Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya
terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka
satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli !
Kalau ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi !
Setelah air matang Kam Si Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci
luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian, melihat di perahu itu banyak
perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin.
Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu
biarpun sudah siuman, namun belum sadar, masih bergerak-gerak gelisah di atas
pembaringan, matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti
orang terserang demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam
igauannya, sambil meramkan mata gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya !
"Ayah, aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng! Tidak
mau dengan raja muda di timur, pangeran di barat atau putera mahkota di utara !
Aku hanya mau menikah dengan Kam Si Ek, biar dia jenderal tolol, biar dia
laki-laki canggung, aku sudah cinta kepadanya, Ayah!"
Kam Si Ek duduk bengong di pinggir pembaringan. Bermacam
perasaan teraduk dalam hatinya. Girang dan bahagia karena dalam igauannya ini
Liu Lu Sian jelas membuka isi hatinya yang amat mencintainya. Bingung karena
gadis itu makin malam makin hebat mengigau dan gelisah. Duka dan khawatir
karena ia telah melukai gadis itu, melukai tubuh dan hatinya.
Lu Sian mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia
menyebut-nyebut bahwa ia bersama Kam Si Ek akan pergi menemui Gubernur Li Ko
Yung di Shan-si, untuk minta bantuan gubernur ini menjadi perantara meminangnya
kepada ayahnya di Nan-cao. Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa
itulah jalan terbaik. Ia memang tadinya menerima undangan atau panggilan
Gubernur Li dan di tengah jalan ia dijebak dan dikhianati komplotan para
perwira yang memberontak dan pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia
laporkan kepada Gubernur Li. Disamping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah
Liu Lu Sian yang selain menjadi Ketua Beng-kauw, juga menjadi koksu di Nan-cao,
siapa lagi yang lebih tepat selain dengan perantaraan Gubernur Li?
Ia memeluk Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra.
"Moi-moi, tenangkanlah hatimu, kauampunkan kokomu
yang tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan demi Tuhan, aku akan
meminangmu dari tangan ayahmu." Ia lalu sibuk melepaskan perahu daripada
ikatan, mendayung ke tengah lalu memasang layar. Biarpun bukan ahli, Kam Si Ek
tidak asing dengan pelayaran, maka biarpun hari telah berganti malam, ia berani
melayarkan perahunya di bawah sinar bulan.
Lu Sian membuka matanya dan tersenyum-senyum girang.
Melihat Kam Si Ek sibuk mengemudikan perahu, ia lalu mengeluarkan bungkusannya,
mengambil obat luka dan mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusap-ngusap
pipinya yang masih panas oleh ciuman Kam Si Ek, turun dari pembaringan
perlahan-lahan lalu keluar dari dalam bilik.
"Koko..." ia berseru memanggil lirih. Kam Si Ek
terkejut dan menoleh. Melihat gadis itu berdiri bersandar pintu bilik, ia
terkejut, girang dan juga khawatir.
"Eh, kau sudah bangun, Moi-moi? Kau beristirahatlah,
jangan keluar dulu, nanti kena angin...! Itu ada bubur di meja,
kaumakanlah...!"
"Aku tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh."
Mana bisa ia merasa lapar kalau hatinya sebahagia itu? Pula, ketika ia
berpura-pura pingsan dan mengigau, bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah
menyuapinya dengan bubur sampai kekenyangan?
"Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko
kau melayarkan perahu ini ke manakah?"
Girang sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya
benar-benar telah sembuh, wajahnya berseri pipinya merah dan matanya
bersinar-seinar.
"Pundakmu tidak nyeri lagi, Moi-moi?"
Dengan gaya manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu
berjalan menghampiri. Dengan satu tangan Kam Si Ek memegang tali layar, tangan
ke dua meraih lengan gadis itu dan mereka berpegang tangan, saling pandang
penuh kasih.
"Sian-moi, kau tahu bahwa aku dipanggil oleh
Gubernur Li akan tetapi oleh pasukan yang berkhianat dan bersekongkol dengan
Raja Liang, aku diculik. Hal ini harus kulaporkan kepada Gubernur Li, maka aku
sekarang hendak pergi ke Shan-si untuk berunding dengan beliau. Kuharap kau
suka ikut denganku ke sana, selain berunding urusan pengkhianatan itu, akupun
perlu minta bantuannya." Sampai di sini pemuda itu berhenti bicara dan
mukanya menjadi merah.
"Bantuan apa, Koko?" Lu Sian bertanya,
pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam girang sekali karena agaknya akalnya
"mengigau" itu berhasil baik.
"Moi-moi." Tangan Kam Si Ek menggenggam
erat-erat tangan Lu Sian. "Aku hendak mohon bantuannya untuk menjadi orang
perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan di Nan-cao."
"Koko, kemanapun juga kau pergi, aku suka
ikut!"
Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi
daripada kegembiraan dua buah hati yang saling bertemu. Berhari-hari mereka
menjalankan perahu sambil bersenda gurau, menceritakan keadaan masing-masing,
menangkap ikan dan masak-masak lalu makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam
cinta dan kagumnya terhadap Lu Sian, mengagumi kecantikan dan kelincahan gadis
ini, termasuk wataknya yang kadang-kadang aneh. Di lain pihak, Lu Sian juga
kagum akan kekasihnya yang sudah tiada orang tua lagi, tentang keturunan
keluarga Kam yang semenjak dahulu terkenal sebagai panglima-panglima perang
jagoan. Ketika Lu Sian bercerita tentang pertemuannya dengan kakak seperguruan
jenderal itu, yaitu Lai Kui Lan di dalam benteng, Kam Si Ek menyatakan
kekuatirannya.
"Suci seakan-akan telah menjadi saudara kandungku.
Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh, banyak membantuku dalam perang.
Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati menangis di kamarnya, dan sama
sekali tidak mau menceritakan apa sebab-sebabnya. Aku kuatir sekali ada sesuatu
yang mengganjal hatinya. Malah sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali
berkunjung ke Kwan-im-bio di luar benteng, bahkan bermalam di sana. Agaknya ia
menjadi kenalan baik dari para nikouw di kuil itu."
Mendengar ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya
mengeluh di dalam hatinya, tidak mau menceritakan apa yang menjadi dugaannya.
Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi korban asmara, tentu berduka karena Kwee
Seng terjatuh ke dalam jurang dan binasa. Gadis itu mencinta Kwee Seng dan
menjadi patah hati. Ia tidak berani bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si
Ek karena cerita ini tentu akan membuka pula rahasia tentang perasaan Kwee Seng
kepadanya. Akibat ceritanya ini tentu akan mendatangkan suasana tidak enak
diantara mereka, apalagi di situ tersangkut pula diri Lai Kui Lan.
Cinta memang aneh. Biarpun dua orang muda yang amat jauh
berbeda sifat dan wataknya, namun kalau sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka
seperti lupa akan semua perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan
melihat yang baik-baik saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian
dan Kam Si Ek. Kalau saja mereka tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan
dapat melihat bahwa mereka mempunyai watak yang jauh berbeda. Kam Si Ek adalah
seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah
perkasa dan seorang patriot. Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang
aneh, kadang-kadang licik dan menjalankan siasat-siasat yang curang bukanlah
aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak
mau kalah oleh siapapun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau
tidak, tidak peduli sama sekali tentang negara maupun bangsa. Baginya, siapa
yang menentangnya akan ia hantam!
Perbedaan itu secara mencolok akan tampak kalau kita
dapat menjenguk isi hati dan pikiran mereka pada saat mereka duduk melamun. Kam
Si Ek melamunkan kebahagiaannya kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun
betapa dengan bantuan isterinya yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa
itu, ia akan dapat berjuang dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada
jaman itu, seorang calon raja yang akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan
rakyat.
Sebaliknya, Lu Sian di samping melamun tentang
kesenangannya menjadi isteri pemuda yang dicintanya, juga ia teringat akan
kekalahan-kekalahannya yang diderita selama ini. Hatinya panas bukan main kalau
ia teringat betapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang sakti
seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan, dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih
jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat, pikirnya dengan hati tidak puas. Ia
bercita-cita untuk memperdalam ilmu silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan
wasiat-wasiat ilmu silat agar ia dapat menjadi seorang tokoh sakti yang akan
menjagoi dunia persilatan, mengalahkan orang-orang itu. Pertama-tama ia akan
minta kepada ayahnya untuk mewariskan ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian
ia akan menitahkan anak buah suaminya untuk menyelidiki dan mencari orang-orang
berilmu!
Untung bagi mereka, di dalam perjalanan mereka tidak
bertemu dengan Ban-pi Lo-cia maupun Kong Lo Sengjin dan setelah tiba di wilayah
Shan-si, mereka merasa aman, melaku kan perjalanan cepat dengan menunggang kuda
memasuki ibu kota Shan-si, menghadap Gubernur Li Ko Yung.
Gubernur Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia
merupakan seorang diantara pimpinan pemberontakan yang menggulingkan kedudukan
kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di
Ho-nan yang akhirnya berhasil menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri
sendiri menjadi kaisar pertama Kerajaan Liang.
Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat
hati-hati. Ia maklum bahwa jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan
bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe.
Oleh karena itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan
pikiran jenderal muda itu secara halus. Ia menyambut kedatangan Kam Si Ek
dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap Liu Lu Sian yang
diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika
secara singkat Kam Si Ek menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus
memanggilnya ke benteng itu telah bersekongkol dengan pasukan Kerajaan Liang
untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.
"Keparat itu berani melakukan kejahatan seperti
itu?"
Gubernur Li menggebrak meja, memanggil seorang panglima
dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan dan surat perintahnya untuk
menangkap Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman mati ! Setelah itu ia menjamu
kedua orang tamu agung ini dengan arak dan hidangan lezat, berkali-kali ia
memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe daripada bahaya. Kemudian, setelah
mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko Yung berkata.
"Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata
denganmu, untuk merundingkan urusan negara dalam keadaan kacau-balau seperti
sekarang ini." Berkata demikian, ia melirik ke arah Liu Lu Sian. Gadis ini
tentu saja maklum bahwa dia merupakan "orang luar" apalagi dia adalah
puteri Guru Negara Nan-cao, maka tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun
dasar ia berwatak nakal dan aneh, ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk
minum arak wangi ! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian pergi,
tentu saja tidak enak baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ,
juga tidak enak terhadap Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu
berkata sambil bangkit berdiri dan menjura kepada gubernur itu.
"Li-taijin, harap maafkan. Sebelum kita meningkat
kepada percakapan urusan negara yang penting, baiklah lebih dulu saya
menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini bukanlah orang luar. Dia adalah...
adalah... calon isteri saya, yaitu... eh..., kalau saja Taijin sudi melepas
budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi orang perantara dan mengajukan
pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao." Setelah berkata demikian, dengan
muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian tersenyum di dalam hati, akan tetapi ia
diam saja pura-pura tunduk karena malu.
Sejenak gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa
bergelak-gelak saking girangnya. Tidak ada kesempatan sebaik ini ! Cocok benar
dengan cita-cita hatinya. Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao ! Melepas budi
kepada Jenderal Kam ! Maka ada kesempatan yang lebih bagus daripada ini demi
terlaksananya cita-citanya ?
"Ha-ha-ha! Bagus..., bagus sekali! Kionghi, kionghi!
Memang sudah tiba waktunya Kam-goanswe memilih teman hidup dan Nona Liu yang
cantik jelita puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat cocok
dengan Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi dan tentu saja dengan segala senang
hati saya suka menjadi perantara!"
Gubernur Li mengangkat cawan memberi selamat dan dua
orang muda itu cepat menghaturkan terima kasih. Setelah itu, Gubernur Li Ko
Yung berkata dengan suara bersungguh-sungguh.
"Ji-wi tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang
sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah seorang
pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe.
Memang dahulu kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada
waktu itu merupakan raja lalim. Akan tetapi sama sekali bukan menjadi rencana
kami untuk mengangkar diri sendiri menjadi raja, melainkan hanya bermaksud
menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun
berkhianat dan mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak
mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu dalam perjuangan, kini
memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana
dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si ? Tentu saja kita tidak akan
tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan kecil yang manapun juga. Bagaimana
pendapat Kam-goanswe?"
"Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi kesetiaan
leluhur kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri tidak akan
mudah memilih junjungan, karena sekali kita salah pilih mengabdi kepada raja
lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."
"Betul sekali ucapan Kam-goanswe! Kita berjuang di
bidang yang lain, saya di bidang sipil, Goanswe di bidang militer, namun
pendapat dan tujuan kita cocok! Kita boleh menanti dan memilih secara
hati-hati, sementara itu, sebelum muncul seorang pemimpin yang betul-betul
cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah Shan-si yang menjadi tanggung jawab
kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu yang manapun juga. Bukankah begitu,
Kam-goanswe?"
"Betul sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa
raga untuk mempertahankan dan membela Shan-si!"
"Bagus! Nah, ketahuilah, Goanswe. Di antara para
raja kecil yang secara lancang engangkat diri sendiri, kini terjadi perebutan
wilayah dan kekuasaan. Bukan hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman
terhadap wilayah kita, melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue,
belum lagi ancaman yang amat membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk
mempertahankan wilayah kita, perlu kita membentuk pemerintahan sementara dan
kerja sama yang erat antara kita semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena
itu, setelah nanti saya menjadi orang perantara dan telah dilangsungkan
pernikahan antara Ji-wi berdua, saya minta agar Kam-goanswe sudi memegang tugas
panglima di sini dan mengatur semua barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga
wilayah kita dari ancaman di segala jurusan."
Pandai sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus
sehingga Kam Si Ek yang berwatak jujur itu percaya seratus prosen. Sama sekali
Gubernur Li Ko Yung tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri,
maka serta merta Kam Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama.
Adapun Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa
menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang, sedikit banyak menaruh curiga,
akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya
satu yaitu menjadi isteri Kam Si Ek yang dicintainya, dan kalau gubernur itu
dapat menjadi perantara sehingga hasrat hatinya terkabul, ia merasa cukup puas.
Baginya sama saja apakah Gubernur Li itu seorang patriot tulen ataukah seorang
pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal
muda yang perkasa ini menjadi suaminya.
Ketika utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan
berkuda membawa seorang wakil dan surat pribadi mengajukan pinangan, berikut
pula berpeti-peti barang berharga, tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu
pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas
panjang. Betapapun juga, ia kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia
akan lebih senang kalau puterinya mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw seperti
Kwee Seng. Puterinya terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang
biasa terbang bebas seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si
Ek, seorang jenderal yang terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin,
bagaimana dapat cocok watak mereka? Akan tetapi karena surat itu dilampiri
surat puterinya, dan ia mengenal baik watak puterinya yang mewarisi wataknya
sendiri, yaitu tidak mau mundur sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan
hatinya, pula mengingat bahwa Kam Si Ek adalah seorang pemuda perkasa yang
dijadikan rebutan oleh kaum wanita, keturunan panglima-panglima perkasa pula,
terpaksa ia mengalah.
Apalagi kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su
mengingat akan suasana dan kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si,
yang tentu saja merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka
ia segera menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari
pernikahan puterinya di Nan-cao.
Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir
tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri
sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil di
seluruh negara yang jumlahnya sukar dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di
antara raja-raja kecil ini, banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil
menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan bangsawan, berusaha
untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu.
Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun
kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, diantaranya bahkan telah
mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah
menjadi seorang kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat
pula menarik bantuan Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si
Ek, dan masih banyak pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang
Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil
merampas tahta kerajaan dari Pemerintah Liang Muda.
Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang
saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda,
menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi
pada tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah
sebagai kerajaan pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas
tahun saja (907-923).
Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan
Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda. Akan
tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang
Muda ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara
"orang dalam", juga ancaman serangan dari raja-raja kecil masih terus
mengepung Kerajaan Tang Muda.
Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata
tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan
menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si
seperti biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu
pernah ikut memberontak kepada raja terakhir Dinasti Tang ! Gubernur ini tidak
berani membantah secara berterang, namun di dalam hatinya timbul dendam
terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan
terutama sekali masih amat dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si
Ek tetap tinggal di Shan-si.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi
pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah
berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun.
Anak ini bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam
membayangkan kecerdasan, wajahnya toapan (lebar dan terang), dan mempunyai
tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan
tetapi, Kam Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih
dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan
huruf.
Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh
kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan tetapi, seperti yang telah
dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah
lewat beberapa tahun. Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah
berbeda pendapat dan hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian
menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi kolong
langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi
seorang petualang dunia kang-ouw. Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan
perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau
tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra,
lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan. Lu
sian beberapa kali menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya
meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat mengajak putera
mereka merantau dan menambah pengalaman di dunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek
menolak ajakan ini.
Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu
kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya,
kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka
derita ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek
menjawab bahwa bukanlah ilmu silat yang dapat melindungi kita, melainkan watak
yang baik !
Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul,
disusul dengan percekcokan-percekcokan besar, Kam Si Ek yang berwatak keras dan
jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang
tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan ! Pada suatu pagi yang cerah,
kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si Ek, karena isterinya tidak berada di
dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang! Hanya sehelai kertas
ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.
Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi
dengan seorang yang kau anggap cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak
kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.
Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan
diri di atas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar.
Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu
sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai
seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati
tabah. Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat
kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan
perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk
kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan
dan melakukan perantauan.
"Si Ek !" demikian isterinya berkata marah,
isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri
bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang
telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan
kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat
seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam
itu?"
"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku
sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan
kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa
Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku
sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga
keamanan di perbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak
mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan
orang-orang jahat."
"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah
menambah kecantikannya, "Kaukurung dirimu dengan tugas, dan kaukurung
diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima
permintaanku ? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian
bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau
bertengkar, dia tidak menangis.
"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit
terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami
isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum
terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa
saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih
suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban,
saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan
kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di
sisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya?
Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita
sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan
Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung
meja tebal itu menjadi somplak "Cukup! Bosan aku mendengar kuliahmu! Kalau
aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku hanya untuk membuat
aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku!" Sambil berkata demikian Lu
Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras.
Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja,
berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena
tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah
begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek
duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan
di atas kedua lengan. Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah
pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal
baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma
pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya
itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua
puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima! Mereka berdua masih
muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang
dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu
bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik
sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga
apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.
"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah
kesalahan ibu?" berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek
menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang
menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan
heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya,
pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya,
Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak
itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak
ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah
dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia
tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak
tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka.
Hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak
isterinya pergi meninggalkannya. Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa
betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya.
Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat
hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi keadaan Kerajaan Tang Muda ini
benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian dalam pertengkaran mereka. Memang
betul bahwa Kerajaan Liang yang meerobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan
dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan
keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak. Pimpinan muda
itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang
mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Orang-orang yang
tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah memperoleh kedudukan dan
kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka. Setiap orang
pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi
kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para
pejuang ini merasai kenikmatan daripada kedudukan dan kemuliaan, maboklah
mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang
melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku
yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang. Mengapa memikirkan orang lain
? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara
hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari.
Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa
pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis
pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai, bernama Ciu Bwee Hwa. Tidak
secantik Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki
kecantikan yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik
sebagai seorang wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan
tinggi. Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang
sekarang telah menjadi nikouw di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan
Nikouw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi
korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee
Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar itu.
Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia
tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya.
Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga
sutenya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam
Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri,
juga amat perlu bagi Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang
seorang ibu, dan karena ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya
dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada
Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun
Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa,
dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang
jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan
datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan
pesta pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati
Kam Si Ek lebih menderita lagi.
Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah
pulang, di waktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin,
tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak,
"Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki,
keluarlah!"
Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan
mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil berkata, suaranya gemetar,
"Harap jangan layani orang itu...!"
Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang
laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak melayani orang yang
menantangnya seperti itu? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya,
"Mengapa? Siapa dia?" Dalam suaranya jelas
terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak
berkata,
"Dia... dia... itu Giam Sui Lok, orang sekampung
denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung kami... dan dia pernah
melamarku akan tetapi ... ditolak oleh ayah. Biarpun dia seorang pendekar yang
terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta huruf. Ah, dia telah
bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka menaruh kasihan... dan jangan
melayaninya..."
Kam Si Ek mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini ?
biarpun disebut pendekar oleh isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak
tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak
memusuhi siapapun yang menjadi suami Bee Hwa ? Dan kalau dia tidak mau
melayaninya, bukankah ia akan disangka pengecut dan penakut?
Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau
melarangku melayaninya ? Apakah kau suka kepadanya?"
Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya
berlutut di depan suaminya.
"Bagaima kau bisa bilang begitu? Ahh..., bukankah
aku sudah menjadi isterimu? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana
pikiranku dapat mengingat laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak
melayaninya, karena aku tidak ingin kalian bertempur, kemudian seorang diantara
kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu...
akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami,
dia bukan orang jahat..."
Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya.
"Jangan kau kuatir, aku akan menasihatinya, kalau
tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun jendela diketuk dari luar.
"Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san! Ada
urusan diantara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau
benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm, kau tunggulah!" Kam Si Ek lalu
melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun jendela, terus
melompat keluar.
Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah
sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi
besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya
membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang
ini begitu tidak tahu aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian
dan kejujurannya.
"Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita
tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu aturan dan tak
tahu malu? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja
mengejar-ngejar? Apakah di dunia ini hanya ada dia seorang wanita? Perbuatanmu
datang malam ini, benar-benar merupakan penghinaan bagiku, akan tetapi
mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau
segera pergi dari sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis
sampai disini saja."
"Kam Si Ek, enak saja kau bicara! Semenjak kecil aku
mengenal Bee Hwa, belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya
menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh Karena itu aku sudah tak
dapat hidup lagi kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah
bersumpah akan mati diujung senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh
suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan
ini. Kau harus mati di tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk
mengakhiri penderitaan batin ini!" Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok
mencabut goloknya!
"Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan
dan tidak menggunakan aturan."
"Tak perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak
kau mengakhiri urusan ini diujung senjata? Kalau tidak berani, sudahlah,
sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa
memilih kau bukan karena kau lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau
seorang panglima, biarpun hanya panglima pengecut."
"Tutup mulut! Lihat golokku siap menandingimu!"
bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok emasnya.
Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan
terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua orang itu. Pemuda tinggi
besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar
dengan amat cepat dan kuat agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan
lawan yang amat dibencinya karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman
hatinya ! Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya Kam Si
Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi,
ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan
dengan Kam Si Ek ia kalah jauh. Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan
golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat
kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah
ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh
lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah
melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya.
Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari
pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata,
"Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak
ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya.
"Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat! Kau
masih muda dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang
lancang ini. Kelak kau akan meresa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh
ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh
kemarahan.
"Kam Si Ek! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan
tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan
tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati di
tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau sudah!" Setelah berkata
demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di
balik gelap malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia
tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai
dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song!
Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan
menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari
kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang. Ia
bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia
cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap.
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si
Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang
mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan,
akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka
dan gelisah sekali. Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari,
namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan
ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui
Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik,
ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam
ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song !
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng ! Sengaja
kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun baik, karena memang ada
hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu.
Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee
Seng telah melayani cinta kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama
belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca
menjadi gelap. Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi
terang dan sadarlah ia bahwa ia telah mencurahkan kasih sayangnya kepada
seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi suaminya ! Bagaikan gila
Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam
air arus Arus Maut, menyelam dan berenang melawan arus.
Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya
takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi, selama tiga tahun berdiam
di dalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.
Berkat latihan samadhi menurut ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya
meningkat hebat beberapa kali lipat, sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia
sadari telah menjdai hebat luar biasa setelah ia memahami kitab Ilmu
Perbintangan. Kini, menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng
dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil
menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng
maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut,
tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia
muncul di permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam kembali dan
bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini.
Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andaikata tiga tahun yang lalu
ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas !
Akhirnya ia dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika
ia muncul di permukaan air, ia melihat langit menyinarkan cahaya terang
benderang, membuat matanya silau karena sudah terlalu lama ia tinggal di tempat
agak gelap. Biarpun sudah keluar dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang
diterjangnya ini diapit-apit dinding batu karang yang amat tinggi. Ia berenang
terus dan akhirnya, sejam kemudian, ia melihat dinding yang biarpun masih amat
tinggi dan curam, namun tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia
berenang ke pinggir, menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat
tubuhnya ke atas. Cepat ia bersila di bawah dinding karang, untuk memulihkan
tenaganya dan pernapasannya.
Akan tetapi, setelah tenaganya pulih, ia teringat akan
perbuatannya dengan nenek itu dan... tiba-tiba Kwee Seng menangis, lalu
menampari pipinya beberapa kali sampai kedua pipinya bengkak-bengkak matang
biru! Sebentar kemudian ia tertawa-tawa, suara ketawanya bergema di sepanjang
sungai yang diapit dinding karang. Kemudian ia merayap naik melalui dinding
yang tidak rata, menggunakan tangan kirinya menangkap dan menginjak celah-celah
karang. Cepat sekali gerakannya, seperti seekor monyet saja dan tak sampai
seperempat jam, ia telah berada dia atas tanah datar, di lembah sungai di
lereng Bukit Liong-kui-san! Tak jauh di sebelah depan, ia melihat puncak di
mana tiga tahun yang lalu ia bertanding mati-matian melawan Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan, dimana ia dirobohkan secara pengecut oleh jarum-jarum beracun Bayisan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Kwee Seng tertawa
bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan rambut
riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita rambutnya hilang entah ke
mana, bajunya robek-robek, kedua pipinya bengkak-bengkak, akan tetapi matanya
bersinar terang biarpun mulutnya tersenyum setengah mewek seperti orang mau
menangis!
Masih terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya
berloncatan dengan gerakan yang luar biasa, tidak seperti manusia lagi,
melainkan lebih pantas iblis penjaga gunung sedang menari-nari. Memang patut
dikasihani Kwee Seng ini. Karena tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan
kecewa melihat watak gadis yang ia cinta, ia menjadi seorang pemabok, dan kini
setiap kali teringat kepada Lu Sian ia masih tertawa-tawa. Kemudian
pengalamannya dengan nenek-nenek di dalam Neraka Bumi, benar-benar telah
membuat rusak pikirannya, membuat ia tak kuat lagi menahan tekanan batin,
membuatnya seperti gila. Kalau teringat kepada nenek-nenek itu, ia menangis.
Maka sejak saat itu kembali ke dunia ramai, tawa dan tangis silih berganti
dilakukan oleh pendekar muda ini! Seorang pendekar muda yang tadinya terkenal
tampan dan gagah perkasa, kini berubah menjadi seorang berpakaian
compang-camping yang suka tertawa dan menangis, pendeknya berubah menjadi
seorang gembel gila! Dan semua ini karena asmara.
Akan tetapi, sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah
gila. Ia hanya seperti orang gila kalau teringat kepada Liu Lu Sian dan
teringat pula kepada Si Nenek, karena kedua orang itu mengingatkan ia akan
semua pengalaman dan perbuatannya. Kalau ia sedang sadar, Kwee Seng tetap
merupakan pendekar yang gagah perkasa, yang cerdik dan berpemandangan luas. Ia
tidak pernah pula melupakan Bayisan yang telah berlaku curang dan menyebabkan
ia terjungkal ke dalam jurang di puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat
melupakan guru Bayisan, Ban-pi Lo-cia yang telah membunuh atau lebih hebat
lagi, menodai Ang-siauw-hwa sehingga wanita itu membunuh diri, tidak pula lupa
kepada Liu Lu Sian yang telah menolak cintanya dan bahkan menghinanya.
Demikianlah, Kwee Seng mulai dengan perantauannya. Ia
tetap berpakaian seperti gembel, pakaian yang compang-camping penuh tambalan,
rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya selalu bersih terpelihara! Di dalam
perantauannya bertahun-tahun ini, tak pernah ia melupakan tugasnya sebagai
seorang gagah, seorang pendekar yang aneh dan sakti. Namun, tetap seperti
dahulu, ia melakukan perbuatannya dengan sembunyi dan semenjak ia keluar dari
Neraka Bumi, muncullah di dunia kang-ouw seorang tokoh aneh tak terkenal yang
luar biasa, yang menggegerkan dunia kang-ouw karena banyak sekali tokoh-tokoh
dunia hitam dihancurkan oleh pendekar gila ini. Akhirnya ada yang mengenalnya
sebagai Kim-mo-eng dan makin terkenal lah nama ini yang dahulu malah tidak
begitu terkenal. Kalau dulu hanya tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw saja
yang mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar muda yang berkepandaian
tinggi, kini dunia kang-ouw mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar gila,
sungguhpun jarang ada orang pernah melihatnya beraksi. Dengan demikian, dalam
perantauannya, orang-orang yang bertemu dengan Kwee Seng hanya mengira dia
seorang gembel gila, sama sekali tidak ada yang pernah mengira bahwa dia inilah
Kim-mo-eng, tokoh kang-ouw yang baru muncul dan membikin geger dunia persilatan
itu!
Rasa penasaran di hatinya terhadap Bayisan membuat Kwee
Seng mengarahkan perantauannya menuju ke daerah Khitan! Ia hendak meluaskan
pengalaman dan sekalian mencari Bayisan atau Ban-pi Lo-cia yang keduanya masih
mempunyai perhitungan dengannya.
Bangsa Khitan adalah bangsa nomad (perantau) yang
terkenal gagah perkasa, ulet dan pandai perang. Karena iklim dan keadaan tanah
di mana mereka hidup, yaitu di daerah timur laut yang penuh gunung-gunung,
gurun-gurun pasir, dan salju, maka mereka dipaksa oleh keadaan untuk selalu
berpindah-pindah tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah
sebabnya mengapa suku bangsa Khitan amat ulet dan berani. Dan ini pula agaknya
yang menyebabkan Khitan seringkali mengadakan penyerbuan ke selatan dalam usaha
mereka mencari tempat yang lebih makmur untuk bangsa mereka. Akan tetapi,
berkali-kali mereka terpukul mundur oleh bala tentara kerajaan selatan sehingga
akhirnya mereka tidaklah begitu berani melakukan penyerbuan secara liar,
melainkan baru berani menyerbu setelah direncanakan terlebih dahulu. Karena
usaha mereka yang terus menerus menyerbu ke selatan inilah maka bangsa Khitan
selalu dianggap sebagai musuh besar oleh orang selatan, dari jaman dinasti
manapun juga.
Pada waktu Kwee Seng melakukan perantauannya ke daerah
Khitan, yang dijadikan ibu kota Khitan adalah kota Paoto di lembah Sungai
Kuning, termasuk daerah Mancuria selatan. Rajanya adalah Raja Kulu-khan,
seorang raja yang terkenal gagah suka perang, namun amat dicinta oleh rakyatnya
karena terhadap rakyatnya ia selalu bertindak adil dan penuh perhatian.
Raja Kulu-khan mempunyai belasan orang putera dan puteri,
akan tetapi semua itu lahir dari para selir. Adapun permaisurinya hanya
mempunyai seorang anak perempuan, yang dengan sendirinya menjadi puteri
mahkota. Puteri mahkota ini bernama Puteri Tayami yang semenjak kecilnya
digembleng oleh ayahnya sendiri, pandai menunggang kuda, pandai bermain panah
dan pandai pula mainkan tombak dan pedang. Selain ini, ia pun seorang puteri
yang amat cantik jelita, menjadi kenangan dan kembang mimpi semua pemuda
Khitan. Namun, tak seorang pun diantara para pemuda berani main-main dengan
puteri Tayami, bukan saja karena Tayami adalah Puteri Mahkota, akan tetapi
terutama karena mereka gentar menghadapi kegagahan puteri ini. Kalau Tayami
sudah ikut maju perang dengan pedang pusaka di tangan, yaitu Pedang Besi
Kuning, dengan gendewa dan anak panah menghias bahu, menyengkelit tombak, bukan
main hebatnya puteri ini. Entah sudah berapa banyak tentara musuh yang roboh
oleh anak panahnya, pedangnya, maupun tombaknya.
Khitan memiliki pula banyak panglima-panglima perang yang
berilmu tinggi di antaranya adalah Panglima Tua Kalisani dan Panglima Muda
Bayisan. Hanya dua orang ini yang paling hebat kepandaiannya di antara semua
panglima yang juga memiliki keistimewaan masing-masing. Akan tetapi hanya kedua
orang panglima itu yang memiliki ilmu silat dari selatan dan barat. Adapun
Ban-pi Lo-cia biarpun terkenal, namun tidaklah langsung membantu pergerakan
bangsanya. Dia adalah guru dari Panglima Muda Bayisan, namun jarang ia tinggal
terlalu lama di Khitan, lebih suka merantau ke selatan, ke dunia yang lebih
ramai dan lebih banyak terdapat kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan selera
nafsunya.
Dasar watak laki-laki, di mana-mana sama saja. Asalkan
melihat wanita cantik, tentu mereka itu saling berebutan. Yang kasar yang
halus, ya begitu juga, hanya yang kasar itu mengeluarkan perasaan hatinya
melalui kata-kata kasar atau pandang mata kurang ajar, sedangkan yang halus
diam-diam menyimpan di hati. Namun hakekatnya, sama juga. Di antara sekian
banyaknya pemuda Khitan yang jatuh hati terhadap Puteri Tayami, termasuk juga
Bayisan dan... Kalisani ! Kita sudah mengenal Bayisan sebagai seorang tokoh
muda yang haus akan wanita cantik, yang jahat dan keji, tidak segan-segan
melakukan perkosaan terhadap wanita yang manapun juga, baik ia isteri orang
maupun anak orang, baik ia mau ataupun tidak. Maka tidak mengherankan apabila
Bayisan tergila-gila kepada Puteri Mahkota bangasanya sendiri yang demikian
jelita ayu. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah Panglima Tua Kalisani.
Usianya sudah empat puluh tahun lebih, dua kali usia Tayami, namun panglima
yang belum pernah menikah ini secara diam-diam tergila-gila pula kepada Tayami.
Hanya bedanya, kalau Bayisan mengungkapkan perasaannya melalui senyum dan
pandang mata, kadang-kadang kata-kata kurang ajar, adalah Kalisani memendam dalam
hati, dan mungkin hanya dapat terlihat oleh Tayami sendiri melalui pancaran
sinar mata penuh kasih sayang.
Namun, semua harapan para muda termasuk dua orang
panglima itu, sebenarnya sia-sia belaka. Puteri Mahkota Tayami sudah mempunyai
pilihan hati sendiri. Ia telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang bekas
temannya semenjak kecil, putera dari pelayan pribadi ayahnya. Kini bekas teman
itu telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah, dan biarpun pangkatnya hanya
perwira menengah, namun kegagahannya dalam pandang mata Tayami tiada yang dapat
menandinginya ! Pemuda ini bernama Salinga, biarpun keturunan pelayan raja,
namun semenjak nenek moyangnya dahulu amat setia dan berdarah patriot.
Raja Kulu-khan amat mencinta puterinya, dan raja ini pun
berpemandangan luas, tidak mengukur pribadi seseorang dari kedudukannya, maka
biarpun ia tahu akan perhubungan antara puterinya dengan Salinga, raja ini
tidak pernah menegur puterinya. Malah ketika Bayisan mengadukan hubungan itu,
ia memarahi Bayisan. Bayisan ini biarpun terkenal diluaran sebagai panglima
muda, namun adalah putera Raja Kulu-khan juga. Putera yang lahir dari seorang
wanita yang telah bersuamikan seorang pembantu raja, akan tetapi oleh suaminya
seakan-akan di"jual" kepada raja karena mengharapkan kenaikan
pangkat! Peristiwa ini terjadi ketika Raja Kulu-khan masih muda dan tidak kuat
menghadapi godaan isteri ponggawa itu. Namun, setelah mengetahui niat licik
dari ponggawa yang menjual isterinya sendiri itu, raja ini malah menjatuhkan
hukuman kepada Si Ponggawa, sedangkan isteri ponggawa itu ia ambil sekalian
menjadi selirnya. Hal ini dilakukan untuk mencuci segala noda. Anak yang lahir
dari hubungan inilah yang sekarang menjadi Panglima Muda Bayisan!
"Cinta kasih antara orang muda adalah cinta kasih
murni yang timbul dari hati sanubari. Adalah Dewa yang menjodohkan, bagaimana
kita manusia hendak merusaknya, Bayisan ? Kalau adikmu Tayami memang saling
mencinta dengan Salinga, biarlah. Salinga seorang pemuda baik, apa
salahnya?"
"Akan tetapi, Sri Baginda. Adinda Tayami adalah
seorang Puteri Mahkota, sedangkan Salinga... seorang prajurit biasa..."
"Hemm, dia seorang perwira..."
"Apa artinya ? Seorang Puteri Mahkota jodohnya
adalah pangeran, atau yang setingkat..."
"Ha-ha-ha, Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu.
Siapakah yang membuat hati dan menimbulkan cinta? Hanya para Dewa yang tahu.
Siapa sekarang yang membuat segala macam pangkat dan kedudukan? Hanya manusia.
Apa sukarnya kalau sekarang aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau
Ponggawa yang tinggi kedudukannya? Mudah saja, bukan? Akan tetapi aku tidak mau
lakukan itu, kenaikan tingkat menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat
Salinga, berarti suatu penghinaan, baik bagi Salinga maupun bagi keluargaku
sendiri. Nah, cukup, tak perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!"
Demikianlah, dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan
selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan hati Tayami dan menjatuhkan diri
Salinga. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani secara berterang melakukan hal
ini, karena Salinga adalah kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula
kepada Tayami, adik tirinya!
Pagi hari itu kota raja Paoto amatlah ramainya. Kwee Seng
memasuki kota raja ini dan biarpun ia menarik perhatian karena pakaiannya yang
compang-camping dan penuh tambalan itu menunjukkan bahwa dia seorang selatan,
namun sikapnya yang seperti orang gila membuat orang-orang hanya tertawa
kepadanya. Memang pada waktu itu, banyak sekali orang Khitan sudah berpakaian
seperti orang Han, dengan pakaian yang dapat mereka rampas kalau mereka
menyerbu ke selatan, atau pakaian yang mereka perdagangkan dengan kulit dan
bulu domba. Banyak juga pedagang-pedagang dari selatan sampai Khitan,
mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi para pedagang, di mana ada
"untung" ke sana ia pergi, tak peduli di sana terdapat bahaya
menantang.
Keramaian kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan
yang lalu, di bawah pimpinan Panglima Muda Bayisan sendiri, sepasukan orang
Khitan menyerbu dan menghancurkan pasukan Kerajaan Chin Muda yang ternyata
adalah pasukan yang melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil
perampasan mereka terhadap Kerajaan Tang Muda yang kalah perang. Banyak sekali
barang rampasan ini, belum lagi kuda dan senjata, maka saking gembiranya Raja
Kulu-khan lalu mengadakan pesta untuk menghormati pasukan itu. Dan sebagaimana
biasanya, dalam setiap keramaian seperti itu, tentu diadakan
perlombaan-perlombaan ketangkasan di tepi Sungai Kuning. Perlombaan macam ini
bukan hanya sebagai hiburan untuk menggembirakan suasana, namun ada maksudnya
pula unutk mengumpulkan tenaga-tenaga muda dan tidak jarang dalam kesempatan
seperti ini bermunculan perwira-perwira baru yang diangkat karena kemenangannya
dalam perlombaan.
Kwee Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju
ke tepi sungai, ke tempat perlombaan. Sambil makan roti susu kambing yang tadi
dibelinya dari warung dan kini digerogoti, Kwee Seng ikut berlari-lari.
Lapangan di tepi sungai itu luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat
sedemikian rupa sehingga rata dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan.
Hati Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal
seorang di antara para perwira tinggi yang hadir di tempat itu. Seorang Muda
yang tinggi kurus, berpakaian panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan
lain adalah Bayisan, musuh lama yang dicari-carinya. Matanya tetap mencari-cari
dan ia agak kecewa tidak melihat Ban-pi Lo-cia di tempat itu. Di panggung yang
sengaja dibuat, duduklah Raja Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, belasan orang
panglima tinggi lainnya, dan di samping raja ini duduk pula seorang gadis yang
cantik jelita, pakaiannya serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung
di belakang punggung. Inilah Puteri Mahkota Tayami, dan Kwee Seng juga dapat
menduganya karena seringkali ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung
orang dalam perjalanannya di daerah Khitan.
Pada saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing,
berdiri sejajar dan agaknya menanti tanda untuk segera berlomba lari cepat.
Kwee Seng melihat betapa di sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar,
antara dua meter tingginya dan ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu
memenuhi jalan dan dipasang amat kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan
ujungnya yang runcing di atas. Tak jauh dari situ, di sebelah kiri jalan
berdiri belasan orang barisan panah yang siap dengan busur dan anak panah. Kwee
Seng tertarik dan bertanya kepada penonton di sebelahnya, seorang Han yang
agaknya adalah seorang daripada para pedagang perantau.
"Inilah saat penentuan bagi para pemenang,"
orang itu menerangkan,
"Enam orang itu adalah orang-orang pilihan yang
telah keluar sebagai pemenang beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan
untuk memilih yang paling gagah di antara mereka. Pertandingan kali ini tentu
seru, karena Salinga ikut. Tuh dia yang berbaju kuning!"
Kwee Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah
seorang muda yang memang tampan dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada
di tempat paling kiri. Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar
dan sinar matanya penuh semangat.
"Perlombaan apa saja yang akan
dipertandingkan?" ia bertanya gembira. Orang itu menengok. Melihat orang
yang bertanya, biarpun dari suaranya jelas seorang Han, namun pakaiannya yang
compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan tertawa-tawa menunjukkan
bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu menjawab singkat,
"Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!"
Kwee Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan
tersenyum lebar. Manusia di mana-mana masih belum dapat melempar wataknya yang
buruk, yaitu menilai seseorang dari pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin di
hormat oranglah kamu! Akan tetapi ia tidak peduli dan melongok-longok, mendesak
di antara banyak orang untuk dapat menonton lebih jelas.
Sementara itu, di panggung, Bayisan memohon kepada Raja
untuk mengikuti pertandingan ini.
"Ahh," jawab Raja Kulu-khan. "Siapa yang
tidak tahu bahwa kau adalah Panglima Muda dan memiliki kepandaian tinggi? Apa
perlunya kau hendak ikut pertandingan?"
"Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan
menambah kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para
muda kita agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini,
Paduka kelak akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"
Raja Kulu-khan tersenyum. Di dalam hatinya ia maklum
bahwa panglima mudanya ini juga mencari kesempatan "jual muka"
memamerkan kepandaian, akan tetapi karena alasan tadi ada benarnya pula, maka
ia mengangguk memberi ijin.
"Heh-heh-heh, Bayisan, hati-hati kalau kau sampai
kalah, bisa jatuh nama!" Panglima Tua Kalisani menegur Bayisan dengan
suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani terkenal sebagai seorang yang suka
bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga terhitung masih sanak dengan
keluarga raja.
Bayisan hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling ke arah
Puteri Tayami sambil berkata,
"Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira
seprti mereka itu?" setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada
raja dan meloncat turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan
ejekan terhadap diri Salinga, pemuda pilihan hati Tayami, hal ini tentu saja
dimengerti oleh Tayami sendiri, maupun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani.
Ketika Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor
kuda merah, ikut berjajar sebaris dengan enam orang penunggang kuda, tangannya
gatal-gatal untuk segera menerjang orang yang telah berbuat curang terhadapnya
itu. Akan tetapi ia menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu
tentu akan menimbukan kegemparan dan kalau ia kemudian dikepung oleh samua orang
Khitan meloloskan diri? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka
kesempatan, turun tangan di waktu malam sunyi.
Raja memberi tanda dengan tangan diangkat ke atas,
terompet tanduk menjangan dibunyikan orang dan perlombaan ketangkasan dimulai.
Peserta paling kanan dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh
kuat seperti batu karang, berteriak keras, kudanya dicambuk dan larilah
binatang ini cepat laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton
mengulur leher mengikuti larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang
menghalang jalan. Kwee Seng sudah tidak tampak lagi di antara penonton, karena
ia sudah enak-enak duduk di atas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton
dengan enak.
Setelah tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam
itu berseru keras dan kudanya melompat ke atas. Hebat lompatan kuda ini.
Keempat kakinya hampir menyentuh ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa akan
tetapi juga permainan yang amat berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda
itu menyentuh mata tombak, tentu tubuh kuda akan terguling dan jatuh di
"sate" ujung banyak tombak, mungkin berikut penunggangnya! Namun kuda
hitam bersama penunggangnya amatlah tangkas, secepat kilat kuda itu sudah
mewakili barisan tombak dan turun dengan selamat, menimbulkan debu mengebul
tinggi dan sorak-sorai tepuk tangan gemuruh dari para penonton. Raja mengangguk
puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang setangkas itu, makin kuatlah
Kerajaan Khitan.
Akan tetapi lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian
bukan hanya sampai pada melompati barisan mata tombak. Ini masih belum
berbahaya! Ujian kedua lebih hebat lagi, yaitu melalui barisan anak panah.
Penunggang kuda hitam sudah melarikan kudanya cepat-cepat, kembali lagi setelah
tiba di ujung sana untuk memasuki lingkungan barisan anak panah, yang sudah
siap sedia. Begitu kuda itu memasuki lingkungan itu, busur-busur di pentang dan
melesatlah puluhan batanga anak panah, menyambar ke arah tubuh Si Penunggang
Kuda. Semua pelepas anak panah adalah ahli-ahli pilihan sehingga tidak sebatang
pun anak panah yang akan mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat di atas
tubuh kuda, lewat dengan cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang
menyerempet pelana di punggung kuda. Akan tetapi Si Penunggang Kuda yang cekatan
itu tahu-tahu telah lenyap dari atas kuda. Demikian cepatnya gerakan itu
sehingga ia seolah-olah menghilang, padahal ketika anak-anak panah menyambar,
penunggang ini sudah menjatuhkan diri ke kiri, terus tubuhnya menggantung ke
bawah perut kuda, hanya kedua kakinya yang menahan tubuh, kedua kaki yang
dikaitkan kepada pelana kuda itu. Kuda lari terus, penunggangnya bergantung
dibawahnya, sungguh ketangkasan yang mengagumkan! Tepuk tangan dan sorak-sorai
menyambut ketangkasan ini setelah kuda besarta penunggangnya selamat melewati
barisan anak panah. Dengan gerakan indah Si Penunggang mengayun tubuhnya dan
dari sebelah kanan perut kuda ia telah duduk kembali dengan tegaknya!
Ujian ke tiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil
menunggang kuda yang mengitari lapangan, Si Penunggang Kuda hitam itu mementang
busur dan berturut-turut ia melepas anak panah yang menancap tepat pada dada
dan perut boneka besar manusia yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah
lapangan. Tujuh kali Si Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan
lima di antaranya menancap tepat di tengah dada, yang dua agak meleset,
menancap di pundak dan paha. Namun ini saja sudah cukup menyatakan bahwa ia
lulus! Dengan bangga Si Penunggang Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke
bawah panggung, melompat turun dan berlutut ke arah raja, kemudian menuntun
kudanya berdiri di pinggir ikut menonton peserta-peserta berikutnya
Peserta ke dua mengalami saat naas baginya. Ketika
kudanya melompati barisan tombak, di bagian terakhir kudanya terjungkal, jatuh
ke bawah. Perut kuda tertembus tombak-tombak itu dan penunggangnya pun
mengalami nasib yang sama, perut dan dadanya tembus oleh tombak. Penonton
berseru kengerian dan beberapa orang penjaga segera lari mendatangi untuk
membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban mulai jatuh dan permainan berbahaya
ini, dan penonton mulai tegang!
Peserta ke tiga selamat melampaui barisan tombak, dan
ketika melampaui barisan anak panah, kurang cepat ia bersembunyi sehingga
pundak dan pahanya terserempet anak panah. Dalam keadaan luka ringan ini ketika
ia memanah orang-orangan, di antara tujuh batang anak panahnya, hanya dua yang
mengenai sasaran, maka tentu saja ia pun dinyatakan gagal!
Peserta ke empat hanya berhasil melampaui barisan tombak.
Ia terjungkal roboh dengan anak panah menancap di perut dan lehernya ! Kembali
ada korban yang kehilangan nyawanya dalam lomba ketangkasan ini. Namun para penonton
tidak lagi menjadi ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata
oleh mereka betapa sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini.
Ketika peserta ke lima yang mukanya sudah pucat melihat
betapa rekan-rekannya gagal bahkan ada yang tewas itu membentak kudanya mulai
mulai lari membalap, semua orang memandang penuh ketegangan. Peserta ke lima
ini tubuhnya jangkung kurus namun bahunya bidang dan lengannya kelihatan kuat.
Ia berhasil melompati barisan tombak, berhasil pula melewati barisan anak panah
dengan cara sembunyi di bawah perut kuda seperti dilakukan peserta pertama,
akan tetapi ketika ia memperlihatkan keahliannya memanah, di antara tujuh
batang anak panahnya hanya dua yang menancap pada perut sasaran, yang lima
meleset semua. Kegagalan inilah yang menyebabkan ia dianggap tidak lulus, tidak
diterima menjadi calon panglima dan hanya dinaikkan pangkatnya satu tingkat
saja. Namun ia masih beruntung kalau dibandingkan dengan rekan-rekannya yang
tewas atau terluka parah.
Tibalah kini giliran Salinga. Begitu pemuda berkuda putih
ini maju, para penonton bertepuk tangan. Pemuda ini amatlah tampan dan sikapnya
tenang, jelas bahwa orangnya rendah hati dan tidak sombong, namun pandang
matanya yang tajam itu membayangkan semangat dan keberanian yang luar biasa.
Para penonton yang sudah tahu bahwa pemuda ini adalah pilihan puteri mahkota,
tentu saja simpati dan mengharapkan pemuda ini akan berhasil baik dan lulus.
Sebaliknya, Puteri Tayami biarpun kelihatan tenang-tenang saja, diam-diam ia merasa
kuatir kalau-kalau kekasihnya takkan berhasil. Perlombaan atau ujian sehebat
ini hanya diadakan beberapa tahun sekali kalau raja berkenan hendak memilih
calon-calon panglima yang harus benar-benar gagah perkasa.
Seperti juga yang lain-lain. Salinga membawa kudanya ke
depan panggung, lalu ia turun dan memberi hormat sambil berlutut ke arah raja.
Kemudian matanya mengerling sekilas ke arah kekasihnya. Alangkah besar hatinya
ketika ia menerima kiriman senyum dari Tayami, senyum yang menimbulkan
keyakinan di dalam hatinya bahwa demi untuk puteri pujaannya, ia harus dan akan
berhasil!
Pada saat ia bangun kembali dan melompat ke atas punggung
kudanya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dan tahu-tahu seekor kuda
berbulu merah telah berada di dekatnya. Salinga tercengang ketika mengenal
penunggangnya yang bukan lain adalah Panglima Muda Bayisan ! Segera ia menjura
di atas kuda putihnya dan berkata.
"Salam, perwira Salinga yang gagah!" balas
Bayisan.
"Ada pesan apa gerangan yang hendak Tuan sampaikan
kepada saya?"
"Tidak ada apa-apa Salinga. Hanya, melihat bahwa
peserta terakhir tinggal engkau seorang dan aku yang hendak mencoba-coba
sukarnya ujian, sebaliknya kita lakukan itu bersama. Bukankah hal itu akan
menambah kegembiraan dan akan membesarkan hati kita, juga menggembirakan para
penonton?"
Tentu saja Salinga maklum bahwa di antara para saingannya
dalam berebut hati tuan puteri, Bayisan ini merupakan saingan terberat dan juga
paling berbahaya. Sudah seringkali kekasihnya, Puteri Tayami, memperingatkan
agar ia berhati-hati terhadap Bayisan. Ia tentu saja dapat menduga bahwa
panglima muda yang sebetulnya juga pangeran ini mempunyai maksud tersembunyi
dalam mengajak ia melakukan ujian bersama. Terang bahwa Bayisan takkan mungkin berani
mencelakainya di depan begitu banyak saksi, di antaranya raja dan puteri
mahkota sendiri. Salinga menaruh curiga dan tidak suka, akan tetapi betapapun
juga, tak dapat ia menolak, tak dapat ia berlaku tidak hormat kepada Bayisan.
Pertama, Bayisan adalah panglima muda, jadi masih termasuk atasannya biarpun ia
dimasukkan ke dalam pasukan yang langsung dikepalai panglima tua. Ke dua,
Bayisan adalah putera raja sendiri, biarpun hanya putera selir yang tidak
begitu harum namanya karena menjadi selir raja atas kehendak suaminya yang
kemudian di hukum mati.
"Tuan Panglima amat gagah perkasa, tentu saja ujian
ini sebagai main-main belaka, berbeda dengan saya yang harus mempertaruhkan
nyawa untuk dapat lulus." Kata salinga merendah.
Mendengar ini, Bayisan tertawa bergelak dan sengaja
berkata dengan suara keras agar terdengar orang lain, terutama tentu saja, agar
terdengar Puteri Tayami.
"Ha-ha-ha, mempertaruhkan nyawa untuk permainan
macam itu saja? Ha-ha, kau berkelakar, Salinga! Siapa yang tidak tahu akan
ketangkasanmu? Hayolah, jangan membuang waktu lagi. Kuda kita sama-sama baik,
usiamu lebih muda daripada usiaku, tentu kau lebih tangkas. Ha-ha!"
Bayisan lalu mencambuk kudanya yang melesat maju. Merah muka Salinga karena ia
maklum apa yang dimaksudkan oleh Bayisan tadi, akan tetapi ketika ia mengerling
ke arah panggung, ia melihat Tayami kembali tersenyum kepadanya, senyum yang mengatakan
berpihak kepadanya. Ia pun tersenyum pula dan mencambuk kuda putihnya yang
terbang maju ke depan.
Penonton bersorak riuh rendah. Hebat memang melihat kedua
orang gagah itu. Kuda yang mereka tunggangi juga merupakan kuda pilihan. Kuda
putih tunggangan Salinga adalah kuda pemberian Puteri Tayami, tentu saja
merupakan kuda pilihan dari kandang istana. Adapun kuda merah tunggangan
Bayisan juga datang dari kandang istana, karena kuda ini hadiah dari raja
sendiri ketika ia berhasil menumpas pasukan musuh beberapa hari yang lalu.
Banyak di antara penonton hanya mendengar kegagahan panglima muda dari cerita
para anggota pasukan belaka, jarang ada yang pernah menyaksikan sendiri, maka
kesempatan yang amat baik tentu saja menggembirakan hati mereka.
Sementara itu, Kwee Seng yang ikut merasa tegang dan
gembira, tiba-tiba terkejut bukan main ketika ia mendengar suara berkeresekan
di atasnya dan ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat seorang kakek tua sudah
duduk di atas cabang, hanya dua meter di sebelah atasnya! Inilah yang membuat
ia merasa kaget bukan main. Biarpun ia tadi memperhatikan ketegangan di bawah,
namun bagaimana ia tidak dapat mendengar ada orang yang tahu-tahu berada di
atasnya? Ia memperhatikan kakek itu. Kakek yang aneh sekali. Pendek, luar biasa
pendeknya paling-paling satu meter tingginya. Tubuhnya, kaki tangannya, kecil
seperti kaki tangan anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kepalanya sebesar
kepala orang dewasa, bahkan lebih besar lagi tampaknya karena rambutnya yang
penuh uban itu riap-riapan, kumis jenggotnya memenuhi separuh muka, alisnya
juga panjang sampai ke pipi, bibir yang merah tampak membayang di antara kumis
jenggot, tersenyum-tersenyum lebar dan matanya yang kecil itu bersinar gembira
seperti anak yang nakal. Di pundaknya sebelah kanan bertengger seekor burung,
burung hantu atau burung malam yang matanya seperti mata kucing, kelihatan
cerdik licik dan menakutkan! Sekali pandang saja maklumlah Kwee Seng bahwa
kakek pendek aneh yang duduk di sebelah atasnya itu adalah seorang yang berkepandaian
tinggi, maka ia bersikap hati-hati dan waspada. Ia tidak pernah mendengar di
dunia kang-ouw ada tokoh macam ini, maka ia tidak tahu dari golongan mana kakek
ini dan bagaimana pula sepak terjang serta wataknya.