Sin Liong memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan
dirinya diseret oleh beruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa
berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja
mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan
gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi
keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabarak oleh gunung es yang lain
dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya
gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan
oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia!
Sin Liong berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul
beruang itu.
"Terima kasih, kakak beruang. Kiranya engkau malah
menyelamatkan kami berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang.
"Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat
berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu
kita. Untung tidak hilang. Marilah, suheng."
"Nanti dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk
mengobati luka-luka di tubuh beruang ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..."
"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan
nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari
jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan Marilah, Suheng."
"Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai
mengobatinya." Swat Hong menjadi marah.
"Agaknya kau lebih sayang beruang betina ini dari pada
aku!"
"Sumoi...!"
Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas
pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung
perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut
menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan
niatnya.
"Ngukkk... nguuuuukkk...." Beruang itu mendengus-dengus
dan menciumi kepalanya.
"Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya
menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi
bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh
lukamu?"
Sin Liong lalu mengajak beruang itu mencari daun. Karena perahu
sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada
tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya
terlalu jauh, beruang itu menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es
lainya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang
sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui
perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada
tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka beruang
itu sampai sembuh.
Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang
tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh beruang
mengambilnya dan hatinya terharu ketika mengenal perahu itu sebagai sebuah di
antara perahu pulau es. Tentu penumpangnya telah lenyap ditelan badai,
pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon dan setelah beruang hitam
itu sembuh benar, dia lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan
pulau. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar
perahunya.
"Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan
aku harus pergi mencari sumoi!"
"Nguuuk...nguukk...!" Beruang hitam itu mengeluarkan
suara mengeluh dan mukanya seperti orang menangis!
Sin Liong tersenyum.
"Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!"
Seolah-olah mengerti arti kata-kata Sin Liong, beruang itu lalu
meloncat ke dalam perahu kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar
dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai aku dapat menemukan kembali
sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau
harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau
Neraka. Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia
tahu di mana letaknya Pulau Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat Swat
Hong, menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu
meluncur dan binatang ini telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal
kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat
dilakukan dengan cepat.
Setelah dekat dengan Pulau Neraka, dia menyaksikan suatu yang
membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat
di Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu
besar sekali, perahu layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan
perahu itu pun dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang
layarnya patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama
sekali, berdiri miring di pantai Pulau Neraka.
Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka? Ternyata bahwa seperti
juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai. Hanya karena
letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka penderitaannya tidak sehebat
pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah
bagian pulau ini, banyak pula penghuninya yang tidak keburu lari ke tempat
tinggi, diseret dan ditelan badai. Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang
berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu
besar terdampar di tepi pantai. Perahu itu adalah perahu bajak laut! Setelah
air menyurut, para bajak laut yang terdiri-dari dua puluh lima orang itu segera
mendarat. Mereka itu kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara
mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua
puluh lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang
memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muara-muara sungai
Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang
buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang lawan dalam
pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih
menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang
yang suka berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata
Satu) dan namanya adalah Koan Sek.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh
badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga,
mereka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya
dikenal oleh Orang-orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah
Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng.
Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk
para bajak. Akat tetapi karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah
Pulau Es, melainkan pulau yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani
dan setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah
pulau.
Untung bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air
laut naik dan mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun
menjadi panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar. Andaikata
mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan menjadi
korban binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin
sekali tidak ada diantara mereka yang akan dapat lolos betapapun liar, ganas
dan lihai mereka itu.
Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu
ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang
dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi
kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan
dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah
biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka itu
mereka sambut dengan gembira. mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah
orang-orang biasa saja.
Maka besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan
betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang
tidak dibasmi oleh badai, yang berani menyambut mereka dengan serangan itu
rata-rata memiliki kepandaian hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan
mati-matian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang
biasa melainkan penjahat-penjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga
rata-rata pandai ilmu silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang
pembantu yang sebetulnya adalah sutenya sendiri yang bernama Coa Liok Gu,
seorang hali pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek
sendiri adalah seorang hali bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan
sebuah bola baja yang berat dan keras.
Para penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai,
bahkan ketua mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak
penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh
sakit. Mungkin karena dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya
yang sudah tua. Pernyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat
menyakitkan hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan
rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari
Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit
sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal olehnya, akan tetapi
sebagian besar telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang marah itu.
Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari
tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat
dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buahnya yang datang
melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu kini disebu oleh sepasukan
bajak laut yang ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!" Kakek itu meloncat bangun akan tetapi
terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya, membantunya
untuk rebah kembali.
"Tenanglah, Kong-kong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu
teman-teman membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu."
Ouw Kong Ek terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri masih
tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempur.
"Hati-hatilah, Soan Cu..."
Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir
bajak-bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu.
Dengan pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak
buahnya sudah bertanding mati-matian melawan bajak-bajak yang ganas, apalagi
melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki-laki kasar
sampai wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah
tertawa-tawa dan merobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah
sekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke
depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita
itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat
membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau kelaparan
dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi.
Melihat sepak terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua
orang bajak, Tok-gan-hai-liong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa
orang bajak lain cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk
hebat dan pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar Dahsyat,
membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata
dengan hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan
sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu.
"Lepas tulang ikan!!"
Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan
mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat
orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka berdua lalu mengayun
tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke
arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata rahasia
mereka. Dia adalah Seorang dara Pulau Neraka sudah terlalu banyak racun
dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu
khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai
pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu
setengah lumpuh dan begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya terhuyung,
kepalanya pening.
"Aihhh...!"
Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara
ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang
berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut
ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa
yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya.
"Sute, tangkap nona ini...!"
Teriak Koan Sek dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang
bajak yang mendengar suara itu dekat sekali dibelakang mereka menengok dan...
mereka itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan.
Kiranya yang menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang
menakutkan. Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala
mereka sekaligus!
Sin Liong yang datang bersama beruang itu cepat meloncat mendekati
Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan tangan
kiri, kemudian sekali meloncat dia telah berada di punggung beruang, lengan
kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu telah
menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakan pedang dara itu sambil
beseru
"Kakak beruang, lawan mereka yang berani mendekat!"
Beruang itu menggereng-gereng dan ketika melihat dari kiri ada
sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari
kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan
itu bergerak menangkis, bukan menangkis pedang melainkan mencengkram kepala Coa
Liok Gu. Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikan
pedang dan siap untuk menyerang lagi. Begitu lengan beruang itu menyambar
lawan, dia meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah bagian antara
kedua mata beruang itu.
"Cringgg...!!"
Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang
kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar beruang setelah pedangnya ditangkis
oleh Sin Liong tadi.
"Siuuuut...!!"
Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak
menyambar dengan ganas, menghantam punggung beruang hitam dengan kecepatan
kilat dan dengan tenaga dahsyat.
"Cringgg...! Tranggg...!!"
Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali
pula kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir terkupas
kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia terbelalak dan terheran,
beruang itu sudah membalikan tubuh dan sekali kaki depannya yang kanan
menampar, kepala bajak itu mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari
pegangannya dan beruang itu sudah menubruknya dan mencengkram ke arah lehernya.
"Kakak beruang, jangan ...!"
Sin Liong membentak. Beruang itu terkejut dan ragu-ragu sehingga
kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat jauh kebelakang.
Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang
pemuda yang menunggang beruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang
pingsan. Biarpun pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi
berani menyerang karena dia maklum bahwa selain beruang raksasa itu amat kuat,
juga pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Sin Liong merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat
itu.
"Hentikan pertempuran...!"
Dia berseru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan
penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah,
maka sukar untuk dibujuk.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan suara
itu segera disusul suara berdengung-dengung dan berdesis-desis. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketika dia melihat datangnya
binatang-binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan
sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah digerakan
oleh suara melengking iru, dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih
datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung
beruang dan kini beruang itu pun terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang
raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya.
"Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan
siuman dari pingsannya.
Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak lega.
"Bagaimana lukamu?"
"Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin
binatang-binatang berbisa itu?"
Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong.
"Cepat pergunakan obat penolak ini..."
Dia mengeluarkan sebungkus obat penolak dari ikat pinggangnya.
Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin
Liong dan beruang betina, Soan Cu berkata lagi,
"Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku
membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya ..."
Melihat betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita
kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa tentu dara itu terkena senjata rahasia
yang mengandung racun luar biasa sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya mencelat
kearah Koan Sek yang masih bengong memandang ke depan, matanya terbelalak
ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan
binatang-binatang berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut
sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi sudah mengambil
kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun senjatanya
menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi melepaskan pedangnya, melihat
betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan
senjata berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelumnya
Koan Sek tahu apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh
pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak
kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti
terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu. Koan
Sek menggigil.
Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa
ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu.
Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan
menonton sambil sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu
menghadapi penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak
berdaya. Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan
sekali melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis
mengerung-ngerung karena tidak tahan menderita rasa nyeri yang menyengati
sekujur tubuh.
"Cepat bertindak, halau mereka, Soan Cu!"
Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun yang dikeroyok
binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak dapat menyaksikan
peristiwa mengerikan itu.
Soan Cu menggeleng kepala.
"Tak mungkin. Mereka digerakan oleh suara melengking
itu..."
"Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?"
Soan Cu tersenyum dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri.
Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.
"Siapa lagi? Satu-satunya orang yang dapat melakukannya
hanyalah Kong-kong... augghh ..."
Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin Liong.
"Aduh celaka..., binatang-binatang itu...."
Tok-gan-hai-liong Koan Sek menggigil dan dia hendak lari dari
tempat itu ketika melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk
memutar pedang untuk berusaha mengusir lebah-lebah putih yang mengeroyoknya.
"Kalau kau keluar dari sini, engkau pun akan mengalami nasib
yang sama,"
Kata Sin Liong, menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat
penolak.
"Binatang-binatang itu tidak berani memasuki lingkaran
ini."
Koan Sek memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa
ular-ular beracun yang bermacam-macam warnanya itu benar saja membalik lagi
ketika mendekati garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang terbang dekat,
agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk
dan menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran.
Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok Gu menjerit dan roboh
karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa pembantunya yang juga
merupakan sutenya melolong-lolong dan bergulingan, dikeroyok banyak sekali
binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan
dia menjatuhkan diri berlutut!
Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksikan peristiwa yang terjadi
disekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan
meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaanya yang kejam, membunuh
para bajak seperti itu. Akat tetapi celakanya, suara itu melengking tinggi dan
sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek itu pun tidak tampak. pula,
mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala
bajak? Maka pemuda ini merasa seperti disayat-sayat jantungnya menyaksikan
pembunuhan yang amat kejam itu, melihat betapa dua puluh empat orang bajak
menemui kematian secara mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya
suara jeritan mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih,
kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang-binatang kecil berbisa
yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka!
Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini
datang ke tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan
lemah dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang
alat tiup terbuat dari pada batang alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas
saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta Pulau Neraka
segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya datang dan kini
binatang-binatang itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw Kong Ek
merobah merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya yang tinggal hanya mayat-mayat
dua puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang
penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran.
"Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?" Ouw
Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat.
Sin Liong mengerutkan alisnya.
"To-cu, engkau sungguh kejam, membunuh mereka seperti
itu."
Kakek itu terbelalak.
"Aku? kejam? Dan mereka ini...?" Dia menuding ke arah
mayat-mayat para bajak laut.
"Dan...hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia ini pemimpin
mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek yang
berdiri dengan muka pucat.
"Tahan dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi
nyawa cucumu berada didalam tangannya!"
"Soan Cu...!"
Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan
berada dalam keadaan pingsan itu.
"Mengapa dia?"
"Terkena senjata bracun, hayo kauberikan obat penawar senjata
gelapmu!"
Tok-gan-hai-liong Koan Sek adalah seorang yang sudah
berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia kang-ouw, maka dia tentu saja
cerdik sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya,
tewas secara mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya.
Akan tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul
kembali keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya kita telah salah masuk. Tidak tahu pulau apakah ini
dan siapa kalian ini?"
Tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa jerih sekali
menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya
itu.
"Kau belum tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia itu adalah
ketuanya."
Dia menuding kepada Ouw Kong Ek.
"Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat
memberikan obat penawarnya."
"Ha-ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya. Aihh,
kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya
seperti iblis pula! Benar-benar kami telah membuat kesalahan besar! Orang muda,
mudah saja mengobati luka Nona ini, akan tetapi bagaimana dengan aku sendiri?
Anak buahku telah tewas semua dan aku dalam cengkraman kalian!"
"Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang sampai
hancur!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang, karena aku tidak takut
mati setelah aku melihat bahwa aku mempunyai banyak teman terutama sekali
cucumu. Kalau orang tidak lagi menyayangkan kematian seorang dara jelita muda
remaja seperti dia ini, apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku.
Ha-ha-ha! biarlah aku mati ditemani oleh dara remaja ini!"
Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua tangannya dikepal sehingga
suling batang alang-alang itu hancur di tangannya. Melihat kemarahan ketua
Pulau Neraka itu, Sin Liong Berkata,
"Ouw-tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka cucumu
dan ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum prnah aku
melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan keselamatan Soan
Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih berharga dari pada kehidupan
seorang sesat seperti dia."
"Ha-ha-ha , itu baru omongan yang tepat!"
Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin" berkata
dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau
Es berada di tangannya. Apalagi yang ditakutinya?
"Iblis keparat! Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau
boleh minggat dari sini!"Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang
tolol." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda apakah
kedudukanmu di Pulau Neraka ini?"
Dia memang tidak dapat menduga karena tadi dia mendengar ketua
Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada
yang dipercaya di situ. Maka satu-satunya orang adalah pemuda ini.
"Aku bukan penghuni Pulau Neraka aku adalah seorang dari
Pulau Es...."
"heeeehhh...??"
Mata Tok-gan-hai-liong yang tinggal satu itu terbelalak dan
mukanya pucat. Dia merasa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau
Neraka yang aneh dan mengerikan di mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu
pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah
sebutan yang tadinya dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka.
Mimpikah dia? Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah
pengalaman dari rohnya?
"Pulau... Pulau... Es...?" Dia berkata lirih.
Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa
mengira malah membuat kepala bajak ini menjadi termangu-mangu seperti orang
sinting.
"Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika
engkau yang mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka
ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek
membentak dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam.
"Terserah, bunulah. Aku toh akan mati bersama dia ini."
Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada
kakeknya, kemudian berkata,
"ouw-tocu, biarlah kita memenuhi permintaannya. Harap
sediakan perahu untuknya."
Terpaksa Ouw Kong Ek menggerakan kapalanya memberi isyarat kepada
anak buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik.
Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju
ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan
sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut
sebesar ibu jari tangan yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang
tidak dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan
airnya. Tentu dia akan sembuh."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang
pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang
keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada
dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata,
"Berikan ini kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk halus dan masak
dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya supaya cepat
melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau,
sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang.
"Kau tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya
penuh khawatir.
"Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong. "Aku harus
yankin dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau
pergi. Bukankah itu adil namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam
perahu. Dia maklum bahwa kalau melawan, dia tidak akan menang.
"Dia pasti akan sembuh. Dalam keadaan seperti ini, mana aku
berani main-main?"
Sin Liong diam saja. Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya
untuk memandangi pemuda itu penuh selidik, kemudian bertanya,
"Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?"
Sin Liong mengangguk.
"Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah
dongeng..."
"Hemm.., memang sekarang hanya tinggal dongeng..."
Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan Pualu
Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong
yang menyedihkan.
"Nguuk... nguuukkk..."
Sin Liong menoleh dan tersenyum
"Eh, Enci beruang. Kau menyusulku?"
Beruang itu menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia
melihat Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu.
"Binatang yang hebat!"
Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti
bukan manusia biasa ! dan mempunyai binatang peliharaan seperti itu!
"Kau bilang tadi... tinggal dongeng apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil
mengelus beruang yang sudah bertiarap di depannya.
"Orang muda she kwa... eh, Tai-hiap... kenapa kau mau
membebaskan aku?"
Sin Liong mengangkat mukanya memandang dan kepala bajak itu
menjadi lebih heran lagi melihat betapa pandang mata pemuda itu sama sekali
tidak membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya?
"Mengapa tidak? engkau pun membebaskan Soan Cu."
Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi datang
berlari-lari.
"Kwa-taihiap, Nona sudah sembuh!"
Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek.
"Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan harap kau jangan
sekali-kali mendekati pulau ini."
"Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!, Pulau Iblis
seperti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakan
dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka.
Ketika Sin Liong bersama beruangnya tiba kembali ke tengah pulau
benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya
luka di pahanya yang tinggal dan luka itu sudah diobati oleh Kong-kongnya. Para
penghuni Pulau Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang
bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknya oleh
Ouw Kong Ek dan Soan Cu.
"Sin Liong, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami,
"kata Ouw Kong Ek. "Kalau engkau tidak segera datang entah bagaimana
dengan aku. Mungkin sudah mati" kata Soan Cu dengan mata bersinar-sinar
penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap
aku? Bukankah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku
datang dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi.
Apakah dia tidak datang ke sini?"
Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam
pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang.
Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu, maka dia
menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak menyangka yang
bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi."
"Jadi engkau sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di
sini?"
"Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya
pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya marah-marah!, Orang itu sombong sekali! Dia
menghina kakek, biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua
orang!"
"Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia
tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya
dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam,
bahkan semua catatanmu dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami
akan menyerang Pulau Es!"
"Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak ada
gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musnah."
"Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya,
terbelalak.
"Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai... habis seluruhnya, semua penghuninya
termasuk suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi kecuali bangunan istana
yang telah kosong sama sekali..."
Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa
Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput
dari bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian kakek itu
bertepuk tangan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam
sekejap mata! kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk
tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es
yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah!
Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak,
engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!"
Kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar
dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
"Mengapa engkau sekarang mencarai Nona Swat Hong ke sini? Apa
yang terjadi dengan dia?"
Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Swat Hong,
yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di
mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung dan tersesat karena badai
telah menciptakan pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga sehingga
mereka mendarat di gunung es dan betapa dia menemukan beruang hitam.
"Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka
karena disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati
beruang."
Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja dia segera menceritakan
kemarahan Swat Hong kepadanya.
"Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak dantang ke
sini?"
Soan Cu menjawab,
"Untung saja dia tidak dating�
"Kau katakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini,
mengapa?"
"Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak
baik antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau
di sini, Kong-kong jatuh sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es
makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal
yang tidak baik."
Sin Liong mengangguk-angguk, merasa lega bahwa sumoinya tidak
mendahului datang ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya
karena dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!
"Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa
mengacau ke sini?" tanyanya.
"Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka
terdampar di tepi pulau."
"Agaknya mereka juga diamuk badai."
"Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami diserang
selagi kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku
yang menggantikannya, aku keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang
hati-hati, karena memandang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak
ada engkau yang datang di waktu yang tepat"
"Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kong-kongmu dapat
membunuh semua bajak laut itu."
Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu.
"Ugh-ugh....!" Kakek itu terbatuk-batuk.
"Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidak
memandang rendah dan kalau paran penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak
ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Neraka bersembunyi
ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang saya hendak
menyampaikan permohonan yang amat penting bagi engkau, Sin Liong"
"Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu
apa banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu
menggunakan permohonan lagi?" jawab Sin Liong.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan
menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi
sibuk sekali, cepat membangunkan kakek itu dan berkata,
"Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani
menerimanya? Ada keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan membantumu
sedapat mungkin."
Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, mengira akan menghadapi
hal yang sulit.
Setelah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah
karena kesehatannya belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek
itu berkata,
"Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan
lain kecuali Soan Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka
yang merupakan tempat tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh
karena itu, setelah kini kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau
Neraka telah bebas dan kami bukanlah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga
bukan keturunan orang buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan
pulau ini. Karena itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa
Soan Cu bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap
dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau
Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak
pernah disangkanya!
"Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri
adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat
tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."
"Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja
aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat,
sebagai saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon
jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di
neraka ini."
Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk
menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan berkata,
"Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri.
Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak
keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke
mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak
kerasan tinggal di sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga
buangan saja yang mencegah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah
bebas, dan betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama
Taihiap, tentu hati Kong-kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri
yang tidak ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang
menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan aku hendak mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam
mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa
pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kong-kongnya,
berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah
perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu
meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan dia hampir tidak
dapat melihat lagi Kong-kongnya bersama semua sisa penghuni Pulau Neraka yang
mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan air matanya.
"Soan Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega
meninggalkan kakekmu, masih belum terlambat untuk kembali,"
Kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul
kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia
dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong,
dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!
"Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku
meninggalkan tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang
sedunia boleh menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat
meninggakan pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi.
Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat
penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka
itu berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat
kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun
buruknya suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik
buruk, senang, susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di
luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri.
Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung
depannya yang meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah
agar-agar biru. Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu
memandang ke depan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan
akan masa depan yang berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka.
Banyak sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari
nenek moyangnya tentang keadaan di dunia ramai dan sekarang dia sedang menuju
kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!
***
Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan
Delapan) berada di lereng Pegunungan Hen-san. Dari luar, tempat itu memang
pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di
dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali
tinggi orang, pagar yang butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan
tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang
sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran-heran menyaksikan sebuah rumah
gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan mewah sekali!
Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua
Pat-jiu Kai-pang di lereng Hengsan!
Pat-jiu kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan
tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya
selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan
gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka brubahlah raja
pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai
seorang pangeran! Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan keadaan
hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit. Di waktu siang,
dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaparan yang berkeliaran di sekitar
rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh
bersih, dia bersenang-senang makan minum dengan hidangan serba lezat dan mahal,
dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda, cantik dan genit.
Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah akan
tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu
bersama lima orang selirnya, lima orang pelayan dan selusin orang anak buahnya
yang merupakan pengawal-pengawalnya. Selusin orang ini tentu saja merupakan
tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh
diandalkan, atau juga murid-murid tingkat satu dari raja pengemis itu. para
pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal
di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka.
Adapun Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggautan yang banyak dan yang
tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu,
terutama sekali nama besar Kai-ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan
sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini
mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah membuat raja pengemis menjadi
kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selusin orang pembantunya, selain
pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan mewakili ketua
mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran!
Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang
meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat
menariknya pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang
lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak
Ajaib karena dia pada waktu itu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang
sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir
Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sin-tong, tentu dalam
waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena seperti
diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk
dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan
ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus
mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu hari , pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti
biasa meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang
pengemis berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa
tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba
seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga orang tamu
datang ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis.
"Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah datang
menggangguku?" Pat-jiu Kai-ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi
karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu
dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah
seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda tampan.
Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku sebagai
seorang "sahabat lama."
Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga
orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat
tampan dan pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu
sama lain menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia
kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun.
Sampai lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu,
keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan
perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut
ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum begitu
pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi
Nio, ha-ha-ha!
Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak
mengenal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki
yang berdiri di depannya, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh
tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu
terlindung kain pembungkus rambut yang berwarna kuning pula.
"Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada
kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"
"Ahhhh...!"
Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk
untuk memberi hormat.
"Kiranya sahabat Bu yang datang? maaf, maaf, mataku sudah
lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih
sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru
berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah,
anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"
Dara berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan
kedua pipinya berubah merah.
"Harap Pangcu sudi memaafkan saya."
"Aih-aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya.
Menyebutku Pangcu segala!"
"Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu
Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelakar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku
paman. marilah masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk
tangan dan parapengawalnya muncul. "lekas beritahukan para pelayan agar
mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san
Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!"
Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan
kakeknya itu, sambil tertawa-tawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan
dalam menghadapi meja dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah.
Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi keindahan ruangan itu,
Lu-san Lojin berkata memuji,
"Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa
Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah, kiranya keadaan di sini
melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat sekali!"
Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu
dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan
pemuda yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha, kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa
hari ini tempatku yang buruk akan menerima kehormatan kedataangan seorang tamu
agung, seorang penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini
elok."
Kedua orang tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira
membicarakan masa lampau. Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu-san Lojin, seorang
ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia,
meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan
diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng
putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong,
dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan, menculik
dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup sehat. Ketika dia tiba di kaki
Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi
karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan
menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau
banyak melatih diri dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang
penasaran mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong,
maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam
itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa mukjizat dari ilmu itu
membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia
terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia
maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya
menjadi khawatir sekali.
Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lu-san
Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu
baru berusia enam dan lima tahun, sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi,
Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja
pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus,
maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di situ Pat-jiu Kai-ong diobati
Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan berada di Lu-san, raja pengemis
ini menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san Lojin, maka dia merasa
berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat
baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu. Karena kebaikan
hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang anak yang
mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak
laki-laki itu.
Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah
Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang, Lu-san Lojin terkejut sekali. Akan
tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu
menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembug, mereka berpisah
sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan saling membantu.
"Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi,"
setelah makan minum Pat-jiu Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya
akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauh-jauh
datang mengunjungi aku."
"Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah
mempunyai kewajiban masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan
pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san,
maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati Pegunungan
Hengsan mencarimu."
"Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi,
kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari mana?"
Lu-san Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya,
memandang puterinya seolah-olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya
kepada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong
adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak
ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja
pengemis itu dapat membantunya .
"Kami baru saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan
sejauh itu dan ternyata sia-sia belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok
Siangkoan Houw."
"Tee-tok Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari
racun bumi itu?"
"Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil,
antara Tee-tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu
Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah
keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa
khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir
ini aku mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh
kami bertiga mencarinya di sana, ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm,
sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia."