Bab 3
Gerakannya tertahan ketika
tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas.
Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya.
Ketika Lin Lin menoleh dan
melihat bibi gurunya, ia menahgis dan memprotes,
˜Dia membunuh Ayah Ibu,
Sukouw, dia harus kucincang hancur!!
˜Ssttt, anak bodoh. Simpan
pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?!
˜Dia berhasil membunuh
Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya
sehingga ia pun mampus!! Lin Lin membantah lagi, penasaran.
˜Tenanglah, dan tengok. Bu
Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke sini.
Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada,
luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang
Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she
Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya, juga terpental dan
tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik
pedang Ayahmu maupun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua
ini. Eh.. nanti dulu! Ibumu belum mati.. biar kutolong dia..! Nikouw itu lalu
meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam.
Benar saja dugaannya, nyonya ini biarpun terluka hebat, masih belum tewas,
setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw
yang ahli, ia mengeluh perlahan.
˜Siapa membunuhmu?
Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan
semua ini?! kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan,
membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak
sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi,
hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
˜Iihhh.. takut.. takut..
setan..!! Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan. Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin
yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak
mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka
ini.
˜Tenang, adikku, pinni
berada di sini. Setan apa yang kautakuti?! kembali nikouw itu membujuk dan
mendesak.
Nyonya itu menangis,
terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan,
˜Setan.. dalam peti mati..
suaranya.. suling.. suling maut..!
Nikouw itu berdiri. Nyonya
yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan
menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa,
mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan
tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang
luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi
hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu
sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah
rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara
mengerikan.
Setelah selesai mengurus
pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan
dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya.
Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng,
dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara
keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih
dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu
urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut
seorang di antara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping
Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya
Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam
hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap
Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain
berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas
dengan huruf BU SONG. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik BU SONG. Harta
pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit
juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga
orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia
berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau
ceritakan kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan
Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam
kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sutemu,
KAM SI EK
Sambil terisak-isak
mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak
inipun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.
˜Kalian tentu tidak tahu
siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu
menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu
adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama
Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun
kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan
karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh
melebihi Ayahmu, sayangnya.. hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu
dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin
karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.!
˜Dan ke mana perginya..
eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia
pun putera Ayah?! tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah
anak sulung, melainkan yang ke dua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir
sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
˜Itulah yang selalu
mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah
dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam
minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat
tinggalnya.!
Hening sejenak. Tiga orang
anak itu merasa terharu.
˜Apakah Ayah tidak
mencarinya, Sukouw?! tanya Sian Eng.
˜Tentu saja. Malah tujuh
tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai
seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan
tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.!
˜Liu Bu Song..! kata Lin
Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia
merasa tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song.
Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak
pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
˜Akan tetapi ketika Ayahmu
mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu
tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian
pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?!
˜Sukouw, teecu merasa
lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu.
Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan
Ibu!!
˜Teecu juga!! kata Sian
Eng.
˜Tentu saja teecu juga,! sambung
Lin Lin. ˜Akan tetapi juga akan teecu cari sampai dapat dia itu.. eh, Kakak Bu
Song.!
˜Pinni tidak dapat
menyalahkan kalian untuk dendam ini, apalagi kalian hanya orang-orang muda yang
berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan
mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang
membawa suling. Hemmm, apalagi melihat kepandaian orang itu, andaikata kalian
dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena
itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga
sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apabila kalian sudah bisa
bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih
baik kalian memberi tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan
membantu kalian. Andaikata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan
orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan
bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.!
Tiga orang muda itu
berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang
kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka
menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur
mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
Berhari-hari tiga orang
muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang
amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan
kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
˜Kita sudah dekat dengan
kota Wu-han,! tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi
gelisah. ˜Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa
perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya
untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.!
Mendengar ini, Lin Lin
bertepuk tangan dan berjingkrak girang.
˜Bagus sekali! Aku sudah
bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena
tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita
sampai di Wu-han?!
˜Tidak lama lagi, Nona,
sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat
mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.!
˜Eh, kenapa begitu,
Lopek?! Bu Sin menegur. ˜Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan
membayar sewanya kepadamu di sana?!
˜Maaf, Tuan Muda. Tentu
saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan
tetapi saya tidak berani melakukannya.!
˜Tidak berani? Kenapa?!
Sian Eng ikut bicara.
˜Karena hal itu berarti
bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang,
paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, gembel-gembel
busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi,
Nona.!
˜Apa maksudmu? Siapa itu
gembel-gembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,! Bu Sin mendesak, penasaran.
˜Mereka merajalela
sekarang, Tuan Muda, gembel-gembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri,
mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di
kota-kota besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka
menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya mendengar
bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali pengemis
dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar
pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan
maupun hasil menyewakan perahu.! Tukang perahu itu kelihatan berduka dan
penasaran.
˜Aiiihhh, mana ada aturan
begitu?! Lin Lin membanting kaki dengan marah.
˜Lopek, apakah yang
berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?! Bu Sin
bertanya penasaran.
˜Mereka tidak berdaya.
Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu
mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh
karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi
turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung
uang sewa itu akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin
mereka akan merampasnya semua.!
˜Tidak, Lopek! Kita terus
ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa gembel-gembel busuk yang jahat itu tidak
akan mengganggumu!!
˜Tapi..!
˜Kalau perlu pedang kami
ikut bicara!! Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani
membantah lagi dan dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang perahu
melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore,
perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han
memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di tempat ini merupakan
pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat mukanya
dan tubuhnya gemetar ketakutan.
˜Celaka, Tuan Muda, lihat
di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya..! bisik tukang perahu.
Bu Sin dan dua orang
adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena
hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan
yang sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal
layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah
pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja Lin
Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.
˜Lopek, kau maksudkan
empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?!
˜Sssttttt, Nona jangan
bicara terlalu keras..! tukang perahu makin pucat.
˜Dan Tuan Muda harap suka
memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu..!
˜Tidak, Lopek. Kami malah
hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau
mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,! kata Bu
Sin.
Dengan terpaksa tukang
perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu.
Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras
tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.
˜Heee, tukang perahu, dari
manakah kau?!
Mengherankan sekali
melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab
dengan sikap hormat,
˜Kami datang dari daerah
Propinsi Shen-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.!
Empat orang pengemis itu
sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar
menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah
meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam.
˜Ho-ho-ho-ho, perjalanan
yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kauterima?!
˜..hanya.. hanya dua puluh
tail.. itupun belum saya terima..! jawab si tukang perahu ketakutan.
˜Goblok benar! Sejauh itu
hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong. Setidaknya harus lima
puluh tail!!
˜Betul, sahabat. Hanya dua
puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya
dan..!
Lin Lin sudah tidak sabar
lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang
runcing menuding muka pengemis itu.
˜Hih, kau ini pengemis
tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang
urusan kami dengan tukang perahu?!
˜Ha-ha-ha, Loheng (Kakak),
kau lihat anak ayam ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau
tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencing-kencing!! Empat orang pengemis
itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.
˜Gembel busuk! Siapa sudi
mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang gembel kotor yang berhidung
bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu
yang bengkok dan menjijikkan itu!! Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin
dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin, tidak mau mencegah, apalagi
mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap
menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok
marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin.
˜Bocah liar, kau perlu
dihajar!!
Lengannya yang panjang itu
diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin.
Gadis ini tentu saja tidak sudi membiarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya
berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan
˜prakkk!! ujung sepatunya
telah mencium muka pengemis itu dengan keras.
Si pengemis terhuyung ke
belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar
dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya yang
kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.
˜Setan cilik, kalian
berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?!
Tiga orang pengemis yang
lain lalu bergerak menerjang Lin Lin. Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi
mereka tanpa gentar sedikitpun juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau
berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak dikeroyok.
˜Gembel-gembel jahat,
jangan kurang ajar!! Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi
seorang pengemis.
Bu Sin tanpa mengeluarkan
suara juga menerjang maju menghadapi pengemis ke dua. Adapun pengemis yang
memaki tadi, sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau
mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa
saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja.
Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan
kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin
kosong belaka.
Tempat yang tadinya sunyi
itu kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian
yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan
keselamatan tiga orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis
Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka.
Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan
pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong
datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita
ini, bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka
terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu sudah
selesai.
Bu Sin yang wataknya
pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan sebuah
tendangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan
lagi tubuhnya menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan lawannya
semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang ˜memasuki! lambung lawan
membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan perut dan meringis kesakitan,
duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun kembali
.
˜Berhenti!!
Lin Lin membentak dengan
mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi lawannya. Pengemis
itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri
dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.
˜Berhenti dulu sebentar,
ya?! Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini
mendekam di atas tanah itu. kakinya bergerak dan.. tubuh pengemis itu terlempar
ke dalam sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin
menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu
berkata manis.
˜Nah, sekarang boleh
teruskan!!
Sikap gadis yang lincah
jenaka ini memancing ledakan ketawa daripada para penonton. Memang sudah
terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah
yang ditahan-tahun. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka
lega dan pues. Biarpun biasanya mereka takut terhadap para pengemis
Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan
jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.
Lawan Lin Lin marah bukan
main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan
hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya
yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak
peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan menyerang
dengan tongkat di tangan.
˜Wah, baunya yang tidak
tahan!!
Lin Lin menggunakan tangan
kiri memijat hidungnya dan kini hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan
tangan kanan saja. Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biarpun
diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung
bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil
memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai
mengeluarkan suara
˜plokkk!! dan debu
mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada
yang memegangi perut saking menahan tawa.
˜Lin-moi, lekas bereskan
dia!! Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.
˜Sudah beres, Sin-ko!!
jawab Lin Lin dan entah bagaimana lawannya tidak mengerti, tahu-tahu tongkatnya
sudah terampas di tangan kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung
mundur dan miring ke kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin
Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang
mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai!
Karena takut dipermainkan
terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka hanyut oleh
air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari tempat. Adapun Bu
Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat
pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu mendayung
perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak begitu kuat.
Bu Sin maklum bahwa mereka
telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang adiknya
untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya
menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran
sambil membicarakan peristiwa tadi.
Karena malam telah tiba
dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan di waktu
malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya bermalam pada sebuah rumah penginapan
yang berada di sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang
sederhana, namun cukup bersih.
Di sepanjang perjalanan
menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega
hati Bu Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu
berkepanjangan dan mereka akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang
pengemis tadi.
˜Wah, cerita empek tukang
perahu tadi dilebih-lebihkan.! kata Lin Lin. ˜Katanya di sini berkeliaran
banyak pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang
tiada gunanya sama sekali.!
˜Eh, Lin-moi, kenapa sih
kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?! tegur Sian
Eng setengah menggoda.
˜Ingin memberi hajaran
lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!! jawab Lin Lin.
˜Lin-moi, jangan sembrono
kau. Apakah kaukira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi kau lalu
menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut
dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?! Bu Sin menunjuk ke
arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di
depan rumah penginapan.
Lin Lin dan Sian Eng
memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut
bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil
kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah
tua sekeli, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran
bertumpuk, bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar.
Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan.
Dasar Lin Lin berwatak
aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh.
Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau
menangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan
tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya
terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan
sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek
pengemis itu masih saja tidur.
Bu Sin dan Sian Eng
terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang
aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau
Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan
kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai
sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah
dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar.
Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.
Karena merasa lelah, tiga
orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang
pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar
ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata
pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.
Tadinya orang-orang di
dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk
di ruangan depan, mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan
wanita membawa lampu keluar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang
terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak,
˜Nyamuk keparat! Nyamuk
gila!!
Kakek pengemis itu masih
duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke
atas dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu
terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan
kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan
menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti
itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan sebentar saja banyak orang melihat
kakek itu.
Bu Sin dan dua orang
adiknya juga bergegas keluar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan
terkejut. Itulah pertunjukan gin-kang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu
meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk
bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan
kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah
pantat si kakek gembel!
˜Nyamuk keparat!!
Kakek itu masih
bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti orang lain
itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya,
˜Keparat, uang perak
membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!! Setelah berkata demikian, kakek
itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa
kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu
berjalan pergi, terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.
Orang-orang tertawa.
˜Kakek itu gila, rupanya..!
Akan tetapi Bu Sin dan
adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang
sakti yang luar biasa. Apalagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya
uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi
diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu
ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.
Pucat wajah Bu Sin. ˜Celaka..!
tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah kita bertiga!! Tanpa
banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar,
membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya
meninggalkan kota Wu-han!
˜Eh, kenapa kau seperti
orang ketakutan?! tanya Lin Lin.
˜Lin-moi, karena
perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,!
jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.
˜Eh, apa maksudmu, Koko?!
Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.
˜Kalian ini bocah-bocah
sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan
ilmu gin-kang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi
bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat
pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis.
Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya
membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita
bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi
karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh
berbahaya!!
Lin Lin membanting kaki.
˜Kakek keparat! Kita menaruh
kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina, menyebut kita nyamuk dan
memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku?
Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka
dia begitu sombong!!
˜Lin-moi, jangan bicara
sembarangan. Dia orang sakti!! bentak Bu Sin.
˜Aku tidak takut!! Lin Lin
mengedikkan kepala membusungkan dada.
Bu Sin hendak marah, akan
tetapi segera ditekannya perasaanya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin,
pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, ke dua, karena
ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau
Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biarpun masih muda, Bu Sin mempunyai watak
yang baik sekali.
˜Lin-moi, lain kali kau harus
mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi
bingung dan marah saja!! Sian Eng menegur Lin Lin.
Setelah ditegur, barulah
Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin.
˜Sin-ko, apakah kau marah
kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?!
Mau tak mau Bu Sin tertawa
juga.
˜Kau memang nakal.!
˜Memang aku nakal, tapi
tidak galak seperti Enci Sian Eng!! Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini
Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya.
Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit,
˜Sin-ko, tolong.. Enci
galak mau bunuh aku..!!
˜Hushhh, gila kau,
Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang
saja dibunuh.! Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia
terhadap adik yang nakal ini.
Tanpa terasa karena di
sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tiga orang muda ini sudah keluar dari
kota Wu-han, melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan
amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan
perjalanan di malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang
muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
˜Sin-ko, kita tidak tahu
mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,! Sian Eng mengomel. ˜Sebaiknya
kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.!
˜Kita sudah keluar dari
Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat?
Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk.
Agaknya daerah ini jauh daripada dusun.! kata Bu Sin.
˜He, kalian lihat.
Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat..!! Lin Lin tiba-tiba berkata.
Mereka melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari
bintang-bintang di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah
kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka
berada di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua
dan tidak terpakai lagi.
˜Kita istirahat di sini
melewatkan malam,! kata Bu Sin dengan hati lega. Biarpun hanya sebuah kelenteng
tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di
tengah jalan, di udara terbuka.
Baru saja mereka
membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di
depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga
orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat
belas orang itu berpakaian seperti pengemis!
˜Kalian mau apa?! bentak
Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.
Seorang kakek pengemis
bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena dia seorang yang
tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata.
˜Sam-wi sudah merobohkan
empat orang anak buah kami, sekarang pangcu kami memanggil Sam-wi menghadap.!
Bu Sin tidak heran
menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat daripada
sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada
dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi
mendongkol juga. Biarpun pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya
ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap seperti sikap
pembesar saja?
˜Lopek, peristiwa sore
tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak melakukan
perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak
mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian.
Kalau dia mempunyai urusan dengan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,!
jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.
Kakek pengemis gemuk
pendek itu tiba-tiba tertawa.
˜Ha-ha-ha-ha, baru bisa
merobohkan empat orang anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar
kepala. Ah, kalian seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak
mengenal tingginya langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil
kalian menghadap dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai
kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah
nakal, aku malu untuk berbuat demikian.!
Seakan meledak rasa dada
Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan
membentak,
˜Pengemis tua bangka
sombong, kau kira kami takut kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak
akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?!
˜Ho-ho, benar-benar
seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari
wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?!
˜Memang kami datang dari
wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah
kalian baru tahu sekarang?! Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului
kakaknya yang masih diam saja. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia membiarkan
terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih
baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek
pendek itu.
˜Lopek, ketahuilah bahwa
kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di sini, sama
sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi
kami bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara.
Kami hanya berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi
meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.!
˜Kalian hendak kemana?!
˜Ke Ibukota Kerajaan
Sung.!
˜Bagus! Kalian datang dari
wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan
kami menghadapi pangcu kami.!
Marah juga Bu Sin. Kakek
pengemis ini terlalu memandang rendah. Biarpun di situ ada belasan orang
pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?
˜Kami tidak akan ikut
denganmu!! jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin.
Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan
pedang di tangan mereka siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa
takut!
˜Wah-wah, benar gagah!!
Kakek itu berkata lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. ˜Tangkap mereka!!
Bu Sin memutar pedangnya,
mengancam,
˜Mundur kalian! Lihat
pedang!!
Namun kakek itu sudah
menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka
menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang.
Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang
muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar
dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sambil memekik
kesakitan.
Pengemis pendek gemuk
memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu
mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.
˜Eng-moi, Lin-moi,
padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!! teriaknya dan tangan kirinya sudah
merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang).
Tangan kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua
orang pemegang obor, tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang
jatuh, padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka
dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat
obor-obor itu runtuh dan padam. Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan
gelap ini, memberi isyarat kepada kedua orang adiknya.
Mereka maklum bahwa kalau
pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka
akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan gin-kang mereka, memutar
pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian mereka
sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam
lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan keadaan makin gelap
karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi langit di atas mereka.
˜Wah, memalukan benar!!
Lin Lin terengah-engah. ˜Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar
harimau!! Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini,
merasa sebal dan penasaran.
Bu Sin dan Sian Eng juga
berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju.
˜Wah, berbahaya benar,!
kata Bu Sin. ˜Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek
pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau
kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah,
apa kaukira masih akan dapat bernapas saat ini?!
˜Belum tentu, Sin-ko!!
bantah Lin Lin. ˜Kita masih belum kalah, dan andaikata akhirnya kita mati
dikeroyok, sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan.
Sedikitnya ada beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati
pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut
penasaran besar!!
Bu Sin hanya tersenyum. Ia
mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia merasa
khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena
keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu
naik ke atas pohon yang terpaksa bermalam di situ seperti tiga ekor kera
kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka amat
lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah
di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.
Ketika Lin Lin dan Sian
Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan
telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara lalu menuding ke
bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira
seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang kakek gembel
berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang bongkok, rambutnya riap-riapan dan
matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di depan rumah
penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu
sampai penyok!
Dan di depan kakek itu
berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang mengeroyok mereka
semalam, mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek pengemis
bongkok itu terdengar marah-marah.
˜Kalian anjing-anjing
tiada guna!! terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas
tanah. ˜Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang
diri. Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?!
Semua pengemis itu
menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek
itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling
pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam
raja pengemis yang amat berpengaruh!
˜Mana anggauta
Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?!
Bagaikan empat ekor
anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek
itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang
pengemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!
˜Cih, yang begini mengaku
anggauta pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!!
Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh,
tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah mati
oleh ludah kakek itu!
˜Biar ini sebagai
pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua
anggauta Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang
(Kembang Merah)? Hayo maju sini!!
Tiga orang kakek pengemis
tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu.
˜Perhatikan sekarang.
Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku
membutuhkan tempat sembunyi Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku.
Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian kitab
kecil.!
˜Baik, Ong-ya. Hamba akan
mengerahkan seluruh kawan di kai-pang,! jawab mereka berbareng dengan suara
amat merendah.
˜Sudah, pergi sekarang.
Muak perutku melihat kalian!! Kakek bongkok itu mengomel dan bagaikan
anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat
empat orang pengemis anggauta Pek-ho-kai-pang itu.
Bu Sin dan dua orang
adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah, kini tampak pucat.
Namun, di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu
yang dianggapnya sombong dan kejam sekali.
˜Orang macam dia harus
dibasmi Sin-ko,! ia berbisik.
˜Ssttt..!! Bu Sin
mencegah, namun terlambat. Kakek itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan
menghampiri pohon besar di mana mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali
tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata,
˜Nyawa tiga orang muda
pernah kuhargai seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.!
Tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan..
˜kraaakkk!! batang pohon
itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.
Bu Sin dan dua orang
adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut
bukan main. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan melompat turun sebelum mereka
ikut roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka menyentuh
tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap menghadapi kakek sakti itu.
Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun, namun mereka bertekad untuk
melawan mati-matian.
˜Ho-ho-ha-hah, tak tahu
diri.. tak tahu diri..!! Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang,
bagaikan seekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian
Eng dan Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.
˜Tranggggg!! Tiga batang
pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka,
sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok
yang tertawa berkakakan.
˜Ha-ha-ha-ha-hah!!
Bu Sin dan dua orang gadis
itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan, sehingga mereka diam tak
bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan
maut. Pada saat itu, terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di
seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa
mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka
menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga.
Biarpun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat
telinga terasa sakit sekali.
Kakek itu kelihatan
terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali
tidak menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya
tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan
tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.
˜It-gan Kai-ong! Kau
bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek
Siansu dah merampas kitab dan alat khim. Biarpun Bu Kek Siansu tidak peduli dan
mengampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab
dan nyawamu!!
Tak lama kemudian,
tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya
punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling,
berjalan perlahan.
˜Dia bersuling..! Bu Sin
teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng
sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jaarum. Orang itu berjalan
seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar
senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa
tiga batang piauw dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian
belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan
sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur.
Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.
˜Mari kejar..!! Bu Sin
berkata.
˜Tiada gunanya, Sin-ko.
Tak mungkin dapat dikejar,! bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti
patung, Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia
mengerutkan kening.
˜Lin-moi, kenapa kau tadi
tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!!
˜Belum tentu, Sin-ko. Apa
buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa
memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.!
Merah wajah Bu Sin dan
Sian Eng membentak,
˜Lin-moi, omongan apa ini?
Kau tidak membantu, malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa
kita mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi
daripada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang
perlu, kita harus dapat membalas dendam!!
Lin Lin menarik napas
panjang.
˜Kalian tahu bahwa aku
tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah.
Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja
kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka
memusuhi kakek pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita
bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang
baik-baik, bukanlah lebih celaka lagi?!
˜Dia bersuling, dia lihai,
tidak salah lagi.! kata Sian Eng.
˜Kalau memang dia musuh
kita kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari
tempat ini!! kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya
dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan
perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.
***
Enam orang laki-laki
sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah
pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan
malam gelap di dalam hutan besar membuat api unggun, duduk mengelilinginya
sambil bercakap-cakap.
Tiba-tiba mereka berhenti
bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak panjang,
dan mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara
mencurigakan. Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian mereka merunduk
dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan hati-hati. Siapa
tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan binatang buruan yang kemalaman di
situ.
Akan tetapi mereka keliru.
Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh
tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api
unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para
pemburu, yang berjenggot pendek, pemimpin rombongan pemburu enam orang ini,
tertawa dan disusul oleh teman-temannya.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin
Lin terkejut, cepat menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan
itu, tangan meraba gagang pedang.
˜Ha-ha-ha, harap Sam-wi
orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu binatang biasa,
bukan perampok,! katanya.
˜Cu-wi mengagetkan saja,
muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,! kata Bu Sin setengah menengur.
˜Ha-ha, maafkan kami. Kami
tadi sedang bercakap-cakap di sana, mendengar suara Sam-wi yang kami kira
binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini
berada di hutan liar?!
˜Kami adalah
pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,! jawab Bu Sin singkat.
˜Maafkan kami kalau kami
mengganggu Cu-wi sekalian.!
˜Ha-ha, tidak mengapa..
tidak mengapa.. hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat
Sam-wi yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap,
akan tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita
membuat api unggun di sini saja.!
Mereka membuat api unggun
besar dan duduk mengelilinginya.
˜Tan-twako, kau lanjutkan
dongengnnu tentang Suling Emas,! kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh
yang lain, Laki-laki berjenggot pendek itu berkata sungguh-sungguh,
˜Bukan dongeng, melainkan
kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya. Sungguhpun aku masih belum dapat
memastikan apakah dia itu manusia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung
mendapat pertolongannya.!
˜Ceritakan.. ceritakan..!!
teman-temannya mendesak.