‘Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku
ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau
jemput aku. Bagaimana?!
Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia
memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia
menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata,
‘Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat
daripada batu karang ini?!
Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara
keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
‘Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat.
Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan
menjemput, tidak ikut mendarat di sana.!
‘Jangan kuatir, asal perahumu sudah dekat dengan
daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat dan kau boleh tinggalkan aku untuk
dijemput senja nanti.!
Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian,
setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa
Bu Song dan Si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia
sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya
menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di
pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang Si Nelayan
menceritakan hal yang aneh-enah dan seram! Kalau memang pulau itu sedemikian
hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu
Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya
untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan Si Nelayan dan pesan
mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat
laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. kiranya yang membuat
pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar
yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak
kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh Si Nelayan
menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat.
‘Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput
aku di tempat ini!!
Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat
memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini, Bu Song tersenyum
ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau Nelayan itu agaknya
menjadi korban kepercayaan tahyul maka ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya
sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya
yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu
karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari
atas tentang keadaan pulau itu. Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke
bawah.
Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak
pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah
pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih.
Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada
tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun?
Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia
tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum
senja.
Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari
batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan
sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar
itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga
ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya
berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji karena
buktinya tanpa tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia! Ia memandang
ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah
kananya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia
kaget sekali. Tadi ia diserang lagi dan kini bahkan serangan itu datang dari
tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti
tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat
bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya.
Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.
‘Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang
dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa juga.!
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda
putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua
jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi
hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata
rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua
jarinya akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas
dan sekali remas kepala ular itu hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah
sedikit, Bu Song tidak kuatir.
Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak
mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia
berhasil mendorong keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang
keluar dari luka, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang
mengucur keluar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak
berarti, dan ia diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap
ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil ‘terbang! atau lebih tepat,
meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan
dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song
mengapa Si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun
menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan
hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan
dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan
langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah
lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri
seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu
benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari
pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam. Girang
sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak
ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya!
Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. kini ia tiba di daerah penuh
pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu
bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap
dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan
memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini
untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke
depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan
main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap
terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi.
Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah
berpasir ini banyak sekali berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah
hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan
dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat
bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati
girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang
dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani
masuk dan hanya berdiri di depan gua, menanti sampai suara suling itu habis
dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
‘Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?! Hening, tiada
jawaban sampai lama.
‘Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan
Liong!!
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh
ejekan,
‘Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini?
Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja.
Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?!
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu
menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong?
‘Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama
saya Liu Bu Song!! teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia
masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya
dan menikah lagi.
‘Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?!
Agaknya orang di dalam gua yang gelap itu dapat
melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah
seorang pemuda.
‘Sama sekali bukan, Paman.!
‘Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?!
‘Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia
menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di
pulau ini.!
‘Aaahhh...!!
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama
lalu berkata,
‘Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam
kitab itu!!
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan
Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat
dalam sajak ke tiga.
‘Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu.!
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang
amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah
sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang
tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah
kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di
sebelah dalam gua berseru girang,
‘Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini
tentu memiliki kepandaian, siapakah Gurumu?!
‘Suhu bernama Kim-mo Taisu.!
‘Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau
masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus
bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah
kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan
tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!!
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam gua sudah
memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan
mata serta telinganya siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya
mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua
itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan
ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa!
Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang
seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih
yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja
binatang itu, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan
kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat
binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan
terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan
kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
‘Desss!!!
Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara
keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung. Lega hati
Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan.
Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului
menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi
pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara
keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau,
bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua.
‘Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan
kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor
binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!!
Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian
muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap. Ketika tiba di tempat yang
diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua
tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak
sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan
sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi.
Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang
berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning.
Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh
ketegangan.Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas
melihat Bu Song.
‘Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara
meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab.
Hayo cepat, jangan samapi ia keburu datang!!
Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam
gua.
‘Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?!
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya
yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
‘Kau mengenal dia?!
‘Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman.
Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang
sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu.!
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang
selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang.
‘Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa
Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri?
Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua
kepadaku!!
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari
gua. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan
suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah
musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar
percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan
rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa
selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon
isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki
gemas,
‘Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh
daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan
Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?!
‘Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur
jenazahnya.!
Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong
yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan
sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya.
‘Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan
dikutuk!!
‘Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku
akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu
mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara suling ini harus
ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan
bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami
yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang
mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa
dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan
yang luar biasa. Keindahan seni sastera diselaraskan dengan seni suara. Menurut
Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan
seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin
menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu
dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu,
aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia
persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru
mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kaubacakan sajak yang mana saja,
biar kutimpali dengan suling ini!!
Bu Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya
mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh
perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu
Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan
tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok
dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu.
‘Ngieeehhh... ngieeehhh!!
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena
ini, Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di
depan gua tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua
orang laki-laki aneh sekali karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap
ke belakang dan laki-laki yang dibelakang memegang ekor kuda sambil
mengeluarkan suara ‘ngieeeeh-ngieeeeh! tadi. Dua orang laki-laki ini
benar-benar luar biasa sekali.
Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka
terbungkus kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana
sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda
tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar
dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.
‘Kiu-ji dan Ciu-ji! Berani kalian mengganggu aku selagi
meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!!
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut
lalu menggerak-gerakkan seekor kuda agar kudanya berlari cepat.
‘Tidak... tidak... tidak...!! Mereka berkata ketakutan.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat
Bu Song menahan keinginan hatinya.
‘Paman, siapakah mereka tadi?!
‘Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa
Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka
tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi
ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya
kepada dua orang gila macam itu.!
‘Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?! Bu Song
bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
‘Tentu saja tinggal di sini! dengarlah. Couw Pa Ong
adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia
kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu
menjabat kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal di
sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas
suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan
tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular
kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk
menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan
tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu
mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu
menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh
binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani
memasuki gua hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap
hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap
adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling.
Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo
kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?!
‘Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat,
tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti.!
‘Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling...!
‘Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat
petunjuk Suhu...!
‘Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau
meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi
dan sifat huruf yang kubaca!!
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas
dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak
terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan
suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung
getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab,
ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika
meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang
ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun
dan merayu-rayu.
‘ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada
apa-apa!!
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali
Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah
habis, terdengar Ciu Bun berseru,
‘Ya Tuhan....!!!
Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun.
Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi
mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu
amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila,
kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak.
‘Dapat sudah sekarang... ya dapat sudah...! Bu Song
tidak mengerti, lalu bertanya hormat,
‘Paman, apakah yang Paman maksudkan?
‘Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?!
Tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.
‘Sudah, Paman.!
‘Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau
bawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi
kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song.!
Bu Song mendekati.
‘Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah
Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?!
‘Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah,
kau pergi cepat jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini.!
‘Tapi, Paman...!
‘Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda.
Pergilah!!
Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song
tidak berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang
bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan
pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar
suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir,
suara itu seperti berteriak girang.
‘Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!!
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang,
ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di
pinggir mulutnya lalu berseru sambil men gerahkan khikang di dadanya,
‘Kak nelayan...! Kemarilah...!!!
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu
bersama Si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam
jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi Si Nelayan
memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua
tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat
menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau
itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu
membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu!!
Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar
dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
‘Cepat jalankan perahu ke tengah!! Bu Song masih sempat
berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua
batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong
sambil mengerahkan sin-kangnya.
‘Byurrr...!!
Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh
ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song
melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu,
dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga
perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya
dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan
cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu
meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
‘Kongcu.... Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau
ibliskah.....?!
Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan
agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu
memang besar kemungkinan mereka akan tewas, mengingat betapa selain di pulau
itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo
Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
‘Agaknya mereka itu iblis pulau. Aka tetapi untung kita
dapat melarikan diri!! jawab Bu Song.
Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia
mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke
daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang
dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara
kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu
mengharapkan hik matnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya
karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong
perak kepada nelayan itu yang menjadi girang sekali karena hari itu ia
benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan
melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhunya dan menceritakan
semua pengalamannya di Pulau Pek-coa-to.
Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara
tentang perubahan besar di kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar
yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru,
yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati,
tidak akan menghukum siapapun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena
berita inilah maka di kota-kota kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar
melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut. Pada
waktu itu, Bu Song berusia dua puluh tiga tahun.
Maklum bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di
kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya Kita
tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari
kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora
cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai
ayahnya itu.
Melihat betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga,
Pangeran Suma Kong marah bukan main.
‘Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya
ke dalam lumpur kehinaan!!
Ia memaki setelah menerima laporan puteranya.
‘Lebih baik mati daripada dibiarkan hidup! Boan-ji,
enyahkan saja dia dari muka bumi!!
Suma Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah
melihat adiknya melakukan perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi
betapapun juga Suma Boan menyayang adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain
kecuali Suma Ceng. Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa
dan menyesal sekali mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
‘Ayah, harap ampunkan Ceng-moi. Betapapun juga, yang
salah besar dan jahat adalah Bu Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu
saja mudah di bujuk dan dipikat. Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka
sebaiknya kita mencari jalan keluar.!
‘Jalan keluar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum
racun agar habis riwayatnya dan tidak mengotori nama keluarga kita!! bentak
Pangeran Suma Kong marah.
‘Bukan begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan
keluar yang baik dan terhormat. Betapapun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana
aku tega kepadanya? Ayah, sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan
pernah dalam keadaan mabok ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat
atur agar Ceng-moi segera dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun
belajar silat kepadaku, dan dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku.!
Berseri sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh.
Pangeran Kiang yang dimaksudkan puteranya itu memang betul bukan seorang yang
cukup ‘berharga! untuk menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada
ayah lagi, hanya mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya.
Akan tetapi betapapun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
‘Sesukamulah. Akan tetapi atur supaya cepat-cepat
menikah, dalam bulan ini juga. Siapa tahu...! Suma Kong mengigit bibir dan
menggeleng-geleng kepalanya.
‘Aku mengerti, Ayah.!
Demikianlah, dengan perataraan Suma Boan, urusan
perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah seorang pangeran muda yang
tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang, menjadi
sahabat, murid, juga ‘antek! Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan Suma Boan,
serta merta ia menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin, pamannya
yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin yang terkenal, adalah seorang
pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana dan
tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekadarnya.
Kalau disatu pihak Pangeran Kiang Ti girang bukan main
atas usul Suma Boan, karena dia sendiri sampai mati pun tidak berani lancang
melamar puteri Pangeran Suma Kong yang kaya raya itu, adalah di lain pihak Suma
Ceng mendengarkan berita yang disampaikan kakaknya itu, dengan banjir air mata.
‘Koko... ah, mengapa begini...?! ratap tangisnya.
‘Dimana...Bu Song...? Kau apakan dia...?!
Suma Boan marah sekali kepada adiknya, akan tetapi kasih
sayangnya sebagai seorang kakak membuatnya kasihan juga. ia mendongkol bahwa
dalam keadaan seperti itu adiknya masih saja memikirkan Bu Song!
‘Ceng Ceng! Kau ini puteri seorang bangsawan agung!
Puteri seorang pangeran besar! Pergunakanlah pikiranmu dan akal sehat. Mengapa
kau merendahkan diri sedemikian rupa? Apakah kau hendak menyeret nama baik ayah
dan keluarga ke dalam lumpur?!
‘Aku... aku... cinta padanya, Koko...!
‘Setan! Sudah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Bu Song
sudah mampus!!
Ceng Ceng menangis tersedu-sedu.
‘Kaubunuh dia...! Ah, kaubunuh dia, Koko... kenapa kau
tidak bunuh aku sekali...!!
‘Goblok? Kalau tidak ada kakakmu ini yang berjuang
mati-matian, apa kaukira sekarang kau masih hidup? Ayah lebih senang melihat
kau mati daripada kau bermain gila dengan seorang macam Bu Song.!
‘Ohhh..., Ayah...!! Suma Ceng makin sedih mendengar hal
ini.
‘Dengar, Ceng-moi. Mengadakan hubungan gelap, apalagi
dengan seorang yang kedudukannya rendah, hukumannya hanya mati bagi seorang
gadis bangsawan. Akan tetapi aku berhasil meredakan kemarahan Ayah dan mengusulkan
agar kau dijodohkan dengan Pangeran Kian Ti.!
‘Aku tidak mau... tidak sudi...!!
‘Plak!!
Suma Boan menampar pipi adiknya sehingga Suma Ceng hampir
terpelanting jatuh.
‘Auuhhh!!
Suma Ceng berdiri, memegangi pipinya dan memandang dengan
mata terbelalak kepada kakaknya. Biasanya, kakak kandungnya ini amat
mencintanya, tidak pernah memukulnya. Maka ia menjadi kaget dan heran, lupa
akan kesedihannya dan memandang dengan mata terbelalak.
‘Ceng-ceng, kau tahu apa artinya kalau perbuatanmu yang
tak tahu malu ini diketahui orang luar? Cemar yang menimpa keluarga kita
berarti menodai nama keluarga raja! Dan akibatnya, tidak hanya kau yang
menerima hukuman, juga Ayah dan kita sekeluarga! Mungkin Ayah akan dihentikan,
dipecat, dan dibuang! Nah, inginkah kau melihat hal itu terjadi?!
Suma Ceng menundukkan kepala, terisak-isak dan
menggeleng-gelengkan kepala. Suma Boan mendekati dan mengelus rambut adiknya.
‘Kau tahu aku sayang kepadamu dan aku melakukan ini
untuk kebaikanmu pula. Kiang Ti adalah seorang pemuda yang baik, dia keturunan
pangeran setingkat dengan ayah. Tentang dia miskin bukanlah hal yang perlu
dipikirkan. Bukankah Ayah keadaannya cukup? Nah, adikku yang manis, kau harus menurut
demi kebaikanmu dan kebaikan keluarga kita.!
Suma Ceng menubruk dan menyembunyikan muka di dada
kakaknya sambil menangis tersedu-sedu. Suma Boan mengelus rambut adiknya dan
tersenyum, maklum bahwa bujukannya berhasil.
Demikianlah, dalam enam bulan itu juga, secara meriah
sekali Suma Ceng dikawinkan dengan Kiang Ti, pangeran yang miskin. Di balik
tirai yang menutupi mukanya, Suma Ceng menangis. Sebaliknya, Kiang Ti
tersenyum-senyum girang. Memang ia pernah melihat Suma Ceng dan mengagumi
kecantikan puteri pangeran ini. Kini gadis yang membuatnya rindu dan mabok
kepayang itu secara tak terduga-duga dijodohkan dengannya. Ia benar-benar
merasa heran karena belum pernah ia mimpi kejatuhan bulan! Ia merasa untungnya
baik sekalil.
Akan tetapi, kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma
Ceng menjadi isteri Kiang Ti, keadaannya menjadi terbalik sama sekali. Kini
keluarga Suma Konglah yang merasa untungnya baik karena mempunyai mantu Kiang
Ti. Seperti telah diketahui, Kiang Ti adalah putera seorang pangeran yang
menjadi keponakan Jenderal Cao Kuang Yin. Dan kebetulan jenderal inilah yang
menggulingkan tahta kerajaan, kemudian menjadi kaisar pertama dari Dinasti
Sung!
Tentu saja, Kiang Ti sebagai keponakan Kaisar, kini
menjadi pangeran yang terhormat dan tinggi kedudukannya dan kerena itu,
keluarga Suma juga ikut terangkat naik!
Memang hal ini sedikit banyak ada pengaruhnya dan
menguntungkan Suma Kong. Dia terkenal sebagai seorang pangeran yang korup. Akan
tetapi kaisar baru, yaitu bekas Jenderal Cao Kuang Yin, walaupun tahu akan
watak korup pangeran ini, namun mengingat bahwa masih ada pertalian keluarga
melalui Kiang Ti, tidak mau mengutik-utik tentang perbuatan-perbuatannya yang
lalu, hanya memberi pensiun kepada Pangeran Suma Kong dan membiarkan keluarga pangeran
yang sudah kaya raya itu pindah dari kota raja, ke kota An-sui.
Adapun pangeran Kiang Ti yang masih keponakan Sang
Kaisar, tentu saja dapat tinggal di kompleks istana yang megah, bersama
isterinya yang telah mempunyai seorang putera. Pangeran Kiang Ti amat mencinta
isterinya, dan karena sikap yang amat baik, penuh cinta dan penuh kesabaran
dari Kian Ti ini maka sedikit banyak kepahitan hati Suma Ceng karena terpisah
dari kekasihnya terobati.
Demikianlah keadaan keluarga Suma selama dua tahun itu, dan
kini biarpun Suma Boan tinggal di An-sui bersama ayahnya, namun karena ia kaya
raya dan masih terhitung keluarga kerajaan, di tambah pula dengan ilmu
kepandaian yang tinggi sejak ia menjadi murid Pouw kai-ong, Suma Boan amat
terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak mengenal Suma Kongcu yang berjuluk
Lui-kong-sian Si Dewa Guntur?
Mengandalkan kedudukan keluarganya sebagai sanak kaisar,
serta harta benda dan ilmunya, pemuda bangsawan ini malang melintang di kota
raja dan sekitarnya tanpa ada yang berani mengganggunya.
***
Bu Song meninggalkan pantai selatan dan menuju ke utara.
Akan tetapi baru saja ia meninggalkan pantai, ia mendengar suara aneh di atas
kapalnya. Ketika ia memandang ke atas, ternyata seekor burung yang buruk
rupanya terbang melintas dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi
‘kuk-kuk-kuk!! dan teringatlah Bu Song bahwa pulau Pek-coa-to tadi pun serasa
pernah ia melihat burung ini, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Burung
itu adalah burung hantu, atau burung malam yang matanya berkilauan seperti mata
kucing, bertelinga seperti kucing pula. Burung itu terbang cepat sekali dan
lenyap di dalam sebuah hutan kecil di depan.
Hari telah menjelang senja ketika Bu Song mempergunakan
ilmu lari cepat memasuki hutan kecil itu. Hutan itu kecil namun liar dan gelap,
hutan belukar yang agaknya tidak pernah didatangi manusia. Banyak bagian yang
gelap, apalagi karena di situ terdapat batu karang. Agaknya di jaman dahulu,
air laut sampai di bagian daratan ini.
‘Aduhhh...! Setan iblis siluman tak bermata! Perut
orang diinjak-injak seenaknya, keparat!! Bu Song juga kaget bukan main. Tadinya
tidak ada apa-apa di depannya, bagaimana ketika ia berlari, kakinya sampai bisa
menginjak perut orang tanpa ia ketahui? Betapapun suram dan agak gelap tempat
itu, tak mungkin ia tidak melihat seorang tidur telentang di depannya
menghalang jalan. Tak mungkin! Tadinya benar-benar tidak ada siapa-siapa,
bagaimana tahu-tahu kakek aneh itu dapat terinjak perutnya oleh kakinya? Ia
demikian kaget sampai ia berjungkir-balik ke belakang dan mendengar suara
marah-marah itu ia memandang penuh perhatian. Seorang kakek yang aneh. Tubuhnya
pendek sekali seperti seorang anak berumur belasan tahun. Kakinya yang kecil
telanjang, kedua tangannya juga kecil. Akan tetapi kepalanya besar, kepala
seorang kakek tua renta penuh jenggot dan kumis panjang. Rambutnya panjang
terurai. Benar-benar seorang kakek aneh dan kalau memang di dunia ini ada setan
iblis atau siluman seperti makian kakek tadi, kiranya kakek inilah patut
menjadi seorang diantaranya. Akan tetapi karena kakek itu pandai mengumpat
caci, agaknya ia manusia biasa, pikir Bu Song. Cepat-cepat ia menjura dan
memberi hormat.
‘Mohon maaf sebesarnya, Kek. Saya tidak buta dan tidak
sengaja menginjak perutmu, akan tetapi aku berani bersumpah bahwa tadi aku
tidak melihat ada orang di sini!!
‘Memang tidak ada! Kalau aku tidak sengaja membiarkan
perutku tersentuh kakimu, apa kau kira akan mampu menginjak perutku? Cih!!
Diam-diam Bu Song terkejut dan juga mendongkol. Ia dapat
menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan
sengaja hendak mempermainkannya, karena ia benar-benar tadi tidak melihat ada
orang tidur di tengah jalan. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu
kepandaian kakek itu sehingga dapat membiarkan dirinya terinjak tanpa dia yang
mengijaknya melihatnya! Karena yakin bahwa kakek itu seorang sakti, ia
cepat-cepat memberi hormat lagi dan berkata,
‘Maafkan saya, Locianpwe. Sesungguhnya seorang muda
seperti saya mana berani bersikap kurang ajar terhadap seorang tua? Apalagi
sampai menginjak perut Locianpwe, selain tidak berani juga takkan sanggup
melakukannya. Bolehlah saya bertanya, Locianpwe siapakah dan apakah maksud hati
Locianpwe mempermainkan seorang muda seperti saya yang tidak bersalah apa-apa
terhadap Locianpwe?!
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. Suara ketawanya
amat tidak enak didengar, bukan seperti suara manusia. Bu Song teringat akan
suara burung hantu yang tadi terbang lewat dan... benar saja, dari atas kini
terdengar suara burung itu dan sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu burung
hantu yang tadi itu kini sudah hinggap di atas pundak kanan kakek pendek itu!
‘Siapa main-main? Aku sengaja membiarkan perutku kau
injak atau tidak, itu urusanku! Tapi yang jelas dan tak dapat dibantah lagi, kau
sudah berlaku kurang ajar menginjak perutku. Betul tidak? Hayo, kausangkal
kalau berani, kau... eh, siapa namamu?!
Kata-kata dan sikap kakek ini amat menggelikan, tidak
karuan dan seperti orang gila, atau seperti anak kecil yang nasar (mau menang
sendiri).
‘Nama saya Bu Song, Locianpwe, she... Liu.!
‘Heh, Bu Song! Hayo bilang, kau tadi menginjak perutku
atau tidak?!
‘Heh... betul... tapi... tapi saya tidak sengaja
Locianpwe.!
‘Tidak sengaja atau sengaja, apa bedanya? Yang jelas,
buktinya kau sudah menginjak perutku. Kau tahu siapa aku?!
‘Saya belum mendapat kehormatan mengenal nama Locianpwe
yang mulia.!
‘Aku adalah Bu Tek Lojin! Dan kau sudah berani
menginjak perutku, hukumannya hanya satu, yaitu mati!!
Biarpun tadinya Bu Song menganggap kakek itu seorang
sakti yang patut ia hormati, akan tetapi mendengar ucapan-ucapannya dan melihat
sikapnya, ia mulai merasa mendongkol sekali. Betapa pun saktinya, kiranya kakek
ini bukanlah seorang yang patut dihormati, bukan seorang sakti yang budiman.
Akan tetapi ia tetap menahan kemarahannya, dan bersikap sabar. Ia belum pernah
mendengar nama Bu Tek Lojin. Biarpun tak dapat disangkal bahwa ia tadi telah
menginjak perut orang, akan tetapi ia melakukan hal ini tanpa ia sengaja,
bahkan Si Kakek itu sendiri yang agaknya sengaja mencari perkara.
‘Bu Tek Lojin,! jawabnya, tidak lagi menyebut locianpwe
karena ia merasa tidak senang melihat sikap kakek yang luar biasa ini.
‘Yang memberi kehidupan kepadaku adalah Thian. Apabila
Thian yang berkenan mengambil kehidupanku, aku akan pasrah dengan rela, akan
tetapi kalau orang lain yang menghendaki kematianku, biarpun orang itu seorang
tua terhormat dan sakti seperti kau, bagaimanapun juga akan kupertahankan hak
hidupku!!
Kakek itu memandang dengan mata tajam dan tertarik.
‘Aha, kau pandai bicara. Bicaramu seperti seorang
terpelajar, pakaianmu seperti seorang terpelajar pula, agaknya kau seorang
sastrawan muda! Dan seorang terpelajar tentu pandai bermain catur. Orang muda,
kau pandai main catur?!
Kakek aneh, pikir Bu Song. Bicaranya membolak-balik sukar
ditentukan arahnya. Akan tetapi ia melayaninya juga dan menjawab,
‘Bermain catur tentu saja aku bisa, akan tetapi tidak
pandai.!
‘Bagus!! Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari balik
bajunya ia mengeluarkan sehelai kertas yang dilipat-lipat dan segenggam biji
catur. Kertas itu ia bentangkan di atas tanah dan ternyata adalah kertas gambar
papan catur!
‘Duduklah, mari kita bertanding catur!!
Kakek itu tidak waras otaknya barangkali, pikir Bu Song.
Akan tetapi ia menjadi curiga dan bertanya,
‘Bu Tek Lojin, apa arti permainan catur ini?!
‘Ha-ha-ha, bicara tentang ilmu silat, memalukan sekali
kalau aku melayani kau bertanding. Burungku akan mentertawakan aku, akan
menganggap aku keterlaluan mendesak orang muda dengan ilmu silatku yang tentu
saja jauh lebih unggul karena aku jauh lebih tua, menang pengalaman dan menang
latihan. Akan tetapi permaianan catur tidak tergantung dari umur, melainkan
dari siasat yang muda mengalahkan yang tua! Kalau tadi kukatakan bahwa kau
telah berdosa kepadaku dan harus dihukum mati, sekarang aku memberi kesem patan
kepadamu untuk menebus nyawamu dengan permaianan catur. Kalau kau menang,
kesalahanmu menginjak-injak perutku habislah dan aku tidak menghendaki
nyawamu!!
Bu Song diam-diam makin penasaran dan mendongkol.
‘Kalau aku kalah?! tanyanya, menahan hati panas.
‘Ha-ha! Tentu saja kau kalah! Kalau kau kalah, berarti
kau hutang dua kali kepadaku. Sebelum kubunuh kau harus menyerahkan suling emas
dengan suka rela kepadaku!!
Berdebar jantung Bu Song. Kakek ini tidaklah gila, dan
tidak bodoh. Kiranya sengaja mencari gara-gara dan mencari perkara karena ingin
merampas suling dan untuk itu tidak akan segan-segan membunuhnya. Maklumlah Bu
Song bahwa ia menghadapi hal yang amat gawat dan berbahaya dan oleh karena ini
seketika ketenangannya timbul. Ia teringat akan nasihat suhunya bahwa dalam
menghadapi perkara apapun juga, terutama sekali harus menenangkan hati.
Ketenangan akan membuat kita waspada dan hanya dengan ketenangan kita akan
dapat menguasai diri dan mengambil tindakan secara tepat. Maka ia lalu
mengerahkan tenaga untuk menenangkan hati dan mengusir semua kekhawatiran.
Bahkan wajahnya membayangkan senyum ketika ia memandang kakek itu.
‘Orang tua, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa
seorang perantau miskin seperti aku ini mempunyai sebuah benda dari emas?!
‘Ha-ha-ho-ho-ho! Kau datang dari Pulau Pek-coa-to, aku
mendengar suara suling di sana. Siapa lagi kalau bukan kepadamu suling itu
diberikan oleh Ciu Bun si tua bangka berkepala batu? Ha-ha-ha!!
Makin kagetlah hati Bu Song. Kiranya kakek ini tahu pula
bahwa ia bertemu dengan Ciu Bun di pulau. Kalau begini, tak dapat dihindarkan
lagi. Kakek ini tentu luar biasa saktinya dan bertanding ilmu silat dengan
kakek ini, jelas ia takkan menang. Namun bertanding catur, belum tentu! Suhunya
sendiri, Kim-mo Taisu yang juga seorang jago catur, sukar mengalahkan dia dan
menurut suhunya, ia memiliki bakat yang luar biasa untuk bermain catur.
‘Baiklah, kuterima tantanganmu bermain catur, orang
tua?! katanya, wajahnya berseri dan matanya bersinar.
‘Akan tetapi, sebagai seorang kakek yang sudah berusia
tua, tidak sepatutnya engkau menipu mentah-mentah seorang muda seperti aku.
Biarpun di sini tidak ada orang kecuali kita berdua, setidaknya kau tentu akan
malu sikapmu itu diketahui burungmu.!
‘Apa? Menipumu mentah-mentah? Heh-heh, orang muda, jaga
baik-baik lidahmu kalau kau ingin mati dengan lidah utuh nanti!!
‘Bu Tek Lojin, orang bertanding apa saja ada
taruhannya. Kita akan bertanding catur, jagi kita berdua harus bertaruh pula.
Akan tetapi engkau tadi hanya menyuruh aku yang bertaruh, akan tetapi kau
sendiri tanpa modal alias bermain tanpa taruhan. Kalau aku kalah, aku harus
mati dan memberikan sebuah suling emas kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang
kalah, harus ada taruhannya pula!!
Mata kakek itu kedap-kedip, agaknya otaknya dikerjakan
keras-keras. Akhirnya ia mengangguk-angguk dan berkata,
‘Omonganmu cengli (menurut aturan) juga! Nah, kalau aku
kalah, kau boleh bunuh aku!!
Kembali Bu Song kaget. Jawaban-jawaban kakek ini
benar-benar aneh dan mengagetkan karena tidak disangka-sangka. Akan tetapi
melihat betapa sepasang mata itu bersinar-sinar dan biji matanya bergerak-gerak
seperti tingkah seorang kanak-kanak nakal yang cerdik dan penuh tipu muslihat,
mulut yang tersembunyi di balik jenggot itu bergerak-gerak seperti menahan
tawa, Bu Song maklum dan berseru,
‘Wah, ternyata Bu Tek Lojin tidak hanya pandai ilmunya,
akan tetapi pandai pula akal bulusnya. Pantas saja menjadi Bu Tek (Tiada
Lawan), kiranya selain mengandalkan kesaktian juga mengandalkan tipu muslihat!!
Kakek itu yang tadinya sudah duduk menghadapi kertas
bergambar papan catur, kini meloncat tinggi sehingga burung di pundaknya kaget
dan mengembangkan sayapnya menjaga keseimbangan tubuh. Bu Tek Lojin
mencak-mencak dan menari dengan kedua kakinya berloncatan, kedua tangannya
bergerak seperti orang lari di tempat, mukanya menjadi merah dan matanya
bergerak-gerak melotot.
‘Kurang ajar kau! Tipu muslihat apa yang kaumaksudkan
sekarang? Awas, jangan bikin aku marah!!
‘Habis, taruhanmu benar-benar tidak adil. Kalau kau
kalah main catur, kau bilang aku boleh membunuhmu. Tentu saja ini tidak adil
sama sekali. Aku boleh membunuhmu, akan tetapi dalam hatimu kau mentertawakan
aku dan bilang mana aku sanggup membunuhmu? Wah, Bu Tek Lojin kakek tua, kau
memberikan ekor menyembunyikan kepala! Tidak mau aku diakali begitu. Kalau kau
mau memenuhi sayarat taruhanku, boleh kau coba-coba melawan aku bermain catur
kalau kau becus! Akan tetapi kalau tidak mau memenuhi syarat taruhanku,
sudahlah, kalau kau orang tua hendak berlaku sewenang-wenang terhadap orang
muda dan tidak malu didengar semua orang kang-ouw betapa kakek yang bernama Bu
Tek Lojin beraninya hanya menghina orang muda, terserah kau apakan aku, boleh
saja!!
Sejenak kakek itu tidak dapat berkata-kata. Ucapan Bu
Song itu benar-benar tepat sekali menghantam apa yang tersembunyi di dalam
rencana pikirannya sehingga ia menjadi terkesima, seolah-olah menerima serangan
tepat di ulu hatinya. Kembali matanya berkedip-kedip memandang kagum lalu
berkata,
‘Wah, kiranya kau bukan bocah sembarang bocah, cukup
cerdik! Tentu akan merupakan lawan catur yang ulet! Coba kau kemukakan
syaratmu, orang muda.!
Sebetulnya Bu Song bukanlah termasuk orang muda yang suka
banyak bicara, bukan pula pandai berdebat. Kalau sekarang ia bersikap demikian
adalah semata-mata terdorong oleh pengertian yang timbul dari ketenangannya
bahwa hanya dengan cara ini sajalah agaknya ia dapat menghadapi kakek ini!
‘Begini syarat taruhanku, Bu Tek Lojin. Kalau aku kalah
bermain catur denganmu, biarlah takluk dan menyerah kepadamu. Akan tetapi kalau
kau yang kalah, kau harus pergi tinggalkan aku dan jangan mengganggu lagi,
jangan minta benda emas atau suling segala macam dan jangan membunuh atau
melukaiku! Coba pertimbangkan, kalau aku kalah, aku hanya minta engkau pergi
dan aku tidak mengganggumu.
Sebaliknya kalau aku kalah, aku takluk kepadamu dan
menyerah. Bukankah ini berarti aku sudah banyak mengalah kepadamu?!
Kakek itu menggaruk-garuk jenggotnya yang putih dan
tebal, mendapatkan seekor semut yang entah bagaimana tahu-tahu tersesat ke
tempat itu, dengan gemas memencet semut itu hancur di antara kedua jarinya. Ia
mengangguk-angguk.
‘Kongto, kongto (adil, adil). Mari kita mulai!!
Bu Song menarik napas lega. Setidaknya, bahaya pertama
sudah dapat diatasi. Ia dapat menghadapi kakek ini bermain catur dengan tenang.
Kalau ia menang nanti, ia bebas. Kalau kalah, ia masih dapat melihat keadaan.
Kalau kakek itu tidak membunuhnya, tentu saja hal itu baik sekali. Kalau kakek
itu akan memubunuhnya, tentu saja ia tidak akan tinggal diam dan mati konyol!