Bab 26
˜Kau agaknya sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu
Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?!
tegur Sian Eng.
Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu.
˜Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling
mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak
setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai
mantu seperti kau.! Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul
lagi.
˜Ihhh, jangan begitu..!! Sian Eng melepaskan diri. ˜Soal
perjodohan, bagaimana aku dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan
terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san.!
˜Aku akan pergi ke sana, akan kulamar kau dari tangan
bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah kau
membantuku?!
˜Lihat-lihat urusannya!!
˜Begini, adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu
rimbanya, kiranya muncul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ.
Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia
mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di
waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia
ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah mati,
akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di
tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan
ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui,
ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar
biasa.!
Sian Eng mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan
kanannya menutup bibir pemuda itu.
˜Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapapun
juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.!
Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang
mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.
˜Gila!! cela gadis itu dengan muka menjadi merah. ˜Kau
ceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?!
˜Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan
kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku..!
˜Ihhh!! Sian Eng mengkirik karena merasa seram. ˜Kau
sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau
mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?!
˜Ah, siapa bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku,
Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi?
Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu
daripada segala macam bahaya, dan kelak kalau kita mempunyai anak, aku mampu
menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar
nomor satu di dunia?!
Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang sederhana
pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang
melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan
bingung.
˜Bagaimana kau bisa menemukan tempatnya? Andaikata bisa..
hiiihh, mengerikan sekali!! Gadis ini teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin dan
ia merasa takut.
˜Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di
sana, mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa
bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik
dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah kau mendapat keterangan,
kausampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini
bagus? He, kau mau bilang apa?!
˜Aku.. aku sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui..!
˜Apa..?! Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan
menarik tangan Sian Eng sehingga gadis ini tersentak berdiri dan merasa
lengannya sakit.
˜Auuuhhhhh..! keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia
merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri dan bersungut-sungut.
˜Jangan sekali-kali kau berani lagi berbuat seperti ini
sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani ulangi, aku akan
membencimu!! Matanya berapi-api dan sikapnya menantang.
Suma Boan adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah
banyak pengalamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan merangkul
kaki gadis itu.
˜Maaf Eng-moi, maafkan aku yang tak kuasa mengendalikan
diri saking besarnya cintaku. Mari kita duduk dan ceritakanlah tentang tempat
sembunyi Tok-siauw-kui..!
Melihat pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut
memeluk kakinya dan memohon dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati
gadis Sian Eng yang masih hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang
buta, melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti
kata lengah kehilangan kewaspadaan, pertimbangannya menjadi miring, karena
orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar keluar dari orang yang
dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada perumpamaan kasar yang
berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih, harum baunya!
Demikian pula Sian Eng yang sudah tercengkeram asmara,
segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini seialu menarik, selalu menimbulkan
kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia lalu menyentuh pundak
pemuda itu dan berkata halus.
˜Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan
sekasar tadi.!
Girang hati Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang
mudah dan lunak baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di
bawah pohon besar, diminta menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.
˜Aku sendiri belum melihat tempat itu, hanya mendengar
dari kakakku Bu Sin.! Ia lalu menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu
Sin ketika bersama Liu Hwee melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui
lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.
˜Bagus!! Suma Boan berseru girang. ˜Kiranya Tok-siauw-kui
selama belasan tahun menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam
lorong di bawah tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika
ia keluar dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan keluar
lorong itu menurut cerita kakakmu?!
˜Dia bilang jalan keluar itu merupakan sebuah gua kecil
yang tertutup alang-alang dan tidak tampak dari luar, di sebuah hutan yang
berada dekat dengan tanah kuburan para pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya
hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko melihat ada serumpun bambu kuning tumbuh di
atas gua.!
Suma Boan mengerutkan keningnya, memutar otaknya,
˜Tok-siauw-kui muncul dari dalam gedung sembahyang, tentu
lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik
ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai.!
Sian Eng tidak setuju. ˜Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan
tempat keramat bagi Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat
terlarang bagi orang luar. Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil
dan berusaha mendapatkan gua yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu.!
Suma Boan menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri.
Wajah pemuda bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia
sampai bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang
hebat!
˜Mari kekasihku, mari kita mencari tempat itu! Aku akan
berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan tempat itu.
Mari!!
Berlari-larilah mereka menuju ke tanah pekuburan keluarga
Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja mengambil jalan memutar
agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang Beng-kauw, karena ia maklum bahwa
sekali mereka itu curiga, biarpun di situ ada Sian Eng, mereka tetap akan
mencurigainya dan kalau sampai terjadi bentrok dengan mereka, biarpun ia tidak
takut, namun usahanya ini tentu akan gagal. Ia sengaja memilih waktu malam
untuk menyelundup masuk dan mencari hutan itu yang akhinya dapat mereka
temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan pimpinan
Beng-kauw.
˜Agaknya itulah tempatnya!! akhirnya Sian Eng berseru
girang ketika mereka berdiri di depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk
gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon bambu kuning yang indah. Waktu itu
menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap alang-alang itu dan..
betapa girang hati Suma Boan ketika melihat bahwa di balik alang-alang tebal
itu betul saja terdapat sebuah gua yang setinggi dua meter lebih, gelap dan
menyeramkan seperti mulut seekor naga terbuka lebar.
Suma Boan seorang yang cerdik dan licik. Betapapun besar
nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui, namun ia
tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk memasuki gua terowongan yang
menyeramkan dan belum diketahui benar keamanannya itu. Ia maklum bahwa gua itu
merupakan tempat keramat bagi orang-orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah
dalamnya terdapat tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.
˜Eng-moi, kekasihku, kau tentu suka membantu aku, bukan?
Sebetulnya memang aku yang seharusnya memasuki gua ini dan mencari kitab-kitab
itu. Akan tetapi kau tahu sendiri, kalau ada yang melihatku, tentu terjadi
pertempuran mati-matian dan tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup.
Oleh karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat sukalah
kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga di luar. Andaikata ada tokoh
Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan alasan untuk mencari kakakmu
Suling Emas, atau dengan dalih bahwa kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong
rahasia ini dan karena kau ingin sekali menyaksikan sendiri, maka kau
memasukinya.!
Dengan bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang
masuk akal, terutama dengan janji bahwa setelah mereka menemukan kitab itu,
Suma Boan akan membawa Sian Eng pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw
untuk memibicarakan urusan perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat
membantah lagi.
˜Baiklah, Suma-koko, akan tetapi apapun yang akan terjadi
dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan meninggalkan tempat ini, dan
andaikata aku berhasil kelak mendapatkan kitab-kitab itu, kau harus memberi
kesempatan kepadaku untuk mempelajari ilmunya.!
Suma Boan merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum
lebar. ˜Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya kepadaku?!
Girang hati Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut
pedangnya dan memasuki gua itu dengan hati-hati sekali. Setelah melihat gadis
itu menghilang di dalam kegelapan gua itu Suma Boan lalu menutup dan merapikan
kembali rumpun alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak akan tampak dari
luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut gua dengan hati berdebar-debar.
Sian Eng terus melangkah ke depan dengan hati-hati sekali
karena di dalam terowongan gua itu amat gelap. Kakinya melangkah dengan
pasangan kuda-kuda untuk menjaga segala kemungkinan, pedangnya siap di depan
dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang diinjaknya kering dan tidak licin,
juga rata seakan-akan diratakan oleh manusia. Ia maju terus menyusuri
terowongan yang agaknya tidak ada ujungnya itu. Beberapa kali terowongan itu
berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan di depannya mulai
terang.
Tak lama kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan
sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat dinding batu karang yang agak basah.
Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter.
Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat
meter persegi yang cuacanya terang sekali, karena berbeda dengan terowongan
tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan cahaya
matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang dalamnya lebih
dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan celah-celah di
antara batu-batu besar inilah yang diterobosi sinar matahari sehingga tidak
hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian lorong juga
mendapatkan cahaya.
Tiba-tiba terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan
hitam kecil menyambar dari depan ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget
sekali, mengira bahwa bayangan itu adalah senjata rahasia karena anginnya halus
dan cepat. Ia miringkan tubuhnya dan melompat ke tengah ruangan. Akan tetapi
segera ternyata olehnya bahwa sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena benda
itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika
melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya. Betapapun juga,
karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat
bersikap lebih hati-hati dan dapat memandang keadaan sekelilingnya dengan
jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke atas lantai.
Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai tepat
di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara hiruk-pikuk di depan dan
belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan cepat ia memandang. Kiranya pada saat
itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai tertutup oleh batu besar
yang bergerak keluar dari dalam dinding!
˜Celaka..!! Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke
belakang untuk menerobos keluar kembali dari ruangan itu. Akan tetapi
terlambat. Batu itu sudah hampir tertutup seluruh jalan terowongan. Gadis ini
segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu,
mengerahkan sin-kang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar ia
dapat menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika mendapat kenyataan
bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia menahan sehingga batu itu
terus bergerak sampai terowongan itu tertutup seluruhnya.
Sian Eng membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah
seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah sana masih belum
menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia terlambat dan tidak kuasa
mendorong kembali balu penutup yang dapat bergerak secara aneh itu.
Sian Eng kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia telah
terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu karang yang agak basah,
bawahnya lantai batu karang pula, di depan dan belakang kini tertutup batu
besar yang menutup lorong dan demikian beratnya sehingga ia tidak mampu
menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter tingginya, tertutup batu-batu
besar pula dan hanya celah-celahnya yang cukup lebar saja dapat diterobos sinar
matahari.
Sian Eng bukan seorang gadis penakut, akan tetapi pada
saat itu ia merasa ngeri juga. Kembali ia mendekati batu-batu yang menutup lorong
itu, bergantian ia memeriksa dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka
sedikit sehingga terdapat lubang untuk diterobosnya. Akan tetapi, memang betul
di antara dua batu penutup dan dinding karang terdapat celah-celah yang cukup
lebar-lebar untuk dimasuki dua buah lengannya, karena di antara dinding dan
batu itu terdapat bagian-bagian yang tidak rata, akan tetapi tak mungkin
dipergunakan untuk meloloskan diri karena terlampau kecil.
Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian
yang ada celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi
pedangnya membalik dan tidak akan sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya!
Ketika ia memeriksa, ternyata batu hitam yang luar biasa kerasnya, seperti
baja! Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun
sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan
yang mulai gelap, telapak tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya
menjadi rusak-rusak ujungnya.
Sian Eng menangis! Kemudian ia berteriak-teriak,
menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti di luar gua.
˜Suma-koko! Suma-koko..! Ke sinilah dan tolong aku..!!
Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap
pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia berhenti setelah
suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir batin, Sian Eng
kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan
memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu. Dan setelah ia
dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar
berseliweran di dalam ruangan itu. Mula-mula ia merasa heran, dari mana
datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara
batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubahg yang cukup lebar untuk
diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia
menjadi seekor kelelawar!
Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap
pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan
saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan
dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan
menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa serem dan ngeri, juga
takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama sekali. Andaikata Suma
Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari
kurungan batu-batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air
matanya sudah kering.
Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi
ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras
otaknya.
˜Aku harus hidup! Aku harus hidup!! Terdengar ia
berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia
cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia.
Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap,
binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan
indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran
tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini
merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit
sekali.
˜Kurang ajar!! bentaknya, cepat ia mencengkeram ke
belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi
lagi. Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau
darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena
secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan.
Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar ke sana-sini,
mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar,
akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan,
pipi, kaki. Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan
akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan
membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu
dan menggigitinya, mengisap darah!
Suma Boan yang menunggu di luar gua tanpa mengetahui
keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga hari tiga malam ia
menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar! Pemuda ini tetap bersembunyi di
mulut gua, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir kalau-kalau
terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan
tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapapun juga ia percaya penuh akan
kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.
Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada
bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja
ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda
bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati
murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng
sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah
karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng
tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya
itulah yang ia pikirkan.
Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan
kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari
mulai bersinar, Suma Boan memasuki gua itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan
pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya
Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup
batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya
terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari
celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya remang-remang saja.
Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba
di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya
untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk
mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan
tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya
matahari sudah memasuki sumur itu.
˜Eng-moi!! Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema
suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.
˜Sian Eng! Di mana kau?! Kembali ia berseru keras. Tetap
sunyi.
Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini,
pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apalagi Sian Eng?
Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini
dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah
ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba
dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan
simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu.
Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan
ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ
terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena
lebarnya hanya setengah meter saja.
Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma
Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini
menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget
dan serem. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana.
Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia
dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seremnya.
Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya
tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan
rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya,
empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang,
sebuah memegang golok, sebuah
memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah
lagi memegang tombak!
Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang
sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong,
agaknya lebih menakutkan daripada empat buah rangka manusia yang memegang
senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati
dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan
menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki
ruangan itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia tiba di tengah
ruangan, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia
itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru! Suma Boan kaget, akan
tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang
rendah. Apalagi hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang
dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya
baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali
memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata
dan tulang-tulang lengan mereka.
Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan
serangan mereka itu hebat dan aneh sekali, senjata mereka tidak bergerak biasa,
melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk
lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan
dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh! Ia berusaha menyelamatkan diri
dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak
dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada
punggungnya! Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat
tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai!
Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja
menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati
di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar
bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor
ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.
Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman,
sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular
kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan
maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh
alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka-rangka itu kalau ia
menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari
ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.
Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat
karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang
membuat gerakannya kurang cepat dan kalau ia menggunakan pedangnya melawan
ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin. Pemuda bangsawan yang
cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, merobek dan
memotong sebagian daging betis kirinya. Karena pedangnya amat tajam dan gerakan
tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia memotong betisnya.
Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular
itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma
Boan mempergunakan kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di
lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.
Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang
dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan
membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di
saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian
Eng.
Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan
gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang
batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan
bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian
Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw,
pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor
ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apalagi tiga ekor ular
tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.
Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan
keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya
sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan
sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap
hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan.
Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya kabur.
Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar
gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang
wanita berkelebat di depan gua itu.
˜Moi-moi..! Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga..!!
teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar keluar.
Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat
bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa
lagi kalau bukan Sian Eng?
˜Kekasihku..!!
˜Tutup mulutmu yang kotor!! Tiba-tiba bayangan itu
membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan. Biarpun kepalanya
pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan
bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat
menghindarkan diri.
˜Moi-moi.. kau hendak mengkhianatiku? Serahkan
kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?! bentak Suma Boan sambil menubruk
lagi hendak memeluk gadis itu.
Dengan teriakan tertahan, gadis itu mengelak dan
menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang
kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang
oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap! Suma
Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan
jarak jauh dan.. padamlah obor itu. Keadaan sudah menjelang malam, namun masih
belum gelap benar, cuaca remang-remang.
Tampak bayangan lain berkelebat datang, ˜Ada apakah,
Hwee-ji (Anak Hwee)?! terdengar bayangan yang datang ini bertanya.
˜Susiok (Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia
baru keluar dari gua rahasia! Mari tangkap! Dia kelihatan seperti gila!! jawab
Liu Hwee, gadis itu.
Sementara itu, ketika Suma Boan mendengar percakapan
pendek ini, sadarlah ia bahwa ia telah keliru sangka. Gadis itu sama sekali
bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu Hwee, puteri ketua
Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian Cinjin, orang ke dua dari
Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu lari tunggang langgang secepat kedua
kakinya bergerak. Liu Hwee juga melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar
di malam buta.
Kauw Bian Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya
sebentar ia kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang lawan macam Suma Boan, cukup
ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau kedatangan Suma Boan itu
hanya pancingan belaka agar ia ikut pula mengejar, sedangkan siapa tahu
kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan datang beraksi! Karena
itu, Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya, melainkan melakukan
perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw yang berada di atas lorong-lorong
rahasia.
Demikian, seperti kita ketahui di bagian depan cerita
ini, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan Suling Emas dan Lin Lin yang berada di
depan kuburan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta
bantuan Suling Emas untuk mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali.
Suling Emas mengejar ke timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara.
Suling Emas dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat.
Tanpa disadari sendiri oleh gadis itu, kini ia dapat mengimbangi kecepatan
Suling Emas, kemajuan yang luar biasa semerak ia mempelajari ilmu peninggalan
Pat-jiu Sin-ong, terutama sekali petunjuk-petunjuk cara bersamadhi dan mengatur
napas. Gadis ini tidak menyadari hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat
menduganya karena dahulu tidaklah sehebat ini gerakan Lin Lin. Diam-diam
pendekar ini menjadi amat khawatir.
Ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong ini hebat sekali. Baru satu
jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan
Lin Lin ketika ia mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya, kalau
sudah terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di
dunia persilatan. Ia hanya khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu pada diri
seorang gadis seperti Lin Lin akan menimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa
sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri
manusia, menimbulkan dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk,
tergantung daripada si manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah
manusia yang amat aneh, sukar sekali dimengerti.
Sampai sepekan mereka mengejar, belum juga mereka
mendapatkan jejak Suma Boan maupun Liu Hwee. Pada hari ke tujuh mereka sudah
tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan berhentilah Suling Emas.
˜Tiada guna,! katanya ketika mereka mengaso pada tengah
hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan. ˜Tidak ada jejak mereka ke
sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju. Pula Kauw Bian Cinjin sudah
melakukan pengejaran, tentu akan dapat menyusul dan menyelamatkan puteri
Beng-kauw. Andaikata tidak dapat menyusulnya, Suma Boan akan bisa berbuat
apakah? Kepandaiannya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan
kesombongannya.!
˜Apakah kepandaian Liu Hwee itu hebat?! Lin Lin bertanya
sambil memandang wajah tampan di sebelah kanannya. Kembali rasa cemburu
menggerogoti hatinya karena ia menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara
Suling Emas dan Liu Hwee.
˜Puteri tunggal ketua Beng-kauw tentu saja mempunyai
kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga pandangannya luas dan ia selalu
hati-hati dan waspada.! Suling Emas memuji-muji sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Seketika bibir Lin Lin cemberut. ˜Sekali waktu aku ingin
menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara dia dan aku!!
Suling Emas yang tadinya duduk seperti melamun menjadi
kaget, dan cepat menoleh memandang wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut
dan mata gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada
Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia menarik napas
panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan wajah kekasihnya, Suma Ceng,
hampir saja pertahanan hatinya bobol.
Bagaimana ia tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya
begini mirip Suma Ceng, yang wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah
pasti sekali akan mendatangkan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap
muram? Bagaimana takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan
kegagalan cinta kasih, apabila ia menerime uluran hati gadis ini? Namun tidak!
Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini
mencintanya, semenjak.. semenjak peristiwa di dalam gelap di malam hari dalam
kamar perpustakaan istana dulu! Semenjak ia memeluk dan mencium gadis itu tanpa
disengaja karena mengira Lin Lin adalah Suma Ceng kekasihnya.
Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih
itu betapapun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini
sungguhpun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang.
Ke dua, gadis ini masih amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin
baru delapan belas tahun, sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak,
ia harus tahu diri!
˜He, mengapa kau diam saja? Bagaimana pendapatmu?!
Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling Emas yang menjadi kaget dan sadar
daripada lamunannya.
˜Apa? Pendapat apa?! tanyanya, tersenyum.
˜Aku bilang tadi, ingin kumenandingi Liu Hwee untuk
menguji kepandaiannya!!
˜Hemmm, ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit
pun juga bagimu untuk mencari perkara dengan puteri Beng-kauwcu (ketua
Beng-kauw).!
˜Siapa bilang tidak ada?! Sepasang mata yang jeli dan indah
itu bersinar-sinar. ˜Banyak sekali alasannya!!
˜Hemmm, apakah kesalahannya? Apa alasannya?! Suling Emas
membantah, mengerutkan kening.
˜Banyak, terutama sekali karena aku tidak mau kalah
olehnya!!
Suling Emas melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak
makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh
seperti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum banyak
pengalamannya dengan wanita, karena semenjak hatinya terluka oleh Suma Ceng
yang dipaksa bercerai daripadanya dan menikah dengan orang lain, seakan-akan
merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk mendekati wanita.
Karena itu, ia sama sekali tidak mengenal watak-watak
wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat
pandang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang mengandung
sinar kemesraan seperti kalau sepasang mata Suma Ceng memandangnya, Suling Emas
segera menundukkan muka.
˜Sudahlah,! katanya kemudian setelah menarik napas
panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar tidak karuan, ˜mari kita
bicarakan urusan lain yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini kita harus
berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak
dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan jurus-jurus
ilmu yang kaudapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau hal itu
diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap sebagai
pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.!
Akan tetapi Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau
pedulikan kalimat terakhir. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah, karena
kata-kata ˜berpisah! itulah yang menggores hatinya.
˜Berpisah?! ia tergagap. ˜Kenapa..?!
Suling Emas tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang
sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak ingin berpisah dari
padanya. Sama dengan Suma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah
dan menerima keadaan, sebaliknya gadis ini bersikap keras, agaknya takkan mau
berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.
˜Tentu saja kita harus berpisah, karena jalan kita memang
tidak sama. Kau kembalilah ke Cin-ling-san menyusul kakakmu Bu Sin. Biarkan aku
sendiri mencari Sian Eng. Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh
menyusul ke Cin-ling-san.!
˜Aku ikut! Aku juga hendak mencari Enci Sian Eng sampai
dapat. Kita mencari bersama, bukankah lebih baik? Aku tidak akan menyusahkanmu,
biar.. biarlah aku mencari makan minumku sendiri!!
Mau tak mau Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini
kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran seperti kanak-kanak.
˜Bukan begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus
kuhadapi. Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san
sudah dekat waktunya, aku pun harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat
sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku terancam
bahaya..!
˜Aku tidak takut! Kalau mereka mengganggumu, aku akan
hajar mereka! Apa kau kira aku ini seorang manusia yang tiada gunanya? Aku akan
membantumu, juga di Thai-san!!
˜Wah, kau mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo
dan It-gan Kai-ong?!
˜Aku tidak takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam
ilmu yang baru kudapatkan.!
˜Hemmm, baru saja kupesan supaya kau tidak menggunakan
ilmu peninggalan..!
˜Kan mereka bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan
ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka
dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat nama Beng-kauw dan terutama
nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu akan tertawa melihat betapa
ilmunya di tangan seorang gadis seperti aku dapat mengalahkan iblis-iblis
jahat!!
Suling Emas merasa kalah berdebat. ˜Tak baik jadinya
kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa, kita harus berpisah. Atau.. kau boleh
menanti di Nan-cao, mari kuantar sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana,
menanti sampai aku dapat menemukan Sian Eng, baru kau dan encimu pulang
bersama.!
˜Tidak! Sekaii lagi ti.! Tiba-tiba tangan Suling Emas
bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan telapak tangannya.
Lin Lin memandang dengan mata terbelalak kaget dan heran, akan tetapi baru ia
mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan mulut dan memberi
isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Kini baru Lin Lin melihat
bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat cepat sekali dan
sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang itu, hanya jelas tampak
pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya ramping. Akan tetapi mukanya tidak
tampak karena ketika lari menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan
adalah kecepatan larinya, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.
˜Seperti Enci Sian Eng..! bisik Lin Lin terheran-heran.
Memang bentuk tubuh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan
pakaian seorang ahli silat yang serba ringkas melainkan pakaian seorang wanita
dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambutnya panjang terurai,
sungguhpun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, namun terurai sampai ke
lutut belakang.
˜Bukan, mari kita ikuti dia, mencurigakan sekali..!! kata
Suling Emas yang sudah melompat dan mengejar. Lin Lin terpaksa mengejar juga.
Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan gin-kang dan berusaha lari mengimbangi
kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali ini ia tertinggal, karena Suling Emas
betul-betul berlari cepat kini. Baru ia tahu bahwa kepandaiannya dalam berlari
cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh pendekar yang dikasihinya itu.
Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum matang dalam latihan ilmunya
yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun sudah banyak maju kalau
dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu itu.
Tiba-tiba Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin
tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia berkata.
˜Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kaupegang
tanganku!!
Tak usah menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar
tangan kiri Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk
selamanya! Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk karena segera tubuhnya
tersentak keras ke depan dan di lain saat ia terpaksa harus mengerahkan
gin-kangnya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari seperti terbang
cepatnya! Namun, bayangan wanita di depan itu tetap tak dapat tersusul. Hal ini
saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu betul-betul sudah
mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali dan ia pun ingin
segera melihat siapa sebenarnya wanita itu.
Wanita di depan itu lari menuju ke timur. Setelah tiba di
daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia mengurangi kecepatannya
dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas mengajak Lin Lin terus
mengikutinya dari belakang.
˜Kenapa tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat
mukanya, ingin melihat siapa dia,! bisik Lin Lin.
˜Sssttt, apa perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya
bukan main, tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan
hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi lupa lagi..!
kata Suling Emas.
Akan tetapi wanita itu benar-benar kuat sekali. Tak
pernah ia berhenti berjalan sampai senja berganti malam! Lin Lin sudah merasa
lelah sekali.
˜Aku.. aku tidak kuat lagi berjalan..! ia mengeluh.
˜Kakiku serasa hendak copot sambungan tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang
gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat lagi..! Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan
dirl duduk di atas tanah.
˜Mari kupondong!! Suling Emas yang betul-betul tertarik
oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa ragu-ragu
membungkuk dan memondong tubuh Lin Lin. Gadis ini segera merangkul lehernya dan
merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati penuh babagia dan manja. Suling
Emas hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanan mengikuti wanita itu. Ia
benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh yang kadang-kadang
menyebut ˜kanda! ada kalanya menyebut ˜Suling Emas! begitu saja kepadanya.
Gadis yang bukan sedarah deging dengannya, lain ayah ibu, gadis berdarah
bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.
Malam itu bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin
agaknya sudah lupa akan wanita yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam
ke dalam laut bahagia dan mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana
menjadi romantis sekali. Tidak salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa
sinar bulan purnama mendorong dan merangsang hati muda ke arah kemesraan dan
memperkuat pengaruh asmara. Lin Lin masih merangkul leher Suling Emas,
kepalanya rebah miring di atas pundak pendekar itu dan matanya ketap-ketip
menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta kasih. Sudah lebih tiga jam
Suling Emas memondongnya. Sudah banyak berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis
itu tidak sadar akan hal ini. Dirasanya baru sebentar ia dipondong!
˜Koko..! bisiknya di dekat telinga Suling Emas.
˜Hemmm..?! Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena
perhatiannya tertuju ke depan. Wanita itu mendaki sebuah bukit kecil di mana
terdapat tanah kuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah dan batu
nisan!
˜.. ingin sekali aku selamanya berada di dalam
pondonganmu..!
˜Huh, kau bukan bayi! Sudah terlalu lama kau kupondong.
Turun!! Suling Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna
kemerahan sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang menjadi merah sekali.
˜Koko..!
˜Hushhhhh.. lihat itu..! Suling Emas menuding ke depan.
Teringatlah Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di
dalam pondongan Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa
segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada mereka
berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada lagi! Sekarang
ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin ketika mendapat
kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah kuburan, bahkan Suling Emas dan
dia sudah mengintai dari balik sebuah batu nisan, di bawah sebatang pohon
kecil.
Wanita itu dengan lenggang yang menunjukkan bahwa dia
seorang yang masih muda dan berperawakan bagus sekali, berjalan menghampiri
sebuah makam, lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan sambil menangis
tersedu-sedu!
˜Ayah.., Ayah yang baik.. ampunilah anakmu..! ratap
tangis wanita itu.
Sejenak Lin Lin tercengang, kemudian tak terasa lagi air
matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Teringatlah ia akan dirinya
sendiri yang sudah yatim piatu, tiada ayah bunda lagi, bahkan dibandingkan
dengan wanita di sana itu, dia lebih sengsara.
Setidaknya wanita itu dapat menangisi kuburan ayahnya,
sedangkan dia, di mana kuburan ayah bundanya saja tidak tahu! Timbul rasa
simpati dan kasihan kepada wanita yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa
senasib dan ingin ia mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan
kakinya dan Lin Lin sudah bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi
tiba-tiba Suling Emas memegang lengannya dan menahannya.
Pendekar ini memberi isyarat dengan telunjuk di depan
mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka sedang mengintai, maka ia membatalkan niatnya
dan menghapus air mata dari pipi, lalu mengintai dan mendengarkan.
˜Ayah.. ampunkan aku, Ayah. Anakmu telah gagal
membalaskan dendam untukmu.. dia terlalu sakti, bukan lawanku. Banyak tokoh
kang-ouw bersamaku mengeroyoknya, tanpa hasil. Ayah.. tak mungkin aku dapat
membalaskan sakit hatimu, tak mungkin aku dapat mengalahkan dia, pula..
ampunkan aku, Ayah.. anakmu ini.. yang hina dina.. tidak akan tega membunuhnya.
Mungkin dapat aku memperdalam ilmu untuk mengalahkannya, akan tetapi.. aku..
aku cinta padanya. Aku mencinta Suling Emas putera musuh besarmu..! Kembali
gadis itu tersedu menangis, kemudian tiba-tiba bangkit berdiri mengembangkan kedua
lengannya berdongak memandang bulan purnama dan bersumpah.
˜Ayah, semoga rohmu mendengarkan sumpahku, disaksikan
oleh Dewa Bulan! Biarpun aku tidak akan dapat membunuh Suling Emas, namun aku
bersumpah untuk membunuh semua isterinya kalau dia beristeri, dan semua anaknya
kalau dia mempunyai anak!!
Sampai pucat wajah Suling Emas ketika ia mengenal suara
dan wanita ini yang bukan lain adalah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian, puteri tunggal
almarhum Hui-kiam-eng Tan Hui yang tewas di tangan ibunya! Bukan main hebatnya
sumpah ini sehingga biarpun hati Suling Emas sekuat baja, namun ia menjadi
pucat dan gemetar juga karena maklum bahwa malapetaka akan menimpa
keturunannya!
Sementara itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali
mendengar ini, akan tetapi timbul kemarahannya mendengar pengakuan wanita itu
yang mencinta Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh anak dan isteri
kekasihnya ini, membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan seruan yang merupakan
lengking tinggi, hasil yang tak disadarinya daripada ilmunya yang baru, ia
telah melompat ke depan dan selagi wanita itu membalikkan tubuh dengan kaget
dan heran, Lin Lin secara otomatis sudah melancarkan serangan berdasarkan
ilmunya yang baru. Kedua kepalan tangannya yang kecil halus saling bertumbukan,
namun tepat menghantam tubuh wanita itu secara berbareng.
Wanita itu menjerit dan terpental ke belakang, menabrak
batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri
terbelalak keheranan karena tidak mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini,
apalagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu
larinya yang luar biasa.
˜Lin-moi, jangan..!! Suling Emas berseru namun terlambat.
Andaikata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya
pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu
sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata
meram dan muka pucat, mulut mengalirkan darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan
ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat
daripada pukulan Lin Lin karena setelah memeriksa, ia mengerti bahwa keadaan
Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi.
Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan
tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu
pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut
(Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung
hawa beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian hanya
membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa
saja takkan mungkin mampu menolongnya.
˜Bocah lancang!! bentaknya kepada Lin Lin. ˜Mengapa
memukul orang tak berdosa?! Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar
tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.
˜Koko.. tunggu..!! Lin Lin berseru keras sambil mengejar,
akan tetapi Suling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi. Lin Lin
memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di
pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.
˜Dia marah kepadaku..! pikirnya, ˜mengapa marah?
Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan
sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar kunanti
dia di sana.! Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan menghilangkan
kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.
Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan
sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan
perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian. Apalagi setelah ia dengan
satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di
kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya sendiri, kepercayaan bahwa
ia mampu menghadapi siapapun juga karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang
ampuh dan sakti. Pikiran ini pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri
dengan jurus-jurus yang hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan
di dalam tongkat pusaka Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk
cara menghimpun tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu
yang terdiri daripada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya
Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).
Berpekan-pekan Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke
Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan kota yang dilaluinya.
Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung
itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan
berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagaimana kalau dia
tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh
karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas? Hatinya tidak enak dan cemburunya
makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata masih muda dan cantik
jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat betapa wanita itu dipondong
oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau
ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang marah-marah kepadanya memakinya
sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul seorang wanita yang memusuhi Suling
Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah itu?
˜Ah, Suling Emas, aku cinta kepadamu.. demi cintaku maka
aku memukul dia yang tidak kukenal.! Ia menghela napas dan duduk di pinggir
jalan, menghapus keringatnya dengan saputangan. Hari itu ia telah melakukan
perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang
tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin
sejuk pada sore hari itu.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki
kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun menahan
kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya
seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar seperti caping
petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya
yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biarpun si kuda naik turun, Lin Lin
mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari
jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.
Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang
kuda itu mengangkat muka, dan..
˜Liong-twako..!! Lin Lin berseru sambil melompat bangun.
˜Lin-moi..!! Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat
dari atas punggung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya
dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan hati Bok
Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan
tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya ia membiarkan dirinya
dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada Bok Liong.
˜Lin-moi.. ah, Lin-moi.. alangkah bahagia hatiku melihat
kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas daripada
tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!! seru Bok Liong dengan
suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya
terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh air mata!
Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri daripada
pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bahkan terharu karena ia
maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira dengan pertemuan ini sehingga
berbuat agak melewati batas kesopanan.
˜Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun
girang sekaii melihat kau selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira
kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.! Lin
Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat
demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang
melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi,
tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak mahluk lain kecuali kuda Bok Liong
yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa
kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.
Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. ˜Ah, maafkan
aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata seperti bocah
cengeng,! katanya.
˜Bukan begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah
berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa menghiraukan keselamatan dirimu.
Betapa hancur hatiku ketika melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu
kembali. Akan tetapi, bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau
tertolong oleh suhumu yang lucu itu.!
˜Betul, Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau
merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam
ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari
ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau
membebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?!
˜Aku ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.! Dengan singkat Lin
Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya
tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama
Suling Emas.
˜Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san
ini, Lin-moi?! Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus digenggamnya. ˜Tempat ini
berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo,
Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan
bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu
dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah
orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.!
Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap
di ulu hati Bok Liong, melebihi pedang runcingnya.