Hebat sekali serangan lu Sian ini. Gadis itu dengan
sin-kangnya yang sudah amat kuat, hanya menggunakan ujung kakinya menyentil
barang-barang diatas meja dan beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya,
yaitu masakan dan arak, kearah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran
benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil
menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah
sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan
daging ! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya
pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan banyak
kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah!
Sebetulnya, melihat gerakan ini saja, kalau enam orang
itu tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukanlah lawan mereka.
Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera
menggerakkan senjata masing-masing mengepung meja itu dan menyerang dari semua
jurusan, Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan
pedangnya kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang
terlalu dekat. Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan
golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang
melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk
membuktikan ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan
teriakan kaget dan senjata semua runtuh ke atas lantai karena tanpa mereka
ketahui mengapa, tahu-tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang
yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh
mereka bau arak dan tepat pada jalan darah disiku lengan mereka basah. Dengan
kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang
masih saja duduk minum arak.
"Menyerang orang secara menggelap dengan senjata
rahasia untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok
seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-laki, sungguh amat memalukan.
Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang
sudah membayang di depan mata? Lekas pungut senjata dan pergi barulah perbuatan
orang yang berakal sehat!�
Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka
semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak
dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini
membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk
dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa
bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya minum arak,
sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata mereka !
Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh
teman-temannya lalu ia menjura ke arah Kwee Seng.
"Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu
membuat mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan
menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan
Siauw-enghiong yang gagah�
Kwee seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri
dengan cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi
dengan lagak seorang mabok.
�Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri suara
suling mengusir harimau dan menentramkan hati nama harta kepandaian tiada
artinya yang penting adalah pelaksanaan kebenaran dalam hidupnya!�
Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal
pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu. Lu Sian
tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring.
"Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya ?
Dia bersama Kwee Seng, para locianpwe mengenalnya sebagai kim-mo-eng. Hanya dia
seoranglah yang mampu menandingi aku. Biarpun begitu, masih belum tentu ia bisa
menjadi jodohku ! Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih
Bukankah itu lucu sekali?�
Enam orang itu kelihatan kaget dan tanpa bicara apa-apa
lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali,
memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Kwee Seng menyatakan
kesanggupannya membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang
dan melayani sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.
Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali.
Mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada
hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng
sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan
tetapi melihat cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis
sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu. Memang
demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk
lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya,
sengaja hendak mempermainkannya.
Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis
itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu
menandinginya, namun betapapun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi
jodohnya ! Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan sikap Lu
Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam
orang lawannya! kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci,
akan tetapi juga makin cinta ! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin
besar pula daya tariknya menguasai hatinya.
�Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut
tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu
kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling, dan
pandaikah kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?�
Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya
berkipas-kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara
suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur
ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga
See-ouw (Telaga Barat).
Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian
dan ingin tahu.
"Apa ? Kau betul-betul bertemu dengan ok-hengcia
(pendeta jahat) itu ? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu
amat cabul dan jahat, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah
sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua
malam tidak ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau
pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan
pertandingan. Dan kau kau bertemu dengannya? Bertanding? Dan sulingmu hancur
olehnya? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?�
Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh
pengaruh arak.
"Dia memang hebat, dan jahatnya bukan main. Secara
kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw.�
Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti
berikut.
Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak
mempunyai tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw, Telaga Barat
ini amatlah terkenal semenjak dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan
karena segar nyaman hawanya.
Air berkeriput biru sehalus beludru
tilam pembaringan berkasur bulu
bunga teratai aneka warna
penghias indah dicumbu rayu
ikan-ikan emas berwarna cerah
berperahu di telaga barat
mandi sinar bulan minum arak
sesudah itu mati pun tak penasaran!
Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang
menyewakan perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin
cukup merasa puas dengan berjalan-jalan disekitar telaga, yang tergolong cukup
merasa puas dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi
bagi para pelancong kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka
itu akan menyewa perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan
tertutup, memesan hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil
pula pelacur-pelacur untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa
orang perempuan penyanyi menabuh yangkim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir
diadakan setiap malam diwaktu musim tiada hujan, sehingga keadaan telaga barat
amat meriah.
Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw,
keadaan di situ sedang meriah sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu
musim panas mengamuk, banyak orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa
tidak betah tinggal di kota dan banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau
pekan lamanya ke Telaga See-ouw di mana mereka dapat menghibur tubuh dan
pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis dihamburkan !
Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian
pelajar yang cukup rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu
merubungnya, menawarkan perahu mereka.
"Mari, Kongcu, perahu saya bersih dan kosong ! Saya
pesankan arak Hang-ciu yang paling baik ! Kongcu perlu hidangan yang paling
lezat? Restoran Can-lok atau rombongan penyanyi? Anak buah Bibi Cong
cantik-cantik, muda dan suaranya emas atau Kongcu suka,..ehmm.. ditemani
bidadari jelita? Tinggal pilih menurut selera Kongcu.�
Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai
pelacur. Kwee Seng tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka
jangan bicara sambung-menyambung membikin bising.
�Dengar baik-baik, jangan ribut sendiri!� katanya
tertawa.
"Aku hanya membutuhkan sebuah perahu kecil yang
dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil yang bersih dan tidak
bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan arak dan dua cawannya,
beberapa macam masakan yang panas-panas dan kemudian boleh panggil seorang
pelacur yang pandai bicara, pandai main yangkim meniup suling, pandai bernyanyi
dan pandai bermain catur.�
"Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa
pakai perahu kecil terbuka? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih
dan enak, tidak terganggu dari luar�
Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah.
Pemuda ini tidak pantang bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya
sampai pada batas mengobrol dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main
catur atau mendengarkan si cantik bernyanyi atau menabuh yangkim meniup suling
saja.
Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung,
"Ada! Ada! Jangan khawatir, Kongcu, perahu saya
kecil bersih, dicat biru dan tanggung tidak bocor. Lima belas ceni saja untuk
semalam suntuk!�
"Dan perempuan yang kukehendaki itu ada tidak?
Pandai bicara, pandai main musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak
menolak minum arak!�
"Wah, wah yang sepandai itu agaknya, hanyalah
Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah) seorang, Seorang bidadari yang tercantik dan
termahal disini!�
"Bagus! Kaupanggil Ang-siauw-hwa untukku,� Kata
Kwee Seng, senang hatinya.
"Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil
si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga pandai segala biarpun tidak secantik
Ang-siauw-hwa atau si Kim-lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan
cantik jelita, akan tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak�
Hati Kwee Seng sudah kecewa.
"Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa
tidak mungkin memanggil dia ? Berapa harganya ? Aku sanggup bayar!�
Orang-orang itu menggeleng kepala dan seorang yang
setengah tua berkata, suaranya perlahan seperti takut terdengar orang lain,
"Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat terkenal
disini dan setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang, biarpun
Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita disini, namun dia bukanlah
pelacur sembarangan. Dia hanya mau melayani bicara dan bernyanyi, main catur
atau minum arak, bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah terdengar
Ang-siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan.
�Bagus, dialah pilihanku! Panggil dia!� Kwee Seng
tertarik sekali.
Akan tetapi orang-orang itu menggeleng kepala.
"Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe (Hartawan
Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu. Ia menuding ke arah tengah telaga di
mana tampak sebuah perahu Lim-wangwe sendiri yang mengadakan pesta bersama lima
orang pendekar yang menjadi tamunya. Sejak pagi tadi Ang-siauw-hwa berada di
sana, mungkin sampai semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu suara
suling tiupan Ang-siauw-hwa.�
Kebetulan angin bersilir dari arah telaga dan
tertangkaplah oleh telinga Kwee Seng tiupan suling yang merdu dan halus.
�Lebih baik jangan panggil dia, kongcu. Yang lain masih
banyak, boleh Kongcu pilih sendiri. Ang-siauw-hwa hanya mendatangkan ribut
belaka.�
Beberapa orang memberi isyarat akan tetapi pembicara itu
agaknya sudah terlanjur dan berkata,
"Pagi tadi timbul keributan karena dia, Lo Houw
(Macan Tua), Seorang tukang pukul yang terkenal di daerah ini, memaksa hendak
mengajak Ang-siauw-hwa dan biarpun perempuan itu sudah lebih dulu dipanggil
Lim-wangwe, Lo houw tidak mau peduli dan hendak merampas Ang-siauw-hwa, bahkan
mengeluarkan kata-kata memaki Lim-wangwe. Kemudian ia mendatangi Lim-wangwe
dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir. Kami mengenal kekejaman
dan kelihaian Lo Houw, dan kami saying kepada Lim-wangwe yang berbudi halus dan
suka menolong kami yang miskin. Akan tetapi, apa terjadi ? Lo Houw menyerang ke
sana dengan perahu, akan tetapi ia kembali ke pantai dengan basah kuyup!�
Orang itu tertawa dan yang lain juga tertawa, biarpun
ketawanya sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan takut kalau-kalau mereka
terlihat orang.
�Ah, apa yang tejadi?�
"Kabarnya menurut tukang perahu yang kebetulan
berada di dekat sana, Lo Houw meloncat ke perahu besar dan memaki-maki. Akan
tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara tamu Lim-wangwe dan dalam beberapa
gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu terlempar ke dalam air!�
"Ha-ha, dia harus berenang ke tepi!� Kata seorang
lain.
Kwee Seng tersenyum. Hal semacam itu tidaklah aneh
baginya yang sudah biasa bertemu dengan peristiwa pertempuran yang lebih hebat
lagi.
"Biarlah, kalau ia sedang melayani hartawan itu, aku
pun tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja sebuah perahu kecil yang baik,
sediakan satu guci arak dan cawannya bersama sedikit daging panggang, tiga
macam sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya, lebihnya boleh kau miliki.�
Kwee Seng mengeluarkan dua potong uang perak yang
diterima dengan tubuh membongkok-bongkok oleh tukang perahu setengah tua itu
yang merasa kejatuhan rejeki.
�Hei, tukang perahu gembel ! Lekas sediakan perahu
terbaik, lima guci arak wangi, lima kati daging, lima macam sayur dan nona-nona
manis lima orang yang cantik-cantik dan muda-muda! Eh., kembang pelacur yang
kalian obrolkan tadi, siapa namanya?
Kwee Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara
yang besar dan nyaring ini. Ketika melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya
Kwee Seng yang terperanjat, juga semua tukang perahu memandang dengan mata
terbelalak, tak seorangpun menjawab.
Pembicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar,
sekepala lebih tinggi daripada orang yang berukuran tinggi umum. Melihat
pakaiannya yang sederhana dan longgar, apalagi melihat kepalanya yang gundul,
orang tentu mengatakan bahwa ia seorang hwesio. Akan tetapi yang meragukan,
kalau benar ia seorang pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan
pelacur? Anehnya pula, dia itu seorang diri, mengapa memesan demikian banyaknya
makanan dan minuman yang serba lima takar, juga memesan lima orang pelacur?
Pertanyaan-pertanyaan inilah agaknya yang membanjiri
pikiran para tukang perahu sehingga sampai lama mereka terheran-heran tak mampu
menjawab.
�Heh ! gembel-gembel busuk, mengapa kalian diam saja ?
Apakah kalian tuli dan gagu?� Laki-laki tinggi besar gundul yang usianya
tentu lima puluh tahun itu membentak.
Seorang tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura
sambil tertawa-tawa.
"Maaf .eh, Lo-suhu tapi-tapi yang Lo-suhu pesan
begitu banyak�
Hwesio itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang
berdiri dengan tenang, menaksir-naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa
gerangan hwesio aneh ini.
�Heh-heh, seorang pelajar melarat saja mampu menyewa
perahu dan membayar arak, apakah kau kira aku seorang perantau lain tidak
mempunyai uang?�
Ia menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga
tampaklah lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik jubahnya dan
keluarlah sebuah pundi-pundi berisi penuh uang. Dibukanya tali pundi-pundi itu
dan hwesio itu memperlihatkan potongan-potongan uang emas dan perak! Para
tukang perahu memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah selama hidup
mereka tampak sekian banyaknya uang.
�maaf, maaf, Lo-suhu, bukan sekali-kali saya meragukan
Lo-suhu takkan dapat membayar. Hanya, Lo-suhu seorang diri, Pesanannya begitu
banyak, apalagi pakai lima orang bidadari�
"Heh..heh, goblok ! Apa salahnya ? Malah kembangnya
pelacur itu harus pula melayani aku, berapapun biayanya akan aku bayar.�
Tapi, Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di
perahu mewah yang berada di sana tukang perahu itu menunjuk. Hwesio tinggi
besar memandang dan mulutnya yang berbibir tebal mengejek.
�Biarlah nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan
pesananku semua. Cepat dan ini uangnya, lebihnya boleh kalian bagi-bagi!�
Hwesio itu mengeluarkan belasan potong uang perak dan
melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar sampah saja.
Gegerlah para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka
kejatuhan rejeki besar. Seperti berlumba mereka lari kesana-kemari untuk
memenuhi pesanan hwesio aneh. Akan tetapi Kwee Seng sudah merasa muak perutnya
dan begitu pesanannya tiba, ia segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi
makanan dan minuman pesanannya, kemudian ia mendayungnya ke tengah telaga tanpa
mempedulikan lagi hwesio tadi.
"Hemmmm, Menjemukan sekali. Pikirnya. Kalau para
pembesar negeri suka mencuri uang negara dan makan sogokan seperti
anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya melanggar pantangan, minum arak,
makan daging dan main perempuan, akan bagaimanakah jadinya bangsa dan
negara?�
Berpikir sampai disini hati Kwee Seng merasa kecewa
sekali. Akan tetapi pemandangan telaga itu benar-benar indah sehingga
kekecewaannya terobati. Hari menjelang senja dan matahari di ujung barat tampak
tenggelam ke dalam air telaga, kemerah-merahan dan indah sekali. Kwee Seng
mulai makan daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit memang ia
tidak begitu suka minum arak.
Makin gelap cuaca tanda malam tiba, makin indah di situ.
Bulan muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak
sedikitpun awan, permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, seakan-akan
terbakar menjadi emas, berkilauan. Angin bersilir membuat air emas itu berombak
sedikit dan bunga-bunga teratai yang berkelompok disana-sini mulailah
menari-nari menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri. Perahu-perahu yang
berkeliaran di permukaan telaga mulai memasang lampu yang dihias dengan
beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di
telaga itu.
Tiba-tiba telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara
suling yang sayup sampai, suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak
air. Kwee Seng tertarik dan mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara
suling itu keluar dari sebuah perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat
mendengar suara suling dengan jelas sekali. Akan tetapi ia segera menjadi
kecewa. Suara itu tadi indah kedengarannya karena dipermainkan oleh angin. Setelah
mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan bahwa biarpun peniupnya menguasai
lagu dan irama, namun tiupannya kurang tenaga dan amat lemah, tidak membawakan
perasaan hati peniupnya. Akan tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan
yang mendebarkan jantungnya. Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu
Lim-wangwe yang sedang menyambut lima orang tamunya da mungkin sekali suling
itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa seperti yang diceritakan oleh para tukang perahu
tadi !
"Hemm, kalau benar wanita itu yang meniupnya,
lumayan juga! Setidaknya, kalau seorang pelacur saja dapat meniup suling
seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur yang luar biasa.�
Ketika suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan
tertawa-tawa memuji dari dalam perahu, tanda bahwa orang-orang yang berada di
dalam perahu itu gembira dan kagum. Tak lama kemudian, kembali suling itu
berbunyi, kini mainkan lagu yang menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu Bulan
mengembara cari kekasih. Kalu tadi kwee Seng hanya kecewa mendengar tiupan suling
yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya terasa sakit mendengar betapa
lagu kesayangannya dirusak orang. Karena tidak dapat menahan lagi, pemuda yang
sudah terpengatuh oleh hawa arak itu mengeluarkan sebatang suling dari dalam
bajunya dan tak lama kemudian melengkinglah suara sulingnya melayang-layang di
permukaan telaga, mendesak suara suling pertama yang keluar dari perahu besar.
Karena suara suling Kwee Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama
tenggelam dan tak terdengar lagi.
�Sahabat, alangkah indah bunyi sulingmu!�
Kwee Seng yang baru saja menghabiskan bait terakhir cepat
memandang. Seorang wanita dengan pakaian serba indah berwarna merah muda,
berdiri di pinggiran perahu dan kelihatan seperti seorang dewi telaga.
"Ah, kalau saja aku bersayap, aku akan terbang
membebaskan diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu, sahabat�
Kwee Seng tercengang. Inikah pelacur yang berjuluk
Ang-siauw-hwa? Pantas saja terkenal menjadi kembangnya sekalian pelacur di
daerah Telaga Barat ini, pikirnya sambil memandang kagum. Tentang
kecantikannya, tak dapat ia menilai teliti karena keadaan yang remang-remang
itu tidak cukup menerangi wajah si gadis, akan tetapi, selain pandai meniup
suling juga kata-katanya begitu halus dan teratur, dari ucapannya itu saja
mudah diduga bahwa nona ini tentu pandai bersyair.
Dengan hati tertarik Kwee Seng mendayung maju perah
kecilnya untuk mendekati perahu besar dan agar ia dapat memandang lebih jelas.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara memanggil dari bilik perahu besar dan
nona berpakaian serba merah muda itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam
perahu besar.
Kwee Seng sadar daripada kebodohannya. Perempuan itu
sudah disewa hartawan pemilk perahu besar, mau apa ia mendekat ? Ah, mengapa ia
begitu tertarik kepada seorang wanita pelacur? Kwee Seng sadar akan
kebodohannya sendiri dan menggerakkan dayung untuk menjauhi perahu besar. Akan
tetapi pada saat itu ia melihat sebuah perahu meluncur cepat ke arah perahu
besar dan di dalam perahu ini terdapat seorang hwesio tinggi besar bersama lima
orang wanita pelacur yang sedang minum-minum dan tertawa cekikikan seperti segerombolan
kuntilanak, Kwee Seng cepat mendayung perahunya menyelinap dan bersembunyi di
belakang perahu besar untuk mengintai karena ia merasa curiga menyaksikan
gerak-gerik hwesio tinggi besar yang aneh itu.
Dari balik perahu besar itu Kwee Seng melihat jelas
betapa hwesio tinggi besar itu sekali menggerakkan kaki telah melayang naik ke
atas papan dek tanpa menimbulkan guncangan sedikitpun juga. Kwee Seng kaget dan
kagum. Hwesio ini benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke
perahu hwesio tadi, ia merasa muak. Lima orang wanita pelacur yang memakai
bedak tebal itu dalam keadaan setengah telanjang dan awut-awutan rambutnya,
tertawa cekikikan dan bersenda gurau, agaknya sudah mabok semua !
Perahunya yang tidak di kuasai oleh hwesio telah oleng ke
kanan kiri tanpa diketahui lima orang pelacur mabok. Karena merasa muak, Kwee
Seng tidak mempedulikan mereka dan ia kembali memandang ke arah hwesio yang
berdiri kokoh seperti batu karang diatas papan dek perahu besar.
�Heh, hartawan she Lim!�
Hwesio itu berseru dan suaranya yang parau keras itu
menembus desir angin.
"Lekas serahkan Ang-siauw-hwa kepadaku, kutukar
dengan lima orang yang berada di perahuku!�
Tiba-tiba dari pintu bilik perahu besar itu meloncat
seorang laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya
terhias sebatang golok. Gerakan laki-laki ini ringan dan cepat, tahu-tahu ia
sudah berdiri di depan hwesio itu dengan mata berkilat.
"Eh, eh, hwesio jahat darimana berani mengganggu
kesenangan kami ? Apakah kau sahabat dari Si Jahanaman Lo Houw yang kulempar ke
dalam air?�
Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa.
"Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan tidak
kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil Ang-siauw-hwa,
kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang disebut-sebut
kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang. Lekas suruh
dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut
semua penumpangnya!�
"Hwesio sesat! Pergilah!�
Si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat.
Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu
memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat. Hwesio ini mencari
penyakit, pikirnya, penghuni perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah.
Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar,
tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu
secara berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu
masih tertawa, sama sekali tidak mengelak. Celaka, pikir Kwee Seng, betapapun
lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga
dalam itu?
�Buk ! Buk!� Dua buah pukulan itu tepat mengenai dada
dan lambung.
Si Hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak
terpengaruh dua pukulan itu. Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian
tampak sinar bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan cepat ke
mengarah leher.
Celaka kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut
celaka bukan untuk si hwesio karena segera ia maklum bahwa hwesio itu
benar-benar memiliki sin-kang yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si
jangkung itu hanya akan berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya
sedikit menggerakkan tubuhnya si hwesio sudah mampu mengelak dan sebelum si
jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah tertangkap dan sekali
melontarkan tangkapannya sambil tertawa, hwesio tinggi besar itu sudah melempar
lawannya jauh ke luar perahu !
Air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam
usahanya menyelamatkan diri.
Kini muncul seorang pendek gemuk dengan sebatang toya
melintang di tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan
toyanya menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung
tadi, dapat di bayangkan betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang
yang kuat agaknya akan pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama
sekali tidak mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu
dengan pangkal lengannya.
Si hwesio masih tertawa-tawa dan kedua lengannya
bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik keras dan tubuhnya terlempar keluar
perahu. Kembali terdengar air menjebur dan tubuh gemuk itu tenggelam timbul,
agaknya lebih parah lukanya daripada sutenya.
�Hebat� Diam-diam Kwee Seng terkejut dan kagum.
Perhatiannya kini tertuju pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan
hwesio yang demikian lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang
dikalahkannya secara mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang
dapat mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan. Akan tetapi kalau memang
hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu
gila-gilaan? tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang terkenal.
Merampas seorang pelacur! Benar-benar mengherankan sekali !
Sementara itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan
tiga orang laki-laki. Usia mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan
ketiganya memegang pedang. Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah
agaknya lebih cekatan daripada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio.
Begitu keluar, mereka serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang
mereka.
Kwee Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera
perhatiannya tertarik oleh kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian
merah muda berlari-lari ke pinggir perahu besar itu lalu wanita itu meloncat ke
air!
"Byurrr!� air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu
lenyap !
Celaka Untuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu
Kwee Seng menyebut celaka, akan tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah
terjunnya si pakaian merah tadi. Selagi ia hendak menyelam, tiba-tiba wanita
itu muncul dan legalah hati Kwee Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai
berenang !
Ah, benar-benar pelacur yang aneh sampai berenang pun
pandai! Pelacur itu memang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa yang kini berenang
cepat ke arah perahu Kwee Seng.
�Kongcu yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang
bernasib malang� katanya sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir
perahu. Akan tetapi beberapa kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu
itu terlampau tinggi dari permukaan air.
Kwee Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh
wanita itu ke dalam perahunya. Ia memandang, kagum. Memang patut dikagumi
wanita ini. Pakaiannya basah kuyup dan karena pakaian ini terbuat daripada
sutera tipis dan halus, maka kini tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk
tubuh yang padat ramping, dengan lekuk lengkung sempurna, tubuh seorang wanita
muda yang sudah masak.
�Kenapa kau meloncat ke air?� Kwee Seng bertanya,
menekan gelora jantungnya yang membuat darah mudanya yang bergerak lebih cepat
daripada biasanya.
�Ah, hwesio itu demikian hebat. Kalau aku dirampasnya
bagaimana nasibku? Lim-wangwe yang sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua
bersikap sopan kepadaku, akan tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik
sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah aku biarlah aku akan mengerjakan apa saja
yang kau kehendaki untuk membalas budimu ini.�
Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau
harum menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum
manis dan mengerling penuh arti.
�Aku aku bersedia menolong, tapi tapi aku tidak
menghendaki apa-apa darimu jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.�
Wanita di belakangnya menarik napas panjang.
"Ahhh.sudah kuduga, kau seorang pelajar yang sopan
dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna susila macam
Ang-siauw-hwa?� Suaranya mulai terisak.
"Beginilah nasibku, kongcu hanya orang-orang rendah
budi saja yang suka berkenalan denganku, dengan maksud yang kotor, akan tetapi
orang baik-baik selalu menjauhkan diri dariku.�
Kwee Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah
nasib wanita yang terperosok ke Lumpur kehinaan.
"Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak memesanmu
menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga sammbil bersuling dan bernyanyi
atau mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa hartawan itu, aku
berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku sekali-kali bukan
menolongmu karena hendak minta upah. Nih, kaupakai jubah luarku untuk menahan
dingin dan angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari sini.�
Setelah melemparkan jubah luarnya untuk dipakai
berselimut Ang-siauw-hwa, Kwee Seng cepat mendayung perahunya.
Akan tetapi di atas perahu besar terdengar suara
berkerontangan, disusul pekik-pekik kesakitan dan berturut turut tubuh tiga
orang jago silat itu pun terlempar ke dalam telaga. Bahkan orang ke tiga
terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul bentakan hwesio itu yang parau dan
nyaring.
�Ah, Ang-siauw-hwa kembang pelacur ! Kau hendak lari ke
mana ? Tak boleh lari sebelum melayaniku sampai puas!�
Melihat menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee
Seng menggerakkan dayung sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh
orang itu terbanting ke dalam air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air
muncrat membasahi bajunya.
�Ah, celaka kita, kongcu�
Ang-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah
dingin itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
"Tak usah takut, kita akan minggir menjauhi dia.�
Jawab Kwee Seng sambil mengerahkan tenaga mendayung
sehingga perahunya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Ang-siauw-hwa menengok dan melihat betapa hwesio yang
menakutkan itu sudah meloncat ke dalam perahunya sendiri. Sekali ia
menggentakkan perahu, lima orang pelacur yang mabok-mabokan di dalam perahu itu
terlempar ke dalam air pula !
"Menjemukan ! Tingallah kalian di air!�
Kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia
mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng. Sementara itu, para penghuni
perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang pelacur yang
menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
�Kongcu, dia dia mengejar,� Ang-siauw-hwa memeluk
pinggang Kwee Seng dari belakang.
Bau harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya
membuat Kwee Seng meramkan matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya
mengeluh. Usianya sudah dua puluh dua dan belum pernah ia berdekatan begini
dengan seorang wanita. Getaran yang menggelora di jantungnya melemahkan tenaga
sakti sehingga kurang cepat ia mendayung perahu.
"He, anak tolol ! Apakah kau bosan hidup ? Berhenti
dan berikan gadis itu kepadaku!�
Suara hwesio itu melengking di telinganya. Akan tetapi
Kwee Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
�Kau ingin mampus!� Suara ini disusul oleh desir
angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan
tangannya dan dari ujung lenan bajunya menyambar angin yang memukul runtuh
benda itu yang ternyata adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas
hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang
amat tangguh, mungkin lawan yang paling tangguh yang selama hidupnya pernah ia
hadapi. Dengan adanya Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti
melemahkan kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio
kosen itu, apalagi kalau diingat bahwa hwesio memang bermaksud merampas
Ang-siauw-hwa. Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya.
Kepandaiannya di atas air hanya terbatas dan sekali jatuh ke dalam air, takkan
ada gunanya lagi. Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga
sekuatnya sehingga perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu
hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik
lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya melompat ke darat, lalu berkata lirih,
"Nona, cepatlah, kau lari dari sini!�
"Tapi, tapi kau bagaimana, Kongcu�
"Jangan pikirkan aku, lekas lari.�
Kwee Seng mendorong wanita itu dalam gelap, kemudian ia
meloncat lagi ke dalam perahunya dan mendayung ke bagian lain dari tepi telaga
itu untuk menyesatkan perhatian si hwesio terhadap Ang-siauw-hwa. Usaha dan
akalnya ini berhasil baik, karena perahu hwesio itu terus mengikutinya setelah
mendekat, kemudian terdengar hwesio itu berseru keras.
�Bocah setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun
kepadamu!�
Akan tetapi karena ia sudah terbebas daripada keselamatan
Ang-siauw-hwa kini Kwee Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala
perahunya, berkipas-kipas diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio.
Setelah dekat ia berkata,
"Lo-suhu, seorang tokoh agama seharusnya mengekang
nafsu memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu
malah mengejar-ngejar seorang pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan
memukul orang mengandalkan kepandaian?�
Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya
mengandung teguran pedas.
�Heh he he he, bocah yang masih bau ASI, Macam engkau
ini hendak memberi kuliah kepada Ban-pi Lo-cia ? Heh he he!�
Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi keras
seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan tampaklah sinar
hitam melecut-lecut di udara. Kiranya kakek itu sudah mengeluarkan sebatang
cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng seperti seekor ular
hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar disebutnya nama
Ban-pi Lo-cia! Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang
sekali muncul di dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat
jahat, keji dan berilmu tinggi.
Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir
adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang
ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat
muncul secara tiba-tiba di tempat ini?
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya
yang membuat ia lengah sehingga ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia
hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu pinggangnya sudah telibat cambuk yang
bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakan tangan kanannya, tubuh
Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk ! Kwee Seng
terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal. Dengan kipas di
depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk
menahan tekanan ujung cambuk yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan
dirinya terlempaar melayang ke arah Ban-pi Lo-cia yang berdiri di atas perahu
sambil menyeringai ! Orang gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap
Kwee Seng yang dianggapnya seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat,
maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika
tubuh Kwee Seng sudah sudah melayang ke dekatnya, tiba-tiba angin pukulan yang
hebat bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di
lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga
hampir saja jalan darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok !
Ketika raksasa itu mengelak ke belakang, tahu-tahu kaki
Kwee Seng sudah menotol pundaknya dan menggunakan pundak raksasa ini sebagai
batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan
tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri dari pada libatan ujung cambuk.
Usahanya berhasil. Ban-pi Lo-cia berseru heran dan tubuh Kwee Seng sudah
melayang kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan pohon kembang di pinggir
telaga yang cepat disambarnya dan dengan ayunan indah tubuh pemuda itu sudah
berada di darat, berdiri dengan tenang ! dan dengan kipas di tangan sambil
memandang ke arah lawan yang masih berada di atas perahunya !
"He he he, kau boleh juga, bocah!" Ban-pi
Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan
ledakan-ledakan keras. Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan
bagaikan didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir
telaga, kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan
Kwee Seng!
Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh
perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali akan tetapi di dalam
keindahan itu tersembunyi kengerian yang di timbulkan oleh pandang mata kedua
orang yang saling bertentangan ini. Pinggir telaga sudah sunyi karena mereka
yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk, sudah melarikan diri
cepat-cepat akan tetapi ada pula beberapa orang yang bersembunyi dan melihat
dua orang itu berhadapan dari jauh.
"Ban-pi Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar
namamu dan ternyata keadaanmu cocok benar dengan namamu!" kata Kwee Seng
yang kini sudah mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya dan memegang
suling itu di tangan kanannya sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia
maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus di Bantu sulingnya,
karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai
kemenangan.
"Heh, kau mengenalku ? Dan kau bilang cocok
seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang
bagaimana kausebut cocok dengan namaku?"
"Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam
keji dan memuja kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar
dengan perbuatanmu sekarang?"
"Wah, sombong ! Bocah bermulut lancang, siapa
namamu?"
"Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi
tidak meninggalkan nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa."
"Heh..heh, kata-kata muluk ! Kau berlagak sopan dan
terpelajar, akan tetapi bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang pelacur
telaga ini ? He-heh, orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku
lebih suka secara terbuka dan terang-terangan, sebaliknya engkau suka
sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang
palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di tangan Ban-pi Lo-cia!"
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam
bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar
kepala.
Hebat bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya,
cambuk sakti yang terkenal dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar).
Gerakan cambuk ini mengandung getaran penuh dari sin-kang yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Jangankan terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja
membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan
kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk
menjungkalkan lawan yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya !
Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas dan
licin, akan tetapi jangan dipandang ringan senjata ini. Bahannya saja terbuat
daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat belasan tahun
sekali di lautan utara, diantara gunung-gunung es. Di tangan Ban-pi Lo-cia,
cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas melebihi sutera, bisa
kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah senjata pun di dunia
yang mampu membabatnya putus. Menyaksikan gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia
berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani
main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi
permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk
halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu
sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu
pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas
Lo-hai San-hoat. Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas
Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat
setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek
Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya.
Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat
mengalahkannya. Dan sekarang mengahadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti,
terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dima! in! kan dengan lincah dan penuh
mengandung tenaga sin-kang. Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi
melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat
sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar.
Adapun kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totoka-totokan
maut oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah
yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak
menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh
suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan
ilmu cambuk lawannya, sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main
menyaksikan gerakan lawan. Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada
Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak
menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat.
Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan
cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya
sehingga terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan
gerakan ujung lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal
betul bahwa suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas
itu mainkan ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan
permainan orang lain.
Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat
itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan-gerakan
dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi ! Diam-diam Ban-pi Lo-cia
harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang
bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang
itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar
kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku
hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang
kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah !
Sekali serang, cambuk itu sudah menyambar secara
berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun-ubun kepala,
leher, lalu pusar. Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada
ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki untuk
menghindarkan diri serangan pada leher. Adapun pecutan pada pusarnya ia tangkis
lagi dengan sulingnya sambil menggerakan kipasnya ke depan menotok jalan darah
pada siku lawan. Kalau totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan
terpaksa melepaskan cambuk.
Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sin-kang dan
ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia
tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.
Robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi
totokan itu meleset tidak mengenai sasaran. Kwee Seng terkejut karena tak mampu
menarik kembali sulingnya yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju
setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan
kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang ke arah pusar
!
Diserang secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru
keras dan tubuhnya meloncat ke belakang. Ia berhasil berhasil menyelamatkan
diri dari bahaya, namun sekali renggut dengan pengerahan tenaga oleh Kwee Seng
membuat suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk! Kwee Seng menahan rasa
sakit pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.
�Hebat! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan
kini tangan maut Ban-pi Locia!�
Seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri.
Memang raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita
muda yang cantik dan berkelahi!
Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda
cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya !
Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri
dari lawannya, cambuknya di gerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi
gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran
yang telan-menelan membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring
seperti halilintar menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis. Dengan cambuknya
yang panjang, raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa
bahaya diserang kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek.
Sambil menghujani lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut
itu, Ban-pi Lo-cia lari mengelilingi Kwee Seng.
Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti
yang terkenal ini selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan-segan
menggunakan akal pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa karena dia
berada dalam lingkaran, kedudukannya berbahaya, dan membutuhkan ketenangan
sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba
menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri,
tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang di atas
kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian bawah.
Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan
tetapi seakan-akan dapat melihat jelas, ia menggeser kaki setiap kali lawannya
berada di belakang tubuhnya. Serangan-serangan membanjir datang dari belakang,
kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia
kebut dengan kipas. Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan
pertandingan yang berat sebelah karena Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan
Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang.
Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya ? Apakah ia
memandang rendah lawannya ?
Bukan, sama sekali bukan ! Karena kehebatan lawannyalah
maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia
membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian
sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk
lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan
perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup
untuk menangkap gerakan lawan. Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini
rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas
menyerang? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak
mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya cepat lelah karena harus banyak
bergerak dan lari-lari mengitarinya, sedangkan dengan penjagaannya yang kokoh
dan kuat ia mampu mempertahankan diri.
Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu
lebih kuat daripada yang gerak. Gentong air yang penuh tak tersembunyi, yang
kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh.
Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia
persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat
keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya daripada si penyerang.
Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga
lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri
dengan kokoh dan kuat.
Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan
cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus
menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis
lawan. Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini
bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah.
Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat
sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai daripada lawan ini.
Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai
menangkis semua serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari
kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki
kanannya tampak keluar dari sepatunya.
Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia
menggerakkan cambuk ke atas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk
memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke
depan. Segumpal tanah melayang cepat sekali memasuki
lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat
menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.
Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya
menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.
Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
ini. Ia meloncat ke depan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan
suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut. Namun Ban-pi Lo-cia
adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan
segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini
tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang
agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk
benteng sinar bergulung di depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng
dapat ditangkisnya. Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lwee-kangnya.
Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya
Keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh
bergulingan di atas tanah !
Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi
mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka
berseri,
"Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!�
Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas
memulihkan tenaganya.
"Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!� jawabnya.
Kembali Si Raksasa gundul tertawa.
"Aku pernah mendengar sayup sampai tentang seorang
tokoh berjuluk Kim-mo-eng, yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan.
Agaknya kaukah orangnya?�
"Tidak salah, para Locianpwe memberi sebutan
Kim-mo-eng kepadaku.�
�Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya ? Kau kira
Ban-pi Lo-cia kalah olehmu ? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah.
Mari kita lanjutkan!�
Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan
kanan yang sudah pulih kembali.
Kwee Seng juga bangkit berdiri.
"Aku selau melayani, kalau kau memang hendak
berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak melakukan
hal-hal jahat!�
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan
memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia
hendak mengadu tenaga dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga
bahwa dalam hal tenaga dalam, ia menang setingkat.
Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda
itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin
menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya. Sulingnya
sudah retak dan kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, tentu akan hancur
sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa, Kwee
Seng mengerahkan gin-kang dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi
serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan
karenanya ia lebih gesit daripada lawannya yang tua dan tinggi besar.
Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba
mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia
tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah muda bagi Ban-pi Lo-cia untuk
mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan ke dua yang sama
dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter
jauhnya. Pertandingan telah setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing,
sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap
putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.
�Bah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru
sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku
benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan, ke dua dengan kau inilah ! Heh-heh-heh ! Orang muda, aku pernah mendengar
kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti,
akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat
kulawan?�
"Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi
murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau
membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita
lanjutkan.�
Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran
menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.
�Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!�
Ban-pi Lo-cia menerjang maju dan kini ia membekuk
cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat
ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya,
berbareng menyodokkan kipasnya.
Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur ! Akan
tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas
sehingga mendadak perut itu menjadi mulas! Kalau orang lain terkena totokan
ujung kipas yang mengandung tenaga sin-kang, tentu akan tembus perutnya atau
rusak isi perutnya, mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal
itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak lombok saja !
�Serrr.. serrr..serrr!� Belasan batang anak panah
menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia. Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan
anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar
belasan orang yang bersenjata lengkap.
�Inilah hwesio jahat itu ! Serbu..! Keroyok.!
Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat
bersama teman-temannya, sedangkan di belakang mereka masih tampak puluhan orang
yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah telaga itu
telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan
lima orang jago silat sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.
Kwee Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu
bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan
kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang,
kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa
terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka
yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan
mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi
Lo-cia yang mereka sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.
�hei, Kwee Seng, belum selesai pertandingan kita, lain
kali kita lanjutkan!�
Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin
penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi setelah membunuh tujuh orang. Akan
tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng
tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang
tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi
telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai
menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang
hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat
memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak
terganggu orang lain.
Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan
mengacuhkannya. Akan tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu,
dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke
kiri, dia sendirian di situ !
Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa, pakaiannya masih
serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi
terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih
sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan
permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum
manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga
oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah
malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.
�Kongcu, kau kenapa? Kau terluka?�
Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala.
Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya.
"Ah.., kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali.
Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu disini dan
kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh namanya?�
�Ooh.� kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan
hatinya.
Ang-siaw-hwa menarik lengannya. Tentu saja jodoh. Kongcu,
marilah ikut Ang-siauw-hwa, kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa
merawatmu. Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng
tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.
�Kenapa.kenapa kau begini baik kepadaku� Tanya Kwee
Seng, dan berusaha menolak.
Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan
diguncang-guncangnya.
"Kenapa.? Karena kau telah menolong nyawaku,
menyelamatkan kehormatanku. Kongcu, karena karena aku ingin belajar bermain
suling darimu�
Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas. Pertemuan ini
mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya kerena seharusnya ia dapat
beristirahat memulihkan tenaga tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam
pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya
digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia
dibawa oleh wanita itu.
Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas
pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di
pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan
lengannya.
Melihat betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera
biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat
wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian
yang tipis, ia meramkan matanya kembali.
�Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi
tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan.� Terdengar
Ang-siauw-hwa berkata perlahan.
Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang
wanita pelayan yang tadinya duduk di bawah, bangkit berdiri. Tak lama kemudian
mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.
�Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau
tidur.�
Kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang
menutupi tubuh Kwee Seng. Pemuda ini bangkit duduk, memandang ke sekeliling
lalu berkata, penuh kegugupan dan malu-malu.
�Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini,
menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi�
Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya.
"Mengapa begitu, Kongcu? Tidak sudikah Kongcu
menerima pembalasan budi dariku? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain
memandang rendah kepadaku, seorang pelacur?�
Wanita itu masih memeluknya sambil menangis !
Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini,
yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi
tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang
pelacur.
�Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah
kepadamu. Kau baik sekali.�
Nona itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih
membasahi pipinya, ia tersenyum gembira. Marilah makan, Kongcu.� Katanya
merdu.
Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur
sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah
makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar
kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan
segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi
lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau
malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan duduk diatas
pangkuannya !
"Ah, Nona.ini ini.. bagaimana? Kwee Seng tergagap.
Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku
harus membalas budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi
budakmu dan melakukan apa saja untuk memalas budimu. Kongcu, bolehkah aku
mengetahui namamu?�
Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa
pening dan dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya.
"Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau
mau tahu namaku ? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat
tinggal, miskin dan tak berharga.�
"Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu ? Kau seorang
budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak
berharga, akulah orangnya�
Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi
dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes
dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.
�Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau
terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau
sampa.sampai.�
Tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur