LANGIT bergemuruh bagai mau
rubuh. Kilatan cahaya petir menyambar mega demi mega, menembus awan hitam dan
mengguncangnya sesaat. Gemuruh guntur itu disertai deru angin membadai yang
datang dari selatan. Hembusan angin begitu kencangnya hingga membuat pucuk-pucuk
pohon meliuk tajam seakan ingin menyentuh bumi.
Seorang pemuda berpakaian
celana putih dan baju coklat tanpa lengan mempercepat langkahnya. Pemuda
berwajah tampan yang punya rambut lurus sebatas pundak itu mencari tempat untuk
berlindung, karena ia tahu alam sebentar lagi akan diguyur air hujan dengan
lebat. Bum bung bambu masih digantungkan di pundaknya. Bumbung itu adalah
tempat menyimpan tuak yang puny a khasiat luar biasa baginya. Pemuda penyandang
bumbung tuak itulah yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk, Suto Sinting,
murid dari tokoh saktiternama; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Mendekati sebuah gua, Suto
Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Dahinya berkerut pertanda punya perasaan
heran pada saat itu. Ia menelengkan kepala untuk menangkap sebuah suara dengan
jelas. Lalu suara itu berhasil didengarnya dengan samar-samar.
"Tolooong...!"
"Ada orang yang berseru
minta tolong," pikirnya.
"Tolong...! To
long...!"
"Hmm... arahnya di
sebelah barat?" gumam Suto seraya cepat bergegas ke barat. Tapi sampai di
barat ia berhenti lagi dan sedikit bingung, karena suara itu t erdengar lagi
dari arah timur.
"Tolooong...!"
"Suara perempuan itu dari
arah timur? Tapi tadi kudengar dari arah barat? Mana yang benar?!" Suto
sedikit menggerutu, matanya memandang ke timur dan ke barat bergantian.
Pendengarannya kian dipertajam. Lalu ia menemukan kesimpulan dalam hatinya
"Ooo... yang kudengar
dari barat tadi adalah pantulan gemanya Dinding bukit itu yang membuat suara
memantul sehingga membingungkan diriku! Suara minta tolong itu pasti dari
timur!"
Pendekar Mabuk bergegas ke
arah kerimbunan hutan di sebelah timur. Hembusan angin membadai sedikit reda.
Agaknya hujan tak jadi datang. Langit mendung mulai terbuka, awan hitamnya
berarak-arak pindah ke utara.
Di sebelah timur, di tengah
kerimbunan hutan yang tak begitu lebat, temyata ada sebuah telaga berukuran tak
seberapa besar. Pendekar Mabuk tiba di tepi telaga. Seorang wanita cantik
menjerit kaget.
"Aaauh...!"
Perempuan itu terkejut melihat
kemunculan Suto Sinting. Tubuhnya yang terendam air sebatas leher seakan ingin
semakin dibenamkan. Perempuan itu rupanya sedang mandi di telaga tersebut
seorang diri. Rambutnya yang lurus selewat pun dak itu tampak basah kuyup.
Matanya yang membelalak indah itu menatap Suto dengan marah.
"Jangan mendekat! Pergi!
Pergi! Jangan mendekat kemari!"
Suto jadi serba salah, ia
berkata, "Aku mendengar suara jeritan orang meminta tolong, karenanya aku
datang kemari, Nona!"
Perempuan muda yang memang
masih pantas dipanggil Nona itu berseru dari kedalaman air telaga, "Itu
jeritanku. Tapi... tapi aku menjerit bukan untukmu!"
"Tapi di sini tak ada
orang lain kecuali kita berdua, Nona!"
"Bohong!" sentaknya,
ia bersungut-sungut. Bahkan sekarangmenjerit lagi, "Tolooong...!"
"Husy!" sentak Suto
sedikit menahan geli di hati.
"Tak perlu menjerit.
Akuakan menolongmu!"
Gadis itu menatap sedikit
ragu. Tubuhnya masih direndam dalam air telaga sampai batas leher, hingga
yangterlihat hanya kepalanya saja.
"Kau... kau benar-benar
mau menolongku? Bukan mau memperkosaku?"
"Aku bukan orang sejahat
itu, Nona."
"Kalau kau bukan orang
jahat, tolong carikan pakaianku."
"Apa...?" Suto agak
kaget, matanya memandang gadis yang merendam diri sebatas leher itu.
"Carikan pakaianku!"
sentak gadis itu dengan jengkel. "Pakaianku hilang. Tadi kutaruh di
bebatuan situ, ketika aku menyelam dan muncul lagi, ternyata pakaianku sudah
tidak ada. Aku bingung, tak berani keluar dari air."
Sambil menahan geli Suto
Sinting tersenyum dan palingkan wajah ke arah lain. Pikirnya, "Pantas dia
merendam diri sampai batas leher, rupanya ia tidak mengenakan pakaian apa-apa?
Hi hi hi hi...! "
"Hei, kenapa kau
senyum-senyum? Cari pakaianku. Lekas!" bentak gadis itu.
Suto memandang dalam keceriaan
yang berseri, memperlihatkan daya pikat dari ketampanan dan kegagahannya. Gadis
bertahi lalat di tepi bibir atas sebelah kiri itu semakin cemberut, bicaranya
keras, membentak lantang,
"Jangan bengong saja di
situ! Cari pakaianku, Tolol!"
"Kalau kau
membentak-bentakku, sebaiknya aku pergi saja dan silakan cari pakaianmu
sendiri!" Suto berpura-pura ingin pergi.
"Tunggu!" teriak
gadis itu. "Baiklah, aku tidak membentakmu lagi," suaranya mereda.
"Tolonglah, carikan pakaianku, nantikuberi upah."
"Apa upahnya?"
"Akan kuajarkan padamu sebuah
jurus yang jarang dimiliki orang."
Senyum Pendekar Mabuk melebar.
"Jurus apa itu?"
"Jurus pukulan 'Malaikat
Rela'," jawab gadis itu dengan suaranya yang selalu keras dan bening.
Suto sempat tertawa dalam
gumam. "Lucu sekali nama jurus itu."
"Jangan menertawakan.
Kalau kau tahu kehebatan jurus itu kau akanterbengong-bengong!"
"Apa kehebatannya?"
"Pukulan 'Malaikat Rela'
dapat merobohkan delapan pohon dalam satu kali hentakan. Jika dilepaskan kepada
lawanmu, dia akan tumbang setelah bernapas tiga kali. Percayalah, jurus itu tak
ada yang memiliki kecuali diriku. Maka carilah pakaianku dan kau akan kuajarkan
jurus tersebut! Cepat, cari! Aku kedinginan merendam di sini terlalu
lama."
"Baiklah. Tapi sebutkan
dulu namamu, kalau nanti kau ingkar janji aku bisa mencarimu ke mana saja kau
lari!"
"Ah...!" gadis
itumendesah dengan bersungut-sungut, tapi akhirnya menjawab juga apa yang
ditanyakan Suto tadi.
"Namaku... Putri Kunang,
murid si Dewa Sengat."
"Putri Kunang?"
gumam Suto sambil berkerut dahi. "Cantik juga namamu itu."
"Sudahlah, jangan
memujiku dulu. Yang kubutuhkan saat ini bukan pujian tapi pakaian. Kau dengar?
Pakaian!"
Sambil tertawa kecil Suto
Sinting mencari pakaian gadis cerewet itu. Ia berkeliling sekitar telaga,
menerobos semak belukar, menyingkap kerimbunan ilalang yang tumbuh tak jauh
daritempat sekitar telaga. Tapi pakaian itu tidak ditemukan juga oleh Suto.
Dari semak-semak bawah pohon Suto berseru,
"Apa warna
pakaianmu?"
"Mungkin hijau!"
jawab Putri Kunang.
" Kenapa pakai kata
mungkin?"
"Sebab aku tak bisa
membedakan warna hijau dan warna merah"
Suto tertawa. "Sayang
sekali, gadis cantik-cantik sepertimutapi buta warna."
"Jangan mengecamku,
carilah pakaian itu!" sentak Putri Kunang.
Sambil menggerutu Suto masih
mencari pakaian gadis itu. Tapi sampai beberapa saat lamanya, ia belum temukan
juga pakaian si gadis. Tak ada selembar kain pun di sekitar telaga tersebut.
"Siapa yang usil kepada
gadis cerewet itu? Pakaian dibawa kabur, pemiliknya ditinggalkan saja di
telaga," kata Suto dalam hati. "Bikin repot diriku saja kalau begini!
Uuuh...! Jangan-jangan dia datang kemari tanpa pakaian?"
Pendekar Mabuk menjadi jengkel
sendiri dalam hatinya. Pakaian itu memang tak ada. Dugaan Suto, seseorang telah
membawanya lari jauh dari telaga. Maka Suto pun naik ke atas pohon dengan
sentakan kecil kaki kirinya. Suuut...! Ia gunakan ilmu peringan tubuhnya hingga
mencapai dahan di atas pohoh. Matanya memandang alam sekitar. Tak ada orang di
sana-sini. Hutan itu sepi tanpa gerakkan apa pun kecuali hembusan angin yang
menggoyang dedaunan.
"Bagaimana?!" seru
Putri Kunang. "Apakah pakaianku sudah kau temukan?"
"Tak ada di
mana-mana!" teriak Suto dari atas pohon.
"Pasti dibawa lari oleh
seseorang! Carilah orangnya, baru kau akantemukan pakaianku!"
"Tak ada orang di sekitar
sini! Di sebelah sana juga t ak ada!"
Suto Sinting melompat turun
dari atas pohon. Jleeg...! Ia mendarat tepat di tepi telaga, di depan mata
Putri Kunang.
"Dasar bodoh! Percuma
punya wajah tampan kalau cari pakaian saja tak becus!" omel Putri Kunang.
Tubuhnya masih terendam di air sebatas leher.
"Ke mana lagi aku harus
mencari jika memang tak ada di sekitar sini? Mungkin seseorang telah mencurinya
dan membawanya lari entah ke mana."
Putri Kunang menggerutu tak
jelas sambil bersungut- sungut. Suto Sinting masih berpikir sambil memandang ke
sana-sini. Ia menenggak tuaknya sebentar, lalu kembali melangkah mengitari
telaga sambil mempertajam penglihatannya ke semak-semak, siapa tahu pakaian itu
dikembalikan oleh pencurinya secara diam-diam. Tapi sampai langkah Suto kembali
ke tempat semula, ia tetap tidak menemukan pakaian si gadis cantik yang cerewet
itu.
Tiba-tiba sekelebat anak panah
melesat dengan cepat ke arah kepala Putri Kunang. Panah itu datang dari
belakang kepala si gadis. Suto Sinting terperanjat dan cepat berkelebat
bagaikan terbang. Wuuuttt...! Taab...! Anak panah itu disambarnya dan kini
berhasil berada di genggaman tangan Suto Sinting. Kaki Suto terpaksa menapak
pada selembar daun yang mengambang di permukaan air di belakang Putri Kunang.
"Ada apa?!" suara
Putri Kunang tampak tegang, ia terkesiap ketika melihat Suto menggenggam anak
panah berbulu merah bagian pangkalnya.
"Panah siapa itu?!"
Putri Kunang setengah menyentak. "Kau ingin membunuhku pakai anak panah
itu, ya?!"
"Seseorang telah
melepaskan anak panah ini ke arahmu! Aku menyambarnya, bukan mau
membunuhmu!" kata Suto dengan jengkel, dan kakinya yang kiri itu segera
menyentak lembut di atas permukaan daun mengambang, lalu tubuhnya melesat ke
darat sambil masih pegangi anak panah itu. Wuuttt...! Jleeg...!
Mata Suto segera memandang ke
arah datangnya anak panah. Kerimbunan dedaunan pohon sukun menjadi pusat
perhatian Pendekar Mabuk, ia yakin ada seseorang di atas pohon sukun yang
berdaun lebar dan rimbun itu. Maka, ia pun segera melemparkan anak panah itu ke
batang pohon.
Wuuttt...!
Duaaarrr...!
Anak panah menancap di batang
pohon, lalu meledak menimbulkan guncangan, hebat. Pohon sukun itu bagaikan
ingin tumbang. Lalu seseorang jatuh dari atas pohon dengan teriakan ketakutan.
"Woaaawww...!"
Bruukkk... !
Tenaga dalam tinggi yang
disalurkan Suto melalui anak panah itu berhasil membuat orang yang bersembunyi
di atas pohon terkapar di tanah tepi telaga. Tetapi pada saat itu yang ada
dalam hati Putri Kunang adalah kecamuk batin yang berbeda dengan kemunculan
orang dari atas pohon itu.
"Si tampan itu ilmunya
lumayan juga? Dia bisa bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Dan bisa
berdiri di atas daun yang mengambang di air. Dia bisa salurkan tenaga dalamnya
pada anak panah itu, sehingga ledakannya mengguncang pohon begitu hebatnya.
Hmm... siapa dia sebenarnya?"
Tetapi hati Suto justru
menanyakan orang yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi pinggangnya.
"Siapa orang ini? Mengapa mau membunuh Putri Kunang? Apakah dia pencuri
pakaian si gadis cerewet itu?"
Sedangkan lelaki yang jatuh
dari atas pohon itu berkata dalam hati,
"Berapa ketinggian
tempatku jatuh ini? Mengapa tulang punggungku jadi seperti patah begini?
Ternyata sangat tak enak jatuh dalam keadaan telentang. Lain kali aku harus
puny a cara jatuh yangnyaman!"
Suto Sinting menghampiri
lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang berpakaian serba hitam tapi
mengenakan ikat kepala merah itu. Busur panahnya patah karena tertindih
badannya. Sisa anak panah di punggung menjadi berantakan, dua batang anak panah
ada yang patah juga. Pendekar Mabuk segera mencengkeram baju orang itu dan
menariknya ke atas, sehingga orang itu menjadi berdiri dengan sangat terpaksa.
"Kembalikan pakaian gadis
itu, atau kutenggelamkan kauke dasartelaga?!" ancam Suto dengantegas.
"Ak... aku... aku tidak
mencuri pakaiannya!" kata orang tersebut.
"Lalu mengapa kau mau
membunuh gadis itu dengan panahmu?"
"Ak... aku...
akuhanyadisuruh!"
" Siapa yang
menyuruhmu?!"
"Seseorang."
Suto memperkuat
cengkeramannya, menarik tubuh orang pendek itu lebih mendekat ke wajahnya.
"Sebutkan namanya! Sebutkan siapa yang menyuruhmu!"
"De... de... Dewa
Sengat!"
"Bohong!" teriak
Putri Kunang dari permukaan air telaga. "Dewa Sengat adalah guruku. Tak
mungkin dia suruh kau membunuhku!"
Tiba-tiba melesatlah kilatan
benda bercahaya putih karena pantulan sinar matahari yang mulai bebas dari
mendung itu.
Ziing...! Jraab...!
"Uuhg...!"
Orang berpakaian serba hitam
itu mendelik. Mulutnya keluarkan darah sedikit, lalu ia rubuh tak bergeming
selamanya. Suto Sinting dan Putri Kunang terperanjat. Rupanya seseorang telah
membunuh orang berpakaian serba hitam itu dengan senjata rahasianya yang amat
beracun. Senjata rahasia itu menghantam punggung kiri dan tembus sampai merobek
jantung. Tentu saja orang itu melakukan hal demikian supaya sebuah rahasia
tetap terjaga dan tidak bocor dari mulut orang berpakaian hitam itu.
Pendekar Mabuk segera melesat
cepat mengejar orang yang menghilang di balik kerimbunan semak sebelah timur.
Rasa penasaran membuat Suto ingin mengetahui siapa orang yang menyuruh si
pemanah untuk membunuh Putri Kunang. Tetapi agaknya orang yang melemparkan
senjata rahasia itu punya tempat khusus untuk bersembunyi dan selamatkan diri,
sehingga Suto tidak berhasil temukan orang tersebut, ia pun bergegas kembali ke
telaga.
Tetapi sesampainya di telaga
Suto Sinting terperanjat melihat gadis cerewet itu sudah tidak ada di sana. Ia
kebingungan mencari dengan pandangan matanya. Telagatelah sepitanpakepalaPutri
Kunang.
"Apakah diatenggelam atau
menyelam?" pikir Suto. Tetapi begitu melihat mayat orang yang melepaskan
panah tadi ternyata sekarang dalam keadaan telanjang tanpa pakaian, maka Suto
makin yakin bahwa Putri Kunang telah keluar dari telaga dan pergi entah ke mana
setelah melepasi pakaian mayat itu.
Dengan senyum geli Suto
membayangkan saat gadis cerewet itu keluar dari permukaan air sendang dalam
keadaan tanpa busana, lalu mendekati mayat itu, melepasi pakaiannya, dan
mengenakan pakaian si mayat dengan tergesa-gesa, lalu pergi meninggalkan
telaga. Mayat sedikit gemuk itu dibiarkantelanjang.
"Kurasa ia belum jauh
dari sini!" kata Suto bagai bicara pada diri sendiri.
Maka Suto Sinting pun segera
bergegas mengejar ke arah selatan, karena ia melihat tanah yang menuju arah
selatan tampak basah. Berarti tetesan air dalam tubuh si gadis adalah jejak
yang harus ditujunya. Dan ternyata dugaan Suto Sinting itu memang benar. Putri
Kunang yang bertubuh langsing itu sedang berlari dengan sebentar-sebentar jatuh
tersungkur dan bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, berlari dengan
tersendat-sendat.
Wuuttt...! Suto Sinting
melintasi kepala Putri Kunang dalam gerakan bersalto tiga kali. Tahu-tahu ia
sudah berdiri menghadang di depan langkah gadis itu. Si gadis hanya menghela napas
menahan kejengkelannya. Tetapi Suto Sinting tertawa kecil melihat pakaian gadis
itu.
"Jangan tertawa!"
hardik gadis itu. "Kurasa memang lebih baik aku mengenakan pakaian mayat
itu daripada harus berendam di dalam telaga sampai esok pagi! Sayang sekali
pakaian ini terlalu sempit untukku, padahal mayat itu lebih gemuk dari
tubuhku."
"Tentu saja agak
sempit," kata Suto. "Kau tergesa- gesa, sehingga kedua kakimu masuk
dalam satu lubang kaki oelana itu!"
Putri Kunang kaget,
memperhatikan celana hitam yang dipakainya, ia semakin kaget lagi dan menggumam
jengkel.
"Astaga! Benar-benar
pikun aku ini!"
Putri Kunang akhirnya menahan
tawa geli melihat kedua kakinya masuk dalam satu lubang kaki celana, sedangkan
lubang kaki yang satunya kosong tanpaterisi kaki kiri si gadis.
"Pantas gerakanku sangat
terbatas dan sebentar- sebentar tersendat jatuh," gumamnya di sela tawa.
Sementara itu Suto meski ikut tertawa tapi matanya lebih tertuju pada wajah si
gadis yang sungguh cantik pada saat tertawa.
"Pergilah ke semak-semak
sana, dan betulkan pakaianmu," ujar Suto seraya membuka tutup bumbung
tuaknya, ia menengak tuak itu beberapa teguk ketika Putri Kunang pergi ke
semak-semak dan membetulkan celananya. Kejap berikutnya gadis itu telah kembali
dengan pakaian lebih rapi dari sebelumnya. Kini kakinya masuk dalam lubang kaki
celana sebagaimana mestinya. Celana itu mengatung, karena tinggi tubuhnya
melebihi tinggitubuh mayat sipemanah.
"Kurasa orang yang
membunuh si pemanah itulah yang mencuri pakaianmu."
"Kalau tidak dia, ya si
pemanah sendiri. Pedangku juga ikut hilang dicurinya! Kurang ajar betul dia!
Aku akan kembali mencari pakaianku yang sebenamya!"
Gadis itu kembali ke telaga.
Suto Sinting diam sebentar, mempertimbangkan diri apakah perlu mengikuti gadis
itu atau meninggalkannya? Dalam keadaan diam berpikir, mendadak muncul
sekelebat benda dari arah samping kirinya
Wuuuttt...!
Seettt...! Tab!
Sebuah pisau bergagang hias
bulu merah ditangkap oleh gerakan cepat tangan Suto. Pisau terbang itu terselip
di sela jari Suto dan dijepitnya kuat-kuat. Mata Pendekar Mabuk segera menatap
semak-semak yang dicurigainya. Maka, dengan gerakan cepat Suto Sinting
melemparkan pisau itu ke arah semak-semak sambil merendahkan badan. Wuuuttt...!
Zlaappp...!
Gusrak...!
"Aauh...!" suara
orang terpekik terdengar jelas dari semak-semak itu. Kejap berikutnya muncullah
seraut wajah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan seringai
kesakitan, ia melangkah dengan sempoyongan. Rupanya betis orang itu terkena
lemparan pisau dari Pendekar Mabuk tadi. Orang berpakaian biru tua itu memaki
dalam gerutuan. Matanya memandang tajam penuh kemarahan, ia berusaha mencabut
pisau terbang yang dikembalikan Suto dengan seringai sakit yang membuat
wajahnya bagaikan terkumpul di tengah hidung.
Sleeb...! Pisau berhasil
dicabut. Ketika ingin dilemparkan kembali ke arah Suto Sinting, tiba-tiba
terdengar suara seseorang berseru dari balik pepohonan yangtumbuh dengan rapat.
"Tahan...!"
Orang berpakaian biru itu tak
jadi lepaskan lemparan pisaunya. Kejap berikutnya muncul seraut wajah tua yang
usianya sekitar lima puluh tahun dengan rambut pendeknya mulai ditumbuhi uban.
Orang bersenjata pisau lebar di pinggang kanan kirinya itu mengenakan pakaian
hijau tua dengan tubuhnya yang tergolong gemuk, kumisnyatebal dan matanya
lebar, angker.
Suto Sinting berdiri tegak
dengan bambu tuaknya ada di tangan kanan. Sikapnya menampakkan diri sebagai
orang yang siap menghadapi lawn dengan caraapapun. Namun wajahnya masih tampak
ramah, tenang, dan penuh waspada.
"Kau pasti yang bernama
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu!" geram orang berbaju hijau tua itu.
"Benar. Memang akulah
yang bergelar Pendekar Mabuk. Lalu, kalian sendiri siapa? Dan mengapa
memusuhiku?"
"Rupanyakaubelum mengenal
kami, Bocah Sinting! Kami adalah orang-orang Lereng Iblis yang disegani
paratokoh di rimba persilatan ini!"
"Aku memang pernah
mendengar nama Lereng Iblis, tapi tidak pernah merasa segan," kata Suto
membuat si baju biru yang terluka kakinya itu menjadi marah, ia segera
melemparkan pisau ke dada Suto. Wuuttt...!
Suto Sinting menangkis dengan
gerakkan tangan kanan ke dada, dan pisau itu membentur bumbung bambu tuaknya.
Traang...! Pisau itu membalik arah dengan gerakan lebih cepat lagi. Untung si
baju biru dapat bergerak lebih cepat juga, sehingga pisau yang memantul balik
itu tidak mengenai tubuhnya melainkan menancap di pohon belakangnya. Jruub...!
Kedua orang Lereng Iblis
memandang heran melihat pisau itu menancap di batang pohon dengan kuat, seluruh
mata pisau terbenam di kayu jati itu hingga tinggal bagian gagangnya saja yang
tampak dari luar batang pohon.
"Pisau itu seperti
menancap di batang pohon pisang saja?" pikir si baju hijau. "Pasti
bambu tuaknya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu menerbangkan pisau
dengan kekuatan tinggi. Hmmm... kalau begitu aku harus hati-hati dengan bambu
tuaknya itu."
"Lalu apa keperluan
kalian sehingga menyerangku dari belakang?" tanya Suto.
"Jangan berlagak bodoh!
Semua orang tahu bahwa kau telah berhasil membunuh Bandar Hantu Malam. Dengan
begitu kau pasti telah memiliki pusakanya yang bernama Cambuk Getar Bumi itu!
Kami dari Lereng Iblis merasa terhina, sebab cambuk itu sebenarnya milik ketua
kami yang dicuri oleh Bandar Hantu Malam! Jadi, kalau kau masih ingin menikmati
sisa hidup yang masih panjang itu, sebaiknya serahkan saja kepada kami pusaka
Cambuk Getar Bumi itu."
Pendekar Mabuk justru
sunggingkan senyumtipis, ia berkata dengan tenang.
"Kalian salah dengar.
Yang berhasil kutumbangkan bukan Bandar Hantu Malam yang asli. Yang
kutumbangkan adalah Dampu Sabang, adik seperguruan Bandar Hantu Malam yang
asli. Dampu Sabang sengaja mengaku sebagai Bandar Hantu Malam dan membuat
keonaran di mana-mana, supaya nama Bandar Hantu Malam yang sudah bersih
itumenjadi teroemar kembali. Jadi, sebenarnya kalian salah duga. Jika ada
seseorang yang melihat atau menemukan mayat Bandar Hantu Malam, sebenarnya
mayat itu adalah mayat Dampu Sabang. Sedangkan Bandar Hantu Malam yang bernama
asli Ki Randu Papak itu masih hidup dan bermukim di pondoknya, di Gunung Keong
Langit. Kalau kalian tak percaya, silakan memeriksanyake puncak gunung
itu!"
Si baju biru mencibir sinis,
tak percaya dengan penjelasan Pendekar Mabuk. Sedangkan Pendekar Mabuk
membayangkan peristiwa pertarungan Bandar Hantu Malam dengan Dampu Sabang, yang
pada akhirnya ia turun tangan serta berhasil menumbangkan Dampu Sabang. Tokoh
sesat itu menjadi debu, dengan begitu semestinya tak ada orang yang bisa
temukan mayat Dampu Sabang sehingga menganggap mayat itu adalah Bandar Hantu
Malam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu
Malam").
Tetapi si baju hijau itu
agaknya masih ngotot dan berkata, "Kau tak bisa membohongiku, Bocah Tolol!
Kau tak bisa menipu kami, karena kami pernah berhadapan dengan Bandar Hantu
Malam dan mengenal betul wajah orang itu. Sekarang kami tahu bahwa orang itu
telah mati, sebab tiga orang kami menemukan mayatnya dalam keadaan
lukamemarparah sekali."
Penjelasan itu lama-lama
membuat Suto Sinting kerutkan dahi. Ia curiga dengan penjelasan itu.
"Jangan- jangan Bandar Hantu Malam yang asli memang sudah mati?
Merekatampak yakin sekali akan hal itu."
"Tak perlu banyak
berpikir!" kata si baju biru dengan suara keras. "Serahkan saja
pusaka Cambuk Getar Bumi itu kepada kami, dan kau akan selamat dari murka
orang-orang Lereng Iblis!"
"Aku tidak tahu menahu
tentang cambuk itu!" kata Suto agak bingung.
"Paksa dia! Jangan
buang-buang waktu!" geram si baju biru yang terluka kakinya. Meski
wajahnya mulai pucat karena racun pada ujung pisaunya sendiri itu, tapi dia
masih kelihatan sangar dan garang.
"Kuhitung sampai tiga
kali kalau kau tak serahkan cambuk itu, kau akan kukirim ke neraka
secepatnya!" gertak si baju hijau.
"Berhitunglah sampai
seribu kali, aku tetap tak akan serahkan cambuk itu, karena aku memang tidak
tahu menahu tentang cambuk tersebut!" kata Suto.
"Bangsat! Heaah...!"
si baju biru menyerang dengan jurus tangan kosong yang melepaskan selarik sinar
merah lurus ke dada Suto Sinting.
Pendekar Mabuk tak menyangka
orang itu yang akan menyerangnya, ia segera melompat ke atas, suutt...!
Menghindari sinar merah itu.
Tetapi ujung bambu tuaknya terkena sinar merah yang segera membalik arah,
membias ke samping dan sinar itu bergerak lebih cepat serta lebih besar,
menghantam dada si baju hijau dengan telaknya.
Blaarr... !
Asap hitam mengepul tebal.
Membungkus orang berkumis tebal yang tidak menduga akan terkena serangan balik
dari sinar merah milik temannya. Di dalam asap tebal itu terdengar suara mirip
pohon rubuh. Bruugk...! Ketika asap menipis tampak tubuh si baju hijau terkapar
di rerumputan. Seluruh pakaiannya menjadi abu karena hangus, sekujur tubuhnya
hitam, matang. Rambutnya habis terbakar oleh ledakan sinar merah temannya tadi.
" Go bang?!
Gobaaang...?!" si baju biru mengguncang- guncang tubuh mayat yang terbakar
hangus oleh jurusnya sendiri tadi. Ia tampak menyesal dan amat sedih melihat
temannya mati terkena sinar merahnya. Kesedihan itu membuatnya kian murka
kepada Pendekar Mabuk.
"Jahanam kau!"
geramnya. "Kau telah membunuh Gobang, sahabatku yang paling setia ini!
Kubalas kematiannya dengan merenggut nyawamu, Bocah Sinting!"
"Hei, tunggu...! Bukan
aku yang membunuhnya, melainkankau sendiri! Diaterkenasinar merahmu tadi!"
"Tapi kau yang
membalikkannya ke arah Gobang! Mestinyakautak boleh memantulkan sinar itu!
Mestinya kau biarkan sinar itumengenaitubuhmu, Goblok!" teriak si baju
biru dengan gusarnya. Lalu serta merta ia lepaskan pukulan dari dua tangannya
yang diayunkan ke depan secara bersamaan.
"Heaaat...!"
Slaapp...! Sinar merah dua
larik keluar dari telapak tangan orang berbaju biru itu. Suto Sinting kembali
tidak lakukan serangan balasan, namun hanya melenting di udara dan bersalto
mundur dua kali untuk hindari sinar merah itu. Dan kedua sinar itu akhirnya
kenai dua pohon yang segera timbulkan ledakan ganda cukup menggelegar. Kedua
pohon itu pun menjadi hangus seketika tanpa daun lagi.
Si baju biru rupanya semakin
penasaran. Maka Suto Sinting pun dihujani dengan sinar merah bertubi-tubi,
sehingga Pendekar Mabuk melompat ke sana-sini tanpa memberikan balasan, sebab
ia tahu orang tersebut sebenarnya salah duga tentang siapa pembunuh Bandar
Hantu Malam.
Slaap, slaap, slaap, slaap...!
Sinar-sinar merah melesat ke
sana-sini menyergap Pendekar Mabuk. Tetapi sejak tadi yang menjadi sasaran
adalah pohon-pohon tak bersalah. Bunyi ledakan yang menggelegar berkali-kali
itu membisingkan gendang telinga, sehingga Suto lebih menitik beratkan untuk
menutup dua telinganya dengan kekuatan hawa murni dari dalam tubuhnya sendiri.
Kebrutalan si baju biru
akhirnya membuat sinar merahnya mengenai bumbung tuak Suto, dan sinar itu
membalik dengan lebih besar dan lebih cepat lagi, akhirnya menghantam
pemiliknya sendiri.
Blaarr... !
Tak disangkal lagi, si baju
biru pun mengalami nasib seperti orang yang dipanggilnya dengan nama Gobang
tadi. Iaterkapar dalam keadaan sekujur tubuhnya hangus terbakar. Maka nyawa pun
enggan hinggap di raganya lagi. Pendekar Mabuk hanya memandangi dengan
geleng-geleng kepala.
"Keras kepala kau!
Akhirnya senjata makan tuan!" gerutu Suto yang merasatak suka melihat
lawannyamati secara mengenaskan begitu.
Setelah ledakan-ledakan itu
lenyap, suasana menjadi hening dan lengang. Suto yang masih tertegun tak jauh
dari kedua mayat lawannya itu menjadi berpaling cepat ke belakang. Oh, ternyata
gadis cerewet itu muncul lagi. Ia telah kenakan pakaiannya sendiri. Rupanya ia
telah temukan pakaian itu lengkap dengan pedangnya yang kini ada di pinggang.
Sarung pedang yang terbuat dari perunggu berhias ukiran lebah dari atas sampai
bawah tampak kekar dan angker. Warnanya hitam kehijau- hijauan. Gagang
pedangnya berhias lebah bersayap. Entah apa artinya, Suto tak mengerti.
Yang jelas, Suto melihat gadis
itu muncul dengan tenang, merapi-rapikan pakaiannya yang berwarna kuning kunyit
itu, seakan ia tidak mendengar suara ledakan beberapa kali tadi. Ia bahkan
tersenyum ceria kepada Suto dan berkata sambil mengencangkan ikat pinggangnya
darikain merah tua."Aku berhasil menemukan pakaianku di atas pohon sukun.
Berarti si pemanah tadi yang mencurinya!" ia tersenyum kegirangan.
"Kau tampak cantik kalau
kenakan pakaianmu sendiri," kata Suto sambil pamerkan senyumnya. Jelas
senyum itu adalah senyum yang menawan hati setiap wanita, sehingga si gadis
terpana menatapnya tak berkedip.
Suto malah salah tingkah,
akhirnya ia menunjuk kedua mayat yang hangus itu.
"Orang-orang Lereng Iblis
menyerangku, menyangka aku membunuh Bandar Hantu Malam dan menyembunyikan
cambuk...."
"Cambuk Getar Bumi,"
sahut Putri Kunang dengan kalem,takmerasaterkejut sedikit pun.
"Kau tahutentang pusaka
itu rupanya?"
"Karena aku sedang
memburunya!"
Suto terperanjat, menatap
nanar. Putri Kunang berkata acuh tak acuh,
"Dan aku pun yakin bahwa
cambuk itu ada di tanganmu, kau sembunyikan di suatu tempat. Jadi, agaknya aku
harus bertarung melawanmu untuk dapatkan cambuk itu. Hiaaatt...!" Putri
Kunang sentakkan kaki, melompat menerjang Suto.
***
LERENG perbukitan yang terjal
menjadi ajang pertarungan. Dua tokoh sakti berusia enam puluh ke atas saling
beradu kekuatan ilmu mereka. Entah sudah berapa lama pertarungan itu
berlangsung, yang jelas sudah banyak pohon yang tumbang dan bongkahan batu pun
berhamburan karena menjadi korban salah sasaran jurus- jurus mereka.
Dua tokoh sakti itu sama-sama
kenakan jubah berlengan panjang, yang satu berwarna merah, yang satu berwarna
abu-abu. Tokoh tua yang mengenakan jubah abu-abu dalam keadaan menderita luka
dalam. Sebuah pukulan telapak tangan telah menghantam dadanya dan tokoh
berjubah abu-abu itu memuntahkan darah dari mulutnya Tapi ia masih sanggup
bertahan, terbukti ia masih lakukan serangan yang tak kalah hebat dari serangan
lawannya.
Si jubah merah dibuat terdesak
ketika si jubah abu- abu lepaskan pukulan bersinar ke arah pohon. Sinar kuning
itu melesat menghantam pohon sampingnya. Tapi gerakan sinar memantul ke pohon
belakang si jubah merah, dan sinar itu memantul lagi menghantam punggung si
jubah merah. Dess...! Wuuus...! Asap mengepul ketika si jubah merah terhenyak
dengan mata tegang akibat pukulan sinar kuning itu. Asap tersebut mengepul dari
tubuh si jubah merah bersamaan dengan itukeluarlah dari mulutnya yang terkatup
rapat.
Jubah merah segera rapatkan
telapak tangan di dada. Tubuhnya gemetar sesaat. Si jubah abu-abu bermaksud
menyerangnya lagi, tapi kedua tangan lawan yang merapat di dada itu menyentak
ke depan, lurus dan kaku, lalu dari ujung telapak tangan itu melesat selarik
sinar hijaubening. Slaap...!
Jubah abu-abu merasa terancam,
maka ia sentakkan tangan kanannya ke depan dan terlepaslah sinar merah lebar
yang menghantam sinar hijau bening itu.
Blaarrr...!
Dua tokoh tua itu sama-sama
terlempar ke belakang dengan dahsyatnya akibat gelombang ledakan tadi. Keduanya
jatuh terpuruk di tempat yang berlawanan dalam jarak sekitar lima belas
langkah. Mereka buru- buru ambil sikap bersila, pejamkan mata beberapa saat,
lakukan semadi penyembuhan diri. Kejap berikutnya keduanya sama-sama bangkit
dalam keadaan segar bugar, seakan tak pernah terlukaparah bagian dalamnya.
"Kau tak akan bisa unguli
ilmuku, Muka Besi!" geram si jubah merah. Rupanya tokoh tua berjenggot agak
panjang warna putih itu bernama Muka Besi. Maka si Muka Besi pun membalas
seruan tersebut,
"Kalau aku tak bisa
tumbangkan dirimu, lebih baik aku berguru padamu selama hidupku, Setan
Samudera!"
Jubah merah yang berjuluk
Setan Samudera itu mencibir sinis, ia melangkah empat tindak, demikian pula si
Muka Besi yang berkulit hitam itu. Mereka sama- sama berdiri dengan kaki
sedikit merenggang, keduanya sama-sama siap lakukan serangan lagi. Namun
sebelumnya si Muka Besi berkata dengan nada dingin.
"Kuingatkan padamu untuk
tidak memancing kemarahanku lebih parah lagi, Setan Samudera! Sebetulnya aku
tak ingin di antara kita ada yang mati gara-gara kesalahpahaman ini!"
"Aku tak bisa kau bujuk
dan kau tipu, Muka Besi. Aku tahu persis saat kau pulang dari Gunung Keong
Langit. Pasti kau habis membunuh si Bandar Hantu Malam, murid dari kakak
sulungku itu."
"Sejujurnya kukatakan
padamu, aku hanya mengingatkan Bandar Hantu Malam agar beihati-hati, sebab aku
punya firasat bahwa jiwanya terancam bahaya!"
"Omong kosong! Kau pasti
membunuhnya untuk dapatkan Cambuk Getar Bumi!" bentak Setan Samudera.
"Sekarang kuminta cambuk itu, sebab cambuk itu milik kakak sulungku; Warok
Guci Wangsit, guru si Bandar Hantu Malam dan Dampu Sabang. Cambuk itu adalah
warisan orangtua kami! Tak berhak dimiliki oleh siapa pun!"
"Sia-sia saja jika kau
memaksaku, karena aku tak tahu soal cambuk itu!" kata Muka Besi.
"Memang aku adalah adik dari Bandar Hantu Malam, tapi kami beda guru dan
beda aliran. Karenanya aku tak mau tahu tentang pusaka itu. Aku merasa urusanku
bukanlah urusannya, dan urusannya bukan urusanku. Bagiku tak ada guna memiliki
pusaka Cambuk Getar Bumi. Aku merasa masih sanggup mengungguli yang memegang
pusaka itu. Buatku, Cambuk Getar Bumi bukan pusaka yang patut diperebutkan,
karena kekuatannya tak seberapa dibandingkan dengan pusaka warisan guruku:
Kipas Racun Peri!"
Sambil berkata begitu, Muka
Besi keluarkan sebuah kipas dari kain kafan warna putih kusam. Kipas itu
panjangnya dua jengkel, tulang-tulangnya dari kulit penyu warna hitam
kecoklatan, kain kipasnya adalah kain kafan putih lecek. Benda itu
sepertinyatidak punya nilai karena berkesan sangat usang. Tapi sesungguhnya
merupakan pusaka yang mempunyai kekuatan tersendiri. Si Muka Besi melangkah ke
samping sambil berkipas- kipas pelan. Setan Samudera mencibir, seakan
meremehkan kesaktian Kipas Racun Peri itu.
"Kipas kumal seperti itu
kau andalkan kekuatannya? Hmm...! Lebih baik kau gunakan untuk membakar sate
atau mendinginkan semangkuk bubur, Muka Besi!"
Wajah hitam si Muka Besi
menjadi muram dan penuh kebencian, ia tersinggung mendengar hinaan itu. Maka
serta merta ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melayang bagaikan
terbang. Kipasnya dibentangkan, lalu dikibaskan ke arah Setan Samudera.
Wuuusss...!
Claap... !
Kipas itu keluarkan sinar
merah yang menyebar dalam sekejap. Tetapi Setan Samudera sudah lebih dulu
sentakkan kaki dan melesat ke atas pohon dalam keadaan mata terpejam. Setelah
di sana matanya pun kembaliterbuka, dan ia bersalto turun ke darat. Jleeg...!
"Untung aku cepat
pejamkan mata," katanya dalam hati. "Kalau tidak segera pejamkan
mata, bisa buta mataku terkena sinar merah itu. Aku tahu letak kekuatan
kipasnya itu. Aku tahu bagaimana cara mengatasinya.Kalau saja saat ini Cambuk
Getar Bumi ada di tanganku, pasti tubuh si Muka Besi akan terbelah menjadi
beberapa potong."
Kipas Racun Peri gagal kenai
lawn. Si Muka Besi kian penasaran, menggeram penuh kejengkelan. Kipasnya kini
dalam keadaan terkatup, menjadi benda mirip tongkat yang panjangnya dua
jengkel. Mata si Muka Besi menatap tajam pada lawannya Suaranya pun terdengar
penuh kejengkelan.
"Mengapa kau menghindari
kalau kau anggap Kipas Racun Peri ini hanya kipas biasa, Setan Samudera?! Kalau
kau memang punya ilmu lebih tinggi dariku dan mampu menumbangkan aku, hadapilah
kipas mautku ini!"
Wuuutt...!
Tiba-tiba kipas itu
disentakkan ke depan, lurus dan kuat. Dari ujung kipas keluar selarik sinar
sejengkal panjangnya. Sinar itu melesat ke arah Setan Samudera. Tentu saja
Setan Samudera segera melesat dengan satu lompatan cepat ke arah kanan.
Ternyata sejengkal sinar biru itu membelok mengikuti arah kepergian Setan
Samudera. Claap...!
Setan Samudera pindah ke utara
sinar itu ikut ke utara, Setan Samudera menghindari ke timur, sinar itu ikut ke
timur. Ternyata sejengkal sinar biru itu seperti benda bernyawa yang mengejar
musuhnya ke mana pun sang musuh menghindar. Dan Setan Samudera telah mengetahui
kehebatan sinar itu saat ia berhadapan dengan Muka Besi sepuluh tahun yang
lalu.
Karenanya, Setan Samudera
menjebak sinar itu ke balik batu. Seakan ia bersembunyi di sana. Dan ketika
sinar biru itu mendekatinya, tubuh Setan Samudera segera lenyap, wuusss...!
Sebenarnya ia hanya melompat ke atas dengan keccepatan tinggi sehingga mirip
menghilang. Kini ia sudah berada di atas pohon ketika sinar biru itu menghantam
batutersebut.
Blegaaarrr...!
Batu besar itu terbelah
menjadi beberapa keping dalam keadaan terpotong rapi dan halus. Setan Samudera
menertawakan dari atas pohon. Si Muka Besi menggerutu semakin jengkel.
"Sayang dia mampu
bergerak lincah. Kalau tidak, hancur dihantam jurus 'Sinar Bernyawa'
tadi," pikir si Muka Besi dengan matamenataptajam.
Tiba-tiba dari atas pohon
Setan Samudera melesat sambil kibaskan tangan seperti orang menampar darikiri
ke kanan. Weesss...! Dari kuku tangan yang berkelebat itu memercikkan lima
butir sinar hijau seperti kelereng. Slaapp...! Lima sinar hijau yang mirip
kelereng itu menerjang tubuh si Muka Besi. Tetapi Kipas Racun Peri segera
dibentangkan. Wuuurt...! Dan lima sinar itu di- tangkisnyadengan kipas itu.
Bruub...! Duaaar...!
Ledakan dahsyat membuat tubuh
si Muka Besi terlempar ke belakang. Jatuh meringkuk di bawah pohon. Saat itulah
Setan Samudera lepaskan pukulan pelebur jasad yang berupa sinar biru bening melesat
dari ujung tangan yang menguncup itu.
Slaap...!
Blegaaarrr...!
Ada sinar lain yang menghadang
sinar birunya Setan Samudera. Sinar lain itu berwarna ungu dan membuat tubuh
Setan Samudera terlempar ke atas dan melayang jauh hingga membentur pohon. Duuurrr...!
Pohon itu guncang, daunnya berguguran. Setan Samudera akhirnya terpuruk di
bawah pohon itu dengan tubuh ditimbuni rontokan daun pohon rindang itu.
Sedangkan si Muka Besi terpelanting ke samping, karena pada saat ia baru
bangkit setengah membungkuk, terjadilah ledakan dahsyat yang mempunyai
gelombang sentakan cukup besar.
Setan Samudera bergegas
bangkit dengan hidung berdarah, ia memaki dengan jengkelnya, "Monyet
bunting! Rupanyakaumau ikut campur urusanku, Dewa Sengat!"
Dewa Sengat adalah julukan
untuk orang yang baru saja datang dan melepaskan sinar ungu tadi. Sosok
kurusnya yang jangkung amat dikenal oleh golongan tokoh tua seperti Setan
Samudera dan Muka Besi. Tetapi usianya lebih tua dari mereka. Dewa Sengat
berjubah ungu itu berusia sekitar sembilan puluh tahun ke atas, kepalanya hanya
ditumbuhi rambut tipis warna putih, nyaris gundul. Tapi kumis dan jenggotnya
sama-sama lebat dan sama-sama putih rata. Demikian pula alis di mata cekungnya
cukup tebal dan berwarna putih, bentuknya naik ke atas, sehingga ia kelihatan
tampak angker.
"Apa yang kalian
perebutkan adalah sesuatu yang sia- sia. Pertarungan ini tidak mempunyai
maknaapa-apa!"
Muka Besi dan Setan Samudera
sama-sama pandangi Dewa Sengat. Tapimatatua si Dewa Sengat masihtajam melirik
ke sana-sini, membuat hati mereka akui kalah wibawa dengan Dewa Sengat.
"Apa maksud kata-katamu
itu, Dewa Sengat?!" tanya si Muka Besi.
"Bandar Hantu Malam mati
di tangan bocah ingusan bernama Suto Sinting!"
"Suto Sinting?!"
gumam Setan Samudera. "Maksudmu, murid si Gila Tuak itu?"
"Ya! Kabar itu kudengar
dari salah seorang prajurit Negeri Ringgit Kencana. Beberapa orang juga
mendengar kabar itu."
"Kalau begitu, Cambuk
Getar Bumi ada di tangan murid sinting si Gila Tuak?"
"Kurasa begitu, Setan
Samudera! Jadi kalian tak perlu saling adu kekuatan! Itu pekerjaan yang
sia-sia. Jika kalian ingin balas dendam kepada pembunuh Bandar Hantu Malam, dan
ingin rebut kembali Cambuk Getar Bumi, carilah pemuda tampan yang bergelar
Pendekar Mabuk!"
Setan Samudera adalah adik
bungsu dari Warok Guci Wangsit, guru dari Ki Randu Papak atau si Bandar Hantu
Malam. Tentunya ia sangat berharap agar cambuk pusaka milik murid kakaknya itu
jatuh ke tangannya, sebab cambuk itu semula milik orangtuanya, lalu diwariskan
kepada Warok Guci Wangsit. Dari Warok Guci Wangsit diwariskan ke muridnya yang
bernama Ki Randu Papak itu.
Sementara itu, Muka Besi
berhak menuntut kematian Bandar Hantu Malam, karena Bandar Hantu Malam adalah
kakaknya. Jika benar kakaknya itu mati di tangan Suto Sinting, maka Muka Besi
harus menuntut balas kepada si murid sinting Gila Tuak itu.
Berita kematian Bandar Hantu
Malam menyebar dari mulut Kelana Cinta, perwira negeri dasar laut yang merasa
bangga karena musuh berbahaya yang membuat ratunya menderita itu sudah dikalahkan
oleh Suto Sinting. Kelana Cinta mengabarkan kematian Bandar Hantu Malam tanpa
menyebut-nyebut nama Dampu Sa bang, karena diduga nama Dampu Sabang kurang
membuat hebat hasil kerja Suto Sinting. Padahal yang dibunuh Suto adalah Bandar
Hantu Malam palsu, yaitu Dampu Sabang, yang sengaja mengaku-aku sebagai Bandar
Hantu Malam dan membuat keonaran, agar nama Bandar Hantu Malam menjadi cemar
kembali. Se dangkan Bandar Hantu Malam yang asli telah diselamatkan Suto dari
keadaan kritisnya yang nyaris melenyapkan nyawa orang tersebut. Luka berbahaya
itu ditimbulkan ketika Ki Randu Papak yang sebagai Bandar Hantu Malam asli itu
bertarung melawan Dampu Sabang memperebutkan Cambuk Getar Bumi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu Malam").
Sedangkan berita kematian yang
menyebar adalah berita kematian Bandar Hantu Malam yang asli. Suto sempat
terkejut ketika mayat Bandar Hantu Malam masih tergantung di atas pohon dalam
keadaan kaki di atas kepala di bawah, ia benar-benar tidak menduga kalau Bandar
Hantu Malam benar-benar mati. Mayat itu ditemukan Suto ketika ia melarikan diri
dari pertarungannya dengan Putri Kunang. Suto berlari bukan karena takut, namun
sengaja menghindari dengan gadis cerewet yang sukar diberi pengertian.
"Dari pada ada korban tak
bersalah, lebih baik aku menghindari kepicikan gadis cerewet ini!" pikir
Suto kala itu, sehingga ia melarikan diri walau tetap dikejar oleh Putri
Kunang.
Pelarian Suto ke arah Gunung
Keong Langit, karena ia bermaksud temui Bandar Hantu Malam agar bisa jelaskan
kepada gadis itu atau siapa saja yang beranggapan bahwa dirinya telah membunuh
Bandar Hantu Malam. Tetapi ketika sampai di lereng Gunung Keong Langit, Suto
Sinting terpaksa menjadi lemas karena melihat mayat Ki Randu Papak membusuk
dalam keadaan tergantung jungkir balik. Jelas ini perbuatan si pembunuh untuk
memamerkan hasil kerjanya, juga sebagai ungkapan dendam kepada Bandar Hantu
Malam. Meski sudah mati tapi tetap tak dihormati, sehingga jenazahnya tidak
dikuburkan, melainkan digantung dan dijadikan pusat perhatian orang banyak.
"Pantas aku dituduh
membunuh Bandar Hantu Malam. Rupanya kabar kematian Dampu Sabang itu
dihubungkan dengan adanya mayat yang tergantung sekejam ini! Ah, sayang sekali
akutak bisa menolong Ki Randu Papak. Perpisahanku selama sepuluh hari dengan Ki
Randu Papak ternyata mengakibatkan kematian seperti ini. Kasihan sekali. Apakah
pembunuhnya menginginkan cambuk pusakanya itu, atau karena ada maksud lain?
Hmmmm... kulihat banyak lubang di tubuh mayat itu. Pasti ia terkena pukulan
dahsyat dari orang berilmu tinggi. Dan... hei, ke mana kalung merahnya?"
Suto memandangi sekeliling
tempat itu, mencari kalung batu-batuan warna merah yang sering dikenakan Ki
Randu Papak. Kalung itu punya kekuatan tersendiri, bahkan bisa keluarkan tenaga
perisai yang membuat lawan tak bisa menyentuh Ki Randu Papak. Kalung itu tidak
ada pada mayat Ki Randu Papak. Di sekitartempat tersebut juga tak didapatkan
kalung merah itu.
"Jangan-jangan kalung
merahnya itulah yang diincar oleh pembunuhnya?" pikir Suto sambil menutup
hidung dengan daun arum sekar untuk melawan bau busuk dari mayat tersebut.
Pendekar Mabuk tak tega
membiarkan mayat tokoh yang pernah dikagumi ketenangannya dan kesaktiannya itu.
Hati Suto pun sedih sekali merenungi kematian orang yang telah memberi rahasia
padanya tentang kelemahan Siluman Tujuh Nyawa, ia menggali liang kubur
sendirian, lalu memakamkan jenazah yang telah membusuk itu dengan hati
berkecamuk duka.
"Kurasa orang yang
menyerangnya lebih tinggi ilmunya dari Ki Randu Papak. Mungkin juga karena
salah anggapan akibat tingkah Dampu Sabang yang bikin onar dengan mengaku
sebagai Bandar Hantu Malam. Pasti tokoh yang ilmunya lebih tinggi dari Ki Randu
Papak itu beranggapan bahwa Ki Randu Papak masih jahat seperti dulu. Ah, kasihan.
Orang mau bertobat ternyata banyak sekali hambatannya. Orang ingin berbuat
baik, ternyata sangat sulit karena sudah telanjur dipercaya sebagai orang
sesat. Ternyata sebuah pengakuan itu sukar didapatkan, terutamapengakuan diri
sebagai manusia baik-baik. Kadang orang yang sudah mendapat pengakuan sebagai
orang baik, sering memanfaatkan pengakuan itu untuk tindakan yang kurang baik,
sehingga memanfaatkan pengakuan itu untuk tindakan yang kurang baik, sehingga
orang tidak akan menduga kalau tindakan kurang baik itu datang darinya..."
Panjang sekali kecamuk batin
Pendekar Mabuk manakala memakamkan jenazah Ki Randu Papak. Yang ia temukan dari
pelajaran itu adalah pengakuan berbuat baik ternyata sulit diperoleh lagi oleh
orang yang dulunya pernah berbuat jahat. Itulah sebabnya Suto bertekad untuk
tidak melakukan kejahatan apa pun, sebab sekali ia melakukan kejahatan maka
sukar untuk mengembalikan nama baiknya.
"Pembunuh budiman!"
celetuk sebuah suara setelah Suto selesai melakukan pemakaman itu. Suto Sinting
terkejut dan segera berpaling ke arah si pemilik suara tersebut.
Ternyata suara itu datang dari
mulut seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, tapi masih kelihatan
cantik dan menggairahkan. Pakaiannya ketat sekali, hingga bentuk tubuhnya, terutama
di bagian dada, kelihatan menonjol jelas walaupun dilapisi baju jubah warna
merah jambu. Perempuan itu bersanggul rapi, namun sebagian rambutnyaterurai ke
bawah. Wajahnya agak lonjong, sesuai dengan bentuk hidungnya yang mancung,
bibirnya yang sedikit tebal menggairahkan ditambah kulitnya yang kuning
langsat. Perempuan itu menyandang pedang di punggungnya bergagang lilitan tali
hitam, ujung gagangnya berhias cincin bergerigi dari besi. Agaknya cincin
bergerigi itu bisa dilepas sewaktu- waktu dan dijadikan senjata yang siap
terbang menerjang lawan.
Suto berkerut dahi, karena
merasa baru pertama kali itu bertemu dengan perempuan cantik yang tampaknya
cukup matang dalam bergaulan. Melihat kalung dan gelangnya, tentulah ia
perempuan yang masih mempunyai keturunan darah biru.
"Dua hari aku mencarimu,
Pembunuh budiman! Ternyata baru sekarang kita saling jumpa," kata
perempuan itu. "Mungkin sudah waktunya kita saling tentukan nasib, siapa
yang mati di balik kematian guruku ini!"
Kian kuat dahi Suto berkerut
memandangi si cantik yang bermata indah tapi berkesan galak itu. Agaknya si
cantik berbibir selalu basah itu punya dendam yang tak sabar ingin
dilampiaskan. Tentu saja Pendekar Mabuk tidak gegabah melayani dendam perempuan
secantik itu.
"Siapa kau, Nona
cantik?" sapa Suto meramahkan diri.
Setelah perempuan itu
memandangi Suto beberapa saat tanpa berkedip, ia pun segera menjawab pertanyaan
yang sempat hening tanpa
jawaban tadi.
"Namaku Delima Gusti,
murid Ki Randu Papak! Rupanya kau adalah pembunuh budiman, habis membunuh,
menggantung korbannya sesaat, lalu memakamkannya!"
"Kau salah sangka, Delima
Gusti," kata Suto tetap tenang, ia meraih bumbung tuaknya untuk menenggak
tuak beberapa teguk. Tapi niat itu sempat tertunda karena kata-kata dingin
Delima Gusti.
"Kabar yang menyebar
cukup jelas, Pendekar Mabuk adalah pembunuh Bandar Hantu Malam. Dan aku tahu,
ciri-ciri Pendekar Mabuk, bumbung tuak, serta wajah tampan. Tapi aku tak sangka
kalau kau ternyata lebih tampan dari bayanganku."
Sebelum menenggak tuak, Suto
sempatkan diri untuk tersenyum sebenar. Perempuan cantik itu masih tetap
tenang. Bahkan ia tidak lakukan penyerangan ketika Suto menenggak tuaknya.
Setelah Suto selesai menenggak tuak, barulah perepuan cantik itu berkata,
"Kurasa kau akan lebih
bijaksana jika serahkan Cambuk Getar Bumi itu kepadaku, karena aku adalah murid
tunggal Ki Randu Papak."
"Kalau kujelaskan yang
sebenarnya, apakah kau mau percaya, Delima Gusti?"
Perempuan itu menggeleng.
"Yangkubutuhkan bukan penjelasan, tapi cambuk pusaka itu! Tak rela hatiku
jika cambuk Guru jatuh di tangan orang yang bukan muridnya! Jika kau bersikeras
mempertahankan pusaka itu, maka aku pun akan bertindak
sebagaimanamestinya.Kuharap kau tidak menyesal jika murkaku datang dan
menerjangmu, Pendekar Mabuk!"
"Aku tak mau layani
kemarahan orang yang salah paham!" kata Suto, lalu ia pun melesat pergi
dengan kecepatan melebihi angin. Zlaaap...!
***3
PELARIAN Suto Sinting
sebenarnya semata-mata menghindari pertikaian tanpa arti. Tapi pelarian itu
dianggap oleh mereka merupakan sesuatu yang timbul karena rasa takut dan rasa
bersalah Suto. Tentu saja mereka semakin penasaran mengejar Suto Sinting,
terutama Delima Gusti dan Putri Kunang.
Delima Gusti rupanya berilmu
tinggi juga. Ia bisa menandingi kecepatan gerak Pendekar Mabuk. Bahkan ia
pandai mencari jalan pintas, sehingga ketika tiba di sebuah lembah ia mampu
menghadang langkah Pendekar Mabuk.
"Mau lari ke mana kau,
Pembunuh budiman?!" tegur Delima Gusti sambil sunggingkan senyum sinis.
"Delima Gusti, jangan
timbulkan pertarungan karena kesalah pahaman ini. Banjir darah yang terjadi
akan merupakan sesuatu yang sia-sia, sebab aku tidak membunuh gurumu dan tidak
merebut pusakanya. Justru aku adalah orang yang kagum kepada gurumu, Ki Randu
Papak itu."
"Pencuri mana yang mau
mengaku tanpa disiksa dulu?" setelah mengucapkan kata-kata begitu, Delima
Gusti sentakkan kakinya ke tanah. Duug...! Claap...!
Seberkas sinar muncul dari
tanah yang dihentakkan itu. Sinar tersebut seperti bintang berekor warnanya
merah terang. Sinar itu melesat ke arah dada Suto Sinting dan itulah jurus yang
dinamakan Ludah Naga'. Suto Sinting yang cukup waspada bergerak dengan gesit
melompat ke samping kanan sekitar empat langkah jauhnya. Sinar tersebut
menghantam sebuah pohon, dan pohon itu menjadi layu, mengecil, susut, kulitnya
saling terkelupas, dan akhirnya lembek seperti batang pohon pisang yang busuk.
Mata Suto terbelalak kagum
melihat pohon besar itu kini terpuruk di tempatnya dalam keadaan lumer tak
berbentuk lagi. Ternyata sinar merah yang keluar dari tanah itu mempunyai
kekuatan dahsyat, yaitu melumerkan benda apa saja yang tersentuh olehnya .
"Kau memang gesit,
sehingga jurus 'Ludah Naga' bisa kau hindari," kata Delima Gusti.
"Tapi jangan bangga dulu, Pendekar Mabuk. Kurasa kau tak akan bisa lepas
dari jurus ' Sinar Laba-laba'-ku ini! Huup...!"
Plok...! Delima Gusti bertepuk
tangan satu kali, lalu kedua tangan disentakkan ke depan dengan telapak tangan
terbuka. Dari tengah telapak tangan keluar sinar biru berlarik-larik mirip
benang laba-laba penjerat. Setiap satu tangan bisa keluarkan delapan sinar
biru. Dan kedua sinar itu saling silang saat mendekati tubuh Pendekar Mabuk.
Tetapi tiba-tiba seberkas
sinar merah melesat di depan dada membentuk seperti piringan besar yang menghadang
sinar biru itu, sehingga akibatnya terjadilah ledakan hebat pada saat itu.
Blegaaarrr...!
Suto Sinting terlempar ke
belakang karena gelombang ledak tersebut. Dadanya terasa panas sekali dan
seolah-olah kulit dan urat-uratnya ingin jebol ke depan. Suto Sinting rasakan
sakit di sekujur tubuhnya, terutama di dada. Maka, buru-buru dia membuka
bumbung tuaknya dan menenggaknya dua teguk. Setelah menenggak tuak, rasa
sakitnya berkurang dan pandangannya yang tadi buram kinijelas kembali.
Delima Gusti segera bangkit
dari jatuhnya Rupanya perempuan itu juga terlempar karena daya ledak yang
tinggi tadi, tapi tak seberapa jauh. Ada luka di dalam tubuhnya, tapi tak
seberapa parah. Mungkin ia bisa atasi dengan cepat menggunakan saluran hawa
murninyayang beredar mengikuti peredaran darah.
Yang jelas Suto dan Delima
Gusti sama-sama memandang ke arah datangnya sinar merah itu. Ternyata sinar itu
datang dari seorang gadis bertahi lalat kecil di sudut bibir atasnya. Gadis
berpakaian kuning kunyit itu tak lain adalah Putri Kunang. Matanya memandang
dingin kepada Delima Gusti. Sedangkan yang dipandang pun balas memandang sinis,
lalu menyapa dengan nada bermusuhan.
"Apa maksudmu membela
pembunuh budiman itu?! Biar disangka puny a cinta dan rela berkorban?
Hmmm...!" Delima Gusti
mencibir.
"Aku bukan membela dia,
Perempuan Tolol! Aku hanya selamatkan dia, karena dia belum mau bicara tentang
di mana Cambuk Getar Bumi itu disimpannya!"
"O, jadi kau juga mencari
cambuk pusaka guruku? Kalau begitu kau pun harus kuberi pelajaran biar tahu
adat bahwa orang yang bukan murid Bandar Hantu Malam tak boleh memiliki cambuk
pusaka!"
"Aku membutuhkan cambuk
itu, bukan untuk kumiliki!"
"Alasanmu bisa saja
dibuat-buat! Aku pun membutuhkan cambuk itu! Dan untuk kumiliki!"
Pertengkaran mulut kedua
wanita itu dipergunakan oleh Suto Sinting untuk larikan diri sejak tubuhnya
menjadi segar kembali. Claap...! Suto bagaikan tak mau terlibat persoalan
tersebut. Kedua wanita itu menjadi terperanjat melihat Pendekar Mabuk lari
dengan kecepatan tinggi.
"Hoi, berhenti kau!"
teriak Delima Gusti, ia pun mengejar Suto, dan menimbulkan kecemasan di hati
Putri Kunang.
"Jangan lukai si tampan
itu, Perempuan Bodoh!" lalu gadis cerewet itu pun berlari mengejar Delima
Gusti, ia sengaja lari ke arah lain, karena iatahu Suto dan Delima Gusti akan
terjebak sungai dan mereka pasti membelok ke arah yang sedang ditujunya. Dari
sanalah Putri Kunang akan menghadang Suto dan membuat pemuda itu hentikan
pelariannya.
Pendekar Mabuk segera ingat
daerah yang dilaluinya itu adalah daerah yang bernama Lembah Sunyi, ia pernah
datang ke sana untuk menuju ke padepokan milik Resi Wulung Gading, yaitu
keponakan dari Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang. Tetapi pada waktu itu Suto
tak berhasil temui Resi Wulung Gading karena sang Resi sedang bertapadi Gua
Getah Tumbal.
Suto memang terhalang sungai
lebar. Tapi itu bukan hal sulit untuk diatasi, sebab dulu Suto pernah
menyeberangi sungai tersebut. Maka, disambarlah beberapa daun yang ada di
dekatnya, dan lembar demi lembar daun itu dilemparkan ke air sungai. Suto pun
melompat dengan berpijak pada daun itu, yangtentu saja karena menggunakan ilmu
peringan tubuh, sehingga ia bisa berdiri di atas daun yang mengambang di
permukaan air. Dari daun ke daun Suto melompat, akhirnya tiba di seberang dan
berlari menembus kelompok pepohonan bambu wulung yang berwarna hitam
kebiru-biruan itu.
Delima Gusti hentikan langkah,
merasa kehilangan jejak, ia berlari menyusuri tepian sungai itu, sampai
akhirnya bertemu dengan Putri Kunang yang sedang berdiri menghadang. Putri
Kunang kerutkan dahi dan merasa heran, karena yang dilihatnya hanyalah Delima
Gusti, padahalyang diharapkan adalah Pendekar Mabuk. Maka dengan suara ketus,
Putri Kunang menyapa Delima Gusti.
" Mana si tampan
itu?!"
"Seharusnya kutanyakan
padamu hal yang sama, atau kupaksa dirimu untuk serahkan Pendekar Mabuk
itu!"
kata Delima Gusti.
"Akutidak
sembunyikandia!"
"Omong kosong! Tak
mungkin iamenghilang begitu saja!"
"Lantasapamaumu,
hah?" tantang Putri Kunang.
"Maumu sendiri
bagaimana?!" Delima Gusti membalikkan tarungan. Mereka saling pan dang
dengan tegang. Delima Gusti segera serukan suaranya,
"Kalau kau tak mau
keluarkan pendekar tampan itu dari persembunyiannya, aku tak bisa menunda
kemarahanku lagi! Kau akan terima akibatnya, Gadis Bodoh!"
"Kau pikir akutakut
padamu?! Kau belum tahu siapa diriku, hah?!" Putri Kunangtampakkan
sikapkian galak. Delima Gusti tersinggung, dan segera lepaskan pukulan bersinar
merah dari telapak tangannya. Sinar itu menyebar lebar bagai cerobong yang siap
menelan Putri Kunang.
Namun dengan cepat tangan
Putri Kunang berkelebat ke samping dan dari lengannya melesat sinar lebar warna
hijau bening, langsung bertabrakan dengan sinar merah mirip cerobong besar itu.
Zrruubb...! Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membuat tubuh
Putri Kunang terdesak mundur tiga tin dak. Delima Gusti tersentak hingga empat
tindak jauhnya daritempat berdiri semula. Tapi keduanya dalam keadaan tak
terluka, sehingga keduanya masih bersemangat untuk saling menyerang.
Putri Kunang yang mendului
mencabut pedang, sehingga Delima Gusti tak mau kalah gertak, ia pun mencabut
pedangnya dari punggung. Sreett...! Lalu keduanya sama-sama sentakkan kaki dan
melesat bagaikan terbang ke pertengahan jarak. Di udara sana mereka saling
tebas dan tangkis dengan pedang masing- masing.
Trang, trang, trang, trang...
!
Keduanya sama-samaturun ke
bumi dan masih saling tebas dan tangkis, sehingga pedang mereka memercikkan
bunga api beberapa kali. Bahkan kadang terjadi letupan yang diiringi oleh
semburan bunga api ke berbagai arah. Gerakkan jurus pedang mereka begitu cepat,
sehingga denting perpaduan pedang itu bagaikan suara denging yang
berkepanjangan tanpa putus-putus.
Mereka tak tahu bahwa Suto
Sinting sudah mendekati gerbang padepokan Resi Wulung Gading. Tempat itu sudah
dibangun kembali dan tertata rapi. Tapi tempat yang dulunya ramai oleh para
murid Resi Wulung Gading itu, kini menjadi sepi, sunyi, bagai sebuah petilasan
belaka. Para murid Resi Wulung Gading sudah tewas semua dibantai habis oleh
Bandar Hantu Malam palsu alias Dampu Sabang. Waktu itu Suto datang ke tempat
tersebut dalam keadaan masih menjadi ladang pembantaian. Di mana-manaterdapat
mayat yang mulai membusuk. Dan waktu itu, hanya ada dua anak buah atau murid
padepokan yang selamat dari pembantaian, yaitu dua orang yang ditugaskan
menghubungi seorang kenalan Resi Wulung Gading di pantai selatan, bernama Dul
dan Sukat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu
Malam").
Sekarang, ketika Suto sedang
mengamat-amati tempat itu, Dul muncul dari balik pintu gerbang, ia menyapa
ramah kepada Suto, sehingga percakapan pun terjadi tanpa kesan duka dan
permusuhan.
" Apakah kau ingin
bertemu dengan Guru?" tanya Dul yang ilmunya tak seberapatinggi itu.
"Apakah gurumu ada?"
"Ada. Marikuantar bertemu
Guru."
Sebenarnya Suto Sinting tidak
punya maksud menemui Resi Wulung Gading. Tetapi karena sudah sampai di depan
Padepokan Lembah Sunyi, tak ada salahnya jika Suto sempatkan diri untuk singgah
dan membicarakan tentang kematian Bandar Hantu Malam. Di samping itu Suto pun
ingin bicarakan tentang pedang pusaka yang konon bisa mengalahkan Siluman Tujuh
Nyawa, tokoh sesat yang diburu-burunya itu.
"Kapan gurumu pulang dari
Gua Getah Tumbal?" tanya Suto kepada Dul ketika melintasipekarangan yang
luas it u.
"Tiga hari setelah kami
selesai memakamkan semua korban," jawab Dul.
Dari pendopo muncul seorang
lelaki tua berjenggot putih, bertubuh gemuk, dengan rambut kepala lebat warna
putih sepanjang punggung. Raut wajahnya tampak tenang namun berkharisma tinggi,
ia mengenakan pakaian model biksu, kain putih berselempang di pun dak kiri,
sisanyamelilit tubuh. Suto sudah dapat menduga, itulah Resi Wulung Gading, dan
ternyata dugaan tersebut dibenarkan oleh Dul.
Suto membungkuk, memberi
hormat kepada keponakan eyang gurunya. Resi Wulung Gading membawa Suto masuk
dan mereka berbincang-bincang di pendopo. Sekalipun usianya sudah cukup banyak,
namun Resi Wulung Gading masih bisa duduk bersila dengan badan tegak dan gagah.
Suto pun tak mau kalah gagah.
Ia ingin tunjukan sebagai
murid Bidadari Jalang yang selalu tampak gagah dan perkasa. Namun kesopanan
tetap dijaga oleh Pendekar Mabuk dengan tidak cengar- cengir sembarangan di
depantokohtua itu.
"Angin gunung menyebarkan
bau bangkai si Bandar Hantu Malam," kata Resi Wulung Gading.
"Kudengarkan percakapan mereka melalui hembusan angin, kaulah yang menjadi
tersangka atas kematian Bandar Hantu Malam. Benarkah itu, Suto?"
"Tidak, Resi! Yang saya
bunuh adalah Dampu Sabang, yaitu si pemalsu nama Bandar Hantu Malam yang telah
membantai semua murid padepokan ini!"
Tokoh tua berkumis warna putih
itu manggut- manggut. Ia berkata bagaikan orang menggumam karena kelewat kalem.
"Firasatku benar. Dampu
Sabang-lah orangnya. Dan firasatku benar, pembantai itu pasti sudah mati sebelum
genap empat puluh hari kematian para muridku. Itulah sebabnya aku tak bergegas
pergi menemui Bandar Hantu Malam, karena firasatku mengatakan bahwa aku harus
diam menungguberita demiberita."
Wajah Resi Wulung Gading
tampak masih menyimpan duka atas peristiwa pembantaian itu. Namun duka tersebut
disembunyikan rapat-rapat di balik ketegangan sikapnya. Pandangan matanya yang
teduh memancarkan ketegasan yang membuat Suto Sinting tak berani terlalu lama
menatapnya.
Setelah mendengarkan kisah
perjalanan Suto menghadapi tuduhan-tuduhan tersebut, Resi Wulung Gading berkata
dengan nada sedikit heran,
"Delima Gusti?! Seingatku
Delima Gusti adalah anak Adipati Suralaya. Dia bukan murid Randu Papak, sebab
Randu Papak tidak pernah mengangkat murid kepada siapa pun. Tetapi ia memang
kenal dengan RanduPapak, sebab dulu Randu Papak pernah selamatkan sang Adipati
ketika dalam bahaya musuhnya"
"Lalu, untuk apa Delima
Gusti mengaku-aku sebagai murid Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam?"
" Jelas untuk menunjukkan
seolah-olah dia punya hak atas pusaka Cambuk Getar Bumi itu. Pengakuannya hanya
sebagai alasan belaka. Pasti dia punya maksud lain sehingga ingin memiliki
cambuk itu."
"Lalu, bagaimana dengan
gadis cerewet itu, Resi?" "Putri Kunang, maksudmu? Hmm... setahuku
dia murid Dewa Sengat, anak dari penguasa Pulau Dadap. Ayahnya bernama Watu
Saka, yang menjadi kunci utama untuk temukan Pulau Karun. Watu Saka dulu
seorang bajak laut, saingan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi sebelum akhir tiba, Watu
Saka telah menjadi seorang petapa, dan ia mati secara moksa; lenyap tidak
berbekas."
"Lalu, kira-kira untuk
apa Putri Kunang berusaha memiliki cambuk pusakanya Bandar Hantu Malam,
Resi?"
Setelah diam beberapa saat,
Resi Wulung Gading pun menjawab, "Barangkali untuk melawan seseorang yang
ingin singkirkan dirinya dari Pulau Dadap."
"Mungkinkah orang itu
adalah Siluman Tujuh Nyawa?"
"Mungkin saja,"
jawab Resi Wulung Gading. "Tapi jika benar lawannya adalah Durmala Sanca,
maka ia tidak akan berhasil kalahkan manusia sesat itu sebelum ia memiliki
Pedang KayuPetir."
Suto segera menceritakan
permusuhannya dengan Siluman Tujuh Nyawa, dan pada akhirnya ia berkata,
"Seandainya Resi berkenan, biarlah saya yang menumpas habis riwayat tokoh
sesat itu dengan Pedang Kayu Petir."
Tetapi Resi Wulung Gading
berkata, "Pedang Kayu Petir sudah berpuluh-puluh tahun hilang dari
tanganku. Aku sedang melacaknya dengan teropong sukma, karenanya aku banyak
bertapa untuk mencari pedang itu lewat alam gaib. Kurasa kau bisa lakukan hal
itu, sebab kau punya tanda di keningmu yang membuatmu bisa keluar masuk ke alam
gaib.
Suto sunggingkan senyum
tersipu dan sedikit tundukkan wajah, ia jadi tak enak hati dilihat tanda merah
di keningnya yang memang merupakan tanda kehormatan dari Ratu Gusti Kartika
Wangi, calon mertuanya, yang mampu membuatnya keluar-masuk alam tak terlihat
mata manusia, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah ")
"Kelak, jika Pedang Kayu
Petir sudah kutemukan, akan kupinjamkan padamu dan singkirkanlah manusia
terkutuk itu agar tak menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia di muka bumi
ini," kata Resi Wulung Gading. " Apalagi kau adalah cucu murid dari
bibiku; Nini Galih, selayaknya kau melenyapkan orang yang telah menodai eyang
gurumu itu. Aku bersyukur kepada Sang Penguasa Jagat, bahwa aku dipertemukan
dengan cucu murid bibiku itu. Setidaknya, kaulah nantinya yang akan mewakili
orang-orang aliran putih untuk melawan si sesat itu. Tetapi, agaknya kau memang
harus melewati berbagai cobaan untuk menguji jiwamu, Suto. Perkara hilangnya
Cambuk Getar Bumi yang melibatkan dirimu, harus kau hadapi dengan tabah dan
keputusan-keputusan yang bijak"
"Sebenarnya, apa
keistimewaan dari Cambuk Getar Bumi itu, Resi?"
"Cambuk itu bisa
guncangkan bumi jika dilecutkan ke tanah dan juga bisa tenggelamkan lawan,
menjadikan lawan terkubur hidup-hidup bagai ditelan bumi. Cambuk itu juga mampu
hadirkan hujan petir yang menyerang lawan, bisa membuat si pemilik cambuk
hilang lenyap setelah cambuk diputar-putar di atas kepala dan membungkus pemiliknya
dengan kabut tebal. Siapa yang terlilit cambuk itu, akan mati terpotong-potong
sesuai jumlah lilitannya Itulah antara lain keistimewaan Cambuk Getar Bumi,
yang kukira tak sempat diambil Randu Papak dari persembunyiannya ketika seorang
lawan menyerang dan membunuhnya"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut, menyimpan rasa kagum terhadap kehebatan cambuk tersebut.
"Pantas kalau banyak yang menginginkan cambuk itu," pikirnya
"Apakah Resi mengetahui di mana cambuk itu disimpannya?"
Setelah diam sesaat, tokoh tua
itumenjawab, "Randu Papak tidak mungkin menyimpan pusaka di dalam rumah.
Pasti ada di luar sekitar pondoknya. Carilah, temukan dengan segera, sebelum
orang lain menemukannyauntuk kejahatan!"
Suto merasa mendapat perintah
dari eyang gurunya, maka semangatnya pun timbul membara untuk temukan cambuk
itu. Tetapi Resi Wulung Gading kembali berkata dengan suaranyayang bernada
bijak,
"Tetapi ingat, Suto...
kau tidak boleh gunakan cambuk itu untuk perlawanan kepada siapa pun."
"Mengapa begitu, Resi?'
"Sebab seingatku, cambuk
itu telah terkena kutuk seorang paderi yang mati dibunuh oleh Bandar Hantu
Malam, semasa dia menjadi orang sesat. Aku juga ingat dengan cerita Bandar
Hantu Malam, beberapa puluh tahun yang lalu, ketika ia habis kehilangan
istrinya. Dikatakan olehnya, bahwa ia tak akan mau gunakan cambuk itu lagi
karena terkena kutuk seorang paderi."
"Kutukan yang bagaimana
itu, Resi?" "Barang siapa gunakan cambuk itu untuk perlawanan, maka
selamanya ia akan menjadi orang sesat dan tak akan mati dengan tenang. Rohnya
akan mengembara memasuki hewan-hewan yang menjijikkan. Barangkali karena
kutukan itulah maka Bandar Hantu Malam tidak mau pergunakan cambuk itu lagi,
tapi tetap menjaganya agar jangan jatuh ke tangan orang sesat dan dipergunakan
untuk membantai pihak yang tak bersalah."
"Jadi, tugas saya hanya
menyelamatkan cambuk itu agar tidak menjadi sumber malapetaka bagi orang lain
maupun bagi si pemegangnya?"
"Ya. Kurasa itulah yang
harus kau lakukan. Bilaperlu lenyapkan cambuk itu agar tidak menjadi sumber
malapetaka bagi siapa pun!"
"Akan sayakerjakan,
Resi!" kata Suto dengan tegas.
"Hati-hatilah, sebab
menurut firasatku, banyak tokoh berilmu tinggi menghendaki cambuk itu tanpa
mengetahui kutukan di dalamnya Bahkan kau akan bertemu dengan seorang tokoh
sakti yang kau kenal, dan kalau tak baik-baik membawa diri kau akan bertarung
dengan tokoh sakti itu."
"Siapa tokoh sakti itu,
Resi?"
Resi Wulung Gading hanya
geleng-gelengkan kepala dengan penuh wibawa. Suto Sinting amat penasaran,
namun tak berani mendesak sang
Resi.
***
BEGITU Pendekar Mabuk
meninggalkan perbatasan Lembah Sunyi, ternyata ia sudah ditunggu-tunggu oleh
dua wanita yang semula saling bertarung dengan pedang itu. Delima Gusti dan
Putri Kunang telah hentikan pertarungan mereka, karena telah menyadari bahwa
itu hanya sia-sia. Mereka bahkan bersepakat untuk mencari Pendekar Mabuk dan
memaksa sang pendekar tampan untuk tunjukkan letak penyimpanan Cambuk Getar
Bumi.
Tak heran jika kali ini
langkah Suto Sinting terhadang mereka berdua yang tampak bersatu untuk
menyerang Suto. Gelagat mereka terbaca oleh firasat batin Suto Sinting, namun
si murid Gila Tuak itu masih tetap tampakkan ketenangannya. Hatinya sempat
membatin, "Wanita-wanita cantik ini sangat sayang jika sampai dilukai
kulit tubuhnya, karena mereka sebenarnya tidak mengetahui siapa orang yang
telah membunuh Bandar Hantu Malam dan di mana cambuk itu berada. Mereka hanya
didorong oleh hasrat untuk memiliki benda pusaka itu tanpa mempertimbangkan
langkah yang benar. Hmm... rasa-rasanya aku harus melawan mereka dengan cara
lain."
Delima Gusti perdengarkan
suaranya yang bernada dingin itu,
"Pembunuh budiman, ke
mana pun kau lari kau tak akan bisa hilang dari pandanganku! Sebaiknya serahkan
saja cambuk milik guruku itu!"
"Siapa gurumu itu? Bandar
Hantu Malam? O, bukan!Kau bukan murid Bandar Hantu Malam," kata Suto dalam
sunggingkan senyum menawan. "Kau adalah putri Adipati Suralaya yang kenal
baik dengan Bandar Hantu Malam. Hanya kenal baik."
Perempuan cantik yang dadanya
montok itu terperanjat mendengar kata-kata Suto. Tetapi Putri Kunang pun kaget
dan memandangi Delima Gusti dengan dahi berkerut tajam.
" Jadi..., kau adalah
orang kadipaten Suralaya?!"
Delima Gusti tidak menjawab,
ia hanya memandang sinis pada Suto.
"Dan kau, Putri Kunang,
entah apa maksudmu bersikeras mendapatkan cambuk itu, yang kutahu kau adalah
anak mendiang Watu Saka, bekas bajak laut yang menjadi penguasa Pulau
Dadap."
"Dari mana kau
tahu?!" Putri Kunang terkejut. Delima Gusti ikut-ikutan kaget dan kini
ganti dia yang menatap Putri Kunang dengan dahi berkerut.
"Jadi, kau adalah orang
Pulau Dadap?! Kalau begitu kaulah yang membunuh adikkutigatahun yang
lalu?"
"Bukan aku!" sentak
Putri Kunang. "Penyerbuan ke kadipaten Suralaya bukan prakarsaku, tapi
prakarsa Sri Maharatu, kakak tiriku itu!"
"Tapi penyerbuan itu
telah timbulkan korban banyak di pihakku. Kalau begitu kita adalah musuh, dan
aku berhak membalas kematian orang-orangku lewat kehadiranmu di sini!
Hiaaat...!"
Trang, trang, trang, trang...
!
Mereka saling menyerang dengan
pedang kembali.
Persatuan mereka buyar setelah
saling mengetahui bahwa mereka ternyata bermusuhan. Orang-orang Pulau Dadap
pernah menyerang Kadipaten Suralaya karena perebutan wilayah kekuasaan. Menurut
ayah Putri Kunang, tanah kadipaten itu adalah warisan kakeknya yang direbut
oleh sang Adipati. Sedangkan menurut Adipati Suralaya, tanah kadipaten adalah
hak miliknya sebagai anak bungsu dari kakeknya Watu Saka. Perkara itulah yang
akhirnya membekas di hati kedua wanita tersebut sehingga saling baku hantam
sendiri.
Suto Sinting tertawa geli
sambil tinggalkan mereka menuju puncak Gunung Keong Langit, ia harus mencari
cambuk itu di sekitar pondok Bandar Hantu Malam dan harus bisa menemukan
sebelum cambuk itu berada di tangan orang sesat, yang akan menjadi sesat seumur
hidupnya karena pengaruh kutukan pada cambuk pusaka itu.
Tetapi separo perjalanan Suto
tak bisa dilalui dengan mulus. Langkahnya kembali terhenti karena kemunculan
tokoh tua berambut putih panjang berikat kepala merah, mengenakan jubah abu-abu
dan menggenggam tongkat tanpa bentuk di bagian ujungnya. Tokoh tua berusia
sekitar enam puluh tahun, bertubuh kurus dan sangat dikenal oleh Suto Sinting.
"Kita bertemu lagi,
Suto," sapa orang tersebut dengan ramah dan tenang. Suto Sinting pun
membalas senyum keramahan itutanpa curiga.
"Ki Lumaksono...? Oh, tak
kusangka kita akan bertemu di sini. Mengapatidak bersamaKiParadito?"
"Dia punya kesibukan
sendiri di tempat lain," jawab Ki Lumaksono yang dikenal dengan julukan
Pawang Gempa itu. Suto memang pernah bertemu dengan tokoh tua itu ketika
berurusan dengan Nila Cendani, (Baca serial Pendekar Mabuk episode:
"RatuTanpaTapak").
"Rupanya namamu kian lama
kian dikenal di kalangan para tokoh tingkat tinggi karena kehebatanmu mampu
kalahkan mereka. Sekarang tentunya kau akan semakin hebat dengan memiliki
Cambuk Getar Bumi, Suto!"
"O, kau salah duga, Ki
Lumaksono. Aku tidak memiliki cambuk itu."
Ki Lumaksono terkekehtawar.
"Tak mungkin. Semua mulut kabarkan bahwa kau yang membunuh Bandar Hantu
Malam, tentunya kau yang kuasai pusakanya. Tapi ada baiknya, pusaka itu tak
perlukau miliki, Suto. Kau sudah cukup sakti dengan ilmu warisan gurumu, si
Gila Tuak itu. Ada baiknya kalau Cambuk Getar Bumi kau berikan padaku, supaya
julukanku pun semakin mantap sebagai Pawang Gempa yang mampu mengguncang bumi
di mana pun aku berada!"
Suto diam sesaat, teringat
kata-kata Resi Wulung Gading, bahwa ia akan berhadapan dengan seorang tokoh tua
yang telah dikenalnya. Mungkin Ki Lumaksono inilah orang yang dimaksud dalam
kata-kata Resi Wulung Gading. Suto Sinting mulai hati-hati menjaga diri
mengendalikan hasratnya, ia harus menghindari pertarungan dengan orang yang
sudah dikenalnya itu, karena pertarungan tersebut jelas akan membawa celaka
bagi salah satu atau keduanya. Suto berusaha menjelaskan perkara sebenarnya,
tapi Ki Lumaksono agaknya tak mau percaya dengan penjelasan tersebut.
"Sebenarnya aku sungkan
melawanmu, Suto. Tapi dalam perkara ini, agaknya tak ada jalan lain yang harus
kutempuh kecuali mendesakmu dengan kekerasan, supaya cambuk itu kau berikan
padaku!"
"Aku tidak bersedia
melawanmu, Ki Lumaksono. Aku tidak mau timbulkan korban seperti dalam perkara
Keris Setan Kobra itu. Kedua perkara itu sama-sama salah duga dan mengakibatkan
korban darah tanpa arti, Ki Lumaksono!"
"Punya arti maupun tanpa
arti, itu terserah pendapatmu. Yang jelas bagiku Cambuk Getar Bumi punya arti
besar dan harus kupertaruhkan dengan nyawaku! Jika kau bersikeras tak mau
serahkan cambuk itu, bersiaplah menghadapi paksaanku, Suto! Semoga kautahan
menerimajurus-jurusku!"
"Ah, Ki Lumaksono...
ingatlahbahwa...."
Suto belum habis bicara,
tahu-tahu Ki Lumaksono lepaskan serangan dengan sodokan ujung tongkatnya.
Wuuttt...! Gelombang panas melesat dari kepalatongkat dan hendak membungkus
tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi dengan cekatan Pendekar Mabuk berhasil sentakkan
kaki dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali, membiarkan gelombang
hawa panas itu menerkam pepohonan di belakangnya. Zraabb...! Kraakk...!
Se batang pohon besar retak
dalam keadaan mengering seketika Kulit batang hangus dan dedaunannya pun
berhamburan menjadi abu.
"Tahan seranganmu, Ki
Lumaksono!" seru Suto yang tak mau memberikan perlawanan. Tapi tokoh tua
yang satu ini agaknya sudah tak mau dengar lagi alasan apa pun dari mulut
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia sentakkan kakinya ke bumi. Bluug...! Dan
tanah pun bergolak bagai dilanda gempa hebat. Tubuh Suto Sinting yang baru saja
mendarat dari lompatannya terpaksa harus bersalto lagi di udara. Kakinya ditapakkan
pada batang pohon yang sedang miring karena mau tumbang. Dees...! Batang pohon
itu menerima sentakan kaki Suto. Tubuh Pendekar Mabuk melenting kembali ke
udara, tapi pohon itu segera tumbang bagaikan mendapat dorongan keras dari
tenaga amat besar. Bruk!
Baru saja Suto mau jejakkan
kakike bumi, tongkat Ki Lumaksono segera menyambar tubuh Suto dengan gerakan
amat cepat. Wuuttt...! Suto terpaksa memiringkan badan, menghadang bumbung
tuaknya, dan bumbung tuak itulah yang menjadi sasaran tongkat tersebut.
Duaar...!
Ledakan terdengar menggelegar.
Rupanyatongkat itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, sehingga ketika
beradu dengan bambu bumbung tuak yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya itu,
keduanya saling percikkan cahaya merah terang dan gelombang ledakannya membuat
Pendekar Mabuk terpelanting ke samping, jatuh bersimpuh, sedangkan Ki Lumaksono
terlempar bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya membentur pohon yang
berjarak delapan langkah dari tempatnya berdiri. Kepala Ki Lumaksono beradu dengan
batang pohon itu, sehingga bocor di bagian pelipisnya. Darah mengalir ke pipi
dan menetes di pundak Ki Lumaksono.
Tetapi tokoh tua itu masih
belum jera dan segera bangkit tanpa hiraukan darah dari lukanya. Suto sempat
berseru keras,
"Jangan korbankan diri
untuk sesuatu yang tidak ada, Ki Lumaksono! Kalau kau ingin memiliki Cambuk
Getar Bumi, carilah pada orang lain atau di tempat lain!"
"Persetan dengan saran
busukmu itu, Suto Sinting! Kau mau serahkan cambuk itu atau tidak, hah?!"
bentak Ki Lumaksono dengan murkanya.
"Akutidak memegang cambuk
itu!"
Wuuttt...!
Tiba-tiba sinar merah
menyembur dari ujung tongkat Ki Lumaksono. Slaapp...! Gerakan sinar merah lurus
itu sangat cepat. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa menangkisnya dengan bumbung
tuaknya. Pasti sinar merah itu akan berbalik arah menjadi lebih cepat dan lebih
besar lagi kekuatannya Tentu akan menghancurkan tubuh Ki Lumaksono jika orang
tua itu tak bisa menghindarinya Tetapi hal itu dinilai cukup berbahaya bagi
keselamatan jiwa Ki Lumaksono. Karenanya, Pendekar Mabuk bermaksud sentakkan
kaki ke tanah dan melesat ke atas hinggap di dahan sebuah pohon. Tetapi
ternyata keadaan menjadi lain.
Sinar merah itu dihadang oleh
sekelebat sinar biru berbentuk bola yang membuat laju sinar merah terhenti,
lalu terdorong balik ke pemiliknya dalam gerakan meliuk-liuk membingungkan.
Akibatnya, Ki Lumaksono yang terkesiap itu menjadi sasaran sinar merah dan
sinar biru bola itu. Blaarrr...!
Cahaya terang warna putih
memecah menyilaukan di depan mata Suto Sinting. Keadaannya yang sudah di atas
pohon itu membuatnya hampir jatuh karena kaget menerima sentakkan gelombang
ledak yang cukup dahsyat tersebut. Ketika sinar terang itu lenyap, Suto
terbengong di atas pohon mencari-cari perginya Ki Lumaksono. Kejap berikut baru
disadari bahwa Ki Lumaksono sudah menjadi serpihan-serpihan daging hangus yang
tak begitu kentara lagi jika tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
"Gila! Tubuhnya hancur
sebegitu rupa. Pasti bukan karena sinar merahnya sendiri, melainkan karena sinar
biru menyerupai bola juga ikut andil memecah raga Ki Lumaksono. Hmm... sinar
birunya siapa itu tadi?" pikir Suto yang telah turun dari atas pohon. Kini
matanya memandang ke sana-sini mencari si pemilik sinar biru tersebut.
Tiba-tiba sebuah suara datang dari
belakangnya, "Apa yang kau cari anak muda yangtampan?"
Suto bergegas memandang ke
belakang. Ternyata seorang lelaki tua yang jangkung, kurus, berjubah ungu.
Alis, jenggot, dan kumisnya cukup tebal dan berwarna putih. Tetapi kepalanya
berambut tipis, nyaris gundul. Orang itu tak lain adalah Dewa Sengat yang telah
berpencar dengan Muka Besi dan Setan Samudera. Barangkali mereka bertiga punya
jalan masing-masing untuk temukan Cambuk Getar Bumi.
Yang jelas, Suto merasa asing
melihat penampilan tokoh tua itu. Ia belum pernah jumpa sebelumnya, sehingga ia
pun bertanya dengan nada sopan,
" Siapakah engkau, Pak
Tua?'
"Kulihat kau berhasil
memancing muridku hingga bertempur melawan putri Adipati Suralaya itu!"
Suto berpikir sejenak, lalu
segera mengerti maksud si orang tua itu.
"Jadi, kaulah yang
bernama Dewa Sengat, guru dari Putri Kunang?"
"Betul," jawabnya
tegas tanpa senyum, tampak berwibawa sekali. "Kau bukan saja tampan di
wajah, namun juga tampan di otak dan ilmu. Kau punya keunggulan di tiga bidang itu,
Suto. Tak heran jika muridku ragu membunuhmu dan bisa terpancing pertarungan
dengan Delima Gusti! Bagus sekali akalmu itu!" kata-kata yang terakhir
berkesan ketus dan dingin. Suto mulai waspada sekalipun ia tetap tampak tenang.
"Dewa Sengat, tolong peringatkan
kepada muridmu itu agar jangan memburuku terus dengan menganggap akulah
pemegang Cambuk Getar Bumi. Aku tak ingin kehabisan kesabaran pada muridmu yang
cantik itu, Dewa Sengat."
" Justru aku men damp
inginya untuk dapatkan cambuk itu!"
"Kalau begitu kau pun
perlu mengetahui bahwa aku tidak memiliki cambuk itu!"
"Kau tak bisa bohongi
kami!" katanya dengan dingin sekali.
"Aku berani bersumpah.
Kusarankan urungkan niat itu, sebab cambuk tersebut telah terkena kutuk seorang
paderi, bahwa barang siapa menggunakan cambuk itu untuk pertarungan, maka
selamanya si pemegang cambuk akan menjadi orang sesat dan rohnya akan berkelana
masuk ke binatang-binatang menjijikkan. Ingatlah itu, Dewa Sengat!"
Tangan Dewa Sengat menggenggam
di udara. Tangan itu segera ditarik ke dada, genggamannya dibuka, dan seekor
lebah terbang dari dalam genggaman itu. Suto memandang dengan heran, tak
mengerti apa maksudnya.
"Apa maksudnya memamerkan
sihir seperti itu di depanku?" pikir Suto, namun pikiran itu segera
disingkirkan karena Dewa Sengat segera beberkan masalahnya.
"Cambuk Getar Bumi harus
didapatkan oleh muridku; Putri Kunang, karena pada malam purnama nanti dia
harus bertarung melawan Sri Maharatu, kakak tirinya sendiri untuk tentukan
siapa yang berhak menjadi penguasa Pulau Dadap. Kuakui, ilmu yang dimiliki Sri
Maharatu sangat tinggi, ilmu Putri Kunang ada dibawahinya. Sri Maharatu
mempunyai guru yang bernama Pendita Arak Merah. Dia orang terhebat di
pegunungan Tibet. Ilmu dan kesaktiannya yang tinggi nyaris tertuang habis
diwariskan kepada Sri Maharatu."
Suto Sinting tak sadar, seekor
lebah yang tadi lepas dan terbang dari genggaman Dewa Sengat, kali ini hinggap
di tengkuk kepala Suto dan menyengatnya dengan lembut. Hampir-hampir tak terasa
sakit, kecuali hanya rasa gatal. Suto menepiskan tangannya, menggaruk tengkuk
kepala, tapi saat itu lebah sudah pergi entah kemana.
Dewa Sengat lanjutkan bicara,
"Tak ada senjata atau pusaka yang bisa menandingi ilmu dan kesaktian Sri
Maharatu, kecuali Cambuk Getar Bumi. Dan jika Putri Kunang kalah dalam
pertarungan, maka hak warisnya sebagai penguasa Pulau Dadap akan hilang, jatuh
ke tangan kakak tirinya itu. Padahal siapa yang menjadi penguasa Pulau Dadap,
berarti dia juga menguasai Pulau Karun, yaitu sebuah pulau yang menjadi tempat
penyimpanan harta karun, barang-barang rampokan semasa ayah Putri Kunang
menjadi seorang bajak laut. Pulau itu dijaga oleh puluhan harimau putih yang
punya kesaktian tersendiri. Tak seorang pun bisa masuk ke Pulau Karun dan
mengambil barang-barang berharga yang dikubur di sana, kecuali orang yang
menjadi penguasa Pulau Dadap. Sekarang ini...."
Pandangan mata Suto mulai
kabur. Tapi dia masih belum menyadari adanya sesuatu yang telah berpengaruh
pada dirinya. Karena pandangan mata itu kadang tampak kabur, kadang tampak
jelas. Suto menganggapnya itu suatu akibat keletihan biasa, ia masih
mendengarkan penjelasan Dewa Sengat.
"... Pulau Dadap
sebenarnya tidak mempunyai penguasa yang sah. Sri Maharatu mengangkat diri
sebagai penguasa, tapi tidak melalui penobatan secara sah. Para tetua Pulau
Dadap tidak ada yang berani menobatkan Sri Maharatu. Karenanya, Sri Maharatu
tidak bisa masuk ke Pulau Karun, sebab dia akan habis dimakan harimau putih
yang menjaga pulau itu. Sebab itu, para tetua Pulau Dadap terpaksa lakukan cara
yang disetujui oleh Sri Maharatu dan Putri Kunang. Mereka akan bertarung di
malam pumama nanti. Siapa yang unggul, dialah yang berhak menjadi penguasa
Pulau Dadap, dan akan dinobatkan sebagai penguasa secara sah dengan upacara
adat!"
Suto Sinting membatin di
hatinya, "Aduh, kenapa kepalaku jadi pusing sekali? Oh, apa yang terjadi
sebenarnya? Tubuhku terasa lemas dan... dan... oh, aku ingintidur. Akumengantuk
sekali...?!"
Pelan-pelan Suto merendahkan
badan, bahkan duduk bersandar batang pohon. Sementara itu, Dewa Sengat masih
terus bicara dan suaranya hanya menggaung- gaung diterima oleh pendengaran
Suto. Lam bat laun Pendekar Mabuk tak sadarkan diri, ia tertidur dengan nyenyak
tanpamengetahui apayangterjadi sebenarnya.
Dewa Sengat tersenyum tipis
dan dingin, lalu menggumam dengan suara lirih,
"Setinggi apa pun ilmumu,
tak akan bisa menahan jurus 'Lebah Setan'-ku, Pendekar Mabuk. Kau akan tahu
sendiri akibat jurus 'Lebah Setan' jika kau terbangun nanti!"
Dengkur Suto terdengar lirih,
ia benar-benar tertidur dengan nyenyak tanpa rasakan apa-apa lagi. Lebah yang
menyengat tengkuk kepala dan menimbulkan rasa gatal itu telah menyebarkan racun
berbahaya dan mempengaruhi jalan darah yang menuju ke otak. Tentu saja Pendekar
Mabuk tak tahu apa akibat terkena jurus 'Lebah Setan' itu?
***5
RUPANYA, Dewa Sengat tak mau
ada orang lain seperti Ki Lumaksono ikut memperebutkan Cambuk Getar Bumi.
Bahkan bila perlu ia akan singkirkan Setan Samudera yang juga kehendaki cambuk
pusaka itu. Bila nantinya si Muka Besi yang inginkan cambuk itu, bukan hanya
ingin menuntut balas pada pembunuh kakaknya, maka Dewa Sengat pun akan
singkirkan si Muka Besi. Sebab, Delima Gusti sudah berhasil dilumpuhkan olehnya
sebelum menemui Suto Sinting. Tapi Delima Gusti tidak sampai kehilangan nyawa,
perempuan itu hanya larikan diri dan merasa tak mampu hadapi kesaktian Dewa
Sengat.
Ketika Putri Kunang tiba di
tempat gurunya yang sedang pandangi Suto dalam keadaan tertidur itu, Putri
Kunang segera ajukan tanya kepada sang Guru, "Apakah dia sudah mau
serahkan cambuk itu, Guru?"
"Belum. Tapi kita tunggu
saja sampai ia terbangun. Pasti ia akan sebutkan di mana Cambuk Getar Bumi
disembunyikan."
"Tapi hari sudah hampir
petang, Guru. Haruskah kita menunggunya di sini?"
"Memang tidak, muridku.
Kita akan memindahkan Suto ke gua di kaki bukit yang ada di sebelah barat
itu."
Bukit di sebelah barat adalah
anak Gunung Keong Langit. Penduduk di sekitar situ, termasuk penduduk Desa
Pucangan menyebutkan demikian, karena bentuk bukit itu walau berbeda arah namun
menyerupai Gunung Keong Langit. Agaknya Dewa Sengat sudah pernah menjelajahi
bukit itu, sehingga ia tahu persis tentang sebuah gua berlangit-langit tinggi
dan mempunyai tempat yang lebar, sedikit dalam. Bebatuan yang ada di dalamnya
membentuk benteng bagi serangan yang datang dari luar gua. Di sanalah, Suto
Sinting dibawa oleh Dewa Sengat, sementara bumbung tuaknya dibuang oleh Putri
Kunang di jurang yang ada di kaki Gunung Keong Langit.
Sayang waktu itu Suto Sinting
tertidur nyenyak sehingga tak mengetahui di mana bumbung bambu tuaknya dibuang
oleh Putri Kunang. Tetapi, seandainya Suto dalam keadaan sadar dan melihat
bumbung tuaknya dibuang ke jurang, tentunya ia akan marah besar tanpa peduli
yang membuang gadis secantik Putri Kunang, tanpa peduli pembuangan bumbung itu
atas persetujuan dan perintah si Dewa Sengat.
Suto dibaringkan di dalam gua
itu. Wajahtampannya kelihatan semakin menawan dalam keadaan tertidur nyenyak
menurut pendapat Putri Kunang. Tak heran jika gadis itu memandanginya terus
selama sang Guru memeriksa keadaan di luar gua. Bahkan jari-jari lentik Putri
Kunang itu sempat mempermainkan bibir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar.
Rasa iba mulai timbul di hati Putri Kunang. Rasa sesal atas tindakan yang
terpaksa dilakukannya itu meresahkan jiwa Putri Kunang. Ia mengusap-usap rambut
di sekitar kening si pendekar tampan itu dengan kecamuk hati berucap penuh
perasaan.
"Maafkan aku, Sayang. Aku
terpaksa lakukan semua ini karena aku sangat membutuhkan cambuk pusaka itu.
Tapi percayalah, tak ada kebencian sedikit pun di hatiku kepadamu. Kelak jika
aku sudah resmi menjadi penguasa Pulau Dadap, akan kuundang kau sebagai tamu
kehormatan yang menawan hatiku. Ah, sungguh sayang kalau aku harus melukaimu.
Kau tak layak menerima perlakuan seperti ini. Semua kulakukan dengan sangat
terpaksa, tapi kelak akan kutebus dengan kesetiaan jika aku sudah selesaikan
pertarungan dengan Sri Maharatu...."
Dewa Sengat yang ada di luar
gua menjadi terkejut mendengar suara gemuruh di awal petang. Malam akan
melintas dengan rembulan mengintip separo bagian di balik awan. Cahayanya yang
pucat menyiram bumi. Cahaya itu memperjelas penglihatan Dewa Sengat terhadap
kilatan sinar biru berhamburan di langit bagai pasukan petir menyerang bumi.
Kilatan cahaya biru itulah yang menimbulkan gelegar bergemuruh dan
mengguncangkan bumi sampai menggetarkan tanah gua tersebut.
Putri Kunang pun terperanjat
dan bergegas keluar gua. Ia temui gurunya, yang sedang memandang ke arah timur,
lalu ia bertanya dengan nadapelan,
"Ada apa itu, Guru?'
"Celaka!" Dewa
Sengat hanya menggeram dengan nada cemas.
"Bunyi apa yang
bergemuruh tadi, Guru?"
Sang Guru tidak menjawab,
hanya berkata, "Kau tetaplah di sini. Jaga Pendekar Mabuk itu. Jika ia
bangun, cegah dia agar jangan sampai pergi tinggalkan gua. Aku akan ke timur
sebentar"
"Jelaskan dulu apa yang
terjadi, Guru?!" desak Putri Kunang.
"Seseorangtelahmelecutkan
cambuk itu."
"Hah...?!" Putri
Kunang menjadi tegang. "Maksudnya, Cambuk Getar Bumi telah dilecutkan oleh
seseorang di sebelah timur sana?"
"Ya. Kilatan cahaya petir
yang bagai pasukan petir dari langit itu adalah akibat cambuk pusaka tersebut
dilecutkan oleh seseorang di sana."
"Kalau begitu... kalau
begitu Suto Sinting tidak memegang cambuk itu, Guru?"
"Mungkin memang bukan dia
pemiliknya. Tapi mungkin juga seseorang telah mengetahui penyimpanan Cambuk
Getar Bumi dan berhasil mencurinya Aku akan ke sana mencari tahu apa yang
terjadi sebenarnya."
Claap...! Dewa Sengat yang
punya sifat mementingkan kepentingan diri sendiri itu segera pergi dari hadapan
sang murid. Gadis berambut poni dengan tahi lalat di ujung bibir atas sebelah
kiri hanya bisa tertegun bengong dengan kecemasan menyelimuti perasaannya.
"Celaka betul! Kalau
sampai cambuk itu ada di tangan orang yang sukar ditandingi, bisa-bisa aku
gagal menjadi penguasa Pulau Dadap. Padahal kuharapkan cambuk itu ada di tangan
Pendekar Mabuk yang tampan itu. Ah, mudah-mudahan Guru bisa merebut cambuk itu
kalau memang cambuk itu ada di tangan orang lain. Semoga saja dugaan Guru tadi
keliru, bukan cambuk yang dilecutkan tapi benar-benar petir yang berkerilap
menyongsong hujan," celoteh batin Putri Kunang sambil melangkah memasuki
gua.
Namun sesampainya di dekat
Suto yang tertidur pulas, Putri Kunang terkejut setengah mati melihat seekor
ular berkaki empat sedang merayap di samping kanan Suto Sinting. Langkah gadis
itu terhenti, suaranya tak mampu terpekik, karena ular besar itu dikenalnya
sebagai seekor naga.
Sekujur tubuh Putri Kunang
menggigil gemetaran memandangi seekor naga bertanduk sedang mengangkat kepala
menatapnya Asap hitam mengepul dari lubang hidung naga. Lidahnya terjulur-julur
seakan ingin semburkan api. Putri Kunang segera kuasai diri. Pedangnya dicabut
pelan-pelan, tapi ia melangkah mundur pelan-pelan juga. Sampai akhirnya,
setibanya di mulut gua, ia segera lari dengan kecepatan tinggi tak mau
berpaling lagi. Arahnya menuju tempat perginya sang Guru, karena ia bermaksud
melaporkan keadaan Suto yang terancam bahaya oleh seekor naga berkulit kuning
kehitaman.
Putri Kunang terganggu
pandangan matanya. Sebenarnya yang dilihatnya adalah seekor naga, tapi dalam
kenyataan yang ada di samping Suto Sinting adalah bumbung bambu tuaknya.
Bumbung itu memang telah dibuang oleh Putri Kunang ke jurang. Tetapi ia tak
tahu bahwa bumbung bambu itu jelmaan dari mahagurunya Suto, yaitu Eyang
Wijayasura. Gila Tuak saja memanggilnya kakek guru. Dan nama itu tak boleh
disebut sembarangan, karena bisa datangkan badai dan hujan petir yang membuat
langit bagaikan maukiamat.
Tak heran ketika Suto bangun
di pagi hari, ia temukan bumbung tuak masih di sampingnya. Hanya saja, keadaan
Suto sudah berbeda dari biasanya. Suto Sinting mengalami hilang ingatan.
"Benda apa ini? Kenapa
ada di sampingku?" ucapnya heran ketika melihat bumbung tuaknya.
Memandangi gua itu pun ia sangat heran. "Mengapa aku ada di sini? Siapa
yang membawaku ke sini? Untuk apa aku ada di gua ini?"
Suto masih sibuk memperhatikan
bumbung tuaknya, ia benar-benar tak mengerti bumbung tuak itu untuk apa. Ketika
dibuka penutupnya, ia mencium bau aroma tuak. Ia merasa asing dengan aroma
tuak, sehingga hidungnya mendengus tak suka mencium bau tuak.
Maka ketika ia bergegas pergi
meninggalkan gua, bumbung tuak itu ditinggalkannya pula. Ia melangkah tanpa
tujuan dan serba heran memandangi alam sekitarnya, iatak tahu ada di mana saat
itu.
Namun ketika ia berhenti dan
menoleh ke belakang, ternyata bumbung tuak itu tergeletak tak jauh dari kakinya
berpijak. Hanya saja, Suto tak mau hiraukan bumbung tuak itu, sehingga ia
melangkah kembali tanpa membawa serta bumbung tuak tersebut, ia tak tahu kalau
bumbung tuak itu selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi, seakan seorang teman
yang amat setia mengikutinya.
"Perutku lapar sekali.
Mau makan apa aku ini? Di mana ada desa? Di mana ada kedai? Oh, mungkin itu
sebuah kedai," Suto mendekati tempat yang diduga sebuah kedai, ternyata
hanya pepohonan bercabang rendah yang dahan-dahannya mengembang bagaikan
payung. Jaraknya tak jauh dari tanah. Tapi Suto menggerutu,
"Uuh...tak adapenjualnya.
Mungkin masih tidur."
Rupanya sengatan Lebah Setan
itu membuat Suto menjadi linglung, lupa ingatan, lupa tentang apa saja yang
pernah dialaminya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah cambuk. Terbayang bentuk
cambuk, dan mulutnya mengucapkan kata cambuk berulang kali dengan pelan.
Sengatan lebah itu mempunyai racun yang membuat seseorang hanya ingat pada satu
benda, yaitu benda yang sedang dipikirkan pada saat Lebah Setan itu menancapkan
sengat beracunnya.
"Cambuk... cambuk..., ya
cambuk...! Cambuk apa namanya? Oh, ya... namanya Cambuk Getar Bumi. Siapa
pemiliknya? Ya, cambuk! Pemiliknya ya cambuk itu sendiri. Hmm... enaknya
lapar-lapar begini makan cambuk saja. Pasti gurih!"
Suto tersenyum-senyum sambil
jalan melenggang. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ki Rosowelas, si pemilik
kedai yang tinggal di Desa Pucangan, di mana Suto pernah bermalam di rumah Ki
Rosowelas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu
Malam"). Waktu itu, ternyata Suto sudah sampai di perbatasan Desa Pucangan,
tapi ia tidak mengenali desa itu.
"Suto...! " tegur Ki
Rosowelas yang waktu itu baru pulang dari mencari kayu bakar, ia memikul kayu
bakar dan meletakkannya ketika melihat Suto jalan melenggang memasuki
perbatasan desa. Namun teguran itu tidak dibalas oleh Suto Sinting. Ki
Rosowelas hanya dipandanginya dengan dahi berkerut, seolah-olah merasa heran,
merasa baru kali itu bertemu orang berusia enam puluh tahun itu. Ki Rosowelas
sendiri mulai heran melihat sikap Suto.
"Suto, Bandar Hantu Malam
telah dibunuh oleh seseorang, apakah kau sudah mengetahuinya?"
"Hantu? Di mana ada
hantu?" Suto agaktegang.
"Bandar Hantu
Malam!" tegas Ki Rosowelas.
"Ah, biar saja hantu
muncul malam hari. Itu memang sudah pekerjaannya," Suto bersungut-sungut
dan hendak pergi. Ki Rosowelas segera menahannya karena rasa heran
kianmeninggi.
"Suto, mengapa kau
bicaranya tak karuan begitu? Ada apa sebenarnya?!"
"Suto, Suto...! Kau ini
bicara kepada siapa, PakTua?"
Ki Rosowelas bingung dan
terbengong-bengong. Suto segera berkata,
"Kalau ada hantu muncul
malam hari, harus segera dicambuk!"
Ki Rosowelas tidak menjawab,
tidak berkata apapun. Tapi hatinya segera membatin, "Sepertinya dia
mengalami keanehan. Dia seperti bukan Suto yang dulu datang dan bermalam di
rumahku. Tapi... tapi wajahnya adalah wajah Suto Sinting, yang pernah kalahkan
bayangan hitam alias Nyai Sedah itu?!"
Sambil memikul kayu bakarnya,
Ki Rosowelas mengejar Suto. Mendekati rumah penduduk desa pertama, Suto
tersusul. Ki Rosowelas terengah-engah dan menghadang langkah Pendekar Mabuk.
Pemuda itu berhenti dan memandang dengan bersungut-sungut. Ki Rosowelas segera
berkata,
"Suto, apakah kau tak
ingat padaku?"
"Apakah kau yang bernama
Cambuk Getar Bumi?!"
"Aduh! Mengacau sekali
bicaramu! Aku adalah Ki Rosowelas, bapak Sundari!"
"Sundari itu... pemilik
cambuk?"
"Aaah...!" Ki
Rosowelas jengkel, menghentak- hentakkan kakinya seperti anak kecil.
"Sundari itu anakku!"
"Jadi... anakmuitu
cambuk?"
Ki Rosowelas tarik napas
dalam-dalam, garuk-garuk kepalasebentar, iamenggumam bernada gerututak jelas.
Suto Sinting memperhatikan dengan bingung. Lalu pemuda itu berkata,
"Minggirlah. Jangan
halangi langkahku. Aku mau cari makan!"
"Makanlah di kedaiku!
Mari...!"
"Apakah di kedaimu ada
makanan cambuk?"
"Cambuk lagi, cambuk
lagi!!" geram Ki Rosowelas. Luar biasa jengkelnya, tapi luar biasa pula
bingungnya menghadapi keanehan Pendekar Mabuk. Tak peduli keadaan pikunnya
Suto, Ki Rosowelas segera membawa pemuda itu ke kedainya. Waktu itu, kedai
sedang ditunggui oleh Sundari, anak gadisnya yang berkulit hitam manis dan
pernah menaruh hati kepada Suto. Melihat kedatangan Suto, wajah gadis desa itu
berseri- seri menyambutnya. Tapi Suto Sinting bingung menghadapi gadis manis
itu dan dahinya berkerut tajam seraya bertanya,
"Kau siapa?'
"Masa lupa? Aku
Sundari!"
"Sun... dari... dari
mana?" tanya Suto bingung.
"Bapak... kenapa dia ini,
Pak?" tanya Sundari kepada Ki Rosowelas.
"Itulah yang membuatku
bingung sejak tadi. Dia seperti orang gila!"
Suto berkata lantang,
"Aku lapar ..!"
"Mau makan?! Maumakan, ya?!"
tawar Sundari.
Suto mengangguk-angguk.
"Ya. Makan."
"Lauknyapakai apa?"
"Cambuk!" jawab
Suto. Sundari terbengong dan memandangi bapaknya "Dari tadi yang
disebutkan hanya cambuk," kata Ki Rosowelas. "Jangan-jangan dia
kesurupan. Coba ambilkan bawang putih di dapur, Sundari!"
Sundari bergegas ke dapur
dengan hati sedih dan cemas. Tapi Suto berkatakepada Ki Rosowelas,
"Hei, Pak Tua...! Mana
enak makan cambuk pakai bawang putih?!"
Waktu itu di kedai hanya ada
satu pembeli, yaitu seorang lelaki berpakaian serba hitam, usianya sekitar tiga
puluh tahun lewat sedikit. Lelaki itu memperhatikan Suto, sesekalitersenyum
geli mendengar kata-kata Suto. Tapi baik Ki Rosowelas maupun Suto tak peduli
dengan tamu yang sedang makan itu.
"Pak Tua, kalau kau mau
hidangkan cambuk dengan bawang putih, aku tidak mau makan. Tapi kalau diberi
garam sedikit, aku mau makan. Cambuk Getar Bumi enaknya dicocol pakai garam,
dimakan mentah-mentah. He he he he...!"
Ki Rosowelas bermaksud
memborehkan bawang putih ke dahi Suto, juga dibagian jempol kakinya. Karena
menurutnya cara mengusir setan yang masuk dalam tubuh manusia kesurupan dengan
memborehkan bawang putih yang sudah dikunyahkan. Tetapi pada waktu itu Suto
Sinting justru menendang Ki Rosowelas karena tak mau menerima borehan bawang
putih. Untung tendangannya tak seberapa keras, sehingga Ki Rosowelas
hanyajatuhterjengkangke belakang.
"Dasar bodoh kau, Pak
Tua! Jempol kakiku tidak lapar! Kenapa mau kau beri bawang putih?! Yang lapar
perutku!" ia menepuk-nepuk perut. "Aku mau makan! Makan pakai Cambuk
Getar Bumi!" bentak Suto, sangat memprihatinkan Ki Rosowelas dan Sundari.
Bahkan Sundari sempat menangis duka dan meratap di pundak ayahnya dengan suara
lirih.
"Dia telah gila, Pak...!
Dia tidak ingat kita lagi...!" Suto akhirnya mencaplok apa saja yang
tersaji di meja. Sikapnya yang gagah dan sopan sebagai seorang pendekar sudah
tidak ada lagi padanya. Bahkan setelah mencaplok makanan hingga perut terasa
kenyang, Suto pergi meninggalkan kedai Ki Rosowelas tanpa pamit kepada Sundari
maupun bapaknya.
Mereka tak berani menarik
kembali, selain hanya merasakan sedih melihat seorang pendekar yang dulu
dikaguminya, kini menjadi gila dan lupa akan diri mereka. Sundari menangis
dalam pelukan ayahnya, sampai-sampai mereka lupa menagih uang kepada orang
berpakaian serba hitam yang tadi makan di situ. Mereka biarkan orang itu pergi
begitu saja, walau sempat memasukkan kerupuk ke dalam sarung yang melilit
dipinggangnya.
Bumbung bambu itu mengikuti
terus dari belakang. Tapi Suto sama sekali tak mau pedulikan bumbung bambu itu.
Ia melangkah ke mana kakinya ingin melangkah. Tak punyatujuan dan arah.
Sementara itu, di suatu tempat
di sekitar bukit cadas yang tak begitu tinggi itu, terjadi sebuah pertarungan
sengit antara Muka Besi dan seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun yang masih tampak cantik dan menggairahkan bentuk tubuhnya.
Perempuan itu kenakan pakaian
putih dengan dirangkap jubah biru muda, serasi dengan warna kulitnya yang
kuning langsat. Pakaian putihnyahanya menutup sampai bagian dada, tepiannya
dililit benang emas, sehingga belahan dadanya terlihat menantang dipandang
setiap lelaki. Perempuan berambut panjang dengan sanggul di tengahnya berhias
bunga mawar merah itu kelihatan kalem-kalem saja menghadapi Muka Besi.
Di pinggangnya terselip cambuk
berwarna hitam dengan gagang berhias benang-benang merah sebagai ronce-
roncenya. Bagian ujung cambuk tampak nyala sinar biru berpijar-pijar bagaikan
sinar kunang-kunang. Jika malam terlihat dengan jelas sekali.
Muka Besi memperhatikan
lawannya dengan mata tak berkedip, bukan tertarik pada kecantikannya, melainkan
tertarik pada cambuk si perempuan itu, sebab ia tahu cambuk itu adalah cambuk
pusaka milik Bandar Hantu Malam. Itulah yang dinamakan Cambuk Getar Bumi.
Rupanya perempuan cantik itulah yang berhasil mendapatkan Cambuk Getar Bumi
dengan cara membunuh Bandar Hantu Malam.
"Jadi memang kaulah
pembunuh kakakku itu, Sri Maharatu?!"
Perempuan yang ternyata adalah
Sri Maharatu itu sunggingkan senyum sinis kepada Muka Besi. Suaranya yang
bening segera terdengar jelas di telinga si Muka Besi,
"Benar, Muka Besi. Dan
tentunya aku tidak sendirian. Aku bekerja sama dengan musuh lama kakakmu, yaitu
Nyai Pancungsari. Dia memperoleh kalung merah milik kakakmu itu dan aku
memperoleh Cambuk Getar Bumi yang kala itu sudah di tangannya dan ingin
dilecutkan ke tubuh Nyai Pancungsari."
"Kalau begitu sepantasnya
kau mati menebus nyawa kakakku!" geram Muka Besi.
"Kita lihat saja siapa
yang mati, kau atau aku. Tapi kusarankan, jika ingin panjang umur, tinggalkan
aku dan jangan dekati lagi aku! Karena aku bisa bikin kau seperti Tiga Utusan
Lereng Iblis itu. Barangkali kau melihatnya semalam, atau setidaknya kau
menemukan mayat mereka di perjalanan."
"Ya. Sudah kuduga Tiga
Utusan Lereng Iblis itu terbunuh oleh Cambuk Getar Bumi. Tapi yang kuburu bukan
cambuk itu, melainkan hutang nyawa yang harus kautebus dengan nyawajuga, Sri
Maharatu!"
"Kalau kau keras kepala,
aku tak segan-segan pergunakan cambuk ini!"
"Persetan dengan
ancamanmu! Heaah...!" tokoh tua itu segera lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Kedua tangannya yang berjari rapat dan lurus itu dilipat ke dalam lalu
disentakkan ke depan dalam keadaan telapak tangan tengkurap. Dari ujung-ujung
jari tangan itu keluar sepuluh larik sinar putih menyilaukan yang serempak
menyerang tubuh Sri Maharatu. Zraaabb...!
Murid Pendita Arak Merah dari
Tibet itu hanya diam saja, tapi kedua tangannya saling beradu di depan dada.
Sinar biru keluar menyebar dari perpaduan telapak tangan di depan dada. Semasa
telapak tangan itu masih saling menempel, sinar biru itu membentuk perisai
didepannya, sehingga sinar putih yang terdiri dari sepuluh larik itu ditahan
oleh sinar biru tersebut. Zruub...!
Tak ada bunyi ledakan apa pun.
Kedua sinar sama- sama padam. Tapi sepuluh jari tangan Muka Besi menjadi
melepuh dan mengeluarkan asap. Muka Besi menahan rasa sakit itu dengan
menggeletukkan gigi, hingga tubuhnya gemetaran dan keringat dinginnya mengucur
dari kulit kepala. Napasnyatertahan berulang- ulang yang mengakibatkan ia
terengah-engah dicekam murkanya.
Sri Maharatu hanya sunggingkan
senyum sinis.
"Cambuk Getar Bumi belum
kugunakan, kau sudah kewalahan melawanku, Muka Besi! Karena itu kusarankan
sekali lagi, pergi dan tinggalkan aku selamanya!"
"Keparat!" geram
Muka Besi, lalu tiba-tiba tubuhnya melayang cepat bagaikan seekor singa hendak
menerkam mangsanya. Wuuuttt...! Kedua telapak tangannya membara merah dan
berasap. Bau besi terbakar menyebar ke mana-mana.
Sri Maharatu rendahkan badan
dengan menarik kaki kanannya ke belakang dan melipat lutut kirinya sedikit,
lalu telapak kanannya yang terbuka di samping dan menghadap ke depan itu
keluarkan sinar biru yang berbentuk seperti anak panah berukuran kecil dan
pendek.
Claappp...!
Sinar biru itu ditahan dengan
telapak tangan kanan Muka Besi yang telah membara dan berasap. Duaarr...!
Ledakan cukup kuat terjadi, gelombang hawa panas menyentakkan tubuh Sri
Maharatu hingga perempuan itu terpelanting dan badannya nyaris berputar dua
kali. Ia sempoyongan dan berpegangan batang pohon. Sedangkan Muka Besi masih
tetap tegar, menapakkan kakinya di tanah dengan mantap. Matanya memandang tajam
pada lawannyayangterdesak.
Muka Besi tak mau beri
kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Sebelum Sri Maharatu berdiri
tegak, Muka Besi sudah lebih dulu lepaskan pukulan jarak jauh bersinar hijau
bening dari dua jari tangannya yang bengkak itu.
Claapp...!
Sinar itu melesat cepat
melebihi anak panah lepas dari busur. Sasarannya adalah dada Sri Maharatu.
Tetapi perempuan itu segeratarik jubahnya dan menghadang ke depan dada.
Deeb...! Sinar hijau tertahan, lalumembalik arah kepada si Muka Besi. Tentu
saja Muka Besi menjadi panik sesaat, ia melompat menghindari sinarnya sendiri.
Blaarrr...! Gugusan batu cadas
menjadi sasaran sinar hijau itu. Batu tersebut bukan hanya hancur, namun
menjadi serbuk lembut yang menggunduk di tempatnya. Sedangkan Sri Maharatu tak
sabar, segera pergunakan cambuk pusaka itu. Ia lecutkan cambuk ke tanah.
Taarrr...! Blegaarrr...!
Tanah berguncang hebat. Tempat
yang terkena ujung cambuk itu terbelah sampai pada tempat berdiri Muka Besi.
Tubuh Muka Besi tersedot masuk ke dalam belahan tanah dengan cepat, tanpa bisa
lakukan gerakan apa pun, sehingga suara pekiknya menggema di dalam tanah, dan
tanah itu pun terkatup merapat kembali seperti sediakala. Sri Maharatu
sunggingkan senyum melihat Muka Besi terkubur dalam tanah bagaikan ditelan
bumi.
** 6
TERNYATA tanpa disadari oleh
Sri Maharatu, ada sepasang mata yang memperhatikan pertarungannya dari
kejauhan. Sepasang mata itu tak lain milik anak Adipati Suralaya; Delima Gusti.
Perempuan ini setelah berhasil atasi luka dalamnya akibat pukulan Dewa Sengat,
segera berkeliaran lagi memburu cambuk pusaka tersebut.
Dialah orang pertama yang
melihat Cambuk Getar Bumi ternyata ada di tangan Sri Maharatu. Kesempatan itu
diluar dugaannya sendiri, saat ia selesai sembuhkan luka dalamnya dengan semadi
gantung; kaki di atas kepala di bawah, tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah
kaki manusia berlari, ia mengikuti langkah kaki itu, ternyata tiga orang utusan
dari Lereng Iblis. Mereka mengejar Sri Maharatu dan akhirnya Delima Gusti
melihat sendiri bagaimana Sri Maharatu menumbangkan tiga utusan tersebut dengan
menggunakan cambuk itu.
Sejak itulah Delima Gusti
mengikuti gerak langkah Sri Maharatu, sambil berpikir bagaimana cara mencuri
cambuk tersebut. Karena menurutnya, tak mungkin ia bisa rebut cambuk itu dengan
pertarungan. Tanpa cambuk itu saja Sri Maharatu akan unggul melawannya, apalagi
dengan cambuk di tangannya.
Delima Gusti hanya bisa
membayang-bayangi gerakan Sri Maharatu yang menurut dugaannya menuju ke pantai
dan ingin kembali ke Pulau Dadap. Tetapi di perjalanan, Sri Maharatu diserang
oleh Muka Besi. Serangan itu hampir saja kenai Delima Gusti yang bersembunyi di
tempat jauh. Delima Gusti sudah menduga, si Muka Besi akan tumbang di tangan
Sri Maharatu. Dugaan itu timbul setelah Delima Gusti melihat Kipas Racun Peri
yang menjadi senjata andalan Muka Besi jatuh terlepas karena pukulan tenaga
dalam Sri Maharatu. Kipas itu hancur berkeping-keping, sehingga tak bisa
digunakan lagi. Namun si Muka Besi tetap berlari mengejar Sri Maharatu ketika
Sri Maharatu enggan melayaninya.
Pertarungan kedua Muka Besi
dengan Sri Maharatu semakin membuat Delima Gusti merasa ngeri berhadapan dengan
Sri Maharatu, sekali pun perempuan itulah yang ada di dalam dendamnya. Delima
Gusti hanya berani hadapi Sri Maharatu jika Cambuk Getar Bumi ada di tangannya.
Kini ia berpikir, dengan cara apa ia bisa memiliki cambuk itu? Tipuan dan
kelicikan apa yang harus dipergunakan, agar Cambuk Getar Bumi jatuh ke
tangannya dan ia bisa melampiaskan dendamnya kepada Sri Maharatu?
Renungannya di atas pohon
terhenti manakala ia melihat Suto Sinting melangkah dengan santainya. Tiba-
tiba di dalam otaknya terpetik gagasan untuk memanfaatkan Pendekar Mabuk tanpa
peduli harus membujuk dan merayunya lebih dulu. Maka, Delima Gusti pun segera
turun dari tempat pengintaiannya, karena pada saat itu Sri Maharatu sedang
terlibat pembicaraan dengan orang-orang desa yang akan dijadikan orang upahan
sebagai pendayung perahunya nanti.
Melihat kemunculan Delima
Gusti yang cantik dan bertubuh menggairahkan itu Suto hanya tersenyum
menyeringai. Senyumnya itu berkesan malu-malu kucing. Sikap itu telah membuat
Delima Gusti mulai curiga, namun kecurigaannya disembunyikan rapat-rapat di
dalam hatinya.
"Mana bumbung tuakmu,
Pendekar Mabuk?" tanya Delima Gusti melihat Suto tanpa membawa bumbung
tuaknya. Suto hanyatersenyum-senyum norak.
"Apakah aku pantas
berjuluk Pendekar Cambuk?!"
"Aku menyebutmu Pendekar
Mabuk! Bukan Pendekar Cambuk?!"
"Namamu siapa,
Bibi?"
Delima Gusti kian berkerut
dahi. Ia belum bicara, Suto sudah menduluinya,
"Cantik sekali wajahmu,
Bi. Apakah kau sudah punya suami? Kalau belum, kusarankan bersuamilah Cambuk
Getar Bumi. Hidupmu akan bahagia dan indah."
"Aneh. Kenapa ia
bicaranya seperti itu?" pikir Delima Gusti. Matanya masih memandangi Suto
yang cengar- cengir, ia menghardik untuk mengembalikan sikap Suto yang tidak
sepantasnya dimiliki seorang pendekar kondang.
"Hei...! Sadar,
Suto!"
Suto Sinting terlonjak kaget,
lalu punya rasa takut yang tercermin dari wajahnya. Delima Gusti menatap
kiantajam, Suto tunjukkan kepala tan da takut.
"Pandanglah aku!"
Suto menggeleng dengan tetap
menunduk takut.
"Pandanglah aku, Suto!"
gertak Delima Gusti. Tapi Suto bahkan melarikan diri kembali arah. Delima Gusti
semakin penasaran melihat sikap Suto seperti itu. Ia segera mengejarnya dan
tahu-tahu menghadang di depan Suto Sinting. Pemuda tampan itu segera mundur
dengan wajah tegang, tubuhnyamerapat di sebuah pohon.
"Aku Delima Gusti! Kenapa
kau takut padaku seperti itu? Apakah kautak ingat siapa diriku?"
Suto gelengkan kepala dengan
wajah menyedihkan.
"Aku Delima Gusti! ingat,
aku yang pernah mengejarmu dan mendugamu sebagai pemilik Cambuk Getar Bumi! Aku
yang kau kejar-kejar saat di telaga karena membunuh anak buahku sendiri yang
akan buka rahasia tentang siapa yang menyuruhnya menyerang Putri Kunang! Apakah
kau masih tak ingat?"
Suto menggeleng lagi dengan
wajah kian tampak menyedihkan.
Delima Gusti membatin,
"Rupanya dia lupa ingatan. Siapa yangtelah membuatnya begini?"
Perempuan itu kembali mencoba
bertanya, "Siapa namamu?"
Pemuda tampan seperti pendekar
bego, hanya gelengkan kepala saja.
Delima Gusti menggertak,
"Siapanamamu?!"
"Ent... entah....
Namaku... namaku...?" Suto berpikir sejenak, tampak susah payah
mengingat-ingat namanya. "Namaku... hmm... namaku Cambuk! Ya, Cambuk Getar
Bumi!" karena memang hanya nama itu yang diingatnya
Delima Gusti geleng-geleng
kepala, merasa sangat heran. Suto ikut geleng-geleng kepala, benar-benar
seperti orang yang amat bodoh.
"Pasti ada seseorang yang
membuatnya menjadi gila seperti ini. Masa dengan namanya sendiri sampai lupa
begitu? Parah sekali keadaannya!" pikir Delima Gusti, kemudian ia bersikap
lunak karena tahu bahwa Suto akan ketakutan jika dibentak-bentak. Delima Gusti
sunggingkan senyum ramah, ia dekati Pendekar Mabuk yang tundukkan kepala
kembali. Matanya sebentar- sebentar melirik ke depan dengan takut-takut.
Dagunya diangkat pelan-pelan oleh Delima Gusti. Wajah itu terdongak dan
dipandanginya dengan lembut. Rasa takut Suto berkurang.
"Dengar, namamu adalah
Suto Sinting! Suto Sinting!" Delima Gusti menjelaskan dengan suara tegas.
Suto memperhatikan gerakan bibir perempuan itu. Matanya memandang tak berkedip
bagai penuh kekaguman.
"Namamu adalah Suto
Sinting! Gelarmu Pendekar Mabuk! Jelas? Pendekar Mabuk! Coba tirukan... Suto
Sinting, Pendekar Mabuk. Ayo, tirukan...! Suto Sinting.Suto...."
Pemuda bertampang bego itu
justru memegang bibir Delima Gusti bagaikan menangkap seekor kupu-kupu, pelan,
pelan, pelan... cup! Bibir dipegang.
"Puih...!"
Suto terkejut, tangannya
ditarik mundur dengan takut.
"Disuruh menghafal
namanya malah bibir orang diobok-obok!" gerutu Delima Gusti dengan
jengkel. Diam-diam dia menaruh rasa iba dan sangat prihatin melihat keadaan
Suto Sinting. Rasa iba itu dipendam dalam hati, namun sikapnyayang menjadi baik
dan ingin mengembalikan ingatan Suto merupakan cermin dari rasa iba hatinya.
"Apakah seluruh kesaktiannya
juga hilang?" pikir Delima Gusti ketika ia termenung beberapa saat
lamanya, dan membiarkan Suto bermainkan jubah merah jambunya. "Sebaiknya
kucoba gerakan silatnya apakah masih ada. Jika hilang sama sekali, berarti
pemuda ini benar-benar parah dan layak dilindungi."
Delima Gusti tiba-tiba
berkelebat menampar Suto Sinting. Plokkk...! Suto terpekik kesakitan dan mundur
beberapa langkah dengan mengusap-usap pipinya .
"Lawan aku! Ayo, lawan
aku...!" kata Delima Gusti. Kemudian kakinya berkelebat menendang dada
Suto tanpa tenaga dalam. Wuuttt...! Duugg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh
dan memekik tertahan.
"Uuhg...!" ia
menyeringai kesakitan memegangi dadanya.
"Lawan aku! Kalau kau tak
mau melawanku, kau bisa kehilangan nyawa! Ayo, lawan aku, Suto...!" dan
kakinya pun menendang, kali ini tendangan sengaja di arahkan ke samping telinga
Suto. Ia hanya ingin memancing gerakan naluri seorang pendekar untuk menangkis
tendangannya. Tapi tendangan yang dipelesetkan ke arah kiri itu justru di luar
dugaan membuat Suto bergerak ke kiri dan akhirnya wajah Suto jadi sasaran kaki
Delima Gusti. Plokkk...!
"Uuffh...!" Suto
memejamkan mata dan merunduk sambil menutupi wajahnya
"Astaga!" Delima
Gusti segera meraih Suto dan memeluknya. "Maaf, maafkan aku! Kalau ada
orang menendang ke kiri jangan bergerak ke kiri, kau menghindar ke kanan, jadi
tendanganku tidak akan kenai wajahmu!" Delima Gusti menyesal. Tendangannya
tadi agak keras. Sekalipun tanpa tenaga dalam namun membuat bibir Suto sedikit
bengkak.
Delima Gusti merangkulnya
untuk menunjukkan sikap bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud menyakiti Suto.
Hatinya pun berkata,
"Ternyata gerak nalurinya
pun tak mampu diingat lagi. Ia kehilangan ilmu-ilmunya dan menjadi manusia
tanpa kekuatan apa pun. Kasihan sekali. Padahal orang banyak yang mengincarnya
dan menduga ia sebagai pembunuh Bandar Hantu Malam, sekaligus pencuri Cambuk
Getar Bumi. Padahal pembunuh dan pencurinya adalah Sri Maharatu sendiri. Kalau
saja tak kudengar pengakuan Sri Maharatu kepada si Muka Besi, mungkin sampai
saat ini aku masih menduganya sebagai pembunuh dan pencuri."
Hati perempuan itu punya
kekhawatiran besar terhadap jiwa Suto Sinting. Sebab ia yakin, jika orang-
orang pemburu Cambuk Getar Bumi bertemu dengan Suto, pasti mereka anggap Suto berpura-pura
gila, atau segera menyerangnya dengan jurus maut, karena mereka tahu bahwa Suto
orang berilmu tinggi. Mereka tak tahu kalau Suto sudah kehilangan ilmunya dan
menjadi linglung.
Niat untuk memperdaya Sri
Maharatu dengan memanfaatkan Suto akhirnya dibatalkan. Delima Gusti justru
berpikir mencari cara untuk sembuhkan Pendekar Mabuk, atau setidaknya
menyembunyikan si tampan itu agar aman dari serangan orang-orang pemburu Cambuk
Getar Bumi.
Namun niat itu pun belum
sempat terlaksana, karena pada saat itu Suto Sinting segera diserang oleh
seseorang dengan menggunakan sinar merah yang menyerupai lemparan senjata
rahasia. Claapp...! Untung kewaspadaan Delima Gusti cukup tinggi. Kilatan
cahaya merah itu tertangkap oleh ekor matanya. Tubuh Pendekar Mabuk segera
ditariknya merapat ke tubuh, lalu Suto diajaknya jatuh berguling. Dengan begitu
sinar merah itu kenai pohon yang ada di seberang sana.
Duaarr...! Pohon itu pun pecah
terbelah menjadi dua, masing-masing tumbang ke kiri dan ke kanan dengan
timbulkan bunyi gemuruh.
Delima Gusti cepat membawa
Suto berlindung di balik pohon. "Kau tetap di sini! Jangan ke mana-mana! .
Ada orang yang ingin
membunuhmu. Mengerti?!"
Suto mengangguk-angguk dengan
wajah tegang penuh rasa takut. Delima Gusti segera lemparkan pandang ke arah
semak-semak tempat datangnya sinar merah tadi. Tak ada gerakan di sana.
Tampaknya sepi- sepi saja, tanpa ada seorang pun yang bersembunyi di balik
semak-semak.
Gerak naluri Delima Gusti
seakan perintahkan kepalanya untuk berpaling ke belakang, ternyata saat itu
sedang melesat sinar merah seperti tadi yang datang berlawanan arah. Sinar itu
kini terarah ke punggung Delima Gusti, sehingga ketika ia berpaling, sinar itu
tepat menuju ke dadanya
Wuutt... !
Delima Gusti cepat sentakkan
tangan kirinya ke depan dan dari telapak tangan kirinya yang sikunya ditopang
tangan kanan itu melesatlah sinar biru berpendar-pendar dan menghantam sinar
merah itu. Wuusss... !
Blaarr... !
Ledakan timbul dengan dahsyat.
Tubuh Delima Gusti tersentak mundur tiga langkah dengan kedua tangan tetap
bertahan di dada. Sedangkan tubuh Suto terlempar sejauh enam tombak dan
mengerang di sana dalam keadaan terkapar menyedihkan.
Pada saat itu, Delima Gusti
segera melihat sekelebat bayangan berpindah tempat, dari tempat datangnya sinar
kedua ke sisi lain lagi. Delima Gusti segera cabut cincin bergerigi di ujung
gagang pedangnya, lalu melemparkannya dengan lemparan miring. Ziingng...!
Wesss... !
Duaar...! Bunyi ledakan timbul
kembali ketika cincin bergerigi itu disambut oleh pukulan bersinar putih.
Cincin bergerigi itu hancur berkeping-keping sebelum sampai padatempatnya.
Kejap berikutnya sesosok tubuh
melompat bersalto dari arah datangnya pukulan sinar putih. Seorang lelaki tua
berdiri menghadap ke arah Suto Sinting, tapi matanya memandang kepada Delima
Gusti. Mata perempuan itu terkesiap sejenak mengingat wajah tokoh tua berjubah
merah. Setelah ingat siapa tokoh itu, ia segera bergumam dengan nada geram.
"Setan Samudera!"
Orang kurus berwajah angker
dengan rambut putih botak depan itu memang Setan Samudera. Ia sengaja menyerang
Suto dengan sinar merahnya, karena ia sangka pendekar sakti itu masih berilmu
tinggi. Jika Suto masih berilmu tinggi, maka serangan sinar merahnya tadi hanya
akan melumpuhkan saja tidak akan menghancurkan tubuh bertenaga dalam tinggi, ia
tak tahu, seandainya sinar merahnya tadi mengenai dada Suto, maka pemuda itu
pun akan hancur terbelah menjadi dua bagian seperti pohon yang bernasib malang
itu.
Kini melihat Suto terkapar
dengan erangan kecil, Setan Samudera sedikit heran dan menyangka kekuatan Suto
sebagai pendekar terkenal di rimba persilatan hanya sampai di situ saja. Setan
Samudera tidak mau menyia- nyiakan waktu, ia bergegas ingin memaksa Suto untuk
serahkan Cambuk Getar Bumi. Namun ketika ia melangkah satu tindak, Delima Gusti
kirimkan pukulan bersinar merah dari tangan kanannya. Claap...! Sinar itu
sengaja diarahkan di depan kaki Setan Samudera. Duaarr...! Setan Samudera
bergerak mundur dan tanah menjadi berlubang, sebagian tanah menyembur ke atas
menyebarkan debu.
Delima Gusti melangkah dekati
Suto dengan mata pandangi Setan Samudera. Sebaliknya, si wajah angker pun tatap
mata perempuan itu dengan tajam dan tak berkedip, ia kelihatan menyimpan
kemarahannya kuat- kuat.
"Jangan coba-coba menyentuh
pemuda tak berdaya ini!" kata Delima Gusti. "Dia bukan tandinganmu
untuk saat ini, Setan Samudera! Dia kehilangan segala- galanya, dan akulah yang
menjadi pelindungnya."
"Kebetulan sekali kalau
dia kehilangan segala- galanya, aku akan mudah memaksanya menyerahkan cambuk
pusaka warisan orangtuaku itu!"
"Cambuk Getar Bumi tidak
adapadanya!"
"Tahu apa kau, Perempuan
Ganjen!" hardik Setan Samudera. "Kau pikir dia akan jatuh cinta
padamu jika kau perlihatkan kesetiaanmu di depannya?! Hmm...! Pemuda seperti
dia tak pernah punya cinta yang tulus. Dia pemuda mata keranjang yang mudah
jatuh di pangkuan wanita mana pun!"
"Itu bukan urusanmu,
Setan Samudera! Kalau kau inginkan Cambuk Getar Bumi, pergilah ke pantai,
cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu, orang Pulau Dadap! Kulihat sendiri
kehebatan cambuk itu saat memangsa korbannya; si Muka Besi!" kata-kata
tersebut ditekankan, sehingga Setan Samudera terperanjat dengan mata sedikit
menyipit sangsi.
"Kau ingin mengelabuiku,
Perempuan Ganjen?!"
"Tua bangka, kalau kau
tak percaya, pergilah ke arah pantai. Temui Sri Maharatu sebelum dia
menyeberang dengan perahunyamenuju Pulau Dadap. Kalau kau tetap di sini, kau
akan kecewa, dan aku pun kecewa sekali jika cambuk pusaka itu jatuh ke
tangannya. Sebab dengan begitu, aku tidak akan bisa melampiaskan dendamku
kepada Sri Maharatu. Jelas aku akan kalah jika ia menggunakan Cambuk Getar
Bumi!"
Setan Samudera belum berkedip
dalam menatap Delima Gusti, tapi hatinya bicara pada diri sendiri,
"Sepertinya dia berkata
yang sebenarnya. Aku tahu, dia anak Adipati Suralaya. Orang kadipaten punya
persoalan sendiri dengan orang Pulau Dadap. Wajar jika ia merasa tak rela jika
cambuk itu jatuh ke tangan Sri Maharatu, sebab ia akan tumbang berhadapan
dengan Sri Maharatu! Hmm... sebaiknya, kukejar saja Sri Maharatu ke arah pantai
sebelum ia menyeberang ke Pulau Dadap!"
Tanpa pamit ini-itu, Setan
Samudera sentakkan kaki dan melesat dengan cepat, pergi tinggalkan Delima
Gusti. Hati Delima Gusti sedikit lega, setidaknya Suto telah terhindar dari
ancaman salah duga yang dapat membawa maut bagi jiwanya itu. Maka, Delima Gusti
pun segera menolong Suto yang masih terkapar dan mengerang lirih, merasakan
panas dan sakit pada dadanya.
"Ke mana aku harus
sembunyikan orang ini?" pikir Delima Gusti setelah ia salurkan hawa dingin
ke tubuh Suto, dan rasa sakit Pendekar Mabuk berangsur-angsur berkurang. Delima
Gusti berkata,
"Lihat, orang jubah merah
tadi mau membunuhmu, bukan?! Nyawamu terancam, banyak orang yang ingin
membunuhmu! Kau mau selamat ataumaumati?"
"Mati dengan
selamat," jawab Pendekar Mabuk tak paham maksud kata-katanya sendiri.
"Kau harus selamat!
Jangan mau mati!" gertak Delima Gusti dengan jengkel. Suto Sinting hanya
angguk-anggukkan kepala.
"Kalau kau mati, nyawamu
hilang dari raga, kau bisa jadi hantu bergentayangan ke sana-sini setiap
malam!"
"Hiii...!" Suto
bergidik ngeri.
"Kalau kau mau selamat,
berarti kau tidak mati. Dan itu berarti pula kau harus turuti kata-kataku! Aku
akan melindungimu. Mengerti?"
Pendekar Mabuk mengangguk,
tapi sambil berkata, "Dengan cambuk?"
"Dengan apa saja, aku
akan melindungimu! Sekarang, ikutlah aku dan jangan jauh-jauh dariku!"
"Tap... tapi... tapi aku
harus ambil cambuk."
"Mau ambil cambuk ke
mana?!"
"Di... di... di mana
saja. Akutaktahu!"
Delima Gusti mendesah jengkel,
lalu menarik tangan Suto dan diajaknya pergi, ia yakin Setan Samudera berhasil
menghambat perjalanan Sri Maharatu. Setidaknya selama Setan Samudera menghambat
Sri Maharatu, ia punya waktu untuk sembunyikan Suto. Setelah itu baru menyusul,
melihat perkembangan di pantai.
Delima Gusti punya seorang
kenalan yang pondoknya tak jauh dari tempat itu. Ia membawa Pendekar Mabuk ke
pondok tersebut. Orang yang dituju Delima Gusti merasaterkejut melihat keadaan
Suto yang kosong ilmu, kosong ingatan. Orang tersebut tak lain adalah Resi
Wulung Gading. Pendekar Mabuk tak ingat tempat itu, juga merasa tak kenal
dengan Resi Wulung Gading.
"Aku sudah mengenalnya,
Delima Gusti. Dia kemarin datang kemari dan ceritakan tentang dirimu yang mengaku
sebagai murid Bandar Hantu Malam "
"Kuakui itu memang
siasatku, Eyang Resi. Aku memang sangat berharap dapatkan cambuk itu, karena
aku ingin melawan Sri Maharatu. Aku menyesali tindakanku terhadap Suto kemarin
itu. Ternyata dia tak bersalah, dan sebagai penebus kesalahanku, aku ingin
selamatkan dia, Eyang Resi."
Resi Wulung Gading
angguk-anggukkan kepala samar-samar, ia tahu betul bahwa Delima Gusti
sebenarnya bukan golongan tokoh hitam. Hanya karena diburu dendam ia menjadi
bernafsu sekali untuk dapatkan cambuk itu dengan cara apa pun.
Kini penyesalan Delima Gusti
diakui Resi Wulung Gading sebagai sikap bijak yang patut disambut dengan
kebijakan pula.
"Dendam memang sering
membuat mata manusia menjadi gelap, terutama mata hati. Dendam juga dapat membuat
pikiran manusia menjadi buntu dan akhirnya mencari jalan pintas. Karena itu
kuingatkan kepadamu, Delima Gusti, kendorkanlah urat dendammu. Jangan
semata-mata hidup untuk turuti hati yang dendam. Biarlah pembalasan tiba dengan
sendirinya, karena Yang Maha Kuasa adalah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Siapa salah akan kalah, siapa benar tetap tegar!"
"Aku mengerti, Eyang
Resi."
"Sekarang pantaulah
sampai di manatingkah laku Sri Maharatu! Firasatku mengatakan, dia akan hancur
dalam waktu dekat. Cambuk itu telah terkena kutuk, kutuk itulah yang akan
hancurkan dirinya Hanya saja, siapa yang bakal menjadi pemilik Cambuk Getar
Bumi setelah Sri Maharatu, aku tak punya firasat akan hal itu. Keadaan Sri
Maharatu yang memiliki cambuk itu bisa kau jadikan pelajaran dalam hidupmu dan
untuk hidup selanjutnya."
"Baik, Eyang Resi. Lalu,
bagaimana dengan Pendekar Mabuk ini?"
"Akan kurawat!"
jawabnya tegas. "Mudah-mudahan aku bisa kembalikan ingatannya dan
ilmu-ilmunya. Sebab menurutku, dia telah terkena racun sengatan seekor lebah.
Jurus itu bernama jurus 'Lebah Setan', pemiliknya tak lain adalah si Dewa
Sengat. Berhati- hatilah kau jika bertemu dengannya."
Terbayang wajah Dewa Sengat
dan Putri Kunang. Geram di hati Delima Gusti membuatnya ingin berhadapan kembali
dengan Dewa Sengat dan Putri Kunang. Tetapi hal yang terpenting dipikirkannya
adalah, mungkinkah Resi Wulung Gading bisa kembalikan ilmu dan ingatan Pendekar
Mabuk?
***7
SETAN Samudera yang penasaran
ingin buktikan kata-kata Delima Gusti, akhirnya menemukan apa yang diharapkan.
Di depannya tampak seorang perempuan cantik bermata jalang mengenakan jubah
biru muda lembut, perhiasannya lengkap, sanggulnya diberi hiasan bunga mawar
merah. Setan Samudera tak asing dengan perempuan itu.
"Sri Maharatu!" gumamnya
penuh debar-debar ketidaksabaran. "Cambuk itu memang ada padanya. Selagi
diselipkan di pinggangnya, sebaiknya kupukul dari belakang," pikir Setan
Samudera.
Sri Maharatu sedang bicara
dengan dua nelayan sambil berjalan, tiba-tiba dua larik sinar warna merah dan
hijau melesat menghantam punggungnya. Slaapp! Tapi gerak naluri Sri Maharatu
cukup tinggi, ia merasa ada sesuatu yang bergerak cepat menuju ke arahnya.
Dengan cepat ia sentakkan
kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke atas, bersalto di tempat, lalu kedua
nelayan yang ada di kanan kirinya itu dirapatkan dengan cara menarik dua kepala
tersebut menggunakan tangannya. Kedua orang itu saling terhempas berbenturan,
dan pada saat itulah sinar merah dan hijau menghantam dua nelayan tersebut.
Zraab...! Jraabbb...!
Tak ada bunyi ledakan apa pun,
tapi kedua nelayan itu sama-sama terhenyak sekejap. Tubuh Sri Maharatu berhasil
mendarat di tanah belakang kedua nelayan tersebut, lalu lompat ke samping,
berjungkir balik dengan menggunakan kedua tangannya menapak di tanah.
Wut, wut, wut...! Jleegg!
Sedangkan kedua nelayan itu
menemui ajal secara bersamaan. Yang satu menjadi arang, hangus terbakar sekejap
oleh sinar merah, dan yang satunya lagi punggungnya berlubang sebesar buah
kelapa, lalu jatuh terpuruk tanpa nyawa sedikit pun.
Sri Maharatu tak pedulikan
nasib kedua nelayan itu. Kini yang dipandangi adalah wajah Setan Samudera.
Wajah angker itu ditatap oleh mata indah berkesan jalang dengan senyum sinis
menggoda murka. Setan Samudera hentikan langkah setelah berada dalam jarak
tujuh langkah di depan Sri Maharatu. Pancaran matanya tampak bernafsu sekali
memandangi Cambuk Getar Bumi yang ada di pinggang perempuan berpinggul
menggairahkan itu.
"Sudah mendengar kabarnya
si Muka Besi?" tanya Sri Maharatu dengan sinis.
"Akutak peduli dengan
nasib si Muka Besi!" geram Setan Samudera. "Yang kupedulikan adalah
pusaka leluhurku itu! Kalau kau tak mau serahkan padaku, kau akan hancur
melebihi nasib dua orang itu!"
Sri Maharatu tetap tenang dan
tersenyum-senyum sinis. Sambil bermainkan rambut yang meriap ke dada kanannya,
Sri Maharatu berkata dengan nada mengejek,
"Apakah leluhurmu masih
ada yang sanggup melawanku? Mengapa tak kau bawa kemari sekalian? Atau mungkin
kau ingin menyusul Muka Besi sendirian?"
"Keparat kau, Perempuan
Lacur!" geram Setan Samudera. "Mulutmu perlu disumbat dengan ini,
heaah...!" tangan kanan Setan Samudera melemparkan sesuatu yang diambil
dari balik lengan jubah kirinya. Wuuttt...!
Gerakannya yang begitu cepat
membuat Sri Maharatu hanya bisa menghindar dengan cara melompat ke atas tegak
lurus dari tempatnya. Sambil melompat tangannya pun melepaskan pukulan bersinar
putih perak yang melebar dari kedua jarinya Zraabb...!
Benda yang dilemparkan Setan
Samudera itu tak lain adalah puluhan jarum merah yang membara bagaikan
terpanggang api. Puluhan jarum merah itu dihantam oleh sinar putih perak di
pertengahan jarak.
Syuurrbb...!
Jarum-jarum itu bagaikan masuk
ke dalam gumpalan uap air, tak ada suara dentuman yang membahana. Jarum-jarum
itu lenyap bersama hilangnya sinar putih perak tepat ketika Sri Maharatu turun
dan mendarat ke tempat semula. Yang ada hanya kepulan asap putih tipis, dalam
sekejap hilang tersapu angin.
"Jurusmu masih ringan,
Setan Samudera! Sebaiknya kau pulang saja, jangan hadapi aku biar awet
umurmu!" ejek Sri Maharatu.
"Tutup mulutmu, Perempuan
Binal! Terimalah jurus 'Bangau Pelebur Jasad' ini jika kau mampu!
Heaah...!"
Setan Samudera sentakkan
tangan kirinya yang menguncup dan dari kuncup tangan itu melesat sinar biru bening
ke arah Sri Maharatu. Slaapp...! Sedangkan tangan kanannya yang berkelebat ke
atas kepala segera diayunkan ke depan dengan meliuk ke samping lebih dulu.
Kuncup jemari tangan kanan itu juga lepaskan selarik sinar warna kuning bening.
Slaapp...! Dua sinar itu menyatu di pertengahan jarak dan melesat makin cepat
ke arah lawan dengan berubah warna menjadi hijau tua dan berukuran besar.
Wuusss...!
Perempuan cantik itu segera
rapatkan kedua telapak tangan di dada, dan dari telapak tangan itu menyebarlah sinar
biru membentuk perisai di depannya Sinar hijau tersebut menghantam sinar biru
perisai dengan kuat.
Blegarrr...!
Warna hijau kebiru-biruan
pecah dalam sekejap. Gelombang ledakannya begitu kuat, sehingga tubuh Sri
Maharatu terlempar ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan. Brrukss...!
Ia jatuh di semak-semak bagaikan sebuah karung yang dilemparkan begitu saja.
Setan Samudera sendiri tak
kelihatan wujudnya. Sri Maharatu yang bangkit dengan gerutuan tak jelas sempat
kebingungan mencari Setan Samudera.
Ketika mendengar suara erangan
tipis dan pendek, mata Sri Maharatu memandang ke atas pohon yang ada di
belakang Setan Samudera saat perpaduan dua pukulan hebat tadi. Rupanya
gelombang ledakan itu melemparkan Setan Samudera tinggi-tinggi hingga tubuhnyatersangkut
di atas pohon.
Sekalipun kepala terasa
sedikit pening, tapi Sri Maharatu sempat tertawa melihat lawannyatersangkut di
atas pohon. Lalu, ia buru-buru lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru
berbentuk anak panah yang keluar dari telapak tangan kanannya dalam satu
hentakan, seraya ia berseru lantang,
"Turun kau,
Tuabangka!"
Slaap...!
Melesatnya sinar biru
berbentuk anak panah pendek itu sangat cepat, sehingga Setan Samudera dibuat
kaget dalam sekejap. Kemudian dengan gunakan tangannya menyentak di dahan,
tubuh Setan Samudera melesat menerabas dedaunan.
Zraaakk...!
Ia berpindah dahan di lain
pohon. Keadaannya telah berdiri tegak di atas sana sambil memperhatikan sinar
birunya lawan yang menghantam dahan tempatnya tersangkut tadi.
Jruubb...! Praasss ..!
Dahan itu pecah menjadi
potongan-potongan kecil dan jatuh menggunduk di tempatnya tumbuh. Dari bagian
batang bawah sampai di bagian pucuk tak ada yang tak terpotong seukuran satu
jengkal. Jumlahnya puluhan potong, mungkin seratus potong lebih, dan hebatnya
dapat tertata rapi membentuk gunungan kayu yang sudah kering.
"Edan! Ilmu apa yang
dipakai si murid Pendita Arak Merah itu?!" pikir Setan Samudera. "Se
baiknya kugunakan jurus andalanku sebelum cambuk itu digunakan lebih dulu
olehnya. Sebab kalau cambuk itu sudah di tangannya, aku akan sulit
mengalahkannya," pikir Setan Samudera sambil bergerak turun dari atas
pohon, jubahnya berkelebat bagaikan sayap burung perkasa.
Begitu tiba di tanah, kedua
tangannya segera merentang cepat, lalu meliuk-liuk, mengibas ke sana-sini
dengan kaki di angkat silih berganti, melompat-lompat di tempat, membungkuk,
merendah dan memutar badan dengan cepat.
Weesss... !
Pada saat tubuh memutar dan
kembali pada arah semula itulah, kedua tangan yang beradu pergelangannya
disentakkan ke depan dan menyemburlah sinar merah bagaikan kobaran lidah api.
Besar dan ganas gerakannya. Woosss...! Jurus 'Mulut Naga Liar' itu biasanya
digunakan untuk menyerang lawan yang berjumlah lebih dari sepuluh orang, karena
semburan api yang berbentuk sinar merah besar itu mampu menghanguskan sepasukan
prajurit dalam sekejap. Tiga langkah sebelum nyala api besar itutiba, biasanya
lawan sudah hangus lebih dulu.
Tapi agaknya kali ini Setan
Samudera berhadapan dengan lawan yang ilmunya lebih tinggi. Sri Maharatu segera
tarik jubahnya dan dihadangkan ke depan, sehingga sinar merah besar dan ganas
itu berhasil ditahan dengan jubah sutera yang amat tipis namun mempunyai
kekuatan tenaga dalam tinggi. Zeerrb...!
Sinar besar itu menyusut dalam
jarak tiga langkah sebelum menyentuh jubah, lalu ketika menyentuh jubah, sinar
merah besar itupadam seketika. Blaaab...! Tinggal asapnya yang mengepul sangat
tipis dan membuat Setan Samudera terbengong-bengong memandanginya.
"Tak pernah ada benda
yang mampu bertahan menerimapanasnya sinar merahku itu. Pintu baja setebal
gerbang banteng pun lumer dalam sekejap. Tapi jubah tipis itu kekuatannya
melebihi pintu baja tebal. Tak sedikit pun ada bekas menghangus di jubah tipis
itu. Luar biasa!" gumam hati Setan Samudera.
Tetapi agaknya ia tak mau
menyerah begitu saja. Ia segera mainkan jurus lagi untuk serangan berikutnya,
namun tiba-tiba tangan Sri Maharatu menyambar cambuk di pinggangnya membuat
Setan Samudera diam- diam menjadi tegang memandanginya. Kedua tangannya telah
menggenggam, genggaman itu telah berasap, siap untuk dilemparkan.
Namun gerakannya terlalu
lambat menurut Sri Maharatu, sehingga ketika cambuk pusaka itu dilecutkan,
genggaman tersebut masih merapat. Taarrr...! Cambuk Getar Bumi berkelebat dengan
ujungnya menyala biru pendar-pendar. Cambuk itu sempat dihindari oleh Setan
Samudera yang melompat naik ke udara, tapi ujung cambuk bagaikan memburunya
naik pula, lalu melilit di bagian dada dan perut dengan timbulkan suara ledakan
cukup keras. Duaarr...!
Seketika itu asap hitam
mengepul tebal membungkus tubuh Setan Samudera. Asap hitam yang sulit diterobos
pandangan mata manusia biasa itu bergumpal-gumpal sesaat. Setan Samudera yang
tak terdengar suaranya. Ketika asap itu terhembus angin dan lenyap, yang ada di
depan Sri Maharatu adalah potongan tubuh Setan Samudera yang menjadi empat
bagian, karena ada empat lilitan cambuk di tubuhnya.
Tubuh yang terpotong itu tidak
keluarkan darah sedikit pun. Namun jelas hal itu membuat Setan Samudera tak
mampu bernapas lagi, dan matilah ia dirajang oleh cambuk pusaka leluhurnya
sendiri. Sri Maharatu sunggingkan senyum kemenangan sambil menarik tali cambuk
dengan tangan kiri dan menggulungnya rapi. Mulutnya mengucap kata bagaikan
bicara pada mayat yangterpotong.
"Sudah kuingatkan
sebelumnya, tapi kau tidak mau percaya padaku, Setan Samudera. Kini, rasakan
sendiri bagaimana nasibmu terkirim ke alam baka sana! Semoga semua ini menjadi
hikmah dan pelajaran bagimu, Setan Samudera!"
Pada waktu cambuk melilit
tadi, ternyata Delima Gusti sudah tiba di semak-semak belakang Sri Maharatu. Ia
terbelalak menyaksikan adegan mengerikan. Jantungnya berdetak-detak melihat
nasib Setan Samudera yang menjadi korban keganasan Cambuk Getar Bumi itu.
Kematiannya berbeda dengan cara kematian yang dialami Muka Besi. Tapi buat
Delima Gusti, cara itu lebih kejam daripada cara kematian si Muka Besi.
Sementara itu, di Padepokan
Lembah Sunyi, Resi Wulung Gading sibuk memulihkan ingatan Pendekar Mabuk.
Pemuda itu sengaja ditotok jalan darahnya supaya tidak bisa bergerak ke
mana-mana. Ia dibaringkan di atas lantai berlapiskan permadani.
Resi Wulung Gading segera
tempelkan telapak tangan kanannya ke dada Suto, tepat di ulu hatinya. Tangan
itu menyala pijar warna hijau. Sinar pijar hijau itu kian melebar, membuat
sebagian dada Suto pun menjadi menyala pijar hijau. Itulah jurus pengobatan
yang dinamakan Tapak Lumut Dewa', yang mampu untuk menawarkan segala macam
racun.
Kini tubuh Suto menjadi
menyala hijau sampai batas perut ke atas. Kepalanya pun memancarkan cahaya
hijau membuat rambutnya bagaikan berwarna putih uban. Makin lama sinar pijar
hijau itu merambat sampai ke telapak kaki, sehingga lengkaplah sekujur tubuh
Suto menerima getaran hawa suci yang dinamakan Tapak Lumut Dewa' itu.
Tangan Resi Wulung Gading
ditarik dari dada Suto. Warna hijau pijar pada tangan itu menjadi padam. Tapi
warna hijau pijar di sekujur tubuh Suto masih saja menyala, bahkan makin lama
makin terang. Resi Wulung Gading terkejut dan menjadi bingung sendiri.
"Biasanya begitu tangan
kutarik ke atas, tubuh yang menyala ini menjadi padam seketika. Tapi mengapa
sampai telapak tanganku sendiri sudah padam, tubuh bocah ini masih menyala
hijau begini?!"
Resi Wulung Gading menunggunya
beberapa saat, tetapi sampai lama ternyata tubuh Suto masih seperti beling
mengandung fosfor, hijau terang dan memijar. Tubuh itu masih belum bisa
bergerak sedikit pun. Resi Wulung Gading kian kebingungan.
"Apakah aku salah
mantera? Ah, kurasa tidak! Nyatanya tanganku bisa menyala hijau, berarti aku
tidak salah mantera dan tidak salah pernapasanku. Wah, kalau bocah ini tubuhnya
menjadi hijau selamanya, bagaimana?!" gumam Resi Wulung Gading sambil
menahan kegelisahan dan kecemasannya.
Tokoh tua yang usianya sudah
banyak dan layak jika menjadi pikun, lupa ini-itu, ternyata masih punya cara
lain untuk padamkan sinar hijau yang membungkus tubuh Suto. Cara tersebut
menggunakan jari tengah tangan kanannya. Jari tengah itu ditempelkan di tengah
kening, antara kedua alis Pendekar Mabuk. Dengan sedikit ditekan, jari itu
mulai menyala putih menyilaukan dengan kepulan asap tipis di sekelilingnya
Tiba-tiba, slaappp...! Sinar putih menyilaukan itu masuk ke tubuh Pendekar
Mabuk, warna hijaunya lenyap dan berganti warna putih perak menyilaukan. Kini
tubuh Suto bagaikan dilapisi sinar perak, dan sampai beberapa saat tak mau
padam-padam.
"Wah, sekarang malah
ganti sinar tapi masih tak mau padam juga?!" gumam Resi Wulung Gading.
"Racun 'Lebah Setan' ternyata memang sulit dilumpuhkan. Mungkin harus Dewa
Sengat sendiri yang mengobati Suto. Tapi... kurasa dia tak mau. Sebab aku tahu
persis wataknya, tak pernah mau mengobati orang yang terkena serangan jurus
mautnya Orang itu dibiarkan berupaya mencari obat sendiri, yang jika terlambat
bisa mengakibatkan nyawa orang itu lenyap. Jadi, kalau toh Suto dihadapkan
kepada Dewa Sengat, dia tidak akan mau obati Suto!"
Resi Wulung Gading memang baru
kali ini mencoba menawarkan racun sengat dari jurus 'Lebah Setan', dan ternyata
dia tidak mampu lumpuhkan kekuatan racun sengat tersebut, ia berjalan
mondar-mandir di samping tubuh Suto yang dibaringkan. Resi Wulung Gading
memeras otak mencari jalan keluar, sambil sebentar- sebentar melirik tubuh Suto
yang masih memancarkan nyala sinar putih perak menyilaukan.
"Celaka kalau sampai begini
seterusnya, ia bisa menjadi bahan tontonan orang banyak. Citranya sebagai
Pendekar Mabuk akan lenyap, dan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang pasti akan
menuntutku! Hmmm... lalu bagaimana cara memadamkan sinar itu dari tubuhnyal Aku
tak pernah alami kejadian seperti ini! Haruskah disiram dengan air satu ember?!
Oh, tidak! Dia bukan kompor! Tak bisa dipadamkan dengan siraman air atau
rendaman karung basah. Pasti ada caranya. Hmmm...!" gumam itu memanjang
dalam renungan yang mencemaskan jiwanya.
Setelah beberapa saat
merenung, Resi Wulung Gading segera tampakkan wajah lega berseri, ia berkata
seperti bicara pada diri sendiri,
"Aku lupa tidak membuka
jalur nadinya! Pantas sinarnya tak mau padam!" Maka, dengan gunakan dua
jari tangannya, Resi Wulung Gading menotok telapak kaki Suto Sinting. Teebb...!
Satutotokan membuat tubuh itu tersentak, kaki terangkat naik karena kaget dan
dagu Resi Wulung Gading tertendangtak sengaja.
Plookk...!
"Uh...! Terima kasih atas
pembalasanmu, Suto," ucapnya pelan sambil mengusap-usap jenggotnya.
Selembar jenggot tersangkut di jari kaki Suto yang tadi tersentak ke atas.
Selembar jenggot itu diambil oleh pemiliknya, dipandanginya dengan rasa amat
sayang, tapi akhirnya sang Resi geleng-geleng kepala dan membuang selembar
jenggotnya ke samping.
Suto Sinting sudah mulai bisa
gerakkan tangannya. Nyala sinar perak itu telah padam sejak sentakkan totok di
telapak kaki tadi. Resi Wulung Gading semakin kelihatan lega ketika Suto sudah
mulai buka mata dan berkedip-kedip.
"Racun itu telah punah,
pasti ia kembali pada dirinya, kembali dalam ingatan semula," ucap sang
Resi, lalu Pendekar Mabuk pun ditegurnya,
"Bagaimana keadaanmu,
Suto?! Sudah ingatkah kau siapa diriku?"
"Cambuk...," jawab
Suto lirih. Resi Wulung Gading bersungut-sungut.
"Hmmm... masih gila
juga?!" ia melangkah dan garuk-garuk kepalanya.
Ternyata Pendekar Mabuk memang
belum bisa terhindar daripengaruh racun sengatan 'Lebah Setan' itu. Ia masih
tidak ingat siapa dirinya, yang diingat hanyalah kata cambuk. Lebih parah lagi,
ternyata Suto Sinting sekarang malahan tidak bisa bangkit dari pembaringannya.
Bahkan untuk gerakkan tangan agar naik ke atas pun tak bisa. Kepalanya hanya
bisa berpaling ke kiri dan kanan, itu pun dilakukan dengan pelan-pelan sekali.
"Aduh, kenapa malah jadi
lumpuh begini?!" pikir Resi Wulung Gading dengan bingung dan menahan
kejengkelan. "Rupanya pengaruh kekuatan racun Lebah Setan' itu sungguh
hebat. Jika dicoba untuk ditawarkan atau diobati akan membuat si penderita
semakin parah dan mengakibatkan lumpuh. Aku tak tahu akan hal itu. Kasihan
Suto, sekarang seperti bayi baru selapan hari, hanya bisa menengok ke
kiri-kanan dengan pelan. Hmm... aku harus mencari cara untuk memulihkan keadaan
bocah ini! Ah, sayang ada beberapa jurus dan ilmu pengobatan yang telah kulupa
karena ketuaanku. Dulu aku mempunyai seratus macam pengobatan. Kini yang
kuingat hanya dua-tiga macam saja."
Pikir punya pikir, akhirnya
Resi Wulung Gading mempunyai gagasan baru setelah melihat tanda merah di kening
Pendekar Mabuk. Tanda itu berasal dari penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam
gaib. Tidak setiap orang bisa sampai ke negeri itu. Hanya orang- orang berilmu
tinggi dan yang mempunyai tanda khusus seperti Suto yang bisa keluar masuk
negeri yang dipegang oleh Ratu Gusti Kartika Wangi, calon mertua Suto, sebab
Suto adalah calon istri Dyah Sariningrum, anak dari Ratu Kartika Wangi.
"Bagaimana kalau Suto
kubawa kepada beliau?
Kuserahkan kepada Ratu Kartika
Wangi. Mudah- mudahan penguasa bijak itu mampu sembuhkan Suto dan bisa membuat
Suto pulih kekuatan dan ingatannya seperti sediakala."
Tanpa banyak menunggu
pertimbangan lain, Resi Wulung Gading segera angkat tubuh pemuda tampan itu.
Sekalipun tubuhnya kelihatan berkulit lumer dan tampak ketuaannya sangat
melemah, namun ternyata sang Resi masih punya tenaga simpanan cukup banyak,
sehingga ketika mengangkat tubuh Pendekar Mabuk ia tak memerlukan urat
mengencang ataupun suara ngotot mengeras di leher. Nyiiing...! Seperti
mengambil sarung dan disangkutkan di pundaknya .
Ketinggian ilmu yang tersimpan
dalam diri Resi Wulung Gading membuatnya mampu menembus lapisan alam kehidupan
nyata dan tak nyata Cukup dengan melangkah keluar dari kamar pengobatan itu,
sang Resi yang menyampirkan tubuh Suto di pundaknya itu telah menembus alam
kehidupan lain, yang menurut pandangan Dul dan Sukat, sang Resi menghilang
begitu melangkah keluar dari kamar. Kehadiran sang Resi sudah diteropong oleh
indera keenam Ratu Kartika Wangi.
Maka dikerahkanlah sejumlah
prajurit Negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib untuk menyambut kehadiran sang
tokoh sakti yang sudah mulai pikun karena ketuaannya itu. Wanita-wanita cantik
berseragam sama berjajar memagari lorong yang menuju singgasana. Mereka
menyambut kedatangan sang Resi dengan taburan bunga yang aromanya enak dihirup lama-lama.
Sang Resi pun tampakkan senyum
keramahannya sambil masih tetap memanggul Suto yang mirip sarung basah
disangkutkan di pundak itu, (Untuk lebih lengkap tentang negeri ini, baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Seorang wanita cantik berwajah
bulat telur dengan cahaya mata yang memancarkan pesona dan kebijakan, duduk di
singgasana mengenakan jubah ungu dan semuanya serba ungu. Dialah yang bernama
Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi untuk alam gaib. Sang
Ratu sedikit tegang ketika melihat Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai oleh
Resi Wulung Gading. Sang Ratu pun segera ajukan tanya kepada sang resi.
"Resi Wulung Gading, apa
maksudmu membawa Manggala Yudha Kinasih kemari dan kau baringkan seenaknya sajadi
lantai?"
"Ampun, Gusti Ratu
Kartika Wangi...," sang Resi menghormat karena kedudukan dan kesaktiannya
masih dibawah sang Ratu. Katanya lagi,
"Suto Sinting telah
benar-benar sinting, Gusti Ratu! Ia terkena racun sengatan 'Lebah Setan' dan
lupa siapa dirinya, lupa siapa saya, serta lupa bagaimana menggunakan
jurus-jurusnya! Ia menjadi polos tanpa kekuatan apa pun."
"Racun sengat 'Lebah
Setan'...? Hmm..., kalau tak salah itu ilmunya si Dewa Sengat!"
"Betul, dan memang orang
itulah yang menyengatnya. Eh, yang melepaskan lebah dan lebah itu menyengat
Suto!"
"Kudengar di sana sedang
heboh tentang cambuknya si Warok Guci Wangsit?!"
"Benar. Dan Suto dituduh
pencuri cambuk pusaka itu, Gusti Ratu. Mereka salah paham, dan mengakibatkan
Suto menderita begini."
Ratu Kartika Wangi
manggut-manggut. "Terlalu berani Dewa Sengat melukai calon menantuku
separah ini. Aku khawatir dia akan binasa oleh Cambuk Getar Bumi itu. Kalau tak
salah, sekarang cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu!"
"Memang benar. Begitulah
menurut laporan Delima Gusti, putri sang Adipati Suralaya. Jika cambuk di
tangan Sri Maharatu, saya khawatir akan timbulkan korban sangat banyak. Saya
yakin, Pendekar Mabuk itu mampu kalahkan Sri Maharatu jika keadaannya pulih
seperti sediakala. Jadi saya mohon, Gusti Ratu Kartika Wangi sudi kiranya
membantu memulihkan keadaan Suto Sinting."
"Jangan khawatir, Wulung
Gading," lalu sang Ratu memandang kepada seorang pengawal yang ada di
tepian pintu menuju ke luar.
"Hidupkan Kolam Sabda
Dewa, dan mandikan Suto di sana!"
Kolam Sabda Dewa adalah kolam
keramat yang bisa merubah nasib sesuai yang diinginkan orang yang bersangkutan,
jika orang itu mandi di dalamnya. Namun apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa
memulihkan kekuatan dan ingatan Pendekar Mabuk?
***8
PUTRI Kunang menggerutu sejak
tadi. Pengaduannya tentang melihat seekor naga diabaikan oleh sang Guru. Sangat
tidak dipercayai sekalipun ia ngotot setengah mati. Itu saja sudah membuatnya
menjadi dongkol. Belum lagi adanya dugaan bahwa Cambuk Getar Bumi ada di tangan
orang lain, itu menambah kedongkolan Putri Kunang.
"Jika benar begitu,
lantas untuk apa kita siksa Pendekar Mabuk, Guru?! Kasihan dia! Tak ada salah
apa-apa menjadi sasaran kemarahan orang banyak, menjadi sasaran kelicikan kita
juga!"
"Itu hanya sebuah dugaan,
Putri Kunang. Kita lihat saja kenyataannya!"
"Kenyataannya kita belum
temukan cambuk itu, sedangkan kita juga sudah kehilangan Pendekar Mabuk yang
ganteng itu. Aaah...! Kenyataan ini terlalu pahit bagiku, Guru!"
Sang Guru diam saja, merasa
serba salah memberi jawaban. Memang kenyataan itu dirasakan cukup pahit. Waktu
mereka kembali ke gua di pagi hari, ternyata Suto Sinting sudah tidak ada di
tempat, sedangkan semalam mereka melacak suara dan cahaya cambuk tidak
berhasil. Bukan hanya Putri Kunang yang dongkol hatinya, melainkan sang Guru
pun merasakan kedongkolan itu amat menggemaskan. Ditambah lagi separo hari
mereka mencari jejak Suto dan cambuk itu ternyata tidak menemukan hasil apa
pun.
Sampai akhirnya, Dewa Sengat
tiba-tiba menghadapi serangan berupa tiga pisau terbang yang melayang bersamaan
ke arahnya. Tiga pisau terbang itu berukuran satu jengkal dan ujung gagangnya
mempunyai rumbai- rumbai benang merah terang.
Zingng...!
Dada sang Guru yang menjadi
sasaran tiga pisau terbang tersebut. Tetapi dengan kewaspadaan tinggi dan
gerakan yang lincah, Dewa Sengat cukup mampu menghindari tiga pisau terbang
tersebut, ia melenting tinggi dan bersalto satu kali, sehingga pisau terbang
itu lewat di bawahnya. Wesss...!
Jraabb...! Ketiganya menancap
di batang pohon. Putri Kunang terkesima sejenak melihat batang pohon itu
langsung mengering, kulitnya mengelupas, daunnya menjadi coklat rengas. Putri
Kunang tahu, mata pisau tersebut pasti mempunyai jenis racun yang mampu
mengeringkan darah dalam sekejap.
"Tampakkan dirimu jika
kau seorang berilmu tinggi!" sentak Dewa Sengat seraya menatap kerimbunan
hutan di depannya. Seruan itu terjawab dengan kemunculan seorang lelaki
berperawakan tinggi, besar, berkumis lebat, rambutnya abu-abu karena bercampur
uban. Lelaki itu kenakan ikat kepala yang menutup sebagian besar ram but
depannya. Ikat kepala itu berwarna merah. Tubuhnya yang kekar berkesan gemuk
itu mempunyai kulit warna gelap, membuat wajah angkernya semakin tampak
menyeramkan bagi manusia biasa. Orang tersebut kenakan pakaian serba merah, di
dampingi dua orang yang berpakaian hitam-hitam. Dua pendampingnya itu masih
berusia muda, sekitar dua puluh lima tahun. Badannya kurus, namun wajah mereka
tampak bengis, tak takut mati.
"O, rupanyakau Baureksa?!"
sapa Dewa Sengat yang mengenali orang berkumis tebal dan berpakaian serba merah
itu.
"Siapa dia, Guru?"
"Penguasa Lereng
Iblis!" jawab Dewa Sengat berbisik kepada muridnya.
"Dewa Sengat!"
terdengar suara Baureksa begitu lantang dan garang. "Sebenarnya akutak
ingin berurusan dulu denganmu sebelum Cambuk Getar Bumi berhasil pindah ke
tanganku. Tapi aku terpaksa melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku.
Tapi aku terpaksa melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku kudapatkan
mati di daerah ini!"
"Lalu apamaksudmu? Mau
meneruskan perkara lama yang belum terselesaikan?"
"Terpaksa harus
diselesaikan sekarang juga karena kau sudah membuatku kehilangan kesabaran,
Dewa Sengat! Masalahnya bukan saja dendam atas kematian adikku di tanganmu,
tapi juga demi membalaskan kematian tiga utusanku itu!"
"Aku tidak merasa
membunuh tiga utusanmu!"
"Omong kosong! Siapa lagi
orang yang bisa membunuh tiga utusanku itu selain dirimu? Karena mereka
mempunyai jurus 'Awak Baja', yang tidak mempan diserang dengan senjata apa pun.
Hanya kau yang tahu rahasia jurus 'Awak Baja' itu, dan kebetulan kutemukan
dirimu berada di sekitar sini!"
Putri Kunang menatap gurunya,
seakan menunggu perintah. Tapi sang Guru tetap tenang memandang Baureksa dengan
penuh waspada. Orang bertubuh besar itu maju dua tindak, pendamping
kanan-kirinya ikut maju dua tindak. Kini jarak mereka menjadi sekitar lima
langkah. Masing-masing siap serang dan siap hadapi serangan. Putri Kunang pun
ikut siaga di samping gurunya.
"Baureksa, kalau aku membunuh
seseorang aku tak pernah dustai tindakanku itu. Tapi kalau aku tidak membunuh,
jangan paksa aku mengakuinya, nanti kau sendiri yang kehilangan nyawa,
Baureksa!"
"Enak sekali mulut tuamu
bicara, Dewa Sengat! Rasa-rasanya kau perlu cobai kehebatan ilmuku belakangan
ini!"
"Kalau kau jual,
akubeli!"
"Keparat! Suhito, Roka,
serang dia!"
"Heaaat...!" kedua
orang berpakaian hitam itu segera melompat maju dengan mencabut golok
masing-masing.
Putri Kunang bergerak tanpa
perintah gurunya, ia segera lompat maju dengan pedang terhunus dan siap hadapi
kedua orang berpakaian hitam itu. Trang! Witt, wutt, wuttt, trangng...! Putri
Kunang pamerkan jurus 'Pedang Angin' andalannya Gerakannya begitu cepat
melebihi gerakan angin, tak mudah dilihat ke mana arah pedangnya berkelebat.
Sehingga dalam waktu singkat Suhito dan Roka tumbang di tangan Putri Kunang.
Cras...! Craasss...! Suuhito robek perutnya dan Roka robek lehernya. Tentu saja
mereka segera menggelepar dan tak bernapas lagi selama-lamanya.
Kematian Suhito dan Roka yang
begitu singkat membuat mata Baureksa mendelik. Wajahnya kian merah, semakin
menyeramkan. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat sehingga kulit-kulit
tubuhnya tampak bertonjolan urat kekar, ia menggeram kepada Putri Kunang, lalu
melompat dengan tangannya menyebarkan sesuatu ke arah Putri Kunang.
Wrrr... !
"Mundur!" teriak
Dewa Sengat, dan seketika itupula Putri Kunang bersalto mundur dua kali. Dewa
Sengat menerabas serbuk besi beracun dengan menghentakkan tangannya ke depan
dan menyemburlah asap bercampur hembusan angin kencang yang membuat serbuk besi
beracun itu beterbangan membalik ke arah penyebarnya.
Tetapi pada waktu itu Baureksa
sudah menduga kemungkinan seperti itu, sehingga ia sudah lebih dulu sentakkan
kakinya lagi dan melompat ke samping. Dari samping ia lepaskan pukulan jarak
jauh bercahaya hijau, menyerupai bentuk piringan bergerigi. Slaappp...!
Arahnyake pinggang Dewa Sengat. Tetapi Dewa Sengat dengan cepat sentakkan
tangan kirinya ke samping, terlepaslah sinar merah menyerupai bintang berekor
yang melesat menghantam sinar hijau.
Duaarrr.. !
Gelombang ledakan itu membuat
Dewa Sengat tersentak mundur dua tindak, Baureksa pun mundur dua tindak.
Keduanya masih sama-sama berdiri dengan tegar, tanpa goyah sedikit pun. Mata
mereka saling pandang tajam setelah asap putih dari ledakan tadi menghilang
dari pandangan mata mereka.
"Kuingatkan padamu,
Baureksa...," kata Dewa Sengat. "Kau tidak akan mggul jika melawanku.
Kau masih butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk berguru kepada orang berilmu
tinggi, baru bisa melawanku, Baureksa!"
"Tutup bacotmu, Dewa
Sengat!" geram Baureksa. Tangannya bergerak pelan-pelan dengan penuh
tenaga. Kedua tangan itu mengembang, dan akhirnya saling bertemu di dada,
saling rapat dan masih tetap bergetar. Matanya tetap memandang tajam ke arah
Dewa Sengat tanpa berkedip sedikit pun. Getaran tubuhnya itu rupanya
memancarkan gelombang tenaga dalam berhawa panas. Gelombang hawa panas itu
dikumpulkan menjadi satu dan dipusatkan di bola matanya. Maka dalam beberapa
kejap berikutnya, dari kedua bola mata itu melesatlah dua larik sinar merah
terarah ke dada Dewa Sengat. Claapp...!
Tapi barutiba di pertengahan
jarak, sinar merah dua larik dihadang oleh dua sinar kuning yang melesat dari
kedua ujung jari Putri Kunang. Akibatnya dua sinar itu saling berbenturan dan
timbulkan ledakan yang cukup dahsyat.
Blaarrr...!
Baureksa membuka muka karena
ledakan itu menyentakkan tenaga balik yang membahayakan bagi matanya. Pada saat
itu Dewa Sengat bersiul panjang. Suiiittt...!
Baureksa tak pedulikan siulan
lengking memanjang itu. Ia segera serang Dewa Sengat dengan jurus lain. Kali
ini sinar biru sebesar ibu jarinya melesat dari tengah telapak tangan kanannya.
Slaappp...! Sinar biru lurus itu kembali dihadang oleh Putri Kunang dengan gunakan
sinar kuningnya tadi yang kini lebih besar lagi ukurannya dari yang tadi,
karena sinar kuning itu melesat dari ujung lima jari yang menguncup menjadi
satu. Slaappp... !
Blegaarr... !
Baureksa dan Putri Kunang
sama-sama tersentak mundur. Putri Kunang sempat berpikir, "Gila! Besar
sekali tenaganya itu. Tanganku sampai terasa ngilu, kulit jarikuterasa
panas?!"
Sementara itu Baureksa pun
membatin, "Muridnya ini lebih berbahaya dari gurunya. Serangannya selalu
bertenaga tinggi. Tanganku dibuat semutan akibat benturan dengan sinar
kuningnya Kurasa lebih baik muridnya kthancшkan dulu!"
Tetapi hasrat itu belum sempat
terlaksana, tahu-tahu terdengar suara gemuruh di belakang Baureksa yang membuat
orang itu berpaling ke belakang, ia terkejut melihat puluhan lebah datang
membentuk barisan hitam yang terbang ke arahnya. Baureksa mulai tegang. Karena
di sebelah utara dan selatan pun tampak bayangan hitam bagaikan mendung
berarak-arak mendekatinya, gaung suara lebah itu be^emn^ mirip suara banjir
datang dari berbagai arah.
"Bangsat! Dewa Sengat mau
main-main seperti anak kecil saja!" pikirnya penuh kejengkelan. Maka
Baureksa pun melepaskan pшkшlan-pшkшlan bersinar yang membuat lebah-lebah itu
berantakan, namun segera kembali membentuk barisan menyerang ke arah Baureksa.
Dirasakan semakin banyak yang mati semakin berlipat ganda yang datang.
Baureksa sibuk hadapi
lebah-lebah itu. Dewa Sengat menyambarkan tangannya di tempat kosong. Tangan
itu menggenggam sesaat dan ditarik di depan dada. Ketika genggamannya dibuka, teryata
ada dua ekor lebah merah yang melesat terbang dari genggaman itu. Wuungng...!
Dua lebah merah itu menyerang punggung dan leher Baureksa.
"Auh...!"
Baureksaterpekik kaget mendapat sengatan di dua tempat. Tapi seketika itu pula
tubuhnya mengejang, jantungnya bagaikan sulit dipakai bernapas. Jantung itu
berhenti dalam tiga hitungan, dan akhirnya tubA Baureksa yang besar dan
berwajah angker itu roboh bagaikan nangka busuk jatuh dari atas pohon.
Buugh...! Wajahnya tetap mengejang, matanya tetap mendelik, semua tubuhnya
tetap dalam keadaan seperti pada saat berdiri tadi. Namun ia sudah tidak
bernapas mulai saat itu sampai selamanya Sedangkan lebah-lebah yang
berdшyшn-dшyшn itu segera menyergapnya beramai- ramai. Lebah-lebah itu bukan
haus madu, melainkan haus darah. TubA Baureksa akhirnyatertutup rapat oleh
ratusan lebah yang membentuk warna hitam bergaung, merindingkan bulu kuduk
siapa pun yang melihatnya.
"Tinggalkantempat ini,
Muridku!" ucap Dewa Sengat bagaikan sebuah perintah yang harus ditaati
oleh sang murid. Maka, mereka pun bergegas pergi mencari Pendekar Mabuk sambil
mencari siapa pemegang pusaka Cambuk Getar Bumi sebenarnya.
Pada waktu itu, Delima Gusti
sedang mencari jalan pintas untuk mencapai pantai. Kelebatan bayangan dirinya
terlihat oleh mata Putri Kunang. Ia segera berkata pada gurunya,
"Delima Gusti berlari ke
utara, Guru! Jangan-jangan dia yang berhasil temukan Cambuk Getar Bumi dari
tempat persembunyiannya?!"
"Kejar dia!"
Wuuttt...! Putri Kunang tidak
tunggu perintah kedua, ia segera melesat mengejar Delima Gusti dengan gunakan
ilmu peringan tubuhnya, sehingga mampu berlari dengan cepat. Dewa Sengat
mengikuti dari belakang, sebab pikirnya,
"Biarlah kali ini muridku
yang akan selesaikan urusan dengan Delima Gusti. Kecuali jika Delima Gusti
memegang cambuk pusaka itu, baru aku yang maju."
Putri Kunang pun mengambil
jalan pintas untuk memotong di depan langkah Delima Gusti. Gerakannya yang
cepat dan menerabas semak belukar mana pun juga membuat ia tiba di jalanan
depan Delima Gusti. Akibatnya, putri sang Adipati itu pun hentikan langkah dan
mulai pasang waspada melihat kem^^^n Putri Kunang di depannya, ia melirik ke
samping kanan, tampak Dewa Sengat sedang menuju ke tempat itu juga. Hati Delima
Gusti membatin,
"Guru sesat itu selalu ikut
campur tangan шrшsan muridnya. Mereka suka main keroyokan! Hmmm...! Kalau
terpaksa harus kulawan sampai titik darah penghabisan, apa boleh buat!
Kukerahkan semua tenagaku, kukeluarkan semua jurus simpananku untuk melawan
mereka berdua!"
Putri Kunang dan Dewa Sengat
pandangi Delima Gusti dari rambut sampai kakinya. Mereka memeriksa keadaan
Delima Gusti yang ternyata tidak memegang Cambuk Getar Bumi. Dewa Sengat
kendorkan ketegangan, tapi Putri Kunang masih tetap siap lepaskan serangan
sewaktu-waktu.
"Mau apa kau
menghadangku?!" ketus Delima Gusti dengan matamenyipit sinis.
"Tentu sajameneruskan
pertarungan kita kemarin!"
"Aku tak punya waktu! Aku
harus kejar kakak tirimu itu, karena dia sudah berhasil dapatkan Cambuk Getar
Bumi."
"Hahh...?!" Putri
Kunang terpekik, wajahnya tegang, matanya mendelik. Dewa Sengat pun kaget,
sehingga ia anggap Delima Gusti hanya menyebar isu belaka, maka ia pun
melangkah dekati Delima Gusti dan berkata dengan suara tegas bernada
menghardik.
"Jangan sembarangan
bicara kalau mшlшtmшtak mau hancur, Delima Gusti!"
Delima Gusti sunggingkan
senyum sinis. "Kalian jadi ketakutan sekali kelihatannya. Baru mendengar
kabarnya saja sudah ketakutan, apalagi jika kalian lihat Sri Maharatu
memotong-motong tшbшh Setan Samudera dengan cambuk itu, dan melihat Sri
Maharatu menenggelamkan si Muka Besi di dalam bumi dengan cambuk itu, mungkin
kalian akan terkencing-kencing di tempat!"
"Kurang ajar!
Hiih...!" Putri Kunang terhina dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa
sinar kuning dari ujung jari tangannya. Slaappp...!
Delima Gusti menangkisnya
dengan sentakan kaki ke tanah, dan dari tanah di kakinya itu melesat sinar
merah seperti bintang berekor. Claapp...! Kedua sinar bertabrakan dan meledak
di pertengahan jarak. Blaarrr...!
Kedua perempuan itu saling
berlompatan ke belakang menghindari gelombang ledak yang cukup punya tenaga
kurang kuat itu. Putri Kunang segera cabut pedangnya, dan Delima Gusti pun
cabut pedang juga, memainkan jurus pedang pembuka. Wutt, wutt, wutt...!
"Hentikan!" sentak
Dewa Sengat dengan berwibawa dan berwajah angker. Seruan itu bukan hanya untuk
Delima Gusti, namun juga untuk muridnya sendiri, sehingga sang murid tak berani
lanjutkan gerakan berikutnya.
"Delima Gusti!
Benarkahkata-katamutadi?!"
"Kalau tak benar, mengapa
aku harus lari ke arah utara?! Kau tahu arah utara adalah arah pantai! Kulihat
Sri Maharatu membawa cambuk pusaka itu ke arah pantai. Dugaanku mengatakan,
bahwa Sri Maharatu akan bawa Cambuk Getar Bumi pulang ke Pulau Dadap. Aku harus
mencegahnya!"
Wajah Putri Kunang mulai
menampakkan kecemasannya, ia pandangi wajah gшrшya yang agak penuh pertimbangan
itu. Sementara sang Guru mempertimbangkan langkah, sang murid berkata kepada
Delima Gusti,
"Mana mungkin kakak
tiriku itu berhasil mendapatkan Cambuk Getar Bumi? Itu berarti ia harus
bertarung dulu dengan Bandar Hantu Malam. Dan ia tak akan semudah itu dapat
kalahkan Bandar Hantu Malam!"
"Memang!" jawab
Delima Gusti, "la bekerja sama dengan tokoh tua yang berjuluk Nini
Pancungsari! Mereka berhasil membшnшh Bandar Hantu Malam ketika Bandar Hantu
Malam mau gunakan cambuk itu. Nini Pancungsari mengambil kalung merah si Bandar
Hantu Malam, sedangkan Sri Maharatu mengambil cambuk pusaka tersebut. Tiga
utusan dari Lereng Iblis dibabatnya habis. Tapi aku tak melihat jelas
pertarungan itu. Yang kulihat dengan jelas-jelas adalah saat ia melawan si Muka
Besi dan Setan Samudera!"
Setelah hening sesaat,
tiba-tiba Dewa Sengat ucapkan kata, "Masuk akal!"
Ucapan itu membuat kendor
ketegangan Putri Kunang. Pedangnya disarungkan kembali. Wajah gadis cerewet itu
menjadi murung, dicekam kecemasan juga dicekam kekecewaan, ia melangkah jauhi
gurunya, bersandar di bawah pohon dengan wajah cemberut dan kedua tangannya
bersidekap di dada. Sang Guru memperhatikan kekecewaan muridnya, hatinya tak
tega, lalu didekatinya sang murid.
"Putri Kunang...."
Belum selesai bicara, Putri
Kunang sudah menyahut dengan bersшngut-sшngшt,
"Percuma aku minta
bantuan Guru kalau kenyataannya justru dia yang dapatkan cambuk itu! Jelas aku
akan kalah dalam pertarungan di malam purnama nanti!"
"Kita masih punya cara
lain, Putri Kunang."
"Tidak ada cara lain! Dia
pasti akan шnggшl dan menjadi penguasa di Pulau Dadap! Aku akan hancur
terpotong atau ditelan bumi karena cambuk itu!"
Dewa Sengat tarik napas
sabarkan diri. Putri Kunang mulai menangis.
"Kasihan Suto, jadi
korban kebodohan kita! Kalau Guru tidak gunakan 'Lebah Setan', mungkin kita
bisa minta bantuan kepadanya!"
Sang Guru masih diam, prihatin
mendengar kabar itu. Sesekali matanya memandang Delima Gusti yang masih diam di
tempatnya, seakan menunggu keputusan bersama. Sebab dalam hati Delima Gusti pun
berkata,
"Akan kumanfaatkan
kekuatan Dewa Sengat untuk mencuri kelengahan Sri Maharatu. Begitu Dewa Sengat
bertarung melawan Sri Maharatu, aku harus mencari kesempatan untuk merebut
cambuk itu dari pinggangnya!"
Terdengar lagi suara Putri
Kunang berkata bagaikan bicara pada diri sendiri,
"Aku tidak akan pulang ke
Pulau Dadap! Percuma aku pulang ke sana, hanya akan serahkan nyawa saja. Percuma
aku punya Guru kalau begini, tak bisa selamatkan diriku, tak bisa selamatkan
hak warisku!"
"Jangan berkata begitu,
Putri Kunang!"
"Harus berkata
bagaimana?!" ucapnya sambil mengisak dalam tangis. "Kalau Guru sayang
padaku, rebutlah cambuk itшшttkkш."
"Aku tak punya alasan
untuk merebut cambuk itu, Muridku!"
"Tak perlu alasan apa-apa
untuk orang macam dia, Guru! Kalau aku mampu, akan kulakukan sendiri. Tetapi
ilmuku masih rendah, tanpa cambuk itu pun Sri Maharatu dapat dengan mudah
kalahkan diriku, karena ia mewarisi sebagian besar ilmu Pendita Arak Merah,
gurunya!"
Dewa Sengat diam berpikir,
saat itu Delima Gusti berani diri untuk mendekati mereka, ia ingin katakan
sesuatu, tapi Putri Kunang lebih dulu bicara kepada gurunya dengan isak tangis
yang mengguncangkan tubuh.
"Aku akan berhenti jadi
muridmu, Guru! Aku tidak akan mau berguru lagi padamu kalau kau tak bisa
rebutkan cambuk itu untukku!"
Setelah tarik napas
panjang-panjang, Dewa Sengat pun akhirnya berkata, "Baiklah,
muridku...!" ia mengusap-usap rambut Putri Kunang. "Berat hatiku
ditangisi murid tercinta, apa pun jadinya akan kurebutkan cambuk itu mtu^u.
Tapi ingat, jika terjadi sesuatu pada diriku, itu adalah tanda kasih sayangku
kepadamu, Muridku. Jika sampai aku tumbang di tangannya, larilah dan jangan
hadapi dia dalam waktu sekarang. Kembangkan ilmu silat aliran Lebah Maut,
pelajari semua ilmu yang ada di dalam kitab kita itu. Hanya itu pesanku padamu,
Putri Kunang. Sekarang aku akan berangkat mencarinya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Kalau dia
melihatmu, maka dia akan mengejarmu dengan cambuk itu, Muridku!"
"Aku akan membantu Guru
melawannya!"
"Itu lebih berbahaya.
Salah-salah kau lebih dulu celakaketimbang diriku, Putri Kunang."
Delima Gusti menimpali dengan
memaksakan diri, "Aku juga akan membantumu, Dewa Sengat! Sri Maharatu tak
akan bisa kalahkan kekuatan kita bertiga. Tapi aku dan Putri Kunang tidak akan
menyerang secara terang-terangan. Biarlah kami berbuat sedikit curang, karena
kecurangan untuk orang semacam Sri Maharatu tidaklah berarti kelemahan bagi
kita!"
"Aku setuju!" sahut
Putri Kunang.
Dewa Sengat berpikir sesaat,
setelah itu menjawab, "Baiklah kalau memang kalian keras kepala mau
membantuku! Kita berangkat sekarang juga, dan hati- hatilah. Jangan sampai dia
mengetahui keberadaan kalian!"
Maka bergegaslah mereka menuju
ke pantai mencari Sri Maharatu yang diperkirakan sedang mempersiapkan diri
melakukan penyeberangan, menuju Pulau Dadap, tempat yang diharapkan di mana ia
akan menjadi penguasa terhormat.
*** 9
OMBAK laut berglllшng-gшlшng
dengan tenang. Tidak seliar biasanya. Karena saat itu angin berhembus
sepoi-sepoi basah, tanpa badai dan topan yang memancing amukan sang ombak.
Cuaca cerah sungguh baik untuk berlayar. Dan di sudut sana, tampak seorang
wanita berjubah biru muda sedang mempersiapkan diri, menyewa sebuah perahu
bersama pendayungnya. Perempuan itu tak lain adalah Sri Maharatu, dengan cambuk
pusakanya yang terselip di pinggang, digulung membentuk lingkaran kecil.
Dewa Sengat semakin percaya
dengan ucapan Delima Gusti. Matanya tertuju pada cambuk di pinggang Sri
Maharatu. Hatinya mulai berkecamuk sesuai dengan jalan pikirannya yang sedang
mencari cara menyerobot cambuk itu.
"Kalau dia kuserang
secara bertubi-tubi, dia tidak akan punya kesempatan untuk mencabut cambuk itu.
T api sekali dia punya kesempatan, habislah aku! Seranganku harus terarah pada
tangan kanannya, sebab ia akan gunakan tangan kanan untuk mencabut cambuk di
pinggang kirinya. Kalau kugunakan jurus 'Jeritan Kumbang', dia bisa dikerumuni
puluhan bahkan ratusan lebih lebah hutan yang haus darah. Tapi dengan cambuknya
dia bisa kalahkan pasukan lebahku. Se baiknya, sebelum ia gunakan cambuk itu
dalam menghadapi pasukan lebahku, aku harus bisa menyambarnya lebih dulu dari
belakang. Ya, kurasa cara yang terbaik adalah memancingnya dengan pasukan
lebah."
Jaraknya yang masih cukup jauh
dari Sri Maharatu membuat Dewa Sengat tak ragu-ragu lepaskan siulan lengking
memanjang sebagai isyarat memanggil pasukan lebahnya Siulan itu berhenti, Dewa
Sengat maju dekati sasaran sebelum pasukan lebah datang, ia bermaksud
bersembunyi di balik gmdukan batu karang yang berwarna putih kecoklatan itu.
Tetapi sial, ia kepergok mata Sri Maharatu yang kalaitutak sengaja berpaling ke
arahnya dan mengetahui kehadirannya
Dewa Sengat terpaksa urungkan
niat untuk bersembunyi, ia sengaja tampakkan diri dekati Sri Maharatu yang
memandangnya dengan senyum sinis. Dalam hati Sri Maharatu berkata, "Pasti
dia datang untuk rebut cambuk ini! Dan pasti dia datang bersama Putri Kunang!
Hmm... ke mana murid bengalnya itu? Apakah bersembunyi di suatu tempat? Oh, aku
harus hati-hati jika begitu."
"Kau mencari cambuk ini,
Dewa Sengat?" pancing Sri Maharatu sambil mencabut cambuk dari
pinggangnya.
Dewa Sengat mengeluh dalam
hati, "Wah, belum- belum dia sudah cabut cambuk itu! Sukar menyerobotnya
jika sudah dalam genggaman tangannya. Bahaya sekali! Aku bisa celaka kalau tak
hati-hati dengan gerakannya."
Melihat cambuk yang melingkar
itu telah dilepaskan menjadi terjulur panjang, dua nelayan yang hendak menjadi
pendayung dan akan disewa perahunya segera singkirkan diri. Mereka tahu
gelagat, bakal terjadi pertarungan yang dapat membuat mereka jadi korban salah
sasaran. Mereka segera pergi jauh-jauh, namun juga tidak mau tinggalkan begitu
saja. Mereka memandang dari kejauhan dengan perasaan ingin tahu apa yang bakal
terjadi sebenarnya.
Sri Maharatu melangkah ke
samping, kian lama kian memperpendek jarak. Sedangkan Dewa Sengat
berdebar-debar menunggu pasukan lebahnya yang tak kunjung datang. Sementara
itu, Putri Kunang dan Delima Gusti saling berbisik dari tempat persembunyian
mereka.
"Celaka! Dia sudah
genggam cambuk itu, Delima Gusti!"
"Bakalan sulit
merebutnya, kecuali jika tangan kanannya itu yang diserang secara
bertubi-tubi."
"Kalau begitu, pusatkan
serangan ke tangan kanannya biar cambuknyaterlepas. Kita berpencar dua
arah!"
"Kurasa itu gagasan yang
baik," dan Delima Gusti pun memisahkan diri. Hatinya me^us^ rencana,
"Begitu cambuk terlepas, akan kusambar lebih dulu sebelum Putri Kunang mendapatkannya!"
Dewa Sengat sengaja tidak
bicara, sebab menurutnya sudah tak ada kata-kata lagi untuk Sri Maharatu.
Membujuknya jelas tak mungkin, menantangnya pun sudah tak perlu kata-kata,
karena perempuan itu tahu maksud kedatangan Dewa Sengat ke situ. Yang
dibutuhkan Dewa Sengat adalah kesempatan untuk menyerang telak dan mematikan.
Sebab itu, ia tak banyak bergerak kecuali matanya yang memandang tajam penuh
waspada.
"Mengapa diam saja, Dewa
Sengat? Kau takut melihatku menggenggam cambuk pusaka ini? Hi hi hi hi...! Baru
sekarang kulihat seorang Guru pucat wajahnyamenghadapi lawan muridnya!"
Kata-kata itu membuat Dewa
Sengat bagai dibakar darahnya. Darah itu mendidih dan naik ke kepala. Tapi Dewa
Sengat berusaha menaban ledakan amarahnya, ia berpшra-pшra tidak mendengar
hinaan itu. Ia hanya berkata pelan,
"Tak kusangka kaulah
orangnya yang membшnшh Bandar Hantu Malam dan bekerjasama dengan Nini
Pancungsari!" Dewa Sengat hanya mengшlшr waktu sambil menunggu pasukan
lebahnya datang.
"Dari mana kau tahu?"
tanya Sri Maharatu sambil t ersenyum bangga.
"Nini Pancungsari sendiri
yang menceritakannya padaku."
Sri Maharatu lepaskan tawa
mengikik dengan keras. "Tak mungkin, Dewa Sengat! Tak mungkin Nini
Pancungsari sendiri yang menceritakannya, sebab nenek tua itu segera ^ЬишИ
setelah cambuk ini ada dalam genggamanku."
"Kejam!" geram Dewa
Sengat.
"Ya. Mungkin layak
dibilang kejam, tapi aku hanya sekadar menguji keaslian cambuk pusaka ini. TubA
Nini Pancungsari terbelah menjadi dua ketika kutebas dengan lecutan cambuk ini,
lalu ia menggelinding ke jurang bersama kalung merahnya Bandar Hantu Malam. Hi
hi hi hi...!"
Dewa Sengat mulai lega, awan
hitam berarak-arak mulai datang dari arah selatan. Awan hitam yang dilihatnya
itulah pasukan lebah yang ditшnggш-tшnggш. Bahkan kini pasukan lebah lain mmd
pula berarak- arak dari timur dan barat. Dewa Sengat mulai punya semangat.
Napasnya ditarik panjang-panjang sebagai persiapan melepas jшrшs-jшrшs mautnya.
Sri Maharatu mendengar suara
gemuruh dari tiga arah. Tanpa berpaling memandang ke tiga arah itu ia sudah
dapat menduga apa yang terjadi, ia pun sudah bisa simpulkan apa yang membuat
Dewa Sengat sejak tadi tidak bergerak menyerang.
"Rupanya dia mencari
kesempatan untuk menyerobot cambuk ini saat aku sibuk menghadapi pasukan
lebahnya," pikir Sri Maharatu.
Sambil sunggingkan senyum
sinis, Sri Maharatu berkata kepada Dewa Sengat,
"Rtpanyakaш sedang
menunggu pasukan lebahmu itu Dewa Sengat? Dan kau akan curi kesempatan untuk
menghantamku lalu menyerobot cambuk ini? Oh, mudah sekali pikiranmu kubaca,
Dewa Sengat!"
Tokoh tua itu tak bisa bilang
apa-apa. Ia hanya memikirkan cara terbaik untuk segera lakukan gerakan serang.
Tapi lawannya ternyata punya kecerdasan otak tersendiri.
Sri Maharatu segera gerakkan
cambuknya Matanya masih memandangi Dewa Sengat tapi cambuk segera dilecutkan di
atas kepalanya ketika bunyi gemuruh lebah itu kian mendekat.
Wuutt...! Taarr...! Taarrr...!
Taarrr...!
Bumi pun berguncang. Yang
keluar dari ujung cambuk itu adalah puluhan petir yang menyebar ke segala
penjuru. Gelegar suara petir menghadirkan gema dan gelombang sentakan amat
dahsyat. Air laut bergolak karena diguncang gempa setempat. Dan lidah-lidah
petir itu menyambar habis lebah-lebah yang datang dari tiga arah. Binatang
bersengat itu dihujani petir dan dilalap dalam sekejap. Sedangkan Dewa Sengat
tak bisa lakukan serangan karena mata Sri Maharatu tertuju kepadanya.
Habis sudah pasukan lebah
andalan Dewa Sengat. Alam menjadi hujan bangkai lebah di beberapa tempat.
Hening tercipta beberapa saat. Senyum kemenangan Sri Maharatu tersungging kian
membakar darah Dewa Sengat.
Wuuttt...! Akhirnya Dewa
Sengat menangkap udara, menggenggam, dan membuka genggamannya. Maka lima lebah
merah yang tadi mematikan Baureksa menyebar ke arah Sri Maharatu. Wwwrrr...!
Sri Maharatu sentakkan tangan
kirinya. Claapp...!
Sinar merah lebar melesat dan
menghantam habis lima ekor lebah merah itu. Craasss...! Tak satu pun ada yang
ut uh bangkainya.
Putri Kunang mengetahui
kebingungan gurunya. Tak mendapat kesempatan baik untuk lakukan serangan. Maka,
Putri Kunang pun segera lepaskan sinar kuning dari dua jarinya ke arah
pergelangan tangan Sri Maharatu.
Claappp...! Dengan gerakan
cepat, Sri Maharatu yang merasakan gelombang panas mendekatinya dari samping
kanan, segera sentakkan tangan kirinya ke kanan dengan badan meliuk ke kanan
pula. Claaappp...! Sinar merah kembali menghancurkan sinar kuning lawan.
Bllaarrr...!
Pada saat itulah, pancingan
Putri Kunang dianggapnya berhasil. Karena Dewa Sengat segera lepas jurus mautnyaberupa
sepuluh larik sinar ungu dari ujung jari-jarinya. Zraaabbb...!
Sayangnya Sri Maharatu mampu
bergerak lincah dengan menarik jubahnya ke depan dan menghadang sepuluh sinar
ungu itu. Sehingga sinar-sinar tersebut memantul balik dan nyaris kenai tubA
Dewa Sengat sendiri. Untung Dewa Sengat segera berjungkir balik di udara,
sehingga sinar itu melesat ke arah lautan dan menggelegar di sana.
Tetapi seketika itu pula
cambuk pusaka berkelebat melecut tubuh Dewa Sengat dengan kecepatan tinggi.
Taarrr...! Craass...! Cambuk itu melilit dari pundak kanan ke pinggang kiri.
Tali cambuk menyala biru seketika itu juga. Asap mengepul dengan tebal.
Ketebalannya tidak bisa
ditembus mata manusia biasa, sehingga Putri Kunang dan Delima Gusti menjadi
tegang dan kebingungan mencapai sasaran pandang di balik gumpalan asap itu.
Ketika asap telah menepi dan
lenyap terbawa angin pantai, Putri Kunang mendelik melihat gurmya telah
terkapar dalam keadaan tubA terpotong menjadi dua bagian dari pundak ke
pinggang. Tentu saja Dewa Sengat tak punya nyawa lagi, dan ia tergeletak
bagaikan bonekakayu yang tak berguna lagi.
"Gtrшшш...!" teriak
Putri Kunang sambil menangis, ia keluar dari tempat persembunyiannya,
menghamburkan tangis ke mayat gшrшya.
"Akhirnya kau mшcшl juga,
Anak Bengal! Hi hi hi...!" Sri Maharatu melecehkan tangis Putri Kunang.
"Menangislah tujuh hari lamanya, maka mayat gшrtmш akan membшsшk di
depanmu, tak akan bangkit lagi!"
"Manusia kejam!"
geram Putri Kunang. Ia segera bangkit dan tangan kanannya menyentak lurus,
dengan telapak tangan lurus yang tengkurap. Lalu dari tangan itu menyemburlah
puluhan kunang-kunang beracun warna hijau yang segera menerjangtubuh Sri
Maharatu.
Tetapi kunang-kunang beracun
itu pun dengan mudah dilenyapkan oleh sinar merahnya Sri Maharatu. Wuusss... !
Lenyapnya kunang-kunang beracun itu membuat Sri Maharatu lepaskan tawa
kemenangan yang mengikik. Putri Kunang kian geram, lalu ia pun mencabut
pedangnya.
"Hei, kau mau bertarung
melawanku, Anak Bengal?! Bukankah pertarungan kita kurang tiga hari lagi, tepat
malam purnama? Tahanlah dulu!"
"Pertarungan kita memang
kurang tiga hari lagi, tapi sekarang aku menuntut balas kematian gшrшkш dulu!
Hiaaat...!"
Putri Kunang melompat cepat
dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi Sri Maharatu segera melompat juga dengan
kaki berkelebat dan ujung kakinya melepaskan sinar putih kecil. Slaap...!
Deeb...!
"Uuhg...!" Putri
Kunang terpental mundur dengan suara pekiktertahan. Sinar putih kecil bagaikan
perak itu mengenai dadanya, ia terjungkal dan dadanya menjadi biru legam.
Wajahnya pucat, walau ia masih berusaha untuk bangkit. Mulutnya mulai keluarkan
darah kental.
"Dia terluka!" gumam
Delima Gusti dari persembunyiannya.
Sri Maharatu tertawa dan
berseru, "Kalau kau kehendaki pertarungan sekarang juga, maka terimalah
ajalmu ini, Anak Bengal!"
Cambuk terangkat dan hendak
dilecutkan. Jelas jika mengenai punggung Putri Kunang, maka tubA gadis cerewet
itu akan terpotong menjadi dua bagian, seperti nasib gurunya.
Tapi ketika cambuk hendak
dilecutkan, Delima Gusti lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru dari
telapak tangannya. Claapp...! Selarik sinar biru tepat kenai bawah ketiak
tangan kanan Sri Maharatu. Desss...!
Wuuttt...! Bruukkk!
Tшbшh Sri Maharatu terlempar
limatombak jauhnya.
Padahal seharusnya tubA itu
hancur berkeping-keping, tapi karena mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup
tinggi, maka tubA itu hanya hangus di bagian bawah ketiak dan terlempar
berguling-guling. Sayang cambuknya tidak terlepas dari tangan, sehingga Delima
Gusti tak dapat menyambarnya.
"Uuhhg...!" Sri
Maharatu mengerang kesakitan, tak lama kemudian memuntahkan darah segar. Tapi
matanya masih memandang ke arah kernm^^ Delima Gusti. Cambuknya dapat
berkelebat sewaktu-waktu.
"Putri Kunang! Cepat
tinggalkan dia! Kau terluka parah!" seru Delima Gusti. Putri Kunang
setшjш, namun ia tak mampu berdiri karena kekuatannya semakin berkurang,
tubuhnya menjadi lemas. Wajahnya mulai membiru.
Delima Gusti segera menyambar
tшbшh Putri Kunang. TubA itu dipanggul di pundaknya. Pedang Putri Kunang jatuh
dan dibiarkan saja. Kemudian, Delima Gusti membawanya lari saat Sri Maharatu
mulai bangkit berdiri.
"Hei, mau lari ke mana
kalian, hah?!"
Teriak Sri Maharatu tidak
dihiraukan. Delima Gusti merasa perlu menyelamatkan Putri Kunang. Sekalipun
negerinya bermшsшhan dengan orang-orang Pulau Dadap, tapi Delima Gusti telah
memperoleh kesimpulan bahwa permusuhan itu timbul karena ulah Sri Maharatu.
Putri Kunang sebenarnya tidak
bersalah, karena segala perintah keluar dari mulut Sri Maharatu. Jika Sri
Maharatu mati, mungkin saja antara orang-orang Pulau Dadap dan orang-orang
Kadipaten Suralaya akan berdamai.
Delima Gusti berlari lebih
cepat lagi, tetapi gerakan Sri Maharatu yang mengejarnya jauh lebih cepat lagi.
Luka dalam yang cukup berat itu bagaikan tidak mengurangi kekuatan Sri
Maharatu. Bahkan ia tampak semakin ganas dan bernafsu sekali untuk membшnшh
adik tirinya serta Delima Gusti.
Taarrr...! Cambuk dilecutkan
di udara, lalu hujan petir pun datang.
Blegaarr...! Blegaarr...!
Blegaarr...!
Delima Gusti berlari dengan
melompat ke sana-sini sehingga ia dapat lolos dari hujan petir. Arah
pelariannya tak bisa dipastikan, karena Sri Maharatu mengejarnya secara membabi
buta. Sesekali menghujani mereka dengan petir-petir yang dapat menghancurkan tubA
mereka dengan sentuhan sedikit saja.
"Yaaah...?!" Delima
Gusti terperangah, ia salah arah. Ia telah berlari ke bibir tebing karang. Tak
ada jalan lain di depannya. Hanya ada jurang yang amat dalam, dibawahnya
batu-batu karang runcing yang dihantam ombak besar. Tak mungkin digunakan untuk
terjun, sama saja bunuh diri.
Sambil masih memanggul-manggul
tшbшh Putri Kunang, Delima Gusti kebingungan mencari arah pelariannya, ia
segera membalik arah, tapi Sri Maharatu telah mmd di depannya dan menyergapnya
dengan cambuk siap dilecutkan.
"Mau lari ke mana kau,
Tikus Busuk?!" kata Sri Maharatu sambil menyeringai.
Delima Gusti membatin,
"Celaka! Tak ada cara lain kecuali menghadapinya!" Maka ia pun
menur-mk^ tubA Putri Kunang yang semakin lemas, wajahnya kian membiru, napasnya
mulai menipis. Iba hati Delima Gusti kepada Putri Kunang bukan membuat
semangatnya tinggi, melainkan justru turn. Sebab dalam alam pikirannya, jika
Sri Maharatu terhadap adik tirinya saja tega melukai separah itu, apalagi
terhadap dirinya yang dianggap mшsшh bebuyutan. Pasti Sri Maharatu tak akan
segan-segan pergunakan Cambuk Getar Bumi untuk mempercepat kematian musuh
bebuyutannya.
"Mati aku! Tapi aku harus
mencoba melawannya. Aku tak mau mati dalam keadaan menyerah! Aku ingin
matiterhormat!" kata Delima Gusti.
"Tikus busuk!"
sentak Sri Maharatu, "Sudah tiba saatnya kau gugur di tangan musuh lamamu
ini! Dan kali ini Cambuk Getar Bumi yang akan menghantarkan dirimu ke gerbang
alam kelanggengan!"
Sreettt...! Delima Gusti cabut
pedangnya. Sri Maharatu siap-siap lecutkan cambuk pusaka itu. Namun mendadak ia
mendengar seruan keras dari belakangnya.
"Hentikan!"
Sri Maharatu berpaling ke
belakang sebentar, dahinya berkerut, ia segera lompat ke samping, karena tak
mau dibokong oleh Delima Gusti saat ia memperhatikan orang yang berseru itu.
Sedangkan Delima Gusti tercengang sesaat, lalu wajahnya cerah dan senyumnya
mengembang, ia pun berseru girang,
"Sutooo.! Suto...!"
Pendekar Mabuk berhasil
melacak kepergian lewat gelegar hujan petir tadi. Rupanya pendekar yang semula
kehilangan ingatan dan ilmunya itu menjadi pulih seperti sediakala setelah
dimandikan di Kolam Sabda Dewa. Bahkan kehadirannya di bukit karang itu
disertai Resi Walung Gading yang menjadi pemandu dalam pelacakan Cambuk Getar
Bumi itu.
Bumbung tuak yang selalu
mengikutinya itu pun sudah ada di tangannya kembali begitu Suto temukan
kesadarannya. Kini ia justru menengak tuaknya dengan tenang, seakan tak merasa
takut didera cambuk pusaka itu.
"Tampan sekali dia?
Hmmm... rupanya dia yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kondang
itu?" gumam hati Sri Maharatu. "Ala, Mak...?! Sayang sekali kalau
pria setampan itu harus kulukai dengan cambuk ini?!"
Suto Sinting melangkah dekati
Sri Maharatu, sementara Resi Wulung Gading tetap tinggal di tempat, menjadi
penonton yang baik, seperti Delima Gusti.
Senyum jalang Sri Maharatu
mulai disunggingkan. Kerlingan matanya sengaja dipamerkan agar Suto tergoda.
Pendekar Mabuk membalas dengan senyuman lembutnya yang menawan. Tapi ia segera
berkata dengan nadategas.
"Cambuk itutercemar
kutuk. Kalau kau tidak segera menghancurkannya kau akan menjadi orang sesat
sepanjang masa. Jika kau mati, rohmu akan hinggap pada binatang-binatang
menjijikkan."
"Jadi apa maksudmu datang
kemari, Pendekar Tampan?"
"Menghancurkan cambuk
itu, supaya tidak menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan manusia di muka
bumi!" jawab Pendekar Mabuk dengantegas.
"Tidak bisa. Aku lebih
setuju kalau kau ikut pulang ke Pulau Dadap dan menjadi suamiku. Aku sudah dua
tahun menjanda, Pendekar Mabuk!"
"Lupakan tentang
harapanmu itu, yang penting serahkan dulu cambuk itu padaku dan akan
kthancшrkan sekarang juga, supayakau bebas dari hidup sesat!"
Sri Maharatu semakin berkerut
dahi. "Kalau begitu kau ada di pihak Delima Gusti?!"
"Aku ada di pihak yang
benar!"
"Hmmm... rupanya kau si
tampan yang patut dihancurkan pula?!" Sri Maharatu manggut-manggut.
"Bersiaplah untuk hancur, Pendekar tampan yang bodoh!"
Melihat cambuk mulai mau
digerakkan, Suto Sinting segera menggerakkan kedua tangan, membuka jurus yang
akan membingungkan penglihatan Sri Maharatu. Seett...! Slaapp...! Jurus 'Sapta
Tingal' digunakan oleh Pendekar Mabuk. Jurus itu membuat wujud Pendekar Mabuk
ada tujuh orang. Dan tentu saja mencengangkan Delima Gusti serta Sri Maharatu.
"Edan! Suto Sinting ada
tujuh...?!" gumam Delima Gusti.
Tujuh sosok, tujuh ciri dan
tujuh rupa Pendekar Mabuk itu segera bergerak sendiri-sendiri, mereka membentuk
lingkaran mengшrшg Sri Maharatu. Gerakkan mereka semakin cepat dan membuat Sri
Maharatu yang diputari itu bingung menentukan mana Pendekar Mabuk yang asli.
Taarrr...! Cambuk dilecutkan,
mengenai tubA Pendekar Mabuk. Tapi^u^ itu lenyap tak berbekas. Itu berarti tubA
yang palsu. Cambuk pun dilepas kembali, sekaligus menyambar dua sosok Pendekar
Mabuk. Tarr, tarr...!
Dua sosok itu pun lenyap tak
berbekas, tidak terpotong seperti Dewa Sengat.
"Mana yang asli! Sebutkan
dirimu! Mana yang asli...?!"
Keempat sosok Suto
itumenjawab, "Akшшш.J"
Sri Maharatu bingung, ia
segera melecutkan cambuknya ke salah satu bayangan kembar itu. Tapi lagi-lagi
ia salah sasaran. Dan pada waktu ia melecutkan cambuknya itu, Suto Sinting
sentakkan telapak tangan ke depan dengan hembusan napas melalui hidung, bukan
melalui mulut. Jurus 'Yudha' dipergunakan. Dari tangan itu melesat logam putih
berbentuk bintang kecil-kecil, jumlahnya lebih dari sepuluh bintang. Claapp...!
Jruubbb...! Bintang-bintang itu menancap terbenam di pinggang kanan Sri
Maharatu. Perempuan itu hanya tersentak kaget dan segera pan dangi Suto.
Namun ia hanya bisa diam
memandang tanpa bergerak-gerak lagi. Ketika angin berhembus, daun telinganya
jatuh sendiri, disusul jari-jari tangannya yang jatuh ke tanah, lalu
bagian-bagian tubA lainnyamenjadi rontok dan kepala perempuan itu pun
menggelinding ke tanah. Plok...! Masih tetap melotot namun tak bergerak lagi.
Itulah kehebatan jurus 'Yudha'
pemberian Ratu Kartika Wangi. Suto menggunakan jurus itu atas anjuran calon
mertuanya yang telah memandikan dirinya di Kolam Sabda Dewa, yang membuat
kekuatan dan ingatannya pulih kembali. Kematian Sri Maharatu membuat Delima
Gusti dan Resi Wulung Gading terbengong tak mampu kedipkan matanya. Andai
Delima Gusti tidak terpaku bengong di tempat, tentunya ia segera menyambar
Cambuk Getar Bumi yang jatuh di tanah itu.
Kesadaran akan cambuk itu
terlambat, karena Pendekar Mabuk telah menyemburnya dengan tuak, dan Cambuk
Getar Bumi pun lenyap karena jurus 'Sembur Siluman' itu. Kini cambuk pusaka
telah tiada, Sri Maharatu pun telah binasa.
Suto Sinting dan Resi Wulung Gading
mendapat undangan upacara penobatan Putri Kunang sebagai penguasa tunggal Pulau
Dadap. Bahkan Delima Gusti pun hadir dalam acara tersebut. Kehadirannya itu
yang menjadi titik awal perdamaian antara orang-orang Pulau Dadap dengan
orang-orang Kadipaten Suralaya.
SELESAI