Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu
Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan
membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan
terdengar ayahnya berkata marah.
"Iblis jahanam Bayisan itu ! Kepandainnya boleh
juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang
dari kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!�
Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar
teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani
banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.
"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke
dalam laut, apakah kau hendak memilih batu kali? Di mana di dunia ini ada calon
suami yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng? Siapapun juga yang kau
pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng.�
"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih
sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan pandai dia!�
"Huh ! Kau keras kepala dan sombong ! Tidak akan
Kwee Seng ke dua di dunia ini.�
"Tidak ada Kwee Seng ke dua memang, akan tetapi
pasti ada yang melebihi dia!�
"Tak mungkin ! Sudah, mari kita pulang saja.
Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan.�
"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras
kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau
dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!�
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu
Sin-ong menjdi marah.
"Kau anak kecil tahu apa? Betapa pun sukaku
mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh
dengan Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama,
kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi
suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu
keluarga kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo
pulang!�
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin
berkelana.� Bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan
hatinya.
Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah
terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini
berkelana seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki
kepandaian yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam
waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari
dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar.
Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh
laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota Beng-kauw
pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!� Setelah berkata
demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa
sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya
tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui
pilihannya ? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia
memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri di tepi
jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan
mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia menarik napas panjang
dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu
Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang
menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia
sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui
betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh
karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak,
kepalanya pening dan semangatnya serasa melayang-layang. Betapapun tabahnya,
namun malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa
yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar
jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan
dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum
mati hamba-Mu ini harus mengalami siksaan begini mengerikan ?
Tiba-tiba... "byuuurr!!� tubuhnya terhempas ke
dalam air yang amat dingin. Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya
sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik
mengurangi tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya
seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup
dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah dan
tubuhnya muncul lagi ke permukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan tiba-tiba
Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena tubuhnya terseret arus air yang
bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi
Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan
kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus air itu kuat bukan main,
tubuhnya dibawa berputar-putar sampai kepalanya menjadi pening. Kembali rasa
takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh
pusaran air yang kuat. Benar dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran
dan tiba-tiba tubuhnya tanpa dapat ia pertahankan lagi, disedot ke dalam air !
Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan
ketika ia berada di bawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat-kuat sehingga
ia berhasil bebas daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini
tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di
permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai
yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap lagi sehingga
ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus
meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan
tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu
pasti akan menghantamkannya pada batu-batu.
Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit
tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam
ia hanyut dan tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan
hatinya ngeri.
Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di
depannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air
itu memasuki terowongan di dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat
tidak mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama,
menahan arus air tak mungkin ! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting
hancur oleh arus air kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia tidak mau menyerah
kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat mengambil
napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin.
Usahanya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus
air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah
dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis
tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung
ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya. Ia
terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas meramkan mata, sedapat
mungkin mengerahkan sin-kang di tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur
batu. Kalau ia bukan seorang gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya.
Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika
tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya
yang terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam
terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat menyeramkan. Air
mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal. Diatas
bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau
berkilauan terkena cahaya matahari yang entah menembus dari mana. Karena air
amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya
sakit-sakit semua, lemas dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum
yang masih menancap didalam pundak kanannya. Rambut awut-awutan menutupi muka,
pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana-sini. Ia
mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha
dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi ia
beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan
tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu
bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang
memandang ke arahnya pwnuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya
amat tua penuh keriput, pakaiannya bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata
nenek ini terang jernih bersinar-sinar.
"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa
sampai ke sini dalam keadaan masih hidup!� Nenek itu berkata penuh keheranan,
akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia
melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak
bergerak lagi karena sudah pingsan.
Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek
tua renta yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu
mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu
mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah
yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlika-liku. Dengan
hati-hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu,
kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika
melihat betapa pundak kanan Kwee Seng berwarna hitam.
"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!�
serunya, cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan
lemari batu, kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee
Seng, mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali
pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah
batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan. Aneh
bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan
berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah disedot oleh batu
itu ! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di atas api, nenek itu
kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini
dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti,
menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu dengan
sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang.
Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee
Seng agaknya memang hebat sehingga ia seakan-akan keluar kembali dari lubang
kubur, terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh
pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia
tidak tahu betapa luka-lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua,
tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang malam,
tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman
dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan lemah, ketika ia membuka
matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus
menjalari dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena
dinding itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan
indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia
bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walaupun
mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di
atas pembaringan batu di dalam sebuah "kamar� batu seperti gua,
teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat
seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu
beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur
untukmu.�
Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun. Kwee
Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan
tetapi, di samping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi,
seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan
sikap orang-orang kang-ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam
istana raja-raja !
Ketika merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia
melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku maupun gatal tanda
bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan
penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia
terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek
itu tetap duduk bersila.
"Locianpwe telah sudi memberi pertolongan kepada
saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan
ini.�
Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan
menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara
terbuka di depan siapapun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus
dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan,
"Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan
akupun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan
pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, makhluk berjiwa apapun juga yang
terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi
engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan yang mana
mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!�
"Maaf, Locianpwe, saya kira bukan setan yang
Locianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi saya...�
"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan
nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini
menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali
tidak peduli kepada diriku....�
Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini dan Kwee
Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang
amat luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan
mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya.
Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi
penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walaupun ia merasa penasaran dan
terheran-heran mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian
tinggi, begitu dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang
mulia?� akhirnya ia bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan
tetapi karena kau sudah berada di sini menemaniku, biarlah kelak kau yang
memilihkan nama untukku. Sipa saja terserah kepadamu.�
Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya,
kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan,
"Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada
musim seperti ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan
suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat
kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main
lezatnya.� Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di
depan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter
sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini
tentusaja amat janggal, seorang nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak
bunga ? Dan mata nenek itu. Bukan main ! Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee
Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia ?
Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka dimana ia dihukum dan
diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina ? Nenek tadi menyebut air itu
Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi ! Gerak-geriknya memang seperti
manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata...
ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian
putihnya tiada cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa
ia mengenal mata ini ! Ah, tak mungkin !
Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata,
suaranya bergema di seluruh ruangan,
"Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab,
kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang
sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!�
Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya.
Mengapa ia harus merasa ngeri ? Manusia maupun setan, nenek itu telah
membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari
sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan
makanan untuknya. Kitab-kitab kuno ? Lebih baik melihat-lihat daripada duduk
menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan
makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali
kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua
tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat
terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan
perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya
menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru
heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri
banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di
situ terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal ! Sebelum menjadi
ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku, apalagi kitab-kitab kuno yang
mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret
rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua
kelemahan tubuhnya, setengah tubuhnya, setengah meloncat ia mendekati rak buku
batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku.
Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula
merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi
syair-syair para pujangga kuno. Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan
mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak
mau mengambil sebuah diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari
semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya,
yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak
dan gerakan-gerakan bintang-bintang.
Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang
samadhi itu dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana
dijelaskan tentang pelbagai ilmu samadhi, cara-caranya dan segala yang
berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan
lain-lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee-kang dan
memperkuat sin-kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah
dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini. Bagaikan
seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee
Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan
kembali ke ruangan tadi. Betapapun juga, ia harus minta ijin dulu dari Si
Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan
sembarang orang ! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek
itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi ! Heran ia memikirkan,
siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak
yang memilihkan nama untuknya !
Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Samadhi
ketika nenek itu yang muncul membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang
masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng
menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang
mengganggu Locianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang
terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan, saya
mohon pinjam dua ini untuk saya baca.�
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh
mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang
ke arah dua kitab itu,
"Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau
sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri,
terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tata cara yang palsu?
Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu ? Hemm,
kitab tentang Samadhi dan kitab Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang
aku sendiri paling tidak doyan! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno,
pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh
memiliki dua kitab itu.�
Bukan main girangnya hati Kwee Seng.
"Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian
....�
"Siapa memberi ? Kitab-kitab itu sudah berada di
sini sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan
bicara nanti saja.�
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi,
Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan
itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam.
Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu
lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya
menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci
mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek mencegahnya,
"Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu
dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah
membuat lagi.�
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng
mengikutinya,ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap
juga. Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran
aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Tidak
kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang
terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana
terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat
diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada
sama sekali ! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui
terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja
mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras,
agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka,
akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, ditolak
kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup
enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun
tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti
penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat
ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis
biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi ?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian
Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan
tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab,
Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat
pulih kembali, behkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu,
tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa
nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja
ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya
karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan
yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam
(Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) !
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap
diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan
pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee
Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau
mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak,
nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal.
"Sudahlah, kausebut saja aku nenek, habis perkara.
Aku tidak suka kausebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada
kepandaian apa sih?�
Tertegun Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek
ini. Begitu mudah ngambul dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang
menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan
panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa
menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee
Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan
semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat
mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi
karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek
yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak
terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan
memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah
terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari! Tiga tahun lewat
tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu
silatnya. Tenaga sin-kangnya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya,
hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik !
Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua
buah ranting untuk "mendaki� naik sepanjang dinding tebing yang licin
dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian,
merayap seperti seekor kelabang !
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu
Si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa
seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri!
Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya
untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu!
�Kalau kau pergi ... aku... aku mati saja...� Si
Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?� Kwee Seng menghibur.
"Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan
kuajak keluar dari neraka ini dan...�
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di
dunia ramai ? Aku mau mati di sini!�
Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak
nenek itu.
"Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!�
"Jangan sentuh aku!�
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng
merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia
merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu
saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia
sangka. Tenaga murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga
sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
"Nenek., Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima
budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh
karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu di dunia
ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri,
dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi...�
"Cukup! Aku tak mau dengar lagi!� Nenek itu lalu
meninggalkannya dengan sikap marah. Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran.
Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari
jalan keluar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda
mengubur diri sampai mati di tempat itu ?
Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah
atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari
minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi
remang-remang. Nenek itu datang berjalan perlahan.
"Suara apakah itu, Nek?�
"Hujan! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu
pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak cahaya matahari, gelap di sini dan
Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta.�
"Wah, celaka ! Tentu di sini terendam air, Nek?�
"Jangan kuatir. Air itu membanjir ke depan, terus
keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir di sini, akan tetapi sukar
menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak
mengumulkan ikan untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur.�
Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan
dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan
hujan yang dikuatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar
dan besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu,
bergema menakutkan. Lubang di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak
dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya
kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan, harus seringkali dipadamkan, apalagi
di waktu mereka tidur, untuk menghemat minyaknya. Si Nenek tidak marah-marah
lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap.
Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu
sudah dipadamkan, nenek itu bertanya suaranya halus menggetar penuh perasaan,
"Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk
keluar dari sini?�
Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek
itu amat kuatir ditinggalkan.
"Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin
harus mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar
harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula
keluar bersamaku.�
Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat
wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya, karena wajah nenek yang
keriputan itu tak pernah membayangkan isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat
membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tak dapat melihat
apa-apa.
"Kwee Seng...� tertahan lagi.
"Ya, Nek? Ada apa?�
"Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan
tetapi aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana
kau sampai dapat tiba di tempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang
dirimu.�
Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia
bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula
menceritakan tentang dirinya? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya
Si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar di dunia ramai!
"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal
sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh
tani, menggembala kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku
seorang mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan,
buta huruf pun bukan. Lebih senang ilmu silat, itu pun serba
tanggung-tanggung.�
"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini
aku tahu.� Bantah Si Nenek.
"Ah, agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua
buah kitab yang kau pinjamkan, Nek.� Kemudian Kwee Seng menceritakan semua
pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia
menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri.
Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justeru selama
ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua
dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur
di see-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian
yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu
Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang
menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau
tertidur?� Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam
lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah
tertidur pulas! Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu
menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.
"Nek, mengapa kau menangis?�
"Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam
Liu Lu Sian itu mana pantas kau cinta? Agaknya... agaknya lebih patut kau
mencinta Ang-siauw-hwa.�
"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja,
aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama
Ang-siauw-hwa, walaupun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia
dalam usia muda...�
"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi
pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu! Lebih baik mati! Akan tetapi,
apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?�
"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang
hebat! dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan daripada Liu Lu Sian...�
Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih
mendengar nenek itu terisak-isak menangis, ia mendiamkannya saja, mengira bahwa
nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak
menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya,
seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua
penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi setelah lewat satu
jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi kuatir juga.
"Nek, apa kau menangis ? Sudahlah, harap jangan
menangis, menyedihkan hati, Nek.�
Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga
dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena
kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan
pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan
tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya Si Nenek meniupnya dari jauh,
memadamkan api.
Kwee Seng mengangkat pundak.
"Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena menangis sejak
tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?�
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu
mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah
merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi
beberapa menit kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia
berbaring.
"Kwee Seng...�
"Ya, Nek. Ada apa?�
"Kalau kau keluar dari sini...� berhenti seakan
sukar dilanjutkan.
"Ya....?� Kwee Seng mendesak.
".... Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai
sebuah permintaan...�
"Ya... ? Permintaan apa, Nek ? Tentu aku siap untuk
melaksanakan semua permintaanmu.�
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang
budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?�
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut...�
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah
payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit..�
"Apa, Nek? Katakanlah.� Hening kembali sampai
lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek
itu.
"Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?�
"Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan
waktu sedikitnya lima belas hari lagi.�
"Ya, betul agaknya. Lalu?�
"Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar...�
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila
benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya?
"Ha-ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah meminta pun
bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?�
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini
dan...�
"Ya... ??� Kwee Seng mulai tidak sabar.
".... dan ... kita menjadi suami isteri sampai hujan
berhenti!�
"Apa ??� Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan
jatuh berdebuk di atas tanah. Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan
batu, saking kagetnya. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan,
seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku
lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya,
"... apa ...? ?... ah... bagaimana...?� Ia tidak
percaya kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih
mengandung rasa malu.
"Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri
sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan
berhenti.�
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya,
mengerutkan keningnya.
"Apa ?? Gila ini ! Tak mungkin!!�
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu
menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan
nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu
keras. Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara
tangisnya,
"Ah, aku tahu...kau tentu menolak...�
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam
lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara
sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek
itu sudah menjadi gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu
berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana
ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali !
Sialan ! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang
nenek-nenek hampir mati ! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek
yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal
ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee
Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan
suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian
sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari ! Dan dia menolak cinta
nenek itu. Menolak begitu saja ! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki
pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya! Ah, betapa sakit hati nenek
itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi ! Mungkin
nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan
ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan
pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati! Nenek ini
semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu
secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami
dewasa di dunia ramai ! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri
orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria
yang mengaku sebagai suaminya! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan
sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara
manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek
yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu.
Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di
dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar
olehnya makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya
bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih
dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang
kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan
cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang
kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang..! Kwee Seng tersentak kaget.
Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi. Mata
Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya,
sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa
seperti pernah mengenal mata itu apabila Si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!� terdengar Kwee Seng berseru melalui
kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang
kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya
nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan
cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa
artinya usia ? Apa artinya keburukan rupa ?
Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya,
Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang
seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang
paling jauh dalam "rumah tinggal� itu. Kalau ia menangis terus sampai
jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya ! Aku membalas budinya dengan
menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini !
Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa
pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia
takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena
untuk melakukan "sandiwara� yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih
baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya
kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya ke depan pintu kamar
kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.
"Nek... aku datang...�
"... pergi ! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau
mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!�
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang
nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku datang kepadamu untuk...
untuk memenuhi permintaanmu...�
Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan
menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek
itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas ! Kemudian
tedengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau
menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?�
"Ya!� jawab Kwee Seng dengan suara penuh
keyakinan. "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk
membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun
kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu.� Hal inilah yang mengganggu
perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia
tidak merasa seperti seorang penipu.
"Ah, terimakasih...!� Nenek itu tahu-tahu sudah
merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik,
"Terimakasih... Kwee-koko... sekarang matipun aku tidak akan penasaran
lagi...�
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok.
Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia
memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah
tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya
untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta ? Betapapun juga, meremang
bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya "koko!�
"Niocu..� katanya perlahan sambil mengelus rambut
di kepala yang bersandar di dadanya. Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat
padanya itu ketika mendengar sebutan "niocu�.
"Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah
tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita tanpa upacara
ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai
isteriku.�
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini
menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama
tiga tahun ini ! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak
pernah pedulikan aku...!� Nenek itu memeluknya makin erat.
Biarpun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih
meramkan matanya! Akan tetapi hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu
ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum
mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan
lengan yang merangkulnya begitu halus! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat
betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Di dalam gelap itu, terbayanglah
oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama
hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan
tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui,
nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya
seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau
sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan,
hampir mati! Pikiran nya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia
bukan seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk
Ang-siauw-hwa! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya ini,
tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini
Ang-siauw-hwa ! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah meninggal dunia ! Mana mungkin
?
"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu...�
Nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru.
Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa ! "Kwee-koko,
betapa rindunya aku kepadamu...�
Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia
letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah
mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan
sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya
menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik
jelita, hidung mancung bibir merah mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!
"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu...�
Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera
memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini
ditekan-tekannya.
"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa...
alangkah rinduku kepadamu!�
Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh
rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap
diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu! Kesadarannya kadang-kadang
memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek akan
tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia
berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya
kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian !
Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan.
Apalagi manusia, mahluk yang banyak sekali melakukan
penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang selemah-lemahnya, setiap orang manusia
tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya. Pemuda ini
dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan
tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia
menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti
orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan
seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan
cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu.
Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.
Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan
dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah
Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia
menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani
nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua
dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah
teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua
pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk
yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur
dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti
wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam
sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir,
di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita! Hawa udara amat
dingin, menyusup ke tulang sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka
matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri
dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia
membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang
penuh kebahagiaan.
Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi!
Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap
lagi? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti! Ia
dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat
tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan
yang mengerikan telah pergi !
Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking
gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan
sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat
mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa
dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau,
pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia
anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh
keriput!
Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini
tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari
ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan
diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri
untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah
yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan-akan
tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek !
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari
mukanya sendiri,
"Plak-plak-plak-plak!� Begitu terus menerus
berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak,
kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa. Cepat
sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan
pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi
setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan
harus ia pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar
lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya.
Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah
mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee
Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.
"Byuuur!� Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun
ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja
bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata,
menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga
sin-kangnya.
Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang
wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya dengan suara
mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus
dan panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah
air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya mancung
bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak
sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya
tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan
tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita
itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat halus buatannya, topeng
seorang nenek-nenek tua renta..!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang
sesungguhnya merupakan tokoh penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita
ini. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak
gara-gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti
perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu
Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang
memeberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami�.
Gadis itu masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah
jurang dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa
kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali
ia menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih.
"Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan
hati terhadap setiap gadis cantik.�
Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni
puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana,
melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya
mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari
situ.
Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian
beristirahat menentramkan pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia
mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia mendengar
derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali
dan di luar terdengar orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak
mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda, mendekat, ia
kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah
pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia menengok ke jalan, orang-orang
sudah lari cerai-berai bersembunyi.
"Ada apakah, Lopek?� tanyanya kepada tukang warung
yang juga kelihatan takut.
"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus
segera barsembunyi dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut
bersembunyi pula.�
"Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?�
"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada
pasukan berkuda yang banyak sekali lewat kampung ini, dan pada saat seperti
sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi
kalau melihat wanita cantik.� Setelah berkata demikian, tukang warung itu
tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !
Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa
yang perlu ia takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang
baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba-coba
ganggu kalau hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar
derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk
ke luar warung menonton.
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh
orang pasukan berkuda, dengan kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang
komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
terdapat seorang wanita muda sedang membetot-betot tangan puteranya yang
berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya orang
berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan
lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan
mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!�
Penunggang kuda itu membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan
panjang itu sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
ketakutan.
"Tar-tar!� Dua kali cambukan mengenai lengan
tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring,
"Mundur kau ! Masuk barisan kembali ! Di wilayah
Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku ? Orang tolol!�
Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda. Wanita itu
cepat-cepat menggendong anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah
rumah.
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini
mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan
kekurang-ajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan
kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok
dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk
kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung,
lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara
pikirnya.
Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi
mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian
besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan
dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji
kepandaiannya.
Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur
penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang
hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat
Lu Sian masih duduk di situ,
"Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat,
benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini
dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun
ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu.�
"Lopek, apakah semua tentara selalu berbuat
kejahatan seperti itu terhadap rakyat?�
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya.
Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira
seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga
orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!�
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang
sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat
mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang
kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si
Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya
berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika
panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang
pemuda yang kalah. Masih terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika
itu,
"Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku
menjadi pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona,
biarlah aku mengaku kalah terhadapmu.�
Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan
pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati� terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan
tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari
cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa
penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin,
bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan sedang
bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati
tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah
berloncatan ke atas genteng.
Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung
tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia
mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar.
Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari
belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di
mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih
yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri
di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya
berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka
tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain
adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di
dusun.
"Lai Li-hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya
harap Li-hiap suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami,
Li-hiap tidak berhak mencampurinya.� Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan
tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun yang
memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan
kami!� kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan.
"Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri
urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun
Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa,
bukan anggauta ketentaraan.�
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke
arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu.
"Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat!
Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah
semestinya! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah
anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban
setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang, baru
setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya
serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang
buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda
rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya
dikirim ke neraka!�
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil
mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut
senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana
kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru
benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera
berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
�Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata
benar bahwa semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang
menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan
peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung
jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun
tangan sendiri? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama
sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya? Nona, harap nona suka bersabar
dan daripada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan
memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan
minum bersama dan bersenang-senang!�
Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui
Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas
membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan
tetapi ia tahu bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di
dalam kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan
menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!�
Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari
dalam rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak.
"Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali!
Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia
hendak menyusul Kam Si Ek? Ha-ha-ha!� kata seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil
tertawa,
"Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke
dalam perangkap. Sucinya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun,
mari kita bersenang-senang makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi
berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil,
ha-ha-ha!�
Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya
sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan
mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik
jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah
tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk
digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali
dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang
yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya
kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang
gadis, kan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada
taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang
tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia
dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari! Kau sudah
menyusul datang? Apakah hendak menemaniku makan minum?�
Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu
meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan
ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan
goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur
asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang
temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu
Sian.
"Tahan!� teriak Phang-ciangkun, yang betapapun
juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin
melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya
menahan golok dan meloncat mundur.
"Nona, kau siapa? Dan apa sebabnya kau datang
mengamuk? Tidak ada permusuhan di antara kita!�
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke
arah muka hitam itu.
"Ihh, manusia keparat! Kau masih bisa bilang tidak
ada permusuhan? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina
sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?�
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?�
"Tak usah kau tahu!� jawab Lu Sian dan tahu-tahu
pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar
ke arah Phang-ciangkun. Perwira ini kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang
luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang)
yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya
juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah
orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan
kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena
mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam
di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa
sejak kecil oleh ayahnya? Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah
terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang
tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan
sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh tiga orang itu sempat
berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar
gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun dan seorang
perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu
lainnya telah lenyap. Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada
yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang.
Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua
bersenang-senang karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari
Kam Si Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari
benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi.
Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke
atas tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang.
Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun.
Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak
sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi
begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu
untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang
dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek!, Sekali kau
membohong, pedangku akan memenggal lehermu!�
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya,
dengan suara tergagap-gagap perwira itu berkata,
"Ampunkan saya, Lihiap, saya... saya hanya orang
bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan
teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan
Kam-goanswe, untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini
dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang Kam-goanswe ke ibu kota, akan
tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk menangkap
Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau
menghadap dan malah merencanakan pemberontakan.�