Suling Emas, Bab 28 - Ujian Sarjana

Kho Ping Hoo, Suling Emas, Bab 28 - Ujian Sarjana. Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata,
Anonim
Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata,

‘Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman.!

Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu. begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat.

‘Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk, silakan...!

Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju.

‘In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante.!

Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata,

‘Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk.!

Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang.

‘Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja.!

‘Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar.!

‘Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!!

Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang.

Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian.

Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut.

Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi ‘perantara! bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!

Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!

‘Luar biasa!!

Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu.

‘Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!!

‘Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!! kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan.

‘Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya...!

‘Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!! Cepat Bu Song berkata menghibur.

‘Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!!

‘Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?!

Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja.

‘Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan...!

Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini.

‘Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun.!

Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab,

‘Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau...!

Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hen dak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.

‘Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?! Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura.

‘Saya sendiri bernama Liu Bu Song.!

Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura.

‘Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat.!

Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.

‘Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!!

Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat sambil berlutut!

‘Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat,! Ciu Tang menawarkan.

Orang itu memberi hormat dan berkata,

‘Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!!

Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu, Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!

‘Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!! Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan.

Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah.

‘Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan.!

‘Wah, kionghi..., kionghi..., Liu-hiante!! seru Ciu Tang kegirangan.

Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.

‘Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran ini.!

‘Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!!

‘Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?!

‘Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih diherankan pula?!

‘Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja sekarang juga, Paman.!

Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat.

‘Liu-hiante... memang saya tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?!

‘Apa maksudmu, Paman?!

‘Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga.!

‘Ah, begitukah...?!

Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi.

‘Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!!

Setelah berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata,

‘Harap Paman jangan bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ong-ya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku.!

‘Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante?!

Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat gembira, Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan,

‘Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!!

Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini.

Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu.

Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat!

Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang.

Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat.

‘Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!!

Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya.

‘Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara ini?!

Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan,

‘Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap.!

Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat.

Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka perguruannya.

Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa Geledek), sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat!

‘Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?! dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.

‘Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya.!

Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan.

‘Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan sastera) sekarang ini!!

Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong.

‘Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?!

Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.

‘Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!!

Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah amat berat.

‘Bagaimana, Saudara Liu?! Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.

‘Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali.!

Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.

‘Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!! kata Suma Boan,

kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.

‘Bagaimana bisa pindah ke sini?! Seorang diantara mereka mengomel.

Ciu Tang tertawa dan memberi keterangan.

‘Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja.!

Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan,

‘Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?!

Biarpun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!

Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum.

‘Empat orang tak mampu mengangkatnya, tapi Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!!

‘Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!!

‘Hebat...!!

Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu. Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak.

Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!

Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya. Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan samadhi dan pernapasan.

Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja. Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andaikata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!

Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dan di luar,

‘Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi tidak di sini!!

Ia tersenyum menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan majikan.

Menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren, Bu Song bersikap hormat. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu mucul diikuti oleh dua orang pengawal.

Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.

Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.

Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari Pangeran Suma. Selain rajin, juga Bu Song pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itupun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.

Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela. Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!

Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi. Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.

Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang gemilang?

Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.

Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng,maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan.

Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.

Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?

Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!

Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang! Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.

Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar.

‘Kau... yang ber nama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?!

Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.

‘Maaf... maafkan saya, Siocia ... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja...!

Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.

‘Benar sekali cerita mereka....!

‘Apa maksud Siocia...?!

Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan,

‘Benar sekali... sopan, halus, rendah hati...!

‘Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui...!

‘Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga...!

Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata,

‘Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk...!

‘Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?!

‘Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya...!

‘Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?!

‘Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan...!

‘Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya...!

‘Siocia...!

Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.

Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!

Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.

Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit. Suma Ceng ada lah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andaikata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.

Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau terin gat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.

Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus terbakar.

Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pon dok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.

Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan karena debar jantung yang menggelora, Suma Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari keluar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!

‘Aku tahu kau akan datang...!

‘Aku pun tahu kau menanti di sini...!

Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.

Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak pernah kehilangan benda mainan tersayang kini takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi, didekapnya erat-erat. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini. Keduanya mabok, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu berahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum... mati!

Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta.

Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas dalam dua tubuh yang dicekam nafsu!

Sesosok bayangan berkelebat di depa pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song megantar kekasihnya. Kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.

Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh. Suma Ceng menjerit tertahan Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!

‘Lekas kembali ke kamarmu!! bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.

Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba dibawa ke penjagalan.

‘Bedebah! Anjing tak kenal budi!! Suma Boan memaki bekas sahabatnya.

Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?

Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah.

‘Ikat dia pada pohon itu!! perintahnya, pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.

Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak diketahuinya sendiri dari suhunya, Kim-mo Taisu.

‘Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!!

Suma Boan melangkah maju dan

‘plak-plak-plak!!

Kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.

‘Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta, kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati.!

‘Setan...!!

Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut. Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.

‘Dukk! Duukk!!

Dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.

‘Jaga dia di sini sampai pagi, kalau banyak cakap boleh pukul mukanya tapi jangan dibunuh!!

Akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang istana.

Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali.

‘Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!!

Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.

Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikitpun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.

‘A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kaubicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?!

‘Baik, Kongcu.!

Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata,

‘Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kaupersalahkan dia.!

‘Tutup mulut!!

Bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya.

‘A Piauw, kau ambil secawan arak!!

Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi ia tidak berani membantah, berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah Si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?

‘Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu!, A Piauw, minumkan arak itu padanya!!

A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek,

‘Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur pengantin...!

‘A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu!!

A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah. Adapun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.

Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguhpun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.

Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi. Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi dan Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.

Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi, tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun sampai matahari condong ke barat. Bu Song masih segar bugar biarpun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran keluar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.

‘Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya,!

Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.

‘Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!!

‘Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus....!

‘Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? sudah kau bikin mampus?! Suma Boan mengangguk.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar