gunung ada lagi gunung hijau
auwteng ada pula lauwteng lainnya,
nyanyian-nyanyian dan tari-tarian di Telaga Barat,
kapankah itu akan berhenti?
Penghidupan mewah di Selatan
telah membuat mabuk kepada pelancong-pelancong tetamu, Hingga kota Hangciu
dianggapnya sebagai kota Pianciu!
Syair di atas adalah lukisan
dari peristiwa pada delapan ratus tahun yang lampau. Waktu itu kerajaan Song
telah menjadi sedemikian lemahnya hingga bangsa Kim (Kin) menawan kedua kaisar
Kim Cong dan Hwie Cong, karena mana itu pangeran Kong Ong lalu menyeberang ke
Selatan, menerima tahta kerajaan di kota Lim-an, menjadi Kaisar Kho Cong. Dalam
waktu sesulit itu, selagi musuh mengancam di tapal batas, setelah separuh dari
negara berada di dalam tangan musuh itu, sudah selayaknya satu kaisar bangkit
bangun untuk membuat perlawanan, sayangnya pemikiran Kaisar kho cong ini tidak
seperti itu. Dia justru jeri terhadap bangsa Kim itu yang dipandangnya sebagai
harimau saja, di situasi yg sama dia khawatir kalau kedua Kaisar Hwie Cong dan
Kim Cong nanti kembali dari tawanan hingga dia tak dapat terus bercokol di atas
singasana naga. Maka dengan itu menurut perkataannya dorna Cin Kwee4, dia
titahkan membunuh Jenderal Gak Hui, pendekar yang menentang musuh Kim itu,
sesudah mana itu dengan merendahkan martabat sendiri ia mengajukan permohonan
damai dengan bangsa Kim.
Inilah pengharapan bangsa Kim
yang disaat itu tengah gelisah sebab telah berulangkali mereka memperoleh
labrakan dari Jenderal Gak Hui, hingga semangatnya terpukul hebat, sementara di
wilayah Utara mereka terancam pemberontakan tentera rakyat sukarela. Begitu di
dalam bulan pertama tahun kerajaan Ciauw-hin ke-12 (1138 masehi) perdamaian
telah ditandatangani dengan syarat tapal batas kedua negara Song dan Kim adalah
aliran tengah dari sungai Hoay-sui.
Perdamaian itu namanya saja
perdamaian, kenyataannya adalah penaklukan dari Kaisar Kho Cong itu (yg bernama
Tio Kouw adalah putra ke-9 dari Kaisar Hwie Cong). Sebab di dalam suratnya, Kho
Cong menyatakan dan mengaku sudah terima budi kebaikan dari raja Kim, karena
mana turun temurun ia akan menjadi “menteri yang setia” serta berjanji setiap
ulang tahun, "Kaisar" demikian ia menyebut raja Kim itu. begitu juga
setiap tahun, ia akan kirim utusan guna memberi selamat sambil memberi hadiah
berupa upeti uang perak duapuluh lima laksa tail dan cita duapuluh lima laksa
balok.
Demikian macam martabatnya
seorang Kaisar, ia sungguh memalukan, maka ketika tentera dan rakyat negeri
mengetahui hal itu, semuanya menjadi murka dan berbareng berduka. yg Lebih
bersedih dan kecewa adalah rakyat di wilayah utara sungai Hoay-sui itu,
karena mereka
menjadi tidak mempunyai
harapan lagi akan bangunnya negara. Dipihak lain, Kho Cong menganggap itu
adalah jasa besar dari dorna Cin Kwee, maka juga dorna yang sudah tinggi
pangkatnya, yaitu Siaupo Copoksia merangkap Kie-bit-su gelar Pangeran
Louw-kokong, dinaiki kembali menjadi Taysu, hingga kedudukanya telah mencapai
puncaknya kebesaran suatu menteri!
Semenjak itu bangsa Kim
menduduki separuh dari wilayah Tiongkok. Walaupun demikian pemerintahan di
Hangciu malah bertambah buruk, raja dan menteri- menterinya, setiap hari
berpelesiran saja, berpesta pora, tidak memikirkan lagi kepentingan negara,
sedang beberapa menteri atau perwira yang setia, umumnya kalah pengaruh dan
tidak berdaya, hingga mereka pada menutup mata karena mereras.
Demikan syair di atas,
gambaran dari kaisar yg lemah dan buruk tapi pecandu pelisir!
1) Telaga Barat – See Ouw (Si
Hu)
2) Piancu – Kaifeng (Kayhong),
ibukota propinsi Honan. Bekas kotaraja.
3) Lim-an – Hangciu
(Hangchow), ibukota Chekiang, inilah yang dimaksud dengan Selatan (Kanglam)
4) Dorna Cin Kwee – Di Hangciu
telah dibuat patungnya sebagai tanda peringatan dari khianatnya terhadap negara
dan ada satu waktu yang patungnya itu telah diperhina dengan ludah maupun
kotoran manusia.
Bab 1. Pertempuran di Tanah
Bersalju
Beberapa tahun telah
berselang, Kaisar Kho Cont itu digantikan oleh Kaisar Hauw Cong. lalu ia
digantikan Kaisar Kong Cong, lalu Kaisar Leng Cong. Pada tahun Keng-goan ke-5 dari Kaisar ini,
selagi musim dingin, telah turun hujan salju lebat selama dua hari
berturut-turut, hingga Hangciu, ibukota Kerajaan Song itu seperti bermandikan
air perak, bercahaya berkilau, indah dipandang. Dan diwaktu begitu, Kaisar dan
menteri-menterinya dengan duduk mengelilingi perapian, bersenang-senang
menenggak air kata-kata......
* * *
Di luar kota Hangciu, di
sebelah timurnya, di dusun Gu-kee-cun, dua orang gagah pun tengah minum arak
putih sambil duduk berhadapan, oleh karena mereka adalah bagaikan saudara
sejati. Dari mereka itu, yang satu bernama Kwee Siauw Thian, yang lainnya Yo
Tiat Sim, kedua-duanya adalah turunan orang-orang kenamaan.
Siauw Thian itu adalah turunan
dari Say-Jin-Kui Kwee Seng, itu adalah salah satu jago dari seratus delapan
orang kosen dari gunung Liang San yang kesohor dengan ilmu silat tombaknya,
hanya setelah tiba pada dia ini, tombak yang panjang itu diganti dengan sepasang
tombak pendek dan bergaetan (siangkek). Sementara Yo Tiat Sim itu adalah
turunan dari Panglima Yo Cay Hin, salah seorang bawahan Jenderal Gak Hui dan
ilmu tombaknya adalah warisan leluhurnya. Mulanya kedua orang ini bertemu dalam
pengembaraan, setelah merasa cocok, maka mereka mengangkat saudara, kemudian
bersama-sama mereka pindah dan tinggal di dusun ini. Kebiasaan mereka adalah
duduk berkumpul, pasang omong dan menyakinkan ilmu silat.
Demikian juga pada hari itu,
selagi salju turun, mereka duduk minum arak dan berbicara dengan asyiknya,
tempo mereka omong hal nasibnya negera, keduanya menjadi berduka dan
berdongkol, tiba-tiba saja Tiat Sim mengeprak meja dengan kerasnya. Justru saat
itu ada seorang keluar dari ruang dalam, apabila gorden tersingkap, terlihatlah
seorang wanita yang cantik sekali, tangannya memegang nenampan di atas mana ada
terdapat masakan daging sapi serta ayam.
“Hai, urusan apa lagi yang
membuat kamu berdua saudara marah?” tanya wanita itu sambil tertawa.
“Kami tengah membicarakan
urusan yang gila-gila dari negara!” sahut Siauw Thian. “Enso, mari kau pun
minum satu cawan!”
Wanita itu adalah Pauw-sie,
istri dari Yo Tiat Sim. Di Lam-an ini, dia adalah merupakan wanita tercantik
dan halus budi pekertinya, hingga ia tepat dengan romannya. Siapa yang melihat
dia, pasti kagumlah hatinya. Dengan Tiat Sim, belum lama ia menikah, tetapi dia
itu orangnya luwes dan dapat dengan gampang bergaul dengan kaum pria-dalam
halnya dengan Siauw Thian, iparnya itu. Begitulah, setelah ia meletakkan barang
makanan-nya, ia mengambil cawan dan mengisinya, sesudah itu mengambil kursi dan
meminum araknya itu.
“Kemarin selagi aku berada di
dalam warung teh di Tong Lam di ujung jembatan Cong An Kio, aku mendengar orang
membicarakan halnya Han To Cu si perdana menteri keparat itu!” Tiat Sim
menyahuti pertanyaan istrinya tadi. “Rapi pembicaraan itu, hingga aku percaya
itu bukanlah omong kosong belaka. Orang itu bilang, pembesar siapa juga,
jikalau dia hendak mengajukan laporan, apabila di ujung sampulnya tidak
disertai keterangan dia menghadiahkan sesuatu, pasti perdana keparat itu tidak
akan memeriksanya!”
Siauw Thian menghela napas.
“Ada rajanya, ada menterinya” katanya masgul. “Ada menterinya, ada
pembesar-pembesar bawahannya.Lihat saja Tio Tayjin, residen dari kota Lim-an
kita ini. Hari itu Han To Cu pesiar di luar kota dengan diiringi banyak
pembesar. Kebetulan aku lagi mencari kayu di dekat situ. Tentu saja aku tidak
ambil mumat padanya itu. Lalu aku mendengar dia menghela napas dan berkata seorang
diri: ‘Di sini rumah-rumah berpagar bambu dan beratap, sungguh suatu desa yang
indah menarik hati, hanya sayang sekali, disini tidak terdengar suara ayam
berkokok dan anjing menggonggong...’ Belum lagi dia menutup mulutnya lalu
terdengar gongongan anjing dari dalam semak-semak!”
Pauw-sie bertepuk tangan
sambil tertawa. “Sungguh anjing yang tahu diri!” katanya.
“Memang anjing yang sangat
tahu diri!” sahut Siauw Thian. “Setelah menggonggong, dia muncul dari
semak-semak itu! Enso tahu, anjing apakah itu? Dialah Tio Tayjin, residen
kita!”
Pauw-sie menjadi tertawa
terpingkal-pingkal. Tiat Sim dan Siauw Thian pun tertawa.
Mereka minum terus hingga
terlihat salju turun makin lebat.
“Nanti aku undang enso minum
bersama,!” kata Pauw-sie kemudian.
“Tidak usah,” Siauw Thian
mencegah. “Selama beberapa hari ini, dia merasa kurang sehat....”
Pauw-sie terkejut, “Ah,
mengapa aku tidak tahu!” katanya. “Nanti aku tengok!”
Siauw Thian tidak bilang
apa-apa lagi, dia malah tersenyum. Menampak hal itu, legalah hati Tiat Sim. Itu
artinya nyonya Kwee tidak berat sakitnya.
Tak lama, nyonya Yo kembali
sambil tersenyum- senyum. Ia isikan satu cawan, lalu mengansurkan cawan itu
kepada suaminya.
“Lekas minum sampai habis!”
katanya. “Inilah tanda hormat kepada Toako!”
“Eh, apakah artinya ini?”
tanya Tiat Sim tidak mengerti.
“Minum, lekas minum!” desak
Pauw-sie. “Habis minum nanti baru aku beri keterangan!” katanya kemudian.
Tiat Sim lalu meminum kering
cawan itu.“ Nah, Toako, kau biacaralah sendiri!” kata Pauw-sie sambil tertawa
kepada Siauw Thian.
Orang she Kwee itu tersenyum
dan berkata, “Selama sebulan ini dia senantiasa mengeluh pinggangnya pegal dan
sakit. Baru kemarin dia pergi ke Thio Ie-seng di dalam kota, kata tabib itu dia
sudah mengandung selama tiga bulan....”
Tiat Sim menjadi girang
sekali. “Kiong hie, Toako!” katanya sambil memberi selamat. Lalu ketiganya
meneguk arak mereka, masing- masing tiga cawan. Tentu saja dengan meminum
sebanyaknya itu, sedikitnya arak itu telah mempengaruhi mereka.
Pada saat itu di arah timur
kelihatan satu tosu atau imam sedang mendatangi. Dia memakai tudung bambu dan
tubuhnya di tutupi dengan baju rumput, yang seluruhnya penuh dengan salju. Ia
bertindak dengan tegap dan cepat. Segera tertampak di punggungnya ada tergantung
sebatang pedang, yang roncenya kuning dan memain di antara tiupan angin yang
keras.
“Adik, imam ini pasti mengerti
ilmu silat,” Siauw Thian bilang. “Entah dari mana dia datang. Coba kita dapat
berkenalan dengannya. Sayang kita belum tahu namanya...........”
“Benar,” sahut Tiat Sim. “Baik
kita undang dia minum untuk ikat persahabatan......” Keduanya segera berbangkit
dan pergi keluar. Ketika itu karena cepat jalannya, si imam sudah lewat
beberapa puluh tombak. Siauw Thian dan Tiat Sim saling melihat dengan herannya.
“Totiang, tunggu sebentar!” Tiat Sim segera memanggil. Cepat sekali si imam
memutar tubuh dan mengangguk.“Salju turun dengan lebatnya dan hawa pun sangat
dingin,” kata Tiat Sim pula, “Sudilah Totiang mampir untuk minum beberapa cawan
guna melawan hawa dingin.'Iman itu menyahuti dengan tertawa dingin, lalu ia
bertindak menghampir-cepat sekali tindakannya.Siauw Thian dan Tiat Sim berdua
sangat kgaet dan heran menyaksikan muka orang yg berwajah sangat dingin sekali.
“Kamu pandai bergaul, eh!”
katanya tawar Tiat Sim masih muda dan dia tidak senang dengan sikap orang.
“Dengan baik hati aku mengundang kau minum, kenapa kau begini tidak tahu
aturan?” pikirnya. Maka ia menjadi diam saja.
Siauw Thian sebaliknya lantas
memberi hormat. “Totiang, harap anda tidak marah dengan sikap saudaraku ini.
“Kami sedang minum arak, melihat Totiang melawan salju, dia besarkan nyali
untuk mengundang Totiang minum bersama....”
Imam itu memutar matanya.
“Baik,baik!” katanya. “Minum arak ya minum arak!” Dan dengan tindakan lebar ia
menuju ke dalam.
Tiat Sim merasa dongkol, ia
ulurkan tangannya hendak mencekal tangan kiri si imam untuk ditarik ke samping.
“Aku belum belajar kenal dengan Totiang!” katanya. Tapi tiba-tiba ia merasa
kaget. Ia merasai tangan orang sangat licin. Ketika ia berniat menarik pulang
tangannya, tahu-tahu tangan itu bagaikan terjepit dengan keras, rasanya sakit
dan panas. Ia kerahkan tenaganya untuk melawan. Justru dengan berbuat demikian
ia merasakan tangannya hilang tenaga dan sakit sekali, rasa sakitnya sampai ke
ulu hati.Siauw Thian tampak wajah saudaranya merah dan pucat, ia tahu
saudaranya ini tentu telah “ketemu batunya”. Ia mengerti gelagat yang kurang
baik itu dan sangsi turun tangan untuk membantu.
“Totiang, mari silakan duduk di sini!” ia
mengundang. Dua kali si imam kasih dengar tertawanya yang dingin itu, baru ia
lepaskan cekalannya atas tangan Tiat Sim. Hal ini membuat orang she Yo itu
mendongkol dan heran, ia terus masuk ke dalam, akan diberitahukannya istrinya
tentang imam itu.“Dia sangat aneh, pergi temani dulu,” kata Pauw- sie. “Jangan
turun tangan, perlahan-lahan saja kita cari tahu tentang dirinya...”
Tiat Sim menuruti perkataan
istrinya itu. Pauw-sie segera menyiapkan arak dan barang hidangan dan menyuruh
Tiat Sim membawa keluar.
“Tunggu sebentar!” memanggil
sang istri. Tiat Sim pun memutar kembali.
Pauw-sie menurunkan sebuah
pisau belati yang tajam mengkilap, yang tergantung pada tembok, ia memasukkan
belati itu ke dalam saku suaminya.
Tiat Sim pun kemudian keluar
membawa barang hidangan itu dan mengaturnya di meja. Ia menuangkan tiga cawan,
terus ia mengundang tamunya untuk minum. Ia juga meneguk satu cawan, habis
minum ia berdiam saja.
Imam itu memandang keluar
jendela dan mengawasi salju. Ia tidak meminum araknya dan ia pun tidak membuka
mulutnya melainkan hanya tertawa dingin saja.
Siauw Thian menduga si imam
tentu curigai araknya, ia mengambil cawan arak di hadapan imam
itu, terus ia cegluk di
hadapan imam itu. Ia menyambuti, terus diminumnya.
“Arakmu telah dingin Totiang,
nanti aku tukar dengan yang baru,” katanya. Dan ia mengisikan pula.
Si imam dapat mencium bau
harum dari arak itu, ia menyambuti dan terus diminumnya. “Walaupun arak ini di
campuri dengan obat pulas, tidak nanti aku kena diracuni!” katanya.
Tiat Sim menjadi hilang sabar.
“Kita undang kau minum dengan maksud baik, mustahil kami hendak mencelakai
kau!” tegurnya. “Totiang, kau omong tidak karuan, silakan lekas keluar! Arak
kita tidak bakalan menjadi rusak dan sayur kita tak nanti tak ada yang
memakannya!”
“Hm!” bersuara si imam itu.
Tak lebih. Ia jemput poci arak dan menuang arak itu sendiri, lalu ia tenggak
habis tiga cawan. Habis itu dia buka baju luarnya dan letaki tudungnya.
Sekarang baru Tiat Sim dan
Siauw Thian dapat melihat dengan tegas wajah orang. Mereka menduga si imam baru
berumur tiga puluh tahun lebih, sepasang alisnya panjang lancip, kulit mukanya
merah segar, mukanya lebar dan kupingnya besar. Ia bukan sembarang imam. Ketika
ia kasih turun kantung di punggungnya, ia terus lempar barang itu ke atas meja
hingga terbitlah suatu suara yang keras, hingga kedua tuan rumah itu menjadi
kaget sekali. Sebab yang menerbitkan suara nyaring itu yang menggelinding
keluar dari dalam kantung itu adalah kepala manusia yang masih berlumuran
darah, hingga tak nampak jelas raut mukanya.
Tiat Sim meraba pisau belati
dalam kantungnya. Si imam menukik pula kantungnya, kali ini dikeluarkannya dua
potong daging yang penuh darah juga, karena itu adalah hati dan jantung
manusia.
“Jahanam!” teriak Tiat Sim
yang sudah tak tahan sabar lagi, sedang tangannya melayang ke dada si imam.
“Kebetulan, aku memang
menghendaki barang ini!” seru si imam sambil tertawa. Ia tidak menghiraukan
tikaman itu, hanya ketika si orang she Yo itu datang mendekat, ia menggempur
dengan tangan kirinya, hingga seketika juga Tiat Sim merasa bahunya tergetar, lalu
tiba-tiba saja pisau belatinya kena dirampas orang!
Siauw Thian kaget bukan
kepalang. Ia tahu lihaynya adik angkatnya itu, yang cuma kalah sedikit
dengannya. Tidak disangka, demikian gampang imam ini merampas senjata orang.
Itulah ilmu silat “Khong- ciu toat pek-jin” atau “Tangan kosong merampas
senjata tajam” yang lihay, yang baru pernah ia saksikan. Meskipun ia kaget, ia
toh segera bersiap dengan memegang bangku, guna membela diri umpama kata si
imam terus menyerang. Akan tetapi dugaannya ini salah adanya. Imam itu tidak
menyerang siapa juga, ia hanya lantas gunai pisau itu untuk memotong-motong
hati dan jantung manusia itu, lalu dengan tangan kiri mencekal poci arak,
dengan tangan kanan ia jumputi potongan daging satu demi satu, untuk dimasukkan
ke dalam mulutnya, buat dikuyah dan ditelan, saban-saban dia selang itu dengan
tenggakan arak pada pocinya. Cepat daharnya, sebentar lagi habis sudah makanan
yang rupanya sangat lezat itu!
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua saling mengawasi dengan tercengang. Sungguh aneh imam ini. Akan tetapi
itu masih belum semua. Habis dahar, imam itu berdongak, lalu ia bersiul nyaring
sekali, umpama kata genting sampai bergetar, kemudian tangan kanannya menyerang
ke meja, hingga piring dan cawan berlompat! Yang hebat adalah sasaran serangan
itu, ialah kepala manusia itu, yang remuk seketika! Sedang ujung meja turut
sempal sedikit........
Selagi dua saudara angkat itu
berdiam, wajah si imam yang tadinya bermuram durja dan bengis, tiba- tiba
berubah menjadi penuh dengan air mata, dengan air mata bercucuran ia lalu
menangis dengan meraung-raung!
“Kiranya dia seorang yang
edan...!” bisik Siauw Thian kepada adik angkatnya, yang ujung bajunya ia tarik.
“Dia lihay sekali, jangan kita ladeni dia....”
Tiat Sim mengangguk, ia awasi
imam itu. Sekarang tidak lagi ia gusur, sebaliknya ia merasa kasihan. Sedih
tangisnya si imam ini, ilmu silat siapa sebaliknya ia kagumi. Maka kemudian ia
lari ke dalam untuk mengambil semangkok kuwah yang masih panas.
“Totiang, mari minum kuwah ini!”
katanya. Ia letaki mangkok itu di atas meja.
Si imam bukan menerima kuwah
iru, ia sebaliknya menggebrak meja hingga mangkok itu terbang berikut mejanya.
Ia pun berseru :”Kawanan tikus, hari ini toyamu membuka pantangan membunuh!”
Menampak itu, meluaplah amarah
Tiat Sim, maka ia melompat ke ujung ruang untuk menyambar tombaknya, lalu ia
terus lari keluar, ke depan pintu dimana salju terhampar luas.
“Mari, mari!” ia menantang. “Mari belajar
kenal dengan tombak keluarga Yo!”
Imam itu tersenyum. “Tikus,
pantaskah kau menggunai ilmu silat tombak keluarga Yo?” tanyanya. Ia bersuara
sambil tubuhnya melompat keluar.
Melihat keadaan mengancam itu,
Siauw Thian lari untuk mengambil sepasang gaetannya, dengan lekas ia berbalik
kembali.
Imam berdiri tanpa menghunus
pedangnya, Cuma sang angin menyampok-nyampok ujung bajunya.
“Hunus pedangmu!” seru Tiat
Sim.
“Ah, dua tikus, kamu berdua
majulah berbareng!” sahut si imam. “Toya kamu akan layani kamu dengan tangan
kosong!”
Takabur bukan main orang
pertapaan ini, hingga Tiat Sim tidak berayal sejenak juga untuk segera menikam
dengan tombaknya yang beronce merah itu. Ia gunai tipu silatnya “Tok liong cut
tong” atau “Naga berbisa keluar dari gua”
“Bagus!” seru si imam kagm menampak
serangan itu yang menuju ke dadanya. Ia berkelit ke samping, tangan kirinya
bergerak, untuk sambar kepala tombak itu.Lihay ilmu silat tombak keluarga Yo
itu – Yo-kee Chio-hoat. Ketika Yo Cay Hin bersama tigaratus serdadunya –
tentara kerajaan Song menghadapi empat laksa serdadu Kim, seorang diri ia telah
membinasakan dua ribu lebih serdadu musuh berikut banyak perwiranya, sebelum
akhirnya ia roboh karena terkena banyak panah, waktu ia binasa dan bangsa
Kim membakar tubuhnya, dari
dalam tubuhnya itu kedapatan banyak ujung panah, sebab selagi ia terpanah,
gagang panah ia patahkan. Karena ini bangsa Kim menjadi jeri dan mengaguminya.
Tiat Sim tidak segagah leluhurnya itu tetapi ilmu silatnya cukup sempurna,
begitulah ia mencoba mendesak si imam tidak di kenal itu yang senantiasa lolos
dari tikaman, tempo habis sudah dijalankan semua tujuh puluh dua jurus ilmu
tombak itu, dia tidak kurang sesuatu apa. Baru sekarang si anak muda menjadi
gentar, terpaksa ia seret tombaknya untuk keluar dari kalangan.
Imam itu mengejar apabila ia
dapatkan lawannya itu lari. Sekonyong-konyong Tiat Sim berseru keras, tubuhnya
berputar balik, berbareng dengan itu, dengan kedua tangannya memegangi gagang
tombak, ia menikam dengan hebat sekali. Itulah tipu silat 'Cwie- pek po-kian'
atau 'menggempur tembok'. Dengan tipu itu, musuh dibikin tidak menyangka dan
menjadi kaget. Dengan tipu ini juga dulu Yo Cay Hin membikin rubuh Gak Hoan,
adiknya Gak Hui.
“Bagus!” seru si imam buat
kedua kalinya. Ia tidak menjadi gugup, justru ketika ujung tombak sampai, ia
menyambutnya dengan kedua telapak tangan dirangkap, ditempel menjadi satu
dengan keras, hingga ujung tombak itu kena terjepit.
Tiat Sim kaget bukan kepalang.
Ia mendorong dengan keras, tombaknya itu tak dapat maju melewati telapak tangan
lawan. Ketika ia menarik dengan sekuat tenaga, betotannya pun sia-sia belaka,
tombaknya tak terlepas dari cekalan lawannya itu, kuda-kuda si imam juga nancap
bagaikan terpaku. Tiga kali ia mencoba menarik tanpa hasil, mukanya menjadi
merah. Tiba-tiba saja si imam tertawa, lalu jepitan tangannya terlepas. Tapi ia
tidak Cuma melepas, tempo tombak tertarik pulang, ia membacok dengan tangan
kanannya kepada tombak, hingga dengan bersuara nyaring, tombak besi itu patah
menjadi dua potong!
Imam itu segera tertawa pula,
lalu ia berkata. Kali ini dengan suara manis. “Tuan, benar lihay ilmu silat
tombakmu!” katanya. “Maaf untuk perbuatanku ini! Mohon ku tanya she tuan”
“Aku yang rendah she Yo
bernama Tiat Sim,” sahut Tiat Sim, selagi ia belum dapat tenangkan diri. Ia
kesakitan pada kedua tangannya, ia pun heran sekali.
“Pernah apakah Tuan dengan
Ciangkun Yo Cay Hin?” tanya si imam.
“Ia adalah leluhur saya,”
jawab Tiat Sim pula.
Mandadak si imam itu menjura
kepada saudara angkat itu, sikapnya hormat sekali.
“Maaf, barusan aku menyangka
Tuan-tuan adalah orang jahat,” ia berkata dengan pengakuannya. “Aku tidak
sangka Tuan-tuan adalah turunan orang-orang setia. Boleh kutanya she Tuan?” ia
lanjuti kepada Siauw Thian.
Dengan cara hormat Siauw Thian
perkenalkan dirinya.
“Tuan ini kakak angkatku, dia
adalah keturunan dari Say Jin Kui Kwee Seng dari gunung Liang San,” Tiat Sim
menambahkan.
“Bagus!” berkata si imam, ia pun minta maaf
pada pemuda she Kwee itu. Kembali ia menjura.
Tiat Sim berdua membalas
hormatnya.
“Silahkan Totiang minum arak
pula,” ia mengundang pula kemudian.
“Memang kuingin minum dengan
puas bersama jiwi!” kata si imam denagn tertawa.
Tiat Sim dan Siauw Thian
undang orang masuk pula ke dalam.
Pauw-sie menyaksikan
pertempuran dari muka pintu, girang ia mengetahui kesudahannya orang menjadi
sahabat, ia terus lari ke dalam, untuk menyiapkan pula arak dan barang
hidangan.
Kali ini Tiat Sim dan Siauw
Thian tanya gelaran si imam.
“Pinto she Khu bernama Cie
Kee,” sahut imam itu.
Siauw Thian terperanjat
mendengar nama itu. “Oh, apa bukannya Tiang Cun Cinjin?” ia menyela.
“Itulah nama pemberian
rekan-rekanku, pinto malu menerimanya,” kata Cie Kee sambil tertawa.
Siauw Thian segera berkata
kepada adik angkatnya: “Adik, totiang ini adalah orang gagah nomor satu di ini
jaman! Sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengannya!”
“Oh!” Tiat Sim berseru kaget.
Lalu berdua, mereka berlutut di depan imam itu.
Khu Cie Kee tertawa, ia
memimpin bangun orang. “Hari ini pinto telah membunuh seorang jahat, karenanya
para pembesar negeri sedang mencari aku,” ia berkata. “Barusan pinto lewat di
sini, pinto lihat kamu berdua lagi minum arak. Di sini adalah kota raja dan
kamu kelihatannya bukan sembarang orang, dari itu pinto menjadi curiga
sendiri....”
“Keliru adalah saudaraku ini,
yang tabiatnya keras,” Siauw Thian bilang. “Totiang lihat sendiri, dia suruh
lantas turun tangan, pantas kalau Totiang jadi curiga karenanya.”
Siauw Thian dan Tiat Sim
tertawa. Begitulah mereka lalu minum dan dahar dengan gembiranya.
“Sebenarnya pinto adalah orang
utara,” kemudian Tian Cun Cinjin berkata pula. “Rumah tanggaku hancur lebur
karena kejahatan bangsa Kim, sedang pemerintah selalu mencari muka daripadanya,
dari itu pinto telah sucikan diri.” Ia terus tuding kepala manusia yang remuk
dan yang tergeletak di lantai itu. “Dia itu adalah Ong To Kian, si pengkhianat
besar. Pada tahun yang lalu kaisar mengutus dia kepada raja Kim, buat memberi
selamat ulang tahun raja itu. Ketika itu digunai ia untuk bersekongkol, supaya
bangsa Kim bisa menyerbu ke Kanglam. Pinto susul dia selama sepuluh hari, baru
ia dapat dicandak, lalu pinto membunuhnya. Pikiranku sedang kacau maka juga
tadi pinto berlaku tidak selayaknya.”
Siauw Thian dan Tiat Sim
membilang tidak apa. Mereka memang kagumi imam ini yang kesohor lihay ilmu
silatnya. Sekarang ternyata orangpun menyinta negara, mereka lebih-lebih lagi
menghormatinya. Lalu mereka mohon pengajaran silat. Khu Cie Kee tidak
keberatan, lalu ia memberi beberapa petunjuk.
“Totiang, sunggguh beruntung kami dapat
bertemu dengan Totiang,” kemudian Tiat Sim utarakan isi hatinya, “Maka itu
sudilah Totiang berdiam untuk beberapa hari di gubuk kami ini.”
Imam itu hendak menjawab tuan
rumah itu, ketika mendadak air mukanya berubah.
“Ada orang datang mencari
aku,” ia bilang, “Ingat, tidak peduli bagaimana denganku, sebentar kamu tidak
boleh munculkan diri! Mengerti?!”
Siauw Thian dan Tiat Sim heran
akan tetapi mereka lantas mengangguk.
Cie Kee lantas sambar
kepalanya Ong To Kian, dengan cepat ia bertindak keluar, lalu gesit bagaikan
burung terbang ia loncat naik ke atas sebuah pohon besar di dalam pekarangan,
di situ ia umpatkan dirinya.
Siauw Thian berdua heran bukan
buatan. Kecuali deruan angin, mereka tidak dengar suara lainnya, mereka pun
tidak nampak apa-apa. Baharu kemudian, sesudah memasang kuping dan angin pun
lewat, mereka dengar tindakan kaki kuda.
“Sungguh jeli kuping cinjin!”
puji Tiat Sim
Suara kuda itu datang semakin
mendekat, dan kemudian tampaklah belasan penunggang kuda, setiap penunggangnya
mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam. Mereka itu menghampiri pintu,
setelah tiba, orang yang pertama pecahkan kesunyian: “Sampai di sini
bekas-bekas kakinya, lalu lenyap!”
Beberapa orang lompat turun
dari kudanya, mereka periksa tapak kakinya Khu Cie Kee.
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua sembunyi di dalam rumah, dari mana mereka mengintai di antara sela-sela
jendela. Mereka dapat kenyataan orang semuanya gesit, suatu tanda dia orang
mengerti ilmu silat dengan baik.
“Masuki rumah itu dan
geledah!” terdengar memerintah orang yang maju di muka itu.
Dua orang segera lompat turun
dari kuda mereka, untuk itu lantas hampiri rumahnya Tiat Sim untuk
menggedornya. Justru itu dari atas pohon menyambar sebuah benda, yang jitu
sekali mengenai batok kepalanya satu di antara dua orang itu, hingga dia ini
rubuh dengan kepalanya pecah hancur. Hingga kawannya menjadi kaget dan
berteriak, hingga yang lain-lainnya turut berteriak pula, lebih-lebih setelah
diketahui, benda yang dipakai menimpuk itu adalah kepalanya “Ong Tayjin”.
Dengan lantas itu mereka mengurung pohon dari mana serangan itu datang.
Orang yang menjadi pemimpin
menghunus goloknya yang panjang, untuk memegang pimpinan, atas perintahnya lima
orang menggunai panah untuk menyerang ke arah atas pohon!
Yo Tiat Sim sambar sebatang
golok dari pojok rumahnya, hendak dia menerjang keluar untuk membantu si imam,
akan tetapi Siauw Thian menariknya.
“Jangan!” katanya. “Totiang
telah pesan kita jangan keluar! Kalau ternyata dia tidak sanggup melawan, baru
kita turun tangan.......”
Selagi orang she Kwee ini berbicara,
Khu Cie Kee sudah beraksi. Dia sambut empat batang anak panah itu lalu ia pakai
itu untuk menimpuk ke bawah,
tubuhnya sendiri turut lompat
turun, hingga akibatnya dua musuh menjerit dan rubuh binasa kena tikaman
pedang.
“Imam bangsat, kiranya kau!”
berseru si pemimpin, yang bajunya hitam. Dia perdengarkan suaranya seraya
tangkis anak panah yang ditimpukkan ke arahnya, kemudian ia keprak kudanya maju
untuk menyerang untuk mana tiga batang panah di tangannya telah mendahului
majunya itu.
Belum Cie Kee menyerang ini
pemimpin, dia telah rubuhkan lagi dua musuh, hingga sebentar saja ia telah
minta lima korban.
Tiat Sim kagum hingga ia
tergugu. Dia telah belajar silat belasan tahun, tetapi sedikit juga ia tidak
dapat tandingi imam itu, yang gesit dan lihay sekali. Maka ia merasa ngeri
waktu ia ingat tadi ia telah berani lawan imam yang lihay itu.
Sekarang Cie Kee tengah layani
si pemimpin, yang bengis sekali, meski demikian selang sesaat, Siauw Thian dan
Tiat Sim segera mengerti bahwa sang imam tengah mempermainkan orang, sebab di
lain pihak, saban-saban imam ini gunai ketika akan rubuhkan lain orang – ialah orang-orang
yang mengepungnya. Terang si imam lagi gunai siasat, guna menumpas semua
penyerangnya itu. Kalau dia lekas-lekas rubuhkan si pemimpin, mungkin
bawahannya nanti lari kabur semua.
Selang tak lama, imam itu
dikepung hanya tujuh orang, yang ilmu silatnya paling baik. Menampak ini, si
pemimpin menjadi kecil hatinya, dari itu, dengan tiba- tiba ia keprak kudanya,
buat dikasih berbalik untuk lari pergi.
Sang imam ada sangat jeli
matanya dan cepat gerakannya, selagi kuda berputar, ia menyambar dengan tangan
kirinya, akan cekal ekornya kuda itu, untuk ditarik. Sembari menarik ia enjot
tubuhnya, untuk melompat naik, tetapi belum lagi ia bercokol di atas kuda itu,
pedangnya sudah menikam tembus punggung si pemimpin, tembus dari belakang ke
depan, hingga tubuh orang itu rubuh ke depan. Demikian dengan menunggang kuda,
sekarang si imam ini bisa serang lain-lain musuhnya. Ia tidak membutuhkan
banyak waktu untuk membikin setiap kuda tanpa penumpangnya, sebaliknya
mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersalju itu, yang menjadi merah karena
berlumuran darah mereka itu....
Seorang diri si imam tertawa.
“Puas aku dengan pertempuran ini!” katanya kepada Siauw Thian dan Tiat Sim,
yang telah lantas muncul. Hanya hati mereka masih kebat-kebit.
“Totiang, siapakah mereka
ini?” tanya Siauw Thian.
“Kau geledah saja tubuh
mereka!” sahut si imam.
Siauw Thian menghampiri
mayatnya si pemimpin, untuk memeriksa sakunya. Ia dapatkan sepotong surat
titah, dari Tio Tayjin si residen Lim-an yang bisa “menggonggong” sebagai
anjing itu. Itu juga adalah titah rahasia untuk membekuk pembunuhnya Ong To
Kian, untuk mana si residen bekerja sama dengan pihak bangsa Kim, sebab ia
telah di desak oleh utusan negara Kim.
Mengetahui itu, orang she Kwee
ini menjadi sangat mendingkol. Sedang begitu, Tiat Sim telah perdengarkan
seruan seraya tangannya menyekal beberapa potong yauw-pay, yang dia dapatkan
dari beberapa mayat. Yauw-pay itu adalah tanda
kedudukan atau pangkat
beberapa mayat itu, karena huruf-huruf yang kedapatan adalah huruf bahasa Kim,
menjadi nyata, di antara orang-orangnya residen Lim- an itu adalah orang bangsa
Kim.
“Celaka betul!” teriak Siauw
Thian dalam murkanya. “Tentara Kim main bunuh orang di wilayah kita, sekarang
pembesar kita boleh disuruh-suruh dan diperintah olehnya. Negara kita ini
menjadi negara apa?!”
Khu Cie Kee sebaliknya
tertawa. “Sebenarnya orang suci sebagai aku mestinya berlaku murah hati dan
berbelas kasihan,” katanya, “Akan tetapi menyaksikan kebusukan segala pembesar
dan orang- orang jahat, tak dapat aku memberi ampun pula!”
“Memang, memang mesti begitu!”
seru dua saudara angkat she Kwee dan she Yo itu. “Begini barulah puas!”
Kemudian Tiat Sim ambil pacul
dan sekop, untuk menggali laing, guna pendam belasan mayat itu. Didalam hal ini
ia tidak kuatir ada orang yang melihat kejadian ini, sebab desa itu sedikit
penduduknya dan itu waktu lagi turun salju dengan lebatnya, tak ada orang yang
sudi berkeliaran di luaran.
Habis itu nyonya rumah sapui
sisa darah di atas salju. Nyonya ini rupanya tak dapat menahan bau bacin dari
darah, ia rupanya bekerja keras, tiba-tiba saja ia rasai kepalanya pusing,
matanya kabur, lalu ia rubuh.
Tiat Sim terkejut, ia tubruk
istrinya, untuk diangkat bangun. “Kau kenapa?” tanya suaminya ini beberapa
kali.
Pauw-sie berdiam, kedua
matanya tertutup rapat, mukanya pucat pias, kaki tangannya dingin seperti es.
Tentu saja suaminya itu menjadi kaget dan berkhawatir.
Cie Kee pegang nadi si nyonyi,
lantas ia tertawa. “Kionghie! Kionghie!” ia memberi selamat.
“Apa, Totiang?” tanya Tiat Sim
heran.
Justru itu Pauw-sie mennjerit,
ia sadarkan diri. Mulanya ia heran di kerumuni tiga orang, habis itu ia likat,
ia lari ke dalam.
“Istrimu lagi hamil!” kata Cie
Kee kemudian.
“Benarkah itu, Totiang?” Tiat
Sim tegaskan.
“Tidak salah!” si imam
pastikan. “Banyak ilmu yang pinto yakinkan, tiga yang memuaskan hatiku, ialah
pertama ilmu tabib, kedua syair, dan ketiga ialah ilmu silat kucing kaki tiga
......”
Dengan kata-kata “kucing tiga
kaki” atau tidak ada artinya, imam ini merendahkan diri.
“Totiang begini lihay tetapi
totiang menyebutkan kepandaianmu sendiri sebagai kucing kaki tiga, kalau begitu
kepandaian kami berdua pastilah kepastiannya si tikus berkaki tunggal!”
katanya. Cie Kee tersenyum, begitu pula dengan Tiat Sim.
Kemudian mereka bertiga masuk
pula ke dalam untuk lanjuti minum arak. Dua saudara angkat itu sangat kagumi
tetamu mereka, yang bertempur hebat tetapi tubuhnya tak berkeciprukan darah.
Tiat Sim minum dengan gembira sekali. Ia ingat akan hamilnya istrinya.
“Kwee Toako,” katanya kemudian. “Enso pun lagi
berisi, maka aku pikir baiklah kita minta totiang yang memberi nama kepada
anak-anak kita nanti!”
Siauw Thian berikan
kesetujuannya atas saran itu.
Cie Kee pun tidak menampik, ia
berpikir sebentar lantas ia bilang: “Anak Kwee Toako baik diberi nama Ceng,
yaitu Kwee Ceng, dan anak Yo Toako diberinama Kong, yaitu Yo Kong. Nama-nama
ini dapat juga diberikan sekalianpun untuk anak perempuan.”
“Bagus!” seru Siauw Thian.
“Aku mengerti, totiang tentu tidak melupai peristiwa Ceng-kong yang memalukan,
untuk memperingati ditawannya kedua raja kita.”
“Benar begitu!” sang imam
mengakui. Terus ia merogoh sakunya, untuk kasih keluar dua potong pedang pendek,
yang ia letaki di atas meja. Pedang itu sama panjang pendeknya dan besar
kecilnya, sarungnya dari kulit hijau, gagangnya dari kayu hitam. Kemudian ia
ambil pisaunya Tiat Sim, untuk dipakai mengukir gagang kedua pedang pendek itu.
Ia mengukir masing-masing dua huruf “Kwee Ceng” dan “Yo Kong”.
Dua-duanya Siauw Thian dan
Tiat Sim kagum menyaksikan kepandaiannya si imam mengukir huruf- huruf itu,
cepat dan indah hurufnya.
“Diwaktu berkelana seperti ini
aku tidak punya barang apa-apa, pedang pendek ini saja aku berikan sebagai
tanda mata untuk anak-anak kedua toako nanti!” kata si imam.
Dua saudara angkat itu terima
bingkisan itu,
keduanya mengucapkan terima
kasih.
Tiat Sim mencoba menghunus
pedangnya, ia menjadi kagum. Pedang itu berkilau dan memberikan hawa dingin.
Demikian pun pedangnya Siauw Thian. Jadinya kedua pedang itu bukan sembarang
pedang, meskipun badan pedang ada tipis sekali.
Cie Kee pegang pedang yang
satu, ia adu itu dengan pisau belatinya, dengan memberikan satu suara, ujungnya
pisau belati itu putus menjadi dua potong.
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua menjadi terkejut. “Totiang, tak berani kami menerima hadiah ini!” kata mereka.
Sebab kedua pedang itu adalah semacam pedang mustika.
Tiang Cun Cinjin tertawa. “Dua
pedang ini pinto dapatkan secara kebetulan saja, walaupun benar untuk itu pinto
mesti keluarkan sedikit tenaga,” ia berkata. “Untukku, senjata ini tidak ada
perlunya, sebaliknya adalah besar faedahnya apabila dibelakang hari anak-anak
itu pakai untuk membela negeri, guna melabrak musuh!”
Dua saudara angkat itu masih
mencoba menampik hingga mereka membangkitkan amarahnya si imam itu.“Aku anggap
kamu adalah turunan orang-orang kenamaan, maka itu aku hargakan kamu, kenapa
sekarang kamu begini tidak bersemangat?” ia menegur.
Baharu sekarang Siauw Thian
dan Tiat Sim tidak menolak lagi, mereka lantas menghanturkan terima kasih.
Cie Kee berkata pula, dengan
sungguh-sungguh: “Kedua pedang ini adalah benda usia beberapa ratus tahun tua,
setahu sudah berapa banyak orang terbunuh dan berapa banyak darah telah
dihirupnya, maka mengertilah kamu, siapa saja yang mengerti ilmu silat melihat
ini lantas matanya menjadi merah! Kamu pun mesti menginsafinya, seorang bocah
yang ilmu silatnya tidak sempurna dengan menggunai pedang ini, dia Cuma dapat
memperbahayakan dirinya sendiri, dari itu kamu mesti berhati-hati! Kamu
ingatlah baik- baik!”Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi, hati
mereka tidak tentram.
Khu Cie Kee tertawa panjang.
“Sepuluh tahun sejak ini, apabila pinto masih ada di dalam dunia ini, mesti
pinto datang pula ke mari untuk ajarkan anak-anak itu ilmu silat,” ia berkata,
“Setujukah kamu?”
Dua saudara angkat itu menjadi
girang sekali. “Terima kasih totiang, terima kasih!” mereka mengucap.
“Sekarang ini bangsa Kim
sedang mengincar negara kita, terhadap rakyat dia sangat telengas,” berkata
pula si imam, “Karena mestinya tidak lama lagi bangsa itu turun tangan, dari
itu pinto harap jiwi jaga diri baik-baik....”
Dia angkat cawannya, untuk
tenggat habis isinya, setelah itu dia buka pinti, untuk bertindak keluar. Siauw
Thian berdua berniat meminta si imam berdiam lebih lama, siapa tahu tindakan
orang cepat sekali, tahu- tahu imam itu sudah pergi jauh.
“Begitulah kelakuan orang
berilmu, ia datang dan pergi tak ketentuannya,” kata Siauw Thian sambil
menghela napas. “Kita dapat bertemu dia tetapi sayang, kita tidak dapat meminta
pengajaran daripadanya........”
Tiat Sim sebaliknya tertawa.
“Toako, hebat cara bertempurnya totiang hari ini!” ia bilang. “Dengan menonton
saja, sedikitnya terumbar juga hati pepat kit!” ia lantas buat main pedang yang
satu, sampai ia lihat ukiran dua huruf Yo Kong. Lantas ia berkata “Toako ada
satu pikiran cepat dari aku, entah kau setuju atau tidak?”
“Apakah itu, Saudaraku?” Siauw
Thian balik bertanya.
“Inilah mengenai anak-anak
kita nanti,” Tiat Sim beri keterangan. “Umpama anak kita laki-laki semua,
biarlah mereka menjadi saudara satu dengan yang lain, apabila mereka adalah
perempuan, biarlah mereka menjadi enci dan adik..........”
“Jikalau mereka adalah
laki-laki dan perempuan, biarlah mereka menjadi suami-istri!” Siauw Thian
menyela.
Keduanya lantas menjabat
tangan, mereka tertawa terbahak. Itulah janji mereka.
Justru pada saat itu Pauw-sie
muncul. “Eh, kenapa kamu menjadi girang begini?” tanya si nyonya.
“Kami baru saja membuat
janji,” sahut Tiat Sim, yang lantas tuturkan kecocokan mereka berdua.
“Cis!” si nyonya meludah.
Tetapi di dalam hati, ia pun girang.
“Sekarang marilah kita saling
tukar pedang dahulu,” Tiat Sim berkata pula. “Ini adalah semacam tanda mata.
Kalau mereka ada laki-laki atau perempuan, biarlah mereka jadi saudara satu
dengan yang lain, kalau........”
“Kalau begitu, kedua pedang
ini akan berkumpul di rumah kakak!” Siauw Thian bilang.
“Mungkin akan berkumpul di
rumahmu, Saudara!” kata Pauw-sie.
Lantas mereka tukar kedua
pedang itu. Sampai disitu, Siauw Thian pulang dengan membawa pedang itu, untuk
memberitahukan kepada istrinya, Lie-sie.
Tiat Sim ada gembira sekali,
masih ia minum seorang diri, hingga ia mabuk.
Pauw-sie pimpin suaminya ke kamar
tidur, lalu ia benahkan piring mangkok dan cawan, habis mana melihat hari sudah
mendekati sore, ia pergi ke belakang untuk kurungi ayamnya. Setibanya ia di
pintu belakang, ia menjadi terkejut. Di situ, di atas salju, ia tampak
tanda-tanda darah, yang melintas di luar pintu belakang itu.
“Kiranya di sini masih ada
tanda darah yang belum dilenyapkan,” pikirnya heran. “Kalau pembesar negeri
melihat ini, inilah bahaya....”
Maka ia cari sapu, lantas ia
menyapu pula. Tanda darah itu menuju ke belakang rumah dimana ada pepohonan
lebat. Di sini ia lihat tanda darah dari orang yang rupanya jalan merayap. Ia
jadi bertambah heran, saking curiga, ia ikuti terus tanda darah itu, yang
sampai di belakang sebuah kuburan tua. Di situ
ia lihat suatu benda hitam yang
tergeletak di tanah. Kapan ia sudah datang mendekat, ia kembali jadi terkejut.
Itu adalah tubuhnya satu orang dengan pakaian serba hitam, ialh salah satu
orang yang tadi mengepung Khu Cie Kee. Rupanya habis terluka, ia tidak
terbinasa, ia lari ke belakang rumah.
Selagi berpikir, Pauw-sie
ingat untuk panggil suaminya, buat kubur orang itu. Ia belum bertindak tempo ia
ingat, adalah berbahaya kalau ia tinggal pergi, sebab mungkin nanti diketemui
lain orang yang kebetulan lewat di situ. Ia jadi beranikan diri, ia menghampiri
orang itu dengan niat menyeret, guna dipindahkan ke dalam rujuk, setelah mana
baru ia baru hendak panggil suaminya. Benar disaat ia cekal tubuh orang untuk
ditarik, mendadakan tubuh itu bergerak, lau terdengar suara merintihnya. Ia menjadi
sangat kaget, ia jadi berdiri bagaikan terpaku, sedang sebenarnya ingin ia lari
pulang.
Lewat sesaat, tubuh itu
terdiam pula. Dengan beranikan hati, Pauw-sie pakai sesapu, untuk bentur tubuh
orang. Maka sekali lagi ia dengar suara rintihan perlahan.