Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu
saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan
saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang
kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan
kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi.
Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan,
apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan
mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada.
Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring!
Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi
terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun mereka berkeras
untuk mempertahankan diri sampai api menjilat tempat itu agar musuh mereka yang
amat tangguh itu mati pula terbakar.
Pada seat mereka terhimpit den terancam hebat itu,
tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah termakan
api! Bagaimanakah baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran
kuil itu belum menjilat ke situ?
Bukan lain adalah hasil perbuatan Sin Lian! Karena
tubuhnya terjengkang dan terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak,
Sin Lian menjadi penasaran den marah sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang
tidak asing akan kehebatan ilmu silat, anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak
itu kebal dan percuma saja kalau ia memukul.
Maka ia lalu mencari akal dan barulah ia sadar bahwa
tempat itu telah terkurung api yang mulai membakar ruangan! Dalam kaget dan
paniknya, timbul akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong
kayu yang terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den
membakar pakaian musuh ini dengan api itu! Bahkan ia lalu berusaha membakar
rambut di kepala botak itu pula!
Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang ahli Yang-kang,
bahkan kedua lengannya sudah memiliki Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber
pada panasnya api. Boleh jadi kedua lengannya itu sudah kebal terhadap api,
namun tubuhnya tidak, apalagi rambut di kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya
terbakar, bahkan sebagian rambutnya dimakan api, ia terkejut dan marah sekali.
Sambil berteriak dan menggereng seperti harimau, ia menggulingkan tubuhnya ke
kiri, pertama untuk memadamkan api yang berkobar pada bajunya, ke dua untuk
menyingkirkan diri daripada gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam.
Kemudian, setelah bergulingan dan keluar dari sasaran
lawan, ia membalikkan tubuhnya dan memukul ke arah Sin Lian dari jarak jauh.
Saking marahnya, kini ia menumpahkan semua kemarahan dan kebencian kepada anak
perempuan itu.
Kelima orang Siauw-lim Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah
itu berada di cengkeraman maut. Mereka juga maklum bahwa bocah perempuan itulah
yang telah menyelamatkan nyawa mereka yang tadi sudah tertekan hebat. Tentu
saja sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, kini mereka tidak mungkin dapat
berpeluk tangan saja menyaksikan penolong mereka terancam.
Tanpa komando, lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini
menodongkan pedang mereka dan mengerahkan tenaga, menghadang pukulan jarak jauh
Setan Botak yang ditujukan kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis oleh
sinar pedang, akan tetapi biarpun Sin Lian dapat diselamatkan, sebagian hawa
pukulan menerobos dan sedikit saja sudah cukup membuat Sin Lian terguling roboh
dan pingsan dengan muka gosong!
Karena ruangan itu mulai terbakar, Gak Liat yang tahu
akan bahaya lalu tertawa dan tubuhnya sudah melesat keluar menerjang api lalu
lenyap di dalam kegelapan malam di luar kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam
tidak mengejar, karena selain mereka harus menyelamatkan dua orang saudara yang
terluka dan gadis cilik yang pingsan, juga mengejar keluar kuil apa gunanya?
Mereka takkan mampu mengalahkan Setan Botak yang lihai
itu. Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga tubuh Sin Lian dan mereka pun
cepat-cepat menerjang api menerobos keluar sebelum ruangan itu ambruk.
Para anggauta Ho-han-hwe menjadi kecewa dan berduka.
Tidak saja usaha mereka menewaskan Setan Botak itu gagal sama sekali, juga
mereka harus cepat-cepat angkat kaki dari Tiong-kwan karena kini tentu kaki
tangan pemerintah Mancu akan mencari untuk membasmi mereka. Terutama sekali
Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih anggauta Pek-lian Kai-pang,
menjadi berduka sekali. Akan tetapi di samping kedukaan ini, ada sinar terang
yang membahagiakan hati ketua kai-pang ini, yaitu bahwa Siauw-lim Chit-kiam berkenan
mengambil Sin Lian sebagai murid mereka! Setelah Ui Swan dan Ui Kiong diobati,
dan juga Sin Lian sembuh, anak ini lalu dibawa pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk
mendapat gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si.
Adapun Lauw-pangcu sendiri lalu pergi ke barat untuk
menyampaikan laporan kepada Raja Muda Bu Sam Kwi dan membantu perjuangan raja
muda itu dalam usahanya mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Juga semua
anggauta Ho-han-hwe yang mengunjungi pertemuan itu, cepat-cepat meninggalkan
Tiong-kwan, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka menghentikan atau
mengurangi semangat perjuangan mereka yang anti penjajah.
Kurang lebih setengah tahun lamanya Han Han berada di
dalam gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan, menjadi pelayan dari Setan Botak
bersama muridnya Ouwyang Seng. Mengapa Han Han dapat bertahan sampai demikian
lamanya menjadi pelayan di situ?
Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pelayan
Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik
hatinya maka ia memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik
melihat cara-cara latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng.
Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih
kedua lengannya dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun!
Mula-mula ia tidak berani, akan tetapi karena tekadnya
memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup
kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh
yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah mampu menahan kedua
lengannya direndam air panas beracun sampai semalam suntuk!
Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga
tahun, dapat ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan
berikutnya, ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat
bertahan untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang!
Padahal latihan merendam lengan di air batu bintang ini
hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru
mulai dengan latihan yang berat ini!
Guru dan murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata
merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat
menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia
pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan
merasa kehilangan kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan
mereka berdua itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih.
Apalagi Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah
menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya.
Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa
bocah gembel itu ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu
Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia
berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang!
Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia
berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han,
bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.
Apabila Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal
ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya, Ouwyang
Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau
berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan
sebaiknya oleh Han Han.
Setelah ia dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam
air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki daerah tertarang!
Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu
terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak
memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang
itu.
Tahulah ia bahwa kuburan-kuburan yang berada di situ
seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar
dan tulang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu!
Benar-benar bukan merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat
dinamakan tempat seekor siluman atau iblis.
Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada Ouwyang
Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang sudah
mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan di
atas api bernyala!
‘Bukan api sembarang api,! demikian ia menangkap
pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. ‘Melainkan api yang
menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu
mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu,
sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan
tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai
sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.! Demikian antara lain penjelasan Setan Botak.
Entah mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han
sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak bermaksud mendapatkan kekuatan pada
kedua lengannya karena ia tidak suka, bahkan benci berkelahi. Akan tetapi
mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang menarik hatinya dan yang
membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka setelah ia mendapat kesempatan
memasuki daerah terlarang, ia segera mulai dengan latihan-latihan yang
menegangkan hatinya.
Mula-mula ia memanaskan kwali tua yang terisi cairan
tulang-tulang tengkorak manusia, merendam kedua lengannya dalam cairan yang
menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada
Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di atas api bernyala
yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang
berserakan di tempat itu.
Sampai setengah tahun lebih Han Han melatih diri di
daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi,
karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya
takkan tertolong lagi!
Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang
Seng dan gurunya, dan mulailah ia merasa bosan. Memang ia melatih diri selama
ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia dapat
bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu mati sendiri
kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa apa yang dicarinya
sudah dapat.
Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia telah membuang
waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia
dapatkan selama setahun lebih ini? Ia tidak dapat menjawab karena harus ia akui
bahwa kedua lengannya yang dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak
ada guna atau manfaatnya sama sekali! Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia
telah dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat!
Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak
sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan
menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia
ini.
Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia
melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau mendengarkan kalau Setan
Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng.
Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan ilmu silat, bukan hanya tidak
suka, malah membencinya. Apalagi kalau ia terkenang akan pertandingan antara
Setan Botak dengan orang-orang Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin
membenci ilmu silat yang dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia
lain!
Kalau dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci
ilmu silat yang dianggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama
sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini
adalah ilmu golongan hitam atau ilmu sesat yang amat keji!
Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian
menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan
dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat. Untuk
memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya
menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang
pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan.
Akan tetapi kaum sesat mencampurkan racun dalam latihan
ini sehingga tangan mereka menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak
mereka. Han Hen sama sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau
dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat namun diam-diam meniadi calon ahli
Hwi-yang-sin-ciang!
Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini menolongnya.
Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati
baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan
minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan Botak pulang dan siang harinya ia
dipanggil Ouwyang Seng.
‘Han Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku
yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota raja!!
‘Kota raja?! Han Han bengong. Sebutan kota raja hanya
ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidupnya belum pernah ia
melihat kota raja.
‘Ya, kota raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong
keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku,
kepada teman-temanku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.!
‘Aku.... aku diajak, Kongcu?! Han Han menyembunyikan
debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana.
Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi
pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan
mengesampingkan dulu ketidak sukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia harus
melihatnya!
‘Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis,
kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan kami?! bentak Ouwyang
Seng marah.
‘Siapa saja yang pergi, Kongcu?!
‘Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan kau? Sudahlah,
cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor
kuda untuk suhu dan aku!!
‘Dan aku sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan
memperlambat perjalanan, Kongcu?! Han Han membantah, penasaran.
‘Huh, mana ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi
kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh membonceng di belakangku. Cuma,
jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas
berkemas!!
Han Han berkemas dan diam-diam mengomel. Biarpun ia
menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah, tidak pernah menerima
pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun
yang lalu, penuh tambalan. Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan,
pemberian seorang pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya.
Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya
cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu
dicuci. Biarpun penuh tambalan, pakaiannya selalu bersih!
Setelah selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak
Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan.
Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena, berbeda dengan
Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing menunggang kuda, Han Han
berjalan kaki. Akan tetapi biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun
mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam
gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam
terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun.
Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan
dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di
punggung kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini
dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.
Hanya dengan kemauan keras yang dikendalikan
kecerdikannya saja membuat Han Han dapat menekan perasaaannya yang panas penuh
dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat
tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong.
Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang terbasmi dan
terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani ayahnya
ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya.
Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira
itu, wajah yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat
ia lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.
Pada suatu pagi mereka tiba di kaki Pegunungan
Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya berhenti.
‘Kita berhenti dan mengaso di sini!! kata Setan Botak
itu sambil meloncat turun dari kudanya. Han Han cepat-cepat meloncat turun dari
belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada
sebatang pohon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula.
Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini
kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan
kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan menyusuti tubuh
kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu
menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka menyatakan
terima kasih.
‘Kongcu, lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat
tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.!
Ouwyang Seng memandang suhunya dengan heran. Baru sekali
ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada
seseorang.
‘Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?!
Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang ke arah puncak gunung
yang tertutup awan putih itu dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu
berkata,
‘Namanya Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis
Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang
paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu dengannya.
Entah bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.!
‘Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang
amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut
datuk-datuk besar di samping suhu?!
!Benar dialah orangnya....! Kembali Kang-thouw-kwi tampak
melamun, teringat ia akan masa dahulu di mana ia bersama Ma-bin Lo-mo
malang-melintang di dunia kang-ouw dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang
merupakan lawan yang paling tangguh.
‘Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima
puluhan tahun yang lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana
kedudukannya di jalan kerajaan baru ini....!
‘Ilmu apakah yang paling ia andalkan, suhu?!
Setan Botak itu menghela napas panjang. ‘Dia sengaja
memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu disebut
Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui
sampai di mana sekarang tingkat ilmunya itu....!
‘Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu
ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah!!
‘Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa
kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu
pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan
berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah
syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga
namaku masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.!
Ouwyang Seng mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa
kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau
percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi
gurunya. Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua
itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang
dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah.
Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan
jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya,
biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus
dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya
merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda
itu.
‘Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu
mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau belum mendapatkan
buah-buahan yang cukup banyak!! Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han
mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun juga ia merasa
tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya seolah-olah jerih
terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.
Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu
meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki
gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang
diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan
hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan di antara pohon-pohon
raksasa, seperti seekor di antara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci
yang berlarian. Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu
melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu
bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat
sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang
kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya.
Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon
berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia
menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar
suara bentakan-bentakan halus dan nyaring,
‘.... heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt!!
Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara
pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak
itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya
sendiri. Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis menendang,
berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat
pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu
amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan
Sin Lian, puteri Lauw-pangcu.
Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya
manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang
pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada
gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu
silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik
itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang
semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki
tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh
kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri
latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika
kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan
kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat
ke belakang. Indah sekali gerakannya.
‘Bagus sekali....!! Tak terasa lagi pujian ini keluar
dari mulut Han Han.
Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han
terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak
perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah
ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah
marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang
kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke
bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka
berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han
Han membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya
sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi
karena dia belum sempat berganti pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den
mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa berkata-keta menjulurkan tangan,
memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han
melongo dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.\
‘Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di
daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan....!
‘Aku bukan pengemis!! Han Han membentak dan mundur dua
langkah, mata nya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali
ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali
uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki
telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu
bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan
keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis.
Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah
ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
‘Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan
tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.!
Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan
heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan
seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis!
‘Kau..ini.. siapa? Dan apakah kehendakmu datang ke
tempat ini?!
‘Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung
yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung
dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Dan Engkau siapa? Kalau tadi
kaukatakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?!
‘Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di
puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu
agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhuku dan siapapun
juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum
terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.!
‘Nona Kim Cu, engkau baik sekali.!
‘Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini
engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau
seorang anak yang amat baik.!
Anak perempuan itu menggeleng kepala. ‘Apa sih artinya
baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau
tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu
seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau pandai ilmu silat,
ya?!
Han Han cepat menggeleng kepala. ‘Ah, mana aku bisa?
Aku tidak bisa ilmu silat....!
‘Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu
silatku?!
‘Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona
Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar
percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang
tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?!
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan
seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han.
‘Wah celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani
mati menyebut-nyebut nama suhu....?!
Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya
ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur,
‘Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang
biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....!
Pada saat itu, terdengar bentakan.
‘Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan
malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!!
Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu,
menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang
menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu
sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung
dan dituduh bermain gila dengan dia?
‘Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan....!!
Kim Cu yang sudah melepaskan tangannya dan dengan langkah
lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya
berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.
‘Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu?
Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia
ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!!
‘Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak
ingin kuhajar mulutmu!! bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali. Selama
hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti itu.
‘Kau yang membutuhkan hajaran!! Kim Cu berseru dan
tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan
yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala dan
dada Ouwyang Seng!
Akan tetapi, murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek,
menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis
cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap,
padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya
karena ia yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan
remuk-remuk tulangnya.
Namun, segera dia berseru kaget, cepat melepaskan
cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya masih kena
serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sambil
memegangi perutnya dan meringis. Biarpun tidak mengalami luka, namun setidaknya
perutnya menjadi mulas seketika. Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng
kini membalas dengan serangan yang dahsyat.
Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han
yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki
dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada Ouwyang Seng
sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan daripada murid Setan
Botak itu.
‘Rebahlah, manusia sombong!! Kim Cu berseru keras
dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena kedua tangan itu
seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya
pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
Bukkk....! Aduuuhhhhh....! Kembali Ouwyang Seng
terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak
tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlath
sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biarpun ilmu silatnya lebih unggul
dan gin-kangnya lebih tinggi daripada Ouwyang Seng, namun agaknya gadis cilik
itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan
beberapa kali pukulan saja.
‘Budak hina, engkau sudah bosan hidup!! Ouwyang Seng
marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus
darah. Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia
menerjang maju, mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan
jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han
terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng, dengan
tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air
beracun mendidih.
‘Kongcu....!! Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang
sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhunya bahwa tidak boleh ia
semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul
lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia
menangkis sambil miringkan tubuh.
‘Plakkk....! aughhh....!! Tubuh Kim Cu terlempar dan
masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan
api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat.
Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis
cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening,
berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan
mengirim pukulan api beracun untuk kedua kelinya. Kalau mengenai tepat dan
tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!
‘Jangan....!! Han Han cepat meloncat dekat dan
mendorongkan kedua tangan nya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang
Seng itu.
‘Aiiihhhhh....!! Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar
ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan lalu meloncat bangun
dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan
tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan
membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong
terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han
Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu
telah berada di situ.
‘Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?! bentak
Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya,
‘Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?!
Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya
ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak
di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli
tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara
‘bak-buk-bak-buk! ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han
Han!
‘Pengecut....!! Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu
yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang
Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah. Ouwyang
Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan
susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya,
tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.
Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi
Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biarpun totokan
Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki
sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya
yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darah nya
sehingga pengaruh totokan itu buyar.
‘Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu
akan kuhajar sampai mampus!! Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan
mengancam.
‘Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!! Kim
Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis
cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada
Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang
tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan
tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis
suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhunya telah bertanding
melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali. Kakek itu mukanya
persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan.
Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam
itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya
bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari
tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang,
tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka
jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!
Ouwyang Seng belum pernah melihat suhunya berwajah serius
seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri tegak pula
dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di
depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si
Muka Kuda.
Andaikata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan
menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang
pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu
Hwi-yang-sin-ciang!
‘Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!! Si Muka Kuda itu meringkik
lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan tangan Setan Botak
yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas
menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua
Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi
pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa
dingin melebihi salju!
Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan
suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di
angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Dan tubuh kedua orang tokoh besar
itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.
‘Hi-yeh-heh-heh....! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu
buruk....!! Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari
pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im
Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia
sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di
dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan.
‘Siangkoan Lee, kau sambutlah ini....!!
Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan
seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya.
Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin
merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh
meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan
tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang
bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya.
Biarpun sepasang lengan mereka itu masing-masing
mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang
keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul
keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.
Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya
tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang
Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan
ini, sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan
Swat-im Sin-ciang pula.
Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah
dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini
mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini
mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka
benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya.
Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan
tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau
Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas
tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian
turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak
tingkatnya.
‘Suhu.... suhu.... tolong....!!
Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke
kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki
dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu.
Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah
babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat,
Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu
kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika
mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh
lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil
berkata.
‘Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu
tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih
lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat
kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!!
Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab,
‘Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang
melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita
bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara
kita.!
Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa
keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri
sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh
kepadanya dan membentak,
‘Han Han, hayo kita kembali!!
Pada saat itu, Han Han merasa betapa tangan kirinya
dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa
melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang
bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka
telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama
Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng
tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.
‘Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa
menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!!
Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan.
Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar kata-katanya,
‘Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang
engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!! Setelah berkata demikian,
dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan
tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang
dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu
akan menjadi hangus!
Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi
nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemampuannya dan memaksa hawa di
pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan
kakek botak itu.
‘Desssss....!! Han Han tertumbuk hawa yang amat panas.
Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum
nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata
mendelik. Ia telah pingsan! Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya
sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran,
‘Jangan bunuh dia....!!
Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan
penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu
menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya
pingsan saja!
Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu
mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang dimiliki Ouwyang
Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya
meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa
kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di
Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia!
‘Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!! Ia mengirim
pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu
yang berlutut di dekat tubuh Han Han.
‘Desssss....!! Hawa yang amat dingin menangkis
pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu
telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata.
‘Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku
sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi daripadamu? Di daerahku ini tidak
boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!!
‘Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah
kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?! Setan
Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. ‘Engkau boleh membunuh
bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.!
Gak Liat makin marah. ‘Mengapa?!
‘Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh.
Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah
kau kira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan
muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup
sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang
rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras
hendak membunuh anak ini?!
‘Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!!
‘Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia
pun menjadi orang In-kok-san!!
‘Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah
mencuri ilmuku....!
‘Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku
melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan,
silakan.!
Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han
dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apalagi mengingat kakek
anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang,
sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah.
‘Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk
membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!! Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.
‘Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!! Ma-bin
Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu. Kim
Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan
bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dam
dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan.
Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan
dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun,
berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan
dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil
memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.
‘Nanti saja aku ceritakan. Namanya Sie Han, dia murid
baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.!
Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han
Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik
sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi
Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.
Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka
kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama
Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-bin-Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya
adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalah
gunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta
dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di
dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.
Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya
sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat,
melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan prikemanusiaan.
Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang
lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan
tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal
dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh).
Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia
mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang
diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang
mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu
Hwi-yang Sin-ciang.
Biarpun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang
manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot.
Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di
lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini.
Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan
Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun,
anak-anak yang dia pilih bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah
yang elok-elok. Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng
sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan
murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah
memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo
boleh jadi kejam dan tak berprikemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi
ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti
seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun, di samping kasih sayang ini, ia pun
menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan
untuk memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah
yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa
buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak
In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati
anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam
beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali.
Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin
Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia
cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan
ditujukan kepada Kim Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata.
‘Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah
menjadi seorang di antara kami, menjadi murid suhu.!
Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri
memandang kakek muka kuda
‘Aku.... aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak
mau belajar silat!!
‘Eh, kenapa, Han Han?! Kim Cu bertanya heran. ‘Engkau
sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah
dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.!
Dengan keras kepala Han Han menggeleng. ‘Belajar silat
menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai
untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku
tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami
pukulan.!
‘Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan,
malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah
oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri
dan menjadi pengecut?! Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya
paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih
berusia sebelas tahun.
Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali.
Ia menghadapi anak itu dan membentak, ‘Kau bilang aku pengecut? Siapa yang
pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau....!!
Di luar kesadarannya, Han Han kembali dalam kemarahannya
telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan
suara yang mengandung getaran hebat. Anak laki-laki itu menjadi pucat, tubuhnya
menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik,
‘Ya.... aku...., akulah yang pengecut....!
‘Heiii, sute! Mengapa kau ini....?! Kim Cu meloncat dan
menarik bangun anak itu.
Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh
yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut
dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak
melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan
mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli
terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata,
‘Apa yang terjadi....? Ahhh.... apakah aku mimpi....?!
‘Ehhh.... tak mungkin....!!
Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah
meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang memaksa anak itu memandang
wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga
oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas
segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan ‘kosong!, maka
ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu
tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat
terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar
matanya.
‘Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup
senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus
belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang
sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan,
akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau,
sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan kepadaku
tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat
kepadamu!!
Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia
mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan
mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan
penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak
kurang kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa
untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama karena di
situ ada Kim Cu yang manis budi.
Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo.
Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan keluar lagi,
terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil
berkata.
‘Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi
bimbingan.!
‘Heh-heh-hiyeeehhhhh....! Anak baik, lekas ceritakan
riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua
saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!!
Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata
di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh
tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya
dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera
putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke
mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali.
Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan
tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang
sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah
semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas
orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang.
Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang
laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang
buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun
gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun
dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus
permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di
dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak
terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan
pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu
lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun
hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.
‘Nah, berceritalah, muridku.!
‘Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han sute
(Adik Seperguruan)!! kata Kim Cu gembira. ‘Di sini kita berada di antara
keluarga sendiri!!
‘Benar! Benar sekali!! teriak anak-anak itu dan mereka
pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.
Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya, guru dan
murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah
keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.
‘Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga
terbunuh oleh tentara Mancu....!
‘Aaahhh, aku juga, begitu....!!
‘Keluargaku juga terbunuh tentara Mancu....!!
Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang
banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan
keluarga mereka pun terbasmi oleh tentara Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah
kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang
terbasmi orang Mancu?
Betapapun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka
matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua
dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang
berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia
ketahui.
‘Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah
tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir
setengah tahun.!
‘Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?!
Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.
‘Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?!
‘Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar
memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersamadhi
dan mengatur pernapasan.!
‘Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut
ajaran Lauw-pangcu.!
Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan
Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka
sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan,
kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari
Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang
lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya.
Ia sudah siap untuk bersikap sabar apabila murid-murid
yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata,
seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan
tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh
perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk
di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.
‘Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan
Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang
lanjutkan ceritamu.!
‘Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian
Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung
Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan
dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya
aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju
ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di sini....!
‘Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja
kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?!
‘Sama sekali tidak, suhu.!
‘Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa
melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?!
‘Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?! Han Han memandang gurunya
yang baru ini penuh keheranan. ‘Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak
bisa....!
‘Perlihatkan lenganmu!!
Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo
memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan
Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin dingin dan karena
ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan
hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam
di tempat latihan Setan Botak merayap keluar melalui kedua lengannya dan kedua
lengan itu menjadi hangat kembali. Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak
itu dan berkata, alisnya berkerut.
‘Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau
minta dihukum?!
Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat
wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan
kedipan mata.
‘Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak
itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu.!
‘Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar
dari tan-tian di pusarmu?! Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi
bengis, seperti muka seekor kuda marah.
Wajah Han Han menjadi merah karena malu. ‘Teecu
mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam
teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.!
Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan
mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak,
‘Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!!
Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya
dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini?
Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya,
maka ia berkata, ‘Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk
memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuripun baik saja.
Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang
buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!!
Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui
pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan
pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa
kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang
benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat
guru ini? Betapapun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti.
Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki
kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan
membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau
kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu
mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah
pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.
‘Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu
di sana,! kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain
tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan
penuh perhatian.
‘Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air
mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi,
entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal
tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua
lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena
teecu disuruh menggodok batu bintang....!
Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal
mengapa ia ceritakan ini semua! Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia.
Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang
rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.
‘Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak
mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?! Ma-bin Lo-mo
bertanya penuh perhatian.
Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan
sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. ‘Batu-batu bintang itu
didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.!
‘Lalu bagaimana? Teruskan....!! Desakan ini keluar dari
mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagaimana cara
melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.
‘Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke
dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok berhari-hari
lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu,
akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu
lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah mempelajari ilmu pukulan
apa-apa dari Kang-thouw-kwi.!
‘Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau
berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil
melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk
menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang
Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan
melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan
menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan
tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa.
Sekarang, engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah,
muridku.!
‘Bersumpah....?! Han Han tertegun dan terheran ketika
melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan
meja sembahyang di ruangan depan pondok.
‘Semua murid harus menjalankan sumpah,! ia mendengar
Kim Cu berkata.
Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan
menyerahkannya kepada Han Han.
‘Untuk sementara kau pakailah dulu pakaian seorang
suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat aku buatkan yang baru untukmu.
Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kausukai?!
‘Putih....! jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin
memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan
kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga.
Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di
antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?
‘Lekas kaupakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu
telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada
air....! Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan
diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang
amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan
air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.
‘Lekas kau mandi dan tukar pakaian, sute.!
Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun
kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik
seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang
gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah
sucinya (kakak perempuan seperguruan)!
‘Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas
mandi?!
Han Han tertawa. ‘Engkau.... engkau baik sekali, suci.!
‘Tentu saja! Bagaimana seorang suci tidak baik kepada
sutenya? Kaupun harus baik dan taat kepada sucimu. Nah, hayo lekas mandi dan
tukar pakaian bersih.!
Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan
tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan
memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk
ditanggalkan.
‘Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini....!
Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata
kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan
tubuh membelakangi Han Han.
‘Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh! Apakah
tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar
pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena suhu sudah menunggu!!
Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat
menanggalkan pakaian lalu membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang.
Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ, bertelanjang di depan orang lain
bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih
lanjut, melainkan cepat ia mandi. Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil,
akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara
otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak
menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar.
Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang
bersih dan masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han
merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan
sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu
mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke
pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum.
Apalagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.
‘Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!!
Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak,
wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari
belakang meja sembahyang.
‘Han Han, muridku, lekas engkau menyalakan sembilan
batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk
bersumpah menirukan semua kata-kataku.!
Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid
di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang.
Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek
tua yang wajahnya keren, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah
yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.
‘Arca siapakah itu....?! Ia berbisik, akan tetapi
gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah
kanan.
‘Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek
Guru she Suma)....!
Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau
kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai
bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat,
kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri
berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, terdengar
suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
‘Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru
semua kata-kataku.!
‘Baiklah, suhu. Teecu siap,! jawab Han Han, bulu
tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, dengan asap hio
mengepul dan berbau harum, ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau
mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh
hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah
secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
‘Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia
bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan
belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan suhu,
siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran.
Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang
akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak
akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar
suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala
perintah suhu.!
Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi
sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi
mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan
mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para
pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela
orang-orang tertindas dan menentang pihak yang sewenang-wenang?
Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk
menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu
mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.
‘Han Han, dan semua muridku. Jangan kalian mudah
disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar
kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang
jahat dan membela orang benar. Karena, jahat dan baik atau benar itu merupakan
pendapat prihadi yang sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah
kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk kepentingan dan
keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi,
sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang
lain. Keliru sama sekali! Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi
tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah
bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!!
Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala
yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah,
karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia
pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih
dahulu. Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak
ada orang yang membelanya.
Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia
akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak
berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama
sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka
kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya?
‘Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat
kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu kau ketahui, dan jangan
sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,! kata Ma-bin
Lo-mo. Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini.
Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini,
karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu
apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah
seperti Lauw-pangcu. Betapapun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan
pribadi suhunya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya.
Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
‘Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah
suhu ini, bagaimana riwayat suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja
itu?!
Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang
berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya,
akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada
murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat
Couwsu yang amat dihormati itu!
Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia
takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat
akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa
dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya
tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhunya
dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh daripada
Setan Botak.
‘Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya
kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali
Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian
adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita
puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu
silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu
aku sendiri dan suhengku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera
tunggalnya. Betapapun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan
supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!!
Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan
dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.
‘Di manakah supek itu sekarang, suhu?! tanya Kim Cu
dengan suara penuh kagum.
‘Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah
bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka
sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini
sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek kalian itu pergi mencari
kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan.
Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang,
dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang
sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Adapun supek kalian itu
mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti
itu menaruh kasih sayang kepada supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan
sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak melakukan
hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi
memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!!
Semua murid, termasuk, Han Han, mendengarkan dengan
kagum.
‘Dan suhu sendiri?! tanya Han Han.
Aku membantu sukong kalian, kemudian memperoleh
kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan supek kalian, atau juga
karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong kalian menarik banyak orang gagah
menjadi iri dan memusuhinya, sukong kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw.
Termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Namun sukong kalian dan aku selalu
mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi
kami. Akhirnya, setelah sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi
sekian banyaknya musuh seorang diri, apalagi karena supek kalian yang dapat
diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan
kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di
sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku
ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana mungkin berhasil? Banyak
tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela dijadikan penjilat penjajah. Aku
tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya
telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi
patriot-patriot yang perkasa!!
Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak
hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia
ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan
bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang
mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah
membasmi keluarga mereka.
Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan
belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia
berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena
pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang
benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah
kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi
diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.
Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang
telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak jadinya
dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah
logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka
dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain,
menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!
Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid
termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah orang terbaru. Maka lima
orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki
adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka, hanya ada tiga orang murid yang
paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya.
Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap
manis kepadanya. Ke dua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim
Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya
dibunuh orang-orang Mancu. Ke tiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas
tahun, setahun lebih muda daripada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak
yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang
anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi
sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan
Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa
rindunya akan kebebasan.
Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita
tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu,
tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia
akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi
hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!
Sering kali ia termenung dan kalau sudah demikian, Kim Cu
yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan
satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.
‘Kenapa kau murung selalu, sute?! pada suatu petang
setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan
Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.
Tidak apa-apa, suci. Hanya.... ah, aku kepingin sekali
berjalan-jalan keluar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya
terus-menerus begini, sudah setahun lamanya....!
‘Tunggulah sebulan lagi, sute. Pada hari raya Sin-cia
(Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu
memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.!
‘Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di
sini?!
Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu
memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum
manis.
‘Mengapa tidak senang, sute? Habis ke mana lagi kalau
tidak di sini? Aku.... sudah tidak mempunyai keluarga searang pun.!
‘Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi
aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu
kepadaku?!
‘Apakah yang dapat aku ceritakan? Ayah bundaku tinggal
di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang mancu, ayah
bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke
sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya
itulah yang kuingat.!
‘Dan semua suci dan suheng itu, apakah mereka itu juga
yatim-piatu?!
‘Dan semua ditolong suhu?!
‘Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu
engkau murid istimewa. Menurut suhu, kelak engkau yang paling hebat di antara
kita.!
‘Wah, jangan memuji, suci.!
‘Sesungguhnyalah, sute.! Dengan sikap ramah Kim Cu
memegang tangan Han han. ‘Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum
pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat
kuat dan pandai akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan
diri. Engkau hebat, sute.!
Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya.
Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu
girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat
bertanya.
‘Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka
menjadi korban orang-orang Mancu?!
‘Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah
murid-murid yang mengalami hukuman.!
‘Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?!
‘Siapa lagi kalau bukan suhu? Kumaksudkan, suhu yang
menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya.
Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua
daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan suhu ketika
suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sababat suhu.!
‘Wah....!! Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan
atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. ‘Siapa yang
melaksanakan?!
‘Hah....?! Han Han memandang sucinya dengan mata
terbelalak.
Kim Cu tersenyum geli. ‘Mengapa?!
‘Kau.... kau tega melakukan itu....? Kau.... mengapa
begitu kejam....?!
Kim Cu menggeleng kepala. ‘Sama sekali tidak, sute. Aku
hanya mentaati perintah suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada
gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak
tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh
Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya
sampai sembuh.!
‘Dia.... tidak mendendam kepadamu?!
‘Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus
menjalani hukuman itu.!
‘Dan.... yang lengannya buntung?!
‘Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik suhu
tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab,
maka lengannya dibuntungkan.!
‘Lai-suheng? Dia hendak minggat, tertangkap dan karena
kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.!
Han Han bergidik. Kim Cu berkata lagi, ‘Akan tetapi
cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu tidak membenci mereka, malah
mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang
khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama,
akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat
banyak.!
‘Hemmm...., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara
dengan suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada
tamu datang.!
Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jerih
dan takut. ‘Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan ilmunya kata suhu
melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari suhu....!
‘Apa....? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu,
dia isteri Suma-sukong itu....?!
Kim Cu mengangguk. ‘Tidak ada yang tahu jelas. Pernah
dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong mempunyai banyak sekali isteri
dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan
main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan
hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu....!
‘Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?!
Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya
tegang membicarakan wanita itu. ‘Kita para murid suhu diharuskan taat
kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut suhu, akan
tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).!
Han Han bergidik. ‘Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?!
‘Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu
mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, sute, tidak baik kita
bicara tentang Sian-kouw....!
Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, suci.
Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin
sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama
sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu, putera dari sukong itu.!
‘Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah
diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal suhu, kiraku
Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu, Sian-kouw banyak
mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia
dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu namun sudah terkenal namanya di
jaman dahulu, banyak sekali.!
‘Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut
suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?!
Kim Cu mengangguk. ‘Benar, dialah merupakan orang
pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik
golongan yang menyebut dirinya golongan bersih maupun golongan yang disebut
golongan sesat.!
‘Kita ini masuk golongan mana?!
Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum,
pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa
perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!
‘Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat
dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan tetapi, apa artinya
sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang
menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?!
Han Han menjadi bingung. ‘Ceritakanlah tentang
Koai-lojin itu, suci.!
‘Dia itu, menurut suhu, merupakan manusia dewa yang tak
diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu,
mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun
tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi
masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah
mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu, semua tokoh besar selalu
mencari-carinya, termasuk suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.!
‘Seperti dongeng saja....! kata Han Han kagum.
‘Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama
Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada
jaman sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus
tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut suhu pada waktu itu
hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja!
Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih
luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu
silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas
yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!!
‘Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut
manusia dewa?!
‘Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng suhu, ada yang
mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia
dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar
wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara
Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang
dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat
hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang
berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga, entah bagaimana
dengan Pendekar sakti Suling Emas.!
Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di
dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya
bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang
pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda
yang kini menjadi gurunya?
‘Heiiii, sute dan sumoi, kenapa kalian enak mengobrol
saja? Hayo kita berlatih!! Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari
sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua
orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.
‘Sie Han sute bertanya tentang Suma-sukong dan
tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan suhu,! kata Kim Cu.
Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak
dan menepuk-nepuk pundak Han Han. ‘Eh, sute, apakah engkau ingin menjadi
seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu
tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!!
‘Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah
ilmu-ilmu dari Koai-lojin, sute,! Kim Cu ikut pula menggoda. ‘Atau ketemu
dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!!
‘Ha-ha-ha!! Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil
memegangi perutnya. ‘Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu,
agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada
di sana.!
Han Han diam saja dan akhirnya Kim Cu yang menaruh
kasihan, menarik tangannya dan berkata menghibur, ‘Sudahlah, sute. Kalau kita
belajar dengan tekun di bawah bimbingan suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi
orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi sakti seperti
Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang
dapat mengajar kita....!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus
membuat ucapan Kim Cu terputus.
‘Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok
dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang
akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian
berempat menjadi muridku!!
Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya
di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat
nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut
dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, ‘Sian-kouw....!!
Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat
menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar
sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh
perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya
yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang
wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua
terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak
putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan tersenyum selalu, senyum
mengejek dan memikat.
Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini
dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari
sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata
rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya
bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang
kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera
yang mahal dan mewah sungguhpun potongannya ketinggalan jaman.
Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang
mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah
di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan
terpengaruh hawa arak!
‘Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian! Aku
akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan
menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di
waktu muda. Hebat!! Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya
melengking nyaring,
‘Heiiiii, Siangkoan Lee....! Ke sinilah kamu....!!
Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri
memanggil hambanya, kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum
arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak
tumpah dari ujung bibirnya.
‘Teecu datang menghadap....!! Suara ini bergema dan
datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin
Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua
itu.
‘Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan
kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.! Sikap dan kata-kata Si
Muka Kuda benar- benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya.
Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak
tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih
hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa
nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!
‘Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal
penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak
ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri
yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!!
Ma-bin Lo-mo mengangguk. ‘Terserah kepada Sian-kouw dan
hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.!
‘Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan
kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka
ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini
pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau
sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah
dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap
lenyap dari permukaan laut itu.!
Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah
keruh.
‘Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing
penjajah itu! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor,
menjadi anjing penjilat penjajah.!
‘Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan,
apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting sekarang engkau harus
dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal
besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan
mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja
sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.!
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.
‘Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan
mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan
dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!! kata pula Si
Nenek.
Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat
pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat
dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu
akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti
kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling
pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka
berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan
anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia
mengkuti nenek itu memasuki pondok.
‘Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?! tanya
nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan
empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.
Empat orang anak itu mengangguk.
‘Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya
kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum
terhadap setiap pelanggaran. Biarpun kalian menjadi muridku, namun kalian harus
tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai
guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?!
Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali akan
tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai
guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan
tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka
mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia
dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam
hatinya.
‘Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang
telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan
kalian menghimpun sin-kang, karena dengan kuatnya sin-kang di tubuh, maka
kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku!
Aku sudah berusia seratus delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat
wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?!
Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar
murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit
berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang
pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata,
‘Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja,
bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sin-kang yang hebat!! Ia duduk kembali. Han
Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya
guru yang baru ini seorang yang miring otaknya!
‘Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka
Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga
Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah
dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan
hanya dengan sebuah pukulan. Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh
lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti
berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!!
Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke
mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan....
berdetakanlah butir-butir es keluar perutnya melalui mulut, bertebaran di atas
lantai!
‘Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas
seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh
lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah,
sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun Im-kang.!
Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan
samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok
dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi dan tidak boleh berhenti
sebelum diperintah!
Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan
empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam!
Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti
itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang
tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula.
Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biarpun
begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka
maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.
‘Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!! Demikian
nenek itu memuji dengan suara gembira. Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali
bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji
mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai
memberi penjelasan tentang latihan samadhi yang akan dapat menghimpun sin-kang
mereka, bahkan ia sendiri turun tangan ‘mengisi! mereka dengan sin-kangnya
untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang.
Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han nenek itu
terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk
bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu
mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu
agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar.
Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian
ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia ini. Hanya
bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat
dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja,
diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia.
Namun dengan latihan samadhi dan peraturan napas dengan
cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat
dikuasai. Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet! dan
berhenti penyalurannya.
‘Aihhhhh....! Di mana kau belajar mengerahkan sin-kang
untuk melawanku?!
Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang
timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata,
‘Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari
Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.!
‘Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu.
Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.!
Han Han merasa tersiksa sekali. Berbeda dengan Kim Cu dan
teman-teman lain yang pada dasarnya belum memiliki sin-kang dan yang dapat
menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar, dia merasa betapa
tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan
tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu
menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan
menolak.
‘Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat
menguasai tenagamu sendiri.! Akhirnya nenek itu berkata setelah memberi
penjelasan kepada empat orang muridnya. Cara nenek ini melatih sungguh amat
jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih
secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat
dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat
menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan
perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang.
Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut
Kang-thouw-kwi. Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat
jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari
kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk
bersamadhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh
Lauw-pangcu disebut bersamadhi sambil menunggang naga sakti. Yang diumpamakan
naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan
napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam samadhi.
Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga
akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan
untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguhpun cara yang
dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab
kuno, namun tidaklah menyimpang.
Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang
pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal
samadhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam samadhi, orang selalu
menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut
berulang kali :
Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun.
Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca
mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu
menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera : Hwi-le-but-si,
Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk
mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng
sehingga dapat dipusatkan.
Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain
lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersamadhi mengikuti
saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu
yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap
baik atau pun buruk.
‘Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita
telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau
engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak,
tujukan pikiranmu mengingat dendammu!
Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi
perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan
dapat menguasai pikiranmu.!
Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh
lebih mudah dilaksanakan daripada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran
itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si
murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia
melayang!
Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam
ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang
dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin
sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak
memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang
ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan
Lauw-pangcu.
Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan
menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga
hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru
dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Adapun Ma-bin Lo-mo
sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang
diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga
Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya
tidak ada orang mengetahui.
Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke
kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia
turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir
setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh
tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya
indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala.
Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan
dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan
seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan
hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.
Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang
senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han
Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota
dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia
dengan meriah. Apalagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi
merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi
harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah
musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang
dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.
Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han
menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali
anak-anak berpakaian serba baru kelihatan riang gembira, berlari-larian dan
bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan
istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua
mereka.
Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui
sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan
menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki
kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya tergerak penuh rasa
iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang
pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani
melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!
Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia
melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian
compang-camping penuh tambalan, sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata
yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor.
Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat
atau seorang tukang pukul, berdiri dengan muka merah di atas anak tangga,
tangan kanan bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di
pinggang, tangan kiri menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.
‘Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat,
kuhancurkan kepalamu!!
Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. ‘Aku.... tidak
mencuri apa-apa....!
‘Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga,
masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma)
tadi?!
‘Aku.... aku ingin makan buahnya.... dan ingin memetik
sedikit bunga, masa tidak boleh?!
‘Setan alas! Masih banyak membantah?! Laki-laki itu
lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia
menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas.
Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan,
yang amat dekat dengan mukanya.
Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan
tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.
Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. ‘Eh, engkau cantik
juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih....! Hemmm, sayang engkau masih
begini kecil, dan kurus....! Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke
dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar. ‘Ah, masih terlalu
kecil.... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm.... hebat juga....!!
‘Lepaskan aku....! Lepaskan....!! Anak itu
meronta-ronta.
‘Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!! Laki-laki
itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.
Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak
perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan
dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam
tadi dengan sinar mata penuh kebencian.
‘Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya
berani menghina anak perempuan kecil!! Han Han memaki.
Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat
tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung.
Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang
pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau
hartawan, maka ia berkata.
‘Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan
pedulikan gembel busuk ini!!
‘Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun
kepadanya!! Han Han menuding ke arah anak itu.
Merah muka si tukang pukul. ‘Apa? Engkau siapa?!
‘Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi
saksi kekejamanmu.!
‘Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak
mau minta ampun?! Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah
ini.
‘Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!!
‘Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!!
Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya
ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han.
Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia
mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya
dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.
‘Krakkk....! Aauggghhh....!! Tubuh laki-laki itu
terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah!
‘Tidak lekas minta amppn?! Han Han membentak dan di
dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah
berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan
itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa
perwira-perwira tadi.
‘Setan kecil!! Tukang pukul itu tentu saja tidak mau
terima dan biarpun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar
terpegang di tangannya. Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat
terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biarpun dia pandai ilmu
silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan,
sedangkan Han Han biarpun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh
orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini
karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.
‘Prokkk....!! Tubuh orang itu terbanting, goloknya
terlempar dan kepalanya pecah! Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah
itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia
terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat
orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat
mengerikan.
Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia
menoleh dan melihat betapa anak perempuan gembel itu menangis, menggosok-gosok
kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan
takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan
berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu,
menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.
‘Hayo kita cepat pergi dari sini!! bisiknya
Berlari-larianlah kedua orang ansk itu keluar dari dalam
dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-ciag tidak
ada yang mempedulikan mereka karena memang dalam suasana pesta seperti itu,
tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap
sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Keganjilan
melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng
tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak gembel, tidak terasa
pada saat itu.
‘Aduhhh.... aduhhh.... kakiku.... aahhh, berhenti
dulu.... napasku mau putus....!! Anak perempuan gembel itu menangis dan
merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika
diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu
lari cepat.
Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi.
Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu
menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil
menangis. Han Han berdiri memandangnya.
‘Engkau bocah cengeng benar!! katanya dengan suara
gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini.
Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang gembel
berkeliaran tanpa teman.
Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang
matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke
wajah Han Han, air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia
berkata,
‘Apakah engkau juga akan membunuhku?!
Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di
hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini
jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya
yang gembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi gembel. Han Han segera
ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.
‘Tentu saja tidak! kau ini siapa? Di mana rumahmu?
Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan
seperti anak gembel?!
Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan
menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan
menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek
benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya,
ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu
menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.
‘Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatangkara,
bukan? Kehilangan keluargamu?!
Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena
isaknya.
‘Nah, aku pun sebatangkara, aku pun kehilangan
keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi
kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?!
Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang
kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan,
anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar
matanya yang bening. Han Han tersenyum.
‘Maukah engkau menjadi Adikku?!
Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula,
senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini.
Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya
membuat sinar matahari menjadi makin cerah!
‘Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi,
sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi,
sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagaimana kau sampai sebatangkara dan
tiba di tempat ini?!
Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka
lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas
dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang
kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.
‘Koko.... Han-ko (Kakak Han).... Koko....!!
Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan
ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh
hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak
sehingga dalam keadaan ketakutan dan kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan
pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han
mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak
sampai menjatuhkan air mata. Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang
kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata.
‘Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?!
Han Han tercengang. ‘Eh, namamu lucu sekali! Lulu?
Ayahmu she apa?!
‘Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja....!
‘Haaahhh....?! Han Han benar-benar merasa kaget sekali
dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak
pembesar Mancu?
‘Ayahmu seorang perwira Mancu?! tanyanya seperti dalam
mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian
dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu
mencengkeram.
Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu
tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. ‘Ada apakah, Han-ko....?!
Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu
sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak
menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya
yang lebar itu terbelalak.
‘Ko-ko, engkau kenapa?!
‘Aku benci orang Mancu!! bentak Han Han sambil
membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh
penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang
mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh. Lulu lari menghampiri
dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi
wajah Han Han penuh pertanyaan.
‘Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau
begitu baik....!
‘Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!!
‘Tapi, kenapa....? Tentu ada alasannya. Apakah
engkau.... pemberontak?!
Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah
meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan
tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi,
bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.
‘Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh
orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.!
‘Kalau kau orang Mancu, ya!!
‘Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.!
Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han
Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan
Lulu berkata dengan suara gemetar.
‘Han-ko, jangan.... jangan membenci aku. Aku Adikmu....
jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan aku akupun sebatangkara. Ayah bundaku,
biarpun orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah
bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu
hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang gembel. Malah
pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian gembel....! Yang
melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis
pemberontak, dan dan.... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku tidak
membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!!
Han Man tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang
wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Kenyataan bahwa gadis cilik yang
dibasmi keluarganya ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka
yang membasmi keluarganya, menusuk perasaannya. Memang sungguh tidak adil kalau
dia membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik ini yang tidak tahu
apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.
‘Maafkan aku, Moi-moi....! Ia berkata dan menarik
bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han. Mereka
berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan
setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya melanjutkan
perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar
mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andaikata
orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka
seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?
‘Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu
adalah kaum pengemis?!
Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka
bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han,
agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya
ini.
‘Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas
baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu ibu, dua orang Kakakku,
aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok
pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang
yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh
pergi. Para pemberentak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama
sekali kepalanya, seorang gembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus
dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku,
akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian
membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa
kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan
melupakan kakek gembel yang disebut Lauw-pangcu itu!!
Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia
membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.
‘Hemmm...., dia....?! kata Han Han dengan jantung
berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama,
Lauw-pangcu!
‘Mengapa? Kau kenal dia Koko?!
‘Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul
tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit
hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?!
‘Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat
membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi.
Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang
pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut
dengan aku, ke manapun aku pergi.!
Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia
sudah tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar
itu bersinar-sinar. ‘Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah
darimu.!
Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka
melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi.
Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk
menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak
akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.
Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya
Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat
sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yanS
indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu
kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh
melihat bayangan Han Han.
‘Wah, sute! Setengah mati aku mencarimu!!
‘Ada apakah, suci? Bukankah waktu libur masih sehari
lagi sampai besok?!
‘Ada perubahan, sute. Suhu sendiri yang memerintah aku
agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena suhu hendak
pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana.
Dan.... eh, siapakah dia ini?! Agaknya karena ketegangan hatinya dan
kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat
kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar
yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.
‘Aku hendak membawa dia menghadap suhu, agar dapat
diterima menjadi murid di In-kok-san.!
‘Wah, agaknya tidak akan mudah, sute. Siapa sih anak
ini?!
‘Namanya Lulu, seorang bocah Mancu.... heee, tahan,
suci....!!
‘Dukkk!! Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang
ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi
merah, matanya melotot marah.
‘Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi
seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!! Kim Cu
melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan
itu.
‘Tidak, suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.!
‘Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik
Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!!
‘Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi
keluarga kita, suci. Sebaliknya, keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh
bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus
berpikir luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh
bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini!
Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat,
termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir
orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini
tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak,
suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun dia
anak seorang perwira Mancu.!
Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han
Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa pikiran sutenya amat luas
dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah
yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan tingkat sutenya masih lebih
rendah daripada tingkat murid lainnya.
Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus
membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata
terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu
begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu
seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan
hatinya.
!Agaknya engkau benar dalam hal ini, sute. Akan tetapi
engkau salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada suhu untuk dijadikan
muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak
cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke
In-kok-san, sute.!
‘Tidak bisa, suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan
akan dibunuh suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.!
‘Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, sute? Jangan
bodoh....!
Apa? Adikmu? Anak Mancu ini.... mana mungkin Adikmu....?!
‘Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami
telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah
lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya,
suci,! kata Han Han, suaranya tetap.
Wajah Kim Cu menjadi berduka. ‘Sute, kalau kau tidak
kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan kehilangan....!
‘Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau
mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai
siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah berkali-kali aku katakan
bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi
bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka mengingat hubungan baik kita dan
membiarkan aku pergi.!
Kim Cu termenung dengan muka sedih. ‘Kalau engkau tidak
kembali, suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa
kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari suhu, dan kalau
sampai engkau tertangkap.... ah, hukumannya mengerikan, sute.!
‘Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong
kaki, bukan?!
Lulu mengeluarkan jerit tertahan. ‘Keji....!!
Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. ‘Tidak
keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan
kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan
pergi.!
‘Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan
melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap,
terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau
bertemu denganku, suci.!
Kim Cu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepala. ‘Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi.... ah....!
‘Sudahlah, suci. Harap suci suka kembali. Aku mau pergi
sekarang juga. Marilah, Lulu.!
Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua
orang itu yang makin menjauh.
‘Sute....! Tunggu dulu....!! Ia meloncat dan berlari
mengejar.
Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. ‘Suci,
benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?!
Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya
menitik turun.
‘Tidak sama sekali, sute. Aku.... aku hanya
mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini.... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana
bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu....! Gadis cilik ini lalu menurunkan
buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel
pakaian, diserahkannya kepada Lulu.
‘Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik
Sie Han sute.!
Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu
berkata, ‘Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap
Han-koko....!
‘Cihhhhh....! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta
apa?!
‘Engkau mencinta Han-ko, Enci....!
‘Hush! Sudahlah....!! Suara Kim Cu mengandung isak dan
gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang
amat cepat.
Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai
gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan
berkata, ‘Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagaimana?!
Lulu tersenyum. ‘Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan
dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai
seorang soso (kakak ipar) seperti dia.!
‘Eh-eh, gilakah engkau?! Entah bagaimana, sungphpun ia
hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang
dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar. ‘Lebih
baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.!
Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk
bertukar pakaian. Ketika ia muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar
saja. Lulu ternyata ada lah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah
kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.
‘Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi
belum tahu jalannya!!
‘Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu
jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.!
Maka pergilah kedua anak ini, tergesa-gesa karena Han Han
ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya,
Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar
dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat
main-main. Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan
menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak.
Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan,
naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini
maka biarpun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan
baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal
sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.
Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat
kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan.
Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang
tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia
mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh
kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau
Han Han mencari makanan untuk mereka.
Betapapun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan
perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa
kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan
kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang
dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan. Banyak ia bertanya tentang
Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin
Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu
amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun
ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan
dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.
Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak
membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan
filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja
wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar
intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam
pribadi dan tentang bencana akibat perang.
‘Lulu, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada
Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati
yang gagah perkasa,! katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di
bawah pohon besar dalam sebuah hutan. Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar
dan penuh penasaran.
‘Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu
seperti yang pernah kauceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada
perwira-perwira itu?!
‘Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi
keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?!
‘Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi
oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak
ada sangkut-pautnya dengan perang sungguhpun hal ini terjadi dalam perang,
pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi,
terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh
mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu
ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali
dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu
dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa
Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja
Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh
negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian
pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa
dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang
lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?!
Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Apapun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi
dasar daripada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya,
buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak
mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena
sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?!
Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han
Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas
kemudian berkata,
‘Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir,
semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang
menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya
mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan
dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan
cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku
tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki
kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita,
orang-orang yang kita anggap jahat!!
‘Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu
dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat
keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak
menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?!
‘Tidak tahulah.... tidak tahulah.... mungkin kelak kita
akan lebih mengerti.!
Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar
dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang
dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak
bukit.
‘Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta,
kalau tidak kuli tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan
bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.!
‘Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan
pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja,
apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa
saja.!
‘Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja
kasar?!
‘Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang
hanya seorang bocah gemb....!
‘Hanya Adikku yang baik dan manis!! Han Han memotong
dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak
berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi
dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang
tinggi, Lulu menuding dan berseru.
Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik
dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan
dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah
yang kini terbakar.
‘Celaka....! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita
bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.!
‘Aku.... takut...., Koko.!
‘Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!! Han Han
menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus
menuju ke pagar tembok. Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba
Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap.
Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam
perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han
menarik tangan adiknya diajak bersembunyi.
Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding
yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan
senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas
tampak karena disinari api yang membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang,
malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan!
Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada
kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia
mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.
Perang tanding yang lebih banyak terdengar daripada
terlihat itu berlangsung semalam suntuk! Demikian pula kebakaran yang agaknya
tidak ada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan
sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan
dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara
pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat.
Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat
berdekatan sehingga setelah api membakar dan tidak ada usaha memadamkannya,
semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!
Han Han yang memberanikan hatinya merangkak dan mengintai
dari balik pintu gerbang, menjadi silau matanya menyaksikan berkelebatnya dua
sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat
menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh
dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di
antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga babwa tentu ada dua
orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya
adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan
anak-anak kecil.
Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam
suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya
semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang
pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara
apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul
dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia,
tidak ada suara pertempuran.
Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali
karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang
ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang
biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci
dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian
ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu yang masih menggigil
ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang.
Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka
bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak.
Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam
perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya
tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar. Yang amat
mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan
orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki
tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula
anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti terbabat
senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus.
Mayat ini mandi darahnya sendiri
‘Han-koko.... aku.... aku takut hiiii....!! Hampir Lulu
tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan
sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
‘Tenanglah, Adikku.... aku pun takut, akan tetapi mari
kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang merintih....! Hayo ke sana,
suaranya datang dari belakang puing rumah itu....!
‘Aku.... aku takut.... nge.... ngeri....!!
Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya.
Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih
hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik
sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua
orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing
tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan
sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan
mayat yang hidup.
Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah
manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han
tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya
menghampiri dua orang itu sambil berkata.
‘Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong
mereka....!!
Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati,
kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci
ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar.
‘Koko.... Han-ko, tunggu aku....!!
Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka
itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang
kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan
tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah
orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah dan tampan,
pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi, pakaiannya
seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik.
Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik,
tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya
rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman,
sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu
setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang
menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang
itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang
putih berkilau seperti perak.
Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan
rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba
perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak
mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri olehnya, dan
lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
‘Tenanglah, Yan Hwa.... tenanglah menghadapi maut
bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, kekasihku....!
‘Oughhh.... suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko
(Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih....? ‘Aku.... aku....
selamanya cinta kepadamu, suheng....!
‘Hushhh.... ada orang datang, diamlah....!
‘Aughhh.... ahhh, panas rasa kerongkonganku...., aduh,
Kanda, minum.... minum....!
Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu.
Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya
dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran
dan juga timbul rasa iba di hatinya.
‘Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air
minum....!! Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia
bangkit den cepat pergi mencari air.
‘Han-ko.... tunggu....!! Lulu berteriak dan meloncat
pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal
sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.
‘Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan
mereka....! kata Han Han yang menanti adiknya lalu menggandeng tangan adiknya.
Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air
lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah
mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.
‘Ini airnya, locianpwe,! kata Han Han. Ia menyebut
locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan
sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada
hubungannya dengan mereka. Adapun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak
memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.
‘Oohhh, mana air....?! Nenek itu mengeluh. Kakek itu membuka
matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek
itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi
segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang
sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian
besar tumpah.
Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang,
dengan sikap manja merebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya
memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak
merintih lagi. Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan
yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu
melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya
yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah
tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di
tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan
bertanya.
Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh),
babkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh
wataknya sekalipun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu,
timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan
terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan
suara kakek itu.
‘Namaku Sie Han!! Hanya sekian ia berkata karena tidak
ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan
apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.
Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu
makin terbelalak.
‘Mataku kenapa?! balas tanya Han Han, makin penasaran.
‘Mata setan!! Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan
teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi
dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama
ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh.... dia
tersenyum geli. ‘Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang
kepala batu.... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... eh,
engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang
amat baik.!
‘Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat,
akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwo
baru saja bertemu dengan seorang sahabat,! Han Han menuding ke arah dua batang
pedang yang masih menancap di tubuh mereka.
Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih
dipeluknya. ‘Koko.... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia?
Mana.... mana dia.... Jai-hwa-sian?!
‘Sabar, Moi-moi.... Jai-hwa-sian belum juga datang....
ahhh, sayang sekali.... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul....!
Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga
iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan
menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian
disebut-sebut, ia terkejut.
‘Locianpwe mencari Kong-kongku?!
Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. ‘Siapa
mencari Kong-kongmu? Siapa itu Kong-kongmu?!
Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han
Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara,
mungkin ia men gaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran
tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan
sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian
‘Heh, anak setan, siapa nama Kong-kongmu?!
Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek itu yang
masih lemah telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap
manja.
‘Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?!
‘Yang memberi tahu adalah Setan Botak.!
‘Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si....?!
‘Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi?
Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?! kata Han Han, masih panas hatinya,
apalagi karena kakek itu menganggapnya main-main.
Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang,
setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai,
berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang
gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk
berani memaki seperti itu!
‘Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu
sekarang?! Kakek itu mulai menduga-duga barangkali Jai-hwa-sian benar-benar
datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu.
Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani
memaki Kang-thouw-kwi.
Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. ‘Aku
sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri
tidak pernah melihatnya, sudah puluhan tahun pergi merantau, menurut cerita
Ayah....!
‘Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?!
‘Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi....!
‘Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu?
Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!! Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han
menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi
berubah ingatannya alias menjadi gila.
‘Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun
An?!
‘Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma
segala?!
‘Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah
berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya.ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana
dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?!
‘Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira
Mancu....!
‘Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma....! Ha-ha-ha, tak dapat
dihindarkan lagi....!
‘Locianpwe!! Han Han membentak, marahnya bukan main.
Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapapun juga dan kalau dia mau
menceritakan tentang ayahnya dam keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena
ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat
hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang
menceritakan, malah ditertewakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut
bocengli (tak tahu aturan)!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus
dan berkata-kata seorang diri, ‘Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau
tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma
pasti mengejarmu, betapapun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan
mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah
daripada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri.... seperti juga kami
berdua...., kami berdua mungkin lebih sesat daripada engkau, maka buahnya pun
lebih pahit.... aahhh!! Kakek itu kini menangis terisak-isak!
‘Kakek.... kenapa menggali hal-hal lampau....? Tidak,
buah yang kita petik tidak begitu pahit.... engkau mati di tanganku, aku mati
di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut.... kita mati
dalam cinta.... alangkah bahagianya....! Dengan napas terengah-engah nenek itu
memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua
orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan
darah menetes-netes dari mulut mereka!
Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di
hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan
memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak
penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat
berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas
pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri
dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti
seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.
‘Moi-moi.... anak ini cucunya.... kita berikan saja
kepadanya, ya?!
‘Terserah, Koko.... terserah kepadamu. Lekas
berikan.... aku sudah ingin sekali melayang pergi bersamamu, Koko....!
Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di
sebelah dalam jubahnya, dan tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku
bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju
Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya,
kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu
berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.
‘Dengar, anak yang bernama Sie Han.... dengarlah
baik-baik, berlututlah....!
Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar
biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek
dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak
mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan
suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan
dada, penuh hormat dan takut-takut.
Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan
kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning.
‘Kau terimalah ini.... kau simpan baik-baik dalam
bajumu! Lekas.... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan....!
Han Han tidak diberi kesempatan membantah dan seperti ada
sesuatu yang menggerakkan hatinya anak ini menerima sepasang kitab yang kecil
itu, langsung ia masukkan ke balik bajunya.
‘Dekatkan telingamu....!
Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut
kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya,
‘Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan
melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun....!
‘Sudah mengertikah engkau?!
Han Hen mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam
hatinya, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
‘Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat
bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan
tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua,
pesan dua orang yang mau mati.!
Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini
kepadanya? ‘Aku berjanji, locianpwe.!
Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi
lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama nenek itu yang kini benar-benar
sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan
dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.
‘Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku.
Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang
Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang
dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin
aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan
tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia
ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami....!
‘Juga Koai-lojin tidak mampu....?!
Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu
terbelalak heran.
‘Engkau tahu pula akan Koai-lojin?!
‘Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku
memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,! jawab Han Han sederhana dan
sejujurnya.
!Engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya
bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih
kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling
mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling
melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian.
Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di
depan guru kami....!
‘Sumpah apakah, locianpwe?! Han Han bertanya, tertarik
hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya
dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana
mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa
juga.
‘Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh
menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa....!
‘Iihhh...., kejam....!! seru Lulu.
‘Karena itu, biarpun saling mencinta, kami berdua tidak
dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan,
kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar
nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang
yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal
sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal,
dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan
perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu,
hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka.
Akan tetapi, kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya
bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya.... engkau lihat sendiri
akibatnya....! Suara kakek itu mulai lemah.
Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti
orang berbisik, ‘Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa,
Koko.... dan aku.... aku girang sekali.... aku bahagia....!
Kakek itu mencium kening nenek itu. ‘Sie Han.... Thian
(Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami.... kalau engkau tidak
dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu....
engkau.... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai
murid seperti engkau....!
Han Han yang tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari
kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu,
Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi
dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai
penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
‘Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada suhu
dan subo (Ibu Guru).!
Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena
kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling
rangkul, saling mencium dan.... mereka menghembuskan napas terakhir dalam
keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang
pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka
sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.
‘Suhu....! Subo....!! Han Han mengguncang-guncangkan
tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak.
Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu
membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke
kiri.
‘Me.... mereka.... sudah mati.... oohhh....!! Lulu
menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia
melihat orang menghembuskan napas terakhir.
‘Aku harus mengubur mereka....!
‘Hayo kita pergi. Han-ko...., aku takut sekali....!
‘Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka.
Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak
mengenal budi. Tunggulah sebentar!
‘Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.!
Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah
lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga
besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah
matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga
membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang
sudah terbakar itu.
‘Pedang-pedang itu bagus sekali!! bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala. ‘Untuk apa pedang bagi kita,
Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali
terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut
pedang-pedangnya.!
Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat
tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam lubang. Akan tetapi ia
membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian.
Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat
untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu
juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
‘Sekarang kita harus cepat pergi dari sini....! kata
Han Han. Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan,
hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi
karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat
bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka
keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa
keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang
terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu!
Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun
itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu.
Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
‘Aduh.... aduh.... perlahan-lahan, Koko.... kakiku sakit....!!
Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang
mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata,
‘Lekas, mari kugendong....!
Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam
tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali
karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak
angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han
Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki. Han Han
bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel tubuhnya
membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang
menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi.
Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang
terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua
kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi
sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis
itu.
Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa
tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang
berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak
pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun
ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui
tempatnya semenjak ayahnya masih kecil.
Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie
Hoat. Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh
seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan
datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya
seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya.... ah, hatinya kecewa
sekali kalau ia teringat akan ayahnya.
Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya.
Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi
seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat.
Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca,
dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu
seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biarpun sakti dan berilmu
tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak
mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka.
Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian. Akan tetapi, dia
harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi
gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu
pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat.
Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si
Iblis Jantan, ‘Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang
dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.!
Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia
harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus
disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan
tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi?
Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai
ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota
raja! Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya.
Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya
berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai
menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih.
Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya.
Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya.
Haus, lapar, lelah!
Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan
tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh
adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan
tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan
tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
‘Bocah malas! Enak saja kau, ya?! Ia mengomel, akan
tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang
sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai
dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa
sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan
di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai,
mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu, ia kembali ke bawah pohon di mana
Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada
tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil,
menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
‘Kasihan....! bisiknya penuh kasih sayang. Aku harus
mencarikan makanan untuknya. Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan
membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan
cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri
Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan
berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan
pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, ke dua
seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ke tiga seorang
laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata
lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo
sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!
Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa
takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya
keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta daripada
pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari
keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya
yang terbasmi dahulu. Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia
tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini.
Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk
melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai
Lulu terbawa-bawa mengalami ben cana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja
dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
‘Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?!
‘Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah
melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.! Dia tidak mau
menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak
mau berpisah dari Lulu.
‘Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu
menyerahkah sebelah kaki teecu, aken tetapi setelah hukuman terlaksana, harap
Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.! Setelah
berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan
melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhunya, mana yang akan dibikin
buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah
selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan
kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong
tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun
tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
‘Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung
mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi
gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!!
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak
pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu
agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya,
mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin
Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti
merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.
‘Koko...., ada apa....? Siapakah orang-orang jahat ini!
‘Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan
karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum
potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah....!
‘Kakimu dipotong....? Tidak....! Tidak boleh! Wah, kau
manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi.... pergi....!! Lulu yang
biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor
anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
‘Moi-moi, ke sini....! Jangan begitu, aku melarangmu!!
Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.
‘Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutmu, Koko! Aku
harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau
dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!! Lulu masih
berdiri dengen sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah
mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. ‘Eh,
bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?!
‘Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han
Han. Tentu saja aku membelanya!!
‘Lulu namamu?! Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan
tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya. Lulu
meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang
seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
‘Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu....
hemmm, kau anak Mancu, ya?!
Biarpun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
‘Bukan, suhu.... bukan....!! Han Han berteriak, mukanya
pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia
mendengar Lulu menjawab nyaring,
‘Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi
orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!!
‘Ngekkk!! Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
‘Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah
aku, akan tetapi jangan bunuh dia!! Han Han berteriak-teriak sambil meloncat
maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin
Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah.
‘Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah
mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu!
Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi
murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah
Mancu ini....! Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu
yang sudah pingsan tak bergerak itu.
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia
menyeringai dan mengangguk-angguk.
‘Hemmm...., bagus sekali. Dia anak seorang perwira
Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang
menjadi saingan mencari pulau....! Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan
cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia
memberi isyarat kepada tiga orang kawannya.
Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang
sudah lemas dan dikempitnya. Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan
bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak,
juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan
tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang
diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu dan setelah mendayung
perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu, menuju ke laut.
Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian
totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat,
bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang
ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas
lega dan berbisik.
Han-ko.... syukur kakimu masih utuh....! Anak ini
terisak.
‘Diamlah Lulu. Jangan menangis...!
‘Aku.... aku.... takut, Koko.!
‘Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada,
tidak perlu kita putus harapan.!
‘Tapi.... mereka jahat sekali....!
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan
disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang
itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang
tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya
paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan menghela napas
panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
‘Murid murtad....! Murid durhaka....!!
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak
membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal
itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan
terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong
kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal
sebagai puteri seorang perwira Mancu.
‘Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima
hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap suhu mengampuni
anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.!
‘Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw
sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan
kupenggal di depan matamu!!
‘Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan
dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!!
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut.
Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang
kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
‘Han-ko,! Lulu berbisik. ‘Dia itu kejam dan jahat,
mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?!
‘Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku
berguru kepadanya.!
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali dan menjelang
malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran itu amat sengsara bagi Han
Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang
tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah
memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak
terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu.
Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia
muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka
Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar
tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
‘Suhu....! Harap tolong membebaskan belenggu tangan
Adikku lebih dulu....! Dia....! Dia sakit!!
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada
Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak
cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan.... tertidur. Karena
tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak
lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang
kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki
kepandaian yang amat lihai.
Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk
keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka
disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke
belakang dengan tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam
keadaan seperti itu, Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu
mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi
dan berhati besar.
‘Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat
itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat
tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya
berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.!
Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang
adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya.
‘Kita ini.... dibawa ke mana, Koko?!
‘Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, suhu dan
teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para
suheng dan suci bercerita tentang Pulau Es.!
‘Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?! Lulu
bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.
‘Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di
sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan
melindungimu dengan sekuat tenagaku.!
‘Koko....!! Lulu menangis.
‘Eh, malah menangis. Ada apa?!
‘Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?! Suara Lulu
terisak-isak.
‘Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu
saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya
mempunyai aku.!
‘Han-ko....!! Lulu kembali menangis dan anak ini lalu
menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam
keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.
Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari
tiga malam. cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat
menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang
memiliki sin-kang kuat sekali, biarpun hanya didayung, perahu itu meluncur amat
cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara.
Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat
menderita, akan tetapi apabila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka
menderita sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai
muncul di permukaan air sebelah timur, Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget.
‘Perahu di sebelah depan!!
Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar
saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu
yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam.
Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan
melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam
sekali, lebih tajam daripada kawan-kawannya dan setelah memandang dengan
pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.
‘Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak
begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan
orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan
menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan
lebih baik!!
Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi
dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung
mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap
perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan
agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang
menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya
perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu
kecil yang mengejar. Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya
beberapa meter.
Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi.
Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di
atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita.
Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan
gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh
tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam
dan mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan tampaknya sikap
mereka gagah.
Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa
akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia
melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu
dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng
juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera
berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.
‘Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang
(PerkumpuJan Naga Hitam)!!
‘Sikat saja, habiskah mereka!! kata Ma-bin Lo-mo dengan
suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya
memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.
‘Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe mereka itu adalah
orang segolongan..! Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu
dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah.
‘Orang she Swi, kau ini pembantu macam apa? Kita sudah berjanji, kalian
bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan, menjadi
pembantu-pembantuku dan jika berhasil perjalanan ini, kalian akan kuberi
masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya
kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih
kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi
tikus-tikus itu?!
‘Tidak.. tidak takut. hanya.!
‘Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar
mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan
aku tenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak
perahunya.!
Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali.
Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut,
apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak
dara tan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak
mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!
Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu
agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang di antara mereka, yang
tertua, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang, segera mengangkat
tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.
‘Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan
perahu mengejar kami? Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang
melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini.!
‘Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apa maka
berlayar sampai disini?! Suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan
alisnya yang tebal. ‘Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan
bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong
ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri.!
‘Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es? Berarti
kalian menyaingi kami! Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena
biarpun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk
melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.
Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang
itu tersenyum dan berkata.
‘Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan
Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami.!
‘Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari
Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap
kalian.!
Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan
marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan
tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka,
sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.
‘Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau
yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapapun
berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan
Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha
yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong
hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan
Lo-enghiong dengan Pangcu kami.!
‘He-hemmm..! Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan
menjadi agak kikuk juga. Dia tidak takut kepada orang-orangHek-liong-pang ini,
dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu
saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo
dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu
berkata.
‘Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada
jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian, sekarang juga karena
perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!!
Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas
buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot
Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak
berkelahi, menyangka bahwa tentu diantara orang-orang yang berada di samping
Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal
yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan
terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.
‘Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan
perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?!
Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin
mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. ‘Losuhu ini adalah
sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh
dari Kong-thong-pai.!
Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama
Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari
Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka
semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
‘Adapun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan
julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam).!
Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia
kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu
Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-tai-hiap hanya julukannya
saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat
menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biarpun suka memusuhi
orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak) namun terkenal pula sebagai
seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita).
Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang
pandai itu.
‘Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun
sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami
dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi
kami?!
‘Sama sekali tidak memusuhi!! kata Si Muka Tengkorak
Swi Coan. ‘Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya
pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini.! Dia menuding ke arah
Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama
sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin
lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu
kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan
tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biarpun
sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak
masih tidak merasa gentar, apalagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti
kuda itu.
‘Siapakah locianpwe ini?! tanya Si Jenggot Panjang
menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biarpun mereka belum mengenalnya,
namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu
pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan tersenyum lebar. ‘Kalian ini orang-orang muda
seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal
Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?!
Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang
dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat
siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san. Akan
tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih.
‘Mukanya.. jangan-jangan dia.. Ma-bin Lo-mo..!
Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin
terbelalak. Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. ‘Lihat
baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku memang Ma-bin Lo-mo. Hayo
kalian lekas-lekas meloncat ke air dan hal ini hanya kulakukan mengingat kalian
telah mengenal Swi Coan.!
Tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu benar-benar
kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara
datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di
antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama
artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela
diri.
‘Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat
meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami.!
‘Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?!
Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.
‘Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?!
teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua
orang temannya.
‘Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah
hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan
dibunuh?! Han Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, berteriak nyaring.
‘Tutup mulutmu, murid murtad!! bentak Ma-bin Lo-mo
marah.
Tentu saja tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang
menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu
menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu,
apalagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi
karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot
Panjang berkata.
‘Sungguh mentakjubkan! Si murid lebih bijaksana
daripada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah
orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang
mentaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak
mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut
perintah gila itu!!
‘Orang-orang muda yang keras kepala!! teriak Ouw Kian
si muka Bopeng dan mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali
ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi
tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa
tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.
Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah
tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka
melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua
Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah. Begitu
melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas
orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan
melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka,
tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari
berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di
luar lingkaran.
Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju
menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan
dilempar ke laut, mereka masing-masing bertemu, dengan tiga empat buah golok
yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut dan
cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu
bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus
mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali
dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.
Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran
itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil.
Andaikata tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu
mereka bertiga akan dapat ‘memasuki! pertahanan mereka dan merobohkan seorang
di antara mereka. Akan tetapi, tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat
kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi maka mereka memusatkan perhatian dan
tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat
sekali. Betapapun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal,
karena setiap serangan seorang diantara mereka berhadapan dengan tiga empat
orang yang menangkisnya.
Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang
pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang,
Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar.
‘Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada
gunanya. Mundur semua!!
Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya
yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau
mencabut, senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya
mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu,
masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih
terhitung segolongan. Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk
Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai
yang terkenal sekali, dan terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak
perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau
nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan dan
tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah
perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang
itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke
arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.
Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek
itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras
sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Dan pada saat itu Ma-bin
Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan
kedua lengannya bergerak-gerakseperti mendorong.
Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata
saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu
berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka. Tiga belas orang itu roboh
malang-melintang dan menggeliat-liat dengan wajah berubah, mula-mula pucat,
kemudian makin lama menjadi biru dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu
menggigil kedinginan.
Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang
dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun
tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin
yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!
‘Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!! kata Ma-bin
Lo-mo, kemudian kakek sakti ini menyambar sebatang golok musuh yang berserakan
di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok
beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot
masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke
perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang
perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang
menggeliat-geliat dalam sekarat.
‘Ohhh.. kejam sekali.. aahhh, Koko, aku takut..!
Lulu berkata lirih dan mulai menangis. Han Han hanya
menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi
gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sukar ia menentukan siapa di antara
kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan!
yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau
tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang
penentang bangsa Mancu, namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang
yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah
saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.
Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han
membuang muka, bukan merasa ngeri, melainkan merasa muak dan diam-diam ia
mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang
pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai
datuk-datuk golongan hitam ini.
Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka
benar-benar berada di tengah lautan yang bebas dan kedua orang anak itu kini
tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi.
Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap, hanya di waktu malam, kalau Lulu
kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk
adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis
dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki
lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil
yang mulai tampak dari jauh.
‘Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara
pulau-pulau itu, selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil
menemukan Pulau Es,! kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil
berdiri di kepala perahu dan menghela napas. ‘Akan tetapi, sekarang kabarnya
banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan
air.!
‘Apakah dahulu pulau itu tenggelam?! tanya Kek Bu
Hwesio, tertarik.
‘Begitulah, agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada
kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak
pernah dapat ditemukan?!
‘Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas
Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?! Tanya Si Muka Tengkorak.
‘Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana..?!
tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.
‘Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak
usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat
kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini,
mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit.!
‘Ada perahu lagi..!! Terlambat Han Han menutup mulut
Lulu dengan tanganya. Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar
saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah
belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu
karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi
korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan
sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan
kening berkerut.
Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu
Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang
matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia
berkata.
‘Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus
hersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi
Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di pulau itu dan kita harus bersiap
untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang
rendah.!
‘Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?! Si Muka Tengkorak
Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat
orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!
‘Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian
hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk
membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk
mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu.
Ha-ha-ha!!
Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu
besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju
dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang
kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan
anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi
besar berpakaian perwira-perwira Mancu!
‘Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga
belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan
tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai
Setan Botak, akulah lawannya!! kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat.
‘Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu
tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini.
Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu
dengan pasti.!
Pada saat itu, biarpun jarak di antara kedua perahu itu
masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran
amat kuatnya!
‘Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu?
Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau
mampus di tengah lautan!!
Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali.
Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos
angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah
seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan
terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu
sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara
itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan
penuh tenaga mujijat.
‘Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing
Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang
di antara kita menjadi santapan ikan! Adapun anjing-anjing Mancu itu, suruh
mereka mengeroyok!!
Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh?
Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si MukaTengkorak, Si Hwesio Palsu, dan
Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan
diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha! Kau sendiri tentu akan
mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga
bagiku. Maka, menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka
Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!!
Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu
para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin
Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun, dengan kibasan tangan mereka, empat
orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka.
Adapun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu,
kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan
bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini, Si Muka Tengkorak lalu
menendang kedua orang anak itu roboh.
‘Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!! kata Ma-bin
Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan
khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat
melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka
ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.
‘Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini
kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing
Mancu!! Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar
perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat
meloncat dan menyerbu. Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat
mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh
Kang-thouw-kwi. Akan tetapi, ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biarpun
para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si
Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah
berapi!
Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak
disangkanya musuh akan menggunakan akal ke ji ini. Setelah puluhan batang anak
panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan,
dia dan tiga orang pembantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan
menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak
panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.
‘Celaka, perahu terbakar!! seru Kek Bu Hwesio dan benar
saja. Tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar
perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan
api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.
‘Kita harus meninggalkan perahu!! seru Ma-bin Lo-mo.
‘Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk
penyelamat diri!!
Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat
melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih
dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha
memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke
air dengan gerakan seperti hendak terbang. Adapun Kek Bu Hwesio yang tangannya
gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air. Tiga orang ini mematahkan
bambu pengapung perahu di kanan kiri dan mempergunakan bambu-bambu itu untuk
menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam.
Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik
yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya
berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas
tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa,
‘Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian
ikut berkobar bersama perahu!! Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya
minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.
Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan
panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah
ember yang terisi minyak, dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan
untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu
bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan
tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu
sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan
mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.
‘Koko.. aku takut... api itu akan membakar kita..!
Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar
matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah
mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar.
Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak
bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada
manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya, ombak makin membesar dan
langit makin gelap.
‘Lulu, lekas berdiri contohlah aku. Kita bakar belenggu
kita pada api!! kata Han Han sambi angkit berdiri dan mendekati api yang
membakar bilik perahu. Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini
dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti
Hwi-yang Sin-kang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua
tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan
tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan
cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.
Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah
terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya.
‘Hayo kita meloncat ke air!! teriak Han Han.
‘Tidak mau..! Aku takut..!! kata a Lulu sambil menangis
dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang
seolah-olah hendak menelannya itu.
Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara
angin, ‘Apakah kau ingin terbakar api?!
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di
atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang
tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua
telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali,
tiba-tiba Lulu berteriak.
Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang
mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik
yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat
gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh
guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu
yang sudah tidak terbakar lagi.
Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke
dalam bilik dan biarpun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka
menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar keluar
perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu dan benturan terakhir membuat
kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan
Han Han.
Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika
dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di
dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang
Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik
bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han
Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu
teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.
Entah berapa lamanya badai mengamuk, Han Han tak dapat
mengira-ngira. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan
malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung
bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah.
Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama
itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar
mengerang lalu ‘tertidur! lagi. Namun Han Han tetap sadar!
Ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang
kembali, keadaan amat tenangnya, Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri
semua. Tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk dan Lulu merintih perlahan.
‘Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti,!
bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.
‘Han-ko., apakah kita sudah.. sudah mati..? Tubuhku
lemas sekali dan semua terasa sakit..!
Han Han merasa kasihan sekali. ‘Kita masih hidup,
Lulu.! Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang
hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat
daripada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biarpun terguncang dan
terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup
guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan
tersedak, terbatuk-batuk.
Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak
itu biarpun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian
berkata,
Han Han tertawa dan pada saat itu ja pun baru sadar
betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang
yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan
Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti
kering. Biarpun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup
lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.
Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih
kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu.
Mereka mengintai keluar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak
tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik
Kang-thouw-kwi.
Han Han berusana mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang
kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah
tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu
telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk.
Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas
daripada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih
mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan
cukup, terutama sekali air minum, dan selain perahu sudah rusak sehingga tidak
dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja,
juga tidak tampak ada daratan yang dekat.
Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak
ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan
untuk menyelamatkan diri daripada ancaman maut ini.
Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia,
agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu
itu. Tidak ada jaIan keluar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan
mereka. Akan tetapi, nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan.
Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun orang
itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya
dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat
membebaskannya daripada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati,
biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati,
biarpun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos
dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang
anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun,
pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi
tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak!
Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang
mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung. Han Han dan Lulu
kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan
dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan
lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air
laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han,
menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil ber bisik dengan suara gemetar.
‘Kita mati, Koko.. kita mati.. akan tetapi jangan
tinggalkan aku.. kita bersama.!
Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega
di hati Han Han. Apapun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai
seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran
biarpun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga,
ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.
Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan
pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka
berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca
menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan
tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!
Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah
menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah
dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.
‘Lulu, badai sudah berhenti lagi. mari. mari kita
keluar..! kata Han Han dengan suara lemah.
Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam
pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun,
malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya
dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang
mengerikan kalau membuka matanya.
‘Lulu.. mari kita keluar... kita harus berusaha, untuk
mendarat..!
‘Oohhh.. lebih senang begini, Koko...! Lulu mempererat
rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.
Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang
kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah
mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan
adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!
Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras.
‘Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah,
Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!!
Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun
dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat
cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia
bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri,
Lulu menuding ke lantai dan berkata.
‘Koko, kitab-kitabmu tercecer..!
Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba
pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di
saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab?
Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan?
Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu. Yang sebuah adalah kitab tebal dan
ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan SepasangPedang
Iblis.
Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang
baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia
simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru
inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu. Yang sebuah
berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang! dan yang ke du berjudul ‘Berlatih
Samadhi dan Lwee-kang!, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo.
Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang
agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada
sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia
mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari
bilik. Ketika mereka muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan
kaget, kagum dan juga girang.
Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara
kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang
tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han
dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.
Pulau Es..! Lulu, kita berada di Pulau Es !! Han Han
berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu. Lupa
akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian. Han Han yang
menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas
daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak
sehingga ketika mereka bergulingan jatuh, mereka tidak terluka. Mereka bahkan
tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.
‘Kita selamat.! Kita mendarat..!! seru Han Han sambil
tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah. Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang
tidak lumrah, telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan
dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini,
setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk
mempertahankan dirinya itu mendapat jalan keluar karena kelegaan dan
kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi
sukar.
Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa,
diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba
Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga
buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya, terlepas.
‘Koko..! Han-ko...! Ah, Han-ko, bangunlah..! Lulu
mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak. Melihat
kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air
mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering
sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.
‘Han-ko..! Jangan mati, Han-ko.., jangan tinggalkan
aku..!! Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.
Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu
terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas
punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak
lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi
seperti kertas.
Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu
kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti
orang mimpi atau kehilangan akal. Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor
binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu
berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan
suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah
perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu.
Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan
gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing.
Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu
menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.
‘Ohhhhh, tidak.. jangan.! Lulu menggeleng kepalanya.
‘ jangan mengganggu Han-ko..! Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini
terhadap kakak angkatnya. Andaikata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han,
tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini, melihat
beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha
mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan!
Namun, beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu,
menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh
Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan
terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!
Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak
menggigit Han Han, tidak menganggunya, malah memondong dan seperti hendak
menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang
tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia
merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han,
maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan
napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.
Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa
Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu
yang sebetulnya sudah amat lemah itu, kini dapat berjalan terus mengikuti
beruang itu sampai ke tengah pulau.
Padahal tadi, melangkah setidak pun sudah terasa amat
berat, bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami
kesengsaraan hebat itu.
Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah
bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang
besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya,
tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu
terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk
ke dalam. Lulu melongo.
Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang
luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena
matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu
membawa Han Han masuk kesebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh
Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal. Kamar itu
pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah.
Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu
yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan
Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas,
tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti
gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak
keheranan. Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja.
Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu
menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu
lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak
di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua
kaki depannya yang besar. Kemudian, binatang itu mengambil dua batang pedang
pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.
Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu
hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat
betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya,
kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu
berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang
nyaring sekali.
Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang
sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu di dalam tungku dan beruang
itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi,
digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering
sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa
panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu.
Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara
gerengan pendek kemudian keluar dari kamar. Lulu seperti baru sadar dari mimpi,
mengguncang-guncang pundak Han Han. ‘Koko..! Koko.! Bangunlah.. Ada. ada
binatang aneh..!! Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu
menangis di atas dada kakaknya.
Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena
beruang itu sudah kembali memasuki kamar, mulutnya menggigit daun-daunan yang
membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala
orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh
ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki
depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.
Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia
mulai dapat men gerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat.
‘Apakah kehendakmu?! katanya perlahan sambil turun dari
pembaringan dan menghampiri beruang itu. Binatang itu kelihatan girang, lalu
menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup,
terbuat daripada petak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa
agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya!
Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan
membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan
ke dalam panci, kemudian dengan suara ‘arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh! ia menunjuk
ke perapian. Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia
melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian.
Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan
menjadi girang sekali.
Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri
Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat
kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu
melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han,
lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.
‘Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa
tidak boleh?!Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku
perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia
makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi
maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan
menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia
meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk!
Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai
mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi
dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas
meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
‘Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko?
Begitukah, Paman Beruang?!
Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang
sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan
mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara
ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap
rambut kepala Lulu!
Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia
menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu
termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini
tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han
dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih, sebentar saja menjadi dingin
dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam
mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.
Hatinya girang sekali karena biarpun keadaannya amat
lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat
binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu, Lulu memasak
benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang bubur encer dan mulailah
anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang
sudah dapat bergerak namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han
tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum.
Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.
Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi
petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han
telah sembuh daripada sakitnya.
Dengan terheran-heran setelah sadar benar, Han Han
mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu
lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang
kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu
mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.
Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai
banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar
dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah
dan lengkap, adapula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula
sebuah ‘taman! yang aneh karena disitu bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur
dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena disitu selali
diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah,
dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan
gaya seni indah.
Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang
tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu
menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu
saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah
dipelihara orang.
Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar
perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan
hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang
tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti
mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya
untuk kitab-kitab inilah!
Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat
aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari
adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dengan melihat
keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan
melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik
seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas
seperti seorang ahli silat yang pandai.
Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka
menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu
benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang
mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri. Kamar pertama adalah kamar yang
paling besar, perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan.
Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang
berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain
mengandung filsafat yang dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga
ditulis amat indah. Di bagian lain dari dinding tertulis di rumah itu, ia
mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak
duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di
kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang
dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada
tulisannya :
!Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang
berkepentingan.!
Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis
dengan cara yang lain daripada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau
tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah
ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam
dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti
atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun
itu.
Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari tangan membelai sayang
Betapa ingin hati menjeritkan cinta
Bebaskan dirimu daripada ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang, dunia takkan pernah
tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga membahagiakan!
Menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan persaudaraan dilupakan
Akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu bahwa sengsaralah
buah daripada nafsu!
Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi
dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah
seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak
mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan
hati yang merana dan berduka.
Adapun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan
jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga
berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita,
dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai
alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam!
Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati
sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat
pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi
tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama
sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk! beruang es, di dalam gudang di bawah
tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi
rusak. Selain ini, juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Adapun untuk
keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini
adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian,
segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai
hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing
daripada dunia ramai.
Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya
dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab
pelajaran melatih lweekang, bersamadhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan
tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari
kitab-kitab yang di tinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya
menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik.
Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia
temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan
mudah! Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang
Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis
dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh,
dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali!
Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar.
Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang
dibisikkan di dekat telinganya.
Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang,
buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.
Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa
huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum
kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga
tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya,
maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik maupun coretannya dan
akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu!
Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu,
kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo,
bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab
peninggalan para datuk golongan sesat ini.
Karena pada dasarnya Han Han melatih diri dengan
ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu
sesat dan tanpa disadarinya, dia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari
manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang
sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika ia disiksa para
perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding sedangkan perasaan hati dan
pikirannya menghadapi peristiwa malapetaka hebat yang menimpa keluarganya.
Adapun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena
bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun
anak yang masis ‘bersih! ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang
didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya
sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat
tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa.
Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu maka biarpun amat terbatas dan
secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh
kemajuan.
Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam
perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan berlatih napas yang
sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui
kitab ini. Untung bahwa Lulu sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil sudah
diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan
didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah pula dengan
meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah,
Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biarpun
bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa,
dapat juga ia merasakan hasilnya. Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat
dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang
terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya,
setelah dua tahun, anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di
tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia
terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat. Setelah tubuhnya menjadi kuat
dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang
pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki.
Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang
mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya
seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang
dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai
gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil.
Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang
mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang ‘ahli silat! dan yang kelak,
kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan
untuk membalas dendam. Adapun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan
ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan
latihan-latihannya ketika ia ‘mencuri! ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi
tersesat tidak karuan dan secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga
memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan.
Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang
berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk
membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah
membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri
dengan menggunakan hawa dingin sebagai ujian.
Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sin-kang yang
ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk
mengatasi hawa dingin di pulau itu, sungguhpun hal ini akan merupakan sebuah
cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan
sinkangnya.
Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi
kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur akan terancam
bahaya maut. Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia
memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan
Sepasang Pedang Iblis.
Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun tenaga
Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga sakti, begitu
ia bersamadhi dan mulai melatih diri, sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga
‘dingin! ini. Berlatih menghimpun tenaga dingin, di dalam hawa yang dinginnya
seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada
tubuhnya.
Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han
beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau
sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu
cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat
api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga
terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.
Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak
lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang
di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan
tubuhnya lebih dingin daripada hawa dingin di luar tubuhnya. Dengan begini,
karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin daripada suhu di luar tubuh,
setelah latihannya matang, ia malah merasa bahwa hawa yang amat dingin, yang
bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin!
Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di
Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan
pakaiannya!
Demikianlah, dengan ditemani beruang es yang merupakan
teman bermain bahkan teman berlatih silat amat tangguh dari Lulu, kedua orang
anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa
bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!
Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han
dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka sendiri dan makin banyak
mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat
ini merupaan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi
hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan para
penghuninya.
Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak
pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu.
Tulisan-tulisan di dinding hanya merupakan sajak-sajak yang selain mengandung
filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si
penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama maupun riwayat mereka yang
dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.
‘Ah, Paman Beruang! Kalau saja engkau mampu bicara,
tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati,!
kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.
‘Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kami
dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak mengerti,! kata Lulu sambil
tertawa.
‘Boleh jadi!! kata pula Han Han, juga tertawa setelah
memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang
gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini, matanya yang
lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi
kiri.
‘Benarkah, Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau
ceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan
kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini?!
‘Nguk-nguk ger-gerrrrr..!! Lulu meniru suara beruang
itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. dengan lagak seperti beruang itu sehingga
Han Han menjadi tertawa geli.
Mendadak beruang itu menggereng, kemudian menyergap
hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan
tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.
‘Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Beruang! Aku
tidak ingin mengajak kau berkelahi!! kata Lulu dan melihat gadis cilik itu
tidak balas menyerangnya, beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak
menyerang terus.
Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai
salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi itu tampak air laut
dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil
melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat
akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu
yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali berubah makin membesar dan
suaranya berdesir menakutkan.
‘Agaknya badai akan mengamuk lagi.!! kata Han Han dan
biarpun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di
tengan Pulau Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu
merasa ngeri juga.
Mendadak beruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang
belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung
kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu
telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.
‘Paman beruang, bukan waktunya untuk main-main!! Lulu
berusaha untuk merenggutkan tangannya.
‘Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak
kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk!! kata Han Han dan
berlari-larianlah mereka memasuki istana. Akan tetapi beruang itu sambil
mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk dan
menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu
gudang tempat penyimpanan bahan makanan.
Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, beruang es
itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding
ke arah dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong
dengan kedua lengannya ke arah dinding.
‘Apa maksudnya?! tanya Han Han.
‘Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding.
Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil
daripada kita,! jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan
tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh
binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.