Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus,
berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah
cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata,
‘Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya
Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan
sebuah surat untuk Paman.!
Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya
kepada laki-laki berjenggot itu. begitu menerima surat dan membaca nama
pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan
wajahnya berubah penuh hormat.
‘Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo
Taisu? Silakan duduk, silakan...!
Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di
atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul
surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia
melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju.
‘In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak
mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami,
maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante.!
Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
‘Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon
petunjuk.!
Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang.
‘Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan
kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh
celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang
jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap
tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah
mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala
bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi
memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya
dan tidak akan dilewatkan begitu saja.!
‘Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat
besar.!
‘Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau
bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami
sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi
mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!!
Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia
diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak
dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu
sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat
berjalan sampai sekarang.
Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat
ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan
anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal
di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang
sambil menanti pembukaan waktu ujian.
Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu
Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma
Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan
besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga
Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup
ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia
hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan
besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya
tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar
kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono.
Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena
meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang
mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri
selalu memeriksa hasil para pengikut.
Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja,
ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah
girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia
buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan
filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang
menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan
mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk
tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi
uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan
penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang
seringkali menjadi ‘perantara! bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri
kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi
harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah
seorang keponakannya sendiri!
Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu
menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang semula datang ke
kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun
waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak,
menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan
lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang
dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!
‘Luar biasa!!
Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar
pengumuman itu.
‘Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan
karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!!
‘Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!! kata Ciu Tang
sambil menggerak-gerakkan tangan.
‘Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau
tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong
Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya...!
‘Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!! Cepat
Bu Song berkata menghibur.
‘Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali
bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan
biarpun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman.
Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti
mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian
memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat
dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan
bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan
seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal
yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!!
‘Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak
pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?!
Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana
dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada
siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan
penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana
saja.
‘Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana
belum dapat saya katakan...!
Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini.
‘Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah
kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar
seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian
lain tahun.!
Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia
menggeleng kepala dan menjawab,
‘Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka
merantau...!
Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hen
dak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu
Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu
dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.
‘Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu
Song?! Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura.
‘Saya sendiri bernama Liu Bu Song.!
Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas
menjura.
‘Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk
surat.!
Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul
yang gagah tulisannya.
‘Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas
sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!!
Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk
menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat sambil
berlutut!
‘Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit
arak kami yang hangat,! Ciu Tang menawarkan.
Orang itu memberi hormat dan berkata,
‘Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya
mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya
menghadap secepatnya!!
Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya.
Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu, Ciu Tang menarik tangan Bu Song
berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima
surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!
‘Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau
mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu hanya ada
hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!! Suara Ciu Tang gemetar
penuh ketegangan.
Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya
tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai
kertas tipis halus yang penuh tulisan indah.
‘Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut
ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang menghadap secepatnya ke
istana untuk diberi tugas pekerjaan.!
‘Wah, kionghi..., kionghi..., Liu-hiante!! seru Ciu
Tang kegirangan.
Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang.
Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian
ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima
sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri
pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah
karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan
kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya
untuk mentaati perintah suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua
orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat
gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya
mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat
itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.
‘Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku?
Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran ini.!
‘Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan
oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu
ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau
diingat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!!
‘Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi
dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau
Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?!
‘Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan,
Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin
memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun
tentang tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa
hal seperti itu masih diherankan pula?!
‘Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan,
kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan
bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja sekarang
juga, Paman.!
Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu,
mukanya berubah pucat.
‘Liu-hiante... memang saya tidak berhak memaksamu...,
akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?!
‘Apa maksudmu, Paman?!
‘Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan
Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi Suhumu. Akan tetapi
kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur.
Suma-ongya tentu takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan
dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku
sendiri, tentu saja kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga.!
‘Ah, begitukah...?!
Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan
tubuh lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi.
‘Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah
Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia Suhumu dan telah
menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana
memberi muka terang kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak
terima kasih!!
Setelah berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri
berlutut di depan pemuda itu.
Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan
rumah itu dan ia berkata,
‘Harap Paman jangan bersikap seperti ini. Baiklah, saya
akan pergi menghadap Suma-ong-ya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku.!
‘Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti
pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante?!
Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang
berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat gembira, Bu Song menarik napas
panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka
bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian
keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang
jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang
kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan,
‘Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi
pembatu Suma-ongya!!
Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia
dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa
kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini.
Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima
oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana yang megah itu. Semua
perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan
lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa
indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa
ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun
tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan
hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti
itu.
Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan
tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum bangun dari tidurnya!
Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh
Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang
hangat!
Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana
ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga
kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang
mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah
pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi.
Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar,
tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari
luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah
tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan
tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak
menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan
sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah
ini, maka ia duduk saja dengan tenang.
Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini,
segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki
ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya
berkata penuh hormat.
‘Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu
dalam sehat gembira!!
Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang
berlebihan itu dengan anggukan kepalanya.
‘Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian
di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara ini?!
Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian
hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya
pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan,
‘Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song,
mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil
menghadap.!
Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi
hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan
tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana
itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya
sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak
seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat
seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan
senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi
lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat.
Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma
Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak terkenal. Mungkin lebih
terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat,
juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang
mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah
mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru
silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia
memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi
kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka
perguruannya.
Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang
sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu
wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini
kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar
hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu
menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi
dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa Geledek),
sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud
menjilat!
‘Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah
mempelajari silat?! dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan
bertanya, matanya mengincar tajam.
‘Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu
bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya
tidak pernah mempelajarinya.!
Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini
merendahkan.
‘Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan
sastera) sekarang ini!!
Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa
barong.
‘Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada
gunanya?!
Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru,
singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia
sambut lagi kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya
tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan
tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.
‘Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!!
Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka
merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari
batu sebesar itu tentulah amat berat.
‘Bagaimana, Saudara Liu?! Suma Boan bertanya, tidak
pedulikan pujian Ciu Tang.
‘Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum
sekali.!
Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar
ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun
ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan
lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu
luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa
saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada
pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.
‘Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di
tempatnya semula!! kata Suma Boan,
kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan
menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan
lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.
‘Bagaimana bisa pindah ke sini?! Seorang diantara
mereka mengomel.
Ciu Tang tertawa dan memberi keterangan.
‘Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan
ke atas seperti sebuah singa kertas saja.!
Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di
antara mereka mengomel perlahan,
‘Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat
semula?!
Biarpun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan
batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya
bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!
Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum.
‘Empat orang tak mampu mengangkatnya, tapi Suma-kongcu
dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!!
‘Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja
kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita
mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!!
‘Hebat...!!
Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu. Akan tetapi
Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya
bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan
sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan
kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo
Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan
Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak.
Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar
sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan
batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu
menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser
dan terlempar sejauh dua meter!
Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke
dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin
untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau,
jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu
di tempat asalnya. Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya
terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh
latihan-latihan samadhi dan pernapasan.
Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai
mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara
kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia
sengaja. Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan
darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka
mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andaikata tidak secara
kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak
akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus
kati itu!
Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil
menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka.
Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song
teriakan-teriakan kaget dan di luar,
‘Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih
jauh? Tadi tidak di sini!!
Ia tersenyum menganggap para penjaga yang kini datang
delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati
majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di
depan majikan.
Menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah
dan bermuka keren, Bu Song bersikap hormat. Di antara pelajaran-pelajaran dalam
kitab, orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang
bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka
ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika
pembesar itu mucul diikuti oleh dua orang pengawal.
Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu
Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya,
sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat
pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu
mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.
Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia
malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di
sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song
menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang
Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.
Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai
Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin sehingga Pangeran Suma
Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan
dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang
kerapian surat-surat yang terkirim dari Pangeran Suma. Selain rajin, juga Bu
Song pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua
pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itupun
suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur,
Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau membuat
syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi
Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan
menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk
menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.
Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik
dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang
tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati
kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan
harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela. Tidak hanya
dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang
seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar
rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan
Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa dipungut dari
petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran
itu yang luasnya sukar diukur!
Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit
biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah
lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat
romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang,
terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi
ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi. Di sudut taman itu, di
bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah
karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon
berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan
di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ,
akan sifat dari majikan yang amat korup.
Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh
majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para
pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi
keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan
semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang
berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka
dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu
ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang
gemilang?
Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa
lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas.
Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup
sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya
berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum
lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah
larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup
sulingnya.
Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya.
Teringat ia akan Eng Eng,maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu
kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang
keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap
menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang
akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan
suasana malam indah itu berubah mengharukan.
Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang
seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang
merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan
ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya
yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik
segumpal awan hitam.
Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak
di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek
di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan
melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa
mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui
sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?
Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian
lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar
bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar
bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil,
muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi
pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja
berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah
indahnya sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang
berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!
Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini
cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri
majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu
sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua
orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik
kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak
suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang
sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang! Adapun anak
ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik
seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi
semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah
melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia.
Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah
gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati,
tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan
mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan
menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada
berdebar.
‘Kau... yang ber nama Liu Bu Song, pegawai ayah yang
baru...?!
Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula!
Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri
lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak
mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata
bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing.
Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang,
disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan
kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu
pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang
membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
‘Maaf... maafkan saya, Siocia ... memang betul saya Liu
Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja...!
Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi
putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini
sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis
itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar
tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji
ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan
tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya,
memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat
sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
‘Benar sekali cerita mereka....!
‘Apa maksud Siocia...?!
Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga
mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan,
‘Benar sekali... sopan, halus, rendah hati...!
‘Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui...!
‘Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku
menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu
menyuling. Seperti lagu dari sorga...!
Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri
di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan
berkata,
‘Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang
hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk...!
‘Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum
pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan
lagu tadi lagi untukku...?!
‘Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas
bagi saya berada di sini... saya... saya...!
‘Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang
datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau
mainkan tadi?!
‘Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan...!
‘Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa
kau berduka dan menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air
mata mendengarnya...!
‘Siocia...!
Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat
mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan
sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah
mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan
muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil
menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling
ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan
gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok,
berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia
menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya
begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah
puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa!
Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan
juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga
memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!
Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya,
kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam
suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada
keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa
betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda
itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan
menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta
seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama
sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh,
sejauh bumi dan langit. Suma Ceng ada lah puteri seorang pembesar tinggi yang
tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat,
masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi
sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang
tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang
pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya. Seorang pegawai rendahan,
seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andaikata gadis bangsawan itu
tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan
seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran,
tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak
dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus, suaranya yang
halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam
yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun
gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul
dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja
biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng
menangis kalau teringat akan hal ini, kalau terin gat betapa kelak ia tentu
akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya,
bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar
pengaruh dan kekuasaannya. Cinta mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan
mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan
nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah,
menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah,
membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah
terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa
menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru
akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal,
penyesalan dan luka hangus terbakar.
Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya
mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat
mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh,
hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan.
Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia
sudah berada di dalam pon dok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.
Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya
yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah
menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman,
ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah,
bukan karena lari tadi melainkan karena debar jantung yang menggelora, Suma
Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar
kedatangannya. Pemuda itu berlari keluar, mereka berhadapan dan seperti tak
kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka
saling tubruk dan saling rangkul!
‘Aku tahu kau akan datang...!
‘Aku pun tahu kau menanti di sini...!
Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa
masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta.
Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di
mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.
Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia
takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak pernah kehilangan benda
mainan tersayang kini takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi,
didekapnya erat-erat. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu
ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah
merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat,
menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi
miliknya ini. Keduanya mabok, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri
kepada nafsu berahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali
orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan
takkan timbul kembali, sebelum... mati!
Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang
mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan
pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta.
Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma
Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang
terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada
hanyalah terang dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas
dalam dua tubuh yang dicekam nafsu!
Sesosok bayangan berkelebat di depa pondok. Gerakannya
cepat dan gesit sekali. bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti
biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan
tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song megantar kekasihnya.
Kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam
itu.
Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka,
meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh. Suma Ceng
menjerit tertahan Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!
‘Lekas kembali ke kamarmu!! bentak Suma Boan kepada
adiknya yang berlari sambil terisak menangis.
Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali
ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu
mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang
jagal menyeret seekor domba dibawa ke penjagalan.
‘Bedebah! Anjing tak kenal budi!! Suma Boan memaki
bekas sahabatnya.
Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan
tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng
saling mencinta. Apa salahnya?
Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal.
Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah.
‘Ikat dia pada pohon itu!! perintahnya, pelayan itu
menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya
marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para
pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan
kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan
golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.
Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke
belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian mengikat kedua tangan
Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat.
Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang
pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah
terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya
tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak diketahuinya sendiri dari
suhunya, Kim-mo Taisu.
‘Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang
ajar!!
Suma Boan melangkah maju dan
‘plak-plak-plak!!
Kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu
Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.
‘Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling
mencinta, kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati.!
‘Setan...!!
Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan
tangan kiri menghantam ke arah perut. Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang
melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa
nyeri dipukul maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan
perut.
‘Dukk! Duukk!!
Dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa
orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya
bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu
Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.
‘Jaga dia di sini sampai pagi, kalau banyak cakap boleh
pukul mukanya tapi jangan dibunuh!!
Akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari
tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang
hiasan di belakang istana.
Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang
peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan
marah sekali.
‘Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh
saja dia! Siksa biar tahu rasa!!
Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar
anaknya, Suma Ceng.
Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan
menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di
pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikitpun tidak
memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat
majikannya muncul.
‘A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan
antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kaubicarakan
dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu.
Mengerti?!
‘Baik, Kongcu.!
Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu
berkata,
‘Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan
antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku
telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku
bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kaupersalahkan dia.!
‘Tutup mulut!!
Bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil
dari saku bajunya.
‘A Piauw, kau ambil secawan arak!!
Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang
lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi ia tidak berani
membantah, berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa
sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya,
menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah
itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah Si Pengawal bahwa
arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa
tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan
arak beracun?
‘Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri
untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang
golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah
melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku,
biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa
kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti
ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar
kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu!, A Piauw, minumkan arak
itu padanya!!
A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya,
mengejek,
‘Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur
pengantin...!
‘A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan
kepalamu!!
A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya
begitu marah. Adapun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang
amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum
arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan
tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu
Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan
kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.
Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan
kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut
ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia
menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang
dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguhpun
di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan
terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.
Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu
Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan
tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan
nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang
di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas
sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi. Suma Boan
menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi dan Bu Song kelihatan lemah
oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun
itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan
menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa
oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat
disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah
mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.
Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun
tadi, tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun sampai matahari condong
ke barat. Bu Song masih segar bugar biarpun amat menderita. Hal ini membuat
Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk
dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka
Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran
keluar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking
lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak
menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.
‘Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok
pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga
dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya,!
Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan
senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali
seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini
bertemu, mereka berunding.
‘Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira
Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah
kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat
dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh
menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia
seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!!
‘Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir
demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang
tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia
yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus....!
‘Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? sudah
kau bikin mampus?! Suma Boan mengangguk.