SEEKOR kuda berlari dengan
cepat melintasi pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu arah tertentu.
Kuda itu ditunggangi oleh seorang perempuan muda bersenjatakan cambuk di pinggang-nya. Tetapi
perempuan muda itu dalam keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris terjungkal
dari punggung kuda.
Mata perempuan muda itu
terpejam bagai tak mampu lagi untuk memandang ke arah depan. Bahkan ketika
kudanya melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu jatuh tertelungkup di
belakang leher kuda.
Sekujur tubuh perempuan muda
itu ternyata memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian kepala seperti
habis kejatuhan pohon besar. Bahkan pada bagian wajahnya sedikit tampak
membengkak. Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan rontokan helai
rambutnya berjatuhan di sekitar pundak dan punggung.
la tak mampu lagi mengendalikan
kudanya. Tapi sang kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur perjalanan
tersebut, sehingga tanpa kendali pun sudah mengerti arah yang dituju.
Seolah-olah sang kuda mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan luka dalam yang
cukup berat dan perlu segera dibawa pulang ke perguruan.
Itulah sebabnya begitu
mendekati pintu gerbang perguruan
yang bagian atasnya
bertuliskan : "Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat
sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang yang kokoh itu, sang kuda
berhenti. Kedua penjaga pintu gerbang terperanjat dengan mata membelalak. Salah
seorang berseru,
"Murbawati...?! Oh,
kenapa dia?!" "Kelihatannya terluka cukup berat!"
"Lekas antarkan dia
menghadap Nyai Guru!"
Murbawati masih belum bisa
bicara. Namun kedua penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui bahwa
Murbawati masih bernapas. Kudanya segera dituntun oleh salah satu dari kedua
penjaga tersebut menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di sana, murid-murid
Perguruan Merpati Wingit sedang berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka.
Seorang perempuan berwajah cantik, namun
sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang duduk di sebuah bangku berupa
kotak sederhana. Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna
kuning gading. Kain itu tipis, sehingga pakaian dalamnya yang berwarna biru tua
itu terlihat membayang di balik jubah kuningnya.
Rambut-nya yang panjang
sebatas pinggang dibiarkan lepas
terurai ke depan, sebagian di dada kiri sebagian lagi di dada kanan.
la mengenakan ikat kepala
bukan dari kain, melainkan dari tali sutera yang berwarna merah,
berbintik-bintik kuning emas. Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa
ikatannya jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap bagian ujung tali
sutera itu mempunyai semacam logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih
berkilauan.
Orang yang mengantarkan
Murbawati berseru beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul itu.
"Nyai Guru...! Murbawati
terluka!"
Perempuan berselubung kain
jubah kuning gading itu segera bangkit, karena memang dia itulah yang disebut
Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati terkulai bagaikan celana basah di atas
kuda, Nyai Guru Betari Ayu
segera bangkit dengan mata terperanjat. Para murid
yang sedang duduk bersila dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera
mengerumuni kuda tunggangan
Murbawati.
"Jangan dipakai buat
tontonan!" seru Betari Ayu. "Angkat dia dan bawa masuk dengan
segera!"
Murbawati dibawa ke ruang yang
khusus untuk
penyembuhan. Di sana tubuh
lunglai tak berdaya itu dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu yang
dilapisi kain tebal.
"Tinggalkan kami!"
kata Betari Ayu kepada para penggotong tubuh Murbawati itu. Mereka pun patuh,
segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini yang ada di situ hanya
Murbawati dan Betari Ayu. Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot pandangan
mata yang menyimpan kemarahan. Gigi menggeletuk, mata pun menjadi menyipit.
Betari Ayu menarik napas,
menenangkan gemuruh
di dalam dadanya yang terasa
hampir meledak melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam, mendalam dari sudut
berbibir sedikit tebal namun tampak indah itu.
"Keparat! Ini pasti
perbuatan Bidadari Jalang!"
Pintu kamar penyembuhan
dibuka, Betari Ayu memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi
Murka dan Selendang Kubur. Dua
perempuan yang mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda itu segera
masuk ke ruang penyembuhan. Wajah mereka juga memancarkan ketegangan dan kemarahan yang tertahan. Rasa iba
melihat keadaan saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat hati Dewi Murka
tak sabar menanti tugas pembalasan.
"Kalian tentunya tahu,
apa yang membuat tubuh Murbawati membiru seperti itu!" kata Betari Ayu
tanpa memandang kedua muridnya.
Dewi Murka menjawab,
"Pasti pukulan beracun
yang dinamakan pukulan 'Guntur
Perkasa', milik
Bidadari Jalang itu, Nyai
Guru."
"Benar! Dan rupanya dia
sudah campur tangan dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu dengan nada geram.
"Nyai Guru," sela
Selendang Kubur yang mengenakan pakaian merah dadu bak buah
jambu yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih. la berucap kata
dengan sikap hormat kepada sang guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih
kepadanya.
"Lanjutkan kata-katamu,
Selendang Kubur!" "Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan
terkena pukulan 'Guntur
Perkasa' milik Bidadari
Jalang."
Dewi Murka menyahut, "Ah,
tahu apa kau tentang pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui ciri
pukulan itu!"
"Aku juga tahu tentang
pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah melihat ia
menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut. Tetapi, kali ini yang diterima
Murbawati bukan pukulan 'Guntur Perkasa'."
"Alasanmu?!" sergah
Betari Ayu.
"Kalau saja Murbawati
telah menderita pukulan
'Guntur Perkasa' milik
Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain
membuat tubuh lawan menjadi memar membiru, juga membuat tubuh lawan menjadi
cepat membusuk. Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai sekarang,
Guru?"
"Kurasa sebentar
lagi!" sahut Dewi Murka. Sikap dan wajahnya menampakkan seakan ia sangat
tahu dalam hal ini.
Betari Ayu melangkah ke bagian
kepala Murbawati, memandangnya beberapa saat, kemudian berkata kepada kedua
muridnya.
"Kurasa benar apa katamu,
Selendang Kubur!"
"Benar bagaimana,
Guru?!" sergah Dewi Murka. "Jika memang Murbawati terkena pukulan
'Guntur
Perkasa' dari Bidadari Jalang,
pasti saat ini tubuhnya menguarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya
mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat menusuk hidung. Nyatanya, sudut
mata Murbawati tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan pukulan 'Guntur
Perkasa' dari Bidadari Jalang."
Dewi Murka merasa tidak bisa
membantah lagi, karena semua keputusan gurunya tak berani disanggahnya. Dewi Murka yang
berpakaian hitam dengan
trisula di pinggang, hanya diam
dan memandangi tubuh Murbawati.
Sesaat berikutnya, barulah
Dewi Murka bertanya, "Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini,
Guru?"
"Lupakan dulu tentang siapa penyerang Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku menyalurkan hawa
murni melalui telapak kaki
Murbawati. Aku akan
menyalurkan tenagaku melalui bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang
Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum kulepaskan tanganku dari dada
Murbawati."
"Baik, Guru," jawab
Selendang Kubur dengan sikap patuh.
"Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas
semuanya, Guru?"
"Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya saja...!"
Di luar ruang penyembuhan itu,
para murid Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling menduga-duga, tapi
tak satu pun
mempunyai kepastian
tentang siapa penyerang Murbawati
sebenarnya. Mereka saling
menggeram dendam, merasa
marah melihat saudara seperguruan mengalami nasib
begitu menyedihkan. Tetapi tak satu pun dari mereka yang berani ambil tindakan
sendiri, sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru yang mereka segani
itu.
Murbawati dikenal di lingkungan perguruan sebagai murid yang cekatan
dan pandai menyusup. Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu bangga jika
mendapat perintah dari gurunya. Seolah-olah
sebuah perintah merupakan
suatu penghormatan
besar baginya.
Dua hari yang lalu, Murbawati
diutus menemui Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar Ratu Lembah Asmara,
guna menyampaikan undangan dari Nyai Guru Betari Ayu. Pertemuan itu akan
diadakan tepat di malam purnama. Betari Ayu meminta kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk membicarakan masalah tanah
di Bukit Garinda yang
dulu dipinjamkan kepada Ratu
Lembah Asmara. Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena hubungan baik, maka
Betari Ayu meminjamkan tanah tersebut kepada
Ratu Lembah Asmara sebagai tempat
bercokolnya perempuan-perempuan penabur cinta. Tetapi belakangan hari, Betari
Ayu membutuhkan tanah itu untuk memperluas wilayah perguruannya yang berkembang
kian pesat itu.
Tetapi, agaknya Betari Ayu
kecewa dengan sikap Ratu Lembah Asmara. Kehadiran Murbawati sebagai utusan
Perguruan Merpati Wingit disambut dengan
permusuhan. Sang
utusan dilukai sedemikian
parahnya, sehingga untuk
mengobatinya, Betari Ayu terpaksa
mengerahkan banyak tenaga hingga beberapa waktu lamanya.
Murbawati tersentak dan segera
memuntahkan cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya. Ini pertanda racun
pukulan itu terdesak keluar, dan jiwa
Murbawati tertolong. Namun
perempuan muda itu
belum bisa bicara apa-apa.
Tubuhnya masih lemas, hingga Betari Ayu membiarkan Murbawati beristirahat
beberapa waktu lamanya.
Menjelang malam tiba, Betari
Ayu duduk di serambi depan kamarnya. la termenung mempertimbangkan sikap
yang harus diambilnya.
Jelas, melukai muridnya sama
saja menantang
pertempuran dengannya. Tetapi,
apakah benar Ratu Lembah Asmara yang menyerang Murbawati? Seingat Betari Ayu,
Ratu Lembah Asmara tidak memiliki pukulan yang mirip sekali dengan pukulan
'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang.
"Jika Ratu Lembah Asmara
melancarkan pukulan, selalu
saja pukulan yang mematikan yang
dilancarkan. Tak pernah
tanggung-tanggung seperti
ini!" pikir Betari
Ayu. "Andaikata benar bahwa Murbawati menderita pukulan
dari Ratu Lembah Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu? Apakah ia sudah
bosan bersahabat denganku? Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku? Apa
alasannya ia bertindak begitu? Bukankah aku pernah menolong nyawanya dari
ancaman maut Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?" Betari Ayu
diguncang oleh keresahan dalam hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh
seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus menuntut sikap yang menantang
itu. Satu-satunya wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah Bidadari
Jalang. Karena antara dia dengan Bidadari Jalang pernah terjadi bentrokan ketika memperebutkan seorang lelaki
yang bernama Datuk
Marah Gadai.
Sejenak, ingatan Betari Ayu
melayang pada seraut wajah pria tampan berkesan jantan: Datuk Marah Gadai. Ada
hati yang bersemi di dalam dada Betari
Ayu. Ada cinta yang tumbuh di
dalam hati Betari Ayu. Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh godaan Bidadari
Jalang. Mata jeli Betari Ayu masih terbayang saat ia memergoki Datuk Marah
Gadai bercinta dengan Bidadari Jalang.
Terbakar hati Betari Ayu
pada saat itu. Diterjangnya Bidadari Jalang
dengan amukan rasa cemburu
yang mendidihkan darahnya. Tetapi, Bidadari Jalang cukup
tangguh, tak mudah dirobohkan. Justru Betari Ayu
sendiri yang terluka dalam oleh satu pukulan dahsyat dari Bidadari Jalang.
Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di dalam raga Betari Ayu.
Yang lebih menyakitkan lagi,
Datuk Marah Gadai
tidak peduli keadaan Betari
Ayu kala itu. Datuk Marah Gadai
justru pergi bersama Bidadari Jalang, melanjutkan cengkeramanya di tempat lain. Sementara bekas luka
pukulan tenaga dalam Bidadari Jalang sampai
sekarang masih sesekali menyumbat pernapasan Betari Ayu. Apabila bekas pukulan
itu bekerja kembali, pernapasan Betari Ayu jadi tersumbat, membuat Betari Ayu
mengalami kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa bagai mau mati. Sampai sekarang Betari Ayu
belum bila melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang bermukim di bagian jantung dan
paru-parunya.
Betari Ayu bagaikan luka di
kedua sisi hati, terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk Marah Gadai.
Kedua orang itu menjadi musuh utama Betari Ayu, yang tidak
tahu kapan akan
dibalaskan dendamnya.
Karena selama bekas
pukulan
'Regangpati' itu belum bisa
dilenyapkan, Betari Ayu belum berani menghadapi mereka berdua. Jika bekas
pukulan itu kambuh pada saat
pertarungan, maka jelas nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh salah satu
dari mereka.
Selendang Kubur dan Dewi Murka
itulah yang
selalu menolong Betari Ayu
jika sedang kambuh. Tanpa melalui hawa
murni mereka, maka penyumbatan pada pernapasan
dan pembekuan darah yang terjadi akibat pukulan 'Regangpati', akan menewaskan nyawa sang Guru yang
banyak menurunkan ilmu putihnya kepada para muridnya.
Malam itu, Selendang Kubur
melihat sang Guru sedang termenung. la mencoba mendekati dengan hati-hati.
Agaknya sang Guru tidak keberatan untuk didekati, sehingga sang Guru menegur
lebih dulu.
"Ada yang ingin kau
sampaikan padaku, Selendang
Kubur?"
Langkah Selendang Kubur
terhenti sejenak. la biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang segera
berkata,
"Bicaralah. Tak ada yang
perlu kau ragukan!"
"Saya hanya
ingin membicarakan tentang
Murbawati, Guru."
"Apa pendapatmu tentang
dia?"
"Murbawati telah siuman.
Agaknya ia ingin bicara dengan Guru."
Sedikit tersentak kepala
Betari Ayu. Ada kelegaan di hatinya. Tanpa bicara sepatah kata lagi, ia segera
bergegas menuju ruang penyembuhan. Selendang Kubur mengikuti langkah gurunya
dari belakang. Di sebuah tikungan lorong, Dewi Murka
melihat
kelebatan sang Guru dan
Selendang Kubur. Hatinya segera membatin.
"Hmmm... apa yang akan
dilakukan Nyai Guru dengan Selendang Kubur. Pasti Selendang Kubur sedang cari
muka agar mendapat pujian di hati Nyai
Guru. Baiklah. Aku harus
segera menyusul mereka supaya Selendang Kubur tidak punya kesempatan untuk
mengambil hati Nyai Guru." Maka, bergegaslah Dewi Murka
menyusul langkah gurunya dan Selendang Kubur.
Diam-diam Selendang Kubur mendengar
langkah kaki di belakangnya yang berjarak antara lima belas langkah. Selendang Kubur memejamkan mata sejenak. Suara langkah itu semakin
jelas, dan ia segera mengenali langkah dan napas yang ada di belakangnya adalah
milik Dewi Murka. Selendang Kubur hanya tersenyum sinis di dalam hatinya.
Belakangan ini, keduanya memang saling bersaing. Persaingan itu
terjadi sejak Betari Ayu
berkata, bahwa ia mau
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Dia juga akan menyerahkan kekuasaan di
perguruan tersebut kepada seseorang. Tapi sampai saat itu dia belum punya
pilihan, siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit Itu.
Jelas orang pilihannya ada dua, yaitu Dewi Murka atau Selendang Kubur, karena
hanya mereka berdualah yang mempunyai ilmu paling tinggi dari murid-murid
lainnya. Bahkan Murbawati masih berada dua tingkat di bawah mereka.
Orang yang jelas-jelas
berkeinginan keras untuk menjadi pengganti Nyai Guru Betari Ayu adalah Dewi
Murka. Dengan menjadi pewaris kedudukan Nyai Guru, maka dialah orang yang
berhak memegang Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi kunci utama dari
semua ilmu yang dimiliki Nyai Guru. Kitab Wedar Kesuma itulah yang menjadi
incaran utama
bagi Dewi Murka.
Sementara itu, Selendang Kubur
juga mengetahui tentang kitab tersebut. la juga merasa menjadi calon pengganti
gurunya. la juga mengincar kedudukan dan Kitab Wedar Kesuma, tapi ia tak mau
kelihatan menyolok. la tetap bersikap tenang, walau mata hatinya penuh waspada
terhadap gerak-gerik Dewi
Murka.
Pada waktu
Betari Ayu memasuki ruang penyembuhan, Selendang Kubur
pun segera masuk dan menutup pintunya, bahkan menguncinya dari dalam. Maksudnya
supaya Dewi Murka tidak ikut menyusul masuk dan tak dapat membuka pintu ruangan
seenaknya saja.
Tetapi, rupanya Dewi Murka
mengetahui niat licik
Selendang Kubur. Maka, dengan
merabakan jemari
tangannya pada pintu tersebut,
kunci pintu pun bergerak sendiri. Klik...! Dan pintu dapat dibuka. Dewi Murka
pun segera masuk. Matanya beradu pandang dengan Selendang Kubur. Senyum sinis
dipamerkan di hadapan Selendang Kubur. Perempuan berpakaian merah dadu dengan
selendang putih di pinggangnya itu hanya diam saja, dan segera mengalihkan
pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar birunya sudah banyak berkurang.
"Murbawati," sapa
Nyai Guru Betari Ayu dengan sikap
tegasnya.
"Ceritakan, siapa orang
yang menyerangmu sedemikian rupa?"
Dewi Murka
menyahut dengan
pertanyaan, "Apakah Bidadari Jalang orangnya, Murbawati?"
"Bukan," jawab
Murbawati masih dengan suara lemah.
"Apakah Ratu Lembah
Asmara? tanya Betari Ayu. "Juga bukan, Nyai Guru."
"Lantas siapa?"
"Pujangga Kramat,"
jawab Murbawati.
Tiga wajah perempuan yang
sama-sama memiliki kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang. Dahi
mereka sedikit berkerut mendengar nama tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka
merasa asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya tidak merasa asing.
Hanya sedikit heran, mengapa Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga
Kramat.
"Nyai Guru, mohon sudi
memaafkan kelancangan saya yang telah membuat saya terluka seperti ini,"
tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap menyesal. Nyai Guru Betari
Ayu hanya diam saja, mata tetap memandang Murbawati, mulut terkatup
rapat, kedua tangan berlipat
di dada. Murbawati
melanjutkan kata-katanya.
"Saya terpancing oleh
kemunculan seorang pemuda
tampan yang berkelebat melintasi perjalanan saya, pada saat saya menuju ke
Bukit Garinda. Saya ikuti pemuda tampan yang menawan hati itu. Ternyata dia
adalah murid dari saudara perguruan Bidadari Jalang. Pemuda itu adalah murid si
Gila Tuak...."
Tersentak wajah Betari Ayu
mendengar nama tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati. Pandangan matanya
menjadi lebih tajam lagi. Tapi mulutnya masih tetap terkatup rapat, seakan tak
mau memberi ucapan apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan Selendang Kubur juga ikut
terkesiap mendengar nama si Gila Tuak. Mereka juga tidak asing lagi dengan nama
tokoh tua yang sangat disegani oleh orang-orang di rimba persilatan.
Hanya saja,
mereka merasa
sangat heran mendengar si Gila Tuak
mempunyai seorang murid. Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita adanya si
Gila Tuak mempunyai murid
jelas akan menghebohkan
dunia persilatan, karena selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau mempunyai
murid siapa pun juga.
Murbawati melihat wajah
gurunya dan kedua temannya itu mengalami sedikit ketegangan. Namun ia tetap
melanjutkan kata-katanya,
"Saya sangat tertarik
dengan murid si Gila Tuak itu, sehingga saya berusaha mencuri percakapan antara
si Gila Tuak dengan muridnya itu dari balik gugusan batu cadas. Saya mendengar
adanya rahasia penting yang dibicarakan oleh mereka berdua...."
"Tentang apa?" tukas
Betari Ayu.
"Sebuah pusaka yang
bernama Tuak Setan."
"Hah...?!" kembali
lagi Betari Ayu terperanjat kaget dengan mata makin melebar. Sebentar matanya
singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang Kubur, sebentar kemudian sudah
kembali menatap tajam kepada Murbawati yang masih terbaring lemah.
"Apa yang kau ketahui
tentang pusaka Tuak Setan itu?"
"Gila Tuak memerintahkan
muridnya itu untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang sangat berbahaya jika
jatuh ke tangan orang lain. Gila Tuak tidak ingin pusaka itu masih berada di
bumi kita, karena sangat membahayakan jika digunakan oleh
orang-orang tak bertanggung
jawab. Dan... pada saat saya mencuri percakapan mereka itu, tiba-tiba muncul di
hadapan saya Pujangga Kramat, pelayan setianya si Gila Tuak. la menyerang saya
dengan dua jurus, dan saya terluka parah begini!"
Tanpa sadar tangan Betari Ayu
meremas gelang logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer karena
asap yang mengepul dari
telapak tangannya. Buru- buru ia menyadari hal itu dan membuang gelang dari
bahan baja mengkilap dari tangannya.
"Pujangga Kramat bukan tandinganmu,
Murbawati!" geram Betari
Ayu. "Dewi Murka adalah lawan
yang imbang untuk berhadapan dengan Pujangga Kramat. Orang itu selain
tidak bisa bicara dengan benar, juga tidak bisa bersikap bijaksana dan lebih
sering main hukum sendiri. Memang dia pelayan setia si Gila Tuak, tapi aku
yakin Gila Tuak tidak menyuruh dia untuk bertindak seenaknya sendiri
begitu."
"Saya dianggap pencuri,
Guru," kata Murbawati sambil bernada sedih, seakan sakit hati sekali
dengan tuduhan tersebut.
Dewi Murka yang tadi
disebut-sebut namanya sebagai orang yang layak menandingi Pujangga Kramat,
segera berkata dengan hati masih merasa bangga.
"Haruskah saya berangkat
sekarang, Guru?!" "Tahan sebentar!" kata Betari Ayu, yang segera
memandang ke arah Murbawati.
"Apalagi yang kamu ketahui tentang Pusaka Tuak Setan itu?!"
"Tidak banyak, Guru. Yang
saya tahu Tuak Setan
akan dimusnahkan oleh murid si
Gila Tuak itu."
Betari Ayu menarik napas.
Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Lalu, ia menggumam sendiri,
"Tuak Setan...!" Sejurus kemudian ia menatap Selendang Kubur dan Dewi
Murka secara bergantian, lalu berkata,
"Tuak Setan adalah pusaka
maut yang tidak pernah digunakan oleh si Gila Tuak. Pusaka itu disembunyikan
oleh si Gila Tuak, entah di mana tempatnya. Pusaka itu menjadi incaran setiap
orang, baik dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak sendiri tidak berani
menghancurkan pusaka itu karena pusaka tersebut mempunyai pertalian nyawa
dengan dirinya. Tetapi jika
orang lain yang menghancurkannya, pertalian nyawa
itu menjadi hilang dan Gila Tuak tidak mengalami bahaya apa pun."
Selendang Kubur mengajukan
pertanyaan, "Apa kehebatan Pusaka Tuak Setan itu, Nyai Guru?"
"Tuak Setan berbentuk
guci yang berisi tuak ribuan
tahun usianya. Apabila tuak
tersebut diminum oleh seseorang, maka napas orang tersebut bisa berubah menjadi
badai yang amat dahsyat jika dihentakkan dengan sedikit dorongan tenaga dalam.
Badai itu dapat menyapu habis pohon-pohon besar di hutan,
atau menggelindingkan batu sebesar rumah sekalipun. Karena itu,
jika Tuak Setan diminum oleh orang yang punya sifat angkara murka; maka bumi
ini akan hancur sebelum waktunya. Air laut bisa meluap dan menenggelamkan
gunung setinggi apa pun. Tuak Setan memang berbahaya, seperti bahayanya jika si
Gila Tuak mengamuk."
"Mengapa si Gila Tuak tidak
meminumnya sendiri?" tanya Dewi Murka.
"Karena dia takut
menghadirkan bencana besar. Dia merasa masih bisa terpancing oleh kemarahan.
Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi jika digunakan oleh seseorang yang
sedang memendam kemarahan. Sebagai tokoh golongan putih, si Gila
Tuak tidak berani menggunakan
Pusaka Tuak Setan. Mungkin berdasarkan itulah, maka ia memutuskan untuk
menghancurkan Pusaka Tuak Setan. Tapi..., mengapa muridnya yang disuruh
menghancurkan? Mengapa bukan Bidadari Jalang?"
Murbawati menyahut,
"Menurut yang saya dengar, si Gila Tuak mengatakan tidak akan ada orang
yang bisa menghancurkan guci Pusaka Tuak Setan itu kecuali sang murid itu
sendiri."
"Berarti murid si Gila Tuak
bukan orang
sembarangan?" gumam
Betari Ayu sambil termenung. Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati,
"Siapa murid si Gila Tuak
itu?"
"Kudengar, kakek tua itu
menyebutnya Suto
Sinting!"
"Suto Sinting...?!"
gumam mereka berbarengan.
*
* *
2
DERU suara air terjun
memekakkan telinga. Curahan airnya yang bening menghantam bebatuan, pecah dan
berubah menjadi gumpalan air yang mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu.
Sungai yang penuh dengan batu-batu gurung berwarna hitam kelam, menjadi tempat
melejitnya tubuh kekar berikat kepala kulit ular hijau pupus.
Kaki pemuda itu melompat dari
satu batu ke batu lainnya hanya menggunakan ujung jempol kakinya saja pada
waktu menapak di salah satu batu. Bekas tapakan ujung jempol kaki itu
menimbulkan asap tipis, yang lama kelamaan membuat batu itu menjadi hancur
sebagian kecil. Sepertinya batu itu mengalami kerapuhan dimakan usia beratus-ratus tahun. Kekuatan tenaga dalam yang
tersalur melalui ujung jempol kakinya itulah yang membuat batu menjadi rapuh
dan hancur dalam bentuk serpihan lembut.
Lima buah pisau kecil melesat
dari suatu tempat. Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang cepat bagaikan
kilat, menuju ke arah pemuda yang sedang bersalto dari batu ke batu. Putaran
saltonya tampak lebih cepat lagi hingga tak terlihat gerakan jungkir baliknya,
sampai akhirnya pemuda itu berdiri tegak di atas sebuah batu runcing dengan
menggunakan satu
kaki.
la segera memeriksa tabung
bambu berisi tuak yang digendongnya di bagian punggung. Ternyata kelima pisau
terbang tadi berhasil ditangkisnya dengan tabung bambu. Kelima pisau itu
menancap berjajar dari atas ke bawah di tabung tuak yang disebutnya bumbung
itu.
Pemuda, berkemeja komprang
warna hijau muda dengan celananya yang juga berwarna hijau muda itu,
tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang menancap di bumbungnya. la melirik ke
arah daratan, di bawah sebuah pohon, seorang kakek berjubah kuning sedang
tersenyum pula kepadanya. Kakek itulah yang tadi
melemparkan lima
pisau berkecepatan bagai kilat itu.
Pemuda yang mengenakan ikat
pinggang dari kain warna merah tua tak lain adalah Suto, si bocah tanpa pusar
yang diangkat murid oleh si Gila Tuak, (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Tanpa Pusar"). Kakek berjubah kuning yang berdiri di bawah
pohon besar itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah menurunkan ilmu-ilmunya
kepada murid tunggalnya tersebut. la merasa puas melihat kecepatan gerak Suto
dengan ketajaman mata dan otak yang cukup tinggi, sehingga mampu melihat dan
menangkis gerakan lima pisau tadi.
"Suto, kemari!"
perintah si Gila Tuak sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah satu kali.
"Baik, Kek...!"
jawab Suto dengan tegas.
la hendak melompat dari batu
itu, tetapi tiba-tiba ia merasa seluruh urat tubuhnya menjadi kaku, kecuali di
bagian kepala. la ingin menurunkan satu kakinya yang terangkat, namun tak bisa.
Bahkan untuk menggerakkan tangannya, juga tak mampu. Semuanya menjadi kaku dan
beku.
"Uh... uh... eh....'"
Suto berusaha sekuat tenaga menggerakkan anggota tubuhnya, tapi usahanya itu
sia-sia.
Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari tempatnya. Suto segera
memandang ke arah gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa
dirinya sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang Guru.
"Sial! Dia menotokku dari
sana lewat hentakan
tongkatnya tadi," kata
Suto dalam hati dengan sedikit dongkol. "Baik. Akan kutunjukkan
kemampuanku melepaskan totokan dari jarak jauh itu." Suto memejamkan mata
sebentar, menarik napas dalam- dalam,
dan seketika itu ia memekik panjang, "Hiaaat...!"
Maka tubuh Suto pun berhasil
melenting tinggi dan jungkir balik di angkasa. Batu yang tadi dipijaknya
menjadi hancur seketika oleh sentakan kaki Suto tadi.
Prakkk...! Batu itu menjadi
bongkahan-bongkahan yang segera berjatuhan masuk ke aliran arus sungai berair
bening.
Tubuh Suto yang telah bebas
dari pengaruh totokan gurunya segera melesat ke daratan, kedua kakinya menapak
di tanah tepian sungai. Jligg...! Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak
yang terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak tuak yang tersimpan dari dalam
tongkatnya.
"Hiaaah...!" Suto
mengambil bumbung tuak dari punggungnya. Lalu, bumbung itu dihentakkan ke
tanah. Jluug...! Tepat pada saat itu tubuh si Gila Tuak tersentak naik ke atas
di luar dugaan sang guru. Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas dengan
kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang disalurkan lewat bumbung dan melalui
jalan tembus tanah.
Karena cepat dan kuatnya
sentakan tenaga dalam Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak melayang cepat
membentur dahan pohon kepalanya. Plokkk...!
"Aaauh...!" Gila
Tuak menyeringai kesakitan. la
segera berkelebat jungkir
balik di angkasa dalam keadaan mulutnya tersumpal bagian atas tongkat yang tadi
hendak ditenggak isinya.
Kaki si Gila Tuak mendatar di
tanah dengan sigap dan tegap. Ia segera menarik tongkatnya yang menyumpal
mulut, sementara Suto tertawa terkakak- kakak melihat wajah gurunya merengut akibat dipermainkan oleh sang
murid.
"Hati-hati kau,
Suto!" sentak si Gila Tuak sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit terkena benturan dahan tadi.
Suto sendiri segera membuka
tutup bumbungnya, dan menenggak tuak yang tersimpan di dalam bumbung itu.
Glek... glek... glek...! Pada waktu wajah Suto terdongak menenggak tuak itulah
si Gila Tuak segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh
Suto. Wusss...!
Dengan sigap tangan
kiri Suto yang
tidak memegang bumbung segera disentakkan ke depan. Wuuggg...! Gelombang
tenaga dalam dilancarkan pula oleh Suto. Gelombang itu berbenturan dengan hawa
pukulan jarak jauh dari si Gila Tuak, dan akibatnya menimbulkan suara
bergedebuk seperti nangka jatuh dari pohon.
Beeegh...!
Suto tersentak mundur satu
langkah. Tetapi si Gila Tuak tersentak mundur tiga langkah. Rupanya Suto
mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari pukulan jarak jauhnya si
Gila Tuak, membuat tubuh kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima
sentakan. Tubuh itu membentur pohon. Bukkk...!
"Kurang ajar kau!"
geram si Gila Tuak karena merasakan sakit pada bagian punggungnya yang terkena
tunas pohon berbentuk seperti tangan menggenggam.
Suto tertawa keras sambil
menuding-nuding gurunya
yang menyeringai kesakitan di bagian
punggung. Wajah sang Guru
cemberut, dan membuat Suto semakin geli. Sang Guru hanya menahan napas beberapa
saat, sementara Suto sudah memutar- mutarkan bumbungnya yang berukuran sedikit
lebih besar dari tongkat sang Guru.
Ketika bumbung itu diputar dengan cara memegangi
talinya, timbullah suara berdengung yang membisingkan telinga. Putaran bumbung
itu pun memancarkan
angin kencang bergelombang- gelombang. Rambut
sang Guru tersingkap nyaris copot dari kulit kepalanya. Jubahnya beterbangan
naik dan terkait pada salah satu patahan ranting.
"Hentikan, Suto! Itu
jurus berbahaya!" sentak si
Gila Tuak.
Suto memang menghentikan
gerakan bumbungnya itu,
namun ia masih tertawa terbahak-bahak memandangi
gurunya yang bersungut-sungut. Sang Guru mau bergerak maju, namun gerakannya
bagai ada yang menahan dari belakang. Segera si Gila Tuak pasang waspada, la melirik sedikit tegang
ke belakang sambil membatin,
"Siapa orang yang berani
menahan gerakanku ini?!"
Si Gila Tuak segera pasang
kuda-kuda, bersiap menyerang sesuatu yang menahan gerakan majunya. Namun
melihat Suto tertawa terkakak-kakak sambil menuding-nuding ke arahnya, si Gila
Tuak menjadi ragu-ragu. Pelan-pelan ia palingkan kepalanya, dan ia
pun jadi menghempaskan napas
kesal. Karena ia tahu pada saat itu jubahnya tersangkut patahan ranting,
sehingga menahan gerakan majunya.
"Kucing Kurap!"
makinya dengan dongkol, segera menyentakkan jubah dan jubahnya segera lepas
dari
patahan ranting.
Suto tertawa
terpingkal-pingkal melihat gurunya menahan kedongkolan. Tawanya sampai membuat
Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung tuaknya.
"Diam, Suto!
Diam....!" sentak si Gila Tuak.
Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan
semakin bertambah kegelian mendengar bentakan gurunya. Secepatnya si Gila Tuak
melemparkan tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu pun meluncur cepat ke
arah wajah Suto, dengan tujuan mulut Suto.
Tetapi dengan cepat Suto
berguling di rerumputan sambil mengibaskan bumbungnya. Kibasan bumbung tuak
Suto begitu cepat dan kuat, sehingga pada waktu menangkis tongkat yang meluncur
cepat itu menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam berbenturan. Taaang...!
Bunyi itu menggema ke
mana-mana, mengungguli suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri kekuatan
tenaga dalam baik tongkat
maupun bumbung Suto, tidak mungkin bisa menimbulkan suara berdentang sedemikian
hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur datar tadi saat itu bisa melesat naik,
tinggi dan lebih cepat dari luncuran semula, sampai akhirnya tongkat itu
menancap pada batang pohon di bagian atas.
Jruub...!
"Ambil tongkatku!"
sentak si Gila Tuak setelah mengetahui tempat menancapnya tongkat cukup tinggi.
"Suto, lekas ambil tongkat itu dan kembalikan padaku!"
"Salah Guru
sendiri, mengapa
membuang
tongkatnya?!" bantah Suto
sambil menghabiskan tawanya. Kemudian ia berdiri dengan sedikit limbung.
Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh tuak
yang tadi ditenggaknya untuk
yang kesekian kalinya,
Si Gila Tuak bergegas
menghampiri Suto dengan langkah cepat. Suto berjalan mundur dengan limbung dan
sedikit membungkuk. la mengangkat kedua tangannya dengan lemah. Satu
tangan masih memegangi bumbung
tuak. la tahu gurunya akan marah jika perintah itu tidak dikerjakan. Maka
dengan sikap orang mabuk yang menyerah, Suto berkata diiringi sisa tawanya.
"Iya, iya...! Baik, akan
saya kembalikan pada Kakek
Guru!"
"Kupelintir batang lehermu kalau tidak
kau kembalikan tongkatku. Dasar murid sinting!"
Suto segera melompat dan
bersalto di udara satu
kali. Kakinya menjejak pohon
tempat menancapnya tongkat itu. Dengan satu sentakan keras dan bertenaga dalam,
pohon itu dijejak dan menimbulkan bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok
sebagian. Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi melesat mundur dan
jatuh di bawah pohon tempat si Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang
murid.
Pluk...! Tongkat itu jatuh
tergeletak di rerumputan. Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru saja
ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba- tiba badannya bergerak mundur.
Karena pada saat
itu Suto menghentakkan jari
tengahnya ke depan
dengan satu hembusan napas
kencang. Wuuus...! Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian segera
berubah menjadi seekor ular sanca.
Si Gila Tuak melompat mundur
karena kaget. Suto kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu menatap
si Gila Tuak, sejurus kemudian segera melesat menyambar kepala si Gila Tuak.
Namun
dengan cepat tangan si Gila
Tuak menangkapnya.
Hup...! Kepala ular digenggam
kuat, lalu tangan kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor, dan
dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu sudah berubah menjadi tongkat
seperti sediakala.
Suto masih
tertawa. Kali ini ia duduk di rerumputan, meletakkan bumbungnya di
samping, dan ia bertepuk tangan sambil berkata,
"Bagus, bagus, bagus...!
Itu baru guruku namanya.
Hebat...!"
Cepat tubuh
tua berbalik menghadap Suto. Tongkatnya digenggam dengan
tangan kanan, ujung bawahnya menyentuh tanah.
"Rupanya kau telah
menerima warisan ilmu sihir dari bibi gurumu; Bidadari Jalang itu!"
"Tinggal sebagian ilmu
yang belum saya miliki dari
Bibi Guru," kata Suto
seraya menghentikan tawanya. "Kapan
dia berjanji akan menyelesaikan
penurunan ilmunya
padamu?" tanya si Gila Tuak sambil mendekati Suto.
"Bibi Guru tidak bilang
pada saya, Kek. Bibi Guru hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya,
karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap penyakit racun
birahinya."
"Apa kau percaya dengan
omongan bibi gurumu
itu? Dia sudah terbiasa
bertindak curang, Suto."
"Saya tahu kelemahan Bibi
Guru, Kek. Akan saya buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai dia
membohong aku."
Si Gila Tuak menggumam lirih,
"Murid gila! Bibi
gurunya akan dibuat bertekuk
lutut. Kurasa..., itu bisa saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan
kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu
'Candra Geni' yang dapat
membakar lautan walau hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah
ilmu itu kuturunkan kepada
bocah sinting itu? Aku harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila Tuak
di dalam hatinya.
Memang tinggal satu ilmu yang
belum diturunkan oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi bukan berarti
si Gila Tuak merasa sayang untuk menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih
belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan
bekal ilmu lain yang
diturunkannya kepada Suto, pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu menghadapi
bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada
Suto, pemuda tampan yang punya senyum memikat hati setiap perempuan itu tentu
sudah lebih tangguh menghadapi musuh mana pun.
Si Gila Tuak yang menentukan
perjanjian tersebut, ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto untuk menghilangkan
racun birahi dari dalam dirinya.
Pada waktu itu si Gila Tuak
berkata,
"Boleh saja kau meminta
bantuan bocah tanpa pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan
kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang akan dilakukan oleh Suto terhadap
dirimu nanti, justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba
persilatan."
"Aku tahu maksudmu,
Sabawana," kata Bidadari Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak.
"Aku sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku yang kuanggap sangat
ampuh ini ternyata masih bisa dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini
semakin membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku kian hilang satu
persatu."
"Jangan merasa lebih
tinggi dari yang lain. Ada yang lebih tinggi dari yang tertinggi.
Ingat-ingatlah hal
itu, Nawang Tresni!"
"Ya. Aku ingat.
Karenanya, setelah racun birahiku ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri
dari rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk melanglang buana lagi. Aku
tidak akan turun di rimba persilatan jika tidak ada keperluan yang
penting."
"Aku mendukung rencanamu,
Nawang Tresni."
"Jika begitu, izinkan aku
membawa bocah tanpa pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk pemusatan
tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan untuk melawan racun birahiku."
"Kuizinkan kau membawa
Suto, tapi tetap dalam pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah itu semakin dewasa semakin kelihatan ketampanannya. Aku
takut kau jatuh hati kepadanya."
Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak
keberatan kau mengawasinya,
karena memang aku sangat membutuhkan tenaga intinya."
Begitulah akhirnya, Suto juga
dididik oleh Bidadari Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid,
kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa anak buah yang dibekali
jurus-jurus ringannya.
Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang
menggembleng bocah tanpa
pusar itu dalam pengawasan Ki Sabawana yang
berjuluk si Gila Tuak. Kadang-kadang mereka melatih Suto secara
berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus- jurus baru yang tercipta karena
perpaduan dua jurus mereka itu.
Bidadari Jalang kini telah
terbebas dari racun birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke dalam diri Bidadari Jalang. Untuk
melakukan penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat mata Suto
menjadi buta sementara dengan racun
tuak simpanannya. Hal itu
dilakukan oleh si Gila Tuak, supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat
melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari Jalang. Sebab, cara penyembuhan
tersebut dilakukan dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua pakaiannya di
dalam sebuah kamar.
"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di punggungku, Suto," kata
Bidadari Jalang waktu penyembuhan dulu. Suto melakukannya dengan sedikit
gemetar, karena ia merasakan kelembutan kulit punggung Bidadari Jalang.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto! Pusatkan perhatianmu pada
tenaga intimu. Keluarkan hawa
murnimu melalui kedua telapak tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
Suto melakukan hal itu. Tubuh
Bidadari Jalang
menjadi menggigil pada saat
hawa murni Suto disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari Jalang
berkata,
"Besar sekali hawa murni
yang keluar darinya? Oh, tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam
gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak akan sebesar ini kekuatan hawa
murni dan tenaga intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!"
Bidadari Jalang tetap duduk
bersila memunggungi Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan hawa dingin
yang membekukan darah. Tubuh tanpa
pakaian itu gemetar menggigil,
namun tubuh Suto yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi bermandikan
keringat hingga mirip orang habis kehujanan.
"Nah, sekarang lakukan di
ulu hatiku. Tekan tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil
Bidadari Jalang berbaring. Suto meraba bagian ulu
hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu memekik keras.
"Hai, jangan yang itu
yang kau pegang!"
"Oh, maaf. Maaf, Bibi...
saya salah pegang!" "Nakal kamu!"
Plakkk...! Wajah Suto
ditampar. Tapi Suto tetap tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa
yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang sekal dan berujung kencang.
Suto menahan geli, lalu segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik napas
panjang-panjang.
Sekarang, usianya sudah lebih
dari tujuh belas
tahun. Suto sudah menjadi pria
tampan yang menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering bicara meracau
karena pengaruh minuman tuaknya. Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto
muncul di rimba persilatan sebagai pendekar pembela kebenaran. Tetapi karena
sering diajak minum tuak oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai pemuda
yang sering mabuk, dan ke mana-mana selalu membawa tabung bambu yang disebut bumbung. Benda itu
berukuran satu depa panjangnya. Besarnya sedikit lebih
besar dari tongkat milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto, bumbung itu
hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung itu mempunya tali yang biasa
diselempangkan di dada jika
bumbung itu sedang dibawa di punggungnya.
"Suto," kata si Gila
Tuak setelah mereka selesai latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan
kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka Tuak Setan yang harus kau ambil
dan kau hancurkan itu!"
Gila Tuak melesat dalam satu
lompatan seperti
angin, menerobos curah air terjun, dan
Suto mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu terdapat gua,
sebagai tempat bermukimnya si Gila Tuak selama ini.
*
* *
3
PAGI yang cerah dihiasi dengan
deru kaki kuda yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh seorang
perempuan berpakaian serba hitam, berikat pinggang sabuk lebar warna coklat.
Rambutnya yang panjang disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari bambu
kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang dari logam putih mengkilat, sebagai
tanda bahwa ia adalah orang Perguruan Merpati Wingit.
Tak salah lagi, perempuan yang
mampu bergerak lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah Dewi Murka.
Rupanya dialah yang mendapat tugas
menemui si Gila Tuak ke Jurang
Lindu untuk menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari Ayu tidak ingin
masalah tersebut menjadi berbuntut panjang. Selama ini hubungannya dengan si
Gila Tuak cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari Jalang bermusuhan.
Tetapi selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi
saudara seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut tidak membuat retak
hubungan baiknya dengan Betari Ayu.
Mengingat masalah hadirnya
Murbawati menjadi masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu Pujangga
Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus
Dewi Murka untuk menyelesaikan
secara baik-baik.
Bilamana perlu meminta maaf
atas kesan buruk yang dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun
sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati Murbawati yang terpikat oleh
sebentuk ketampanan seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap- endap dan
bersembunyi itu dianggap salah oleh Betari Ayu.
Dengan diutusnya Dewi Murka
untuk menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini merupakan
kebanggaan yang amat menggembirakan hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas
ini sudah merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari Nyai Guru kepadanya.
Tidak menutup kemungkinan lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya untuk
memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit, dan berhak pula
memiliki Kitab Wedar Kesuma.
Itulah sebabnya Dewi Murka
sangat bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu.
Tetapi ketika kuda melewati
kaki bukit cadas yang tak
seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda menyentak ke atas bagian
belakangnya. Keras sekali sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun jatuh
terpental ke depan bersama ringkik suara kuda.
Beruntung gerakan naluri Dewi
Murka cukup
tajam, sehingga pada waktu ia
melayang karena dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera menguasai
keseimbangan. Bersalto satu kali dan segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak
berdiri kokoh berpijak. Kedua tangannya segera mengambil sikap menunggu
serangan berikutnya.
Tapi sampai beberapa saat
lamanya Dewi Murka menunggu dengan mata memandang tajam ke sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang tampak mencurigakan yang
akan membahayakan
dirinya.
"Aku merasakan ada
pukulan dari jarak jauh yang menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka
dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu tidak segera menyerangku
lagi. Apa maksudnya dia begitu? Siapa dia sebenarnya?"
Sambil bicara dalam hati, Dewi
Murka segera mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat pukulan gelap
tadi. Dewi Murka segera berhasil memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap
bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi tenang.
"Tenang, tenang...,"
katanya pelan kepada sang kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak
mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja di sini sambil beristirahat
sebentar, Kliwon!" seraya ia menyebutkan kudanya.
Kliwon memang menjadi tenang
setelah diusap- usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru saja kuda
itu tampak tenang, kali ini kaki kuda
menjadi tersentak ke depan dan
naik tinggi-tinggi sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan kuda
hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau saja ia tidak segera mundur dengan
melompat dua langkah. Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut adalah putusnya
tali kekang kuda. Tali itu putus hampir di dekat bagian yang digenggam tangan
kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan asap yang menandakan adanya
sebuah pukulan tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu sisi.
Pukulan itu mengenai tali kuda.
Serentak mata Dewi Murka
terbelalak setelah ia segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la
mengenali pukulan itu.
"Tapak Merpati
Murka'.,.!" gumamnya menyebut nama pukulan jarak jauh tersebut.
"Pasti ada orang Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati
Murka' hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang menggunakan pukulan berbahaya itu untuk menyerangku. Jelas, ini bukan
serangan main-main. Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud jahat."
Dewi Murka segera memejamkan
mata dengan kedua tangannya saling bertaut di depan dada. Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah
menemukan sesuatu yang
dicarinya. Seketika itu tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju pada
gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit. Sebuah pukulan jarak jauh
bertenaga dalam cukup tinggi dilancarkan.
Wuuugh...! Blaarrr...!
Gugusan batu cadas yang cukup
besar itu pecah karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari gugusan tersebut
segera muncul sesosok tubuh bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di
udara dua kali. Sosok
itu dalam sekilas menampakkan warna merah dadu, dan
segera mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat
Dewi Murka berdiri.
"Oh, kau rupanya?!"
Dewi Murka sedikit terperanjat dan segera mundur satu tindak. la sangat
mengenali penyerang
gelapnya itu, yang tak lain
adalah Selendang Kubur.
"Apa maksudmu menyerangku, Selendang
Kubur?!" ketus suara Dewi
Murka dengan sikap tetap siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya pun memandang tajam
berkesan bermusuhan.
Selendang Kubur hanya
memandang dengan sinis, demikian pula senyumnya yang tipis menandakan senyum
kesinisan.
"Serahkan tugas itu
kepadaku, Dewi Murka. Guru telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas
bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh kata-katamu yang suka memuji
diri sendiri itu."
Dewi Murka memperdengarkan
suara tawanya yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun berkata
dengan ketus.
"Guru bukan orang bodoh,
ia tidak mungkin mengutus muridnya yang masih
hijau untuk berurusan dengan
tokoh tua itu."
Selendang Kubur menggeram menahan kemarahannya. la membatin.
"Usianya memang tiga
tahun lebih tua dariku, tapi tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang
masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu diberi pelajaran...!"
Pelan-pelan Selendang Kubur
menarik selendang putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat gerakan
seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap mencabut trisulanya dari pinggang, karena
lepasnya selendang putih dari pinggang merupakan tantangan maut buat dirinya, karena memang begitulah kebiasaan Selendang
Kubur jika hatinya mempunyai niat bertarung dengan siapa pun.
"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi..., menyingkirlah dan serahkan
tugas itu padaku. Aku lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika
sewaktu-waktu ia bertindak keras."
"Dugaanmu salah,
Selendang Kubur. Si Gila Tuak
tidak akan bertindak keras
kepada siapa pun, selama ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar
padanya."
"Tapi aku punya rencana
sendiri dalam tugas ini!" ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.
Senyum sinis Dewi Murka
kembali mekar di sudut bibirnya yang mungil namun tampak judes itu.
"Aku tahu,
ada sesuatu yang membuatmu penasaran, Selendang Kubur.
Rencana tersendiri yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan jelas,
seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan memikat hati itu!"
"JahanamI" geram
Selendang Kubur. Kemudian
mulutnya terkatup rapat,
hatinya berkata, "Dia tahu jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi
niat kecilku itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran ingin melihat murid
si Gila Tuak yang kata Murbawati mempunyai daya tarik begitu kuat
dan amat mempesona hati
itu. Atau, barangkali di dalam hati kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang
sama dengan niat hati kecilku ini?"
Dewi Murka
sendiri berkata dalam hatinya, "Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya Selendang Kubur tidak
membantah tuduhanku. Rupanya
apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula dalam otaknya. Kabar tentang
adanya murid Gila
Tuak itulah yang membuatku
lebih bersemangat lagi
menunaikan tugas ini. Aku juga
ingin membuktikan kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang
mempunyai wajah menggetarkan hati setiap perempuan itu. Aku punya
rencana sendiri jika kata- kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang
Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang utamaku. Haruskah aku
menyingkirkannya dengan sebentuk kematian?!"
Sepertinya percakapan batin mereka saling didengar oleh lawannya, sehingga
Selendang Kubur pun segera berkata,
"Rupanya kita punya
maksud yang sama, Dewi. Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan ini
memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara kita sendiri!"
"Apa maumu, Selendang
Kubur?! Jangan pikir aku akan mundur
setapak pun menghadapi kecuranganmu ini!"
"Sangat kebetulan jika
kau tak mundur setapak pun, itu akan memudahkan diriku
untuk membunuhmu dengan cepat, Dewi!"
Dan tiba-tiba sebelum Dewi
Murka mengatakan sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur itu
berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi Murka. Kibasan selendang itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka segera
melompat ke kanan menghindarinya. Serta- merta tubuh Dewi Murka meluncur
bagaikan terbang dengan
ujung trisulanya mengarah ke tubuh Selendang Kubur. Gerakannya
begitu cepat, sampai- sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula yang
memancarkan udara panas dalam jarak satu depa di depannya.
"Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik
bagaikan terbang.
Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi Murka yang melayang menembus tempat kosong di
bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang Kubur dijejakkan ke bawah, tepat
mengenai punggung Dewi Murka dengan kerasnya,
Bukkk...!
"Uuhg...!" Dewi
Murka sempat memekik tertahan dan segera berguling di tanah. Hampir saja
tubuhnya
membentur batu runcing ketika
dijejali punggungnya dari atas tadi.
Saat berikutnya, Dewi Murka
telah mampu berdiri dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya terangkat ke
atas, sejajar dengan pundak kanannya. Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan
dengan menahan napas beberapa saat dan
menghembuskannya pelan-pelan.
Kini mata Dewi Murka
memandang lebih tajam
lagi ke arah Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan trisulanya ke depan.
Wuuugh...!
Ujung trisula mengeluarkan
gelombang hawa panas yang diperkirakan dapat membakar selendang putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru mengibaskan selendangnya ke
depan dengan melancarkan tenaga
dalamnya yang mengandung gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga
dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing
itu bertemu di pertengahan
jarak dan menimbulkan
bunyi teredam yang cukup
jelas. Dubbb...! Blaarrr...!
Suara ledakan pun menyusul.
Tabrakan dua tenaga dalam bergelombang berlawanan itu mengguncangkan tanah tempat mereka
berpijak. Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun- daun berjatuhan
dari atas pohon, seakan tanah di
sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan
gempa yang lumayan keras, kuda
pun meringkik ketakutan.
Tetapi kedua murid Betari Ayu
itu sama-sama berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling pandang dan tangan
mereka tetap bersikap seperti tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua
lutut mereka sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan.
Beberapa jurus kemudian
keduanya sama-sama jatuh
terlutut di tanah. Tubuh
mereka mulai kelihatan sama-sama lemah.
Dari hidung Dewi Murka
mengalir darah segar. Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang Kubur.
Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat jelas pula ada nya darah segar yang
mengalir dari mulut Selendang Kubur bagian sudutnya.
Rupanya mereka sama-sama
menahan hawa aneh yang melesat ke segala arah akibat benturan dua tenaga dalam
mereka. Hawa aneh itu menghantam dada masing-masing dan sempat membuat luka di
bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak seberapa, namun mereka
sama-sama sadar jika hal itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama tewas
tanpa hasil. Alias mati konyol.
Namun apakah mereka mau
berdamai jika pikiran mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing- masing?
*
* *
4
JIKA bukan orang berilmu
tinggi, tak akan mampu menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di dalam
gua, di balik curah air terjun raksasa itulah Suto digodok bertahun-tahun oleh
si Gila Tuak. Anak itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai ilmu
peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup kuat. Karena tanpa kekuatan
tersebut, Suto tak akan bisa menembus curah air terjun raksasa itu.
Gua di balik air terjun
tersebut, bukan gua sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya cukup
untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar
air terjun. Setiap orang yang
melompat masuk menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir mulut gua.
Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir dan menjadi santapan batu-batu runcing di bawahnya. Itulah sebabnya
dikatakan bahwa tidak semua orang bisa mencapai mulut gua.
Memang mulut gua itu sempit,
namun di bagian dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan tanah
bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang lebih dari seratus langkah terhitung
dari mulutnya. Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari sepuluh
tombak tingginya.
Di setiap sisi dinding gua
terdapat obor-obor penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa.
Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding gua, dan lebih dari dua puluh
lampu minyak berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai tempat
berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak.
Tetapi kali ini Suto tidak
melakukan gerakan jurus- jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila
dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak sengaja duduk di sebuah
balai-balai bambu sambil sesekali menenggak tuaknya.
Rupanya ia baru saja bangun
dari tidurnya. Dan,
rupanya sudah sejak tadi Suto
dibiarkan duduk bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu sudah lama
dilakukan oleh Suto karena sekujur tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan
dari awal semadinya itu menampakkan punggung lebar dan kekar itu berkilauan
oleh butir-butir keringatnya.
Ada perasaan bangga di hati si
Gila Tuak memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri setelah meneguk
tuaknya untuk yang kesekian kali. Dalam hatinya ia berkata,
"Tiga hari sudah
kubiarkan dia duduk di situ. Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan
tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada dirinya untuk memburu tugas yang
diberikan. Dia dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia tidak mau
menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa menunggu menyerah dirinya. Aku harus
membangun semadinya!"
Serta-merta si Gila Tuak
melemparkan sekeping logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu runcing dan
meluncur cepat tak dapat terlihat oleh
mata telanjang. Benda itu akan
menancap di
punggung Suto yang berkulit
sawo matang. Zingng...!
Tappp...!
Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa berpaling sedikit pun. Benda
yang melayang itu ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu bergerak
menyentak pelan, namun membuat benda yang ditangkapnya kembali melesat lebih
cepat dari gerakan terbangnya yang tadi.
Crangng!
"Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat duduknya. Hampir saja benda
itu mengenai pundaknya
kalau tidak segera berkelit ke kiri dan melompat turun dari balai-balai bambu.
"Konyol!" geram hati
si Gila Tuak. "Dia selalu membalikkan seranganku. Lebih cepat dari
dugaanku semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia akan membalikkan benda
itu. Untung sisa kegesitanku masih ada,
sehingga benda itu menancap pada dinding batu. Kalau tidak,
bisa jadi pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga sentakan tenaga
dalamnya. Dalam gerakan tangan
pelan sudah dapat membuat
benda besi itu meluncur
melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm... agaknya bocah tanpa pusar itu
memang mempunyai kelebihan
dalam kekuatannya. Mungkin juga pengaruh jurus-jurus
pernapasan yang diturunkan oleh
Bidadari
Jalang kepadanya, sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan yang ada adaku maupun pada Bidadari Jalang."
Dengan langkah seenaknya si
Gila Tuak mendekati sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh curiga.
Karena pada saat itu, Suto tidak segera
menyelesaikan semadinya,
melainkan melanjutkan
semadinya dengan cara
memejamkan mata, dan kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya
yang bersila. Kedua tangan
itu sama-sama
menggenggam walau tak terlalu kencang.
"Suto, berhentilah! Aku
mau bicara padamu!"
Suto masih diam, sepertinya
tidak mendengar ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan dengan
nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak bergerak sedikit pun kecuali
pernapasannya.
"Keras kepala kau ini,
hah?!" bentak si Gila Tuak. Suto masih tidak bergeming bagaikan patung
batu.
Gila Tuak bergerak ke depan,
jaraknya tujuh langkah dari
tempat Suto bersila.
Dengan jengkel ia
lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu meluncur dengan ujung
bagian bawahnya terarah ke dada Suto seperti anak panah.
Tiba-tiba Suto menggerakkan
tangan kanannya. Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung tongkat yang
melesat cepat.
Tappp...! Tongkat tertahan dua
jari Suto. Mata Suto tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak
menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!
Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam keadaan tetap mendatar
di udara bagaikan anak panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu cepatnya
sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima. la tak
menyangka Suto akan
mengembalikan tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan, namun
menghasilkan kekuatan tampar cukup besar. Kepala tongkat meluncur ke arah dada
Gila Tuak. Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping dan tongkatnya
kembali membentur dinding batu.
Duaaang...!
Gua tersebut bagai ditabrak
seribu banteng. Berguncang menggetarkan semua obor dan benda- benda yang
menempel di dinding. Salah satu obor jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak.
Apinya nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat kakek berjubah
kuning itu melompat sambil berteriak antara kaget dan jengkel.
"Kucing Kurap! Semut
Bunting!" makinya sambil
mengibas-ngibaskan api yang
hendak membakar ujung jubahnya.
Getaran dinding gua berhenti.
Obor yang jatuh dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang curiga kepada
muridnya. Tongkatnya diambil dan digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata,
"Ada yang tidak beres
pada dirinya. Hmmm... ada
apa sebenarnya? Dia kusuruh
mencoba mencari Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun kenapa sampai tiga
hari belum selesai juga? Padahal seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan
Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah kuturunkan padanya."
Si Gila Tuak tak berani
mengganggu semadinya
Suto lagi. Tapi ia duduk di
sebuah batu datar yang
ada di depan Suto, berjarak
empat langkah darinya. la bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk
sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci besar yang tadi diambilnya dari
pembaringan bambu.
Beberapa saat lamanya setelah menunggu, akhirnya si
Gila Tuak membangunkan semadi Suto melalui suara batinnya.
"Suto, bangunlah. Buka
matamu!" Maka, pelan-
pelan Suto
membuka matanya. Seketika itu terperangah kaget wajah si
Gila Tuak melihat kedua mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik
kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air mata seorang lelaki. Dahi Gila
Tuak berkerut tajam dengan mata tak berkedip memandangi muridnya.
"Apa yang terjadi,
Suto!" sentak si Gila Tuak. Suto menarik napas panjang, kemudian menjawab,
"Tidak apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang meleleh dari
matanya.
Tetapi, rupanya Suto sendiri
tidak menyadari adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la terkejut
ketika melihat tangannya berlumur darah setelah mengusap pipinya. Mata itu segera memandang gurunya dengan
tajam dan tegang.
"Apa yang terjadi pada
diri saya, Guru?!" ia justru
balik bertanya, membuat si
Gila Tuak menjadi kebingungan menjawabnya.
Segera sang murid didekati.
Gila Tuak memeriksa mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang murid. Darah yang keluar
dari mata Suto dipegangnya, diremas-remas dengan
kedua jari, bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti menemukan sesuatu dalam hatinya.
"Guru, mengapa kedua mata
saya mengucurkan
darah? Apakah saya terkena
pukulan tenaga dalam dari luar gua?"
"Tidak! Kau
menangis!" jawab si Gila Tuak sambil berdiri untuk mengambil kain
pembersih. Sementara itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban tersebut.
"Saya menangis,
Guru?!"
"Ya. Itu disebabkan
karena perasaanmu telah bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi
tangis air mata, melainkan tangis darah."
Gila Tuak mendekati kembali
sambil melemparkan kain pembersih.
Suto menangkapnya, lalu membersihkan darah dari
wajahnya, juga dari kedua sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya
berkata,
"Pasti kau telah
melakukan pengembaraan sukma terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk
mencari di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan. Tugas itu kuberikan padamu
untuk mengetahui apakah kau mempunyai tali hubungan dengan pusaka leluhurku itu
atau tidak. Jika kau punya hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan
mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika kau tidak punya hubungan
batin, kau tidak akan bisa menghancurkan pusaka Tuak Setan."
Gila Tuak duduk kembali ke
batu yang tadi. Suto selesai mengeringkan darah dari sudut matanya. Pandangan
matanya tetap terang, tidak mengalami buram sedikit pun. Gila Tuak berkata
dengan tegas.
"Tapi rupanya sukmamu
tidak mencari tempat
persembunyian Pusaka Tuak
Setan, melainkan mengembara ke
mana-mana! Itu aku tidak suka, Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"
"Saya sudah menemukan di
mana pusaka itu
disembunyikan Kakek
Guru!" kata Suto juga dengan tegas.
"Di mana?" pancing
Gila Tuak.
"Di sebuah telaga, di
bagian dasar telaga itulah guci Tuak Setan terkubur!"
Mulut si Gila Tuak terbungkam.
Hatinya berkata, "O, kalau begitu dia memang sudah menemukan Pusaka Tuak
Setan. Dia punya tali hubungan batin. Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu
dengan kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!"
Terdengar suara Suto
menuntut kepastian,
"Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?"
"Tidak. Sukmamu telah
menemukan kuburan Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai mencucurkan
air mata berdarah, Suto? Apa yang telah terjadi pada sukmamu?"
Suto bangkit, berjalan
mendekati bumbungnya. la
menenggak beberapa teguk tuak
dari bumbung tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya sambil masih
memegangi bumbung dari bambu pilihan itu.
"Kakek Guru, sejujurnya
saya katakan, sukma saya telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang sangat
menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau menyebutkan apa penyebab dukanya itu.
Dia sempat menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan saya biarkan dia
menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut
berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih dalam dari kesedihan yang
disandangnya. Apa artinya itu, Kek?"
Si Gila Tuak terkekeh-kekeh
menertawakan kata- kata Suto. Sang
murid menjadi berkerut
dahi
ditertawakan demikian. Hatinya
menjadi dongkol dan ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang Guru.
Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa, ia pun berkata,
"Itulah perempuan yang
bakal menjadi jodohmu kelak, Suto.
Rupanya sukmamu yang nakal menerobos sejarah hidupmu di masa
mendatang, dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu."
"Begitukah?"
"Ya," jawab Gila
Tuak sambil melirik ke samping, memandangi sang murid yang termenung dengan
dahi masih berkerut.
"Siapa nama perempuan
itu, Suto?" tanya Gila
Tuak setelah menenggak tuaknya
kembali. "Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya,
mengingat-ingat sebuah nama.
Sejurus kemudian ia pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum, itu
namanya!" Sambil tetap tersenyum, si Guru menggumamkan nama itu,
"Dyah Sariningrum...?!
Bagus sekali nama itu. Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut.
"Wajahnya juga cantik,
Kakek Guru. Lebih cantik dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang."
"Ssst...! Jangan
keras-keras. Kalau kebetulan bibi gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar,
dia bisa melabrakmu! Dia
tidak pernah mau
kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun juga!"
Suto hanya
tersenyum malas-malasan.
Ini pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah cantik yang ditemukan
dalam pengelanaan sukmanya tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya,
"Apakah benar Dyah
Sariningrum itu calon jodoh saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman
biasa?"
"Jika ia calon teman
biasa, tangismu tak akan berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan
yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika sampai kau mencucurkan air mata
berdarah, itu pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum sungguh besar
dan dalam sekali. Jika tak begitu besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan
air mata darah, Suto."
Kepala pemuda tanpa pusar itu
manggut-manggut sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya,
"Di mana saya bisa
menjumpainya, Kek?"
"Di suatu tempat. Tak ada
yang tahu dengan pasti. Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja
padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu, karena dia adalah jodohmu."
"Tapi saya tak sabar
ingin segera menemuinya, Kek!"
"Berlatih sabar adalah
hal yang baik dalam
hidupmu, Suto. Jangan memburu
nafsu pribadi. Itu justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak
sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan pusaka itu, supaya
tidak menjadi sumber bencana bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan
Yang Maha Kuasa."
"Baik. Saya sudah paham
dengan maksud Kakek Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai mengubur
pusaka itu, Kek?"
"Namanya Telaga Manik
Intan. Letaknya ada di
sebelah barat pegunungan
Suralaya."
"Ya. Saya paham, Kek.
Tapi ada satu hal yang belum
saya mengerti, tentang adanya benda
berkilauan yang terlihat oleh
mata sukma saya ketika menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di
samping Guci Tuak Setan.
Benda apakah itu sebenarnya,
Kek?"
"Kau melihatnya dengan
jelas?" "Tidak terlalu jelas."
Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil menggumam.
"Benda itu milik bibi
gurumu. Benda itu adalah
sebuah cincin. Namanya; Cincin Manik
Intan, warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan dari guru bibi
burumu yang bernama Eyang Nini Galih. Batu Cincin Manik Intan itu konon
terbentuk dari tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam murkanya begitu
hebat, hingga hanya bisa menangis."
"Apa keistimewaan batu
itu, Kek?"
"Sangat berbahaya jika
dipakai oleh orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu bisa
memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan menyalurkan tenaga dalam melalui
cincin tersebut. Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu itu akan
berubah menjadi tenaga dahsyat yang mampu melelehkan baja setebal satu depa."
"Dahsyat sekali!"
gumam Suto kagum.
"Ya. Tapi dulu bibi
gurumu pernah menggunakan cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa mengendalikan kemarahan. Cincin itu
memancarkan kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi gurumu sedang
memendam kemarahan. Ke mana pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu
telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan menghantam apa saja yang
ada di depannya. Banyak korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam yang
keluar melalui cincin tersebut."
"Lalu, mengapa Bibi Guru
menguburnya di dasar telaga juga?"
"Aku membujuknya agar ia
tidak memakai cincin itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir
saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi gurumu mau menguburkan cincin
itu asalkan aku mau menguburkan satu-satunya pusaka andal yang
kumiliki. Kami pun bersepakat,
aku menguburkan Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin Manik Intan.
Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Aku sendiri
tidak berani menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir malah nantinya menjadi
penyebar bencana di seluruh pulau Jawa."
Alangkah hebatnya kedua pusaka
tersebut. Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang yang meminumnya
dapat mendatangkan badai yang begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan
pulau Jawa. Tentu saja kedua
pusaka tersebut
menjadi bahan incaran para
tokoh dunia persilatan, terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Dugaan Suto itu memang benar.
Sebab, pada saat percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa pasang telinga
yang mencuri dengar melalui kekuatan telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua,
bahkan
ada yang jauh dari gua, namun
dengan suatu ilmu
kekuatan batin mereka mampu mendengar percakapan tersebut.
Karena pada saat selesai
berbicara tentang Cincin Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya
sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan cemas.
"Ada apa, Guru?"
tanya Suto.
"Ada yang mencuri
percakapan kita," jawabnya
dengan pelan tapi mengandung
ketegasan yang menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata,
"Lekas, pergilah ke
Telaga Manik Intan, hancurkan kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu
menemukannyal"
"Baik, Guru. Tapi
bolehkah saya tahu, mengapa bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam
hal ini?"
"Kalau aku yang
menghancurkan pusaka Tuak Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku
yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang menghancurkan, aku tetap hidup.
Artinya, tidak mati karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi,
aku sudah berjanji pada diriku
sendiri, tidak akan turun ke rimba persilatan lagi jika aku sudah mempunyai
murid tunggal. Aku hanya akan turun kembali ke dunia persilatan jika dalam
keadaan yang benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan banyak manusia. Jadi,
kurasa sekaranglah saatnya kau muncul di permukaan rimba persilatan untuk
menjadi wakilku!"
"Saya mengerti,
Guru!" "Kerjakan!"
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5
DUA perempuan itu bersalto ke
belakang secara bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan mereka melainkan
karena adanya pukulan berbahaya yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki
bertubuh sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana hitam dengan ikat
pinggangnya yang hitam juga itu. Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan
Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan keinginan masing-masing untuk
menemui si Gila Tuak.
Tetapi ketika mereka sedang
bertempur, tiba-tiba saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak ketiga.
"Selendang Kubur, kurasa
lebih baik kita bersama-
sama menghadapi lelaki tambun
itu! Dan nanti kita bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar Dewi
Murka mengajak berdamai.
"Aku mengerti, Dewi. Baiklah
kalau kau menghendaki kita
bersatu."
Mereka berdua memang tidak
menyangka jika
kehadirannya di Jurang Lindu
akan disambut oleh sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal dengan
nama julukan: Pujangga Kramat. Pelayan setia si Gila Tuak itu adalah orang yang
mudah curiga. Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah air terjun
itu yang luput dari sasaran kecurigaan.
Bahkan seorang penggembala kambing pun pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga penggembala kambing itu
nyaris mati di tangan Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang Kubur
serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat yang jahat, walaupun di ujung
pertemuan mereka berdua sudah menjelaskan akan bertemu dengan si
Gila Tuak. Tetapi, Pujangga
Kramat itu berkata,
"Tak punya bertemu waktu
si Gila Tuak kalian kepada!"
Mulanya Selendang Kubur dan
Dewi Murka sama- sama
ingin tertawa geli mendengar kata-kata Pujangga Kramat. Tetapi
mereka segera maklum, karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru mereka,
bahwa Pujangga Kramat adalah manusia
yang tidak pernah benar dalam
menggunakan tata bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap ucapan kata
Pujangga Kramat, yang menurutnya mempunyai seni sastra tersendiri.
"Kami datang dengan
maksud baik," kata Dewi
Murka.
"Peduli tak. Izin tak ada
menerima tamu untuk si
Gila Tuak dari," kata
Pujangga Kramat.
Selendang Kubur berbisik
kepada Dewi Murka, "Apa maksudnya?"
"Tak peduli. Tak ada izin
dari si Gila Tuak untuk menerima tamu!"
"Ooo...," Selendang
Kubur manggut-manggut. "Jika
begitu, kita desak saja dia
dengan rayuan."
"Lelaki macam dia
sepertinya tak butuh rayuan wanita."
Belum sempat kedua perempuan
itu berunding lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada membentak.
"Ini tempat kalian
tinggalkan segera! Di sekitar sini orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak
mendidik sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera tak pergi!"
"Kami tak akan pergi
sebelum bertemu dengan si
Gila Tuak!" kata Dewi
Murka.
Maka, menyeranglah Pujangga
Kramat dengan
pukulan tenaga dalam
dari kedua tangannya. Berjumpalitanlah kedua perempuan
itu ke belakang. Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan tangan siap
hantamkan pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera
ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang rendah dengan kedua tangan
diangkat setinggi pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing perempuan
yang bersebelahan itu.
Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama memutar tubuh satu putaran
dan kedua tangan mereka dihentakkan ke depan dengan keras.
Wuuggh...! Wuggh...! Duubh...!
Pukulan itu ditahan oleh
Pujangga Kramat dengan menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya. Tetapi,
agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar' itu lebih besar
kekuatannya, sehingga tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu terjengkang
ke belalang, lima langkah jauhnya.
Brrukk...!
Tubuh Pujangga Kramat bagai
hendak terbenam di dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya sempat
mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan semua uratnya dan melesat cepat dengan menggunakan ke dua kakinya. Kini ia
sudah kembali berdiri dengan wajah memerah.
"Gila. Cukup hebat juga
orang ini. Dia mampu berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan kita
berdua!" kata Dewi Murka.
Selendang Kubur hanya
tersenyum sinis. Segera ia melepas kain selendangnya seraya berkata pelan
kepada Dewi Murka.
"Biar kuhadapi dengan
selendangku. Dia perlu
mendapat pelajaran yang layak
dari selendang ini!" Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata,
namun ia melangkah mundur
beberapa tindak, membiarkan Selendang Kubur maju ke depan. Pada saat itu,
Pujangga Kramat berkata,
"Aku salahkan jangan,
jika melayang kau punya nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini cepatlah
pergi!"
Selendang Kubur sempat
berpaling ke arah Dewi
Murka dan bertanya, "Apa
maksudnya?" "Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!" Selendang
Kubur mengangguk tanda setuju. la
melangkah maju tiga tindak.
Pujangga Kramat pun melangkah maju dengan bersiap mengirimkan pukulannya
lewat kepalan tinjunya yang besar dan kekar. Namun sebelum tangan itu sempat
bergerak melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang putih berkelebat dengan
cepatnya, bagai hembusan angin di siang hari bolong. Wusss...! Srettt...!
Kain selendang menjerat lengan
Pujangga Kramat. Kuat dan erat sekait lilitan kain selendang itu. Pujangga
Kramat mengerahkan tenaganya untuk menarik selendang tersebut, sementara
Selendang Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat- kuat. Keduanya saling
beradu kerahkan tenaga.
Keduanya sama-sama
berkuda-kuda rendah dengan
tangan gemetaran.
Selendang Kubur membatin,
"Besar juga kekuatan orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku
akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya tangan orang ini cukup kokoh. Aku
harus lebih mengerahkan tenaga lagi!"
Maka memekiklah Selendang Kubur dengan suaranya yang nyaring.
"Hiaaat....!"
la sentakkan tenaga lebih kuat
lagi, dan tubuh Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan terbang ke arah
Selendang Kubur. Perempuan itu segera
menyongsongnya dengan
satu lompatan bertenaga.
"Heaaah...!" Plak,
plak...! "Huggh.,.!"
Dua pukulan ganda dari tangan
Selendang Kubur tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang mengenakan
baju komprang tanpa dikancingkan bagian
depannya itu tersentak mundur akibat pukulan telapak tangan
Selendang Kubur. la jatuh berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti
nangka busuk jatuh dari pohon.
Bluuugh...!
Lelaki berikat kepala kulit
rusa itu menyeringai kesakitan.
Namun seringainya hanya
sebentar, karena
ia telah menarik napas dalam-dalam menahannya beberapa saat. Rasa
nyeri segera teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya membekas
dua telapak tangan merah memar, la segera membatin.
"Hebat juga jurus
perempuan itu! Kalau aku tidak mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini
sudah jebol sampai ke belakang."
Selendang Kubur sendiri
berkata kepada Dewi
Murka saat berdiri di
sampingnya.
"Dia punya pelapis di
dalam dadanya. Pasti dia melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja.
Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar, tapi nyatanya hanya membekas
merah saja!"
"Apakah kau sudah
menyerah?" tanya Dewi Murka berkesan mengejek. "Kalau kau sudah
kewalahan
menghadapi dia, biarlah aku
yang maju!"
"Selendang Kubur tak
pernah mengenal kata menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai nama
asli Larasati.
"Kalau begitu,
silakan kau lanjutkan pertarunganmu. Aku akan
menjadi penonton yang baik."
Dewi Murka
tersenyum sinis, meremehkan
kemampuan Selendang Kubur.
Tetapi sikapnya itu tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan itu segera
bergerak maju dengan selendang putih dikalungkan di lehernya.
"Pujangga Kramat, satu
kali lagi kau menentang kemauanku
bertemu dengan
si Gila Tuak, kupatahkan batang lehermu memakai
selendang kuburku ini!"
Pujangga Kramat tertawa
sedikit keras. la bertolak pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak bisa
dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu,
Pujangga Kramat pun berkata,
"Hebatnya apa selendang
itumu?! Tak hebat adanya sama sekali!"
"Apakah kau tak melihat
bekas telapak tanganku di dadamu?"
"Tak lihat kau pula bekas
di tangan
pergelanganmu?"
Selendang Kubur sedikit
bingung mengartikan kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka dan
bertanya, "Apa arti kata-katanya?"
"Lihat pergelangan
tanganmu!" kata Dewi Murka.
"Oh...?!" Selendang
Kubur terpekik dalam hatinya, la melihat noda hitam menghangus di pergelangan
tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan di udara tadi, Pujangga
Kramat berhasil menotokkan
jarinya ke pergelangan tangan
Selendang Kubur. Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah, sehingga tidak
mengakibatkan apa-apa kecuali bekas hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit
yang kuning langsat itu.
"Keparat!" geram
hati Selendang Kubur. "Hampir saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas
totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat bekas seperti ini di
kulit pergelangan tanganku. Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan
membahayakan jika tidak diperhatikan!"
"He, he, he... diam
mengapa, Selendang Kubur? Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol
kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah sebaiknya sekarang kau juga,
sebelum kujebol pusar dan lainnya pusarmu."
Geram hati
Selendang Kubur
bertambah
mengganas. Maka,
ia pun segera
menarik selendangnya ke belakang dan melecutkannya dengan kaki menghentak ke
tanah satu kali.
Wusss...! Dueaarr...!
Ujung selendang memercikkan api.
Suara menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin selendang. Tubuh lelaki
bergelang akar bahar terpental terbang, dan jatuh
hampir mencapai tepian tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang Petir'
itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak menduga akan mendapat serangan
sehebat itu. Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan berkekuatan besar.
Untung saja sikunya menghantam
gugusan batu di tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke tebing
sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan
hilang dalam beberapa jurus.
Ketika ia temukan lagi napasnya,
ia terengah-engah dengan mata berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan kepalanya untuk
membuang kunang-kunang dalam penglihatannya itu.
"Samber gledek!"
makinya dalam hati. "Untung ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku.
Kalau saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur disambar ekor petir
yang keluar dari ujung selendang keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku
jadinya! Aku harus memberi
balasan kepadanya. Biar tahu perempuan itu bagaimana rasanya
orang disambar angin petir."
Pujangga Kramat segera bangkit, tidak menampakkan
kepusingannya. Namun ketika ia maju satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar
tak kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri dengan kaki tegak
menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur
pun mempunyai
kecamuk batin.
"Orang ini manusia apa
banteng?! Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya rambutnya
terbakar atau pakaiannya terbakar oleh percikan api dari pukulan 'Selendang
Petir'-ku tadi. Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia cukup
mampu melapisi dirinya dengan kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga
rupanya."
Dari arah belakang terdengar
Dewi Murka berkata merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur. "Kau
ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak
ada hasilnya sama sekali.
Buang-buang waktu saja!" "Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur,
tanpa
memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku
yang maju! Kau belajar dari
jurus-jurusku dalam merubuhkan
lawan seperti dia!" Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak
mempedulikan kata-kata Dewi
Murka. la bahkan maju dua
langkah dengan
memutar-mutarkan kain selendangnya
di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan
kedua tangannya kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya mengeras, dan
hanya dua jari di masing-masing tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua
tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu sentakan kedua jari dari
masing-masing tangannya. Wuugh...!
Sebuah tenaga begitu besar
melesat keluar dari keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu
tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh Selendang Kubur. Tubuh tersebut
pada mulanya terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya. Putarannya semakin
kencang. Tubuh itu terangkat sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun
ikut terangkat dan berputar dengan kuat. Wusss... wuuss... wuusss...!
Kedua perempuan itu tidak bisa
mengendalikan diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan kekuatan yang
memutarkan tubuh. Namun semakin
dilawan terasa semakin cepat
saja putaran tersebut.
Mereka bagai hanyut di dalam
pusaran angin lesus yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah
peredaran darahmu jika dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka
yang tampak mau melawannya dengan kekuatan tenaga dalamnya. Namun begitu
mendengar kata- kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-
kata itu. Maka ia tak jadi
melawan kekuatan dahsyat
yang telah membuatnya seperti
baling-baling. Bahkan kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika tangan
Pujangga Kramat menghentak ke samping, bagai melemparkan sebuah benda dari
jarak jauh.
Buuk... buukkk...! Kedua tubuh
perempuan itu berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak mampu bergerak
untuk sesaat. la ditertawakan oleh Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba-tiba
berhenti melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam sekejap.
"Edan! Perempuan itu
tidak merasakan pusing sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan
lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap
melihat Selendang Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka. Bahkan kini
Selendang Kubur menyabetkan kain selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...!
Sreett...! Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, bagai terikat kuat
dengan selendang putih itu.
Brukkk...! Tubuh Pujangga
Kramat jatuh karena
selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki bergeleng akar hitam itu sempat
menggeragap sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga merasakan tubuhnya mulai
melayang.
Selendang Kubur telah berhasil
menarik tubuh itu dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan cara
memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia
antara empat puluh tahunan itu
dipakai mainan, diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin lama semakin
cepat putarannya. Membentur pohon sedikit, pecah kepala
Pujangga Kramat itu. Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari selendang, maka tubuh itu
akan meluncur cepat, terbuang entah ke mana dan jika membentur benda
keras, sedikitnya akan ada
tulang yang patah. Bayangan
itu yang membuat Pujangga Kramat menjadi panik. la memekik
dengan suara mirip gaung sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai
sadar dari rasa pusing yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan jelas apa
yang dilakukan Selendang Kubur. Maka dengan cepat ia menghunus trisulanya.
Gerakan tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan pucuk trisula. Jelas
gerakan putar itu akan berhenti dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung
trisula.
Tetapi, ketika trisula itu
dihunus dan hendak dihadangkan
ke garis putaran tubuh Pujangga Kramat, tiba-tiba ada angin baru
yang berkelebat membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka.
Perempuan itu sempat terbengong melompong
melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian
terbelalak ketika melihat sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah
membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal selendang tanpa bandul apa pun
yang dibawa berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk Selendang Kubur itu.
Dewi Murka menahan tawa keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar
bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur!
Berhentilah! Mangsamu telah lenyap!" seru Dewi Murka. Dan seruan itu
didengar oleh Selendang Kubur.
"Hah...?!" Selendang
Kubur terkejut melihat ujung
selendangnya telah
kosong. Matanya terbelalak memandang sekeliling,
kemudian sepasang matanya
itu menangkap sesosok tubuh
yang berdiri dalam jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok yang
ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua dengan celana putih. Rambutnya
panjang sebatas punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata
Dewi Murka pun menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian coklat dengan
sebuah bumbung dari bambu yang ada di bagian punggungnya, melintang miring
bagaikan sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang
dengan mata tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan senyum di
bibirnya, hati kedua perempuan tersebut
menjadi berdesir,
berdebar-debar penuh bunga-bunga indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada
Selendang Kubur, "Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang
disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting
itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti
dia. Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut
Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.
"Paman Sugiri," kata
Suto kepada Pujangga Kramat,
"Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan biarlah urusan ini saya yang
selesaikan."
"Baiklah, Suto,"
jawab Pujangga Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali
berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau rubuh. Gerakannya itu menimbulkan
perasaan geli di hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.
"Pasti dia pusing akibat
kau putar-putarkan!" bisik Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman
pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian
Selendang Kubur telah kembali
tertuju pada pemuda tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar
ketika ia sadar dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan berwajah
cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia melangkah mendekati mereka dan berhenti
dalam jarak tiga langkah di depan mereka.
"Kaukah yang tadi mau
membunuh Paman Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi
Murka.
"Hmmm... maksudku...
maksudku...."
Belum selesai Dewi Murka
bicara, tiba-tiba Suto yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat
menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat terpelanting nyaris
jatuh ketika tangan
kirinya berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp...!
Jliiggg...!
Suto telah berdiri tegak
membelakangi kedua perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke belakang, senyumnya kembali mekar indah mengguncang hati kedua perempuan yang
nyaris tak sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu cepat. Bahkan Dewi
Murka terbelalak kaget melihat trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan
rapi,
persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya!
Melebihi angin menurutku. Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku
pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi Murka sambil mundur mendekati
Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia
berhadapan dengan
kedua perempuan itu. Matanya
yang memancar indah dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang diminumnya di
dalam gua, telah membuat daya pikat
tersendiri di hati kedua
perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan
ada urusan apa dengan Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur
melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk dilepas dari
punggung.
"Kami orang-orang
Perguruan Merpati Wingit," jawab Selendang Kubur. "Kami... kami...
kami..,," ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang mata Suto menatap dengan kelembutan yang meneduhkan hati. Namun agaknya
Selendang Kubur merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto, maka ia
segera mengalihkan pandangannya
ke arah lain dan berkata lagi.
"Kami ingin bertemu
dengan si Gila Tuak, untuk menyampaikan permohonan maaf dari guru kami, Nyai
Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, yang membuat teman kami
menderita sakit akibat
pukulan tenaga dalam dari
Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga
seorang perempuan muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab
Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri
dengar percakapanku dengan guruku itu?"
"Buk... bukan... buk...
bukan...,'' Dewi Murka ingin ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya
berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah lelaki yang belum pernah ia
jumpai di mana pun juga.
Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa melontarkan kata-kata dengan
baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang
sengaja tak
memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud temannya,
"Temanku itu bukan
menyadap percakapanmu
dengan si Gila Tuak. Hanya
secara kebetulan saja ia mendengar Pusaka
Tuak Setan sedang kalian bicarakan. Tapi sebenarnya
temanku itu hanya... hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih jelas
ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak,
lalu tertawa terkekeh mirip orang tua, sambil berkata,
"Jadi dia hanya ingin
mengintip ketampananku? Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga
ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak bermaksud mencuri dengar
pembicaraanku dengan Guru?"
"Tidak," jawab
Selendang Kubur. "Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu
suatu hal yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini untuk
meluruskan salah duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu
melirik ke pepohonan sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di sana.
Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat
cepat tak bisa ditangkap
penglihatan bentuk dan wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia
merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan tersebut.
"Siapa namamu?"
tanyanya kepada Selendang Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola matanya segera
blingsatan karena hatinya makin berdebar
pada saat beradu pandang. la
tak berani terlalu lama beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan bisa
bicara jika dalam keadaan beradu pandang.
"Namaku Selendang
Kubur," jawab Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka.
Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku
yang bergelar Dewi
Murka."
"Bagus sekali. Nama
kalian tak ada hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang
perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak, telah menerima
penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa
lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika
sikap teman kami ini tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang Kubur
dengan mata sengaja memandang ke arah gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf
kuterima," jawab Suto. "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang
sopan."
"Harus bagaimana aku
bicara padamu?" "Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap
yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang
bernama Dewi Murka ini, sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup
bicara apa-apa padamu." Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak
sedikit. Setelah itu ia
berkata lagi kepada Selendang
Kubur.
"Persoalan sudah selesai.
Kalian boleh pulang." "Tid... tidak... tidakkah... kam...
kami...," Dewi
Murka tak pernah mampu
menyelesaikan kata- katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam... kam...."
'Kambing?" sahut Suto
menerka.
Dewi Murka menggeleng.
Wajahnya makin pucat. Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak
bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip sejak tadi.
"Ak... ak... aku...
aku...."
"Sudahlah, jangan
bicara," potong Suto. "Napasku bisa
putus mendengar bicaramu! Sekarang, sebaiknya kalian lekas
pergi dari sini, karena aku pun akan segera pergi."'
Selendang Kubur menatap sebentar, lalu memalingkan pandangan ke arah lain, sambil melontarkan pertanyaan.
"Ke mana kau akan pergi?
Ke Telaga Manik
Intan?"
"Kau tak perlu
tahu."
"Ak... aku...," Dewi
Murka mencoba bicara lagi. "Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke...
keadaan... bah... bah...." . El
"Bahagia?" sahut
Suto. "Bah... bah... bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur berpaling menatap Dewi Murka. "Apa
maksudmu, Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat
walau mata tetap memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol... tolong...
ak... aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat
perubahan wajah kian memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka. Ternyata
punggung perempuan itu telah berdarah karena ditembus oleh sepucuk jarum besi
sepanjang kelingkingnya.
"Dewi...?!" sentak
Selendang Kubur dengan sangat terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto.
Wajahnya kian memucat. la telah menjadi salah sasaran dari seseorang yang ingin menyerang Suto dengan menggunakan jarum beracun.
*
* *
6
PADA saat
Suto menenggak tuak dengan mendonggakkan kepalanya, pada
saat itulah seseorang di
balik persembunyiannya melepaskan jarum beracun ke arah Suto. Tetapi,
bertepatan dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup
jalannya jarum beracun, sehingga yang menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka
yang terputus- putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan Suto,
melainkan karena tertahan oleh racun dari jarum di punggungnya. Jarum itu yang
membuat napas Dewi Murka
menjadi terputus-putus. Sebenarnya sejak tadi ia sudah
hampir rubuh, namun ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan
tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi, usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang
berilmu tinggi," kata Suto kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya
sampai tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai telinga
guruku, mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin
membiru. Tak bisakah kau
berbuat sesuatu untuk menolong
jiwa temanku ini?" "Biar
saja begitu. Nasibnya
sesuai dengan
namanya. Sekarang jiwanya
benar-benar nungging." "Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah
si
Gila Tuak mendidik muridnya
untuk menjadi orang yang bijak dan suka menolong?"
"Coba kutanyakan pada
guruku dulu, apakah dia
mendidikku untuk menjadi orang
yang bijak atau orang yang pelit."
Suto mau
melangkah, tetapi dengan cepat
Selendang Kubur berani menahan
tangan Suto
sambil berkata,
"Tak perlu kau tanyakanl
Aku akan segera pergi membawa temanku ini pulang ke perguruan."
"Itu langkah yang
bagus!" kata Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung bambunya.
"Manusia yang tak
berperasaan adalah kamu, Suto!"
geram Selendang Kubur dengan mata memandang menyipit, memancarkan
benci.
"Mengapa kau berkata
begitu, Selendang Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa
memberi pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak mau melakukannya."
"Apakah kau percaya betul
bahwa aku sanggup menolongnya?"
"Aku percaya!"
sentak Selendang Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk
walau belum banyak. "Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong
menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan
napas, sedikit merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, karena ia
melihat wajah Dewi Murka semakin membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada
Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum
di punggungnya?" "O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum
itu pun dicabut oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari lubang
bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya tidak terkena semburan darah hitam.
Setelah darah itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera meneguk
tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak ditelannya. Sebagian disimpan di mulut.
Kemudian,
tuak di mulut itu disemburkan
satu kali ke punggung
Dewi Murka. Bruusss...! Air
tuak ada yang memercik ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu
menyentak berani.
"Kau mau mengobati
temanku atau mau meludahi aku, hah?!"
Suto hanya tertawa sambil
berkata, "Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu, wajahmu pasti
hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur
mengibas-ngibas wajah,
mengusap air tuak yang melekat
di pipi dan rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang
dengan segera!" kata
Suto.
"Pengobatan macam apa
ini?! Baru disembur satu kali sudah disuruh membawanya pulang!"
"Kau percaya atau tidak
kalau dia akan sembuh?" "Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur
dengan
bimbang.
"Kalau kau percaya, dia
akan sembuh. Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap
Suto. Kali ini
debaran indah di hatinya tidak
terlalu membuatnya gugup, sehingga ia berani menatap agak lama. Mungkin ia
mulai terbiasa menerima debaran indah dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia
pun dapat berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa maksud
kata-katamu sebenarnya?"
"Tidak ada maksud
apa-apa," kata Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin
memberat karena terlalu banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera
terperanjat kaget melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, warna biru
di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal itu membuat mata Selendang Kubur tak
mau
berkedip memperhatikan
temannya. Semakin lama ia semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum itu
telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah berkurang dari pucatnya. Perempuan itu
mulai mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur
membatin, "Luar biasa
caranya
mengobati luka beracun. Hanya dengan disembur memakai
tuak dalam mulutnya, racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka
jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan yang cukup aneh dan cukup
tinggi. Jarang dimiliki oleh pendekar lain."
Wajah Dewi
Murka menjadi semakin segar. Bahkan kedua matanya
mulai terbuka. Selendang Kubur
sedikit lega melihat temannya semakin membaik. la segera berkata
sambil berpaling ke arah Suto yang ada di belakangnya.
"Dia benar-benar
telah...."
Selendang Kubur terperanjat.
Suto sudah tidak ada di belakangnya. Suto
telah pergi tanpa meninggalkan suara apa pun.
Selendang Kubur sama sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia memandang
ke arah belakangnya yang ternyata telah kosong.
Ada rasa kecewa tersembunyi di
hati Selendang
Kubur. Ada rasa tak yakin
bahwa dirinya telah ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera
bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di tanah. la segera memeriksa
sekeliling. Ternyata memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali
dengan siluman! Pergi
tanpa suara dan rupa, muncul
juga begitu! Ke mana perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke Telaga Manik
Intan?" pikir Selendang Kubur sambil
masih tetap mengawasi
sekeliling. "Haruskah aku menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa
pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"
"Selendang Kubur,"
sapa Dewi Murka yang saat itu sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah
menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur terkesiap melihat Dewi
Murka dapat berdiri tegak.
"Apa yang telah terjadi
pada diriku? Mengapa aku terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa
basah?"
Selendang Kubur makin berkerut
dahi. la bertanya, "Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah
menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur
karena lelah. Tapi begitu
aku bangun, ternyata aku tidur
di sini. Apa maksudmu membawaku kemari, hah?"
"Jangan salah sangka
padaku, Dewi. Kau tadi terluka."
"Terluka? Omong kosong!
Tidak ada orang yang bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan
oleh Suto."
"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi
Murka menampakkan keheranannya.
Setelah hening sejurus, Selendang Kubur berkata,
"Apakah kau tak ingat
seorang pemuda tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan
dulu tergesa-gesa memuji
ketampannya sebelum kau
melihat sendiri rupa orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari
Murbawati!"
Selendang Kubur membatin,
"Rupanya ada bagian ingatan
Dewi Murka yang
terhapus karena
penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar-
benar tak ingat dengan
pertemuannya bersama Suto. Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan kesabarannya, Selendang Kubur
berkata, "Kau tadi benar-benar telah bertemu dengan si tampan Suto itu!
Kita berdua telah melihat ketampanannya yang menggiurkan hati!"
"Ah, omong kosong! Aku
merasa tidak bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."
"Kita telah bertemu
dengannya!" Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi
perempuan itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah bertemu dengan Suto
Sinting. Akhirnya Selendang Kubur berkata.
"Kalau begitu, ada
baiknya jika kita susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin
bisa menemukan ingatanmu kembali tentang ketampanan
Suto."
"Tidak. Aku akan menemui
si Gila Tuak untuk menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan si Gila
Tuak."
"Itu sudah kita lakukan
saat kita bertemu Suto.
Sudah tidak ada persoalan lagi
antara kita dengan pihak si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya!
Kurasa itu hanya tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga
Kramat, seperti tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka. Selendang Kubur menyadari, jika
hal itu diteruskan maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka akan
terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak mau banyak bicara. la hanya
berkata,
"Kalau kau tetap berkeras
hati untuk menemui si
Gila Tuak, temuilah sendiri!
Aku akan pergi ke Telaga
Manik Intan untuk menjaga
kemungkinan Suto dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada,
maka Suto bisa menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak dari mulutnya ke
luka di punggung Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa
Dewi Murka.
Kekuatan itu telah menghapus
ingatan Dewi Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu akibat dari
penyembuhan menggunakan cara sembur. Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula
hilang ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah
berkelebat pergi dengan kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata- mata
menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin mengejar sesosok bayangan yang
berkelebat di balik kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat itu
adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu. Suto ingin tahu,
apa alasan orang itu ingin mencelakainya dengan jarum
beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup
gesit dan begitu cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya mau tak mau
ia terbawa sampai di sebelah barat pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang
kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga
lari menuju ke sebelah barat
pegunungan Suralaya
itu.
"Apakah orang itu
bermaksud membunuhku agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu menjadi
tujuannya, berarti orang itu telah menyadap percakapanku dengan Guru, dan
mungkin ia sudah cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan. la pasti
sudah sangat lama mengincar pusaka tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti karena ia mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya
ada di sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik pertarungan itu.
Ketika ia berhasil menemukan
daerah tempat suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto jadi sedikit
terperanjat. Karena kedua orang yang sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi
sebuah danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh di pertengahannya.
Danau itulah sebenarnya Telaga Manik Intan.
*
* *
7
SEKALIPUN tubuhnya kurus
kering, namun ketika sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan keras, orang
itu hanya tersentak sedikit. la masih tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara
mengaduh sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia membuka mulutnya,
dan mulut itu mengeluarkan asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap supaya
keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat
pukulan di
punggungnya tadi.
Sementara itu
lawannya yang tadi berhasil memukul punggung dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam
cukup besar, segera mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya yang
memang kecil terkesan sipit itu menatap orang bertubuh kurus kering dengan
tajam. Wajah dingin, tanpa keramahan sedikit pun. Orang ini mempunyai
tubuh sedikit lebih
gemuk dari lawannya. la
mengenakan baju berlengan
panjang kombor warna
hitam dengan bagian tepinya
dililit kain kuning emas. Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas. Di
pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung pedang warna perak. Sementara
di bagian kepalanya ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat penampilannya
kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang
tipis yang menambah angker wajahnya, yang berusia antara empat puluh lima
tahun.
Sedangkan orang kurus kering
itu bermata cekung, berjenggot abu-abu dan rambut acak-acakan tanpa ikat
kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju
potongan jubah yang tidak
pernah dikancingkan bagian depannya. Dadanya terlihat tipis bertonjolan tulang
iga. Orang ini dalam keadaan basah kuyup, sepertinya habis terendam air dalam
telaga tersebut.
"Siapa mereka itu?! Ada
persoalan apa sehingga mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya aku
tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik
aku duduk di balik semak ini
sambi! menonton pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la segera menggeser
bumbung tuak dari punggung, lalu menengadahkan kepala dan menenggak tuak
sedikit.
Terdengar orang berpakaian
serba hitam itu berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri dengan kedua tangan berkuku panjang siap
menyambut serangan.
"Satu gebrakan lagi kau
akan rubuh dan nyawamu minggat!
Kuperingatkan padamu, menyerahlah! Selagi hatiku baik
padamu, cepat serahkan benda itu dan selamatkan nyawamu dari amukanku!"
Kata-kata itu ditertawakan
oleh orang kurus berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di mata kanan
dibiarkan saja membuat wajah itu
semakin berkesan bengis dalam
usia antara lima puluh tahunan.
"Kau salah alamat, Datuk
Marah Gadai!" katanya, "Benda yang kau cari itu tidak ada di
tanganku."
"Omong kosong! Kau telah
menyelam di dalam
telaga itu dan pasti kau telah
memperoleh benda itu!" sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu.
Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus yang kali ini berdiri dengan
tenang, sambil mengusap- usap jenggot abu-abunya.
Suto membatin, "O, orang
yang berpakaian hitam itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu.
Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai
kebiasaan menggadaikan barang-barangnya, sehingga dijuluki Datuk
Marah Gadai. Hi, hi, hi...!" Suto cekikikan sendiri di balik
persembunyiannya. Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih bersitegang
tentang barang yang harus diperebutkan.
Orang kurus kering itu
berkata, "Aku memang telah menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana
tidak ada apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga kecuali
kekecewaan!"
"Puih! Mana ada orang
yang mau percaya dengan
mulut kotor murid Malaikat
Tanpa Nyawa?!" Datuk meludah. "Orang paling licik di seantero jagat
adalah kau, Cadaspati! Dan mulut
orang licik selalu menyemburkan
kebohongan. Agaknya aku terpaksa harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan
dengan menghancurkan
mulutmu lebih dulu, Cadaspati!"
Suto terperanjat begitu
mendengar Pusaka Tuak Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati kecilnya
berkata,
"Rupanya mereka berebut
Pusaka Tuak Setan?
Orang yang basah kuyup itu
ternyata murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah
mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat orang kurus itulah yang
semasa kecilku menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga
tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan Kakek Guru sendiri.
Hmmm... sekarang ilmu
'Inti Neraka' itu sudah
menjadi milikku. Tiba saatnya aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."
Suto bergeser dari tempat
persembunyiannya. la mencari
tempat yang lebih leluasa
lagi untuk
memandang daerah tepian
telaga. Satu-satunya
tempat yang enak untuk
bersembunyi adalah di atas pohon.
Maka, tubuh Suto pun segera
melesat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi. Dalam
sekali hentakan kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan dari pohon
berdaun lebat.
Kakinya yang mendarat di dahan itu
tidak
menimbulkan guncangan sedikit
pun pada dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin dalam gerakannya.
"Nah, dari sini lebih
enak menonton pertarungan orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya.
"Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka
Tuak Setan itu sudah berhasil
jatuh di tangan
Cadaspati atau belum.
Kubiarkan dulu ia didesak oleh Datuk
Marah Gadai sampai
pada pengakuan terakhirnya.
Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata yang
terdesak justru Datuk
sendiri? Karena
kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk
Marah Gadai."
Pada saat itu Datuk Marah Gadai
sudah siap lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya
terangkat sampai batas dada.
Kemudian tangan itu saling menyilang dengan gemetar. Telapak tangan yang
mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras itu mulai kelihatan berasap tipis.
Cadaspati tidak tinggal diam.
la mengerahkan tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku tangannya memercik-mercikkan bunga
api. Seperti ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang satu ke kuku
yang satunya lagi.
"Hiaaat...!" Datuk
Marah Gadai menjejakkan kaki
ke tanah dan tubuhnya
melambung cepat di udara. "Hiaaah...!" Cadaspati juga menjejakkan
kaki ke
tanah dan tubuhnya bagaikan
terbang ke arah Datuk
Main Gadai.
Begitu dua tubuh itu bertemu,
dengan cepat mereka saling menghantamkan pukulan masing- masing.
Plak...! Plak...! Wugh...
wuugh...!
"Hugh...!" keduanya
sama memekik tertahan. Tubuh mereka saling terpental ke belakang.
Datuk Marah Gadai hampir saja
tersungkur masuk
ke dalam telaga. la jatuh
dalam posisi terduduk di tepian telaga. Namun kakinya segera dihentakkan hingga
ia bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati setelah mengadu pukulan segera bersalto ke belakang satu kali dan
kakinya mendarat di tanah dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya yang
cekung itu memantang penuh nafsu membunuh. Rambutnya yang panjang tersingkap
oleh angin telaga.
Datuk Marah Gadai menggeram
ketika melihat
Cadaspati menyeringai bagai
mengejek kekuatannya. "Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan
bernapas. Cadaspati! Tak ada
waktu lagi untuk
bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya kucabut nyawamu!
Hiaaat...!"
Datuk Marah Gadai menyentakkan
kaki kanannya ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak kakinya
berkelebat sinar putih keperakan yang melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih
keperakan itu segera
dihindari oleh Cadaspati dengan satu
lompatan ke atas. Dan
bersamaan dengan itu, Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek angin.
Wuuusss...!
Lima berkas sinar meluncur
dari kuku-kuku tangan kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat
menerjang tubuh Datuk Marah
Gadai. Segera orang berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan
akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan tangan kuat. Kelima sinar merah
api itu masuk ke dalam telaga hingga
airnya berguncang hebat. Sebagian air ada yang
muncrat ke tanah tepiannya.
Sisa kekuatan sinar merah
api itu membuat
gelombang di permukaan air
telaga. Telaga bagai ada yang mengguncang-guncangnya dari dalam.
Sementara itu, sinar putih
perak dari kaki Datuk Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang membuat
gugusan batu itu sirna dalam sekejap. Tinggal debu halus yang menggunduk
sebagai tanda
hancurnya gugusan batu
tersebut.
"Rupanya keduanya
sama-sama berilmu tinggi," pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya
kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan mabuknya. Bahkan
tak sengaja ia melontarkan suara legukan satu kali.
"Huk...!"
Buru-buru Suto menutup
mulutnya karena takut suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti
itu. Di hati Suto ada rasa
waswas karena setelah suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai
memandang sekelilingnya penuh curiga.
"Celaka!" gumam Suto
dalam hati. "Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"
Cadaspati sendiri membatin,
"Dia mulai lengah. Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera
tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"
Niat Cadaspati untuk kabur
ternyata diketahui oleh
Datuk Marah
Gadai. Ketika Cadaspati berbalik memunggungi lawannya,
Datuk Marah Gadai segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak
tangan. Wuuugh...! Beegh...!
"Huggh...!" tubuh Cadaspati melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak
pukulan jarak jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah
semakin mendendam bengis. "Keparat kau, Datuk!"
"Mau lari ke mana kau,
hah? Jangan lari dulu kau. Selesaikan dulu urusan kita ini!" Mata cekung
yang memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi lunak, sayu dan
kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut dahi karena merasa heran. Ia
berkata dalam hatinya.
"O, rupanya pukulanku
tadi telah mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya
mulai terhuyung-huyung.
Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di
bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis punggungnya!"
Cadaspati memang berdiri dengan oleng.
Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan bicaranya bernada
mengambang.
"Hei, Datuk... jangan
terlalu lama kalau marah,
nanti barang-barangmu habis
kau gadaikan, he, he, he...!"
Datuk diam, menatap dengan
curiga dan semakin merasa
aneh melihat sikap Cadaspati. Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu membunuh tidak tampak sama
sekali dari sorot mata cekungnya.
Cadaspati mencoba bersandar
pada sebatang pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh tergagap-gagap. la
segera bangkit dan menggerutu sendiri.
"Siapa yang menaruh pohon
tidak pas pada tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang menyingkirkan
pohon ini waktu mau kusandari! Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar
aku bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"
Datuk Marah Gadai tertawa
sinis. "Aku tak
mengerti arah bicaramu,
Cadaspati!"
"Tidak perlu pakai
arah!" sentaknya dengan suara mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak
mata bagai menggantung. la menuding Datuk dengan tangan lemas. Katanya lagi.
"Kau... sini! Kau ke
sini, Datuk!"
Datuk masih diam, tapi ia
membatin, "Hmm... ada yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan
akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah mengacaukan urusanku dengan
Cadaspati."
Dugaan itu memang benar. Suto telah menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah menjadi suara Suto. Hal
ini dilakukan oleh Suto sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan Cadaspati
semasa Suto masih kecil (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah
Tanpa
Pusar").
Datuk Marah Gadai pun segera
membentak, "Siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Apa kau lupa pada
tampang gantengku, Datuk?" Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto
sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang pantas. Tetapi, kata-kata itu
diucapkan oleh orang yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh ungkapan kata yang lucu jika
wajah seperti itu dikatakan ganteng. Namun Datuk Marah Gadai tidak
mau tertawa lebar-lebar. la
hanya tertawa sinis dan
segera berkata kepada
Cadaspati.
"Jangan kau campuri
urusanku dengan Cadaspati! Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang
juga, nah?"
"Remukkanlah! Ini bukan
kepalaku. He he he...!"
"Jahanam kau!
Hiih...!"
Datuk Marah Gadai
menghantamkan pukulan tangan kosongnya ke wajah Cadaspati. Plook...!
"Uts...!" Cadaspati
mundur selangkah, ia mendekap
mulutnya. Sedikit bengkak
bibir atasnya. Untung saja pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak
mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja Datuk memukulnya dengan
mengerahkan tenaga dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke
mana-mana giginya.
Cadaspati yang tadi
menggeloyor, kali ini segera mendekat kembali dan berkata sambil menuding-
nuding dengan tangan lemas.
"Kamu jahat! Kamu tidak
tahu kebaikan. Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"
"Tutup mulutmu,
hiiih...!"
Datuk Marah Gadai menghantam
pukulan lagi ke
mulut Cadaspati. Kali ini
bertenaga lebih kuat dari yang pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis
pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu punggung pergelangan tangan
kanan itu disodokkan ke ulu hati Datuk.
Bukkk...!
"Ugh...!" Datuk
Marah Gadai tersentak kaget. Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras
bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah Gadai sempat terbeliak lebar. la
segera mengeraskan perut dan menahan napas.
"Kurang ajar! Aku dibuat
mainan seenaknya saja!" geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan bertenaga dalam melesat dalam
jarak empat langkah darinya.
Wuuugh...!
"Aaahg...!" Cadaspati terpekik, Pukulan itu mengenai dadanya. la tersentak ke belakang. Melayang jauh, antara
tujuh langkah. Kemudian tubuhnya
jatuh di bawah pohon. Punggungnya membentur akar
pohon yang bertonjolan keras itu.
Pada saat itu, Suto melepaskan
ilmu 'Inti Neraka' dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati menjadi dirinya
sendiri. Dan ia terkejut menyadari sudah terbaring di bawah pohon dengan dada
sakit dan tulang punggung bagai mau patah.
"Apa yang kualami
tadi?" pikir Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit
dan menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan Cadaspati mulai rapuh,
Datuk Marah Gadai pun segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan bertenaga
dalam yang lebih besar lagi.
"Hiaaat...!" tangan
kanan disentakkan ke depan
dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu mempunyai gelombang panas
yang mampu membakar kulit
pohon.
Cadaspati segera menghadang
pukulan itu dengan sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan tangan itu
tidak sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu menerjang telapak tangan kiri
Cadaspati. Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan
hangus sampai di bagian ketiak
dan dada sebelah kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga membentur
pohon besar di belakangnya.
"Uughh...!" Cadaspati mengaduh tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi
Datuk Marah Gadai segera mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai kekuatan
tenaga dalam mampu meleburkan gugusan batu tadi.
"Lebih baik matilah kau
daripada tetap tak mau
menyerahkan Pusaka Tuak
Setan!" seru Datuk Marah Gadai,
lalu kaki kanannya pun dihentakkan menendang ke depan. Sinar
putih keperakan melesat dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.
Namun tiba-tiba sekilas sinar
biru telah melesat cepat dan membentur sinar putih keperakan itu. Benturan itu
menimbulkan ledakan hebat yang mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blarrr...!
Datuk Marah Gadai belalakkan
mata lebar-lebar. Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua berambut
putih yang muncul dari balik semak belukar. Sosok orang berambut putih panjang
tanpa ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk
Marah Gadai. Posisinya lebih dekat ke Cadaspati.
"He, he, he...,"
orang tua yang lebih kurus dari
Cadaspati itu tertawa
terkekeh-kekeh. Tongkatnya yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la
mengenakan celana hitam dan kain putih yang diselempangkan lewat pundak kiri
dan sebagian melilit
di pinggang. Di pinggang itu pun ia mengenakan sabuk besar dari kulit
binatang warna hitam berbulu.
Dari tempat persembunyiannya Suto
membatin, "Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini? Sepertinya ia ada di
pihak Cadaspati."
"Selamat jumpa lagi,
Datuk Marah Gadai. Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil melukai
adikku, Cadaspati!"
"Aku tidak ada urusan
denganmu, Peramal Pikun! Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban
kemarahanku!"
"He, he, he.... Mana bisa
aku menyingkir kalau kau ingin
mencelakai adikku,
Datuk?! Bebaskanlah adikku
ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi. Bukankah persoalan kita sepuluh
tahun yang lalu sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita
harus bikin persoalan baru
lagi, Datuk Marah Gadai?" "Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa
oleh adikmu itu! Tak akan
kubiarkan ia melangkah sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu diserahkan
kepadaku!"
Orang yang berjuluk Peramal
Pikun itu segera bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa Pusaka
Tuak Setan?"
"Tidak!" jawab
Cadaspati sambil berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan dari Datuk
Marah Gadai tadi.
"Datuk, adikku tidak
membawa Pusaka Tuak
Setan. Jadi, tak ada yang bisa
diserahkan olehnya
kepadamu!"
"Omong kosong!"
sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya berkata,
"Sebenarnya aku sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini. Ilmunya
sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku melawannya gara-gara persoalan
perempuan. Hampir saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi. Untung
waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia pun punya lelaki simpanan lainnya,
sehingga kami memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan membiarkan Rindani
dengan lelaki simpanannya. Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil
keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan mati di tangannya. Dan
sekarang, ilmuku memang sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu juga
semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah aku melawannya lagi?"
"Hei, Datuk..., mengapa diam saja?
Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau
melepaskan adikku? Atau kita
teruskan persoalan ini dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?" tantang
Peramal Pikun.
Dari tempat persembunyiannya
Suto membatin,
"Tokoh yang satu ini biar
tua tapi masih punya nyali juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai
kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah berkesan selalu ceria dan
tersenyum."
Datuk Marah Gadai berkata
dengan suara lantang, "Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki
Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul dari dalam telaga itu. Pasti
dia sudah menemukan pusaka tersebut!"
"Mengapa kau berkeyakinan
begitu, Datuk Marah
Gadai?! Apakah kau belum tahu,
bahwa Pusaka Tuak
Setan itu milik si Gila
Tuak?"
Diam-diam Suto terkejut
mendengar nama gurunya disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara
cegukannya tidak berbunyi.
"Aku memang tahu, pusaka
itu milik si Gila Tuak. Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata
Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si Gila Tuak dengan muridnya,
bahwa pusaka itu akan dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus sudah
lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah
mendahului langkahku masuk ke
dalam telaga ini!"
"He, he, he..., siapa
tahu adikku masuk ke dalam telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia
tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"
"Tidak mungkin! Dia pasti
telah memperoleh
Pusaka Tuak Setan! Mungkin
disembunyikan di balik pakaiannya itu!"
Sekali lagi Suto membatin,
"Iya. Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya.
Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu sepertinya mempunyai kantong
untuk menyimpan Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang tak berharga
yang ada di kantong jubah belakangnya itu?"
Datuk Marah
Gadai mengambil sikap siap
menyerang. Kedua
tangannya mulai dinaikkan sebatas dada. Tapi Peramal Pikun
masih tetap tenang dan cengar-cengir saja.
"Peramal Pikun, terpaksa
kau juga perlu kukirim ke neraka karena membela adikmu yang punya urusan
denganku!"
"Tunggu, tunggu...,"
Peramal Pikun tetap kalem. "Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi
kesia-
siaan pertarungan ini yang
kupertimbangkan. Sebab menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak akan
jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan murid tunggalnya si Gila
Tuak."
"Ramalanmu semakin tua
semakin tak manjur!" "Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid
Gila
Tuak sudah siap mengambil
pusaka itu. Bahkan dia pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah Gadai."
"Persetan dengan murid si
Gila Tuak. Yang
kubutuhkan Pusaka Tuak Setan
yang sudah ada di tangan adikmu itu!"
"Murid si Gila Tuak tidak
bisa dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."
Datuk Marah Gadai tampak
sedikit waswas. la
melirik sekelilingnya.
"Ramalanmu tak ada
artinya bagiku. Kau hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang lain
di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati bersama adikmu!"
Kaki Datuk
Marah Gadai mulai
bergeser merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku. Peramal Pikun
masih kalem, melangkah maju dua tindak.
"Tunggu dulu, Datuk....
Siapa bilang di sini hanya ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya,
menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."
"Mana yang seorang
lagi!" sentak Datuk Marah
Gadai dengan suaranya yang
besar.
"Ada di atas sana,"
jawab Peramal Pikun sambil tangannya
seperti menebarkan sesuatu namun sebetulnya menebarkan
tenaga dalam yang melesat ke dalam tempat Suto bersembunyi. Datuk Marah Gadai
pun terkejut ketika memandang ke atas dan
melihat seorang pemuda
bertengger di sana. Pemuda itu kini melompat turun dengan dua kali salto,
karena ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan oleh Peramal Pikun.
Tenaga dalam itu membentur dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah dan
jatuh ke tanah.
Tepat pada waktu itu, Suto
sudah berada di antara Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya mata
Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun mata Cadaspati pun ikut terbelalak
melihat kehadiran Suto.
*
* *
8
MELIHAT sikap berdiri Suto
yang tak bisa tegak, melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat bumbung
tuak yang masih dipegang dengan tangan kiri Suto, Datuk
Marah Gadai segera
dapat menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang tadi
mengganggunya dengan menggunakan raga Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju
tanpa lengan inilah yang
mengendalikan Cadaspati bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di
atas sejak tadi!" geram Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun
memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu sedang cengar-cengir
memandang Peramal Pikun.
"Menurut ramalanku, kau
yang bernama Suto
Sinting, murid si Gila
Tuak!" kata Peramal Pikun.
Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau kakaknya Cadaspati yang berjuluk
Peramal Pikun."
"Dari mana kau
tahu?"
"Dari tadi!" jawab
Suto dengan suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto
tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak
kau dijuluki orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti. Bahkan jauh di
masa tuamu nanti, kau bisa menjadi seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting.
Tentu saja kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting semua. He he he
he...!"
"Kalau... huk... kalau
begitu, huk... aku buka perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja,
huk...!" sambil Suto
cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak,
"Ini bukan urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi,
huk... Paman. Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan
menjadi setan, huk!"
"Itu bukan
urusanmu!
Menyingkirlah, biar kuhancurkan
dulu kedua orang tua itu, Bocah ingusan!"
"He he he...," Suto
tertawa dan bicara kepada
Peramal Pikun. "Dia
mengatakan aku sebagai bocah ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah,
huk... he he he...!"
Rupanya kesempatan itu digunakan oleh Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan
dengan sisa tenaganya ia segera melarikan diri dari arena pertarungan. Karena
pada waktu itu Cadaspati membatin.
"Aku tak akan mampu
menghadapi Datuk Marah
Gadai dalam keadaan terluka
begini. Aku bisa mati di tangannya!
Sebaiknya aku melarikan diri, biar masalah Datuk diurus oleh
Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat
melihat kelebatan sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya. Maka ia pun
segera berteriak.
"Hai, mau ke mana kau?!
Jangan lari, Jahanam!" Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk
mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula Peramal Pikun melompat dengan
bersalto satu kali di udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk Marah
Gadai. Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai sasaran, namun membuat tubuh Datuk
Marah Gadai bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena
kibasan angin tongkat itu
terjerembab jatuh ke tanah
dengan wajah membentur
semak-semak. Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri
tegak di tanah dengan tongkat digenggam tangan kanan.
la menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang segera berusaha bangkit
dengan mengusap-usap wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores
akibat duri semak yang
ditabraknya.
"Keparat kau, Peramal
Pikun! Terang sudah kau turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin
persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai dengan wajah menampakkan
kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku
bikin urusan lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"
Napas Datuk
Marah Gadai terengah-engah.
Sekarang sedang berusaha
diredakan. Pada saat itu, terucap dalam batin Datuk Marah Gadai.
"Angin pukulannya lebih
hebat dari yang dulu. Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku
akan kehilangan pusaka yang
sudah kuincar bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut melayani
dia. Aku harus mencari kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa
berlari jauh
karena ia dalam keadaan
terluka oleh pukulanku tadi."
Suto tidak ikut campur. la
bahkan menenggak tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah tenggorokan,
kemudian duduk di sebuah batu sambil menyaksikan pertarungan tersebut, sambil
sesekali memperdengarkan suara cegukannya.
Mata Suto sempat terperanjat
ketika Datuk Marah Badai
tiba-tiba
menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke telapak kaki
Peramal Pikun yang punya nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu membuat
tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik bersama tubuh di
atasnya yang terdorong ke belakang.
Broolll...!
Wusss...! Tubuh Peramal Pikun
bagai didorong kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau manusia keriput
berambut putih panjang itu bersalto satu kali.
Belum sampai kakinya
memijakkan tanah lagi, Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan pukulan
tenaga dalamnya dengan menyentakkan kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin
besar melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera menghentakkan
tongkatnya ke depan dalam
keadaan berdiri.
Rupanya ia menahan pukulan
Datuk Marah Gadai dengan tenaga
dalam yang disalurkan melalui
kepala tongkatnya yang berbentuk kepala burung garuda itu.
Duub...!
Dua tenaga
dalam berilmu tinggi saling berbenturan di pertengahan jalan.
Satu benturan itu mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke belakang
dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu
runcing.
"Aaauh...!" Datuk
Marah Gadai memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit
dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa
geli melihat Datuk Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh Peramal Pikun.
Sedangkan Peramal Pikun sendiri hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap
berdiri pada tempatnya. la berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang
kecocok paku? Nah,
lihatlah dia! Persis seperti
beruang kecocok paku!" Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu
semakin tertawa terbahak-bahak
dalam pengaruh mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk Marah Gadai
semakin panas. Maka, ia pun segera mengangkat kakinya dan menendang penuh
kerahan tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan kaki itu melesatlah sinar
putih keperakan. Meluncur dengan
cepat ke arah tubuh Peramal
Pikun.
Dengan gerakan tua yang masih
gesit, Peramal Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali. Akibatnya
sinar putih keperakan itu melesat terus ke arah Suto yang sedang duduk di batu.
Melihat kilatan cahaya putih
keperakan melesat ke
arahnya, Suto segera
menyilangkan bumbung tuaknya di
depan wajah. Sinar itu tepat mengenai bumbung, namun tidak
segera meledakkan bumbung, juga
tidak segera padam, melainkan justru berbalik melesat ke tempat asalnya. Wusss...! Kecepatannya melebihi
kecepatan semula.
Datuk Marah
Gadai tersentak kaget bukan kepalang. Terpaksa ia segera
melentingkan tubuh, menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, hingga
dalam kejap berikutnya ia sudah berada di
atas sebuah pohon, ia
terhindar dari sinar putih keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah
pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal serpihan bubuk yang
menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah
itu!" geram hati Datuk Marah Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa
dikembalikan sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang bisa
menangkis jurus 'Tapak Dewa' dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke
asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun
pun sempat terkejut
melihat Suto bisa
mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus
'Tapak Dewa' adalah salah satu
jurus andalan Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa
ditangkis kecuali dihindari
atau diadu dengan kekuatan
yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa
dulu ketika sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah Gadai, ia dibuat
kelabakan menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu
yang bisa menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah mempunyai jurus
tandingan sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari
kepala tongkatnya, yang
dinamakan jurus 'Patuk
Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak
akan berani menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat terheran-heran
melihat Suto dengan cengengesan menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat
tuaknya. Peramal Pikun pun membatin.
"Bumbung itu pasti bukan
sembarang bumbung. Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si
Gila Tuak. Hanya si Gila
Tuak-lah yang selama ini selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu
sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto Sinting ini terpendam
jiwa si Gila Tuak bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu tinggi,
mempunyai kesaktian tingkat atas,
tak mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus mengembalikan jurus
'Tapak Dewa' itu. Aku berani bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal
namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang ada urusan dengan Datuk
Marah Gadai! Bukan mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun terlambat. Pandangannya dilayangkan ke
atas, ternyata tempat itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai bertengger
oleh Datuk Marah Gadai itu bagai menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah
Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya
kepada Suto Sinting.
"Ke mana orang itu
tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab,
"Pergi. Lari ke sana!" ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.
"Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan
Kadaspati!" sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto
hanya tertawa sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak
menahannya?!" kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila
Tuak itu menjawab.
"Aku tidak ada urusan
dengan dia! Jadi kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil
merebut Guci Pusaka Tuak
Setan dari tangan
adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut
ramalanmu, Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, untuk
apa aku menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke
tanganmu. Tapi kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan
orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu
palsu!"
"Palsu atau tidak, itu
tergantung anggapan orang. Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu
dari tangan si Datuk Marah Gadai!"
"Dia, huk... dia tidak
membawa Pusaka Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau ingin agar
aku membunuh adikmu untuk merebut Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus
berurusan denganku Suto
Sinting!"
"Aku malas berurusan
denganmu! Bukan karena aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang lemah,
huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun
dikatakan sebagai orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak melepaskan
kemarahannya. la hanya berkata dalam hati.
"Kalau bukan karena aku
sedang membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu! Sayang aku
harus membujuknya untuk ikut mengejar
Datuk Marah Gadai, sebab ia
bisa kujadikan tameng dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku. Yang
jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu,
Cadaspati terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi melawan Datuk Marah
Gadai."
Suto berdiri dari duduknya
dengan sempoyongan. la berkata dengan suara mabuknya.
"Aku mau mandi, biar segar
badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu
menghancurkan Pusaka
Tuak Setan?"
"Dari mana kau
tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu
dengan si Gila Tuak dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu
tinggi juga, huk...! Aku
mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar
sinting!" kata Peramal Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera
menyusul Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan Cadaspati!"
*
* *
9
PERAMAL Pikun pergi dengan
berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi dengan
kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan
lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi
bisa bertemu dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum
pernah bertemu ini akan terpupus habis." Suto mulai meletakkan bumbung
tuaknya. Baru sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara
orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru- buru merapatkan bajunya kembali
dengan wajah
celingak-celinguk penuh
curiga.
Dari kerumunan semak di
seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam. Suto
menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut,
Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai
Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar
dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati Suto dan berkata dengan napas
masih terengah-engah.
"Itu perempuan desak
aku! Desak aku
itu perempuan!"
"Paman ini mau ngomong
apa kok desak-desakan sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?"
Suto tertawa dalam suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa
wajahmu memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak
aku ketemu dia sama
Guru."
"Maksud Paman Giri, ada
perempuan mendesak
Paman untuk bertemu dengan
Guru?" "Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto
membenarkan susunan katanya. "Lalu, apa
yang membuat Paman menyusulku kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan.
Ganas jago dan. Dia
masuk nekat dalam ke gua. Ki
Gila Tuak ditantangnya pasti."
"Guru ditantang perempuan
itu?"
"Begitu mestinya
dugaanku. Dibunuh bisa guru olehnya."
"Guru bisa dibunuh
olehnya? Ah, tak mungkin itu, Paman
Guru pasti bisa mengatasi seorang perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu
Guru selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!" sentak
Suto membetulkan kalimat.
"Iya. Dulu tundalah
mandimu. Dari keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku
mengartikan bahasamu, Paman!
Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk..., tak bisa
kutahan. Aku mau bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak
segera mandi."
"Tega kepada kau Guru,
hancurlah dia oleh perempuan itu?!"
"Tega tak aku Guru kepada
dan... aduh, kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"
"Pergi cepatlah ke
sana!"
"Aku mau mandi!
Tahu...?!" sentak Suto merasa jengkel akhirnya. Sentakan itu membuat
Pujangga Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa mempengaruhi keberanian seseorang
menjadi surut. Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi penurut.
Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh Bidadari Jalang
kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya
dengan gerakan susah-payah karena mabuk.
Pujangga Kramat diminta
untuk membantu menarikkan bajunya.
Karena keberanian yang surut,
Pujangga Kramat menuruti perintah itu tanpa banyak bicara.
Tetapi pada saat itu Suto
sempat mendengar detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto yang
seperti orang mengantuk itu segera melirik ke arah rimbunan pohon. Baju yang
telah dilepaskan segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat memandang dengan heran,
tak mengerti maksud Suto.
la segera menghentakkan kaki
kanannya ke tanah. Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan. Hentakan itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah
seberang memercik ke arah rimbunan semak yang dicurigai Suto. Crattt...!
"Auh...!" terdengar
suara pekik dari rimbunan semak.
Pujangga Kramat terperanjat
dan berkata, "Orang ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di
balik rimbunan semak.
Sebaiknya suruh keluar dia
dari sana dan bicara padaku apa maunya!"
"Itu suara perempuan.
Perempuan itu jangan- jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan mukaku."
"Kau takut, Paman?"
Suto tersenyum geli. "Takut tidak. Jera iya."
Suto tertawa terkekeh, la
berseru, "Perempuan di balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi
mandi. Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah diketahui,
perempuan yang ada di balik
rimbunan semak itu pun akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana dengan
satu lompatan tanpa menimbulkan suara gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas
menyentuh dedaunan.
"Aku tidak bermaksud
mengintipmu, Suto!" kata perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak
sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto memandang dengan
mata merahnya yang mirip orang mengantuk.
Pandangan mata itu tertuju
lekat ke sorot pandangan mata Selendang Kubur. Pada saat itu, Pujangga Kramat
berbisik,
"Ini perempuan bersama
tadi dengan perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke gua, temui
Ki Gila Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku
paham dengan maksudmu," sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan
Selendang Kubur berjalan mendekat.
Suto segera berkata,
"Selendang Kubur, temanmu mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya
guruku. Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan akan menyeretnya keluar
dari gua dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka
tidak bermaksud jahat menemui
gurumu. la masih tidak percaya bahwa persoalan tadi sudah kita selesaikan. la
bahkan tidak ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat masuk ke dalam
gua untuk menemui gurumu dan meminta maaf atas sikap mencurigakan dari
Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto!
Dewi Murka tidak akan berbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu!
Huk...!" ia masih sesekali celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok
wajah Paman Giri ini?"
"Barangkali Pujangga
Kramat menghalangi niat baiknya hingga ia melakukan kekerasan."
"O, begitu?"
"Kami orang-orang
Perguruan Merpati Wingit tidak suka mencari persoalan dengan orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu
datang kemari?"
"Menjagamu," jawab
Selendang Kubur sambil memalingkan pandangan mata ke arah lain.
"Jawabanmu sungguh lucu
bagiku," Suto tertawa. "Jawaban itu hanya alasan belaka yang
dibuat-buat. Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit,
tanda tak suka dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan berkesan
ketus.
"Kalau aku mau, tak perlu
aku mengintipmu mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah bisa
melihatmu telanjang."
"Hah...?l" Pujangga
Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan tangannya ke
bawah.
Suto tidak demikian. Suto
hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Kubur. la
berkata,
"Jangan menyombongkan ilmu di depanku, Selendang
Kubur."
"Aku tidak menyombongkan
ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan
baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun.
Aku mempunyai 'Candra Tembus
Pandang'. Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang
memperoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'." Senyum Suto tipis dan masih
berkesan tidak percaya.
"Kau mempunyai tahi lalat
di bawah pinggulmu!" kata Selendang Kubur setelah menatap Suto
beberapa saat.
Suto terperanjat kaget, karena
kata-kata itu memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Kubur
berkata,
"Kau tidak mempunyai
pusar, dan ada noda hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan, dekat
dengan tulang pinggul."
Meng-geragap bingung Suto menghadapi perempuan berhidung
mancung dan bermata bundar itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena
apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa Selendang Kubur
mampu mempunyai sorot mata tembus pandang. Akibatnya, Suto segera bersembunyi
di belakang Pujangga Kramat. Tetapi Pujangga Kramat pun segera bergeser
berdirinya, pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan kedua tangan
mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia
segera berpindah tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat. Karena malu
dipandang, Pujangga Kramat lari dan bersembunyi di balik pohon besar. Hanya
kepalanya yang nongol dan berseru,
"Bersembunyi cepat pohon
di balik!"
Buru-buru Suto mengambil
bumbungnya dan lari ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan berbalik
wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia berseru.
"Pohon itu pun masih bisa
kutembus dengan
pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu
bikin aku susah berdiri saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa
di atas gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani menatapku.
Rupanya dia punya kekuatan tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus
keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu
segera mengambil keputusan untuk menceburkan diri ke telaga. Setidaknya dengan
begitu ia bisa menyembunyikan tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk mandi.
Maka, serta-merta Suto
melompat dari balik pohon setelah melemparkan bumbung-nya ke tangan Pujangga
Kramat. Lompatan-nya bersalto satu kali dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat
kaget dan segera menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan berseru
kepada Pujangga Kramat.
"Apakah dia bunuh diri
?"
"Tidak dia bunuh diri,
mandi tapi," jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang Kubur
merenungkan arti kata sebenarnya.
Setelah memahami makna
kata-kata itu, Selendang Kubur tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya
dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, melompat bagaikan
terbang dan hinggap di atas sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar.
la bagai seorang penjaga yang
menunggu majikannya sedang mandi. Matanya memandang sekeliling, mengawasi
kalau-kalau ada bahaya datang pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau
bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut
cemas dahi Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke permukaan air telaga.
Hati Selendang Kubur menjadi cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di
telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga Kramat yang masih bersembunyi
di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...!
Apakah dia bisa berenang ?"
"Entahlah!" jawab Pujangga
Kramat.
"Tak pernah melihatnya
aku berenang, tak pernah melihatnya aku tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti
bahwa Suto mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama. Suto yang punya niat
untuk sekadar mandi itu menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke dasar
telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan. Suto ingin mengetahui
apakah Cadaspati benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau memang tidak
menemukan apa-apa di telaga itu.
Air di pertengahan berwarna
keruh, tapi di bagian mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata Sumo sempat melihat benda yang separonya
terkubur tanah dasar telaga.
Benda itu sangat
mencurigakan. Letaknya tepat
ada di tengah dasar telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda
berbentuk guci?!" pikir Suto. Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun
separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut adalah guci berlumut, dibungkus
dengan anyaman
pandan sebagai tempat guci
yang juga berlumut,
bahkan ada beberapa rumah keong
kecil-kecil melekat di anyaman pandan.
"Inilah guci yang kulihat
pada saat aku bersemadi di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka
Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan sukar dihancurkan dengan
tangan kosong. Sebaiknya
kuhancurkan di darat saja. Aku
harus segera muncul
ke permukaan!"
Suto bergegas berenang naik.
Dalam hatinya ia sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh Cadaspati
dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak
Setan!"
Selendang Kubur merasa lega
begitu melihat kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la
tidak segera mendekatinya,
karena ia tahu hal itu akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat.
Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon. Tapi pandangan matanya selalu
tertuju pada tubuh Suto yang berpakaian basah kuyup.
Pandangan mata yang
semula menemukan keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan senyum
itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang. Rupanya pandangan mata perempuan
berselendang putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah benda berukuran
kecil di tangan Suto. Benda itu berbentuk
guci kuno yang
ukurannya sebesar
genggaman tangan Suto.
"Pusaka Tuak Setan!"
gumam Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang
dikatakan sebagai Tuak Setan
dan dapat menimbulkan bencana besar jika
disalahgunakan? Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak
itu, yang dapat mendatangkan
badai topan lewat
hembusan napas orang yang
meminum tuak tersebut. Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak terkalahkan
menghadapi lawan manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi raja di atas segala
raja di tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih tetap diam,
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Paman Giri, Pusaka Tuak
Setan kutemukan!" kata Suto kepada Pujangga Kramat. Orang berperut agak
buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum. Hatinya
berdebar-debar.
Sementara Guci Tuak Setan itu
diperhatikan oleh
Pujangga Kramat, Suto
memikirkan satu keanehan pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng
di kepalaku jadi hilang?
Hei... jalanku pun tadi tidak
limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku menyelam di air telaga
itu?
Atau mabukku hilang akibat aku
memegang Guci Tuak Setan ini?"
"Suto," kata
Pujangga Kramat. "Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"
"Maksudmu, ada satu
pusaka lagi yang terkubur bersama Tuak Setan ini?
Oh, ya... aku ingat! Cincin
Manik Intan."
"Ya. Ambillah.
Ki Gila Tuak menyuruh menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat,
kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan.
"Ya, satu lagi pusaka
milik Bibi Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku
tadi melihatnya di sana!"
"Ambillah, orang lain
sebelum mengambilnya!" "Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini,
aku akan menyelam kembali ke dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti
hilang napasmu."
Suto segera melompat kembali
ke dalam telaga. Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa heran dan perlu
berkerut dahi.
"Mengapa ia kembali masuk
ke dalam telaga?" pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan
mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar kubur? Mungkin sebuah atau
dua buah pusaka lagi yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya
kutunggu saja hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di
dasar telaga kembali, tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada sesuatu
yang membuat hatinya begitu. la berusaha melupakan keresahan tersebut dan tetap
mencari Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak ditemukan.
Suto mengorek tanah di tempat
Pusaka Tuak Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada. Suto bertambah gelisah karena
tidak mudah menemukan cincin
itu. Hasratnya ingin naik ke permukaan air menjadi semakin besar. Sampai- sampai
timbul pertanyaan di batinnya.
"Ada apa di atas? Mengapa
hasratku ingin muncul ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin itu
sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di sini? Ke mana larinya
cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan
kegundahan hati. Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu. Akhirnya ia
tak tahan dengan keresahan hatinya, maka ia pun segera muncul di permukaan
telaga.
"Paman Giri, aku
tidak...," kata-kata Suto terhenti
seketika. Pandangan matanya
menemukan sesuatu yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la segera
jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari
kedalaman air, lalu ia bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan
tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku membiru.
"Paman Giri...!"
Suto menyentakkan kata untuk membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu
masih belum bisa membuka matanya. Sekujur
tubuhnya menjadi pucat
kebiru-biruan. Di bagian lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu.
Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu serupa dengan jarum beracun
yang mengenai punggung Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak
Setan tidak ada di tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau
merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman Giri memakai jarum beracun.
Hmmmm... Selendang Kubur... di
mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun hilang ?
Benarkah Selendang Kubur yang
merebut Pusaka Tuak Setan itu ?"
Suto bergegas mengambil
bumbung tempat tuak yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi dalam
hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang
Kubur telah mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah
satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa! Keparat! Ke mana
perginya Selendang Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak
mungkin! Jadi, ke mana aku harus
mencari Selendang Kubur ?"
Pujangga Kramat segera
bangkit, tidak menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju satu langkah,
tubuhnya terasa gontai. Agar tak kentara gontainya, ia berhenti dan tetap
berdiri dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur
pun mempunyai kecamuk batin.
"Orang ini manusia apa
banteng?! Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya rambutnya
terbakar atau pakaiannya terbakar oleh percikan api dari pukulan 'Selendang
Petir'-ku tadi. Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia cukup
mampu melapisi dirinya dengan kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga
rupanya."
Dari arah belakang terdengar
Dewi Murka berkata merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur.
"Kau ini mau bertarung
apa menari? Sejak tadi tak ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu
saja!"
"Diamlah kau!"
sentak Selendang Kubur, tanpa memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku
yang maju! Kau belajar dari jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti
dia!"
Selendang Kubur tidak mau
mundur, la tidak mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju dua langkah
dengan memutar-mutarkan kain selendangnya di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan
kedua tangannya kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya mengeras, dan
hanya dua jari di masing-masing tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua
tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu sentakan kedua jari dari
masing-masing tangannya. Wuugh...!
Sebuah tenaga begitu besar
melesat keluar dari keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu
tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh Selendang Kubur. Tubuh tersebut
pada mulanya terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah itu, tubuh tersebut
berputar di atas tumitnya. Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat sedikit
dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut terangkat dan berputar dengan
kuat. Wusss... wuuss... wuusss... !
Kedua perempuan itu tidak bisa
mengendalikan diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan kekuatan yang
memutarkan tubuh. Namun semakin dilawan terasa semakin cepat saja putaran
tersebut. Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah
peredaran darahmu jika dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka
yang tampak mau melawannya dengan kekuatan tenaga dalamnya. Namun begitu
mendengar kata- kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata- kata itu. Maka
ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat yang telah membuatnya seperti
baling-baling. Bahkan kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika tangan
Pujangga Kramat menghentak ke samping, bagai melemparkan sebuah benda dari
jarak jauh.
Buuk... buukkk...! Kedua tubuh
perempuan itu berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak mampu bergerak
untuk sesaat. la ditertawakan oleh Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba-tiba
berhenti melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam sekejap.
"Edan! Perempuan itu
tidak merasakan pusing sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan
lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap
melihat Selendang Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka. Bahkan kini
Selendang Kubur menyabetkan kain selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...!
Sreett...! Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, bagai terikat kuat
dengan selendang putih itu.
Brukkk...! Tubuh Pujangga
Kramat jatuh karena selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki bergeleng
akar hitam itu sempat menggeragap sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret
tanpa mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga merasakan tubuhnya mulai melayang.
Selendang Kubur telah berhasil
menarik tubuh itu dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan cara
memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia antara empat puluh tahunan itu
dipakai mainan, diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin lama semakin
cepat putarannya. Membentur pohon sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu.
Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari selendang, maka tubuh itu akan
meluncur cepat, terbuang entah ke mana dan jika membentur benda keras,
sedikitnya akan ada tulang yang patah. Bayangan itu yang membuat Pujangga
Kramat menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai
sadar dari rasa pusing yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan jelas apa
yang dilakukan Selendang Kubur. Maka dengan cepat ia menghunus trisulanya.
Gerakan tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan pucuk trisula. Jelas
gerakan putar itu akan berhenti dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung
trisula.
Tetapi, ketika trisula itu
dihunus dan hendak dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga Kramat,
tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat membuat trisula itu lenyap dari tangan
Gewi Murka. Perempuan itu sempat terbengong melompong melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian
terbelalak ketika melihat sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah
membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal selendang tanpa bandul apa pun
yang dibawa berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk Selendang Kubur itu.
Dewi Murka menahan tawa keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar
bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur!
Berhentilah! Mangsamu telah lenyap!" seru Dewi Murka. Dan seruan itu
didengar oleh Selendang Kubur.
"Hah...?!" Selendang
Kubur terkejut melihat ujung selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak
memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya itu menangkap sesosok tubuh
yang berdiri dalam jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok yang
ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua dengan celana putih. Rambutnya
panjang sebatas punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata
Dewi Murka pun menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian coklat dengan
sebuah bumbung dari bambu yang ada di bagian punggungnya, melintang miring
bagaikan sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang
dengan mata tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan senyum di
bibirnya, hati kedua perempuan tersebut menjadi berdesir, berdebar-debar penuh
bunga-bunga indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada
Selendang Kubur, "Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang
disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti
dia. Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut
Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.
"Paman Sugiri," kata
Suto kepada Pujangga Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan
biarlah urusan ini saya yang selesaikan."
"Baiklah, Suto,"
jawab Pujangga Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali
berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau rubuh. Gerakannya itu menimbulkan
perasaan geli di hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.
"Pasti dia pusing akibat
kau putar-putarkan!" bisik Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman
pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian Selendang Kubur telah kembali
tertuju pada pemuda tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar
ketika ia sadar dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan berwajah
cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia melangkah mendekati mereka dan berhenti
dalam jarak tiga langkah di depan mereka.
"Kaukah yang tadi mau
membunuh Paman Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi
Murka.
"Hmmm... maksudku...
maksudku ........... "
Belum selesai Dewi Murka
bicara, tiba-tiba Suto yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat
menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat terpelanting nyaris jatuh
ketika tangan kirinya berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp... ! Jliiggg...!
Suto telah berdiri tegak
membelakangi kedua perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke belakang,
senyumnya kembali mekar indah mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak
sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu cepat. Bahkan Dewi Murka
terbelalak kaget melihat trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi,
persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya!
Melebihi angin menurutku. Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku
pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi Murka sambil mundur mendekati
Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia
berhadapan dengan kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah dengan sedikit
sayu akibat pengaruh tuak yang diminumnya di dalam gua, telah membuat daya
pikat tersendiri di hati kedua perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan
ada urusan apa dengan Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur
melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk dilepas dari
punggung.
"Kami orang-orang
Perguruan Merpati Wingit," jawab Selendang Kubur. "Kami... kami...
kami..,," ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang mata Suto
menatap dengan kelembutan yang meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur
merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto, maka
ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata lagi.
"Kami ingin bertemu
dengan si Gila Tuak, untuk menyampaikan permohonan maaf dari guru kami, Nyai
Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, yang membuat teman kami
menderita sakit akibat pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga
seorang perempuan muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab
Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri
dengar percakapanku dengan guruku itu?"
"Buk... bukan... buk...
bukan...,'' Dewi Murka ingin ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya
berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah lelaki yang belum pernah ia
jumpai di mana pun juga. Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa melontarkan
kata-kata dengan baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang
sengaja tak memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud temannya,
"Temanku itu bukan
menyadap percakapanmu dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia
mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian bicarakan. Tapi sebenarnya temanku
itu hanya... hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih jelas ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak,
lalu tertawa terkekeh mirip orang tua, sambil berkata,
"Jadi dia hanya ingin
mengintip ketampananku? Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga
ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak bermaksud mencuri dengar
pembicaraanku dengan Guru?"
"Tidak," jawab
Selendang Kubur. "Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu
suatu hal yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini untuk
meluruskan salah duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu
melirik ke pepohonan sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di sana.
Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat cepat tak bisa ditangkap
penglihatan bentuk dan wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia
merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan tersebut.
"Siapa namamu?"
tanyanya kepada Selendang Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola matanya segera
blingsatan karena hatinya makin berdebar pada saat beradu pandang. la tak
berani terlalu lama beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan bisa bicara
jika dalam keadaan beradu pandang.
"Namaku Selendang
Kubur," jawab Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka.
Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku yang bergelar Dewi Murka."
"Bagus sekali. Nama
kalian tak ada hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang
perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak, telah menerima
penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa
lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika
sikap teman kami ini tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang Kubur
dengan mata sengaja memandang ke arah gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf
kuterima," jawab Suto. "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang
sopan."
"Harus bagaimana aku
bicara padamu?"
"Pandanglah orang yang
kau ajak bicara. Itu sikap yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang
bernama Dewi Murka ini, sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup
bicara apa-apa padamu."
Suto tertawa panjang. Tuaknya
kembali ditenggak sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang Kubur.
"Persoalan sudah selesai.
Kalian boleh pulang."
"Tid... tidak...
tidakkah... kam... kami...," Dewi Murka tak pernah mampu menyelesaikan
kata- katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam...
kam...."
'Kambing?" sahut Suto
menerka.
Dewi Murka menggeleng.
Wajahnya makin pucat. Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak
bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip sejak tadi.
"Ak... ak... aku...
aku...."
"Sudahlah, jangan
bicara," potong Suto. "Napasku bisa putus mendengar bicaramu!
Sekarang, sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun akan segera
pergi."'
Selendang Kubur menatap
sebentar, lalu memalingkan pandangan ke arah lain, sambil melontarkan
pertanyaan.
"Ke mana kau akan pergi?
Ke Telaga Manik Intan?"
"Kau tak perlu
tahu."
"Ak... aku...," Dewi
Murka mencoba bicara lagi. "Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke...
keadaan... bah... bah .... "
"Bahagia?" sahut
Suto.
"Bah... bah...
bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur
berpaling menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat
walau mata tetap memandang Suto. la berkata gagap lagi,
"Tol... tolong... ak...
aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat
perubahan wajah kian memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka. Ternyata
punggung perempuan itu telah berdarah karena ditembus oleh sepucuk jarum besi
sepanjang kelingkingnya.
"Dewi...?!" sentak
Selendang Kubur dengan sangat terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto.
Wajahnya kian memucat. la telah menjadi salah sasaran dari seseorang yang ingin
menyerang Suto dengan menggunakan jarum beracun.
***
PADA saat Suto menenggak tuak
dengan mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah seseorang di balik
persembunyiannya melepaskan jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan
dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup jalannya jarum
beracun, sehingga yang menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka
yang terputus- putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan Suto,
melainkan karena tertahan oleh racun dari jarum di punggungnya. Jarum itu yang
membuat napas Dewi Murka menjadi terputus-putus. Sebenarnya sejak tadi ia sudah
hampir rubuh, namun ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan
tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi, usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang
berilmu tinggi," kata Suto kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya
sampai tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai telinga
guruku, mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin
membiru. Tak bisakah kau berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"
"Biar saja begitu.
Nasibnya sesuai dengan namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."
"Begitukah ajaran si Gila
Tuak? Tidak bisakah si Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang yang
bijak dan suka menolong?"
"Coba kutanyakan pada
guruku dulu, apakah dia mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau orang
yang pelit."
Suto mau melangkah, tetapi
dengan cepat Selendang Kubur berani menahan tangan Sutosambil berkata,
"Tak perlu kau tanyakanl
Aku akan segera pergi membawa temanku ini pulang ke perguruan."
"Itu langkah yang
bagus!" kata Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung bambunya.
"Manusia yang tak
berperasaan adalah kamu, Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata
memandang menyipit, memancarkan benci.
"Mengapa kau berkata
begitu, Selendang Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa
memberi pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak mau melakukannya."
"Apakah kau percaya betul
bahwa aku sanggup menolongnya?"
"Aku percaya!"
sentak Selendang Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk
walau belum banyak.
"Kalau kau percaya,
baiklah! Aku akan menolong menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan
napas, sedikit merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, karena ia
melihat wajah Dewi Murka semakin membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan
tubuhnya," kata Suto kepada Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum
di punggungnya?"
"O, iya! Jarum itu harus
dicabut dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum
itu pun dicabut oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari lubang
bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya tidak terkena semburan darah hitam.
Setelah darah itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera meneguk
tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak ditelannya. Sebagian disimpan di mulut.
Kemudian, tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung Dewi Murka.
Bruusss...! Air tuak ada yang memercik ke wajah Selendang Kubur, membuat
perempuan itu menyentak berani.
"Kau mau mengobati
temanku atau mau meludahi aku, hah?!"
Suto hanya tertawa sambil
berkata, "Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu, wajahmu
pasti hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur
mengibas-ngibas wajah, mengusap air tuak yang melekat di pipi dan rahangnya. la
bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang
dengan segera!" kata Suto.
"Pengobatan macam apa ini?!
Baru disembur satu kali sudah disuruh membawanya pulang!"
"Kau percaya atau tidak
kalau dia akan sembuh?"
"Yah, percaya!"
jawab Selendang Kubur dengan bimbang.
"Kalau kau percaya, dia
akan sembuh. Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap
Suto. Kali ini debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya gugup,
sehingga ia berani menatap agak lama. Mungkin ia mulai terbiasa menerima
debaran indah dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat berkata
dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa maksud kata-katamu
sebenarnya?"
"Tidak ada maksud
apa-apa," kata Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin
memberat karena terlalu banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera
terperanjat kaget melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, warna biru
di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal itu membuat mata Selendang Kubur tak
mau berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia semakin tahu dengan jelas
bahwa racun dari jarum itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah
berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai mengeluarkan keluhan kecil yang
pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur
membatin, "Luar biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya dengan
disembur memakai tuak dalam mulutnya, racun itu cepat hilang. Dan, oh...
ternyata bekas luka jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan yang
cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki oleh pendekar lain."
Wajah Dewi Murka menjadi semakin
segar. Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang Kubur sedikit lega melihat
temannya semakin membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah Suto yang
ada di belakangnya.
"Dia benar-benar
telah...."
Selendang Kubur terperanjat.
Suto sudah tidak ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa meninggalkan suara
apa pun. Selendang Kubur sama sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia
memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah kosong.
Ada rasa kecewa tersembunyi di
hati Selendang Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah ditinggal pergi
oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera bangkit dengan membaringkan kepala Dewi
Murka di tanah. la segera memeriksa sekeliling. Ternyata memang tak ada lagi
Suto di sekitar tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali
dengan siluman! Pergi tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana
perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke Telaga Manik Intan?" pikir
Selendang Kubur sambil masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku
menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa pulang Dewi Murka kepada Nyai
Guru?"
"Selendang Kubur,"
sapa Dewi Murka yang saat itu sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah
menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur terkesiap melihat Dewi
Murka dapat berdiri tegak.
"Apa yang telah terjadi
pada diriku? Mengapa aku terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa
basah?"
Selendang Kubur makin berkerut
dahi. la bertanya, "Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah
menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur
karena lelah. Tapi begitu aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu
membawaku kemari, hah?"
"Jangan salah sangka
padaku, Dewi. Kau tadi terluka."
"Terluka? Omong kosong!
Tidak ada orang yang bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan
oleh Suto."
"Suto...?! Siapa itu
Suto?" Dewi Murka menampakkan keheranannya.
Setelah hening sejurus,
Selendang Kubur berkata,
"Apakah kau tak ingat
seorang pemuda tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan dulu
tergesa-gesa memuji ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa orangnya. Kau
terpengaruh oleh kata-kata dari Murbawati!"
Selendang Kubur membatin,
"Rupanya ada bagian ingatan Dewi Murka yang terhapus karena penyembuhan
Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar- benar tak ingat dengan pertemuannya
bersama Suto. Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan
kesabarannya, Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar telah bertemu
dengan si tampan Suto itu! Kita berdua telah melihat ketampanannya yang
menggiurkan hati!"
"Ah, omong kosong! Aku
merasa tidak bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."
"Kita telah bertemu
dengannya!" Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi
perempuan itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah bertemu dengan Suto
Sinting. Akhirnya Selendang Kubur berkata.
"Kalau begitu, ada
baiknya jika kita susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau
mungkin bisa menemukan ingatanmu kembali tentang ketampanan Suto."
"Tidak. Aku akan menemui
si Gila Tuak untuk menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan si Gila
Tuak."
"Itu sudah kita lakukan
saat kita bertemu Suto. Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan pihak
si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya!
Kurasa itu hanya tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga
Kramat, seperti tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian
Dewi Murka. Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan maka
perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang
Kubur tak mau banyak bicara. la hanya berkata,
"Kalau kau tetap berkeras
hati untuk menemui si Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga
Manik Intan untuk menjaga
kemungkinan Suto dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada,
maka Suto bisa menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak dari mulutnya ke
luka di punggung Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa
Dewi Murka.
Kekuatan itu telah menghapus
ingatan Dewi Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu akibat dari
penyembuhan menggunakan cara sembur. Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula
hilang ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah
berkelebat pergi dengan kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata- mata
menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin mengejar sesosok bayangan yang
berkelebat di balik kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat itu
adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu. Suto ingin tahu, apa alasan
orang itu ingin mencelakainya dengan jarum beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup
gesit dan begitu cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya mau tak mau
ia terbawa sampai di sebelah barat pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang
kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga lari menuju ke sebelah
barat pegunungan Suralaya itu.
"Apakah orang itu
bermaksud membunuhku agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu menjadi
tujuannya, berarti orang itu telah menyadap percakapanku dengan Guru, dan
mungkin ia sudah cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan. la pasti
sudah sangat lama mengincar pusaka tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti
karena ia mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di sebelah kiri. Suto
segera mengikuti arah suara pekik pertarungan itu.
Ketika ia berhasil menemukan
daerah tempat suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto jadi sedikit
terperanjat. Karena kedua orang yang sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi
sebuah danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh di pertengahannya.
Danau itulah sebenarnya Telaga Manik Intan.
***7***
SEKALIPUN tubuhnya kurus
kering, namun ketika sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan keras, orang
itu hanya tersentak sedikit. la masih tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara
mengaduh sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia membuka mulutnya,
dan mulut itu mengeluarkan asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap supaya
keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat pukulan
di punggungnya tadi.
Sementara itu lawannya yang
tadi berhasil memukul punggung dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam
cukup besar, segera mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya yang
memang kecil terkesan sipit itu menatap orang bertubuh kurus kering dengan
tajam. Wajah dingin, tanpa keramahan sedikit pun.
Orang ini mempunyai tubuh
sedikit lebih gemuk dari lawannya. la mengenakan baju berlengan panjang kombor
warna hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas. Celananya juga
hitam dan punya lilitan kain emas. Di pinggangnya terselip sebuah pedang dengan
sarung pedang warna perak. Sementara di bagian kepalanya ada kain pengikat
berwarna merah tua, membuat penampilannya kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini
mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis yang menambah angker wajahnya,
yang berusia antara empat puluh lima tahun.
Sedangkan orang kurus kering
itu bermata cekung, berjenggot abu-abu dan rambut acak-acakan tanpa ikat
kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju potongan jubah yang tidak pernah
dikancingkan bagian depannya. Dadanya terlihat tipis bertonjolan tulang iga.
Orang ini dalam keadaan basah kuyup, sepertinya habis terendam air dalam telaga
tersebut.
"Siapa mereka itu?! Ada
persoalan apa sehingga mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya aku
tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik aku duduk di balik semak ini
sambi! menonton pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la segera menggeser
bumbung tuak dari punggung, lalu menengadahkan kepala dan menenggak tuak
sedikit.
Terdengar orang berpakaian
serba hitam itu berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri dengan kedua
tangan berkuku panjang siap menyambut serangan.
"Satu gebrakan lagi kau
akan rubuh dan nyawamu minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah! Selagi
hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu dan selamatkan nyawamu dari
amukanku!"
Kata-kata itu ditertawakan
oleh orang kurus berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di mata kanan
dibiarkan saja membuat wajah itu semakin berkesan bengis dalam usia antara lima
puluh tahunan.
"Kau salah alamat, Datuk
Marah Gadai!" katanya, "Benda yang kau cari itu tidak ada di
tanganku."
"Omong kosong! Kau telah
menyelam di dalam telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!"
sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu. Dan sentakan itu kembali
ditertawakan orang kurus yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-
usap jenggot abu-abunya.
Suto membatin, "O, orang
yang berpakaian hitam itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu.
Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai kebiasaan menggadaikan
barang-barangnya, sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!"
Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya. Matanya kembali menatap dua
tokoh tua yang masih bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan.
Orang kurus kering itu
berkata, "Aku memang telah menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana
tidak ada apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga kecuali
kekecewaan!"
"Puih! Mana ada orang
yang mau percaya dengan mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!" Datuk
meludah. "Orang paling licik di seantero jagat adalah kau, Cadaspati! Dan
mulut orang licik selalu menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa harus
memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan dengan menghancurkan mulutmu lebih
dulu, Cadaspati!"
Suto terperanjat begitu
mendengar Pusaka Tuak Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati kecilnya
berkata,
"Rupanya mereka berebut
Pusaka Tuak Setan?
Orang yang basah kuyup itu
ternyata murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah
mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat orang kurus itulah yang
semasa kecilku menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga
tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan Kakek Guru sendiri.
Hmmm... sekarang ilmu 'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya aku
membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."
Suto bergeser dari tempat
persembunyiannya. la mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk memandang
daerah tepian telaga. Satu-satunya tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di
atas pohon.
Maka, tubuh Suto pun segera melesat
dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi. Dalam sekali
hentakan kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun
lebat. Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak menimbulkan guncangan sedikit
pun pada dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin dalam gerakannya.
"Nah, dari sini lebih
enak menonton pertarungan orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya.
"Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka Tuak Setan itu sudah
berhasil jatuh di tangan Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh
Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana
kalau ternyata yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena kelihatannya ilmu
yang dimiliki Cadaspati tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk Marah
Gadai."
Pada saat itu Datuk Marah
Gadai sudah siap lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya terangkat
sampai batas dada. Kemudian tangan itu saling menyilang dengan gemetar. Telapak
tangan yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras itu mulai kelihatan
berasap tipis.
Cadaspati tidak tinggal diam.
la mengerahkan tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku tangannya
memercik-mercikkan bunga api. Seperti ada aliran tenaga yang berlompatan dari
kuku yang satu ke kuku yang satunya lagi.
"Hiaaat...!" Datuk
Marah Gadai menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara.
"Hiaaah...!"
Cadaspati juga menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah
Datuk Main Gadai.
Begitu dua tubuh itu bertemu,
dengan cepat mereka saling menghantamkan pukulan masing- masing.
Plak...! Plak...! Wugh...
wuugh...!
"Hugh...!" keduanya
sama memekik tertahan. Tubuh mereka saling terpental ke belakang.
Datuk Marah Gadai hampir saja
tersungkur masuk ke dalam telaga. la jatuh dalam posisi terduduk di tepian
telaga. Namun kakinya segera dihentakkan hingga ia bangkit kembali. Sementara
itu, Cadaspati setelah mengadu pukulan segera bersalto ke belakang satu kali
dan kakinya mendarat di tanah dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya
yang cekung itu memantang penuh nafsu membunuh. Rambutnya yang panjang
tersingkap oleh angin telaga.
Datuk Marah Gadai menggeram
ketika melihat Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya.
"Jahanam kau! Rupanya kau
sudah bosan bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk bermain-main
denganmu! Sekaranglah saatnya kucabut nyawamu! Hiaaat...!"
Datuk Marah Gadai menyentakkan
kaki kanannya ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak kakinya
berkelebat sinar putih keperakan yang melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih
keperakan itu segera dihindari oleh Cadaspati dengan satu lompatan ke atas. Dan
bersamaan dengan itu, Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek angin.
Wuuusss...!
Lima berkas sinar meluncur
dari kuku-kuku tangan kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat
menerjang tubuh Datuk Marah Gadai. Segera orang berpakaian hitam itu
berguling-guling ke samping dan akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan
tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk ke dalam telaga hingga airnya
berguncang hebat. Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya. Sisa
kekuatan sinar merah api itu membuat gelombang di permukaan air telaga. Telaga
bagai ada yang mengguncang-guncangnya dari dalam.
Sementara itu, sinar putih
perak dari kaki Datuk Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang membuat
gugusan batu itu sirna dalam sekejap. Tinggal debu halus yang menggunduk
sebagai tanda hancurnya gugusan batu tersebut.
"Rupanya keduanya
sama-sama berilmu tinggi," pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya
kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan mabuknya. Bahkan
tak sengaja ia melontarkan suara legukan satu kali.
"Huk...!"
Buru-buru Suto menutup
mulutnya karena takut suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti itu. Di
hati Suto ada rasa waswas karena setelah suara cegukan satu kali itu, Datuk
Marah Gadai mulai memandang sekelilingnya penuh curiga.
"Celaka!" gumam Suto
dalam hati. "Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"
Cadaspati sendiri membatin,
"Dia mulai lengah. Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera
tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"
Niat Cadaspati untuk kabur
ternyata diketahui oleh Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik
memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera mengirimkan pukulan jarak
jauhnya melalui telapak tangan. Wuuugh...! Beegh...!
"Huggh...!" tubuh
Cadaspati melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak jauh
Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah semakin mendendam
bengis. "Keparat kau, Datuk!"
"Mau lari ke mana kau,
hah? Jangan lari dulu kau. Selesaikan dulu urusan kita ini!" Mata cekung
yang memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi lunak, sayu dan
kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut dahi karena merasa heran. Ia
berkata dalam hatinya.
"O, rupanya pukulanku
tadi telah mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya mulai
terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik kelemahan Cadaspati.
Rupanya ada di bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis punggungnya!"
Cadaspati memang berdiri
dengan oleng. Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan bicaranya bernada
mengambang.
"Hei, Datuk... jangan
terlalu lama kalau marah, nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he,
he...!"
Datuk diam, menatap dengan
curiga dan semakin merasa aneh melihat sikap Cadaspati. Kebengisannya menjadi
hilang. Cahaya nafsu membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata
cekungnya.
Cadaspati mencoba bersandar
pada sebatang pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh terga gap-gaga p. la
segera bangkit dan menggerutu sendiri.
"Siapa yang menaruh pohon
tidak pas pada tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang menyingkirkan
pohon ini waktu mau kusandari! Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar
aku bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"
Datuk Marah Gadai tertawa
sinis. "Aku tak mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"
"Tidak perlu pakai
arah!" sentaknya dengan suara mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak
mata bagai menggantung. la menuding Datuk dengan tangan lemas. Katanya lagi.
"Kau... sini! Kau ke
sini, Datuk!"
Datuk masih diam, tapi ia
membatin, "Hmm... ada yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan
akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah mengacaukan urusanku dengan
Cadaspati."
Dugaan itu memang benar. Suto
telah menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri Cadaspati. Gerak-gerik dan
suaranya berubah menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh Suto sebagai
tindakan balas dendam atas kelakuan Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Datuk Marah Gadai pun segera
membentak, "Siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Apa kau lupa pada
tampang gantengku, Datuk?"
Kalau saja kata-kata itu
diucapkan oleh Suto sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang pantas. Tetapi,
kata-kata itu diucapkan oleh orang yang sudah cukup umur, berkulit wajah
keriput dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh ungkapan kata yang lucu jika
wajah seperti itu dikatakan ganteng. Namun Datuk Marah Gadai tidak mau tertawa
lebar-lebar. la hanya tertawa sinis dan segera berkata kepada Cadaspati.
"Jangan kau campuri
urusanku dengan Cadaspati! Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang juga,
nah?"
"Remukkanlah! Ini bukan
kepalaku. He he he...!"
"Jahanam kau!
Hiih...!"
Datuk Marah Gadai
menghantamkan pukulan tangan kosongnya ke wajah Cadaspati. Plook...!
"Uts...!" Cadaspati
mundur selangkah, ia mendekap mulutnya. Sedikit bengkak bibir atasnya. Untung
saja pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak mengandung kekuatan tenaga
dalam. Andai saja Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pasti
mulut itu akan hancur berantakan ke mana-mana giginya.
Cadaspati yang tadi
menggeloyor, kali ini segera mendekat kembali dan berkata sambil menuding-
nuding dengan tangan lemas.
"Kamu jahat! Kamu tidak
tahu kebaikan. Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"
"Tutup mulutmu,
hiiih...!"
Datuk Marah Gadai menghantam
pukulan lagi ke mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih kuat dari yang
pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis pukulan itu dengan kelebatan tangan
kanannya, lalu punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan ke ulu hati
Datuk.
Bukkk... !
"Ugh...!" Datuk
Marah Gadai tersentak kaget. Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras
bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah Gadai sempat terbeliak lebar. la
segera mengeraskan perut dan menahan napas.
"Kurang ajar! Aku dibuat
mainan seenaknya saja!" geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan bertenaga dalam melesat dalam
jarak empat langkah darinya.
Wuuugh...!
"Aaahg...!"
Cadaspati terpekik, Pukulan itu mengenai dadanya. la tersentak ke belakang.
Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian tubuhnya jatuh di bawah pohon.
Punggungnya membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu.
Pada saat itu, Suto melepaskan
ilmu 'Inti Neraka' dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati menjadi dirinya
sendiri. Dan ia terkejut menyadari sudah terbaring di bawah pohon dengan dada
sakit dan tulang punggung bagai mau patah.
"Apa yang kualami tadi?"
pikir Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan
menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah
Gadai pun segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan bertenaga dalam yang
lebih besar lagi.
"Hiaaat...!" tangan
kanan disentakkan ke depan dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu
mempunyai gelombang panas yang mampu membakar kulit pohon.
Cadaspati segera menghadang
pukulan itu dengan sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan tangan itu
tidak sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu menerjang telapak tangan kiri
Cadaspati. Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan hangus sampai di bagian
ketiak dan dada sebelah kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga
membentur pohon besar di belakangnya.
"Uughh...!"
Cadaspati mengaduh tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai
segera mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam mampu
meleburkan gugusan batu tadi.
"Lebih baik matilah kau
daripada tetap tak mau menyerahkan Pusaka Tuak Setan!" seru Datuk Marah
Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan menendang ke depan. Sinar putih
keperakan melesat dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.
Namun tiba-tiba sekilas sinar
biru telah melesat cepat dan membentur sinar putih keperakan itu. Benturan itu
menimbulkan ledakan hebat yang mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blarrr...!
Datuk Marah Gadai belalakkan
mata lebar-lebar. Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua berambut
putih yang muncul dari balik semak belukar. Sosok orang berambut putih panjang
tanpa ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk
Marah Gadai. Posisinya lebih dekat ke Cadaspati.
"He, he, he...,"
orang tua yang lebih kurus dari Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh.
Tongkatnya yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la mengenakan celana
hitam dan kain putih yang diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian melilit
di pinggang. Di pinggang itu pun ia mengenakan sabuk besar dari kulit binatang
warna hitam berbulu.
Dari tempat persembunyiannya
Suto membatin, "Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini? Sepertinya ia
ada di pihak Cadaspati."
"Selamat jumpa lagi,
Datuk Marah Gadai. Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil melukai
adikku, Cadaspati!"
"Aku tidak ada urusan
denganmu, Peramal Pikun! Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban
kemarahanku!"
"He, he, he.... Mana bisa
aku menyingkir kalau kau ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah adikku
ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi. Bukankah persoalan kita sepuluh
tahun yang lalu sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita harus bikin
persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?"
"Aku membutuhkan benda
pusaka yang dibawa oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah sejengkal
pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu diserahkan kepadaku!"
Orang yang berjuluk Peramal
Pikun itu segera bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa Pusaka
Tuak Setan?"
"Tidak!" jawab
Cadaspati sambil berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan dari Datuk
Marah Gadai tadi.
"Datuk, adikku tidak
membawa Pusaka Tuak Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya
kepadamu!"
"Omong kosong!"
sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya berkata,
"Sebenarnya aku sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini. Ilmunya
sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku melawannya gara-gara persoalan
perempuan. Hampir saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi. Untung
waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia pun punya lelaki simpanan lainnya,
sehingga kami memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan membiarkan Rindani
dengan lelaki simpanannya. Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil keputusan
untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan mati di tangannya. Dan sekarang,
ilmuku memang sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu juga semakin
tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah aku melawannya lagi?"
"Hei, Datuk..., mengapa
diam saja? Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau melepaskan adikku? Atau
kita teruskan persoalan ini dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?"
tantang Peramal Pikun.
Dari tempat persembunyiannya
Suto membatin, "Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali juga.
Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai kesan bengis seperti wajah
adiknya. Wajah itu malah berkesan selalu ceria dan tersenyum."
Datuk Marah Gadai berkata
dengan suara lantang, "Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki
Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul dari dalam telaga itu. Pasti
dia sudah menemukan pusaka tersebut!"
"Mengapa kau berkeyakinan
begitu, Datuk Marah Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak Setan itu
milik si Gila Tuak?"
Diam-diam Suto terkejut mendengar
nama gurunya disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara cegukannya
tidak berbunyi.
"Aku memang tahu, pusaka
itu milik si Gila Tuak. Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata
Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si Gila Tuak dengan muridnya,
bahwa pusaka itu akan dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus sudah
lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang
sudah mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!"
"He, he, he..., siapa
tahu adikku masuk ke dalam telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia
tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"
"Tidak mungkin! Dia pasti
telah memperoleh Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik pakaiannya
itu!"
Sekali lagi Suto membatin,
"Iya. Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya.
Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu sepertinya mempunyai kantong
untuk menyimpan Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang tak berharga
yang ada di kantong jubah belakangnya itu?"
Datuk Marah Gadai mengambil
sikap siap menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan sebatas dada. Tapi
Peramal Pikun masih tetap tenang dan cengar-cengir saja.
"Peramal Pikun, terpaksa
kau juga perlu kukirim ke neraka karena membela adikmu yang punya urusan
denganku!"
"Tunggu, tunggu...,"
Peramal Pikun tetap kalem. "Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi
kesia- siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab menurut ramalanku,
Pusaka Tuak Setan itu tidak akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan
murid tunggalnya si Gila Tuak."
"Ramalanmu semakin tua
semakin tak manjur!"
"Manjur atau tidak, tapi
kenyataannya si murid Gila Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia pun
siap berhadapan denganmu, Datuk Marah Gadai."
"Persetan dengan murid si
Gila Tuak. Yang kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di tangan adikmu
itu!"
"Murid si Gila Tuak tidak
bisa dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."
Datuk Marah Gadai tampak
sedikit waswas. la melirik sekelilingnya.
"Ramalanmu tak ada
artinya bagiku. Kau hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang lain
di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati bersama
adikmu!"
Kaki Datuk Marah Gadai mulai
bergeser merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku. Peramal Pikun masih
kalem, melangkah maju dua tindak.
"Tunggu dulu, Datuk....
Siapa bilang di sini hanya ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya,
menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."
"Mana yang seorang
lagi!" sentak Datuk Marah Gadai dengan suaranya yang besar.
"Ada di atas sana,"
jawab Peramal Pikun sambil tangannya seperti menebarkan sesuatu namun
sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat ke dalam tempat Suto
bersembunyi. Datuk Marah Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan
melihat seorang pemuda bertengger di sana. Pemuda itu kini melompat turun
dengan dua kali salto, karena ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan
oleh Peramal Pikun. Tenaga dalam itu membentur dahan dan membuat dahan itu
berderak, lalu patah dan jatuh ke tanah.
Tepat pada waktu itu, Suto
sudah berada di antara Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya mata
Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun mata Cadaspati pun ikut terbelalak
melihat kehadiran Suto.
***8***
MELIHAT sikap berdiri Suto
yang tak bisa tegak, melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat bumbung
tuak yang masih dipegang dengan tangan kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera
dapat menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang tadi mengganggunya dengan
menggunakan raga Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa lengan inilah
yang mengendalikan Cadaspati bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di
atas sejak tadi!" geram Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun memandang
lebih menyipit kepada Suto yang saat itu sedang cengar-cengir memandang Peramal
Pikun.
"Menurut ramalanku, kau
yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun.
Suto menjawab, "Menurut
ramalanku, kau kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."
"Dari mana kau
tahu?"
"Dari tadi!" jawab
Suto dengan suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto
tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak
kau dijuluki orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti. Bahkan jauh di
masa tuamu nanti, kau bisa menjadi seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting.
Tentu saja kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting semua. He he he
he...!"
"Kalau... huk... kalau
begitu, huk... aku buka perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja,
huk...!" sambil Suto cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak,
"Ini bukan urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi,
huk... Paman. Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan
menjadi setan, huk!"
"Itu bukan urusanmu!
Menyingkirlah, biar kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah ingusan!"
"He he he...," Suto
tertawa dan bicara kepada Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah
ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, huk... he he he...!"
Rupanya kesempatan itu
digunakan oleh Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa tenaganya ia
segera melarikan diri dari arena pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati
membatin.
"Aku tak akan mampu
menghadapi Datuk Marah Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di
tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar masalah Datuk diurus oleh
Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat
melihat kelebatan sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya. Maka ia pun
segera berteriak.
"Hai, mau ke mana kau?!
Jangan lari, Jahanam!"
Serta-merta Datuk Marah Gadai
melompat untuk mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula Peramal Pikun
melompat dengan bersalto satu kali di udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah
kepala Datuk Marah Gadai. Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai sasaran, namun membuat
tubuh Datuk Marah Gadai bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena
kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah dengan wajah membentur
semak-semak. Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri
tegak di tanah dengan tongkat digenggam tangan kanan. la menertawakan keadaan
Datuk Marah Gadai, yang segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap wajahnya.
Wajah itu menjadi merah tergores-gores akibat duri semak yang ditabraknya.
"Keparat kau, Peramal
Pikun! Terang sudah kau turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin
persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai dengan wajah menampakkan
kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku
bikin urusan lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"
Napas Datuk Marah Gadai
terengah-engah. Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu, terucap
dalam batin Datuk Marah Gadai.
"Angin pukulannya lebih
hebat dari yang dulu. Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku akan
kehilangan pusaka yang sudah kuincar bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh
larut melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak
mungkin ia bisa berlari jauh karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku
tadi."
Suto tidak ikut campur. la
bahkan menenggak tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah tenggorokan,
kemudian duduk di sebuah batu sambil menyaksikan pertarungan tersebut, sambil
sesekali memperdengarkan suara cegukannya.
Mata Suto sempat terperanjat
ketika Datuk Marah Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke telapak
kaki Peramal Pikun yang punya nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu
membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik bersama tubuh
di atasnya yang terdorong ke belakang.
Broolll... !
Wusss...! Tubuh Peramal Pikun
bagai didorong kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau manusia keriput
berambut putih panjang itu bersalto satu kali.
Belum sampai kakinya
memijakkan tanah lagi, Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan pukulan
tenaga dalamnya dengan menyentakkan kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin
besar melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera
menghentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia menahan
pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga dalam yang disalurkan melalui kepala
tongkatnya yang berbentuk kepala burung garuda itu.
Duub... !
Dua tenaga dalam berilmu
tinggi saling berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu mengakibatkan
tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di
atas kayu runcing.
"Aaauh...!" Datuk
Marah Gadai memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit
dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa
geli melihat Datuk Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh Peramal Pikun.
Sedangkan Peramal Pikun sendiri hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap
berdiri pada tempatnya. la berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang
kecocok paku? Nah, lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"
Suto yang ada di belakang
Peramal Pikun itu semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh mabuknya.
Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun
segera mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan tenaga dalam ke arah
depan. Dari tendangan kaki itu melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur
dengan cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.
Dengan gerakan tua yang masih
gesit, Peramal Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali. Akibatnya
sinar putih keperakan itu melesat terus ke arah Suto yang sedang duduk di batu.
Melihat kilatan cahaya putih
keperakan melesat ke arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan
wajah. Sinar itu tepat mengenai bumbung, namun tidak segera meledakkan bumbung,
juga tidak segera padam, melainkan justru berbalik melesat ke tempat asalnya.
Wusss...! Kecepatannya melebihi kecepatan semula.
Datuk Marah Gadai tersentak
kaget bukan kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh, menggunakan ilmu
peringan tubuh yang cukup tinggi, hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada
di atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih keperakan itu. Sinar
tersebut menghantam sebuah pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika,
tinggal serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah
itu!" geram hati Datuk Marah Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa
dikembalikan sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang bisa
menangkis jurus 'Tapak Dewa' dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke
asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun
pun sempat terkejut melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' yang
terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus 'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus
andalan Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa ditangkis
kecuali dihindari atau diadu dengan kekuatan yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa
dulu ketika sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah Gadai, ia dibuat
kelabakan menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang
bisa menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah mempunyai jurus tandingan
sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari kepala
tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak
akan berani menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat terheran-heran
melihat Suto dengan cengengesan menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat
tuaknya. Peramal Pikun pun membatin.
"Bumbung itu pasti bukan
sembarang bumbung. Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si Gila
Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini selalu bisa menangkis jurus-jurus
maut atau ilmu-ilmu sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto
Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan
orang berilmu tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak mungkin ia bisa
menangkis dan sekaligus mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani
bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal namanya di rimba persilatan.
Tapi, o, ya... aku sedang ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan mengagumi
kehebatan bocah sinting itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun
terlambat. Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat itu sudah kosong.
Pohon yang semula dipakai bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai menelan
tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la
bertanya kepada Suto Sinting.
"Ke mana orang itu
tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab,
"Pergi. Lari ke sana!" ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.
"Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan
Kadaspati!" sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto
hanya tertawa sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak
menahannya?!" kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila
Tuak itu menjawab.
"Aku tidak ada urusan
dengan dia! Jadi kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil
merebut Guci Pusaka Tuak Setan dari tangan adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut
ramalanmu, Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, untuk
apa aku menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke
tanganmu. Tapi kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan
orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu
palsu!"
"Palsu atau tidak, itu
tergantung anggapan orang. Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu
dari tangan si Datuk Marah Gadai!"
"Dia, huk... dia tidak
membawa Pusaka Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau ingin agar
aku membunuh adikmu untuk merebut Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus
berurusan denganku Suto Sinting!"
"Aku malas berurusan
denganmu! Bukan karena aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang lemah,
huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun
dikatakan sebagai orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak melepaskan
kemarahannya. la hanya berkata dalam hati.
"Kalau bukan karena aku
sedang membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu! Sayang aku
harus membujuknya untuk ikut mengejar Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa
kujadikan tameng dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku. Yang jelas,
Datuk Marah Gadai jangan sampai menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati
terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi melawan Datuk Marah Gadai."
Suto berdiri dari duduknya
dengan sempoyongan. la berkata dengan suara mabuknya.
"Aku mau mandi, biar
segar badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu
menghancurkan Pusaka Tuak Setan?"
"Dari mana kau
tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu
dengan si Gila Tuak dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu
tinggi juga, huk...! Aku mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar
sinting!" kata Peramal Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera
menyusul Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan Cadaspati!"
***9***
PERAMAL Pikun pergi dengan
berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi dengan
kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan
lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi
bisa bertemu dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum
pernah bertemu ini akan terpupus habis."
Suto mulai meletakkan bumbung
tuaknya. Baru sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara
orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru- buru merapatkan bajunya kembali
dengan wajah celingak-celinguk penuh curiga.
Dari kerumunan semak di
seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam. Suto
menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut,
Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai
Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar
dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati Suto dan berkata dengan napas
masih terengah-engah.
"Itu perempuan desak aku!
Desak aku itu perempuan!"
"Paman ini mau ngomong
apa kok desak-desakan sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?"
Suto tertawa dalam suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa
wajahmu memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak
aku ketemu dia sama Guru."
"Maksud Paman Giri, ada
perempuan mendesak Paman untuk bertemu dengan Guru?"
"Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto
membenarkan susunan katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman menyusulku
kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan.
Ganas jago dan. Dia masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya
pasti."
"Guru ditantang perempuan
itu?"
"Begitu mestinya
dugaanku. Dibunuh bisa guru olehnya."
"Guru bisa dibunuh
olehnya? Ah, tak mungkin itu, Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang
perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu
Guru selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!"
sentak Suto membetulkan kalimat.
"Iya. Dulu tundalah
mandimu. Dari keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku
mengartikan bahasamu, Paman! Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk..., tak bisa
kutahan. Aku mau bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak
segera mandi."
"Tega kepada kau Guru,
hancurlah dia oleh perempuan itu?!"
"Tega tak aku Guru kepada
dan... aduh, kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"
"Pergi cepatlah ke
sana!"
"Aku mau mandi!
Tahu...?!" sentak Suto merasa jengkel akhirnya. Sentakan itu membuat
Pujangga Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya mempunyai kekuatan
tersendiri yang bisa mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut. Jika
bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi penurut. Itulah kekuatan ilmu
'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya
dengan gerakan susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat diminta untuk membantu
menarikkan bajunya. Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat menuruti
perintah itu tanpa banyak bicara.
Tetapi pada saat itu Suto
sempat mendengar detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto yang
seperti orang mengantuk itu segera melirik ke arah rimbunan pohon. Baju yang
telah dilepaskan segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat memandang dengan
heran, tak mengerti maksud Suto.
la segera menghentakkan kaki
kanannya ke tanah. Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan. Hentakan itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah
seberang memercik ke arah rimbunan semak yang dicurigai Suto. Crattt...!
"Auh...!" terdengar
suara pekik dari rimbunan semak.
Pujangga Kramat terperanjat
dan berkata, "Orang ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di
balik rimbunan semak. Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara padaku
apa maunya!"
"Itu suara perempuan.
Perempuan itu jangan- jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan mukaku."
"Kau takut, Paman?"
Suto tersenyum geli.
"Takut tidak. Jera
iya."
Suto tertawa terkekeh, la
berseru, "Perempuan di balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi
mandi. Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah
diketahui, perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun akhirnya
menampakkan wajah. la keluar dari sana dengan satu lompatan tanpa menimbulkan
suara gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh dedaunan.
"Aku tidak bermaksud
mengintipmu, Suto!" kata perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak
sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau,
Selendang Kubur!" Suto memandang dengan mata merahnya yang mirip orang
mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot pandangan mata Selendang
Kubur. Pada saat itu, Pujangga Kramat berbisik,
"Ini perempuan bersama
tadi dengan perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke gua, temui
Ki Gila Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku
paham dengan maksudmu," sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan
Selendang Kubur berjalan mendekat.
Suto segera berkata,
"Selendang Kubur, temanmu mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya
guruku. Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan akan menyeretnya keluar
dari gua dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka tidak
bermaksud jahat menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa persoalan tadi
sudah kita selesaikan. la bahkan tidak ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi,
ia nekat masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan meminta maaf atas sikap
mencurigakan dari Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto!
Dewi Murka tidak akan perbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu!
Huk...!" ia masih sesekali celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok
wajah Paman Giri ini?"
"Barangkali Pujangga
Kramat menghalangi niat baiknya hingga ia melakukan kekerasan."
"O, begitu?"
"Kami orang-orang
Perguruan Merpati Wingit tidak suka mencari persoalan dengan orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu
datang kemari?"
"Menjagamu," jawab
Selendang Kubur sambil memalingkan pandangan mata ke arah lain.
"Jawabanmu sungguh lucu
bagiku," Suto tertawa. "Jawaban itu hanya alasan belaka yang
dibuat-buat. Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit,
tanda tak suka dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan berkesan
ketus.
"Kalau aku mau, tak perlu
aku mengintipmu mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah bisa
melihatmu telanjang."
"Hah...?l" Pujangga
Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan tangannya ke
bawah.
Suto tidak demikian. Suto
hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Kubur. la
berkata,
"Jangan menyombongkan
ilmu di depanku, Selendang Kubur."
"Aku tidak menyombongkan
ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan
baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'.
Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang menoleh ilmu
'Candra Tembus Pandang'."
Senyum Suto tipis dan masih
berkesan tidak percaya.
"Kau mempunyai tahi lalat
di bawah pinggulmu!" kata Selendang Kubur setelah menatap Suto beberapa
saat.
Suto terperanjat kaget, karena
kata-kata itu memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Kubur
berkata,
"Kau tidak mempunyai
pusar, dan ada noda hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan,dekat
dengan tulang pinggul."
Menggeragap bingung Suto
menghadapi perempuan berhidung mancung dan bermata bundar itu. Salah tingkah ia
menyembunyikan dirinya, karena apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung
kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata
tembus pandang. Akibatnya, Suto segera bersembunyi di belakang Pujangga Kramat.
Tetapi Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya, pindah ke belakang Suto
sambil merapatkan kaki dan kedua tangan mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia
segera berpindah tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat. Karena malu
dipandang, Pujangga Kramat lari dan bersembunyi di balik pohon besar. Hanya
kepalanya yang nongol dan berseru,
"Bersembunyi cepat pohon
di balik!"
Buru-buru Suto mengambil
bumbungnya dan lari ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan berbalik
wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia berseru.
"Pohon itu pun masih bisa
kutembus dengan pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu
bikin aku susah berdiri saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa
di atas gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani menatapku.
Rupanya dia punya kekuatan tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus
keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu
segera mengambil keputusan untuk menceburkan diri ke telaga. Setidaknya dengan
begitu ia bisa menyembunyikan tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk mandi.
Maka, serta-merta Suto
melompat dari balik pohon setelah melemparkan bumbungnya ke tangan Pujangga
Kramat. Lompatannya bersalto satu kali dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat
kaget dan segera menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan berseru
kepada Pujangga Kramat.
"Apakah dia bunuh
diri?"
"Tidak dia bunuh diri,
mandi tapi," jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang Kubur
merenungkan arti kata sebenarnya.
Setelah memahami makna
kata-kata itu, Selendang Kubur tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya
dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, melompat bagaikan
terbang dan hinggap di atas sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar.
la bagai seorang penjaga yang
menunggu majikannya sedang mandi. Matanya memandang sekeliling, mengawasi
kalau-kalau ada bahaya datang pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau
bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut
cemas dahi Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke permukaan air telaga.
Hati Selendang Kubur menjadi cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di
telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga Kramat yang masih bersembunyi
di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...!
Apakah dia bisa berenang?"
"Entahlah!" jawab
Pujangga Kramat. "Tak pernah melihatnya aku berenang, tak pernah
melihatnya aku tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti
bahwa Suto mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama. Suto yang punya niat
untuk sekadar mandi itu menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke dasar
telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan. Suto ingin mengetahui
apakah Cadaspati benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau memang tidak
menemukan apa-apa di telaga itu.
Air di pertengahan berwarna
keruh, tapi di bagian mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata Sumo
sempat melihat benda yang separonya terkubur tanah dasar telaga. Benda itu
sangat mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar telaga. Suto bergegas
berenang mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda
berbentuk guci?!" pikir Suto. Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun
separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut adalah guci berlumut, dibungkus
dengan anyaman pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut, bahkan ada
beberapa rumah keong kecil-kecil melekat di anyaman pandan.
"Inilah guci yang kulihat
pada saat aku bersemadi di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka
Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan sukar dihancurkan dengan
tangan kosong. Sebaiknya kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul ke
permukaan!"
Suto bergegas berenang naik.
Dalam hatinya ia sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh Cadaspati
dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak
Setan!"
Selendang Kubur merasa lega
begitu melihat kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la tidak segera
mendekatinya, karena ia tahu hal itu akan membuat Suto malu dan tak jadi naik
ke darat. Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon. Tapi pandangan
matanya selalu tertuju pada tubuh Suto yang berpakaian basah kuyup.
Pandangan mata yang semula
menemukan keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan senyum itu, tiba-tiba
berubah menjadi sedikit tegang. Rupanya pandangan mata perempuan berselendang
putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah benda berukuran kecil di tangan
Suto. Benda itu berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar genggaman tangan
Suto.
"Pusaka Tuak Setan!"
gumam Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang
dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat menimbulkan bencana besar jika
disalahgunakan? Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak itu, yang
dapat mendatangkan badai topan lewat hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut.
Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak terkalahkan menghadapi lawan
manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di tanah
Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih tetap diam, hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Paman Giri, Pusaka Tuak
Setan kutemukan!" kata Suto kepada Pujangga Kramat. Orang berperut agak
buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum. Hatinya
berdebar-debar.
Sementara Guci Tuak Setan itu
diperhatikan oleh Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan pada dirinya.
la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di kepalaku jadi hilang? Hei...
jalanku pun tadi tidak limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku
menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang akibat aku memegang Guci Tuak
Setan ini?"
"Suto," kata
Pujangga Kramat. "Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"
"Maksudmu, ada satu
pusaka lagi yang terkubur bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin
Manik Intan."
"Ya. Ambillah. Ki Gila
Tuak menyuruh menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat,
kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan.
"Ya, satu lagi pusaka
milik Bibi Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku
tadi melihatnya di sana!"
"Ambillah, orang lain
sebelum mengambilnya!"
"Baik, Paman Giri.
Bawalah dulu guci kuno ini, aku akan menyelam kembali ke dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti
hilang napasmu."
Suto segera melompat kembali
ke dalam telaga. Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa heran dan perlu
berkerut dahi.
"Mengapa ia kembali masuk
ke dalam telaga?" pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan
mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar kubur? Mungkin sebuah atau
dua buah pusaka lagi yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya kutunggu saja
hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di
dasar telaga kembali, tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada sesuatu
yang membuat hatinya begitu. la berusaha melupakan keresahan tersebut dan tetap
mencari Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak
ditemukan.
Suto mengorek tanah di tempat
Pusaka Tuak Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada. Suto bertambah
gelisah karena tidak mudah menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke
permukaan air menjadi semakin besar. Sampai- sampai timbul pertanyaan di
batinnya.
"Ada apa di atas? Mengapa
hasratku ingin muncul ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin itu
sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di sini? Ke mana larinya
cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan
kegundahan hati. Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu. Akhirnya ia
tak tahan dengan keresahan hatinya, maka ia pun segera muncul di permukaan
telaga.
"Paman Giri, aku
tidak...," kata-kata Suto terhenti seketika. Pandangan matanya menemukan
sesuatu yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la segera jejakkan
kakinya yang ada di dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air,
lalu ia bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan tegar di samping
sesosok tubuh yang terbujur kaku membiru.
"Paman Giri...!"
Suto menyentakkan kata untuk membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu
masih belum bisa membuka matanya. Sekujur tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan.
Di bagian lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu. Diamatinya beberapa
saat, dan ternyata jarum itu serupa dengan jarum beracun yang mengenai punggung
Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak
Setan tidak ada di tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau
merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman Giri memakai jarum beracun.
Hmmmm... Selendang Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun hilang?
Benarkah Selendang Kubur yang merebut Pusaka Tuak Setan itu?"
Suto bergegas mengambil
bumbung tempat tuak yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi dalam
hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang
Kubur telah mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah
satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa! Keparat! Ke mana
perginya Selendang Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak mungkin!
Jadi, ke mana aku harus mencari Selendang Kubur?"
SELESAI