Sementara itu, Lin Lin berlari-lari seperti orang gila,
tidak peduli ke mana kakinya bergerak membawanya, berlari sambil mengulang
kata-kata, ˜Dia bukan kakakku.. dia bukan kakakku..!! Sampai malam gelap tiba,
gadis ini terus berlari meninggalkan Pegunungan Thai-san dan akhirnya tibalah
ia di sebuah hutan di kaki gunung bagian utara. Malam yang gelap tidak
memungkinkan ia melanjutkan larinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput dan
duduk termenung. Tidak menangis lagi, namun beberapa kali ia masih terisak,
sedu-sedan menyelingi napasnya yang terengah-engah karena berjam-jam lari cepat
tadi melelahkannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Suling Emas, penuh dengan
persoalan Suling Emas.
Sambil menyadarkan tubuhnya pada sebatang pohon, Lin Lin
merenung. Ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya. Hal ini jelas
dapat ia tangkap dari pandang mata, dari kata-kata, maupun dari gerak dan
belaiannya kemarin. Ia tahu bahwa Suling Emas memaksa diri menjauhinya, memaksa
diri memutus rasa cinta kasih. Apakah sebabnya? Inilah yang menjadi bahan
pemikirannya. Karena mereka masih bersaudara? Hanya namanya saja saudara! She
Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang aseli. Ia tidak berdarah Kam! Tidak
dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak menghubungkan pertalian darah antara dia
dan Suling Emas. Apakah karena Suling Emas betul-betul merasa telah tua? Ini
pun tidak betul, karena biarpun ada selisih usia antara dia dan Suling Emas,
namun pendekar itu belumlah tua, baru tiga puluh tahun lebih. Lalu, apa
sebabnya dia menolaknya. Karena di sana ada wanita lain! Tapi.. ia yakin bahwa
Suling Emas mencintanya.
Tiba-tiba ia teringat dan meloncat bangun! Mengapa ia
hanya mengingat akan Suling Emas? Sehingga ia lupa akan Kam Bu Song? Ah,
sekarang tahulah dia. Pernah ia mendengar tentang hubungan asmara antara
kakaknya itu, Kam Bu Song pernah bercinta dengan puteri bangsawan adik Suma
Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling Emas! Ah, mengapa ia begini tolol? Teringat
ia sekarang akan perjumpaannya yang pertama kali dengan Suling Emas.
Di dalam gedung perpustakaan di istana kaisar. Perjumpaan
pertama di tempat yang agak gelap itu, di mana serta-merta Suling Emas memeluk
dan menciumnya, kemudian kaget dan minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan
bahwa Suling Emas menyangka dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya,
yang biasa dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya?
Ah, mengapa ia begitu bodoh? Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain, tak
salah lagi, wanita itu tentulah adik Suma Boan!
Berpikir sampai di sini, muka Lin Lin menjadi merah
padam. Alangkah memalukan! Ia mencinta orang yang selama ini dicari-carinya
sebagai kakaknya! Dan ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang dicintanya sama
sekali tidak membalas, karena telah mencinta orang lain. Benar-benar ia telah
merendahkan diri sampai sehina-hinanya. Ia merasa malu sekali.
˜Aku harus pergi jauh. Aku harus kembali ke Khitan. Aku
takkan mau bertemu muka dengan dia lagi, kecuali kalau aku sudah menjadi ratu
di Khitan! Baru aku suka bertemu dengan dia, sebagai ratu bukan sebagai
adiknya, apalagi sebagai.. kekasihnya. Tapi sebelum ke Khitan.. aku harus
melenyapkan wanita itu, wanita yang berani menolak cinta kasih Suling Emas,
wanita yang berani merampas hati Suling Emas, wanita yang menjadi penghalang
kebahagiaannya!! Berpikir demikian, hati panas membuat Lin Lin lupa akan
kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu melanjutkan perjalanan di waktu malam,
keluar masuk hutan.
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kakinya dan kepalanya
dimiringkan. Ia mendengar suara aneh. Lengking tinggi berkali-kali menggema di
malam gelap. Hatinya berdebar. Suara sulingkah itu? Ia ragu-ragu. Ia tidak sudi
bertemu kembali dengan Suling Emas sebelum ia menjadi ratu di Khitan. Akan
tetapi.. sebelum ia pergi jauh, apa salahnya satu kali lagi saja melihat
wajahnya? Keraguan meliputi hati Lin Lin, akibat daripada dua macam perasaan
yang bertentangan. Namun akhirnya kakinya melangkah, seakan-akan di luar
kesadarannya, menuju ke arah suara melengking-lengking, Pedang Besi Kuning sudah
berada di dalam tangannya.
Ketika tiba di tempat itu, Lin Lin tertegun. Di sebuah
tempat terbuka, di bawah sinar bintang-bintang yang remang-remang, ia melihat
pertempuran yang hebat dan ia tersentak kaget. Siang-mou Sin-ni agaknya yang
sedang bertanding, melawan seorang kakek bongkok yang bukan lain adalah It-gan
Kai-ong! Akan tetapi mana mungkin? Bukankah Siang-mou Sin-ni sudah tewas,
terjerumus ke dalam jurang, mati di tangan Suling Emas? Dan suara
melengking-lengking itu keluar dari mulut Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi,
biarpun wanita itu bertanding dengan rambut terurai, rambut itu tidak sepanjang
Siang-mou Sin-ni dan wanita ini bertanding tanpa menggunakan rambutnya seperti
keistimewaan Siang-mou Sin-ni! Apakah wanita baju hijau? Pernah ia melihat
wanita baju hijau itu berurai rambut ketika bersumpah di depan makam ayahnya.
Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak berambut lagi, sudah gundul
seperti seorang nikouw! Siapakah gerangan wanita ini?
Ia mendekati dan melihat betapa wanita itu
gerakan-gerakannya dahsyat dan aneh luar biasa, It-gan Kai-ong merupakan lawan
yang berat, tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan angin keras. Akan tetapi
gerakan kakek itu lamban, dan teringatlah Lin Lin bahwa kakek pengemis mata
satu ini pun sudah terluka parah. Kalau tidak terluka, agaknya wanita itu bukan
lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah kaget dan marahnya ketika ia
mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian Eng!
˜Enci Sian Eng, jangan takut. Kubantu kau menghajar
mampus iblis ini!! setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat ke depan,
didahului sinar kuning emas pedangnya yang sudah menerjang It-gan Kai-ong
dengan ganas. Maklum akan kelihaian lawan, serta-merta Lin Lin mainkan
jurus-jurus yang ia pelajari dari ilmu rahasia dalam tongkat pusaka Beng-kauw.
Hebat gerakannya itu, biarpun belum matang sekali namun karena jurus-jurus itu
adalah jurus sakti yang khusus diciptakan oleh mendiang pendiri Beng-kauw,
Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya bukan main. Begitu pedangnya bergerak, It-gan
Kai-ong berseru, ˜Uhhhhh!! Dan kakek ini terhuyung ke belakang, hampir saja
perutnya termakan ujung pedang.
˜Bagus, Lin-moi adikku! Mari bantu aku bikin mampus
anjing ini!! teriak Sian Eng dengan gembira dan kedua tangannya melakukan
serangan hebat, dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada kakek itu.
Lin Lin tertegun karena melihat betapa kedudukan kaki dan gerakan tangan
encinya itu mirip sedikit dengan ilmu barunya! Hal ini sebenarnya tidak aneh
karena sebuah di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di dalam gua adalah
kitab ilmu silat Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang tentu saja dasarnya
sama dengan ilmu yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong. Karena ini ia menjadi
gembira dan mainkan pedangnya.
Secara aneh sekali, gerakan mereka seimbang dan setelah
mereka menyerang bersama, maka serangan itu merupakan rangkaian yang cocok dan
daya serangannya hebat bukan main. It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah
dalam pertandingannya melawan Suling Emas beberapa hari yang lalu, menjadi
terkejut sekali. Biarpun dua orang gadis itu sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian
yang luar biasa, namun andaikata ia tidak terluka parah, agaknya tidaklah mudah
bagi mereka untuk dapat mengalahkannya. Akan tetapi, apa hendak dikata, ia
terluka hebat dan luka itu belum sembuh, maka sekarang ia menghadapi keroyokan
ini dengan berat. Beberapa kali ia terhuyung dan pada saat ia menangkis Pedang
Besi Kuning dengan tongkat yang ia buat dari dahan pohon, kedua senjata itu
saling tempel tak dapat dipisahkan lagi. Inilah saat yang celaka bagi It-gan
Kai-ong karena pada detik berikutnya, pukulan tangan kanan Sian Eng dengan
hebat menghantam lambungnya.
˜Blukkk..!! It-gan Kai-ong memekik aneh dan mulutnya
menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya terjengkang ke belakang. Pedang Besi Kuning
yang sudah terlepas dari tempelan tongkat, menyambar dan sebuah bacokan membuat
pundak kiri It-gan Kai-ong hampir putus. Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
˜Adikku, pinjamkan pedangmu sebentar!! kata Sian Eng
dengan suara bersorak, kemudian ia menerima Pedang Besi Kuning itu dan.. sambil
tertawa-tawa seperti orang gila Sian Eng lalu menghujani tubuh It-gan Kai-ong
dengan bacokan dan tusukan sehingga dalam sekejap mata saja tubuh kakek itu
hancur tidak karuan macamnya lagi.
˜Sudah, Enci Eng..!! Lin Lin merasa ngeri dan memalingkan
mukanya. Ia merasa ngeri dan heran mengapa encinya meniadi begitu ganas.
˜Cukup! Dia sudah mati..!!
Akan tetapi Sian Eng terus membacok-bacok sambil
tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak merupakan tubuh manusia lagi, melainkan
merupakan daging cacahan yang mengerikan. Tiba-tiba ia berhenti membacok,
melempar pedangnya ke atas tanah lalu.. gadis ini menjatuhkan diri di atas
tanah sambil menangis tersedu-sedu, sedih sekali.
Lin Lin sejenak terkesima. Kemudian ia mengambil pedangnya,
membersihkannya dengan rumput dan menyarungkannya. Setelah itu ia mendekati
Sian Eng, berlutut, merangkulnya dan membujuk.
˜Sudahlah, Enci Eng. Mengapa kau agaknya begitu
membencinya? Mengapa pula kau melarikan diri secara aneh? Ada rahasia apakah
yang terjadi padamu? Ceritakanlah kepada adik..! sampai di sini Lin Lin
teringat dan menyambung, ˜ceritakan kepadaku, apa yang kau susahkan.!
Mendengar ini, Sian Eng menangis makin keras sampai
tubuhnya berguncang-guncang sesenggukan ketika ia membenamkan mukanya pada
rangkulan Lin Lin. Akhirnya tangisnya mereda dan ia dapat bicara, ˜Lin Lin, aku
menangis saking girang hatiku dapat membunuh anjing ini. Dapat membunuh..
gurunya dan sekarang aku akan mencarinya. Sebelum aku dapat membunuhnya, aku
tidak mau berhenti!!
Lin Lin belum dapat mengerti. ˜Membunuh siapa, Enci Eng?!
˜Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini?!
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan
Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi
mengapa agaknya encinya membenci secara luar biasa? ˜Kau maksudkan, Suma Boan?!
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng. ˜Betul! Anjing
biadab itu! Keparat jahanam Suma Boan, kau tunggulah pembalasanku!! Ia
berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari
adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi
di samping kegirangannya mendapat teman encinya pergi ke kota raja, ia pun
merasa heran bukan main.
˜Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia
baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kausebut-sebut
tentang pembalasan. Apakah artinya itu?!
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada saat itu, ia telah
kembali normal. Lin Lin merapikan rambut encinya, mengatur dan menyanggulkannya
kembali.
˜Lin-moi, dia.. dia.. ah, tadinya aku.. aku telah gila.
Aku.. aku mencintanya..!
˜Hemmm..?! Tapi Lin Lin menindas keheranannya, ˜Apa
anehnya dengan itu? Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau
sudah menjatuhkan pilihannya.!
˜Tapi dia menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah.. Lin-moi,
pilihanku keliru..!!
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua
pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan
Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu di mana ia dinodai oleh pemuda
bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin, ia mempertemukan giginya
dengan penuh kegemasan sambil berkata, ˜Bedebah! Dia patut dibasmi! Mari
kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing
itu, setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku pun harus membunuh
adik perempuan Suma Boan.!
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak
heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata
merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, bertanya,
˜Suma Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku
pernah bertemu dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya
baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam
Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.!
˜Justeru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!!
˜Apa? Karena ia mencinta kakak Bu Song?!
˜Karena ia berani mencinta Suling Emas!!
˜Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa
kau marah melihat Suma Ceng mencinta..!
˜Karena aku mencinta Suling Emas!! ucapan Lin Lin ini
terdengar keras.
Sian Eng melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan
kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang,
seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya daripada tidur dan mimpi buruk.
˜Lin-moi..! Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song!!
˜Aku tahu!! jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung. ˜Kau tahu dan kau bilang
mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu..!
˜Bukan! Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang
mengikat persaudaraan kami? Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah
lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah Yalina, Puteri Yalina, Puteri Mahkota
Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain, berlainan darah.
Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas?!
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar
kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah
disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira
bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati
secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada
diri Lin Lin.
˜Hemmm, begitukah? Kau mencinta Suling Emas. Lalu,
mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Dia sudah bersuami orang lain, sudah
mempunyai anak, mengapa diganggu lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap
cintamu?!
Ditanya begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan
menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng
memeluknya, menghiburnya. Kemudian, di antara isak tangisnya, Lin Lin yang
menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak cintanya
dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak dipercayanya karena ia
yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
˜Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak
membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara
denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak
kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau
membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk
merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut
denganku? Aku akan tetap menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita
yang menderita karena asmara ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup
semati.!
Sian Eng terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu
bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu tempat yang amat
menyeramkan karena di situ terdapat onggokan daging tulang dan darah It-gan
Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua
orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap
hidangan yang lezat bagi mereka ini!
Sementara itu, terjadi perubahan besar di Kota Raja
Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu, Kaisar Kerajaan Sung pertama, telah
menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya sendiri yang berjuluk Kaisar Sung
Thai Cung juga melanjutkan politik pemerintahan kakaknya, namun dibandingkan
dengan Sung Thai Cu kaisar ke dua ini lebih berhasil kemudian Sung Thai Cung
berani mempergunakan tangan besi terhadap para pejabat tinggi yang melakukan
penyelewengan, tidak mudah dijilat oleh sikap memuji-muji, dan di samping ini,
memperkuat pasukan kerajaan dalam persiapan menggempur kerajaan-kerajaan kecil
yang sampai saat itu belum juga mau tunduk dan belum mengakui kekuasaan
Kerajaan Sung.
Berbeda dengan jaman kerajaan yang sudah-sudah, terutama
di jaman Kerajaan Tang yang sering kali terjadi perebutan kekuasaan dan perang
saudara di kala tahta kerajaan berpindah tangan, pemindahan kekuasaan dan
penggantian kaisar kali ini terjadi dengan aman dan tidak terjadi sesuatu
keributan. Hal ini adalah karena kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cu yang dalam
hal ini melaksanakan anjuran ibunya, yaitu menyerahkan kekuasaan dan mengangkat
adiknya sendiri sebagai penggantinya. Andaikata ia tidak bijaksana dan memaksa
untuk mewariskan tahta kerajaan kepada putera-puteranya yang kurang pengalaman,
pasti hal ini akan menimbulkan kekeruhan, mendatangkan perebutan kekuasaan dan
perang saudara, seperti yang sudah-sudah.
Kaisar yang baru, Sung Thai Cung, adalah seorang yang
luas pandangan dan bijaksana. Namun tindakannya yang pertama, yaitu
membersihkan petugas-petugas negara yang korup dan nyeleweng, sedikit banyak
menimbulkan keributan pula dari para pembesar yang melakukan perlawanan.
Betapapun juga, mereka ini semua dapat ditundukkan dan diseret ke dalam
penjara, bahkan banyak di antaranya yang diberi hukuman mati. Biarpun peristiwa
pembersihan ini melegakan hati rakyat, namun mengubah suasana di kota raja.
Karena terlalu banyak pembesar korup dibunuh, dan juga
karena memang hampir semua petugas tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka
yang melarikan diri sebelum tertangkap, dan mereka yang masih berani tinggal di
kota raja dengan harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak
pernah berani keluar rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang
membuat kota raja menjadi sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama maupun baru,
yang berani berfoya-foya dan berpelesir seperti yang sudah-sudah.
Keadaan di kota raja ini mempengaruhi pula keadaan
kota-kota besar lain, terutama sekali yang berdekatan dengan kota raja, seperti
kota An-sui. Kota ini pun menjadi sepi dan banyak pembesarnya melarikan diri
atau ditangkap.
Gedung besar Pangeran Suma Kong tetap berdiri megah dan
pangeran tua ini tidak mau melarikan diri. Memang ia dahulu terkenal sebagai
seorang pangeran yang korup dan banyak makan uang negara. Akan tetapi sudah
bertahun-tahun ia tidak memegang tugas lagi karena dipecat dan tidak
diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja oleh kaisar pertama. Selain merasa
bahwa dia sekarang sudah ˜bersih!, juga dengan adanya Suma Boan yang amat
terkenal, tentu saja keluarga bangsawan Suma ini tidak merasa takut.
Bahkan Suma Boan mengumpulkan anak buahnya, yaitu para
buaya dan tukang pukul yang memiliki kepandaian, untuk menjaga gedungnya siang
malam. Di luar gedung, di setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri
dan belakang, semua terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran
Suma itu seakan-akan berubah menjadi sebuah benteng.
Setiap hari para penjaga yang bertugas menjaga di
pekarangan depan yang luas dari gedung itu, melewatkan waktu menganggur dengan
latihan-latihan ilmu silat atau olah raga lain yang maksudnya selain untuk
berlatih juga sebagai ˜pamer kekuatan! untuk membangun ketabahan sendiri dan
untuk mengecilkan hati golongan yang hendak memusuhi Pangeran Suma. Di situ
terdapat delapan belas macam senjata dan juga besi-besi dan batu-batu besar
yang mereka angkat dan lempar-lemparkan ke atas untuk mendemonstrasikan tenaga
mereka. Penjagaan yang amat ketat ini dilakukan siang malam sehingga keluarga
itu seakan-akan mempunyai barisan sendiri yang terdiri dari seratus orang lebih
yang melakukan penjagaan secara bergiliran.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa, belasan orang
penjaga di pekarangan depan itu bermain-main di pekarangan, mengangkat besi dan
melempar-lempar batu, ada pula yang bermain silat dengan pelbagai senjata. Di
antara mereka, yang mempunyai bentuk tubuh kuat dan menjadi ahli gwa-kang
(tenaga luar), sengaja membuka baju untuk memamerkan otot-otot yang besar
melingkar-lingkar di tubuh mereka. Kelebatan senjata tajam menyilaukan mata.
Para penjaga yang bertugas di atas rumah juga ikut menonton sambil
bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Munculnya Sian Eng di depan pintu pekarangan itu
sekaligus menghentikan semua kegiatan olah raga. Semua mata mengincar keluar
dan senyum lebar menghias semua mulut para penjaga itu, senyum dan pandang mata
kurang ajar karena memang pemandangan di pagi hari ini menyedapkan mata.
Pakaian Sian Eng yang ringkas membungkus tubuh yang langsing padat, wajah yang
cantik jelita dengan hiasan rambut yang hitam halus disanggul ke atas, gerakan
yang lemah gemulai, semua ini merupakan daya penarik yang mengagumkan hati
semua laki-laki.
Sudah lazim di dunia ini, apabila melihat seorang wanita
cantik, timbul kegembiraan di hati pria. Kalau pria itu hanya sendirian, tentu
tidak berani ia mengumbar kekurang-ajarannya dan akan menyimpan kekagumannya
dalam pandang mata dan senyum. Kalau pria itu memang berwatak bersih, ia hanya
akan menyimpan kekagumannya di dalam hati. Akan tetapi kalau banyak laki-laki
yang memang wataknya kasar sedang berkumpul, tentu akan timbul kekurangajaran
mereka dan mulailah para penjaga ini tertawa-tawa.
˜Aduhhhhh.. cantiknya..!!
˜Wahai.. siapakah begitu bahagia memiliki bidadari ini?!
Demikian bermacam-macam teriakan yang terdengar dari
mulut mereka, bahkan di antara mereka ada yang mulai pula melempar-lempar batu
dan mengangkat-angkat besi berat untuk pamer dan berusaha menarik perhatian
gadis cantik ini. Namun Sian Eng tidak pedulikan itu semua, kakinya langsung
melangkah masuk dengan tenang.
Melihat gadis itu betul-betul memasuki pekarangan,
kegembiraan mereka memuncak dan seorang di antara mereka, komandan jaga, segera
melangkah maju bertanya, suaranya digagah-gagahkan, ˜Nona, kau hendak mencari
siapakah? Siapa diantara kita yang hendak kau jumpai? Heee, teman-teman! Adakah
di antara kalian yang mengenal Nona ini?! kata-kata ini diteriakkan si komandan
jaga dengan nada tidak percaya.
˜Ah, akulah sahabat baiknya!!
˜Heee, jangan mengacau! Dia tentu memilih aku!! teriak
pula seorang penjaga yang bertugas di atas genteng.
˜Pilihlah aku, Nona. Habis bulan semua gajiku akan
kuserahkan padamu seluruhnya!! teriak pula seorang yang tubuhnya tinggi besar.
˜Ha-ha, jangan percaya! Tentu sebagian sudah ia
selundupkan ke tangan isterinya yang pertama!!
Ramailah suara para penjaga, bahkan banyak diantaranya
yang mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak sopan. Akan tetapi Sian Eng tetap
tenang tidak mempedulikan mereka, bahkan tersenyum sedikit, senyum yang
sebenarnya merupakan senyum sedih akan tetapi karena memang ia manis sekali
kalau tersenyum, maka senyum ini mendatangkan teriakan-teriakan baru yang lebih
riuh. Sian Eng menanti sampai hiruk-pikuk itu reda, baru ia berkata.
˜Aku ingin bertemu dengan Suma Boan.!
Semua suara sirap seketika dan semua mata memandang penuh
curiga, penuh selidik. Semua penjaga ini mengenal belaka kongcu mereka dan
mengenal pula wanita-wanita yang mempunyai hubungan dengan putera pangeran itu.
Akan tetapi mereka belum pernah melihat Sian Eng, oleh karena itu mereka
menjadi curiga.
˜Mengapa mencari Suma-kongcu? Apakah kau kenal dia?!
tanya si komandan matanya memandang penuh selidik.
Sian Eng mengangguk, ˜Aku kenal dia, harap suka panggil
dia keluar.!
Seorang penjaga yang bertelanjang dada, yang tubuhnya
tegap dan kuat, melangkah maju. ˜Nona cantik, mengapa mencari Kongcu? Apakah
kita ini tidak cukup hebat? Kau tinggal pilih. Lihatlah aku, hemmm, kalau kau
menjadi kekasihku, kau akan aman. Lihat betapa kuatnya aku!! Ia lalu
membungkuk, kedua lengannya bergerak mengangkat sebuah batu besar. Otot-otot di
tangannya melingkar-lingkar dan menonjol keluar ketika ia melemparkan batu itu
ke atas, disambut dan dilemparkan lagi berkali-kali, seakan-akan seorang anak
kecil bermain-main dengan sebuah bola karet yang ringan. Akhirnya ia membanting
batu seberat seratus kati lebih itu ke atas tanah, ke depan Sian Eng, sambil
mengangkat dada dengan penuh kebanggaan.
Sejak tadi sebetulnya hati Sian Eng sudah panas dan
marah, akan tetapi ditahan-tahannya. Pikirannya sedang normal maka ia dapat
mempergunakan kesabarannya, apalagi memang kedatangannya ini sudah ia
rencanakan bersama Lin Lin. Mereka sudah beberapa malam mengitari gedung akan
tetapi tidak melihat jalan aman untuk memasuki gedung. Demikian ketat penjagaan
di situ dan mereka berdua maklum bahwa menghadapi Suma Boan saja sudah berat,
apalagi kalau dikeroyok banyak penjaga dan siapa tahu di dalam gedung itu
bersembunyi pula orang-orang sakti yang membantu Suma Boan. Akan tetapi
menyaksikan lagak orang-orang ini, Sian Eng hampir tidak kuat menahan kesabaran
hatinya. Ia melangkah maju mendekati tempat itu, kaki kirinya bergerak dan..
batu besar itu terlempar ke arah penjaga bertelanjang dada yang sedang
membusungkan dadanya itu.
˜Uhhhhh..!! Orang itu berseru kaget, terpaksa menerima
batu itu, namun ia tidak kuat menahan dan tubuhnya terlempar ke belakang sampai
beberapa meter. Untung batu itu segera ia lempar ke samping sehingga tidak
menimpa dadanya, namun hantaman tadi cukup membuat ia terengah-engah dan dari
mulutnya keluar darah!
Ributlah para penjaga itu. Makin curiga mereka karena
ternyata bahwa gadis cantik ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi
Sian Eng segera berkata dengan suara ketus. ˜Aku adalah kenalan baik Suma Boan,
apakah kalian masih berani main-main? Tunggu saja kalau Kongcu kalian melihat
kekurangajaran kalian, aku akan minta dia memenggal kepala kalian seorang demi
seorang!!
Kata-kata ini berpengaruh sekali. Mereka segera mundur
dengan muka pucat dan komandan jaga segera mengedipkan mata kepada
kawan-kawannya, kemudian ia sendiri berkata, ˜Maaf, karena kami tidak mengenal
Nona, maka berani bersikap kasar. Harap Nona tunggu sebentar, saya akan
melaporkan kepada Suma-kongcu.!
Sian Eng hanya mengangguk, kemudian ia menghampiri
penjaga yang masih duduk terengah-engah.
˜Kau tidak lekas berlutut?! bentaknya.
Penjaga yang sial ini sudah mendengar juga tadi pengakuan
gadis lihai ini sebagai kenalan baik Suma-kongcu, maka dengan menahan rasa
sakit dan hati penuh rasa takut akan kemarahan majikannya, ia segera berlutut
dan mengangguk-anggukkan kepala minta ampun. Tiba-tiba mereka semua, para
penjaga itu, menjadi ngeri den merasa serem karena gadis cantik itu tertawa
meleking aneh dan terdengar bukan seperti suara ketawa manusia. ˜Pergilah!!
kaki Sian Eng bergerak dan penjaga itu terlempar beberapa meter jauhnya,
bergulingan seperti sebuah bola ditendang. Anehnya, ia merasa dadanya tidak
sesak lagi, maka cepat ia meloncat berdiri, mengangguk dengan hormat dan mengundurkan
diri!
˜Moi-moi..!! Pada saat itu Suma Boan muncul dari pintu
samping. Ketika menerima laporan bahwa seorang gadis cantik yang amat lihai
datang mencarinya, Suma Boan menjadi curiga dan mengintai dengan jalan memutar,
dari pintu samping. Akan tetapi begitu melihat bahwa yang datang adalah Sian
Eng, hatinya berdebar keras. Tentu saja ia menjadi curiga dan menyangka buruk.
Akan tetapi, karena Sian Eng hanya datang seorang diri, timbul ketabahan
hatinya, dan pula memang ia merasa suka kepada gadis cantik yang ia tahu amat
mencintanya ini. Maka dengan hati berdebar dan sikap waspada, pemuda ini lalu
muncul dan memanggil dengan suara penuh kasih sayang, wajah berseri, akan
tetapi sinar matanya penuh selidik menatap wajah yang cantik jelita dan agak pucat
itu.
˜Koko..!! Sian Eng juga berseru dengan suara tertahan,
seakan-akan ia merasa girang dan terharu, mukanya tiba-tiba menjadi merah
seperti orang malu dan jengah. ˜Aku.. aku ingin bicara penting denganmu..!!
Berdebar-debar jantung Suma Boan. Akan tetapi pandang
matanya masih penuh selidik, ingin ia menjenguk isi hati gadis itu. Ia tahu
bahwa Sian Eng mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa gadis itu bisa
mendendam kepadanya dan bisa membenci karena perbuatannya terhadap gadis itu di
dalam perahu.
Tentu saja ia tidak mencinta dengan setulus dan
sejujurnya hati terhadap Sian Eng, melainkan mencintanya karena gadis itu
memang cantik jelita. Bagi seorang laki-laki semacam Suma Boan, ia selalu jatuh
cinta kepada wanita cantik, berapapun banyaknya, cinta yang berdasarkan nafsu
berahi, cinta yang berdasarkan ingin menyenangikan diri sendiri. Di samping
kecantikan Sian Eng, juga gadis ini telah menemukan kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kui yang amat ia inginkan.
Namun Suma Boan adalah seorang laki-laki yang sudah
banyak pengalamannya, pula ia terkenal cerdik, maka ia masih saja menaruh
curiga. Tentu saja ia cukup percaya akan kepandaian sendiri, tahu bahwa Sian
Eng seorang diri saja takkan mampu berbuat buruk terhadapnya, akan tetapi ia
sudah membuktikan keadaan aneh gadis ini yang seakan-akan telah menemukan ilmu
dan memilikinya secara hebat, sungguhpun belum sempurna benar.
˜Koko, aku mau bicara tentang.. kitab..! Seketika wajah
Suma Boan berseri. Keinginannya mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui
amat besar, apalagi pada waktu sekarang setelah keadaan pemerintahan di kota
raja terjadi perubahan dan ia merasa betapa kedudukan keluarga ayahnya
terancam, ia ingin sekali mendapatkan kitab-kitab itu dan mewarisi kepandaian
yang akan membuat ia menjadi seorang jagoan nomor satu yang ditakuti semua
lawan.
˜Moi-moi.., aku girang sekali kau datang. Marilah kita
bicara di dalam..!! Ia melangkah maju, memegang lengan Sian Eng dan
menggandengnya. Sian Eng menurut saja dan berjalanlah mereka bergandengan tangan
menuju ke ruangan dalam, melewati pagar penjaga yang berdiri tegak tanpa
berkedip. Suma Boan yang menggandeng dan merapatkan tubuhnya merasa betapa
jantung di dalam dada gadis itu berdebar-debar keras. Diam-diam ia merasa
bahagia sekali karena mengira bahwa gadis ini terlalu girang bertemu dengannya.
Setelah mereka memasuki ruangan sebelah dalam, Suma Boan
segera menarik gadis itu ke dalam sebuah kamar tamu yang indah, tiba-tiba ia
memeluk Sian Eng dan menciuminya. Sejenak Sian Eng menurut saja, kemudian
perlahan ia merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Suma Boan yang makin
merasa yakin bahwa gadis ini tidak marah atau benci kepadanya.
˜Moi-moi, kekasihku yang tercinta,! bisik Suma Boan,
masih memegangi kedua tangan gadis itu, ˜alangkah rinduku kepadamu! Kau datang
seperti seorang bidadari dari sorga yang turun ke dunia untuk menghibur hatiku.
Moi-moi, aku tidak akan melepaskanmu lagi, jangan kau pergi meninggaikan aku
lagi. Mari kita hidup bahagia di rumahku ini!!
˜Suma-koko, kau sudah mengenal hatiku. Perkara itu belum
waktunya kita bicarakan. Kedatanganku ini membawa urusan yang amat penting.
Lepaskan tanganmu dan mari kita bicara baik-baik.! Sian Eng menarik tangannya.
Suma Boan tersenyum dan sengaja menekan jantungnya yang berdebar saking
girangnya, karena di depan gadis ini ia harus menyembunyikan perasaannya bahwa
ia jauh lebih ˜cinta! pada kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kui
daripada diri gadis ini.
˜Marilah, Adik Sian Eng, kita duduk di sana.! Ia menarik
Sian Eng dan keduanya lalu duduk di atas dipan yang terdapat di kamar itu. Suma
Boan tetap tidak melepaskan gadis itu, duduk di sampingnya sambil memeluknya.
Sian Eng tidak menolak lagi dan ia berkata perlahan.
˜Koko, kau tentu maklum akan perasaan seorang gadis.
Saking kaget dan duka hatiku, ketika di dalam perahu dahulu..! suaranya
tersendat dan kedua pipinya menjadi merah sekali, ˜secara tidak sadar aku
menyerangmu dan kemudian melarikan diri. Baru kemudian aku merasa betapa.. aku
tak dapat hidup terpisah dari padamu, maka.. maka aku datang ke sini..!
Girang sekali hati Suma Boan. Ia mengelus-elus rambut
kepala gadis itu lalu berkata, ˜Aku tahu, Moi-moi. Aku.. aku lupa daratan waktu
itu saking besarnya cintaku kepadamu. Tentang kitab-kitab itu.. eh, bukankah
kau tadi bilang mau bicara tentang kitab?!
Wajah Sian Eng berseri dan ia tersenyum lebar.
˜Kitab-kitab? Ah, belum kuceritakan kepadamu bahwa setelah aku pergi dari
perahu, aku memasuki lagi gua rahasia dan mengambil semua kitab peninggalan Tok-siauw-kui.
Kau tahu kitab-kitab apa yang kudapatkan? Kitab rahasia dari Siauw-lim-pai,
kitab ilmu pedang dari Kun-lun, kitab rahasia tentang ilmu kesaktian Beng-kauw,
ada pula kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu mujijat tentang melawan maut, malah
ada kubaca sepintas lalu judul sebuah kitab yang mengajarkan ilmu menghilang
dan terbang!!
Seperti seorang kelaparan mendengar cerita tentang
makanan-makanan lezat, Suma Boan menelan ludah, akan tetapi sebagai seorang
yang cerdik ia menahan gelora hatinya ini dan cepat memeluk Sian Eng. ˜Ah,
kekasihku yang baik. Sesungguhnya, soal kitab itu bagiku hanya soal kecil. Yang
penting, yang selalu kurindukan, yang selalu kuimpikan, adalah dirimu, Adik
Sayang! Akan tetapi aku khawatir sekali karena kau sudah mendapatkan kitab-kitab
itu, tentu kau menjadi incaran orang-orang dunia kang-ouw. Akan lebih aman
kalau kau tinggal bersamaku di sini, beserta kitab-kitab itu yang boleh kita
pelajari bersama. Kita kelak akan menjadi suami isteri yang paling hebat di
kolong langit! Di manakah sekarang kitab-kitab itu? Mari kita ambil dan bawa ke
sini, Moi-moi.!
Sian Eng tersenyum manis, biarpun hatinya penuh kebencian
ketika pemuda yang ia cinta akan tetapi yang menghancurkan cinta kasihnya
dengan pengkhianatan itu menciuminya mesra. ˜Itulah sebabnya aku datang, Koko.
Kitab-kitab itu kusembunyikan di tempat rahasia. Akan tetapi aku tidak berani
mengambilnya sendiri dan membawanya ke sini. Kau benar, kalau sampai ketahuan
orang kang-ouw, tentu mereka akan berusaha merampasnya. Marilah kau ikut
denganku ke tempat itu, tidak jauh, kita bersama mengambil kitab-kitab itu dan
membawanya ke sini. Akan tetapi.. apakah betul kau akan tetap setia kepadaku?!
Sian Eng pura-pura memandang penuh curiga.
˜Ah, Sian Eng, kekasihku, apakan kau masih tidak percaya
kepadaku?! Tiba-tiba pemuda itu berlutut di depan Sian Eng, merangkul kedua
kakinya! Sejenak sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
Alangkah inginnya ia menggerakkan tangan, sekali pukul ubun-ubun kepala yang
tunduk di depannya itu ia akan dapat membunuh Suma Boan. Akan tetapi ia
teringat akan banyaknya penjaga dan ia tentu akan terkurung dan berada dalam
bahaya.
˜Mari kita pergi sekarang, Koko.!
˜Sekarang? Mengapa tergesa-gesa? Pula, berbahaya sekali
mengambilnya di waktu siang. Lebih baik malam nanti kita pergi, Adikku.!
Karena tahu bahwa kalau ia mendesak, Suma Boan pasti akan
menaruh curiga, gadis itu terpaksa menyetujui.
Pula, memang lebih baik pergi di waktu malam untuk
melaksanakan rencananya yang sudah ia atur dengan Lin Lin ini. Ia harus berani
berkorban, demi maksud hatinya membalas dendam. Hatinya perih dan makin sakit,
akan tetapi Sian Eng rela menjadi permainan Suma Boan sebelum ia mendapat
kesempatan menghancurkan orang yang telah membasmi kebahagiaan hatinya. Ia terpaksa
menuruti kehendak Suma Boan terpaksa ia menyerah dan menahan-nahan kemuakan
hatinya ketika Suma Boan membuktikan ˜cinta kasihnya!, yang sesungguhnya bukan
lain hanya terdorong nafsu semata-mata.
Makin bencilah hati Sian Eng, dan ketika hari terganti
malam Suma Boan menggandeng tangannya keluar dari gedung, hampir Sian Eng tak
kuat menahan kebenciannya. Baru setelah mereka berjalan di dalam gelap, gadis
ini mencucurkan air mata yang cepat-cepat ia usap dengan ujung lengan bajunya.
Suma Boan kini percaya betul kepada Sian Eng. Siang tadi,
gadis ini menyerah ikhlas kepadanya, tanda bahwa gadis ini benar-benar datang
karena cintanya. Penyerahan gadis inilah menjadi bukti baginya bahwa di balik
kedatangan Sian Eng tidak ada rahasia apa-apa. Kalau tadinya ia menaruh curiga
dan menyangka akan adanya jebakan, maka dengan penyerahan diri Sian Eng
kepadanya, maka kecurigaan itu lenyap sama sekali. Kini ia yakin bahwa Sian Eng
benar-benar mencintanya, benar-benar datang hendak menyerahkan diri sambil
membawa kitab-kitab yang berharga. Maka dapat dibayangkan betapa bahagia rasa
hati putera pangeran ini.
Mereka memasuki hutan yang letaknya di sebelah barat kota
An-sui. Hutan yang tidak terlalu luas akan tetapi cukup gelap karena
pohon-pohon besar memenuhi hutan itu.
˜Baik sekali kau tidak mengajak pengawal, Koko. Urusan
ini lebih baik tidak diketahui orang lain.!
˜Memang betul, Moi-moi. Kalau saja kau tidak membuktikan
cinta kasihmu yang besar siang tadi, tentu aku akan mengajak pengawal-pengawal.
Maklumlah, bukan aku kurang percaya kepadamu, akan tetapi perubahan di kota
raja membuat musuh-musuhku mencari kesempatan untuk menghancurkan aku. Di
manakah gua itu, Adikku?!
˜Di sebelah sana, sudah dekat. Mari!! Di dalam gelap itu,
dengan ˜mesra! Sian Eng menggandeng tangan Suma Boan dan diajaknya berlari
menuju ke tengah hutan. Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gua
yang depannya tertutup oleh rumput alang-alang. Sian Eng menarik tangan Suma
Boan, diajak memasuki gua yang gelap itu sambil menyingkap alang-alang yang
tinggi menyembunyikan gua.
˜Mari masuk, kusembunyikan di dalam situ.! Mereka lalu
memasuki gua yang cukup besar itu dengan jalan berindap-indap. Suma Boan mulai
curiga dan bersikap waspada, akan tetapi karena tidak mendengar suara apa-apa,
ia ikut dengan Sian Eng melangkah masuk ke dalam gua. Setelah mereka melangkah
maju sejauh lima meter, mereka bertemu dengan dinding gua.
˜Di mana kitab-kitabnya?! Suma Boan berbisik.
Akan tetapi tiba-tiba Sian Eng merenggutkan tangannya.
Suma Boan kaget. Gua itu gelap, ia melihat bayangan Sian Eng menjauhkan
dirinya.
˜Moi-moi.. di mana kau? Mana kitabnya..?!
Tiba-tiba matanya silau oleh sinar api yang dibuat orang
dari luar dan beberapa detik kemudian, Lin Lin yang membawa obor di tangannya
telah meloncat masuk, obor di tangan kiri, pedang bersinar kuning di tangan
kanan! Juga Sian Eng menyambar sebuah obor, dinyalakannya dan menaruh obor itu
di sudut gua. Keadaan menjadi terang menyeramkan.
Suma Boan berdiri terbelalak. Matanya mencari-cari dan
ternyata gua itu kosong sama sekali. Luasnya lima meter persegi. Di depannya
kini berdiri dua orang gadis berdampingan dan menutup jalan keluar. Lin Lin
dengan pedang bersinar kuning di tangannya. Sian Eng dengan kedua tangan
terbuka, jari tangannya menegang, matanya terbelalak penuh kebencian. Diam-diam
Suma Boan merasa ngeri juga, akan tetapi karena ia seorang laki-laki yang tabah
dan berilmu tinggi, ia dapat menekan perasaannya dan pura-pura tidak dapat
menduga kehendak mereka.
˜Moi-moi.. adikku Sian Eng yang manis, mengapa tiba-tiba
adikmu ini muncul? Dan manakah kitab-kitab yang kau janjikan?!
˜Suma Boan manusia iblis! Kematian sudah di depan mata,
masih pura-pura tidak tahu akan dosa-dosamu?! bentak Sian Eng dengan suara
gemetar saking menahan kemarahan yang meluap-luap, kemarahan dan kebencian yang
selama ini memenuhi dadanya, yang selalu ditahan-tahan dan ditutupi sikap kasih
sayang untuk dapat memancing dan menipu Suma Boan.
˜Apa..? Eng-moi.. apakah maksudmu? Bukankah kau juga
mencintaku seperti aku mencintamu? Bukankah tadi.. kau menyerahkan diri
sepenuhnya dengan rela dan suka kepadaku?!
˜Tutup mulutmu yang kotor!! bentak Sian Eng sambil
melangkah maju penuh ancaman. ˜Ooooohhh, betapa bencinya aku! Makin benci
mendengar kata-katamu. Suma Boan manusia berhati binatang, perbuatanmu yang
biadab terhadap diriku di dalam perahu telah menodai cinta kasihku, telah
merobek-robek hatiku, telah mengubah cintaku menjadi benci yang
sebesar-besarnya. Aku ingin mengganyang jantungmu, ingin kuhirup darahmu
kukeluarkan isi perutmu!!
Suma Boan kaget bukan main, merasa ngeri dan gentar.
Mulai menyesallah hatinya mengapa ia terburu-buru menodai gadis ini yang
ternyata tadinya benar-benar mencintanya. Akan tetapi semua itu telah terlanjur
dan melihat bahwa yang menentangnya hanya dua orang gadis ini, tentu ia segera
dapat mengusir rasa jerihnya. Ia tersenyum mengejek dan berkata.
˜Hemmm, Sian Eng. Dengan kepandaianmu dan dibantu adikmu,
apa kaukira akan mudah saja mengalahkan aku? Kau tahu, tingkat ilmu
kepandaianku jauh melebihimu. Juga jauh melebihi kepandaian adikmu. Insyaflah
akan hal ini dan kalian ini nona-nona manis, sayang sekali kalau sampai tewas
di tanganku. Lebih baik kalian hayo ikut denganku, hidup penuh kesenangan di
istanaku sambil memperdalam ilmu silat..!
˜Laki-laki ceriwis..!! Lin Lin membentak dan pedangnya
berubah menjadi sinar kuning, menyambar ke arah leher Suma Boan. Pemuda ini
terkejut. Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian cepatnya maka ia segera
mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil mendorong dengan tangannya ke
arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu lewat di atas kepalanya. Namun
Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang baru, yaitu Cap-sha Sin-kun,
segera dapat merubah letak pedangnya yang kini membalik ke bawah, menyambar
dengan gerakan pergelangan tangan sehingga tangan Suma Boan yang tadinya hendak
mencengkeram siku, kini berbalik disambar mata pedang!
˜Aaaiiihhh!! Suma Boan yang sudah menarik lengannya itu
kini menjerit sambil melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang karena
kembali sinar pedang Lin Lin yang tadi dapat dielakkannya itu sudah berubah
menjadi segulungan sinar kuning yang berpusing di sekitar dada dan lehernya!
Hanya dengan cara berjungkir balik seperti tadi maka ia selamat.
˜Bersiaplah menerima hukuman!! bentak Sian Eng dan
kembali Suma Boan terkejut sekali karena tiba-tiba angin menyambar berputaran
dari arah Sian Eng ketika gadis itu menerjangnya dengan pukulan yang
gerakan-gerakannya aneh sekali. Suma Boan baru saja terbebas dari ancaman maut
pedang Lin Lin, kini ia cepat menggerakkan tubuhnya miring ke kiri sambil
mengibaskan tangannya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya untuk menangkis.
˜Wuuuttt! Wuuuttttt!! Angin pukulan kedua pihak yang
disertai tenaga sin-kang itu saling sambar dan baiknya Suma Boan adalah seorang
jagoan yang terlatih maka biarpun ia merasa tergetar oleh hawa pukulan mujijat
dari Sian Eng, namun tidak membuatnya roboh dan tangkisannya tadi berhasil.
˜Singgg..!! Kembali sinar kuning pedang Lin Lin
menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang tidak kalah mengerikan daripada
sambaran pedang. Kedua orang gadis itu menerjangnya susul-menyusul dan
bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa dan gerakan yang amat aneh.
˜Kalian hendak mengadu nyawa? Boleh!! Akhirnya Suma Boan
memekik marah karena ia tidak melihat jalan keluar lagi. Betapapun juga, dalam
hal ilmu silat, ia lebih banyak pengalaman kalau dibandingkan dengan dua orang
gadis ini. Maka cepat ia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya yang ia dapat dari beberapa orang guru pandai, di antaranya
terutama sekali It-gan Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini menjagoi
daerah An-sui, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti orang dan
pengaruhnya besar sekali. Saking lihainya, ia sampai mendapat julukan
Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena pukulan tangannya selalu ampuh dan
sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa lawan ke akherat. Entah berapa
banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh pukulannya. Ketenaran namanya dan
kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma Boan menjadi manusia sombong,
memandang rendah orang lain, dan ke manapun ia pergi, ia tidak pernah membawa
senjata karena ia menganggap bahwa kedua pukulannya sudah cukup untuk
mengalahkan musuh yang bagaimanapun juga.
Di antara banyak macam kepandaiannya menggunakan tangan
kosong, yang paling hebat adalah ilmu pukulan yang ia pelajari dari It-gan
Kai-ong yaitu yang disebut Ho-tok-ciang (Tangan Racun Api). Pukulan ini kalau
dipergunakan, hebatnya bukan kepalang karena dapat membuat badan lawan yang
terpukul menjadi hangus! Jarang sekali Suma Boan menggunakan ilmu pukulan ini,
karena sungguhpun hebat akibatnya kalau mengenai tubuh lawan, juga merugikan
diri sendiri karena pengerahan sin-kang di tubuhnya yang dibarengi dengan
penggunaan racun yang panas seperti api, dapat merangsang dirinya sendiri
sehingga dapat mendatangkan luka pada kedua lengannya.
Menghadapi pengeroyokan Lin Lin dan Sian Eng yang
mempunyai gerakan-gerakan aneh mujijat itu, mula-mula Suma Boan menggunakan
semua ilmu silat yang ada untuk melawan. Namun baru dua puluh jurus lewat saja
ujung pedang Lin Lin sudah menggurat pahanya dan pukulan Sian Eng yang
ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga membuatnya terhuyung-huyung.
Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam bahaya.
Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin Lin dan Sian Eng setahun yang lalu,
jauh selisihnya. Dua orang gadis ini mainkan ilmu silat yang amat aneh, ganas
dan selain itu, tenaga mereka secara ajaib telah menjadi berpuluh kali lebih
kuat daripada dahulu.
˜Hiaaattt!! Ketika Sian Eng menerjang lagi, Suma Boan
memekik dan meloncat ke kanan sampai mepet dinding gua. Secepat kilat pemuda
ini mengeluarkan racun dari sakunya dan digosok-gosokkan kedua telapak
tangannya dengan racun bubuk itu sehingga bubuk itu hancur memasuki telapak
tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya, telapak tangan itu kelihatan
menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti arang dibakar. Hawa panas segera
memenuhi gua.
˜Awas tangannya, Enci!! Lin Lin berseru dengan kaget.
Akan tetapi gadis ini tidaklah menjadi gentar sungguhpun lawan menggunakan ilmu
yang begitu aneh. Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng celaka oleh tangan api
itu, Lin Lin sudah menerjang maju lebih dulu, memutar pedangnya dan sekaligus
ia menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat), sebuah
di antara tiga belas jurus ilmu saktinya.
Sian Eng juga mengeluarkan suara melengking tinggi,
tubuhnya mencelat ke atas dan dari atas ia menyambar turun dengan kedua tangan
terbuka jari-jarinya seperti hendak mencengkeram kepala lawannya.
Di antara kedua orang pengeroyoknya, Sian Englah yang
amat dibuat ngeri oleh Suma Boan. Ia maklum bahwa gadis ini menaruh kebencian
besar kepadanya, menaruh dendam yang hanya dapat diredakan oleh darah dan
nyawa. Oleh karena itu, begitu melihat datangnya serangan mereka yang demikian
dahsyatnya, Suma Boan segera mendahului menggempur Sian Eng yang menyambar
turun dari atas dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung tenaga
Ho-tok-ciang. Melihat ini, Sian Eng nekat. Ia segera mengerahkan tenaga menurut
ajaran kitab-kitab yang ia temukan di gua rahasia bawah tanah, lalu memekik
tinggi. Belum juga kedua pasang tangan itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke
tulang sumsum. Sian Eng merasa betapa hawa panas memasuki kedua lengannya,
sebaliknya Suma Boan kaget sekali karena serasa kedua lengannya dingin dengan
mendadak.
Tiba-tiba mata Suma Boan menjadi silau oleh cahaya
kuning. Ia menjerit dan cepat mempergunakan tangan kiri untuk mencengkeram
pedang Lin Lin yang menyambar. Kalau tangannya sudah dimasuki tenaga
Ho-tok-ciang macam itu, ia tidak takut untuk menangkis atau mencengkeram
senjata tajam.
Gerakan inilah yang mencelakakan Suma Boan. Andaikata ia
menggunakan seluruh tenaganya menyambut Sian Eng, tentu gadis itu akan kalah
kuat dan celaka oleh hebatnya hawa pukulan Ho-tok-ciang. Atau andaikata ia
menggunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambut
pedang Lin Lin, tentu pedang itu akan terampas dan Lin Lin akan menemui bahaya
maut. Akan tetapi setelah Suma Boan membagi perhatian dan tenaga, juga membagi
kedua tangannya, kini berbalik ia yang kalah kuat.
Terdengar jerit mengerikan ketika mereka bertiga itu
dalam detik yang sama saling berbenturan. Siang Eng terhuyung mundur, juga Lin
Lin terhuyung mundur, akan tetapi Suma Boan terlempar ke belakang, dan hanya
dapat berdiri sambil bersandar dinding gua. Tangan kanannya lumpuh, tangan
kirinya luka berdarah dan hilang dua buah jarinya. Sejenak ia tertegun, akan
tetapi tiba-tiba rasa sakit dari kedua tangannya tak tertahankan lagi. Tangan
kanannya yang kalah kuat ketika bertemu dengan kedua tangan Sian Eng, membuat
tenaga beracun Ho-tok-ciang membalik dan kini rasa panas berselubung rasa
dingin akibat hawa pukulan Sian Eng memasuki dan menjalar perlahan-lahan dalam
lengannya. Bukan main nyerinya, sampai seperti menusuk-nusuk jantung. Adapun
tangan kirinya yang termakan Pedang Besi Kuning, juga terasa perih dan gatal.
Pedang Besi Kuning adalah pedang pusaka yang tidak beracun, akan tetapi
mengandung khasiat anti racun. Karena lengan kiri Suma Boan tadinya penuh hawa
beracun, begitu termakan oleh pedang ini, maka hawa yang anti racun itu
memerangi racun di tangan itu, maka mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.
˜Aduh.. aduh.. mati aku.. aduh tanganku..!! Suma Boan
tidak kuat menahan. Tubuhnya terguling, ia merintih-rintih lalu bergulingan ke
sana ke mari seperti cacing kepanasan, mengaduh-aduh dan minta-minta ampun.
Pakaiannya robek semua ketika ia bergulingan, mukanya menjadi kotor dan matanya
mendelik mulutnya berbusa.
˜Lin-moi, pinjam pedangmu!!
Lin Lin yang pernah menyaksikan kekejaman hati Sian Eng
ketika mereka membunuh It-gan Kai-ong, merasa ngeri dan ragu-ragu untuk
memberikan pedangnya. Akan tetapi mendadak tangan kiri Sian Eng mencengkeram ke
arah mukanya dengan ganas. Lin Lin terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi
pada detik selanjutnya Pedang Besi Kuning sudah terampas dari tangannya.
Terpaksa ia hanya dapat berdiri memandang dengan hati ngeri.
˜Eng-moi.. jangan.. ampunkan aku!!
˜Ampun? Hi-hi-hik, ampun kau bilang?! Pedang itu
berkelebat dan ˜crok! crok!! dua kali pedang menyambar putuslah kedua lengan
Suma Boan sebatas pundak!
˜Aduhhh..!! Suma Boan menjerit dan bergulingan. Darah
bercucuran keluar dari kedua pundaknya yang buntung. Celaka baginya, pemuda
bangsawan ini telah melatih diri sedemikian rupa sehingga daya tahan tubuhnya
amat kuat. Lain orang tentu sudah roboh pingsan dan takkan merasakan sakit
lagi. Akan tetapi dia tidak pingsan dan dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan yang ia rasakan.
˜Hi-hi-hik! Kau jadi buntung! Hayo coba kulihat apakah
kau masih mampu berbuat keji kepada wanita!! Kembali Sian Eng sambil
tertawa-tawa menyeramkan menggerakkan pedangnya membacok Suma Boan yang
ketakutan itu mukanya pucat penuh peluh. Ia masih mampu menggulingkan ke sana
ke mari untuk membebaskan diri daripada bacokan pedang. Namun pedang itu
membayanginya terus dan akhirnya ˜crok! crok!! disusul jeritan panjang dari
mulut Suma Boan.
˜Aduh.. ampun.. ampun..!! Biarpun kedua kakinya sudah
terbacok putus sebatas paha, tubuh Suma Boan masih mampu bergerak-gerak dan
sepasang matanya melotot seakan-akan hendak meloncat keluar dari dalam rongga
matanya.
˜Hi-hi-hi-hik! Kau begitu ingin menjadi jago nomor satu
di dunia dan untuk itu kau rela menipuku? Nah, setelah kaki tanganmu buntung,
apa kau masih ingin menjadi jagoan?!
˜Eng.. moi.., ampun..! Suma Boan masih dapat mengeluarkan
kata-kata dengan suara serak. Akan tetapi agaknya sebutan terhadap dirinya ini
menambah keganasan Sian Eng karena kembali pedangnya menyambar dan terbukalah
perutnya. Tangan kiri Sian Eng menyusul, cepat membetot keluar jantung yang
basah oleh darah sehingga tangan kirinya berlepotan darah. Tubuh Suma Boan
berkelojotan sebentar lalu diam terkulai. Sian Eng tertawa-tawa lagi sambil
menjilati darah di tangannya kemudian ia makan jantung itu. ˜Hi-hik, kuminum
darahmu, kuganyang jantungmu..!!
˜Enci Sian Eng..!! Lin Lin menjerit penuh kengerian
sambil melompat mendekati, tangannya merampas pedang. ˜Enci Eng, apakah kau
telah menjadi gila? Kau kejam dan liar!!
Jantung itu sudah memasuki perut Sian Eng. Kini ia
menunduk, memandang tubuh Suma Boan yang sudah tidak karuan macamnya, kaki
tangan buntung, perut robek dan isinya berceceran keluar. Tiba-tiba Sian Eng
menubruk dan menangis sambil memeluk Suma Boan.
˜Suma-koko.. kenapa kau menyia-nyiakan cintaku..?! Ia
menangis menggerung-gerung, membuat Lin Lin berdiri tertegun dengan bulu roma
berdiri. Hatinya tidak karuan rasanya. Jelas bahwa encinya ini tidak beres lagi
otaknya.
˜Enci Sian Eng, ingatlah! Dia memang jahat, akan tetapi
kita sudah berhasil membunuhnya. Mari kita pergi dari sini!!
Tiba-tiba Sian Erg mengangkat mukanya yang basah air
mata, lalu membentak, ˜Pergi dari sini? Tak tahukah kau bahwa aku tak dapat
meninggalkan kekasihku? Dialah satu-satunya pria yang kucinta. Kau pergilah,
jangan ganggu kami!!
Lin Lin menggeleng kepalanya. Watak encinya suaah amat
berubah dan kalau ia menggunakan kekerasan tentu encinya akan mengamuk. Ia
ngeri memikirkan akibatnya kalau mereka berdua sampai bentrok. Biarpun ia
menguasai ilmu silat tinggi, namun encinya juga mewarisi ilmu yang biarpun sama
halnya dengan dia sendiri, belum masak latihannya, namun harus ia akui bahwa
encinya memiliki ilmu yang aneh mujijat. Pertempuran antara mereka akan hebat
sekali akibatnya. Maka dengan perasaan ngeri, apa boleh buat ia meninggalkan
tempat itu, cepat lari menuju ke kota raja. Biarlah, kalau encinya sudah kumat
penyakit gilanya, ia akan pergi sendiri mencari Suma Ceng, wanita yang menjadi
kekasih Suling Emas, yang menghalangi pertalian kasih antara dia dan Suling
Emas.
Karena Lin Lin melakukan perjalanan cepat sekali maka
pada keesokan harinya pada senja hari ia telah tiba di kota raja. Sungguh pun
kini kaisar yang memegang tampuk kerajaan sudah diganti, namun keadaan di kota
raja tampaknya biasa saja, tidak ada perubahan. Bahkan Lin Lin melihat bahwa di
dalam kota tidak tampak berkeliaran anggauta-anggauta pasukan seperti keadaan
dulu. Hal ini memang satu-satunya perubahan yang diadakan oleh kaisar yang
baru, yaitu Sung Thai Cung. Setelah kalsar baru ini menggantikan kedudukan
kakaknya, ia memperkuat keadaan pasukannya dan memperkuat penjagaan tapal batas
atau wilayah Kerajaan Sung, mengerahkan seluruh balatentara yang ada untuk
menjaga di perbatasan dan mencegah gangguan dari kerajaan tetangga.
Malam hari itu, dengan menggunakan ilmunya, Lin Lin
berkelebat di atas genteng rumah gedung besar Pangeran Kiang, suami Suma Ceng.
Mudah saja bagi Lin Lin mendapatkan rumah Pangeran Kiang karena ketika ia
bertanya tentang rumah ipar dari Suma Boan, tidak ada orang di kota raja yang
tidak tahu. Seperti juga dahulu, rumah gedung ini masih indah dan mewah. Akan
tetapi keadaannya sunyi, padahal waktu itu malam baru saja tiba dan bulan
hampir penuh menghias angkasa menciptakan malam indah. Tiba-tiba Lin Lin yang
berada di atas genteng rumah itu mendengar suara anak-anak yang bermain-main
sambil tertawa-tawa. Cepat ia melompat ke arah belakang dan ternyata dalam
sebuah taman tampak tiga orang anak sedang bermain-main, diasuh oleh dua orang
pelayan. Adapun di dekat kolam ikan duduk seorang wanita cantik yang termenung
memandang bayangan bulan di dalam air. Hanya kadang-kadang saja wanita ini
menoleh ke arah anak-anak yang bermain-main dengan gembira, akan tetapi segera
ia tenggelam pula dalam lamunannya.
Dari atas genteng, Lin Lin memperhatikan wanita itu.
Lampu taman yang diselubungi kertas berwarna-warni menjatuhkan cahayanya pada
wajah yang ayu dan tubuh yang bentuknya ramping, gerak gerik yang halus. Makin
panas hati Lin Lin. Kalau benar inilah wanita yang bernama Suma Ceng pantas
kalau Suling Emas jatuh cinta. Wanita ini cantik dan memiliki sikap agung
seperti biasa dimiliki puteri bangsawan. Tentu saja Suling Emas memilih wanita
ini daripada dia. Dia seorang gadis kang-ouw yang kasar dan liar! Makin
dipandang, makin panas hati Lin Lin dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang turun
dan langsung ia lari ke depan wanita itu.
Wanita itu memang betul Suma Ceng adanya. Semenjak
peristiwa dengan Suling Emas yang menyerang suaminya dan ia membela suaminya
mati-matian, sering kali wanita ini duduk melamun. Kadang-kadang ia menyesali
perbuatannya karena sesungguhnya, harus ia akui di dalam hati bahwa cintanya
terhadap pendekar itu tak pernah lenyap, tak pernah luntur dari hatinya, maka
perlawanannya terhadap Suling Emas untuk membela suaminya itu tentu saja
menghancurkan hatinya.
Ia maklum bahwa perbuatannya itu tentu merupakan tusukan
yang menyakitkan hati terhadap bekas kekasihnya. Akan tetapi, pikiran ini
segera ia usir dengan kesadaran bahwa sesungguhnya hal itu merupakan jalan
terbaik baiknya. Lebih baik membiarkan Suling Emas pergi dan membencinya, tidak
akan kembali lagi selamanya agar pendekar itu dapat melupakannya, tidak
tersiksa lagi hatinya. Juga dia sendiri dapat menjaga nama baik sebagai seorang
isteri yang setia kepada suaminya. Dan yang jelas, semenjak peristiwa itu terjadi,
suaminya, Pangeran Kiang, bersikap manis dan baik kepadanya.