Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat,
namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan.
‘Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan
suara suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin.!
‘Bacakanlah.!
Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan
di antara angin yang bertiup dari laut menyapu permukaan pulau itu,
terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin
duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu
Bun masih terdengar membacakan sajak terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia
menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas,
bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian
sajak terakhir.
‘....akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya
tidak ada apa-apa!!
Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di
tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti kanak-kanak, juga seperti
iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ. Melihat betapa majikan dan
guru mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling seperti yang
mereka sebut kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka berteriak-teriak menantang
orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu menangis
menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan
batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan
tingkah laku masing-masing.
Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah
ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa sahabatnya itu telah meninggal
dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan
menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali
duduk bersandar batu. Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan
minum menanti datangnya maut karena ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat
lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.
Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari
tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati bisa menjadi setan. Mereka
lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka
berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan
maksud menjauhkan diri dari dua mayat manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu
tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali, setelah lari
seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu.
Mereka makin ketakutan dan kembali membalapkan kuda. Pada
saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari
selatan, terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu
jadi permainan badai dan ombak. Tigapuluh dua orang penumpang lalu melompat
turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis disapu
air laut.
Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda
dan....dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat dua
orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa.
Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda,
sedangkan Si Kakek Kurus menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan
tetapi perasaan kaget dan heran ini segera berubah menjadi kacau ketika kuda
itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan.
Mereka cepat mencabut senjata masing, ada yang mencabut
pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan
Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda, kedua orang manusia iblis ini
melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka
bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke atas
seperti orang melempar-lemparkan tikus saja! Hebatnya, mereka yang terkena
tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika!
Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah
ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan
membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil maupun
besar, ataupun binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka
seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua.
Pada saat itu, mereka pun seperti mabok. Sambil
berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu
dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan
meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum
setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu sudah menggeletak
malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi! Bhe Kiu si kakek yang
berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya,
hendak makan daging paha itu.
Agaknya bagi manusia tidak normal ini, daging paha
manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau kelinci! Akan
tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak. Ia
melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu
besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak
kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari
di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke tengah.
Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena
perahu itu tidak dikemudikan, maka menjadi berputar-putar dan sebentar saja
kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung
dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka
robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga
jatuh terlentang di atas dek perahu dalam keadaan pingsan! Namun agaknya setan
hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia. Dua hari
kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh
dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah
kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi korban
keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu, di dunia kang-ow
muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan.
Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan
kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih saja menempel sehingga
mereka kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di duni
akang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk mendapat julukan Toat-beng
Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan
seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati
Racun)! Agaknya pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum
meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan
daging manusia.
Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan
berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini
membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah
dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa.
Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Adapun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu setelah
terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ow, agaknya tidak melupakan
kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di
Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata.
Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu
betapa ia telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan,
kiranya ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri
di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia
lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali
Kerajaan Tang yang sudah runtuh.
Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan
dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo Seng-jin. Sam
Wha, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas orang-orang besar
di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan
di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka
ikut mati bersama matinya majikan mereka. Insyaflah mereka betapa selama
puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah mereka
menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk
tinggal di Pulau Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri,
hitung-hitung menebus dosa.
Suling Emas meninggalkan istana Kerajaan Sung dan
mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian yang berlukiskan suling,
pemberian Kaisar, ditambah perbuatannya yang gagah berani, selalu mengulurkan
tangan menolong mereka yang patut ditolong, memberantas perbuatan orang-orang
jahat, menegakkan kebenaran dan keadilan, sebentar saja nama Suling Emas
dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan munculnya pendekar muda yang sakti
ini. Namun karena Suling Emas membatasi diri, hanya muncul untuk mencegah
penindasan dan kejahatan, sama sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan
liok-lim, tidak memusuhi dunia hitam, maka ia pun tidak dimusuhi secara langsung
oleh dunia penjahat.
Bertahun-tahun ia berkelana seorang diri, mengunjungi
tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati hendak melupakan segala kepahitan
hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong
dan perih, wajahnya tetap suram dan pandang matanya sayu. Ia selalu merasa
sunyi dan apabila kesunyian sudah tak terkendali lagi, ia hanya menghibur diri
dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling melagukan nyanyian sajak kitab
kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya yang merana agak terhibur.
Lima tahun berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah
berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya sudah cukup banyak. Entah berapa
ratus orang jahat ia robohkan dan ia insyafkan. Suling Emas tidak Suka membunuh
orang, selalu berusaha menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan.
Banyak pula orang-orang yang telah ditolongnya dari pada marabahaya, ingin
menariknya sebagai mantu. Banyak pula gadis-gadis jelita yang telah
ditolongnya, ingin membalas budi dengan penyerahan jiwa raganya. Namun semua
itu ditolak Suling Emas dengan sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan.
Suling Emas yang telah dua kali hancur hatinya oleh
kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia telah
menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan diri dalam asmara,
setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena kegagalan asmara.
Perjalananya menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya,
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Beng-kauw, dilakukan dengan jalan memutar karena
memang ia ingin menjelajah seluruh propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di
tempat-tempat indah, seperti telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai
sebulan dua bulan. Oleh karena inilah, selama lima tahun, baru kakinya
menginjak perbatasan Negara Nan-cao. Kerajaan Nan-cao, adalah kerajaan yang
kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun dan kotanya yang ramai,
rakyatnya yang hidup makmur, tidak tampaknya orang-orang berpakaian gembel dan
pengemis, menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao adalah orang-orang pandai.
Apalagi setelah Suling Emas bermalam di sebuah dusun, ia
mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu malam atau
kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan jendelanya tak pernah
dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup dalam suasana aman
tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena mememang tidak pernah ada
pencuri!
Penuh kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua.
Rakyat hidup tidak mewah, namun cukup dan pada wajah mereka terbayang kepuasan.
Ia kagum dan juga girang karena bukankah kakeknya yang menjadi guru negara dan
orang terpenting di situ? Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain
merupakan negara kecil yang makmur, juga Nan-cao penuh dengan petugas-petugas
yang setia, rajin dan pandai. Begitu ia menginjakkan kaki di perbatasan
Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam gerak-geriknya selalu ada
yang mengawasi! Bahkan kedatangan Suling Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh
pusat Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang berjaga di sekitar
perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu. Nama Suling Emas sudah terdengar
sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat baju bersulamkan suling itu,
para petugas segera dapat mengenalinya.
Pagi hari itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota
raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia berjalan perlahan, melirik
ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga
ini tidak menghiraukannya. Dari kedaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah
dapat melihat perbedaan. Di kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para
penjaga pintu gerbang kota raja selalu melewatkan waktu dengan main kartu, main
catur, bergurau atau menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para
penjaga disini berdiri tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya
sikapnya berdisiplin. Di tengah pintu gerbang terdapat tulisan digantung,
berbunyi: Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota raja.
Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah
hampir berhasil menghilangkan kejahatan di negaranya. Akan tetapi, belum jauh
ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri
dari dua belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang
cantik sekali! Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh.
Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan
dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih.
Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih,
dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah
ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang dengan mata terbelalak. Baru
ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di depannya, dan mata gadis
yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian
pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena kagum melihat sikap
gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan kegagahan itu, Suling Emas
berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian. Setelah beradu pandang sesaat,
gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh kewibawaan
seperti suara orang yang biasa memerintah,
‘Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?!
Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga
gadis yang amat muda ini bersikap seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa
gadis seperti ini tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja itu,
maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia menjura dengan hormat, mengangkat
kedua tangannya ke depan dada.
‘Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku
Kim-siauw-eng.!
‘Dari kerajaan Sung?! potong nona itu dengan suara
galak.
‘Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung,!
jawab Suling Emas sejujurnya.
Para anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak
puas, dan pandang mata mereka semua penuh curiga.
‘Mau apa kau memasuki negara kami?, Apakah kau hendak
memata-matai kerajaan kami?!
Gadis itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam. Suling
Emas melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat
pinggang gadis itu kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang
tali yang ujungnya terdapat bola yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti
cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini amatlah
sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw.
Kalau gadis ini mampu memainkannya, hal ini sudah
membayangkan betapa lihainya gadis muda ini. Kalau saja Suling Emas terus
terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu, tentu semuanya akan beres.
Namun Suling Emas terlalu gembira dan tegang hatinya untuk muncul begitu mudah,
apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum dan ingin sekali mencoba sampai
di mana kelihaiannya. Karena itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya
sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab sembarangan.
‘Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao? Aku
hanya ingin melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak
buah Nona tidak menggangguku sehingga setelah keluar dari Nan-cao akan
kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing.!
‘Terhadap tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan
tetapi Suling Emas adalah nama yang cukup terkenal, tokoh dari Kerajaan Sung.
Oleh karena itu, kau harus ikut kami menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena
hanya beliau yang akan memutuskan apakah kau boleh memasuki kota raja kami
apakah tidak.!
Suling Emas pura-pura marah dan mengerutkan alisnya.
‘Mana ada aturan begitu? Aku memang benar Suling Emas,
akan tetapi bukan penjahat!!
‘Jahat atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari
nama julukan!!Bantah gadis itu.
‘Karena kau memasuki wilayah kekuasaan kami, sudah
sepatutnya kau tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau
ikut menghadap wakil ketua Beng-kauw!!
Ucapan gadis itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura
tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya uang bidanh sambil berkata,
‘Selama hidupku tak pernah aku membawa senjata.!
Gadis muda itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak
mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan orang tak kan bisa sakit hati
karena ketawa ini.
‘Siapa tidak tahu bahwa suling di pinggangmu itu
merupakan senjatamu yang ampuh?!
‘Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang
menciptakan suara merdu menghibur hati duka lara. Kalau hatimu risau, Nona
cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu.!
Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas,
sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya.
‘Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah
secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?!
‘Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan
kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah itu?! Suling Emas sengaja
mempermainkan.
Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia
memerintahkan anak buahnya sambil berteriak,
‘Tangkap dia! Rampas sulingnya!!
Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima
perintah cepat serentak bergerak dan menubruk suling emas. Gerakan mereka gesit
dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan
murud-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu,
mereka tidak mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap
Suling Emas serta merampas suling yang terselip di ikat pinggangnya.
Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak
bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak mengelak, hanya menggerakkan
kedua lengannya, akan tetapi akibatnya.anak buahnya terpelanting dan terlempar
ke kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang
ini terlempar dan jatuh terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun.
Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang orang anakbuahnya sudah roboh
semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka
lecet kulitnya.
Bukan main marahnya gadis itu.
‘Mundur kalian semua!!
Bentaknya dan di lain saat ia sudah meloloskan sepasang
cambuknya.
‘Wuuut..tar-tar..!!
Sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala
membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin
menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan tali itu direnggut
dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah
melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar
ke arah jalan darah di leher dan lutut!
‘Bagus.!!
Suling Emas berseru kagum dan dengan gembira ia lalu
menggerakkan tubunya, melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan kosong.
Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang
ringan, maka suling emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (tangan
Kapas Sakti) sambil mengerahlan ilmu meringankan tubuh sehingga ia dapat
mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia
menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah
lunak seperti kapas.
Diam-diam suling emas mengagumi gerakan gadis muda itu.
Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benar-benar adalah ilmu silat tingkat
tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu
sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat.
Sementara itu , melihat kelihaian suling emas, seorang diantara dua belas anak
buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.
Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba
kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan Si Nona Muda. Kalau dia mau,
dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan
menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa
kali ia melompat ke belakang sambil berkata,
‘Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!!
Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan
penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda terpandai di Nan-cao dan
sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia
bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh
ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan dengan sepasang bola di ujung
cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia marah tanpa pedulikan ajakan
Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus!
Akan tetapi dengan gerakan aneh. Suling Emas menyambut
terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di ujung cambuk itu telah tertangkap
oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik
cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas
sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan lagi! Gadis itu
membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga tanpa hasil.
‘Tar-tar-tar!!!
Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya
gulungan sinar hitam yang menyilaukan mata, berkelebatan di atas kepala Suling
Emas. Terkejut sekali suling emas, cepat ia melepaskan sepasang bola lalu
meloncat ke belakang.
‘Susiok, harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia
sombong ini!!
Gadis itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpang
sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.
Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan
cambuk hitam dengan suara sedemikian hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia
lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya
tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan
kanannya memegang gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut
seorang penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.
‘Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung.
Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap Susiok dia tidak mau dan
melawan dengan kekerasan!!
Kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek
hampir menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa
hari ini semua kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada
gunanya!
‘hemm.hemm.!!
Kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling
Emas. Di lain pihak, Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia
menduga-duga, siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong,
kakeknya. Biarpun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan
melupakan Pat-jiu Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari
gadis itu, sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.
‘Harap Lo-enghiong sudi memafkan. Sesungguhnya bukan
sekali-kali maksud kedatangan saya untuk memancing perkelahian. Hanya Nona itu
terlalu..terlalu galak.!
‘Nama Suling Emas sudah terkenal sampai disini. Kini
orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan, bahkan merobohkan pasukan
peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu! Akan tetapi jangan
berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada
aku, wakil ketua dan di atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu! Kausambutlah
pecutku ini!
Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang
diikuti suara ledakan seperti guntur di atas kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut
dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek
ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan
sulingnya. Ketika sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan
sulingnya menangkis.
‘Plak.!!!!
ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan
kakek bercaping mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang
pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini
benar-benar hebat tenaga dalamnya.
‘Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!!
Serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan
kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam
bergulung-gulung.
Dua macam perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa
menyesal dan khawatir mengapa kedatangannya malah menimbulkan perkelahian
dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini
ia pun merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah
niat di hatinya untuk mencoba terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran
ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.
Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya
segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu
makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin
membesar. Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi,
kemudian dengan sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak
menyerang melainkan menekan.
Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari
lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara meledak-ledak memekakkan
telinga, Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa
dalam kedaan terdesak itu, Si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang
disertai khi-kang sedemikian hebatnya sehingga kalau lawan kurang kuat
sin-kangnya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan menjadi kacau
permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian
rupa sehingga di antara suara ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk
telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi seperti ditiup mulut.
Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling
terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung pecut melibat
suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas
pecutnya, namun sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut
itu terlepas dari pegangan Si Kakek! Di lain saat, Suling Emas sudah mengambil
pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura.
Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah dan
tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya menerjang maju
mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.
‘Sute! Mundur dan tahan amarahmu!!
Suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh
kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang,
melainkan balas menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu
melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata yang memandang dari
bawah caping itu berapi-api.
Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat
seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek inipun bukan Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua
Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya
tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja
timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas. Cepat ia melangkah maju dan
menjura dengan hormat sambil berkata,
‘Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah
menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki di sini. Mohon
Locianpwe suka memberi maaf.!
Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya.
‘Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa
hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?!
Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak
bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat
mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia
menjawab,
‘Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Locianpwe.!
‘Aaahh.? Mendiang, katamu..?!
‘Suhu telah meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang
lebih lima tahun.!
‘Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang
muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa
datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?!
Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab,
‘Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali saya
berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya
memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak
mempunyai niat buruk..!
‘Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan
kedatanganmu di sini?!
‘Saya..saya mohon berjumpa dengan .Pat-jiu Sin-ong,
ketua Beng-kauw yang terhormat.!
Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum.
‘Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap
Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu
Liu Mo.!
‘Aaahh, jadi Locianpwe ini masih saudara kandung
Beng-kauwcu.?!
‘Aku adik kandungnya,! jawab kakek itu tersenyum.
‘Atau dapat kau sampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang
bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan.!
Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali
Suling Emas kaget. Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik
tadi, yang ternyata adalah.bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu
kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang
menyerangnya tadi adalah bibinya.
‘Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu,
yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak
yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling
Emas, katakanlah apa yang hendak kau sampaikan kepada Twa-kauwcu.!
Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah
kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?
‘Mohon beribu ampun, Locianpwe, akan tetapi.saya hanya
dapat bicara di depan.Beng-kauwcu sendiri.!
Diam-diam Liu Mo terheran, dan memandang dengan mata
penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti. Dari pertempuran
melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat
mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu
merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu dilakukan dengan
sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan.
Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,
‘Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka
kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan kami.!
Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di
belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula
oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang
angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang
berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan
sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut
dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.
Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat
dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan
wanita yang berpedang dan sikap mereka keren dan gagah. Di sepanjang dinding
ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang
amat indah, tidak kalah indah oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung!
Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat
merah.
Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera
berdiri di pinggir dengan sikap menghormat setelah membongkokkkan tubuh. Adapun
Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke
arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang
dikenalnya sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun
lalu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Sudah tua sekali, mukanya penuh
keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan
murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening
berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap
penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.
‘Kau Suling Emas?!
Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan
besar itu. Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah
dari ibunya, keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya
mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
‘Kamu murid Kim-mo Taisu?!
Kembali Suling Emas hanya mengangguk.
‘Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu
menurut penuturan orang muda ini,! kata Liu Mo.
Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah
bercampur warna putih
‘Hemm, selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah
terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya
yang keras kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!!
Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir arak di atas
meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu berputaran di atas,
lalu meluncur turun ke arah Suling Emas!
Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerang
yang seluruhnya mengandalkan sin-kang ini amatlah hebat. Biarpun kakek ini
adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya.
Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih
baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang kuda-kuda, mengerahkan sin-kang dan
mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut cawan itu. Cawan yang meluncur
dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu, kini terhenti di
udara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling Emas. Mereka masing-masing
mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan lurus ke depan,
sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus ke depan pula, mempertahankan
diri.
Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh
perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum akan kehebatan tenaga Ketua
Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh, mengapa harus
dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu
sama sekali tidak dapat maju lagi sejengkalpun juga, tetap tergantung di udara,
tidak maju tidak mundur.
‘Prakkk!! Tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping
dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah dengan napas agak terengah.
Adapun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu
menampar meja sehingga terdengar suara keras.
‘Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah
menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini, agaknya untuk membuktikan bahwa kau
masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau
dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan
begini kesepian! Kwee Seng..Lu Sian.kalian mengecewakan hatiku!!
Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan
muka pucat Suling Emas melihat betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir
air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa ibunya,
Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhunya! Suling Emas tak dapat menahan
keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki Pat-Jiu Sin-ong lalu
berkata,
‘Kong-kong, aku adalah cucumu., aku adalah Kam Bu
Song.putera tunggal ibu Liu Lu Sian.!
Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua
tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling Emas yang menengadah, lalu
perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke depan, menangkap wajah itu di antara
kedua tangannya, bibirnya bergerak-gerak dan berbisik,
‘Kau .kau puteranya..? Benar! Ini.ini matanya,
mulutnya.! Kau.cucuku..!!
‘Kong-kong.!!
Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia
menceritakan kedaan orang tuanya dan betapa semnejak kecil ia telah hidup
seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu. Mendengar penuturan
itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling
Emas, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan.
‘Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak
kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!!
Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan
aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut pula.
‘Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni.!
Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang
tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati mereka. Kemudian kwee seng
menjura ke arah Liu Hwee dan berkata,
‘Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku.!
Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan
tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan pura-pura marah,
‘Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang
keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal, kau harus berlutut
tujuh kalu di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!!
Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak
berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak, akan tetapi Liu Mo mencegah
dan kakek ini membentak anaknya,
‘Hwee-ji, jangan main gila!! Semua orang lalu tertawa.
‘Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman
Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi Suling Emas. Saya sudah
menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal
disebut Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya.!
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap
tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas panjang.
‘Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang
tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas.!
Semenjak hari itu, Suling Emas hidup berkumpul dengan
keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya, juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin,
dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu
kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas
menjadi makin matang dan makin sakti.
Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung.
Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan ini, memasuki istana dan
langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab
kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas
kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak tekun membaca kitab sampai
berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu Suling Emas
mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka yang
tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan
keadilan. Nama Suling Emas menjadi makin terkenal di segenap penjuru. Hanya
satu hal yang masih mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan
tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu
akan keadaan ibu kandungnya!
Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar
budiman yang sakti, di dunia kang-ouw muncul nama enam orang manusia iblis yang
sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam
Iblis Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang gembel tua bermata satu
yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou
Sin-ni, seorang wanita cantik jelita berambut panjang yang bukan lain adalah
Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan
yang bukan lain adalah Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar
Roh yang dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan
ke enam adalah Toat-beng Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim
Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.
Sampai di sini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi
pembaca yang sudah membaca cerita Cinta Bernoda Darah tentu teleh berjumpa pula
dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang
menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling
Emas. Apabila masih belum cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat
yang berjudul ‘Mutiara Hitam! di mana pembaca akan dibawa terbang melayang ke
alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunanya,
karena cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah.
Sampai jumpa dalam Mutiara Hitam !
TAMAT