Makin terharu hati Lin
Lin. ˜Anakmu sudah mati?!
Kakek itu tidak menjawab,
melainkan tertawa lagi.
˜Kau gadis bangsaku
heh-heh, tak salah lagi, karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau
kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani
menghinamu.!
˜Aku bangsamu? Bangsa apa
Kek?!
˜Lihat hidungmu, coba kan
sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak
salah lagi.!
Otomatis, terpengaruh oleh
ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua
matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang
hidungnya sendiri. Apalagi memandang giginya! Betapapun juga, ucapan ini
menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak
keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak
pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena
ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu
karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar
kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan
tidak percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan
hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
˜Kau betul-betul hendak
mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat
membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.!
˜Heh-heh, tiada musuh
besar di dunia ini yang lebih besar daripada nafsu sendiri. Siapa musuh
besarmu?!
˜Sayang, aku sendiri tidak
tahu Kek,! Lin Lin menggeleng kepalanya. ˜Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh
orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa
musuh besar itu bersuling.!
Tiba-tiba kakek itu
melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan
hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri
di depannya lagi.
˜Suling Emas? Suling Emas
membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?!
˜Orang tua angkat, Kek.
Ayah angkatku namanya Kam Si Ek..!
˜Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek
Jenderal Hou-han?!
˜Kau kenal Ayah angkatku,
Kek?!
Kakek itu menggeleng
kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya
juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya.
˜Aneh tapi nyata. Mungkin
sekali Suling Emas..! Jantung Lin Lin berdegupan.
˜Apa? Musuh besarku betul
Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak
bertanding mengadu nyawa.!
Seketika kakek itu
memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil
memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa. Lin Lin
marah.
˜Apa yang lucu? Jangan
mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu kuning..!!
Seketika kakek itu
berhenti tertawa. ˜Apa kau bilang? Gigiku putih seperti.. seperti..!
˜.. seperti kapur!! kata
Lin Lin tersenyum. ˜Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?!
˜Kau hendak bertanding
dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis kepandaianmu, belum
tentu kau bisa menang.!
˜Tidak peduli. Aku akan
menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku
kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?!
˜Betul, betul! Kita
sebangsa, sesuku, aku akan bantu aku. Awas dia kalau berani ganggu kau!!
Senang hati Lin Lin. Ia
berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan satu-satunya untuk membalas budi,
hanyalah membalaskan dendam keluarga itu.
˜Tapi aku tidak bisa
meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan
mencariku ke mana-mana.!
˜Kalau Jenderal Kam ayah
angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?!
˜Ih, jangan gitu, Kek.
Biarpun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung
sendiri.!
˜Baiklah, mari kau bonceng
di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.!
Lin Lin maklum bahwa kakek
itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa
ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan
di saat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya
segera melayang seperti terbang cepatnya!
Setelah menulis sepucuk
surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama
kakek itu.
Mereka kini berjalan dan
bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia
melihat betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan
tetapi tak pernah tertinggal.
˜Kalau merayap seperti
keong begini, kapan bisa sampai di sana?! Kakek itu bersungut-sungut.
˜Kau maksudkan sampai di
tempat Suling Emas, Kek?!
˜Di mana lagi? Bukankah
kita mencari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk
menghadapinya. Mari!! Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin
merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat daripada
biasanya.
Menjelang pagi mereka
berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi
hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan
membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.
˜Heh-heh, bagus di sini.
Kita main-main di sini!! Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi
tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas
sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang
pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.
Melihat kakek itu main
ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur,
˜Kek, katanya hendak
mengajar ilmu kepadaku?!
˜Aku sedang mengajarmu
sekarang. Kau lihat baik-baik!!
Lin Lin mengerutkan
alisnya. Celaka sekali, kakek ini main-main selalu. Masa ia akan diajari main
ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek
itu dapat lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar biasa
cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini
seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat
saja, dan hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini?
Tidak bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti
anak kecil.
˜Kek, kau ini sebenarnya
siapakah? Namamu saja aku belum tahu.!
˜Heh-heh, aku pun belum
tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?!
Lin Lin tidak mau
pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu.
˜Kek, namaku Lin, sheku
tentu saja..! Lin Lin hendak mengatakan ˜Kam!, akan tetapi kakek itu sudah
mendahuluinya.
˜.. tidak ada karena kau
bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah
namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.!
Ketika tangannya bergerak
dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan
gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu
kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti
ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap lagi. Begitu
cepatnya seperti sulapan saja.
˜Namaku Roda Emas, memang
hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau
sudah memperhatikan pelajaran ini?!
Lin Lin terkejut, juga
geli mendengar ia dipanggil ˜A-lin!.
Ketika mengeluarkan
sepasang roda atau gelang tadi, amat cepat. Akan tetapi apakah benda-benda itu
mcrupakan senjata? Andaikata dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek
itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi pelajaran?
˜Pelajaran yang mana,
Kek?!
˜Hehhh! Hidung dan gigimu
bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota!
Lihat baik-baik!!
Lin Lin melihat baik-baik.
Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun sembarang
berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai
mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorong.
Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun
ke belakang maupun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu
menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.
˜Nah, kau sudah lihat
sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin
(Awan Kosong Selaksa Kati). Biarpun kosong, namun mengandung tenaga laksaan
kati biarpun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat
membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang
bukan menjadi lamunan kosong lagi.!
Mulailah Lin Lin menerima
gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang
jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari
perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh
perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu
meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw dan biarpun tidak ada
orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak
pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu
yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te-liok-koai, Si
Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap
Kim-lun Seng-jin.
Pada masa itu, dunia
kang-ouw hanya mengenal Thian-te-liok-koai dan para ketua partai persilatan
besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul
Suling Emas sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini
diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan
diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh
lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya
dikenal dengan sebutan Gan Lopek! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat
paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah
terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya daripada kakek ini.
Lin Lin boleh dianggap
beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini
selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima
latihan ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang
sekaligus merupakan lwee-kang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek aneh
itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong Mengurung
Gunung). Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang, ia membawa Lin Lin
merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di
pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja
seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat
kakek itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan
wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan
masak-masakan yang lezat.
Lin Lin pandai sekali
mengambil hati kakek itu dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari
kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Ternyata Kim-lun Seng-jin
amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah
ia mengenal pula ayah Li Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya,
dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya,
kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.
˜Kam-goanswe? Heh, Ayah
angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang perajurit sejati yang jujur dan
setia. Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah yang
membuat ia dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia
pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri hati Liu
Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik
Beracun).!
˜Lalu bagaimana, Kek?!
tanya Lin Lin, dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu
Bu Song yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam yang telah
bercerai dari ayah angkatnya.
˜Entah bagaimana
selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan.
Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti,
seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan
raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak setuju
puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian amat
keras hati dan nekat, orang tua itupun tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi
kedengar hubungan antara ayah dan puterinya ini menjadi putus. Selanjutnya
entah.!
Lin Lin tahu selanjutnya.
Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu Song dan yang
sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah angkatnya.
˜Di mana sekarang adanya
Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?!
˜Heh, mana aku tahu?
Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?!
˜Bukan. Dia sudah bercerai
lama sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi pula, entah ke
mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di mana
dia sekarang?!
˜Mana aku tahu? Dia orang
yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya lagi.
Pula, aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia
orang.. hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam
juga kalau berhubungan dengannya.!
Daging itu sudah matang.
Kim-lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha
kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.
˜Wah, kau hebat! Heran
aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih?
Tanganmu memang luar biasa!! katanya sambil menikmati daging panas. Lin Lin
tersenyum. Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih,
melainkan garam dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan
di hutan itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan
ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.
˜Aku sudah masak
seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?!
˜Ihhh, bukankah aku setiap
hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?!
˜Segala Ilmu Khong-in
(Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai
menghadapi musuh besarku, Si Suling Emas?!
Kakek itu mencak-mencak,
tapi masih menggerogoti daging,
˜Kaupandang rendah sekali,
ya? Hendak kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani
mempertaruhkan kedua mataku! Jangan kau main-main, bocah nakal. Dengan
Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan mampu
mengejarmu, tahu?!
˜Jadi, aku hanya akan
mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri
kalau bertemu orang sakti?!
˜Heh, apa kau kira hal itu
tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa
artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu
pukulan Khong-in-liu-san itu, jangan kaupandang ringan. Dengan mempelajari ini,
sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali daripada yang
sudah-sudah, kau tahu?!
Tentu saja Lin Lin tidak
percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga.
˜Apa kau kira sekarang aku
sudah dapat melawan Suling Emas?!
Kim-lun Seng-jin
membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat.
˜Enak saja bicara! Melawan
segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kaukira orang macam apa
Suling Emas itu?!
˜Orang apa sih dia?
Bagaimana kepandaiannya?!
˜Dia sih orang biasa saja,
tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia orang yang seperti
juga aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu bekerja dengan
diam-diam secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling
Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang
tahu. Entah dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh
delapan tahun ini.!
˜Kenapa kau mengira bahwa
mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?!
˜Orang macam dia itu bisa
berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andaikata mendengar
pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh ketua
Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu
dibunuhnya karena ada kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu
terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?!
˜Kek apakah dia
benar-benar lihai?!
˜Kau takut terhadap Suling
Emas?!
Kakek itu mencak-mencak
lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot
sumsumnya.
˜Takut apa? Kim-lun
Seng-jin tidak pernah mengenal takut.!
˜Kalau begitu kau berani
melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?!
˜Jangan kaukira bisa
mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu, aku akan turun
tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan menang. Betapapun
juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya.!
˜Kalau begitu, mari cepat
kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di sana, bukan?!
˜Kira-kira begitulah. Akan
tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja nanti,
di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih
lagi ilmu pukulan itu.!
Demikianlah, sambil
melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu silat oleh
Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin meningkat
dengan cepat. Gadis ini sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja
mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu
yang mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih
panjang, perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat
demikian karena ia ingin melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai matang dalam
ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat terjaga. Sering kali, di
waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah Lin Lin
sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepala.
˜Serupa benar.. serupa
benar..!
Kita tinggalkan dulu Lin
Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok
keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui,
menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah
mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.
Dua orang ini melakukan
perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan
mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah
keduanya agak muram wajahnya, karena biarpun Lin Lin hanya seorang adik angkat,
namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut
keningnya. Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab
atas keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana.
Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung
jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song,
maupun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi
surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan
suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang
sakti, hatinya menjadi agak lega.
Kota raja Kerajaan Sung
tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja
Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama
ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas,
bekas Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang
keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek
biarpun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah
Kerajaan Sung karena pada masa itu, Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah
Shan-si masih termasuk wilayah Sung.
Oleh karena pernah
mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja, Bu Sin dan adiknya
merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang
desa yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar.
Mereka berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan
penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari, tentang diri seorang pemuda
bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi
guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan
menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.
Orang pertama yang mereka
tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon
pengikut ujian seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih.
Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari
keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan tentang
seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru
sastra yang sudah tua.
Akan tetapi guru sastra
itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening.
˜Sungguh menyesal aku
tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu,
dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu
orang pelajar yang menempuh ujian.!
Bu Sin dan Sian Eng
kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia
ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah
kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat ditemukan, sekarang malah
kehilangan seorang adik dan mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak
mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian
pada empat belas tahun yang lalu!
Pada saat mereka hampir
putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya,
˜Masih ada satu jalan
untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat
sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota
An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena
kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa
tahu beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.!
Wajah kakak beradik itu
berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma
di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin
Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka
dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat merasa bingung dan
tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Setelah keluar dari rumah
kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang.
˜Apakah kita harus pergi
ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang
berada di sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama
halnya dengan memasuki gua naga dan harimau?!
˜Sin-ko, dengan mereka
kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang
dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu
pangeran tua itu mengerti di mana adanya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya
dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apalagi orang
lain?!
˜Dengan keluarga Pangeran
Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan
Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.!
˜Bukankah dia sudah
memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat
jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.!
Akhirnya Bu Sin mengambil
keputusan dan berkata,
˜Baiklah, kita ke An-sui,
bertanya dan minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apapun yang akan terjadi,
harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir
dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.!
Hanya semalam mereka di
kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke
An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu
siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal
di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar
tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada
Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan yang
besar.
Akhirnya pintu terbuka dan
alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang
pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung
bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat
malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya
ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan hendak menelannya
bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum. Di
belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali
lihat saja dapat menduga bahwa mereka adalah perajurit-perajurit pengawal
karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang
pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas penghormatan
kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.
˜Menurut laporan pelayan,
Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang
tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi bicarakan dengan saya,
karena semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperluan Ji-wi
datang menghadap Ayah?!
Karena bagi Bu Sin sama
saja, baik Pangeran Suma maupun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang
kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat.
˜Maafkan kalau kami
mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap
Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami
ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.!
Wajah Suma Boan berubah
ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia
memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang
muda itu.
˜Heran sekali, kami tidak
pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang kami lakukan?!
˜Begini, Kongcu. Kami
mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian
empat belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan
bahwa Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi
keterangan kepada kami apakah beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu
sekarang.!
˜Siapakah namanya pelajar
itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku
catatan tentang pelajar.!
˜Pada waktu itu, ia
memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song..!
Suma-kongcu kelihatan
kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya terbelalak lebar.
˜Apamukah dia itu?!
pertanyaannya kini tidak halus lagi.
Bu Sin dan Sian Eng kaget
melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang
menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya,
˜Dia adalah kakak kami..!
˜Bagus..!! Suma-kongcu
melompat bangun lalu tertawa bergelak. ˜Ha-ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah
mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu,
adik perempuan hemmm.. cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!!
Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat
sekali.
Bukan main kagetnya Bu Sin
dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa
menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang.
Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang
menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak
melakukan serangan. Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa
mereka menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan
Suma Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu
Sin terhuyung mundur dan Sian Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini.
Sian Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari
tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak
mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan
memondongnya.
˜Lepaskan adikku!! Bu Sin
membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan.
Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan
terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi pedang Bu
Sin mengejar terus.
Pada saat itu, para
pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong
adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani
belasan orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biarpun dikeroyok,
baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal
roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka
ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat.
Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke
atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil
membentak.
˜Mundur kalian,
orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!!
Para pengawal menjadi lega
hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan mereka yang
terluka. Adapun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan
menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya
yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.
˜Orang jahat she Suma! Apa
kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?!
˜Ha-ha-ha, Bu Song,
kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!!
˜Sebelum mati takkan
menyerah. Lihat pedang.!
Suma Boan tetap tertawa
sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah
bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini
menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat
(silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan
Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran
ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah beberapa tingkat!
Tidaklah mengherankan
apabila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena
disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian
sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera
ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang marah
karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan
pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik
orang-orangnya.
˜Jangan sentuh dia! Aku
sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian
memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!! Akan tetapi Bu Sin tidak mati,
hanya pingsan saja.
Suma Boan menengok ke arah
dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik
manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan,
kini tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!
˜Keparat, di mana dia..?!
Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang matanya
melotot, mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan
sebagai ganti gadis cantik itu. Benda ini adalah sebuah bendera kecil,
gagangnya dari kayu hitam menancap pada dipan, benderanya berbentuk segi tiga
berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit,
tersulam dengan benang warna kuning emas!
˜Hek-giam-lo..!! bibir
Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi, ˜lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu,
keparat..!!
Akan tetapi ia maklum
bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya.
Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. ˜Seret ia ke dalam kebun belakang!!
Para pengawal menyeret
tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke
belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang
dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.
Bu Sin sudah siuman,
maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah
perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma
Boan yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.
˜Orang she Suma!! Kata Bu
Sin dengan juara ketus dan nyaring. ˜Antara kau dan aku tidak ada permusuhan,
akan tetapi kaukatakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku
sebagai adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu
rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran
kepadamu, manusia rendah.!
˜Ha-ha, kematian sudah di
depan mata dan masih berlagak!! dengus Suma Boan dan sekali ia meroboh saku, ia
telah mengeluarkan enam batang anak panah. ˜Sebentar lagi kau mampus.!
˜Siapa takut mati? Seorang
gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam
kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau,
agar aku tahu untuk apa aku mati.!
˜Bu Song seorang jahanam
besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus,
kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan
baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak
tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik perempuanku.
Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan seratus kali,
tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau
mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya
datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang
barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas himpas hemmm.. kalau
saja perempuan itu tidak lenyap..!
˜Di mana adikku, Sian Eng?
Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan
menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kaubebaskan adikku. Dia wanita, tidak
bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.!
˜Ha-ha-ha, adikmu akan
kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar
sampai habis, berikut bunganya.!
Pucat wajah Bu Sin, akan
tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk orang
macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apapun yang
akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa
Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau
untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.
˜Pengecut, siapa takut
ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!! bentaknya.
Tangan kiri Suma Boan
bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin.
Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah,
berkedip pun tidak pemuda perkasa ini.
˜Kalian lihat, semua anak
panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia
harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran
menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang
lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.!
˜Baik, Kongcu, hamba
sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.!
Serempak para pengawal
menjawab sambil memberi hormat.
Dengan senyum keji dan
mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan kedua
tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha
kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan den pundaknya masih dapat ia
pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar
dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya,
hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau
ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak
panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan, benar-benar
menyakitkan hati sekali.
Suma Boan tertawa-tawa
mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu
Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya
terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam
ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lwee-kang amat
kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.
˜Jaga baik-baik, awas,
jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,! pesan Suma Boan kepada anak
buahnya. Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan
kesanggupan mereka.
Setelah kongcu itu pergi,
para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok
bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa
yakin bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di
atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.
Bu Sin merasa seluruh
tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang.
Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan
percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang
mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya. Kiranya
kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian
kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap
lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada
malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong
setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia
sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?
Tiba-tiba matanya
terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya,
namun tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu.
Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang,
tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti main
sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki
tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu
tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan
tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu Sin sadar
kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di
bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih
bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit
duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati
orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi.
Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera
dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah
yang dicoret-coret merupakan huruf-huruf.
ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO,
AKU BERUSAHA MENGEJARNYA.
Bu Sin terduduk kembali.
Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat ia
siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan
pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia.
Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan
ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia
merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara
bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan
penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian
Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia
teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu
terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika
mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka
terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi
yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang
mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama
Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang
disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia
tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!
Bu Sin termenung, bingung
karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang
bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua
orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang.
Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk,
disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Dengan pikiran bingung dan
gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan
karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi
terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya.
Ke mana lenyapnya Sian Eng
yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak
terbaring di atas dipan? Gadis ini biarpun sudah tak dapat bergerak karena
jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun
ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia
berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lwee-kang untuk membebaskan
diri daripada totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah
bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan
nitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu.
Demikian cepatnya gerakan yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat
orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong dan karena masih dalam
keadaan tertotok, ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang
pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi
mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian
hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan
juga pembunuh orang tua mereka!
Celaka, pikirnya, kalau
pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak
bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, cepat sekali larinya
seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah
mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas daripada
totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia
menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka
pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang
itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia
terkejut dan merasa ngeri.
Kiranya mereka telah
berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang
besar, karena selain luas, juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar
dan megah berdiri di sana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini
berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu
menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi
ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu
rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali. Tak lama kemudian
sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap,
agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas
sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh
terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah
seorang yang amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat
bergerak lagi cepat menoleh dan.. gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak
lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata
terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi.
Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan
karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah
manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak
hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang
kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat
seperti itu, yakni di bawah tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti
ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit
ketakutan.
Kemudian mahluk itu yang
berdiri tak bergerak seperti patung, mengeluarkan suaranya yang terdengar
bergema namun seperti dari jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi
suara manusia hidup,
˜Nona datang dari
Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri Jenderal Kam Si Ek?!
Karena masih dicekam
kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan
sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah
untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang
aneh dalam pandangan Sian Eng. Mahluk itu, yang kini ia dapat menduga tentulah
seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya
berlutut di depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri!
˜Aduhai Sang Puteri..
bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri,
bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba
mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi..
ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti
untuk menjemput Paduka sebagai ratu..!
Sampai di sini, si kedok
tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa
Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap
bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara
tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian
Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut
pula menangis!
Kedok iblis itu segera
membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata,
˜Wahai, Paduka Puteri
junjungan hamba.., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita,
setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul,
bagaikan Sang Matahari muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan
Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka merampas
kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka..!
Tentu saja Sian Eng makin
tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh
gilanya maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip
tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu.
Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo
mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata
halus,
˜Mohon perkenan Paduka
untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.!
Mau tak mau Sian Eng
menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak
dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena
maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar
biasa tingginya. Ia hanya mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa dan
marah ia berkata lirih,
Tampak bayangan hitam
berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng
menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua
itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya bukan manusia si
kedok tadi, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa
pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan
bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang
rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali,
rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga,
baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun
menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir
merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik
dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang
mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)!
Telah kita kenal wataknya
yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia
sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara
nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.
˜Hek-giam-lo, tengkorak
busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau
tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin
remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!!
Tentu saja ucapan ini
membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu
nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan
kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk
seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan
tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya
Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan
tangan kanan bertolak pinggang.
˜Hek-giam-lo tengkorak
busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan
It-gan Kai-ong si gembel tua bangka!!
Hek-giam-lo tidak menjawab
akan tetapi segera melompat keluar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan
marah.
˜Sin-ni, antara kita sudah
terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau
tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku.
Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan
kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan
memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan
dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?!
˜Tengkorak busuk! Kau kira
hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara?
Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala!
Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa
sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela
Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang
berhak yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun
untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan
undur setapak pun!!
˜Hemmm, kau perempuan mau
main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di
antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kaupertahankan nama itu dan jangan
mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.!
˜Cerewet! Kau ini
selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo
kembalikan!! Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di
kepalanya itu sudah bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang
paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan harum itu akan
menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan
tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman
maut yang entah sudah menewaskan nyawa beberapa banyak orang!
˜Sin-ni, kau tahu aturan
antara kita. Surat ini aku dapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu
saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.!