‘Liong-twako, jangan takut, pedangku akan mencabut
nyawanya!! seru Lin Lin dan cepat ia menerjang. Sinar kuning berkelebat dan
Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat
wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang mengandung hawa
dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya selain pemuda
lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu pedangnya.
Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya
disambar Bok Liong, ditarik dan pemuda itu berkata,
‘Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah
orang!!
Lin Lin baru teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi
kehendak mereka bertempur dengan orang-orang itu. Tadi ia terpaksa merobohkan
lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya bertanding terus? Ia tidak
bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam
menyebut-nyebut Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling
Emas, musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana!
Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloneat pergi bersama Bok
Liong, menghilang ke dalam gelap. Suma Boan tidak mengejar. Pemuda bangsawan
ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai, dan belum ia kenal siapa
mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus mengejar tanpa bantuan yang
kuat?
Setelah berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok
Liong dan Lin Lin berhenti untuk mengatur napas.
‘Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di
sana bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak
kuduga bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,! kata Bok Liong.
‘Aku tidak takut! Biar ada gembel tua bangka setengah
buta itu aku tidak takut dan akan melawannya mati-matian!! seru Lin Lin dengan
suara gagah.
‘Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung
menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma
Boan itupun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai...!
Bok Liong menggeleng-geleng kepala dan ia maklum bahwa
kata-katanya ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal
ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma
Boan saja, baru seimbang dengan kepandaiannya. Pemuda bangsawan itu harus ia
akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir
mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.
‘Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja.
Suling Emas berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini
dia tidak akan dapat terlepas dari tanganku!!
‘Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu
dengannya. Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau
terburu nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang
akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya
mengaku apakah dia membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh
sembrono dan lancang terhadap seorang seperti dia.!
‘Memang kau tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana
kalau penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak
berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau
terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah kepadanya?!
‘Baiklah, baiklah, aku akan menutup mulut dan mau
menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat
kepastian, baru aku puas, Twako.!
Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat
barunya ini marah dan mengambul.
‘Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam
begini?!
‘Biar malam udara terang, lihat bulan tersenyum di atas
tuh!!
Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan
memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya lebih daripada bulan sendiri!
‘Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?!
Lin Lin menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang
muda itu, berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi
Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa. Ia
merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia mempunyai
perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap pemuda ini seperti kakaknya
sendiri. Tentu saja tidak demikian apa yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok
Liong. Suasana romantis ini mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya
dan membakar darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di
depan Lin Lin menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan
jiwanya. Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia
mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke
dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta,ingin ia.. ingin..
Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran
kepada pemuda yang baru saja menempiling kepala sendiri itu.
‘Oh.. eh.. tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit
pelipisku,! jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari
mukanya yang menjadi merah sekali.
‘Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di
pelipis sendiri begitu kerasnya?!
Lin Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan daripada
lamunannya. Sambil berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin
akan keadaan dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri,
keturunan langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti
melihat dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung
istana seperti yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah
ribuan orang! Apalagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan..
akan apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam
lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempiling kepala sendiri dan
mengagetkannya serta menariknya turun daripada angkasa ke alam sadar.
‘Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau
dapat naik kuda, Lin-moi, dan tidak terlalu lelah.!
‘Kenapa kau jual kudamu kalau begitu?!
‘Perlu dijual.. perlu sekali.. saku sudah kosong, apa
daya?!
Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan
pemuda itu.
‘Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan
sarung pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya
perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik.!
Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia
pura-pura mendengus.
‘Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua
orang melakukan perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita
berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau,
kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda.!
Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil
bercakap-cakap.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang
melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar
lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh
besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng,
gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng
tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang
menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur
melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat
rahasia. Akan tetapi malang baginya, di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa
lega dan mengira telah terlepas daripada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si
iblis itu sendiri muncul di depannya, Hek-giam-lo telah berada di situ,
seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya. Ia
berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti?
Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo,
kemudian dibawa lari secepat terbang! Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat
teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat
melepaskan diri daripada pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat
kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini
terbayang sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng
ikut dengannya dan mentaati segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum
bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi
mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap
menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan
terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
‘Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku
bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian
Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku
pergi.! Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan
melalui sebuah bukit yang sunyi.
Hek-giam-lo memang pendiam dan tak banyak ia bicara
selama dalam perjalanan, sungguhpun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng
dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan penuh
hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat,
‘Paduka puteri raja kami, memang sejak kecil diambil
anak oleh Jenderal Kam.! Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau
bicara lagi.
Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang
Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf
lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka
di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar. Kemudian, di
tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah perkampungan dengan
rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat
suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-butan
kecil di antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria!
Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng
ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, para
penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka lalui.
‘Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat
kepada Paduka,! kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.
Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap
dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah
pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.
‘Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?!
‘Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.!
‘Pamanku?! Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia
berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di
tengah-tengah perkampungan itu. Di depan rumah besar ini terdapat banyak
penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat, dengan
tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris rapi dan memberi hormat
dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di
sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal. Kiranya dalam rumah besar itu yang
dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera
kecil berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di
ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang
cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun, baik pasukan
laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat
Hek-giam-lo.
Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa
wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar di mana
telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah
kursi atau singgasana terbuat daripada gading. Laki-laki ini usianya kurang
lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata tajam.
Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata
singkat,
‘Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda,
Paman Paduka.! Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar suaranya
nyaring.
‘Hamba datang menghadap, dengan berkah Sri Baginda,
hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri
Baginda.!
Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan
yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng
yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan marah
karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak demikian. Raja
itu memandang dengan sinar mata kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan
berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup lancar.
‘Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat
apakah kau benar keponakanku ataukah palsu.!
Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja
itu sambil berkata,
‘Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah
kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa pun
adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku.!
Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa
sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras.
‘Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha.
Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus.
Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung..!!
Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja
yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.
Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam
bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng,
‘Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu
adalah anak Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba
sampai di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka
hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi,
dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami.!
‘Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar
bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa
datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah
keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka, biarpun mereka berdua
itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari daripada gadis ini, toh
mereka itu bukan keponakanku!!
Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama
kemudian dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita
akan tetapi wajah mereka pucat dan di kedua pipi yang halus tampak bekas air
mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.
‘Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biarpun
bukan, kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biarpun hanya
untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kaubawa ini bukanlah puteri Kakak
Tayami.!
‘Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah
kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba
kita periksa bersama!! Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo
menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat,
yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit
ngeri karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir
ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke
kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi
telanjang bulat!
Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng.
Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu
karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia
lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas lantai untuk
menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian, punggungnya tampak
jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit punggung yang putih
bersih tiada cacad sedikit pun!
‘Ha-ha-ha-ha, kaulihat, Hek-giam-lo? Dia bukan
keponakanku, sayang seribu sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis!!
‘Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.!
terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.
‘Tidak apa, kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan
menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah.! Sian Eng terkejut sekali ketika
merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia
mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun dari
singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu. Saking
ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan seekor
harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul dengan kedua
tangannya ke arah dada dan perut raja itu!
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping,
roboh menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke
belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau tidak Hek-giam-lo
yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk
mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang meluap-luap.
‘Hek-giam-lo, kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga
dua orang puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup,
jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina mereka yang
menyebalkan hati rajanya!! Setelah berkata demikian, raja itu mendengus marah,
lalu pergi memasuki kamarnya, diiringkan oleh dayang-dayang cantik jelita dan
muda-muda.
Sian Eng sudah bangun kembali dan cepat menyambar
pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong. Sedapat-dapat ia membungkus
tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa pakaiannya terbuat daripada kain
yang lebar dan panjang sehingga biarpun robek-robek namun masih cukup untuk
menutupi ketelanjangannya.
Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi
kepadanya. Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah
menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka bertiga
seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian melangkah lebar keluar dari
gedung itu.
Malam itu terang bulan, namun keadaan di luar
perkampungan itu, di pinggir hutan, amat menyeramkan. Apalagi kalau orang
melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar bulan menyorot
langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan bergidik melihat
apa yang tampak di sana.
Tiga buah kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga
orang wanita yang masih hidup! Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita
cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis terisak-isak dengan air
mata bercucuran. Akan tetapi, kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng,
biarpun tampak agak pucat juga, namun sama sekali tidak menangis, malah
sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
Memang hebat dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si
manusia iblis itu, yang mentaati perintah rajanya. Ia menggali tiga buah
lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan tiga orang
gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur mereka sebatas leher. Seluruh
tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya kepala mereka sebatas leher yang
keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang benderanya di atas pohon dekat
tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada seorang pun manusia di
perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis bernasib malang ini.
Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan kanan raja?
Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia
mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin.
Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak angkat. Ayahnya
tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik angkatnya itu
wataknya aneh sekali dan ketika ia tadi melihat pengawal-pengawal dan
dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan, alangkah besar persamaan Lin
Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya
berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia Lin Lin. Dan besar
kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah
ini?
Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya
mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya
melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak
itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka
berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan
dari penuh sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin
besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang
gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi,
itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan
itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng
dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa
mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga
yang lebih dulu akan digerogoti harimau?
‘Hu-hu-huk, Ayah.. Ibu.. tolong..!! Gadis yang berada
di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.
‘Aku.. aku.. takut.. ya Tuhan cabutlah nyawaku..!!
Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.
Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak
menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah
gadis-gadis biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan
ketakutan seperti itu.
‘Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup
memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba,
cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan
mati, hanya waktu saja soalnya.!
Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran
melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.
‘Aku.. aku tidak takut mati.. aku.. aku lebih baik
mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini dan.. dan penghinaan.. ah, lebih baik
aku mati, tapi jangan.. jangan mati dimakan harimau..! kata gadis di depannya
terisak-isak.
‘Sebelum hayat meninggaikan badan, tak boleh berputus
asa,! kata pula Sian Eng. ‘Enci harap tenang saja, kalau belum waktunya kita
mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah,
jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati.!
Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara
penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti
menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar
lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman
‘senasib sependeritaan! itu untuk bercakap-cakap. Dari mereka dia memperoleh
keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh
Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di depan raja,
mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu
mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka
tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan.
Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa selama
tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam
hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja
Khitan itu. Dan menghadapi penderitaan dua orang gadis itu, ia tidak dapat
bicara banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan
hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini. Tentu saja
semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi,
karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka
dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng
tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia
diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk
sampai mati!
Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin
dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka
bercucuran.
‘Adik Sian Eng, selamat berpisah..!
‘Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku..!
kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.
Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri
tersenyum,
‘Enci, kalau seorang di antara kita mati, tentu yang
dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah
berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali?
Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana pun.!
Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah
belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi
tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang
terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu,
biarpun hati mereka sekali memandang, mereka tidak dapat dan tidak tahu siapa
gerangan penunggang kuda yang datang ini.
Tak lama kemudian, seekor kuda yang besar dan kuat
berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba
hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera
menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam,
mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan
mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar,
membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan
Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang berwajah gagah sekali,
tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di bawah lindungan sepasang alis
yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan
dan tinggi besar. Yang membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah
jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat
punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor
dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada
itu. Suling Emas!
Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang
datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat
yang tidak baik terhadap dirinya.
Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus
memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki
itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning
mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi, dialah Suling Emas, karena yang
dipegangnya itu apalagi kalau bukan suling terbuat daripada emas?
Dengan gerakan cepat, ia mendekati Sian Eng, sinar kuning
berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah
Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan
meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak
karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar
menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya,
maka cepat-cepat ia meoggerakkan kedua lengan menutupi dada!
Cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu,
melemparnya ke arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan
menyelimutinya dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri terlongong,
memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang
ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah
mengerjakan sulingnya, membongkar dari menggali tanah untuk membebaskan dua
orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah
dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.
‘Benar-benar setan!! ia menyumpah dan dengan gemas ia
merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan
menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima kasih sekali
dan terus saja mengerodongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.
‘Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi.
Amat berbahaya di sini.! Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan
berkata,
‘Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau
di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.!
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus
berbuat apa.
‘Kau.. kau.. Suling Emas..?! akhirnya dapat juga ia
mengucapkan kata-kata.
Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi
ia mengangguk.
‘Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih
baik,! katanya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang
gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka
dan.. kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka
mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru!
‘Ah, gobloknya aku..!! Suling Emas menarik napas
panjang.
‘Ihhh, mereka kenapa?! Sian Eng berseru, cemas dan
ngeri.
Suling Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda
Hek-giam-lo.
‘Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah
mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.!
Sian Eng tak sempat menjawab apalagi membantah, karena
tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian
kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung
kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas
telah duduk di belakang Sian Eng.
‘Tapi.. jenazah mereka itu..?! Sian Eng berseru sambil
menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah
dan ditinggalkan begitu saja.
‘Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?! jawab Suling
Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu
yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas
daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat
mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam
tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak
orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak
baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam.
Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!
Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia
duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa
Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang
membayangkan watak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun, biar mereka duduk
berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang
sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di
kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah
tidak berada di belakangnya lagi.
Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian
Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan
juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih
merupakan rahasia baginya. Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju ke
selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula.
Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah
yang tampan itu ketihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu
yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka
iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini
diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah
apa-apa seperti patung hidup!
Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya.
Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti
di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak
diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan ranting
dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar. Mengambil roti kering
dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di
dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan
sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng
mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata
sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum.
Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan
makan roti itu, karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka
menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak
minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali
naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!
Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa
bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk
termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu
bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak
muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang mendatangkan semua
ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan sesuatu?
Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan
guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa.
Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua.
Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi
kegelisahannya.
‘Kau hendak membawaku ke mana?!
Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya
ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang
manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan
gagap ia menoleh sambil bertanya.
Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu
memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya.
‘Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau
hendak membawaku pergi?!
Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali
melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia
menjawab,
‘Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan
tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.!
Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah
bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas
menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi, Suling
Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya! Kembali berdebar jantungnya
dan dia memandang wajah yang sudah menoleh kembali menatap api unggun.
‘Kurasa bukan itu maksudmu,! ia berkata dengan suara
tegas dan ketus. ‘Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku! Sekarang kau
pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang.. yang tidak baik!!
Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api,
matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar
ini.
‘Hemmm.. itukah sebabnya mengapa kalian bertiga
mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia
kepadaku di hutan itu..!
Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia
dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di
dalam hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak
takut.
‘Memang betul. Biarpun kau berkepandaian tinggi, karena
kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga
aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan
nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam!!
Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk
mengadu nyawa dengan musuh besarnya walaupun ia cukup maklum bahwa
kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh
aneh ini.
Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan
sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar,
menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya
itu.
‘Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua
kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku
membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?!
Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah
memenuhi tubuhnya tadi mengendur,
‘Tapi.. tapi.. sebelum meninggal, Ibu bilang.. tentang
pembunuh itu.. menyebut-nyebut tentang suling..!
‘Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau
aku membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak
biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat
harus berani bertanggung jawab.!
Biarpun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang
api namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu keluar dari lubuk hati.
Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang
itu dengan bingung.
‘Kalau bukan engkau, siapa..?! pertanyaan ini keluar
dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui
bibirnya.
‘Bukan aku!! jawab Suling Emas pasti. ‘Kalau kau mau,
ceritakanlah tentang pembunuhan itu.!
Sian Eng percaya. Andaikata orang ini yang membunuh orang
tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia
sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi
agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia
pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya
terlepas daripada bahaya maut di tangan orang-orang Khitan. Ke tiga, ia ingat
sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun
dibebaskan daripada bahaya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas.
Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka,
bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?
‘Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira
kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi..!
‘Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang
pembunuhan itu.!
Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal
itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi
penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan
pembunuh ayah bundanya.
‘Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun
di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami..!
Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga.
‘Bagaimana kau bisa tahu?!
Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas
menjawab tak acuh.
‘Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang
tidak ternama. Teruskanlah.!
Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya
Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui
Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya,
Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas.
Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan
jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak
pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga
kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti
bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung!
‘Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung
halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga
kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum
selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah
cerai-berai tertimpa malapetaka.!
Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin
Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa
dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang
kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.
‘Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.! Ia
mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.
‘Tak perlu gelisah. Dia selamat.!
‘Bagaimana kau tahu?! Sian Eng bertanya, nada suaranya
gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin
sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. ‘Ah,
tentu kau telah menolongnya pula, bukan?!
‘Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat,
luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu,
kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya. Kalian bertiga
sungguh tak tahu diri..!
Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat
bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia
akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga
sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.
‘Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih
kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menolong
kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak
tahu diri?!
Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di
sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api
unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah,
‘Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti
begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum
diketahui siapa! Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat
lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu
dengan orang yang membunuh ayah bundamu?!
Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu
bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan
kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya
ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal
ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang
pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun juga, ia tetap tidak menjadi
jerih.
‘Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku
akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian!! Sian Eng menjawab
dengan suara lantang.
‘Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil..!
Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun jugat ia
memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap
begitu alim, pendiam dan serius.
‘Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua
engkau,! kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Suling Emas
menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng
lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering
kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!
‘Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?!
‘Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa,
hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah
membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kaubilang tadi ia meninggalkan
surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu
dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te
Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali?!
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut
menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa
marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin
di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah
anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andaikata di
situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan
menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
‘Tak perlu kau marah-marah kepadaku,! akhirnya ia
berkata, ‘kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu
kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di
mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.!
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun.
Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang
kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas
beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
‘Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu.
Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku,
aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu
Song itu, setahuku dia sudah mati!!
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini,
apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya,
Bu Song.
‘Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku
Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.!
‘Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda
tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau
memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi.
Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?!
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung
yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia
menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru
kemudian terdengar ia berkata.
‘Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada
gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada.
Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja.
Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja.
Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan
kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian
bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang
kau tidurlah.! Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng,
kembali merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh
ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa
kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah
terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya.
Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak
jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh
yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya
karena terlalu periahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian
Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang
disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan
kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.
‘Daging hangus..!! Otomatis Sian Eng melompat,
menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu
dan membaliknya.
Suara senandung menghilang.
‘Wah, aku lupa..! Rusakkah dagingnya?! Suling Emas
sudah mendekat.
‘Tidak, hanya hangus sedikit.., Pakaian itu.. punya
siapa?!
‘Kau pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di
sana.!
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian
Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya,
berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya
berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah
bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang
menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh
lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di
hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian.
Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling
Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah
masak.
‘Dagingnya sudah matang!! ia berteriak pada punggung
yang lebar itu.
Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum
sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan
datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak
berkata sesuatu.
‘Ini jubahmu, terima kasih,! Sian Eng mengembalikan
lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah
itu dipakainya.
‘Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota
raja,! katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan
daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas.
Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya
serius,
‘Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus
membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat.
Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu
Bu Sin. Silakan!!
Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius
dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan
menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan
orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan
saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya
meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat
sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia
dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia
menengok dan.. hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di
belakangnya!
Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di
belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian
ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di
belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali
dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum
akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak
merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh
di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa
larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa
kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan
perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan
kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini.
Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali
dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat
mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau
bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat
seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin
sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu,
banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda
besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling
Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai
saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng
masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik,