Lu Sian kaget melihat lawannya wanita baju putih itu
tiba-tiba menghentikan penyarangannya dan terhuyung, kemudian ia lebih kaget
lagi ketika tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan tahu-tahu ia telah disambar
orang dan dipanggul pergi! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee
Seng, ia meronta-ronta, namun tidak berhasil melepaskan diri. Ingin ia
menusukkan pedangnya pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi membuat
tubuhnya terlalu lemas.
Kam Si Ek sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita
yang ternyata telah menolongnya kalau tidak segera tertolong, rasanya ia takkan
mampu menangkan See-liong-sam-ci-moi. Tadinya ia sudah hendak meloncat naik
mencegah sucinya menyerang wanita itu, sekarang melihat seorang laki-laki muda
berpakaian pelajar memondong wanita itu, ia menyangka bahwa tentulah pemuda
itu, seorang jahat. Cepat ia memberi aba-aba untuk menyerang pemuda itu dengan
anak panah, sedangkan ia sendiri pun lalu mementang gendawanya.
Akan tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum.
Wajah yang tampan itu tersinar bukan dan hatinya Kam Si Ek tercengang. Pemuda
itu tampan bukan main dan senyumnya manis sekali! Tentu sebangsa jai-hwa-cat
(penjahat cabul) yang hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan rendah !
"Lihat panah !� bentaknya dan sekali gendawanya
menjepret, lima batang anak panah menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng !
"Bagus !� Kwee Seng yang masih menengok itu
tersenyum lebar dan memuji, karena kepandaian melepas panah itu benar-benar
hebat. Lima anak panah itu menuju ke lima bagian jalan darah di punggung dan
kakinya, dan dengan kecepatan yang luar biasa !
Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus
mengerahkan lwee-kangnya untuk mengebut dan meruntuhkan anak-anak panah itu.
Akan tetapi kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah,
sedangkan Kam Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak
panahnya. Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut sambil mengerahkan sin-kang-nya,
kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh, kemudian berlari cepat
setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah
meloncat ke atas tembok benteng. Hujan anak panah lagi dari kanak kiri, namun
pelepasan anak panah oleh para perajurit itu tentu saja tidak begitu di
hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah
membuat semua anak panah menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia
meloncat keluar tembok dan lenyap !
"Suci ... ! Dimana kau ... ?�
Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat kakak
seperguruannya itu. Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak
mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk melakukan
penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah
mayat yang menggeletak di lantai ruangan gedung. Malam itu juga ia mengadili
lima orang lain yang dilukai encinya dan menggunakan kesempatan ini untuk
mengancam para tentara dengan hukuman berat apabila ada yang berani melakukan
penyelewengan. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia
maklum bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena
sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka. Banyak
diantara mereka yang diam-diam ingin rupanya dia mengabdi kepada Raja Liang
atau kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja
muda di Shan-si.
"Tidak,� bantah suara hatinya, "sebelum
muncul pemimpin yang betul-betul akan membuat rakyat Shan-si khususnya hidup
aman tentran dan makmur, aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga !�
Sementara itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya
di gerak-gerakkan dan akhirnya Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat
mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang di depan
dada Lu Sian meloncat maju dan membentak.
"Kwee Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau
mengganggu urusanku ? Apakah kau hendak pamer kepandaianmu ?�
"Eh, Sian-moi ..., aku hanya hendak mencegah kau
menimbulkan keributan di tempat orang, aku ... aku hanya bermaksud menolongmu
... "
"Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng,
agaknya di samping kelemahan hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang
rendah orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apa?�
"Sian-moi, mengapa kau berkata demikian? Bagaimana
aku dapat tidak mempedulikan apa yang kau lakukan? Sian-moi ... kau sudah tahu
akan perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah,
sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak
dapat membiarkanmu terancam bahaya atau melakukan hal-hal yang tidak
semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa, tak boleh
diganggu...�
"Cukup ! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum
berhak untuk mengurusi persoalanku. Aku bukan apa-apamu, tahu? Kau boleh
mencintaku sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu! Dengar baik-baik,
Kwee Seng, aku tidak cinta kepadamu! Kau memang tampan, kau memang gagah
perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah! Kau
bukan laki-laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kau kira aku cinta kepadamu?
Ihh. Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan kepandaianmu yang kaujanjikan
kepadaku di depan ayah. Nah kau dengar sekarang ? Setelah kau ketahui
pendirianku, apakah kau kini hendak menarik janjimu lagi seperti layaknya
seorang pengecut ?�
Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng,
seakan-akan ribuan batang jarum berbisa menusuk-nusuk jantungnya. Wajahnya
sebentar pucat sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya
sayu dan dua butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi
mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya, mengepal tangan dan berkata sambil
menengadahkan muka ke langit.
"Bagus sekali ! Memang kau patut menjadi puteri
Pat-jiu- Sin-ong ! Aku yang bodoh. Ha-ha-ha, aku yang tolol. Orang macamku mana
berharga menjatuhkan hati padamu ? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik
janjiku! Kapan saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan
kau di panggung Beng-kauw ketika itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau tidak
mencintaiku sama sekali. Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang rakus
ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan,
ha-ha-ha!�
Senang bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah
watak gadis puteri Beng-kauwcu ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu
dimanja, atau memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal
sebagai tokoh aneh di dunia kang-ouw, gadis ini suka sekali melihat laki-laki,
sebanyak-banyaknya, jatuh hati kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan
kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia kecewakan
mereka, akan ia permainkan mereka dan melihat mereka menderita, ia akan
mentertawakannya !
"Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk
menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu pada besok malam,
tepat tengah malam, di sini juga. Aku akan menjumpaimu di sini dan ... "
"Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin
ada orang lewat dan akan melihat kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya
sukar didatangi, terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya
mau menurunkan ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah malam
tepat, aku menantimu di sana !�
Lu Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan
tampaklah bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit
yang bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga
atau kepala mahluk aneh.
"Baik, besok malam aku akan berada di pumcak itu!�
Setelah berkata demikian, Lu Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda
itu pergi meninggalkan Kwee Seng.
Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan
derap kaki kuda yang yang makin lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya,
serasa perih hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang
melayang mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis yang
selama ini memenuhi hatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan menampar kepalanya
sendiri.
"Ha-ha-ha, tolol ! Gila perempuan!!�
Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum dari guci
araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok memasuki
kerongkongannya.
Tiba-tiba ia berhenti minum dan menengok memandang ke
arah gerombolan pohon kembang kecil yang belum kebagian sinar matahari pagi,
masih gelap. Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun
telinga pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap
bahaya. Ia mendengar ferakan orang disitu, maka tegurnya,
"Siapakah mengintai disitu?�
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang
pohon-pohon dan seorang gadis berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah
dan sinar mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat
sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungghnya bukan
maksud saya untuk mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani
untuk keluar memperkenalkan diri.�
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai
pakaian serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap
gagah, yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis
inilah agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng
benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak
perlu lagi memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!� kata
Kwee Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang
merendahkan dirinya.
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya
melihat dan mendengar semua dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang
secara aneh mendatangi benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona
Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang
tidak pernah kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara
wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan
tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kwee-taihiap
yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya peresilakan
Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat persahabatan dan
untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal.�
Diam-diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita,
seorang gadis muda, namun nona ini benar-benar jauh bedanya dengan
wanita-wanita yang ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas,
sopan-santun dan hati-hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman.
Ia lalu teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang
begitu luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan
memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nonai. Setelah nona mengetahui
namaku, agaknya boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?�
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu
perjuangan Kam-sute, Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan
tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat
keluarga Kam.�
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah,
kalau saja Liu Lu Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini,
pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu
yang manis budi. Akan tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman
Nona dan Kam-goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal
yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan
turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan
perkelahian.�
Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali.
Akan tetapi ia menjawab dengan sikap sederhana merendah,
"Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah membukla mata
saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami persilakan Kwee-taihiap
untuk singgah dan menerima penghormatan kami.�
"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus
pergi sekarang juga.� Setelah berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua
tangan memberi hormat, lalu melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci
araknya yang sudah kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat
ia tidak pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.
Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung
di tempat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya
bertemu dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak
itu. Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia
meramkan matanya seakan-akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee
Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya
menggetar-getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya
Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam
segebrakan merobohkan dia !
Memang aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut
asmara yang mengamuk di hati orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah
dan polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang
dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian.
Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini
kagum kepada Kam Si Ek !
Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya,
mukanya menjadi makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari
pelupuk matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali
pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan
Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan
hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda yang
menjadi korban di Beng-kauw. Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi
korban pula. Kemudian ia teingat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara
Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat
banyak gadis tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta
seorang di antara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, di antaranya
tiga orang enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu!
Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu
pada besok tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri. Bukit
itu terkenal dengan nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan
sebuah di antara gunung-gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal sebagai
bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak setannya. Kam Si
Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang keadaannya amat
berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu
kelihatan aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan di sana
mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung
dan yang kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh
penduduk diberi nama Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat
tertentu sinar matahari membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah !
Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah
gontai sambil mendekap guci arak. Semangatnya seolah-olah melayang pergi
mengikuti bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan !
Kwee Seng yang merana hatinya oleh pengakuan Liu Lu Sian
yang tidak membalas cintanya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng
Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu
membelokkan kudanya ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun
tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan di situ
terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka pula sebuah restoran.
Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu
sehingga keadaan sunyi dan ia tidak benyak menunggu.
Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus
hotel, kemudian ia minum mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir
pergi kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel
memberinya nama Sastrawan Pemabok! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan
sajak-sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li Tai Po.
Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang
rumah penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak
sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah
tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan,
memandangi angkasa barat yang berwarna indah sekali sambil sekali-kali meneguk
arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil
mengangkat muka dan menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu
menyanyikan sajak itu,
Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja
rontokan daun bunga memenuhi lipatan bajuku
mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan
ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun
hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak
melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap
suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari
bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan
langkan.
"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti
munculnya bulan...�
Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi diam-diam ia
memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari
belakang rumah penginapan?
Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda
dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan
memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita
itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci dari Jenderal Kam Si
Ek! Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan
manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi
tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu
sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak
melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada
orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak
sewajarnya ! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda
yang memandang penuh curiga kepadanya.
Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya
seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan
gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang
pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan
keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari
mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala
yang bentuknya lain dari pada biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang
asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa
besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar
matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut
dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut
dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke
penjagalan.
Seekor domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini
seakan-akan berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan
araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si
Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan.
Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke
kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik
hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut
pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat. Kalau tidak
demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir?
Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar?
Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula
pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun
beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang
pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan
muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya
mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee
Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal
ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan
pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan
minum arak.
Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang
itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa
yang dikuatirkan hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas
pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu
basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di
bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu
menjadi gagu ! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan
bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri,
melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi
pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.
"Nona yang canik, mengapa kau menangis?� Dengan
gerakan halus dan mesra pemuda itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air
mata.
"Aku tertarik oleh kecantikanmu, dan andaikata aku
tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan
berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu,
ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku,
isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka
bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan
sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan
kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima
terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi kekasihku...� Pemuda itu menundukkan
mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.
Tiba-tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat
bangun, membatalkan niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit.
Matanya jelilatan ke sana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia
mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia
mendekatkan tangannya ke depan hidung, ia berseru kaget.
"Keparat, siapa berani main-main dengan aku?�
"Penjahat cabul jahanam! Di tempat umum kau berani
melakukan perbuatan biadab, sekarang beremu dengan aku tak mungkin kau dapat
mengumbar nafsu iblismu!� terdengar suara Kwee Seng dari atas genteng.
Bayisan bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah
melayang ke luar dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah
meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang di atas
genteng yang sunyi itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah-engah karena
menahan amarah, sebatang pedang sudah berada di tangan kanannya.
"Heeeei! Jahanam cabul, aku di sini. Mari kita
keluar dusun kalau kau memang berani!�
Tahu-tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat
itu, melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang Khitan
ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan
terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar dusun. Di luar
dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.
Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya
datang ia sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya
jalang, pedang di tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan
itu, ia makin marah.
"Eh, kiranya kau, pelajar gembel tukang mabok! Kau
siapa dan mengapa kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?�
Bayisan membentak menahan kemarahannya karena ia maklum
bahwa yang berdiri di depannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus
bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal
sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji.
Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai.
Kwee Seng tertawa.
"Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini,
Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San?
Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai
tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama Bouw I San (Bayisan) tukang
petik bunga aku belum pernah!�
"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan
Panglima Khitan, kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu
dan hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau
iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak
merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!�
"Heh-heh-heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan
aku dengan engkau! Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul,
aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa
perempuan yang tidak cinta kepadaku!� kalimat terakhir ini tanpa ia sadari
keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan
Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah
mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar
gembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi
Lo-cia, sekarang kau tak mungkin terlepas dari tanganku!� setelah berkata
demikian, Bayisan menyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan ke
atas akan tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala,
kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus
dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala
dan menusuk dada!
Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan
tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya.
Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia?
Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata keranjang!�
Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang
maju dan permainan pedangnya benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah
sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia, agaknya sudah menerima gemblengan dan
mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang
dipelajarinya dari orang-orang pandai di daerah utara dan barat. Pedang di
tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan angin yang
ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.
Diam-diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya.
Jarang ada orang muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah saying
kepandaian begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah.
Orang dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapt menjunjung tinggi nama
besar suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa
yang kuat dan pengelana yang ulet. Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh
dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas
di tangan kiri, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah
bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang
berjuluk Kim-mo-eng. Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda
itu, maka sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan
kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya
serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali! Celaka, pikirnya,
andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat meragukan, tentu
akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting
baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel.
Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu
kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui
Lan dapat membebaskan diri daripada totokan, tentu akan terlepas dan lari.
Kalau sudah lari kembali ke benteng, sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan
menderita rugi dua kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu
menggiurkan, kedua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan
akan gagal total.
Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu
mengeluarkan seruan keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan
telinga, kemudian pedangnya bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan
batang anak panah. Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat
yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan
menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik
semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan
pengerahan suara saja! Apalagi lengking itu disusul serangan pedang sehebat
itu. Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir
kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke
belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk
menggerakan tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium
bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum-jarum hitam itu lewat di
depan mukanya. Jarum-jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum beracun
milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya.
Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.
"Gembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk ...
" Hanya sampai di sini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling
roboh dan tubuhnya lemas ! Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah
menyemburkan dari mulutnya dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung
kipasnya. Gerakannya melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga
tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada
punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha
bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri
di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng
keren berpengaruh.
"Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?�
Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk
menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada
jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata,
"Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan
pembalasannya karena kau berani menghinaku!�
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur.
"Ho-ho-ha-ha ! Kau hendak menggunakan nama Kalisani
untuk menakut-nakuti aku ? Aha, lucu! Justeru karena engkau saudara misannya,
justeru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan
sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan
nama besar orang-orang gagah Khitan!�
Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini
meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai
Kui Lan masih telentang di atas pembaringan, air matanya bercucuran, akan
tetapi kini gadis itu sudah dapat mulai bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat
menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis
ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti
orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api
memandang ke sana ke mari, mencari-cari.
"Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak
mengadu nyawa dengan jahanam itu!�
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia
keluar dusun dan dia sekarang terbaring di sana, tertotok gagang kipasku.
Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di
hotel ini sehingga memancing datang banyak orang dan akan timbul
pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona...�
Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan
diri di depan pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh
pundak gadis itu dengan halus.
"Ah, apa-apaan ini Nona? Mari bangkit dan duduklah,
kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini.�
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di
atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak
habis-habis itu.
"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku...�
"Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa
bilang aku menolong jiwamu?�
"Kwee-taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya
yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut...�
Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus air matanya
dengan saputangan.
"Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat melupakan
budi Taihiap...�
Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar
matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan
menenggak araknya lagi.
"Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada
Tuhan bahwa kejahatan selalu pasti akan hancur.�
"Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia
tertotok di luar dusun?� Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar
dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan
patut di bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan
yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu
membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi
hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun,
Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda
Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan
sedemikian cepatnya.
Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu,
ia tidak melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja.
Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
"Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia,
tidak baik bagi nona tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.�
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum
siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat
keluar lagi dan berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa
diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini
bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia
berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan
nyenyak.
Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan
mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang
mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan
setapak yang amat sukar dilalui. Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung
yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam,
dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat
seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat
lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian
cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak
ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput
tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar,
adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak
dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap
mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar
suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang
dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan
tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian
yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan
lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah
Lai Kui Lan. Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya,
malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang
membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud
nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula
melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba-tiba ia teringat, Lu
Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir,
tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan.
Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari turun lagi
menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika
melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak.
Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh... ah... Kwee-taihiap....aku... aku ingin
bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama...
jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu
datang ke sini karena kau tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang
disini.� Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng
merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang
mendesak.
"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak
menceritakan hal itu? Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang
hendak kujumpai di sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah,
sekarang aku bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan ?
Duduklah biar enak kita bicara.�
Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah
batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk di atas tanah.
"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan
itu.� Ia mulai bicara, suaranya menggetar, "aku tak dapat menahan hatiku
yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak
sudi menerima undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk-petunjuk orang
sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang
menunggang kuda.� Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari
Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul
Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk
bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki
lalu kami bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan
main,orang Khitan keparat itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku
dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat
bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah
kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Suteku dan kami mohon
petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan
hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang
membangun kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan
nama yang baik dan mana yang buruk.�
Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga
Kam Si Ek, adalah seorang yang amat cinta kepada negara, orang-orang berjiwa
patriot yang akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak
enaklah kalau menolak terus.
"Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di
sini, aku akan singgah di benteng Jenderal Kam.�
"Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!� Dengan
suara penuh kegembiraan Kui Lan menjura, berkali-kali.
"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau
sudah terlanjur berada di sini, aku pesan, kau bersembunyilah dan jangan
sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali memperlihatkan diri, apapun juga
yang terjadi. Maukah kau memenuhi permintaanku ini?�
Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan
muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee
Seng tidak melihat kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui
Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana
telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan
yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan.
Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti
bintang.
"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku
sudah berada di sini, siap menerima ilmu seperti yang kau janjikan dahulu.�
Kata Liu Lu Sian, akan tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena
terdengar dingin, alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan
menciptakan kehangatan dan kemesraan. Ia tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas
cintanya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau menggunakan
sebutan moi-moi, karena kuatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan Si
Gadis dan akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang
tergila-gila kepada Lu Sian.
"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk
menandingimu dahulu itu hanyalah Ilmu Silat Pat-sian-kun biasa saja.�
"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu
yang hendak kau turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas ajarkan!�
Kwee Seng menggigit bibirnya, lalu berkata,
"Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat itu.�
Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia
mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hwat dengan tangan kosong, akan tetapi jelas
bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat
ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima
petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi
seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi
seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak
serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng
berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata.
"Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan
kepadamu, Lu Sian, Sudahkah kau memperhatikan gerakannya? Harap kau coba latih,
mana yang kurang jelas akan kuberi penjelasan.�
"Ah, kau membohongi aku!� Lu Sian berseru marah.
"Ilmu silat macam itu saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai
daripada Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Ayah! Mana bisa kau kalahkan aku dengan ilmu
itu? Kwee Seng, aku tahu, setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau
hendak membalasnya dengan menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!�
Gemas hati Kwee Seng, dan perih perasaannya. Gadis ini
terlalu kejam kepada orang yang tidak menjadi pilihan hatinya.
"Lu Sian, sipa membohongimu ? Ketika aku
menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan ilmu lain kecuali ini!�
"Aku tidak percaya ! Coba kau sekarang jatuhkan aku
dengan ilmu itu!�
"Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang.� Kwee
Seng mengambil sebuah ranting pohon yang berada di tempat itu. "Kau
mulailah dan lihat baik-baik, aku hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!�
Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan
kilat, mainkan jurus berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi
Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah
dadanya dengan kecepatan luar biasa, Kwee Seng menggeser kakinya ke kiri lalu
ranting di tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas dan
menekan pedang lawan itu ke bawah disertai tenaga sin-kang. Pedang Lu Sian
tertekan dan tertempel seakan-akan berakar pada ranting itu ! Betapapun Lu Sian
berusaha melepaskan pedang, sia-sia belaka.
"Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu
pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan
serangan jurus ke delapanPat-sian-hian-hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga),
pedang menyambar sesuka hati, boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh
aku hanya menyerang bahu.� Tiba-tiba ranting yang tadinya menekan pedang itu
lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang telepas dari tekanan ini
meluncur ke atas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian !
Lu Sian meringis, tidak sakit, akan tetapi amat
penasaran.
"Coba hadapi ini!� teriaknya dan pedangnya membuat
lingkaran-lingkaran lebar, dari dalam lingkaran itu ujung pedang
menyambar-nyambar laksana burung garuda mencari mangsa, mengancam tubuh bagian
atas dari lawan.
"Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang
disebut Pat-sian-hut-si (Delapan Dewa Kebut Kipas) untuk melindungi diri.�
Kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting ditangannya berputar cepat merupakan
segunduk sinar bulat melindungi tubuh atasnya dan dilanjutkan dengan serangan
jurus ke empat belas yang disebut Delapan Dewa Menari Payung!�
Tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah lebar seperti
payung dan tahu-tahu dari sebelah bawah, ranting telah meluncur dan menyabet
paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara
"plak!� keras. Kalu saja ranting itu merupakan
pedang tentu putus paha gadis itu !
"Aduh ...!� Lu Sian menjerit karena pahanya yang
disabet terasa pedas dan sakit.
"Kwee Seng, kau kurang ajar...!�
"Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah
kau sekarang?�
"Tidak! Kau akali aku! Aku minta kau ajarkan
ilmu-ilmi silatmu yang terkenal, seperti Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Menaklukan
Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu
Pukulan Bian-sin-kun (Tangan Sakti Kapas)!�
Kwee seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan
ilmu-ilmu silat rahasia simpanannya itu? Ia menjadi curiga. Kalau Pat-jiu
Sin-ong mungkin tahu, akan tetapi nona ini? Suaranya keren berwibawa ketika ia
menjawab.
"Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang
bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan kau Pat-sian-kun, dan kau harus
menerima apa yang hendak kuberikan kepadamu.�
"Kau hendak melanggar janji??�
"Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada ayahmu
hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu pedangmu itu, dan kurasa
Pat-sian-kun yang dapat menjadi Pat-sian Kiam-hoat dapat mengalahkan ilmu
pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!�
"Hoa-ha-ha-ha ! Kau menggunakan akal untuk menipu
anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh keterlaluan sekali!�
Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu
Sin-ong sudah berdiri disitu, tinggi besar dan bertolak pinggang sambil
tertawa. Cepat Kwee Seng memberi hormat sambil berkata,
"Ah, kiranya Beng-kauwcu telah berada disini!�
Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu
Sian mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh
orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya untuk menjajaki kepandaiannya
dan kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya.
"Beng-kauwcu, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa
aku menggunakan akal untuk menipu puterimu?�
"Ha-ha-ha ! Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat
menangkan Pat-mo Kiam-hoat ! Tentu saja kau dapat menangkan Lu Sian karena
memang tingkat kepandaianmu agak lebih tinggi daripada tingkatnya.� Dengan
ucapan "agak lebih tinggi� ini terang orang tua itu memandang rendah
kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda itu mendengarkan dengan tenang dan sabar.
"Andaikata aku yang mainkan Pat-mo Kiam-hoat, apakah
kau juga masih berani bilang dapat mengalahkannya dengan Pat-sian-kun?�
"Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani
main-main denganmu? Kita sama-sama tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan
merupakan syarat mutlak untuk menangkan pertandingan, melainkan tergantung
daripada kemahiran seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu kalau si
pemainnya kurang menguasai ilmu itu, dapat kalah oleh seorang ahli mainkan
sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi dengan
Pat-sian-kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak menurunkan ilmu
yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan kepadanya Pat-sian-kun,
apalagi yang harus diperbincangkan?�
"Orang muda she Kwee! Dua kali kau menghina kami
keluarga Liu!� Si Ketua Beng-kauw membentak, suaranya mengguntur sehingga
bergema di seluruh punucak, membikin kaget burung-burung yang tadinya mengaso
di pohon. Dari jauh terdengar auman binatang-binatang buas yang merasa kaget
pula mendengar suara aneh ini.
"Pa-jiu Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu.�
Jawab Kwee Seng, tetap tenang.
"Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku
kepadamu, aku akan girang sekali kalau kau menjadi suami anakku. Akan tetapi
kau pura-pura menolak ketika berada di sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian
kau mengadakan perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku
senang mempunyai mantu engkau. Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepaa Lu
Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda lemah. Ini masih kumaafkan
karena memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi suaminya. Akan tetapi Lu
Sian melihat kelemahanmu dan tidak mau membalas cintamu, melainkan mengharapkan
ilmumu. Dan sekarang, kau yang katanya mencintainya mati-matian, ternyata hanya
hendak menipunya, karena kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan
ilmu simpananmu ? Inilah penghinaan ke dua!�
Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang
tua ini secara diam-diam mengawasi gerak-geriknya. Ia menjadi malu sekali
mengingat akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang
berlaku curang dan tak tahu malu.
"Pat-jiu Sin-ong ! Sama kepala lain otak, sama dada
lain hati ! kau menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang
hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni
terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak,
beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat-sian-kun yang mengalahkan
Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku hanya dapat menurunkan
Pat-sian-kun saja.�
"Singgg!!!� Tiada menduga, kilat menyambar.
Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sing-ong yang telah
dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di
tangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang
Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh
ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan
begitu Pat-sian-kiam !� teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti
Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena berarti merupakan pertempuran
selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia berkesudahan seri, tiada yang
kalah atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek
ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang! Dia tidak mempunyai
pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang. Akan tetapi
sulingnya tidak ada lagi! Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang
telah memiliki batin yang kuati. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan
lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja
menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan! Dengan sikap tenang Kwee
Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi
kakek itu sambil berkata.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata
lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku, silakan.�
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan
Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Pat-mo-kun! Lu Sian, mundur
kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!� Lu Sian meloncat mundur,
menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala
sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas
kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah
bentuk pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang melebihi sinar bulan
terangnya
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun,
sambutlah!� teriak pat-jiu-Sin-ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang
ke arah Kwee Eng.
Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja dicipta untuk
menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaan dan
Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus
ini kalau dimainkan oleh pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan
Lu Sian. Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek Ketua Beng-kauw ini
merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya. Sekali pandang ia tahu
bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun, jurus ke sebelas.
Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat
menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan tenaganya ia
menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti
gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis
pedang.
"Krakkkk!� Ranting itu patah menjadi dua. Pat-jiu
Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata
kepadaku, Kim-mo-eng ! Apa kaukira dapat mempermainkan aku hanya dengan
sepotong ranting saja seperti yang kaulakukan kepada Lu Sian?�
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang,
Pat-jiu Sin-ong.� Jawab Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam
ia senang juga karena ternyata Ketua Beng-kauw ini biarpun wataknya aneh dan
kadang-kadang kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar
sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena senjata lawan yang tak berimbang
kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia
mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun
kita.�
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut
pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan
lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya
terbang ke arah Kwee Seng. Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan�
oleh pedang terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan
dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang.
Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ke tujuh
Pat-mo-kun!� kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke
arah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas
menusuk mata kanan.
Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua
Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap
menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperhatikan
kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya.
Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak
di pakai. Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang
ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan
pengerahan tenaga sin-kangnya. Dua kali serangan lawan dapat ia tangkis dengan
meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental seperti terlepas dari
tangannya, padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya
oleh tenaga sin-kangnya, maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental
dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya.
Pat-jiu Sin-ong diam-diam kaget juga,karena ia tiidak mengira bahwa serangan
pertamanya itu seakan-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng
sehingga bukan merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi
lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat mematikan!
Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan
menangkis sambil menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan
balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung
membabat leher! Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi
serangan ini bainya mudah saja menghindari diri daripada babatan. Akan tetapi
yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat
Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar
Pat-sian-kun dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai
sekali dan benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan
dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali
ia menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis
itu terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking
suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi yang berada di bawah kaki,
gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat
mengerahkan sin-kangnya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi
ini. Diam-diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi
tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi
Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari Ketua Beng-kauw. Kalau saja
sin-kangnya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh
mendengar seruan ini, bahkan ia percaya mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi,
mendengar lengking ini bisa jantungnya dan tewas seketika ! Ia dapat melindungi
jantung dan perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan
pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan
serangan-serangan yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat Pat-sian-kun.
Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji hendak
menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar andaikata ia
terancam bahaya maut sekalipun !
Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil
menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus Pat-sian-lauw-goat
(Delapan Dewa Mencari Bulan) berkata,
"Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus
kaubantu dengan Coan-im-kang untuk mengalahkan pat-sian-kun?�
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga
menangkis tusukan ke arah pusar sambil menjawab.
"Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak
tingkah dan menjadi sombong!�
Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu
kembali sudah terpental dan membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa
Menunjuk Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan
susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk
membalas. Karena jelas bahwa Pat-mo-kun selalu "tertindih� oleh Pat-sian-kun,
makin lama makin panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa
akan meledak ! Ia menggereng dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali
dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun.
Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya,
kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran.
Hebat sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun,
karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee
Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan
pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu
menindih, sebagian besar dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk
oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan
"menggulung� lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong !
Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat-jiu
Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan
Pat-sian-kun. Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan
pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun
lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya
selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu membalas serangan yang
tiada artinya.
Makin lama pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah
kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut
tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh
sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng,
bahkan ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi
isteri Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti
dulu! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng ! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi
Pat-sian-kun, itupun belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada
anakku! Apa artinya Pat-sian-kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat
mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang
semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!�
Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar
pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang datang
hendak menelan Kwee Seng! Di samping gelombang gulungan sinar pedang itu, masih
terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang
dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali!
"Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran
? Hati boleh panas kepala harus tetap dingin!� Kwee Seng sibuk sekali memutar
pedangnya untuk melindungi diri sambil mengucapkan kata-kata memperingatan.
"Ha-ha-ha, orang muda, kau mulai takut?�
Kata-kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah,
tak terkecuali Kwee Seng. Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali.
"Siapa takut?� bentaknya dan pandangnya
berkelebat-kelebat dalam usaha membalas serangan.
Namun, Pak-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus
melayani gelombang serangan ilmu pedang itu apalagi masih dibantu dengan
sambaran angin pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih
terus mempertahankan dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat, dan biarpun ia mampu
membendung gelombang serangan, namun ia terdesak dan harus mundur-mundur ke
arah jurang hitam !
"Ha-ha-ha, Kim-mo-eng! Begini sajakah kepandaianmu?
Apakah kau hanya mengandalkan Pat-sian-kun untuk menjagoi dan mengangkat nama
sebagai seorang pendekar sakti? Ha-ha-ha, sungguh lucu!� Pat-jiu Sin-ong
tertawa bergelak.
Kwee Seng biarpun sudah menerima gemblengan semenjak
kecil, namun ia tetap masih seorang pemuda yang kalau dibandingkan dengan
pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira
sama sekali bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat
pilihan untuk mendesaknya dan sengaja pula memanaskan hatinya agar ia suka
menggunakan ilmu simpanannya. Kakek yang haus akan ilmu silat itu menggunakan
semua ini untuk memancing keluar ilmu-ilmu simpanannya!, Kwee Seng tidak
menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu berseru keras dan
tiba-tiba angin yang mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan kirinya
yang sudah mengeluarkan kipasnya! Kini ia merasa dirinya lengkap! Tangan kanan
memegang pedang mainkan Pat-sia Kiam-hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas
mainkan Ilmu Kipas Lo-hai-san-hoat! Bukan main hebatnya.
Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini
mengangkat namanya sehingga ia dijuluki Kim-mo-eng, hanya dapat membendung
gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena
ia tidak ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter
di belakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya dan kini pedangnya
mulai main Ilmu pedang Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena ilmu
pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari dari pada ilmu
pedang simpanannya. Melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya,
diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan
pemuda ini bukan merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat
mengalahkannya cepat-cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda
ini yang benar-benar merupakan ilmu pilihan.
Hebat pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus
mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar
biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi
Lo-cia, ketua Beng-kauw ini lebih kuat sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan
kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi
ketika tiba-tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin mengumpulkan
semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar bahwa ia sedang
dipancing, cepat-cepat mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu
silat lainnya.
Melihat perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya
kegirangan menjadi kecewa dan timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat
permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa
mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi. Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam
lebih dan subuh mulai membayang.
Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini
berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk
mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya
menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada
senjata rahasia yang amat halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya
dan berhasil menyampok banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang
jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali.
Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh, juga rasa gatal
membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke
belakang dan terpaksa melepaskan pedang di tangan kanannya yang sudah menjadi
lumpuh dan pada saat itu, kembali ia dihujani jarum yang lebih banyak lagi.
Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat
berbahaya, menyampok dengan kipasnya sambil melompat mundur, akan tetapi ia
lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung ke belakang tadi ia telah mendekati
jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil
menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri daripada penyerangan
jarum-jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke dalam
jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa dapat ditahannya! Terdengar jerit
mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari ke
tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut keparat!� bentak Pat-jiu Sin-ong sambil
lari dan menghantamkan pedangnya ke arah bayangan hitam yang tadi menyerangkan
jarum-jarum rahasianya ke arah Kwee Seng.
"Locianpwe, saya membantumu...�
Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang
Khitan, mengelak sambil memprotes.
Kau pengecut curang patut mampus!� Pedangnya menyambar
lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat
mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan! Ini tandanya bahwa orang muda
ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa kau?� bentaknya, menahan serangannya karena
gerakan pemuda itu menarik perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan
pemuda yang dapat mengelak sampai dua kali ini.
"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee
Seng...�
"Keparat orang Khitan ! Kau telah bersikap
pengecut!� Kembali pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan
gelagapan dan maklum bahwa ia tidak boleh main-main menghadapi kakek ini, maka
ia cepat melompat ke belakang dan melarikan diri dalam gelap, Pat-jiu Sin-ong
mengejar sambil memaki-maki.
Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan
Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang hitam yang hanya dapat berarti maut,
merasa heran melihat seorang gadis pakain putih lari ke tepi jurang sambil
menangis dan ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita
pakaian putih yang ia hadapi di atas genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam
Si Ek, gadis yang menjadi suci Kam Si Ek! Pada saat itu, Lai Kui Lan membalikkan
tubuhnya dengan pipi basah air mata ia mendamprat Lu Sian.
Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak
seperguruan Kam Si Ek yang di kaguminya, menjawab halus, "Cici, kalau
memang sejak tadi kau mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku
yang membuat Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang
mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi,
engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?�
Tiba-tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang
gadis yang jujur, maka dengan menabahkan hati ia berkata,
"Kwee-taihiap telah menolongku dari pada Si Laknat
Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada
Kwee-taihiap! Biarpun kau telah menyia-nyiakan cintanya, berlaku kejam
kepadanya namun aku... aku... ah...� Ia menangis lagi.
"Cici ! Kau cinta dia?� ia merasa kasihan juga
pada gadis ini.
"Ya ! Aku cinta dia! Sekarang ia telah tewas...ah,
Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya...� Sambil terisak Kui Lan
lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula
akan kesudahan pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas
cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan
kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak
menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.