabib Darah Tuak."
"Boleh saja kau menaruh
harap padaku, tapi segala keputusan
tetap ada di tangan Yang
Kuasa, Andani." "Aku paham maksudmu."
Pendekar Mabuk kembali
menikmati sebentuk kecantikan yang enak dipandang dan membuat jantung
berdebar-debar sejak tadi. Debaran itu menghadirkan keindahan tersendiri yang
sukar dilukiskan dengan kata.
"Siapa yang membutuhkan
bantuanku sebagai tabib?!" tanya Suto setelah mereka beradu pandang dua
helaan napas.
"Aku sendiri," jawab
Andani. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum sebagai tanda kurang percaya
atas pengakuan tersebut.
"Kau tampak segar, sehat,
cantik, dan... menawan sekali. Kau tak kelihatan sebagai orang yang sakit,
Andani." "Kelihatannya memang begitu. Tapi beberapa tahun yang lalu,
seseorang telah menyerangku dan melukai bagian dalamku. Orang itu menggunakan jurus 'Karang Siksa'.
Dengan jurus itu ia menanamkan sebutir batu dalam tubuhku. Batu itulah
sebenarnya yang dinamakan batu 'Karang Siksa', yang tubuhku merasa tersayat-
sayat setiap malam. Kadang merasa seperti dicambuk-cambuk, atau juga seperti
ditusuk-tusuk jarum. Menyiksa sekali. Dan setiap malam aku harus menderita
perasaan seperti itu. Jika matahari muncul, barulah siksaan itu berhenti dan
keadaanku sehat-sehat saja, seperti saat ini."
"Jurus yang aneh
sekali," gumam Pendekar Mabuk.
"Lawanku itu memang
tangguh. Tapi dalam waktu dekat nanti, dia akan kukirim ke neraka setelah aku
menyelesaikan pelajari satu jurus utama khusus untuk mengalahkan lawanku
itu!"
"Siapa lawanmu yang
mempunyai jurus 'Karang Siksa' itu, Andani?" tanya Pendekar Mabuk setelah
merenung sebentar.
"Kurasa nama itu tak penting
bagimu. Yang kuharap darimu
adalah menghancurkan batu
'Karang Siksa' yang tertanam di dalam tubuhku ini! Aku ingin bebas dari siksaan
setiap malam. Aku ingin bisa tidur dengan nyenyak dan damai."
Wajah cantik itu tampak
murung, sebagai ungkapan dari rasa sedihnya jika membayangkan siksaan setiap
malamnya itu. Pendekar Mabuk menjadi iba hati melihat si cantik berwajah
murung. Akhirnya ia putuskan untuk menolong wanita cantik itu.
"Akan kucoba menolongmu,
Andani. Tapi terlebih dulu aku ingin tahu, dari mana asalmu?"
"Aku... aku dari Bukit
Jerami, agak jauh dari sini. Aku sengaja mengasingkan diri ke Bukit Jerami,
karena sebenarnya aku sudah tak ingin ikut campur dalam dunia persilatan ini!
Aku capek dan ingin istirahat dengan damai di bukit yang sepi itu."
"Jadi, kau tinggal
sendirian di Bukit Jerami, tanpa teman, tanpa
saudara dan tanpa suami?"
"Saudaraku telah tewas
semua di tangan musuhku itu. Aku tak pernah mau dikunjungi teman, karena aku
memang ingin hidup menyendiri. Sedangkan suami... suamiku telah kabur dengan
perempuan lain, dan membiarkan hidupku menjanda tanpa anak dan keluarga."
Kata-kata itu dituturkan
dengan menghiba sekali, membuat Pendekar Mabuk semakin trenyuh dan berbelas
kasihan kepada Andani. Semakin trenyuh lagi hati Suto setelah perempuan itu berlutut di depannya dan memohon dengan
suara menghiba.
"Kumohon kau
mau menyembuhkan sakitku
ini, Pendekar
Mabuk! Aku sudah tak kuat
hidup dalam penderitaan setiap malam!" "Bangunlah, Andani. Bangun,
tak perlu berlutut di depanku begitu. Aku akan mengobatimu sekarang juga.
Minumlah tuakku ini dan kau akan terhindar dari penyakit yang menyiksa itu.
Tuakku ini dapat hancurkan batu "Karang Siksa' yang ada
dalam tubuhmu itu,
Andani!"
Sambil berkata begitu, tangan
Suto mencekal lengan Andani dan membimbing agar wanita itu segera berdiri lagi.
Bahkan setelah Andani berdiri, tangan itu masih mencekal lengan si wanita,
sehingga keduanya sama-sama merasakan sentuhan hangat yang menjalar sampai ke
seluruh tubuh.
"Minumlah tuakku...,"
sambil Suto Sinting menarik bumbung tuak
yang tadi sempat digantungkan di pundaknya. Namun sebelum bumbung tuak itu
sempat diberikan kepada Andani, tiba-tiba seberkas sinar hijau seperti buah
rambutan melesat cepat menyerang Pendekar Mabuk dari arah belakang. Weeess...!
"Oh, Suto...?!"
Andani segera menarik tubuh Suto ke dalam
pelukannya, kemudian dengan
telapak tangannya ia menahan datangnya sinar hijau tersebut. Suuurb...!
Seandainya Suto tidak ditarik
hingga berpelukan dengan Andani, dan tangan Andani yang ada di belakang Suto
tidak menahan sinar hijau itu, maka punggung Suto akan berlubang besar dan
nyawa pun akan melayang.
Ketika mereka merenggangkan
jarak, Suto Sinting sempat tersenyum karena menyangka mendapat pelukan mesra
dari Andani. Tapi ketika genggaman tangan Andani membuka, tampaklah sinar hijau
yang memancar seperti bentuk buah rambutan.
"Seseorang ingin
membunuhmu dengan sinar ini," ujar Andani.
Maka, Suto pun akhirnya
terbelalak tegang dan kebingungan sendiri. Ketegangan di hati Suto disebabkan
oleh datangnya sinar hijau yang nyaris mengenai punggungnya, dan kemampuan
Andani menangkap sinar hijau yang sampai sekarang belum meledak-ledak juga.
"Gila! Tinggi sekali ilmu
perempuan ini?!" pikir Suto dalam keheranan "Cahaya hijau itu bisa
ditangkapnya dan tidak meledak dalam gengamannya. Kalau bukan berilmu tinggi
tak mungkin hai itu bisa dilakukan."
Andani justru memainkan sinar
hijau itu seperti memainkan bola kecil di tangannya.
"Aku ingin tahu siapa
yang ingin membunuhmu itu!" ujarnya, lalu tiba-tiba sinar hijau itu
dilemparkan ke arah tempat datangnya semula. Weess...! Sinar itu melesat dan
menghantam sebatang pohon besar. Jegaaarr...!
Pohon itu berlubang sebesar
kepala sapi. Daun-daunnya rontok
seketika, bahkan dahan serta
rantingnya menjadi kering dalam waktu singkat.
Pendekar Mabuk terbelalak
membayangkan jika sinar hijau itu mengenai punggungnya, maka nasibnya akan
seperti pohon tersebut.
"Untung dia tangkas dan
punya ilmu bisa memegang sinar pukulan sedahsyat itu, seandainya ia tidak
mempunyai ilmu tersebut, pasti sekarang ini aku sudah menjadi sundel bolong.
Punggungku akan berlubang sebesar kepala sapit begitu."
Sementara si perempuan cantik
itu masih memperhatikan ke arah pohon tersebut, ia menunggu sesuatu yang muncul
dari balik pohon tersebut, karena ia melihat orang yang melepaskan pukulan
bersinar hijau itu bersembunyi di baiik pohon tersebut. Tetapi sampai dua
helaan napas ditunggu, orang tersebut tak segera tampakkan diri, Andani pun
jengkel dan berseru dengan lantang.
"Jahanam, keluar kau!
Jangan hanya berani menyerang dari belakang!"
"Aku di sini sejak
tadi!" ujar suara yang tiba-tiba didengar sudah
berada di belakang Suto dan
Andani. Mereka berpaling serentak dan mundur dua langkah.
"Siapa kau?!" tanya Suto
dengan tetap tenang. "Mengapa kau menyerangku dari belakang dengan jurus
yang berbahaya itu?!"
Seorang lelaki yang tiba-tiba
muncul di belakang mereka itu
hanya sunggingkan senyum
dingin. Lelaki itu bertubuh sedang, kumisnya tak terlalu lebat, jenggotnya
cepak. Rambut si lelaki masih hitam dan pendek, diikat dengan ikat kepala
warna biru, sesuai dengan pakaiannya yang serba bir u
itu. Diperkirakan, lelaki itu berusia sekitar empat puluh tahun lebih sedikit,
ia menyandang kapak yang terselip di
sabuk hitamnya.
"Aku tak punya urusan
denganmu, Perempuan cantik! Urusanku adalah dengan pemuda itu!"
"Aku tidak kenal
denganmu," sergah Suto Sinting. "Mengapa kau merasa punya urusan
denganku?!"
"Karena kau yang kulihat
bergabung dengan pihak Panembahan
Pancalingga!"
"Kalau begitu kau orang
Tanjung Leak?!"
"Benar! Akulah yang
dipercaya untuk memata-matai padepokan itu dan diberi hak untuk membunuh orang
padepokan selagi ada kesempatan untuk melakukannya. Tapi sasaranku yang paling
utama adalah membunuh si tua bangka; Panembahan Pancalingga, supaya Nyai Gincu
Barong semakin bangga dengan hasil kerjaku!"
"Kau yang bernama
Singaloya?!" sahut Andani dalam tanya.
"Dari mana kau
mengenaliku sebagai Singaloya, Cantik?!"
"Aku tahu, si Gincu
Barong punya beberapa orang kepercayaan, di antaranya ada yang bernama
Singaloya yang mempunyai senjata ampuh 'Kapak Guntur'. Dan kulihat senjata di
pinggangmu itu adalah Kapak Guntur!" "Ha, ha, ha, ha...! Kau ternyata
cukup jeli. Cantik! Tapi aku tak tahu siapa kau dan di pihak mana kau berdiri.
Maklum, aku baru beberapa bulan bergabung dengan Nyai Gincu Barong!"
"Sampaikan salamku kepada
Gincu Barong, dan ingatkan kepadanya agar tidak mengganggu pemuda ini."
"Oh, pikirmu kau ini
siapa, sehingga merasa mampu menyuruh
Nyai Gincu Barong untuk tidak
membunuh pemuda ini?! Kalau kukatakan bahwa pemuda ini akan memperkuat pihaknya
Padepokan Pantai Porong, tentu saja tak akan ada ampun bagi pemuda ini. Nyai
tetap akan perintahkan kepadaku untuk membunuhnya."
"Kalau begitu." kala
Andani. "Sebelum kau melukai pemuda ini,
terlebih dulu sebaiknya kau
kukirim ke neraka, Singaloya'"
"Oh, jadi kau yang ingin
tampil sebagai perisainya?! Celaka! Bodoh amat kau ini, Cantik. Mengapa kau mau
menjadi perisainya? Apakah kau tak tahu kali ini yang berhadapan dengannya
adalah Singaloya? Kau bisa mati tanpa berkedip kalau harus melawanku,
Cantik."
"Jangan banyak
bicara!" geram Andani, tiba tiba tangannya berkelebat ke depan seperti
menaburkan sesuatu. Wuuurs...! Tangan itu sebarkan percikan sinar merah yang
segera menerjang ke arah Singaloya. Namun dengan cepat Singaloya melesat tinggi
ke atas, hingga percikan sinar merah itu tak ada yang mengenainya
"Modar kau. Cantik!
Heeah...!"
Singaloya lepaskan pukulan
bersinar lurus tanpa putus ke arah Andani. Claaap...! Sinar hijau lurus itu
bermaksud menghantam kepala Andani. Tetapi dengan tangkas tangan Andani menahan
ujung sinar tersebut.
Deeb...! Sinar itu tetap
memancar lurus dari tangan Singaloya ke
tangan Andani Sementara itu
Suto yang ingin ikut campur segera dilarang oleh Andani memakai bahasa isyarat.
Mau tak mau ia membiarkan dulu kemampuan Andani menghadapi Singaloya.
Sampai lelaki berpakaian serba
biru itu daratkan kakinya ke tanah, sinar hijau itu masih memancar seperti
sebatang tongkat yang dipakai untuk saling mendorong lawan.
Namun dalam kejap berikutnya,
Andani bukan sekadar menahan sinar hijau melainkan juga ikut kerahkan tenaga
dalamnya melalui telapak tangan itu. Wuuk...! Sinar hijau pun membengkak
menjadi kebiru-biruan. Lalu dengan satu kali sentakan tangan ke depan, Andani
berhasil membuat Singaloya terjungkal ke belakang dan berguling-guling.
Weess...! Brruk...!
"Uuhk...!" Singaloya
mengerang ketika sinar hijau yang berubah kebiru-biruan itu menghantam masuk ke
telapak tangannya dan tubuhnya bagai diseruduk banteng liat.
Clap, clap...! Tiba-tiba dari
kedua jari Andani keluar sinar merah seperti ujung tombak. Sinar merah itu
melesat cepat dan menghantam dada Singaloya.
Blegaaarr...! Blaaarr...!
"Gila?!" pendekar
tampan itu terperangah bengong. Ternyata tak ada ampun lagi bagi Singaloya,
tubuhnya menjadi hancur dihantam dua sinar merahnya Andani tadi. Tanpa punya
kesempatan menggunakan senjata 'Kapak Guntur'-nya, Singaloya akhirnya tumbang
dalam keadaan mengerikan, tangan, kaki, badan, kepala, bahkan jari-jari
tangannya, semua menjadi menyebar karena pecah.
"Mengapa kau bunuh dia
sekeji itu, Andani?!"
"Karena ia pun orang yang
keji, dan layak mendapat ganjaran seperti itu dariku!"
Pendekar Mabuk masih tertegun
bengong memperhatikan Andani. Hatinya memuji namun juga mengecam Andani yang
dapat membunuh Singloya dalam waktu amat singkat.
*
* *
5
PARA murid Perguruan Pantai
Porong sibuk mencari pendekar heboh itu. Setiap orang ditugaskan mencari Suto
Sinting secara bergantian. Batas wilayah Pantai Porong dijaga ketat oleh mereka
dengan senjata siap perang.
"Ke mana si wajah heboh
itu, ya? Jangan-jangan ditelan cumi- cumi?" gerutu salah seorang murid
laki-laki yang ditugaskan menyusuri pantai bersama beberapa orang lainnya.
"Hei, lihat...! Kepala
siapa itu yang tergeletak di seberang sana?!" seru salah seorang. Lalu
mereka menghampiri benda yang dituding oleh orang tersebut.
"Oh, kepala manusia?!
Tapi... kurasa ini bukan kepala si pendekar
heboh. Pendekar heboh itu
tidak berkumis!"
"Siapa tahu kumisnya
tumbuh mendadak?!" ujar temannya dengan konyol.
Setelah mereka perhatikan
bagian-bagian tubuh yang menyebar
itu, maka tahulah mereka bahwa
potongan tubuh itu miiik orang Tanjung Leak. Mereka segera melaporkan hal itu
kepada Eyang Panembahan Pancalingga.
Ketua perguruan itu turun
tangan sendiri, memeriksa mayat yang berantakan di pantai. Dari hasil
pemeriksaan indera keenamnya, Eyang Panembahan yakin bahwa mayat itu adalah
mayat orang Tanjung Leak, tapi bukan dibunuh oleh Pendekat Mabuk.
"Seseorang telah
membunuhnya entah karena persoalan apa." "Lalu, ke mana Pendekar
Mabuk itu, Eyang?" tanya Mahayuni
dengan cemas.
Rahisan menyahut dengan
tengilnya, "Kurasa dia pulang, karena takut kalau harus melawan Nyai Gincu
Barong."
"Tak mungkin," sahut
Eyang Panembahan. "Suto pamit padaku
mau mencari kedua orang
temannya, siapa tahu terdampar di sepanjang Pantai Porong ini."
"Jangan-jangan tertangkap
orang-orangnya Nyai Gincu Barong dan dibawa ke Tanjung Leak?!" ujar Mahayuni.
Eyang Panembahan pejamkan mata
sejenak, melihat dengan
indera keenamnya. Sebentai
kemudian ia buka mata dan gelengkan kepala, "Tidak, tidak ada di
sana."
"Lalu ke mana dia, Eyang?
Coba lihat dengan mata batin Eyang," desak Rahisan.
Beberapa saat setelah Eyang
Panembahan pejamkan mata, ia jadi
bingung sendiri dan berkata
kepada kedua cucunya.
"Sulit sekali, Ada kabut
hitam yang menyelimutinya, sehingga sukar kutembus di mana dia berada."
Mereka tidak tahu kalau
Pendekar Mabuk dibawa oleh Andani ke tebing karang berongga besar. Rongga besar
itu ada gua yang mempunyai lorong panjang entah sampai di mana.
"Mengapa kita harus di
sini, Andani?!" tanya Suto dengan rasa penasaran.
"Aku tak ingin
pengobatanku nanti ada yang melihatnya."
"Seandainya ada yang
melihatnya, mengapa kau keberatan?" "Karena dia tahu orang itu kenal
dengan musuhku dan ia
memberitahukan pengobatan ini,
sehingga ia datang lagi untuk menyerangku kembali."
"Kurasa kemungkinan itu
tipis sekali, Andani. Dan lagi caraku mengobatimu tidak kentara. Kau hanya
meminum tuak ini. Minum biasa saja, seperti orang sedang haus. Dan batu 'Karang
Siksa' itu akan hancur dengan sendirinyatanpa keanehan apa-apa."
Andani mendekati Suto hingga
berjarak dua langkah, ia
memandang tajam tapi berkesan
sayu. Hati Suto bergetar lagi menerima tatapan mata yang penuh daya pikat itu.
"Yang jelas, aku tak
ingin ada orang mengetahui pertemuanku denganmu."
"Kenapa begitu?"
"Supaya musuhku pun tak
tahu kalau aku telah mengenalmu dan menjadi seorang sahabatmu. Bukankah...
bukankah kita bersahabat, Suto?"
Pendekar Mabuk
anggukkan kepala dengan
bibir sunggingkan
senyum menawan. Kalem, lembut
dan enak dipandang. Andani semakin ceria
dan berbinar-binar bagai ditaburi
bunga-bunga indah. Ia melangkah ke balik gugusan batu setinggi perut
yang memanjang sekitar dua langkah. Cahaya yang masuk melalui mulut gua membuat
gua itu berpenerangan remang-remang.
Di balik batu setinggi perut
itu terdapat tumpukan jerami yang lebar, sepertinya sudah biasa digunakan untuk tidur.
Andani berdiri di sana menunggu Suto mendekat.
"Andani, apakah kau sudah
sering tinggai di gua ini?" tanya Suto Sinting sambil memandang di
kedalaman gua yang gelap.
"Ya, gua ini kadang
kupakai sebagai tempat persembunyian dari
pengejaran musuh-musuhku. Atau
sesekali kupakai untuk bersemadi. Jarang orang mengetahui tempat ini, Suto. Aku
merasa aman jika sudah berada di sini."
Sambil mendekati Andani, Suto
ajukan tanya dengan suara tegas. "Tembus ke mana lorong di kedalaman sana?"
"Aku tak pernah
mencobanya," jawab Andani tepat pada saat Suto
berhenti di depannya dalam
jarak satu jangkauan. "Kapan kau ingin mengobatiku, Tabib Darah
Tuak?!"
"O, sekarang pun
bisa." Suto Sinting pun meraih bumbung tuaknya. Tapi pada saat itu Andani
melepaskan jubahnya. Kini pundak dan punggungnya tampak terbuka dengan bebas.
Kemulusan tubuh itu membentang tanpa penghalang apa pun.
"Andani, kau tak perlu
harus buka pakaian. Kau hanya meminum
tuak ini, seperti penjelasanku
tadi."
"O, ya... maaf. Kusangka
kau akan salurkan hawa saktimu melalui punggungku."
Andani tertawa kecil. Tapi ia
tidak mengenakan jubahnya lagi. Ia
menerima bumbung
tuak itu dan
menenggaknya beberapa kali.
Se bagian tuak tercecer di sekitar mulut dan dagu hingga lehernya.
"Aahhh...! Segar sekali
rasanya," ujar Andani sambil serahkan kembali bumbung itu kepada Suto
Sinting.
"Nanti malam kau tak akan
merasakan hal-hal yang menyakitkan
seperti katamu tadi."
"O, ya? Tapi hanya
beginikah caramu mengobatiku?" "Memang hanya begitu."
"Sederhana sekali."
"Ya. Tapi... sayang
sekali tuak itu tumpah di sekitar bibir dan lehermu."
"Kau mau
mengeringkannya?" pancing Andani.
"Mau, asal aku
mengeringkan dengan bibirku juga," goda Suto Sinting.
"Cobalah lakukan, aku
ingin tahu bagaimana caramu mengeringkan tuak dari bibir, dagu, leher, dan...
oh, ada yang membasah di belahan dadaku. Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk semakin
deg-degan mendapat tantangan seperti itu. Lalu, pelan-pelan ia mendekatkan
wajahnya setelah meletakkan bumbung tuak di batu sebelah. Andani setengah
memejamkan mata dan dagunya sedikit naik dengan bibir ranum merekah. Suto
Sinting pun menjilat air tuak yang masih membasah di sudut bibir itu. Seeet...! Hangat sekali rasanya bagi
Andani.
Tepian bibir itu dikecup-kecup
dengan hisapan lembut supaya air tuak tertelan oleh Suto. Kecupan itu membuat
hati Andani makin berdesir-desir hingga napasnya sering dilepaskan lewat mulut
bersama desah yang samar-samar.
Dari tepian bibir, kecupan
Suto merayap ke dagu, menjilat tuak yang membasah di sekitar dagu itu, lalu
menyusuri leher. Lidah Suto menyapu leher yang basah oleh tuak. Tanpa diketahui
Suto, ternyata Andani telah melepaskan tali simpul dari kain pinjungnya. Kini
pinjung itu jatuh ke kaki dan dada itu terbuka. Pendekar Mabuk masih sibuk
menyusuri tempat yang basah oleh tuak.
Ia menjadi terkejut setelah
bibirnya menyentuh tepian bukit dada, matanya melirik ke samping, ternyata
bukit itu telah menantang penuh keberanian.
Andani mendesis lirih.
"Sssssh...! Oh, indah sekali sentuhanmu, Suto. Geserlah ke kiri
sedikit."
Kecupan Suto bergeser ke kiri.
Sekalipun tak ada tuak di situ, tapi mulut Suto masih memagut-magut dengan
pelan, lembut sekali. "Ooh, Suto... ke kiri lagi. Terus ke kiri...."
Ketika kecupan Suto makin ke kiri dan menyentuh ujung bukit, Andani mengerang
panjang sambil meremas pundak Suto.
"Ooouh...! Indah sekali
itu, Suto. Indah sekali... oh, agak kencang sedikit, Sayang. Aah, yaa... ya...
terus, jangan berhenti. Aku suka sekali pagutanmu, Suto. Oouh... nikmatnya
bukan main. Aaah "
Sambil menghamburkan kata-kata
yang menjadi ungkapan dari perasaannya, Andani meremas pundak Suto makin kuat.
Bahkan tanpa disengaja ia telah membuat baju Suto mengendor ke lengan, akhirnya
baju itu dilepaskan olehnya. Suto membiarkan bajunya dilepas oleh Andani.
Tetapi tangannya yang merangkul pinggang Andani akhirnya menemukan ujung
pengikat. Tangan Suto melepaskan ujung kain pengikat dan kain penutup bagian
bawah Andani pun jatuh terkulai di kaki perempuan itu.
Dengan masih seperti bayi yang
kehausan, Suto Sinting merayapkan kedua tangannya ke bagian belakang tubuh
Andani. Tangan itu akhirnya mengelus pinggul, lalu meremas bagian yang
menggunduk sekal di sekitar pinggul itu.
"Ooh, Suto... aku senang
sekali kau perlakukan begini. Ooh...
bikin aku semakin
melayang-layang lagi, Suto...," ucap Andani seperti bocah kecil merengek.
Ciuman Suto Sinting mulai
merayap turun setelah kedua bukit di
dada Andani tersapu habis
seluruhnya. Andani sendiri yang meminta agar kecupan Suto turun ke bawah dengan
menekan kepala Suto agar turun ke bawah.
"Terus, terus...! Uuh...
terus ke bawah, Suto. Oh yaa... ya di
situ,
Suto! Bikin
aku lebih indah
lagi...." Lalu ia
memekik, "Aaaah !
Sutooo.... Oh, ya... kau
pintar sekali melambungkan jiwaku yang, ooouuh...!" Ia meremas rambut
kepala Suto kuat-kuat karena merasakan keindahan yang hampir mendekati
puncaknya.
Andani menaikkan kaki kanannya
ke atas batu yang setinggi perut
itu. Suto Sinting berlutut dan
seakan pintu kehangatan telah dibuka lebar-lebar oleh
Andani, sehingga kecupan
dan sapuan lidah Suto dapat bergerak dengan lebih bebas
lagi.
Rupanya perempuan itu
mempunyai tato gambar kupu-kupu di paha kirinya. Tato itu tadi sempat dilirik
Suto saat sebelum kemunculan Singaloya. Menurut penglihatan Suto, tato
kupu-kupu itu dalam ukuran kecil. Tapi
sekarang Suto melihat tato kupu-kupu itu menjadi besar dan sayapnya melebar.
Rupanya tato itu bukan
sembarang tato. Ia dapat mekar dan mengecil sesuai dengan gairah Andani. Jika gairah
perempuan itu masih kecil, maka tato gambar kupu-kupu itu tetap kecil. Tapi
jika gairah Andani semakin besar, maka tato kupu-kupu itu pun menjadi lebar.
Tato itu sekarang disapu oleh
lidah Suto dengan gerakan pelan sekali. Andani memekik kegirangan.
"Aaow...!"
Suto berhenti dan mendongak.
"Sakit...?!"
"Tidak, Sayang, itu
tempat yang pailng nikmat untuk dikecup.
Lakukan lagi, Sayang. Lakukan
lebih lama lagi. Aaooww...!"
Andani memekik lagi, karena
belum selesai bicara lidah Suto Wah menyapu tato tersebut. Rupanya memang benar
apa kata perempuan itu, semakin lama tato itu dikecup atau disapu dengan lidah,
Andani semakin memekik keras bagai dihujam seribu kenikmatan. Pendekar Mabuk
mencoba menggigit pelan tato itu, Andani kian liar, teriakannya dan remasan
tangannya bagai orang sedang menahan sesuatu yang ingin meledak bersama
keindahannya
Tangan Suto akhirnya tak mau
tinggal diam di pinggul. Tangan itu merayap dan jarinya mulai berani memasuki
gerbang kemesraan Andani.
"Oooh, oooh... teruskan,
Suto! Aku suka yang begini, ooh...!
Indah sekali, Suto. Indah
sekaliii...!"
Napas Andani terengah-engah,
ia masih bertahan untuk tetap berdiri dengan satu kaki, sementara pinggulnya
pun meliuk-liuk mengikuti irama keindahan. Tangan Suto masih menari di gerbang
kemesraan Andani dan semakin lincah lagi, sementara tato kupu- kupu itu masih
pula dipagut-pagut serta digigit-gigit kecil oleh Suto. "Sutooo, oouh...
Sayang, aku mau... aku
mau sampai, Sayang.
Terus, terus... lebih cepat
lagi, Suto. Ooouh, oouh.... Aaaahk...!" Andani memekik
panjang. Sekujur tubuhnya
mengejang kaku.
Kepalanya mendongak dengan
mata terpejam kuat-kuat. Rupanya ia telah mencapai puncak keindahannya sebelum
Suto Sinting menggunakan dayungnya untuk mengayuh perahu cinta. Mereka belum
berlayar, tapi Andani sudah mencapai puncak pelayaran lebih dulu. Jika bukan
karena kepandaian Suto dalam memainkan irama kemesraan, tak mungkin perempuan
itu mencapai puncak kemesraan lebih dulu.
Kini tubuh Andani basah oleh
keringat. Tapi ia tak mempedulikannya. Ia masih menyukai jurus-jurus kemesraan sebelum keduanya berlayar dengan
perahu cinta. Bahkan Suto Sinting
ternyata mampu membuat perempuan itu melambung tinggi- tinggi mencapai puncak
kemesraannya beberapa kali. Tak heran jika suara pekikan dan erangan Andani
membuatnya menjadi serak dan parau.
"Cukup, Suto! Cukup...!
Kau harus menikmati seperti apa yang kurasakan! Ooh, berdirilah, Sayang...! Aku
ganti akan melambungkan jiwamu ke langit-langit asmara "
Suto Sinting bangkit berdiri,
bersandar pada batu setinggi perut. Andani lebih dulu menerjang bibir Suto.
Bibir itu dilumat hingga lama, dan gairah Suto menjadi berkobar-kobar. Lalu,
lidah Andani pun menyusuri dagu, hingga mencapai leher. Di sana ia memagut-
magut lembut, menimbulkan rasa syur di hati Suto Sinting.
Gerakan bibir itu makin lama
semakin liar. Pagutan Andani bagai seekor singa yang buas. Dada Suto pun
menjadi sasaran berikutnya. Andani bagai seorang bayi yang kehausan dan rakus.
Suto Sinting bagai seorang ibu yang membiarkan bayinya minum dengan sepuas-
puasnya, ia hanya mengusap-usap kepala perempuan itu sambil sesekali meremas
karena menahan desiran kenikmatan.
Akhirnya ciuman Andani turun
terus ke bawah dan perempuan itu menemukan pusat keindahan Suto. Ia meremasnya dengan
kepala mendongak ke atas, menyunggingkan senyum kegirangannya.
Namun baru saja Andani ingin
berlutut, tiba-tiba gua itu terasa bergetar. Suara gemuruh terdengar
samar-samar bagai datang dari luar gua. Mereka sama-sama terkejut, bahkan
Andani segera bangkit dan terduduk dengan mata melebar memandang Suto Sinting.
"Ada apa itu?!"
"Entahlah! Sepertinya
terjadi ledakan dahsyat di atas tebing ini." Gleeerrr...!
Gua berguncang semakin hebat.
Langit-langit gua bagaikan mau runtuh. Mau tak mau Andani dan Suto Sinting
sama-sama bergegas mengenakan pakaiannya kembali.
"Jika langit-langit gua
ini runtuh, kita bisa mati tertimbun di sini!" ujar Pendekar Mabuk sambil
berkemas untuk keluar dari gua.
"Suto, tunggu...!"
Andani terburu-buru mengenakan pakaiannya.
Kemudian ia menyusul Pendekar
Mabuk yang sudah berada di mulut gua.
"Kita periksa dulu apa
yang terjadi di atas tebing ini!" ujar Andani dengan penuh semangat.
Kemudian mereka berdua melesat tinggalkan gua itu dan mendaki tebing dengan
cara melompat bagaikan seekor tupai.
Tab, tab, tab, tab, tab...!
Dalam sekejap saja mereka
sudah sampai ke atas tebing. Ternyata bagian atas tebing itu merupakan tempat
yang jarang ditumbuhi pohon dan banyak bebatuan yang berserakan di sana-sini
dalam ketinggian masing-masing. Ada yang tingginya seukuran tinggi tubuh Suto, tapi ada pula yang dua
kali tinggi ukuran tubuh Suto.
"Aku tak melihat ada
pertarungan di sini!" ujar Andani.
"Coba kita cari di
sebelah sana!" sambil Suto
mendahului bergerak ke arah yang dimaksud.
*
* * 6
DUGAAN Suto benar. Di tempat
yang tampak masih mengepulkan asap itu terjadi pertarungan. Namun agaknya
pertarungan itu sangat tak seimbang.
Pendekar Mabuk terkejut ketika
melihat siapa yang bertarung di situ. Seorang perempuan berusia sekitar dua
puluh lima tahun melawan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Perempuan yang tampak masih lajang itu
sangat berang kepada si pemuda yang mengenakan baju kuning dan celana hitam
berikat kepala kuning merah. Pemuda bertubuh tak terlalu kurus itu mempunyai
kulit gelap dan wajahnya masih kelihatan polos.
"Mahesa Gibas...?!"
Suto Sinting nyaris terpekik begitu mengenali pemuda itu.
Mahesa Gibas sedang diserang
oleh perempuan muda yang berpakaian serba merah itu. Tendangan si perempuan
kenai punggung Mahesa Gibas, membuat
pemuda itu terpental dan berjungklr balik.
"Edan! Tentu saja ia
dapat menghajar Mahesa Gibas, karena Mahesa Gibas tak mempunyai ilmu yang
cukup. Akulah tandingannya!" ujar Suto Sinting sambil ingin melompat dari
balik semak. Tapi tangannya segera dicekal oleh Andani.
"Tak perlu ke sana. Aku
tahu perempuan itu adalah orang
Tanjung Leak, murid si Gincu
Barong!"
"Tapitemanku itu akan
celaka jika dibiarkan saja!" "Akan kuselesaikan dari sini demi
temanmu!"
Andani membuktikan kata-katanya, ia melepaskan
pukulan jarak
jauh berupa sinar merah
seperti ujung tombak yang keluar dari ujung telapak tangannya. Clapp...! Satu
sinar merah terbang cepat dan dengan telak menghantam tubuh perempuan
berpakaian serba merah yang sedang ingin menerjang Mahesa Gibas dengan
lompatannya itu.
Blarrr...!
Mahesa Gibas terperangah dan
memekik kaget, ia melihat lawannya pecah menjadi beberapa bagian akibat
dihantam sinar merah tadi. Nasib perempuan itu seperti yang dialami Singaloya.
Menyedihkan, sekaligus mengerikan. Mahesa Gibas mematung di tempat karena
dicekam perasaan kaget yang mengerikan.
"Beres, kan?!" ujar
Andani sambil tersenyum pandangi Suto. "Seharusnya kau tak perlu gunakan
jurus mautmu itu." "Sudahlah, jangan mengecam! Hampiri temanmu
itu!"
Pendekar Mabuk pun segera
hampiri Mahesa Gibas, sedangkan Andani masih tetap di balik semak-semak.
"Mahesa...!" sapa
Suto Sinting.
"Haah...?! Sutooo?!"
Mahesa Gibas makin terperangah, bahkan sempat terpekik keras karena girangnya.
Ia pun berlari dan menghamburkan pelukan kepada Suto Sinting.
"Sutoo... ooh, untung aku
bisa bertemu denganmu lagi. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa nasibku nanti.
Mungkin aku akan bunuh diri di bawah pohon toge!" pemuda itu terharu dalam
kegembiraannya.
"Di mana Perawan
Sinting?"
"Aku tak tahu. Aku tak
bertemu dengannya. Aku justru bertemu dengan perempuan itu."
"Mengapa kau dihajar oleh
perempuan Itu?"
"Dia... dia ingin minta
dicumbu. Ak... aku sudah mencumbunya. Tapi dia minta lebih dari sekadar
dicumbu. Aku tak mau, karena hatiku sedang sedih dan bingung memikirkan nasib
kita. Rupanya perempuan itu marah, ia menunjukkan kehebatan ilmunya dengan
menghantam pohon besar itu yang langsung meledak dan menjadi serpihan kayu
seperti yang kau lihat itu "
Pendekar Mabuk memperhatikan
serpihan kayu yang berceceran ke berbagai arah. Rupanya ledakan itulah yang
tadi mengguncangkan hingga terasa sampai di dalam gua.
"Dia menakut-nakutiku
dengan cara begitu. Tapi aku tetap tidak mau memberikan kenikmatan yang
dimintanya."
"Kenapa tak kau layani
saja?" pancing Suto.
"Aku aku tidak punya kemampuan, karena hatiku masih gelisah
dan memikirkan
kau serta Perawan Sinting. Apa yang ia harapkan tak bisa bangun,
sehingga ia semakin marah padaku, lalu aku dihajarnya...," sambil ia
menunjukkan wajahnya yang babak belur.
Pendekar Mabuk justru tertawa
melihat Mahesa Gibas bonyok begitu.
"Kasihan. Minumlah tuakku
ini!"
Mahesa Gibas buru-buru meminum
tuak, dan rasa sakit dan luka- lukanya segera hilang dalam waktu singkat.
"Padahal kalau aku mau
melayaninya, aku akan diajak menemui gurunya dan akan dijadikan murid si guru
itu," kata Mahesa Gibas.
"Siapa guru yang dimaksud
itu?"
"Kalau tak salah ia
menyebutkan Nyai Gincu Barong."
"Hmmm... kalau begitu apa
kata Andani memang benar. Dia orang Tanjung Leak, anak buah Nyai Gincu
Barong."
"Andani? Siapa Andani
itu, Suto?!"
"Seorang teman baru. O,
ya... Ikut aku, Mahesa! Kukenalkan kau kepada Andani!"
Sambil melangkah menuju balik
semak tempat Andani
bersembunyi, Mahesa Gibas
bercerita tentang saat-saat ia terdampar di sebuah pantai dalam keadaan
terjepit karang. Untung ia berhasil melepaskan diri dari jepitan karang itu
walau siku dan pahanya sempat robek. Tapi luka itu kinitelah tiada sejak
meminum tuak Suto tadi.
Pendekar Mabuk berseru sebelum
mencapai semak-semak. "Andani...! Keluarlah, temanku ini ingin berkenalan
denganmu!"
Tetapi Andani tak menjawab.
Bahkan Suto Sinting tak melihat ada gerakan di balik semak-semak itu. Mahesa
Gibas pun diajak menerobos semak untuk menemui Andani. Tetapi Andani tidak ada di tempatnya semula.
"Andani...?!
Andani...!!" seru Suto sambil memandang ke sana- sini.
"Andani itu perempuan
atau lelaki, Suto?"
"Perempuan cantik dan
bertubuh mulus menggairahkan. Kau pasti akan suka memandanginya."
"Jika dibandingkan kecantikan Perawan Sinting, mana yang lebih
unggul?"
"Keduanya sama-sama
cantik. Tapi... terus terang aku lebih suka Perawan Sinting. Hmmm... di mana si
Andani tadi!" Suto pun berseru
kembali sambil badannya memutar pelan-pelan.
"Andanii...?! Hai, di
mana kau, Andani?!"
Tetap saja tak ada jawaban.
Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya di sekitar tempat itu. Mahesa Gibas diam
menungu sambil clingak- clinguk.
Kejap kemudian Pendekar Mabuk
kembali dekati Mahesa Gibas dengan napas terhempas. Mahesa Gibas memandang
dengan dahi berkerut.
"Manatemanmu itu,
Suto?"
"Entahlah. Tadi dia ada
di sini. Mengapa sekarang pergi?"
Suto pun membatin,
"Apakah dia sengaja menghindariku? Atau karena ia melihat lawannya dan
segera kabur?! Hmmm... ke mana si Andani? Oh, ya... mungkin ia kembali ke gua
dan menungguku di sana."
Mahesa Gibas segera berkata,
"Suto, kata Tunawi, perempuan yang ingin memperkosaku tadi, di tempat ini
ada sekelompok manusia pemakan orang. Mereka tinggal di padepokan dan mempunyai
perguruan sendiri yang bernama Perguruan Pantai Porong! Hati-hatilah jika kau
bertemu dengan orang Perguruan Pantai
Porong."
"Ah, siapa bilang?!"
"Tunawi! Orang Pantai
Porong katanya selalu bersikap baik lebih dulu. Tapi pada akhirnya kita akan
disembelih seperti kambing dan dimakan mentah-mentah!"
"Tunawi berbohong! Justru
aku diselamatkan dan ditolong oleh orang-orang Perguruan Pantai Porong! Aku
kenal mereka dan aku ada di pihak mereka."
"Lho, tapi kenapa Tunawi
berkata begitu?"
"Tentu saja Tunawi
berkata begitu. Karena Tunawi orang Tanjung Leak. Ketahuilah, Mahesa... orang
Tanjung Leak sedang bermusuhan dengan orang Pantai Porong."
Mahesa Gibas menggumam.
"Lalu, bagaimana dengan rencana kita? Sang Adipati pasti menunggu hasil
kerja kita. Beliau tak mau kehilangan menantunya; Rama Jiwana itu."
"Kita memang akan
lanjutkan perjalanan. Tapi kudengar negeri Samudera Kubur telah hancur dan si
Bayangan Setan sudah tidak tinggal di Pulau Blacan lagi."
"Ah, kata siapa?!"
Mahesa bersungut-sungut. "Baru beberapa hari
yang lalu dia menyerang
kadipaten dan menyuruh anak buahnya pulang ke Samudera Kubur, kenapa sekarang
kau bilang Samudera Kubur telah hancur? Si Bayangan Setan itu bukan orang yang
mudah dilumpuhkan, Suto."
"Aku pun sependapat denganmu.
Tapi keterangan ini kudapatkan dari orang yang bisa kupercaya juga, yaitu ketua
Perguruan Pantai Porong yang bernama Eyang Panembahan Pancalingga. Dia tak
mungkin berkata bohong, Mahesa. Bahkan menurutnya, kehancuran Samudera Kubur
terjadi delapan tahun yang lalu."
"Semakin tak masuk
akal!" gumam Mahesa Gibas dengan lagaknya yang sok tahu. "Sudah, tak
perlu hiraukan kata-kata itu. Sekarang sebaiknya kita cari perahu baru untuk
lanjutkan perjalanan ke Pulau Blacan!"
"Nanti dulu. Aku harus
temukan Perawan Sinting dulu. Aku harus tahu bagaimana nasibnya. Aku tak mau
meninggalkan Perawan Sinting sebelum kuketahui nasibnya! Dan lagi "
Kata-kata Suto terhenti oleh
suara ledakan yang menggelegar di sebelah barat, ia dan Mahesa Gibas saling
pandang dengan sedikit tegang.
"Ada pertarungan di
sana!"
Mahesa Gibas menimpali,
"Ya. Jangan-jangan si Perawan Sinting yang bertarung dengan orang Tanjung
Leak?!"
"Celaka! Aku harus segera
ke sana!" Zlappp ! "Heii...! Tunggu aku, Suto!"
Mahesa Gibas tertinggal karena
Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Mau tidak mau Suto hentikan langkah dan
harus menyesuaikan gerakan Mahesa Gibas, karena ia tak mau kehilangan teman
satu pemberangkatan itu.
Ternyata pertarungan itu
terjadi antara Mahayuni dan dua orang
berpakaian serba hitam. Dua
lelaki berpakaian serba hitam itu mengenakan ikat kepala merah dan yang satunya
hijau. Mereka berbadan kekar dan tinggi, usia mereka rata-rata sekitar tiga
puluh tahunan.
Mahayuni tampak terdesak oleh
tendangan si ikat kepala hijau itu.
Tendangan itu sangat cepat
datangnya, seakan seperti angin yang tak dapat dilihat.
Mahayuni berusaha menangkisnya
beberapa kali, tapi akhirnya dadanya menjadi sasaran empuk kaki tersebut. Druk,
duk...!
"Aahk...!" Mahayuni
terlempar ke belakang dalam keadaan melayang. Brruk...! Ia jatuh terbanting
begitu saja.
Sementara lelaki berikat
kepala merah melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bersinar merah dengan asap
tipis menyertainya. Weesss...!
Pada saat itu, Mahayuni baru
saja akan bangkit. Tiba-tiba ia harus menghadapi sinar merah yang sudah ada di
depan matanya. Mahayunitak punya waktu untuk berkelit atau menangkisnya.
Blarrr...!
Sinar merah itu pecah dan
timbulkan ledakan yang melemparkan tubuh Mahayuni lagi. Seandainya tak ada
sinar hijau dari arah kiri yang menghantam sinar merah itu, sudah pasti
Mahayuni akan kehilangan nyawanya. Tetapi dengan munculnya sinar hijau yang
menghantam sinar merah itu, Mahayuni hanya terlempar ke belakang dan
berguling-guling beberapa saat.
"Keparat! Ada yang mau ikut
campur urusan kita, Bedana!" geram lelaki berikat kepala merah kepada
lelaki berikat kepala hijau yang ternyata bernama Bedana itu. "Serang dia,
dan aku akan menyerang perempuan kotor itu, Gambra!" seru si ikat kepala
hijau kepada yang berikat kepala merah, yang ternyata bernama Gambra itu.
Bedana segera mencabut
goloknya dan lakukan lompatan bersalto beberapa kali untuk dekati Mahayuni.
Sementara itu, Gambra melepaskan sinar merahnya lagi ke arah kerimbunan semak.
Clapp...!
Namun pada saat itu Pendekar
Mabuk muncul dengan bumbung tuak telah berada di tangan. Wess...! Satu lompatan
Suto membuat sinar merah itu segera menghantam bumbung tuak yang dipakai untuk
menangkis.
Tubbs, weng...! Sinar merah
itu berbalik arah dalam keadaan
lebih besar dan lebih cepat.
Sementara itu, bumbung tuak Suto tidak mengalami cedera atau lecet sedikit pun.
Gambra terkejut melihat sinar
merahnya menuju ke arahnya dalam keadaan
lebih besar dan lebih cepat, ia terpaksa melompat tinggi dan bersalto di udara.
Wess...!
Sinar merah itu memang tak
jadi kenai tubuh Gambra. Namun sinar merah besar itu meluncur terus ke belakang
Gambra di mana Bedana sedang ingin mengibaskan goloknya ke kepala Mahayuni.
Pada saat itulah, sinar merah
tersebut menghantam punggung
Bedana. Jedarrr...!
"Aaaaa...!!" Bedana
menjerit sekeras-kerasnya, ia berlari ke sana- sini dalam kedaan tubuhnya
dibungkus api. Rupanya sinar merah dari
Gambra adalah sihar pembakar tubuh yang mestinya hanya membuat lawan hangus
bagian dalamnya. Tapi karena sinar merah
itu menjadi lebih besar dua kali lipat, maka akhirnya sinar merah itu bukan
saja membakar bagian dalam tubuh Bedana, namun juga membakar sekujur tubuhnya.
"Bedana...?!!"
teriak Gambra dengan tegang, ia sangat terkejut melihat temannya terbungkus api
sebesar itu. Ia kebingungan memadamkannya, sementara Bedana berguling-guling di
rerumputan dengan jeritan yang menyayat hati.
"Kasihan...!" gumam
Suto Sinting. Lalu, tuak pun ditenggaknya. Se bagian ditelan, sebagian lagi
disimpan dalam mulut.
Zlapp...!
Dengan gerakan cepat, Pendekar
Mabuk tahu-tahu sudah ada di dekat Bedana yang meraung-raung. Tuak dalam mulut
itu segera disemburkan untuk padamkan kobaran api. Api padam seketika. Tapi
tubuh Bedana sudah telanjur hangus, ia menghabiskan sisa napasnya sebentar,
kemudian tak berkutik lagi selama-lamanya. Gambra memekik keras penuh murka
melihat temannya tewas. Pekikan keras itu merupakan ungkapan rasa penyesalannya
terhadap serangannya tadi yang akhirnya kenai teman sendiri, dan juga ungkapan
kemarahannya kepada Suto Sinting.
"Kau telah membunuh
temanku, Bangsaaat...! Heeeaaahh...!" Gambra melompat sambil cabut
goloknya. Golok itu ditebaskan ke arah dada Suto Sinting. Wuuttt....
Suto Sinting menangkisnya
dengan bumbung tuak. Trrang ! Tapi
dari arah samping kanan
Gambra, melesat sinar biru kecil yang langsung menghantam pinggang lelaki itu.
Clapp...! Jrass !
"Aaahk...!" Gambra
memekik sambil tumbang ke tanah. Sinar yang datang dari Mahayuni itu membuat
pinggangnya hangus dan seluruh badannya terasa mengering.
"Bangsat! Awas kalian
nanti! Aku akan datang lagi menuntut balas. Tunggu saatnya yang terbaik!"
Gambra akhirnya larikan diri.
Ia tak sanggup melawan Mahayuni dan Pendekar Mabuk dalam keadaan terluka
begitu. Mahayuni mau mengejar dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak
jauh. Tapi Pendekar Mabuk segera merentangkan tangan dan berseru kepada
Mahayuni.
"Tahan!" Ia
mendekati perempuan yang tak jadi lepaskan
pukulannya itu.
"Dia sudah lemah. Tak
perlu diserang lagi!"
"Tapi dia mengancam ingin
membalas kekalahannya ini!" "Biar aku yang berurusan dengannya
nanti," ujar Suto Sinting.
* * *
7
PENDEKAR Mabuk dan Mahesa
Gibas dibawa ke padepokan oleh Mahayuni. Orang-orang padepokan yang sedang
mencari Suto Sinting ditarik kembali. Mereka diperintahkan untuk melakukan
penjagaan lebih kuat lagi, karena orang-orang Tanjung Leak tampaknya semakin
gencar lagi lakukan penyerangan secara bertahap.
Suto ceritakan pertemuannya
dengan perempuan cantik yang bernama Andani. Tapi Eyang Panembahan dan para
muridnya tak ada yang pernah mengenal nama Andani.
"Di seluruh Pantai Porong
dan sekitarnya, tak ada wanita yang bernama Andani dengan ciri-ciri yang kau
sebutkan tadi," kata Eyang Panembahan. "Kurasa dia bukan orang
sini."
"Tapi mengapa memihak
kita, Eyang? Dia membunuh dua orang Tanjung Leak; pertama Singaloya dan kedua
perempuan yang hendak membunuh Mahesa Gibas itu!" ujar Suto.
"Berarti kita punya satu
kekuatan lagi untuk melawan Nyai Gincu
Barong," sela Mahayuni.
Si kecil Rahisan menyahut,
"Jangan buru-buru menilai begitu. Siapa tahu dia lakukan hal itu
semata-mata hanya ingin dipuji oleh Suto? Biasa, cari perhatian!"
Percakapan malam itu terhenti
seketika karena kemunculan seorang murid yang bernama Argayosan. Ia adalah
mata-mata yang ditugaskan menyusup ke Tanjung Leak dan mempelajari kekuatan
serta rencana-rencana Nyai Gincu Barong. Kedatangan Argayosan disambut baik
oleh Eyang Panembahan. Hampir seluruh murid berkumpul mendekati Argayosan untuk
mendengar kabar yang dibawanya.
"Kabar apa yang kau peroleh
dari Tanjung Leak, Argayosan?" tanya Eyang Panembahan kepada pemuda
berambut ikal dan berpakaian abu-abu itu.
"Nyai Gincu Barong murka,
Eyang. Dua orangnya ditemukan tewas dalam keadaan pecah raganya. Salah satu
orang yang tewas itu adalah Singaloya, orang andalan sang Nyai sendiri. Maka
Nyai pun merencanakan akan menyerang kita esok siang dari arah timur!"
jawab Argayosan dengan wajah masih agak tegang.
"Tapi mereka yang tewas
dengan raga terpisah itu bukan oleh perbuatan orang-orang kita, Argayosan."
"Nyai Gincu Barong tak
mungkin mau percaya, Eyang, ia tetap
saja menuduh pihak kita yang
melakukannya."
"Hmmm...," Eyang
Panembahan manggut-manggut sambil menggumam. "Jadi ia akan menyerang dari
timur esok siang?"
"Benar, Eyang. Terutama
setelah menggantung tawanannya pagi
hari."
"O, Gincu Barong punya
tawanan?! Apakah tawanan itu dari pihak kita?"
"Bukan, Eyang,"
jawab Argayosan dengan tegas. "Saya yakin dia
bukan orang kita, Eyang. Saya
sendiri merasa asing melihat perempuan itu."
"Seorang perempuankah
tawanan itu?"
"Benar, Eyang. Tapi Nyai
Gincu Barong tetap menuduh perempuan itu orangnya kita, Eyang. Perempuan itu
dituduh sebagai mata-mata dari pihak kita, sehingga disiksa sedemikian rupa
agar mengaku. Tapi perempuan itu tetap mengaku bukan orang Perguruan Pantai
Porong dan tidak mengenai Eyang Panembahan Pancalingga serta yang
lainnya."
Pendekar Mabuk termenung,
sebentar. Dahinya mulai berkerut begitu mendengar tawanan perempuan itu mengaku
tidak mengenal Eyang Panembahan dan yang lainnya. Mulailah timbul kecurigaan di
hati Pendekar Mabuk, hingga ia beranikan diri untuk ajukan tanya kepada
Argayosan.
"Siapa nama perempuan
itu?"
"Kudengar ia mengaku
bernama Perawan Sinting." "Hahh...?!"
Wajah si Pendekar Mabuk
menjadi merah seketika. Mahesa Gibas hanya mendelik dan membuka mulutnya.
Mahayuni saling pandang dengan Rahisan, sementara Eyang Panembahan Pancalingga
hanya menarik napas sebagai ungkapan rasa kagetnya.
"Eyang," kata Suto
Sinting. "Sekarang juga aku akan pamit pergi
ke Tanjung Leak!"
"Jangan sekarang, Nak Mas
Pendekar."
"Aku tidak ingin temanku
itu mati di tangan Nyai Gincu Barong." "Benar. Aku pun tak ingin
Perawan Sinting, temanmu itu menjadi korban kebrutalan si Gincu Barong. Tetapi
ada saatnya sendiri untuk melakukan pembebasan itu. Malam ini bukan saat yang
baik. Banyak rintangannya. Karena pada malam hari tentunya pihak Tanjung Leak
mempertinggi penjagaan keamanan mereka. Tentunya keamanan itu dilakukan secara
berlapis-lapis, dan mereka yang berjaga-jaga dalam keadaan waspada tinggi pula.
Tapi jika menjelang fajar tiba, pertahanan mereka akan mulai mengendur. Kurasa
kita bisa melumpuhkan mereka dengan mudah di saat mereka dihinggapi
kelelahan dan rasa
kantuk."
Mahayuni menimpali, "Aku
setuju untuk lakukan penyerangan menjelang fajar tiba. Akan kubawa beberapa
orang kami yang pandai lakukan penyusupan, termasuk Argayosan sendiri."
Pendekar Mabuk mendesah karena
gelisah. Bayangan Perawan Sinting dalam keadaan tersiksa semakin muncul di
benaknya dan membuat Pendekar Mabuk bertambah tak sabar lagi untuk menunggu
sampai menjelang fajar. Sekalipun Eyang Panembahan sudah berikan penjelasan dan
bujukan macam-macam, tapi kegelisahan itu tak bisa hilang dari hati Pendekar
Mabuk, ia tak rela jika sampai Perawan Sinting mati di tangan Nyai Gincu
Barong.
Maka setelah lewat tengah
malam, Suto Sinting nekat keluar dari padepokan dengan cara mengendap-endap.
Tanpa pamit siapa pun, tanpa diketahui oleh siapa pun, ia melesat pergi menuju
Tanjung Leak. Sebelumnya ia sudah lakukan percakapan empat mata dengan
Argayosan tentang keadaan di Tanjung Leak, termasuk tempat- tempat rawan yang
mudah diterobos, dan tempat di mana Perawan Sinting ditawan. Argayosan
menjelaskan segalanya, tapi ia juga mengingatkan agar Suto Sinting menuruti
saran Eyang Panembahan. Suto berlagak setuju dengan saran tersebut, agar tidak
timbulkan perdebatan terlalu lama.
Karenanya, ketika ia pergi
meninggalkan padepokan menuju Tanjung Leak, ia sudah tahu jalan mana yang harus
diambilnya agar sampai ke Tanjung Leak. Pada waktu ia meninggalkan padepokan,
sang rembulan masih tersisa di langit, hingga cahayanya cukup lumayan untuk
menjadi penerang jalan.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Gerakan Suto seperti anak panah menerabas semak dedaunan. Kecepatan geraknya
memang luar biasa. Dalam waktu tak terlalu lama, ia akan sampai di perbatasan
Tanjung Leak.
Tetapi sebelumnya, langkah itu
terpaksa dihentikan karena mata Suto melihat bayangan yang bergerak di
sela-sela pepohonan samping kanannya, ia
segera merunduk, sembunyikan diri dan memperhatikan bayangan yang bergerak di
bawah pohon dalam keremangan cahaya rembulan yang terhalang dedaunan itu.
"Sepertinya aku pernah
melihat perempuan itu?!" pikir Suto
Sinting. "Hmmm... coba
kulihat lebih dekat lagi. Apa yang dilakukan perempuan itu di sana?"
Bayangan itu memang bayangan
seorang perempuan yang mempunyai rambut panjang terurai, tapi tak jelas wajah dan pakaiannya. Perempuan itu
sedang melakukan kegiatan di bawah pohon, sepertinya sedang menikmati hidangan
yang menggairahkan.
Ketika Pendekar Mabuk berhasil
melesat ke atas pohon tanpa suara, dan ia melompat dari pohon ke pohon
menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka sampailah ia di tempat yang paling
dekat dengan perempuan itu. Ia memandang dengan jelas apa yang dilakukan oleh
si perempuan, dan ia pun tahu siapa perempuan itu sebenarnya.
Pendekar Mabuk terkejut dan
menggumamkan nama dalam hati, "Andani...?!" Matanya tak mau berkedip
melihat apa yang dilakukan oleh Andani. Justru apa yang dilakukan Andani itulah
yang membuat Suto Sinting semakin terkejut dan nyaris ingin terpekik dengan
suara keras.
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk menutup mulutnya sendiri agar tak timbulkan suara. Namun sekujur tubuhnya
menjadi gemetar melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Rupanya Andani bertemu dengan
seorang lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Lelaki itu kini dalam
keadaan terbaring tanpa busana. Agaknya Andani habis bercumbu dengan lelaki itu
dan menikmati puncak kemesraan secara bersama-sama.
Tetapi yang membuat Suto
hampir muntah adalah tindakan Andani berikutnya. Entah bagaimana caranya,
lelaki yang telah dijadikan pemuas dahaga itu dibunuh oleh Andani. Lelaki itu
bukan hanya dibunuh saja, melainkan juga dimakan secara rakus. Pendekar Mabuk
tak berani menggambarkan bagaimana caranya Andani menggigit bagian perut lelaki
itu, dan bahkan tampaknya Andani juga memakan 'jimat kejantanan' lelaki
tersebut dengan lahapnya. Tentu saja hal itu membuat sekujur tubuh Suto merinding
dan gemetar.
"Tak kusangka dia seorang
perempuan pemakan daging manusia?!" gumam hati Suto bernada tegang.
"Oh, seandainya pada waktu di dalam gua itu aku jadi berkencan dengannya,
mungkin setelah ia memperoleh kepuasan maka aku akan dimakannya seperti lelaki
itu? Hiih...! Cantik-cantik tapi menyeramkan sekali kegemarannya."
Pendekar Mabuk tak berani
terlalu lama menyaksikan, adegan mengerikan itu. Ia segera tinggalkan Andani
dengan tanpa timbulkan suara. Untuk sementara Andani dilupakan. Suto lebih
memusatkan perhatiannya kepada nasib Perawan Sinting di tangan Nyai Gincu Barong.
Saat mendekati perbatasan
Tanjung Leak, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat dari arah depan Suto. Mau
tak mau gerakan Suto dihentikan dan sinar itu segera ditangkis dengan bumbung
tuaknya. Claap...! Buuuss...!
Sinar itu tidak timbulkan
ledakan apa pun, juga tidak memantul balik ke arah semula. Sinar biru itu hanya
meletup kecil dan menyemburkan asap abu-abu.
"Hmm... siapa orangnya
yang menyerangku dari depan saja?! Pasti dia berilmu tinggi, karena serangannya
tak bisa dipantulbalikkan oleh bumbung tuakku ini!" pikir Suto Sinting
dengan mata memandang tajam. Keremangan cahaya rembulan membuat pandangan tak
mampu menembus kejauhan. Pendekar Mabuk akhirnya melesat ke atas pohon dan
mengintai dari sana.
Wuuutt...! Weesss..!
Sekelebat bayangan datang dari
arah depan. Seseorang yang berkelebat sangat cepat itu hanya bisa dilihat
seperti bayangan merah yang melintas di bawah pohon tempat persembunyian Suto
Sinting. Mau tak mau pandangan Suto mengikuti bayangan merah tersebut.
"Pasti dialah orangnya
yang melepaskan sinar biru tadi," ujarnya
membatin.
Semula Suto ingin membiarkan
orang itu lewat begitu saja. Ia ingin teruskan langkahnya menuju gerbang
Tanjung Leak. Tetapi ketika ia bergerak kembali, ternyata bayangan merah itu
telah berbalik arah. Mungkin karena tak menemukan Suto di tempat yang dituju,
orang itu kembali ke tempat semula dan pada saat itu Suto Sinting mendengar
desau angin yang mencurigakan, ia segera berbalik, dan akhirnya berpapasan
dengan orang berpakaian serba merah itu.
"Oh, rupanya kau sudah
ada di sini, Penyusup!" geram orang brewok berkepala botak dengan pakaian
serba merah. Orang itu bertubuh tinggi, besar, dan berwajah angker.
"Siapa yang menyuruhmu
malam-malam begini berkeliaran di perbatasan Tanjung Leak, hah?!" bentak
orang itu menampakkan kegalakannya. Pendekar Mabuk tetap tenang, sempat melirik
sekelilingnya. O, ternyata orang itu sendirian. "Aku ingin bertemu dengan
Nyai Gincu Barong!"
"Mau apa kau bertemu
dengan Guru malam-malam begini?!" "Menantang pertarungan
dengannya!" tegas Suto
Sinting tanpa
basa-basi lagi,
karena di benaknya terbayang keadaan Perawan
Sinting yang tersiksa seperti
yang diceritakan Argayosan itu. "Manusia jahanam! Ngelunjak sekali kau,
malam-malam
menantang guruku?! Itu sama saja
kau ingin membedah dadaku, tahu?!" bentak orang bersenjata golok besar
itu.
"Kalau kau mengartikan
begitu, terserah! Kurasa kalau memang
kau minta dibedah dadamu, aku
tak keberatan menjadi juru
bedahnya!" kata Suto tetap kalem, namun kata-katanya sengaja memancing
emosi lawan.
Orang brewok berbadan besar
itu menggeram. Matanya yang lebar
semakin lebar ketika ia melotot menampakkan kemarahannya. Pendekar Mabuk hanya
melangkah ke samping dengan pandangan mata tak pernah berkedip.
"Bocah' urap! Rupanya kau
belum tahu siapa si Bagolo ini, hah?!"
Buuhk, buhk...! Ia menepuk
dadanya sendiri. Pendekar Mabuk justru sunggingkan senyum tipis dan membatin,
"Oo... namanya Bagolo?! Nama yang lucu menurut telingaku! Tapi sesuai
dengan perawakannya yang tinggi besar itu."
"Sebaiknya urungkan saja
niatmu dan kuberi kebijaksanaan agar
kau pulang saja. Jangan sampai
murkaku tak terbendung lagi di depanmu, Anak muda! Kau bisa kehilangan nyawa
dalam tiga kedipan saja!" ujar Bagolo dengan suaranya yang besar menyeramkan itu.
"Aku sudah siap
kehilangan nyawa! Aku akan pulang kalau temanku yang kalian tawan itu
dibebaskan!"
"O, jadi kau teman si
perempuan liar bernama Perawan Sinting itu?!"
"Benar! Dan aku menuntut
pembebasan atas dirinya!"
"Kalau begitu tak ada salahnya
jika sebelum kau bikin onar, lebih baik kucabut nyawamu sekarang juga!
Heeeaah...!" Bagolo tiba-tiba menerjang tanpa diketahui kapan bergeraknya.
Brruusk...! Pendekar Mabuk menggeragap dan terpental lima langkah dari tempatnya semula. Dadanya
terasa mau jebol akibat terkena lutut Bagolo saat menerjang tadi. Bukan saja
panas, namun juga sakit sekali dipakai untuk bernapas.
Pendekar Mabuk mencoba
bertahan dalam keadaan terluka dalam,
ia bangkit kembali pada saat
Bagolo mengayunkan golok besarnya ke arah kepala Suto. Wuuut...! Zlaap...!
Pendekar Mabuk bagaikan menghilang ditelan bumi. Lenyap begitu saja, sehingga
golok besar itu tak mengenai sasaran apa pun. Bagolo kebingungan sesaat mencari
lawannya.
"Aku di sini,
Kawan!"
Bagolo kaget mendengar suara
itu dan buru-buru berpaling ke belakang. Tapi tepat ia berpaling, kaki Suto
berkelebat cepat melepaskan jurus tendangan mabuk yang sukar dihindari. Beet !
Prrok !
"Ouhff...!" Bagolo
terpental, wajahnya menjadi sasaran telak tendangan Suto Sinting itu.
Sesaat setelah
berguling-guling di tanah, Bagolo bangkit dengan satu kaki berlutut, kemudian
tangan kirinya menyentak ke depan.
"Heaaah !"
Weess...! Seberkas sinar biru
seperti tadi melesat menghantam dada Suto Sinting. Namun sebelum sinar itu
kenai dada Suto, lebih dulu kaki Suto menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting
di udara dengan cepat. Wuuukk !
Tapi tak disangka-sangka
Bagolo juga melesat ke atas menerjang
Pendekar Mabuk dengan golok
segera ditebaskan dari arah samping kanan ke kiri. Beet !
Traang...! Pendekar Mabuk
menangkis tebasan golok dengan bumbung tuaknya. Bersamaan dengan itu, kaki Suto
menendang lengan Bagolo dari bawah. Dess...! Krrak !
"Ouuh !" Bagolo memekik, tulang sikunya bagaikan patah
akibat
tendangan tadi. Goloknya sendiri terpental ke atas.
Pendekar Mabuk segera jejakkan kaki kanannya saat mereka bergerak turun.
Duuhk...! "Heehg...!" Bagolo terlempar ke belakang, goloknya melayang
turun dan segera disambar oleh
tangan Suto. Teeb...! Kini golok itu ada di tangan kiri Pendekar Mabuk.
Sekalipun Bagolo terkena
tendangan tenaga dalam Suto beberapa kali, tapi tampaknya ia tak merasa terlalu
kesakitan, ia dapat segera bangkit dan masih kelihatan segar. Bahkan kali ini
ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya dari kedua telapak tangan. Pukulan itu
berupa sinar merah yang terang yang menerjang Suto dengan cepat. Wuuuss...!
Pendekar Mabuk terpaksa
mengibaskan bumbung tuaknya dalam satu putaran ke depan. Wuuuk, blaarr...!
Kibasan itu keluarkan tenaga sakti tersendiri yang beradu dengan sinar merahnya
Bagolo. Ledakan dahsyat pun terjadi mengguncangkan tanah dan alam sekitarnya.
Bagolo dan Pendekar Mabuk
sama-sama terpental ke belakang. Namun dalam waktu singkat keduanya sama-sama
bangkit kembali.
"Bangsaaat kau, Bocah
urapan! Heeeaaah...!"
Bagolo lakukan lompatan
panjang bagaikan terbang. Kedua tangannya menyala merah seperti besi dipanggang
api. Kedua tangan itu menyentak ke depan dan keluarkan sinar merah runcing
bagaikan tombak. Clap, clap...!
Zlaap...! Pendekar Mabuk
gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk pindah tempat. Tahu-tahu ia sudah berada di
samping Bagolo, dan golok Bagolo yang ada di tangan kiri Suto itu ditebaskan
dalam satu gerakan melambung melintasi kepala Bagolo. Wuut, craas, crraas...!
"Aaaah...!" Bagolo
memekik keras dan panjang, karena dalam waktu sekejap ternyata kedua lengannya
menjadi buntung akibat tebasan golok di tangan Pendekar Mabuk tadi.
"Bangkai busuk kauuu...!
Ggrrrmm...!" Bagolo mengerang- ngerang penuh luapan murka yang membuatnya
panik sekali, ia pandangi potongan kedua tangannya yang tergeletak di tanah. Ia
pandangi lengannya yang buntung, ia menggeram seperti orang mau menangis.
"Ggrrmm...! Bagaimana
nyambungnya kalau begini, Setaaan...!! Huuuaaa...! Tanganku buntung.
Huaaa...!" Bagolo benar-benar menangis seperti anak kecil.
"Aku hanya memberi
peringatan pada gurumu agar Perawan Sinting harus segera dilepaskan. Jika
tidak, semua orang Tanjung Leak akan kubuntungi sepertimu, Bagolo!"
"Peringatan ya
peringatan, tapi tak usah pakai acara buntung- buntungan begini! Huaaa...!
Kalau begini, lantas bagaimana nanti kalau aku mau cuci muka?! Huaaa...!
Kebangetan kau, kebangetan, huaaa...!"
"Sekarang pulang dan
menghadap gurumu! Sampaikan pesanku, bahwa Perawan Sinting harus dibebaskan.
Jika tidak, gurumu yang akan kubuntungi kepalanya! Paham?!"
"Setan kau!
Huaaa...!"
"Atau kepalamu yang akan
kubuntungi lebih dulu!"
"Jangan! Huaaa...! Kalau
kepalaku kau buntungi, lantas bagaimana aku bisa sampaikan pesanmu kepada Guru.
Tolol! Huaaa... sakit!"
Bagolo masih berusaha ingin
membawa pulang potongan kedua
tangannya itu. Tapi tak ada
kemampuan untuk memegangnya, sehingga Suto pun segera berkata dengan tegas.
"Tak perlu kau bawa
potongan itu!"
"Kalau digondol kucing
bagaimana?! Huaaa...! Biar berbulu begini, tangan ini sering dipakai untuk
mengusap-usap dada si Darmasih, istri mudaku!"
"Cepat pulang dan beri
tahukan kepada gurumu!"
"Iyaa... iyaa...!"
Bagolo ketakutan ketika Pendekar Mabuk mulai angkat golok besar itu lagi.
Bagolo akhirnya berlari meninggalkan potongan tangannya sambil berseru dalam
tangis.
"Awas kau! Tunggu
pembalasan dari guruku! Bukan tanganmu
yang akan kubuntungi, tapi
nyawamu juga akan dibuntungi. Huaaa... nasib, nasib. Huaaa...!" Pendekar
Mabuk hempaskan napas kelegaan. Golok besar segera dibuang, ia menenggak
tuaknya untuk obati luka terjangan Bagolo tadi.
*
* *
8
TANJUNG Leak menjadi gempar
setelah Bagolo tiba di sana dalam keadaan kedua tangan buntung. Padahal Bagolo
adalah termasuk orang andalan Nyai Gincu Barong. Tentu saja sang Nyai menjadi
murka melihat Bagolo dibuntungi lawan.
"Siapa yang
melakukannya?!"
"Anak muda, Guru! Anak
muda sekali!" jawab Bagolo sambil menyeringai antara sedih dan takut.
Nyai Gincu Barong yang
mengenakan jubah merah hitam
bertepian benang emas itu menggeletukkan
gigi, menahan murka yang ingin meledak. Wajahnya yang masih tampak muda seperti
baru berusia tiga puluh tahunan itu, kelihatan memancarkan api kemarahan yang
ingin segera dilampiaskan. Dalam hatinya perempuan berambut disanggul dengan
tubuh sekal dan masih tampak montok itu
berkata membatin,
"Jika Bagolo saja
berhasil dibuntungi tangannya, berarti anak muda itu berilmu lebih tinggi dari
Bagolo!"
Saat itu, Bagolo segera
sampaikan pesan Suto Sinting.
"Dia menghendaki supaya
temannya dibebaskan. Gadis yang mengaku bernama Perawan Sinting itu adalah
teman anak muda itu, Guru! Dia juga ingin menantang pertarungan dengan Guru
jika Perawan Sinting tidak dibebaskan!"
"Keparat! Berani betul
dia sesumbar begitu?!" geram Nyai Gincu Barong yang berbibir merah lebar
namun mengundang ajakan untuk bercumbu bagi lelaki mana pun. Akhirnya Nyai
Gincu Barong merasa gengsinya jatuh jika tak berani hadapi si anak muda itu. Ia
akan kehilangan wibawa di depan murid-muridnya jika tak mau layani tantangan
pertarungan si anak muda itu. Maka dengan suara keras ia berseru kepada para
muridnya.
"Ambil obor, ikut aku
sebagian! Kini akan kuperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya membalas
dendam kepada seseorang yang telah membuntungi kedua tangan muridnya!"
Lebih dari dua puluh orang
berbondong-bondong mengikuti langkah Nyai Gincu Barong. Di tangan mereka
masing-masing menggenggam obor yang membuat suasana malam menjadi terang.
Namun ketika mereka keluar
dari pintu gerbang, ternyata seorang
pemuda tampan berbadan kekar
dengan menggantungkan bumbung tuak di pundak, telah berdiri menghadang langkah
mereka.
"Itu dia orangnya,
Guru!" sentak Bagolo sambil mundur hingga menginjak kaki temannya.
"Aduh! Hati-hati kau,
ah!"
Plak...! Temannya menabok
pelan. Tapi karena yang ditabok tepat bagian yang buntung dan masih berdarah,
maka Bagolo pun menjerit keras-keras mengagetkan yang lain.
"Aaooww...!!"
Plook...! Wajahnya justru
ditampar Nyai Gincu Barong yang sedang memendam murka, karena teriakan Bagolo
juga membuat tubuh sang Nyai terlonjak kaget. Tamparan itu ternyata adalah
tamparan bertenaga dalam. Akibatnya, Bagolo terpelanting jatuh dan pingsan
seketika dalam keadaan pipinya menjadi hangus.
Sang Nyai segera pandangi
Pendekar Mabuk yang berdiri tegak
dengan kedua kaki sedikit
merenggang. Dalam hati sang Nyai sempat
memuji ketampanan Pendekar Mabuk yang tak disangka- sangka itu.
"Setan! Ternyata kali ini
lawanku pemuda ganteng yang bertubuh kekar dan menggiurkan seleraku! Aduh,
celaka kalau begini! Dia sangat menawan, semakin lama dipandang semakin
membangkitkan gairahku. Hmmm... haruskah kubatalkan pembalasan dendamku ini?
Oh, tidak! Murid-muridku akan mengancamku jika aku tergiur oleh ketampanan anak
muda itu. Aku harus tetap membunuhnya agar di mata orang-orangku wibawaku masih
tetap ada!" Lalu, sang Nyai berseru, "Kepung dia!"
Wuurrs...! Beberapa orang yang
menggenggam obor itu segera mengepung Pendekar Mabuk. Tangan kiri mereka memegang
obor, tangan kanan mereka menggenggam senjata masing-masing. Tetapi sang
pendekar tampan itu tetap berpenampilan tenang dan mantap, ia biarkan mereka
mengepung, ia biarkan Nyai Gincu Barong mendekat. Tetapi seluruh inderanya
dipasang dan dipekakan supaya sewaktu-waktu mendapat serangan dari
berbagai arah dapat dirasakan hembusan anginnya.
"Kaukah yang menantang
pertarungan denganku, Anak muda?!" sentak Nyai Gincu Barong.
"Benar! Aku memang
menantangmu adu nyawa jika Perawan
Sinting tidak kau bebaskan!"
tegas Suto.
"Hmmm...! Jangan mimpi
dulu, Anak muda! Kau belum tahu siapa Nyai Gincu Barong ini!"
"Kau pun belum tahu siapa
Suto Sinting ini!" balas Suto sambil
menuding dadanya sendiri.
Nyai Gincu Barong dan beberapa
pengepung sempat terperangah, mata mereka terkesip kaget begitu mendengar
nama Suto Sinting. Se bab mereka tahu bahwa yang
bernama Suto Sinting itu adalah orang yang bergelar Pendekar Mabuk. Apalagi
setelah mereka perhatikan ciri-ciri yang ada pada Suto, mereka semakin yakin bahwa pemuda itu memang benar-benar
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk.
Para pengepung mundur satu
langkah membuat lingkaran menjadi
lebih lebar. Tetapi Nyai Gincu
Barong tak menampakkan rasa takutnya walau ia sadar siapa yang dihadapinya, ia
justru mengumbar sesumbar untuk membangkitkan keberanian para muridnya.
"Kebetulan sekali kali
ini aku berhadapan denganmu, Pendekar Mabuk! Sudah lama kuidam-idamkan ingin
menumbangkan kekuatanmu, biar namamu tidak menjadi pujian setiap orang! Agaknya
sebentar lagi adalah giliran namaku yang disanjung- sanjung oleh setiap orang,
karena aku berhasil membunuh Pendekar Mabuk yang katanya berilmu tinggi itu.
Hmmm...! Kurasa itu hanya isapan jempol dari orang-orang bodoh saja!"
"Aku tak ingin banyak
bicara, Nyai! Aku hanya ingin agar Perawan Sinting kau bebaskan, karena kami
bukan orang Perguruan Pantai Porong! Kami terdampar dari tempat yang jauh
dengan tujuan ke suatu tempat yang ada hubungannya dengan pihakmu! Jika kau tak
mau bebaskan Perawan Sinting, maka kita akan beradu nyawa sampai salah satu ada
yang terkirim ke neraka!"
"Dengan senang hati
kulayani tantanganmu, Pendekar Mabuk! Kalau kau memang bisa tumbangkan diriku,
maka ambillah si Perawan Sinting itu dan bawalah pulang secepatnya. Tapi jika
kau yang tumbang di tanganku, maka kalian berdua akan kugantung begitu matahari
terbit nanti."
"Sebuah perjanjian yang
manis bagiku, Nyai!"
"Bersiaplah untuk
sekarat, Bocah hangus...!"
Tiba-tiba sang Nyai sentakkan
tangan kirinya bagai memercikkan air. Praat...! Weess, buuhk...!
Pendekar Mabuk terkejut
sekali. Kepretan tangan sang Nyai ternyata mengandung kekuatan tenaga dalam
sangat besar. Suto seperti dihantam dengan batu gunung sebesar dua kali kepala
kerbau yang mengenai dadanya dengan telak.
Brruk...! Pendekar Mabuk pun
terlempar jatuh dengan dada merasa sakit sekali. Seakan tulang dadanya menjadi
remuk seketika itu juga. Sang Nyai tetap di tempat, memandang angkuh, seakan
menunggu lawannya bangkit kembali.
Begitu Suto berdiri, sang Nyai
segera bertepuk tangan satu kali dengan kedua tangan lurus ke depan. Plook...!
Crralaap...!
Oh, rupanya tepukan tangan itu
hasilkan cahaya petir biru yang melesat cepat dengan gerakan berkelok-kelok
menuju wajah Pendekar Mabuk. Namun
dengan cepat, bumbung tuak segera dihadangkan ke depan wajah dan sinar biru itu
menghantam telak bumbung tuak tersebut. Jegaarr...! Ledakan dahsyat terjadi
begitu sinar itu kenai bumbung tuak Suto.
Pendekar Mabuk terlempar
kembali dan terbanting dengan keras hingga tulang punggungnya bagaikan patah. Wajah
Suto menjadi merah matang karena ledakan tadi semburkan hawa panas yang
menyengat. Sekujur tubuh Suto menjadi perih sekali seperti alami luka bakar.
Sedangkan Nyai Gincu Barong masih tetap berada di tempatnya tanpa bergeser
sedikit pun.
"Bangun kau, Jahanam!
Tunjukkan kesaktianmu yang sering dipuji-puji orang itu!" seru Nyai Gincu
Barong.
Pendekar Mabuk buru-buru
menenggak tuaknya dua teguk. Lalu
ia bangkit dengan satu
lompatan yang bertumpu pada pinggul. Wuuut...! Jleeg...! Tubuhnya segera
menjadi segar dan hawa panas tak dirasakan lagi. Kulit wajahnya tidak tadi, dan
rasa perih hilang dari seluruh tubuhnya. Pendekar Mabuk melangkah dengan tenang
dekati lawannya lagi.
Tiba-tiba Nyai Gincu Barong
melayang bagaikan terbang dalam
keadaan tetap berdiri tegak.
Tapi kedua tangannya mengarah ke depan dengan sepuluh jari lurus ke arah Suto.
Srraap...! Tiba-tiba dari kesepuluh jari itu keluar kuku tajam dan
runcing dalam ukuran panjang. Kesepuluh jari itu memancarkan cahaya merah bagai
besi dipanggang api.
Wees...! Nyai Gincu Barong
menyerang Suto dengan kesepuluh jarinya yang menyala merah itu. Tetapi Pendekar
Mabuk segera gunakan jurus ' Gerak Siluman' untuk hindari terjangan lawannya.
Zlaap...!
Tahu-tahu ia sudah berada di
belakang Nyai Gincu Barong. Merasa terjangannya tak berhasil kenai lawan, Nyai
Gincu Barong segera berpaling ke belakang dan tubuhnya memutar dengan cepat.
Pada saat itulah, Suto
lepaskan jurus 'Tangan Guntur', berupa sinar biru besar dari telapak
tangannya yang melesat cepat menghantam Nyai Gincu Barong. Clap, wweeess...!
Kedua telapak tangan Nyai
Gincu Barong berdiri tegak merapat. Maka sinar biru itu tertahan oleh kedua
telapak tangan tersebut. Deeeb...! Beesss...!
Sinar itu padam begitu saja
tanpa timbulkan suara ledakan ataupun letupan kecil. Pendekar Mabuk terkesip
melihat jurus 'Tangan Guntur'-nya dapat dipadamkan oleh lawannya. Bahkan dengan
cepat kedua telapak tangan Nyai Gincu Barong berkelebat bagai memutar dan
menyentak ke depan, sehingga dari ujung kesepuluh kuku jarinya itu keluar sinar
merah berkelok-kelok bagaikan cacing membara. Cralaaap...!
Pendekar Mabuk sengaja diam di
tempat. Begitu sepuluh sinar merah berkelok-kelok itu telah berada di depan
hidungnya, tubuh Suto melayang ke atas dalam satu sentakan. Suuttt...!
Weess...! Tubuh Suto tetap dalam posisi seperti berdiri tegak. Sementara
kesepuluh sinar merah itu melesat terus hingga kenai enam orang pengepung di
belakang Suto. Jegarr...! Keenam orang itu langsung tumbang dalam keadaan tubuh
mereka berlubang besar dan tak bernyawa lagi.
Nyai Gincu Barong tersentak
kaget.
"Biadab kau! Muridku jadi
korban salah sasaran! Kuhabisi nyawamu sekarang juga, Bangsat!
Hiaaah...!!"
Nyai Gincu Barong melesat
dalam keadaan tubuh berputar cepat di udara. Lalu dari putaran tubuhnya itu
memancarkan sinar merah terang ke berbagai arah, empat sinar di antaranya menyerang Pendekar Mabuk. Maka dengan gerakan
cepat, Pendekar Mabuk hantamkan bumbung tuaknya dalam satu putaran. Wuuutt...!
Empat sinar merah itu bagaikan tersapu bumbung tuak dan menimbulkan ledakan
lebih besar lagi.
Glegaaarr...!
Pendekar Mabuk terpental, tapi
Nyai Gincu Barong tetap melayang menerjangnya. Hanya saja, karena keadaan Suto
terlempar dan jatuh di luar kepungan, maka tubuh Nyai Gincu Barong pun menabrak
dua orang anak buahnya yang memegangi obor. Brruuss...! "Aaaahhk...!"
kedua muridnya itu sama-sama memekik keras dan panjang, karena tangan mereka
terpotong seketika begitu ditabrak tubuh Nyai Gincu Barong yang berputar cepat
bagaikan gangsing itu. Pendekar Mabuk segera melompat tinggi-tinggi dan
bersalto dua kali di udara, kemudian ia daratkan kakinya dalam keadaan sudah
berada di dalam lingkungan
pertarungan lagi. Jleeeg...!
Pada saat itu, Nyai Gincu
Barong segera melompat dengan gerakan tangan cepat bagai ingin mencabik-cabik
lawan. Kuku-kuku yang panjang bagaikan mata pisau runcing itu masih memancarkan
cahaya merah bara, sehingga tiap gerakan tangan diikuti oleh bayangan sinar
merah tersebut yang mirip bintang berekor.
Jleeg...! Nyai Gincu Barong tiba
di depan Suto, langsung
kesepuluh kukunya ditancapkan
ke pinggang kanan-kiri Suto. Cruuss...!
"Aaahk...!" Suto
Sinting mengejang dengan wajah menyeringai. Namun sebelum kesepuluh kuku itu
merobek tubuh Suto, kedua tangan Suto segera menyentak ke samping kanan-kiri
hingga kesepuluh kuku itu lepas dari tubuhnya. Deess...! Lalu kedua tangan Suto
menghantam ke depan bersamaan dalam keadaan
telapak tangan terbuka. Buuhk...!
"Haaahk...!" Nyai
Gincu Barong mendelik seketika dengan tubuh melayang mundur beberapa langkah.
Suto Sinting tak hiraukan
luka-lukanya yang mengucurkan darah
segar itu. Ia segera
menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh, tapi tahu-tahu bumbung tuaknya
disodokkan tepat di ulu hati lawannya. Wuuut, duuhk...!
"Uuaahk...!" sang
Nyai sentakkan napas dalam keadaan mulut terbuka. Bersamaan dengan itu
menyemburlah darah segar hingga nyaris kenai wajah Suto jika Suto tidak segera
berlutut satu kaki.
Dengan satu kaki berlutut,
Suto Sinting sentakkan kembali bumbung tuaknya yang dinamakan jurus 'Mabuk
Lebur Gunung' itu. Wuuut, beeehk...!
"Oouhk...!" Nyai
Gincu Barong makin mendelik, darah yang muncrat dari mulutnya semakin banyak.
Wajahnya dan anggota tubuh lainnya menjadi biru legam. Rambut sang Nyai mulai
rontok, namun sang Nyai masih bertahan untuk tetap berdiri hadapi Suto Sinting.
Tiba-tiba sekelebat bayangan
melintas cepat menendang Nyai Gincu Barong. Weesss...! Plaakk...! Tendangan
keras itu membuat Nyai Gincu Barong yang sudah terluka parah oleh kekuatan
jurus 'Mabuk Lebur Gunung' itu segera terlempar dan jatuh berguling- guling.
Kemudian seraut wajah cantik muncul di tempat itu. Jleeg...!
"Andani...?!" sapa
Suto dengan kaget.
"Pergilah dan cari si
perawan itu, lalu bebaskan dia dari kamar tawanan yang ada di ruang bawah tanah
itu. Aku akan menghadapi si Nyai Gincu Barong yang merasa dirinya sudah paling
ampuh itu!"
Mau tak mau Suto Sinting
segera melesat memasuki pintu gerbang yang diterjang begitu saja dan hancur
dalam waktu kurang dari satu kedipan mata. Prrak, brraak...! Sementara
itu, Andani segera melepaskan jurus
merahnya dari telapak tangan yang menyerupai ujung tombak itu. Claaap...!
Blaarr...!
Maka hancurlah tubuh Nyai
Gincu Barong dalam keadaan anggota tubuhnya terpotong dan terpisah saling
berjauhan. Padahal menurut Suto, tanpa keikutsertaan si Andani, sang Nyai pun
tak akan dapat berkutik lagi, karena sodokan bumbung tuak tadi.
"Hahh...?! Guru kita
tewas! Guru...?! Guruuu...!"
Para murid tampak marah
melihat guru mereka tak bernyawa lagi. Mereka segera menyerang Andani. tapi
mereka saling terpental begitu Andani sentakkan kedua tangannya ke kanan-kiri.
Wuuut...! Bruuk...! Bruukk...!
Suto berhasil temukan Perawan
Sinting dalam keadaan terikat
rantai di dua tiang. Kedua
kaki dan tangan direntangkan. Tubuhnya penuh luka, bahkan wajahnya hancur
menyedihkan. Namun Perawan Sinting segera angkat wajahnya yang tertunduk dengan
pelan ketika ia mendengar seseorang berseru,
"Perawan
Sinting...?!" Rupanya ia tahu suara itu adalah suara Pendekar Mabuk,
sehingga tenaganya yang nyaris terkuras habis karena siksaan itu menjadi timbul
kembali dan ia mampu mengangkat wajahnya.
Kedua matanya yang memar memandang kecil kepada Suto. Bibirnya yang
hancur pun mulai bergerak dengan suara lirih.
"Sutooo...?"
Pendekar Mabuk segera lepaskan
rantai-rantai pengikat itu. Perawan Sinting dipaksa untuk meminum tuaknya.
Walaupun perih, Perawan Sinting tetap menelan tuak sakti Suto, sehingga dalam
beberapa saat kemudian luka-lukanya menjadi hilang dan kekuatannya pulih
kembali.
"Suto, pedangku di
mana?!" "Kita cari pedang itu!"
Setelah Pedang Galih Guntur
berhasil ditemukan dalam kamar sang Nyai, mereka pun segera tinggalkan tempat
itu. Mereka sempat terperangah kaget melihat suasana di luar gerbang. Ternyata
para murid Nyai Gincu Barong terkapar semua tak bernyawa. Mayat bergelimpangan
di sana-sini dalam keadaan tubuh mereka pecah, anggota tubuh saling berpencar
ke mana-mana.
"Gila! Dibantai habis
begini jadinya?!" gumam Suto Sinting dengan mata menegang.
"Siapa yang melakukannya,
Suto?!"
"Melihat keadaan mayat
terpotong-potong begini, siapa lagi yang melakukan kalau bukan Andani!"
"Andani...?! Oh, rupanya
kau sempat serong selama aku dalam penyiksaan, Suto?!"
"Bukan begitu. Maksudku
"
"Dasar pemuda hidung
belang!" gertak Perawan Sinting yang merasa cemburu jika Suto berkenalan
dengan seorang perempuan, karena gadis berpakaian ungu itu menaruh hati kepada
Pendekar Mabuk.
Akhirnya Suto menjelaskan
pertemuannya dengan Andani sambil matanya memandang ke sana-sini mencari Andani
yang ternyata telah menghilang lebih dulu sebelum Suto dan Perawan
Sinting tiba di tempat itu. Suto pun menceritakan ciri Andani dengan tak
lupa menyebutkan tato gambar kupu-kupu di paha perempuan itu.
"Apa...?! Di pahanya ada
tato gambar kupu-kupu?!" Perawan Sinting mendelik. "Apakah tato itu
bisa menjadi besar dan bisa mengecil, tergantung gairah yang ada padanya?"
"Benar! Kulihat tato itu
sempat menjadi besar."
"Celaka! Kalau tak salah
dugaanku, perempuan itulah yang bernama Peri Kahyangan, di mana kita dulu pernah
bermalam di reruntuhan biaranya!"
"Peri Kahyangan?!"
Suto segera teringat cerita Perawan Sinting tentang Peri Kahyangan yang bekas biaranya pernah dipakai
bermalam oleh mereka dan Mahesa Gibas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Buronan Cinta Sekarat").
Se belum mereka lanjutkan
bicara, tiba-tiba dari arah timur
muncul Mahayuni bersama
beberapa orang murid Eyang Panembahan, termasuk Mahesa Gibas ikut dalam
rombongan itu. Rupanya mereka mencari kepergian Suto yang sudah diduga arahnya
ke Tanjung Leak. Perawan Sinting segera menyambut gembira bisa bertemu dengan
Mahesa Gibas, lalu Mahesa Gibas menceritakan siapa Mahayuni dan yang lainnya
itu.
"Tadi kami sudah sampai
sini dan melihat perempuan cantik sedang memakan beberapa potong tubuh mayat-mayat
itu. Tapi ia segera kabur begitu Mahayuni menyapanya," kata Mahesa Gibas.
"Benarkah begitu,
Mahayuni?"
"Ya. dan kami
mengejarnya, tapi tak berhasil." "Siapa perempuan itu
sebenarnya?"
"Si Bayangan Setan!"
"Hahh...?!" Pendekar
Mabuk mendelik seketika itu juga, demikian pula Perawan Sinting. "Ke mana
larinya?"
"Ke timur!"
"Kalau begitu, kita kejar
dia ke timur, Suto!" ajak Perawan Sinting. "Tunggu dulu! Kita perlu
pelajari siapa perempuan itu sebenarnya melalui Eyang Panembahan."
Mahesa Gibas menyahut,
"Jelas dia adalah si Bayangan Setan! Aku pernah melihat perempuan itu
membunuh beberapa pelayan di kadipaten!"
"Ya, ya... tapi aku
membutuhkan beberapa saran dari Eyang Panembahan untuk hadapi perempuan
itu," kata Suto. "Terutama tentang kehancuran Samudera Kubur delapan
tahun yang lalu itu."
"Delapan tahun yang
lalu?!" Perawan Sinting menggumam heran.
"Bukankah kita baru pergi
dari kadipaten delapan hari lamanya, Suto?!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan
keheranan itu, ia segera melangkah menuju ke Padepokan Pantai Porong untuk
menemui Eyang Panembahan; Pancalingga. Yang lainnya pun segera mengikuti sang
pendekar heboh itu bersama munculnya sang fajar di ufuk timur.
SELESAI