Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah
menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya. Setelah ia roboh, puteri memeluk
puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya
puteri ini mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri,
banyak pula anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik
dan kacau, sungguhpun mereka tidak takut. Melihat musuh bergerak kacau-balau,
Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah barisannya dari depan dan
kanan kiri. Terjadilah perang mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak
tadi memperhatikan dari tempat tinggi dan kagum melihat gerakan Puteri Tayami
yang disangkanya seorang perajurit wanita biasa, lalu mengeprak kudanya,
memainkan goloknya ikut menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah
lapangan mendekati tempat perajurit wanita tadi roboh.
Alangkah kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat
seorang wanita cantik jelita menggeletak miring dalam keadaan tak bernyawa
lagi, akan tetapi tangan kanannya masih erat-erat memegang sebatang pedang
bersinar kuning dan tangan kiri memeluk seorang anak perempuan kecil yang
menangis sesenggukan! Ia merasa heran sekali mengapa seorang perajurit wanita
ikut perang membawa anaknya, namun kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia
cepat-cepat meloncat turun dari atas kuda dan mengambil pula pedang bersinar
kuning yang berada di tangan kanan mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa
yang ditolongnya adalah puteri keturunan aseli Raja Khitan, dan bahwa perajurit
wanita itu adalah Puteri Mahkota!
Karena siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar
saja pasukan Khitan yang menyerbu Shan-si dapat dipukul hancur dan sisanya lari
cerai-berai kembali ke Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan,
mengirim pula Pedang Besi Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia
merahasiakan soal anak kecil itu dan dibawanya anak itu pulang.
Isterinya girang sekali menyambutnya dan terheran-heran
melihat suaminya pulang perang membawa seorang anak perempuan kecil yang cantik
mungil! Kam Si Ek menceritakan keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya.
‘Biar kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian
Eng.!
Kata isterinya sambil menimang-nimang anak itu. anak itu
memang lincah dan tertawa-tawa manis.
‘Siapakah namamu, anak manis?!
Berkali-kali Nyonya Kam bertanya. Anak itu adalah anak
Khitan, tidak pandai bahasa asing ini, akan tetapi ia agaknya cerdik dan
mengerti maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan berkata sambil
tertawa-tawa,
‘Lin Lin..., Lin Lin...!!
‘Ah, agaknya ia bernama Lin!! kata Nyonya kam gembira.
‘nak baik, mulai sekarang kau adalah anak kami dan bernama Kam Lin!!
Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang
melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li yang agaknya hendak
mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat
jasa-jasanya, maka permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan
isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki
bukit Cin-ling-san. Di lembah Sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup
bertani dengan aman dan tenteram.
Sementara itu di puncak gunung Min-san, setelah ditinggal
Bu Song turun ke dusun yang berada di kaki gunung untuk menjual barang dagangan
ke rumah Ku Sam.
‘Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak
mencari musuh-musuh yang telah membunuh ibu dan membasmi keluarga ibu, sudah
menjadi tugasku pula untuk membantumu, ayah!!
Dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka
duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.
‘Tidak bisa, Eng-ji, musuh-musuh itu terlalu sakti, aku
sendiri belum tentu dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau.
membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut.!
‘Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa
bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting daripada
maut!!
Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya.
‘Betul sekali dan karena itulah maka aku harus pergi
menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa
dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus
berumah tangga.!
‘Ayah...!!! Tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi
merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci
berhadapan dengan harimau.
Kim-mo Taisu dan menepuk puncak anaknya.
‘Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang
gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau
akan hidup bahagia sebagai isterinya.!
Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin
merah, tidak berani ia menentang pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu
mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.
‘Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song
mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal perjodohan ini sudah
kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka
belajar ilmu silat sungguhpun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki
bakat dan tulang lebih baik daripadanya untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun
dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya ahli-ahli
silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti
aku ini. Karena itu, dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai
dengan kepintarannya. Setelah itu, baru kalian menikah dan kalau sudah begitu,
hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram.!
‘Ayah...!! Kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini
wajahnya agak pucat.
‘Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya
kalau tidak mati?
Kepergianku kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu
hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu
bagaimana keadaan kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang
menempuh ujian. Setelah aku kembali, baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama
Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu Song.!
‘Ahhh, aku... aku malu, Ayah...!
‘Malu? Malu kepada siapa?! ‘...Siapa lagi? Malu
kepada... dia tentu. Habis, Ayah tidak ada... dan kami... hanya berdua...!
‘Ha-ha-ha, anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali
berdua dengan Bu Song, mengapa malu?!
‘Dulu lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis..!
‘Sstttt!! Tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh
anaknya ke samping dan tubuhnya sendiri melesat ke depan. Sesosok bayangan
manusia berkelebat dan di depannya telah berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa
lebar.
‘Kau...? belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi
ke sini, Kong Lo Sengjin?! Suara Kim-mo Taisu jelas membayangkan
ketidaksenangan hatinya. Sebetulnya ia memang membenci kakek ini yang ia tahu
memiliki watak aneh dan tidak baik, sungguhpun harus diakui bahwa kakek lumpuh
ini seorang yang setia lahir batin kepada Kerajaan Tang.
‘Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya
bertanya? Akulah yang semestinya bertanya mengapa engkau belum juga pergi!
Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang tiada gunanya hidup. Mempunyai
cita-cita apa lagi! Baru berniat hendak menuntut balas saja masih ragu-ragu dan
berlambat-lambatan. Heh-heh, Kim-mo Taisu, ingatlah. Sejak dahulu apakah
artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang pendekar, sejak kecil engkau
mengejar ilmu. Setelah kini menjadi orang pandai, kau hanya menyembunyikan
diri, menjadi korban perasaanmu sendiri. apakah engkau lupa bagaimana kewajiban
seorang satria, seorang pendekar? Berbakti kepada negara tak pernah! Semenjak
muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu, patah hati dan bermain dengan
wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup menanti mati, selagi masih hidup tidak mengisi
hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa hidup lebih lama lagi?
Hanya memenuhi dunia belaka!!
Pucat wajah Kwee Seng. Melihat ini, Eng Eng memegang
lengan ayahnya dan dengan kedua pipi basah air mata ia berkata kepada kakek
itu,
‘Kong-kong, mengapa kau terus mengganggu Ayah? Kau tahu
betapa hancur hati Ayah karena kematian ibu, akan tetapi engkau malah terus
mengganggunya. Kong-kong, harap kau pergi meninggalkan kami!!
‘Ha-ha-ha, Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut
dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan keluarga ibumu seluruhnya habis
musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu
tertipu oleh laki-laki yang kini menjadi ayahmu ini, yang sama sekali tidak
dapat membela nama baiknya. Ibumu adalah seorang berdarah Kerajaan Tang yang
jaya!!
‘Kong Lo Sengjin!! Kim-mo Taisu membentak marah.
‘Pergilah! Bukankah sudah kujanjikan bahwa aku akan
mencari musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan berhenti sebelum membasmi
mereka? Pergilah, aku takkan melanggar janji. Mengapa kau masih datang untuk
menyakiti hati kami Ayah dan Anak?!
Kong Lo Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat
itu terdengar suara melengking tinggi. Lengking tinggi yang aneh dan mirip
orang tertawa, akan tetapi juga seperti suara tangisan. Bukan seperti suara
seorang manusia, patutnya lolong srigala, akan tetapi suara itu mengandung daya
yang luar biasa. Tubuh Eng Eng menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak
puterinya dan mengerahkan sin-kang untuk memperkuat daya tahan puterinya. Kong
Lo Sengjin tampak kaget dan berdiri di atas sepasang tongkatnya dengan kepala
dimiringkan, wajahnya tegang.
Suara melengking itu terhenti, dan terganti suara orang
ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo Taisu cepat mendorong tubuh anaknya sambil
berbisik,
‘Bersembunyilah di sana!!
Eng Eng kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari
bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai. Dilihatnya betapa ayahnya
berdiri tenang akan tetapi keningnya berke rut, kedua kakinya terpentang lebar
dan kedua tangannya bersedekap, matanya mengerling ke arah datangnya suara
ketawa. Adapun Kong Lo Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang
berilmu mereka dapat mengukur kelihaian orang yang akan muncul ini dari
suaranya saja. Lengking macam itu hanya dapat dikeluarkan oleh orang yang amat
tinggi ilmunya dan karena mereka belum tahu siapa yang datang, kawan atau
lawan, sambil menduga-duga mereka menanti dengan hati tegang.
‘Heh-heh-heh-heh, Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo
berikan kepadaku suling emas itu...!!
Terdengar suara yang seakan-akan bergema dan seperti
diucapkan dari tempat amat jauh.
Kong Lo Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi
kekagetan hatinya ia tertawa. Sambil mengerahkan khikangnya ia pun berseru
nyaring,
‘Tak peduli siluman atau manusia, siapa takut kepadamu?
Keluarlah, jangan main sembunyi dan menggertak seperti anak kecil!!
Baru saja ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar
suara ketawa dan tiba-tiba muncul di situ seorang kakek cebol sekali. Bentuk
tubuhnya seperti kanak-kanak belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan
rambut riap-riapan dan cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang
tak bersepatu, pakaiannya sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung
hantu yang matanya seperti mata harimau, berwarna merah, sedangkan paruhnya
runcing kuat seperti emas warnanya. Baik Kong Lo Sengjin maupun Kim-mo Taisu
tidak melihat bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti
bahwa tingkat ilmu kepandaian kakek cebol ini amatlah tingginya.
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek
cebol ini yang bukan lain adalah Bu Tek Lojin yang pernah ia jumpai di waktu ia
berkelana sampai di Khitan! Akan tetapi Kong Lo Sengjin tidak mengenalnya,
bahkan belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw seperti kakek
cebol ini. Maka ia hanya dapat memandang dengan heran dan bertanya-tanya dalam
hati siapa gerangan kakek cebol ini dan mengapa datang-datang menuduhnya
mengambil suling emas! Kalau tadi Bu Tek Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini
setelah melihat Kim-mo Taisu ia tertawa bergelak dan menudingkan telunjuknya
kepada Kim-mo Taisu sambil memegangi jenggotnya yang panjang,
‘Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Apakah kau sudah sembuh dari
penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan gembel lagi, Kim-mo Taisu?!
‘Locianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras dan
sekarang inilah saya benar-benar gila.!
‘Huah-hah-hah! Betul...., betul sekali....! Eh,
bukankah kau terkenal sekali dengan permainanmu sepasang senjata, kipas dan
suling? Aha? Kalau begitu tentu kakek buntung ini merampas suling emas untuk
diberikan kepadamu!!
Kim-mo Taisu tak sempat menjawab karena ia merasa
terheran-heran. Adalah Kong Lo Sengjin yang dibiarkan dan seakan-akan tidak
dipedulikan itu, tak dapat menahan lagi kemendongkolan hatinya. Ia
menghentakkan tongkat kirinya ke atas batu sambil berteriak,
‘Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau
datang-datang menuntut kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas
berada padaku, apa kaukira aku masih tinggal di tempat ini?!
‘Kong Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi
Sin-jiu Couw Pa Ong, memang kau sudah terkenal jahat. Kini engkau masih sama
saja! Tiada hentinya mengumbar nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan. Siapa
tidak tahu bahwa engkau telah membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas
berada di tangannya, kalau dia terbunuh olehmu, bukankah itu berarti sulingnya
berada di tanganmu? Hayo kembalikan kepadaku kalau kau masih ingin hidup
beberapa tahun lagi!!
‘Sombong!, Kau berani bicara macam ini di depanku?!
‘Ha-ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Macammu ini apa
sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah dipensiun! Pelarian yang tiada
harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali kalah dan keok dalam memperebutkan
kerajaan. Kau mau tahu siapa aku? Namaku Bu Tek Lojin, orang tua tiada taranya!
Hayo berikan kepadaku suling emas!!
‘Orang gila! Suling emas tidak ada padaku!! jawab Kong
Lo Sengjin dengan sebal dan marah.
‘Wah-wah engkau bohong! Menjual kentut busuk!! Bu Tek
Lojin mencak-mencak dan marah.
Kim-mo Taisu yang sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat
sakti, akan tetapi juga amat aneh wataknya, segera berkata,
‘Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak Kong Lo
Sengjin. Dia tidak pernah mau menyangkal perbuatannya, kalau dia mengambil
suling emas, tentu dia akan mengaku.!
‘Ah, kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini
memberikan suling itu kepadamu. Hayo kalian lekas keluarkan suling itu sebelum
aku habis sabar dan maksa...!
‘Setan keparat! Siapa takut padamu?! Tiba-tiba Kong Lo
Sengjin sudah menyambar datang, tongkat kirinya terayun mengemplang kepala
kakek cebol itu. Hebat serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu
hendak mencegah, tapi tidak keburu.
Namun kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepan
daiannya. Sekali tubuhnya menggelinding, tongkat itu menyambar angin dan
tahu-tahu perut Kong Lo Sengjin telah diserangnya dengan serudukan kepalanya
yang besar!
Kong Lo Sengjin berseru kaget, cepat mengerahkan tenaga
menekan tongkat dan tubuhnya mencelat ke atas. Ia berjungkir balik dan dapat
turun kembali ke atas tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali dan napasnya
terengah, perutnya terasa panas biarpun hanya terkena sambaran hawa serangan
yang keluar dari kepala kakek tadi. Ia tahu betul bahwa andaikata ia tadi
kurang cepat dan perutnya sempat dibentur kepala Si Cebol, tentu nyawanya
takkan tertolong lagi!
‘Ho-ho-ha-ha! Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa,
hanya namanya saja yang besar. Hayo kalian maju berdua!!
Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah menerjang
Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua tangannya melancarkan serangan dengan
pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin pukulannya sudah
terasa, amat hebatnya.
Kim-mo Taisu tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini,
akan tetapi karena diserang, terpaksa ia melayani. Pula, ia tahu bahwa Kong Lo
Sengjin pasti tidak mengambil suling emas seperti yang dituduhkan, maka dalam
hal ini kalau terjadi pertempuran, ia harus membela pihak yang tidak bersalah.
Melihat datangnya pukulan yang amat ampuh, Kim-mo Taisu yang merasa sudah kuat
sekarang hawa saktinya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaganya ke arah
tangan.
Dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu.
Kuda-kuda kaki Kim-mo Taisu tergempur sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang,
akan tetapi tubuh kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah layangan putus
talinya. Namun jangan disangka bahwa kakek ini terlempar karena kalah tenaga.
Sama sekali bukan. Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih
berpengalaman daripada Kim-mo Taisu. Melihat Kim-mo Taisu berani menangkis dan
menghadapi pukulannya secara keras lawan keras, kakek ini sudah menduga bahwa
Kim-mo Taisu memiliki tenaga sakti yang ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah
pula melihat sepak terjang Kim-mo Taisu. Maka ia mempergunakan kecerdikannya.
Di samping menggunakan tangkisan untuk mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga
gempuran itu untuk membuat tubuhnya melayang. Melayang bukan sekedar melayang,
melainkan melayang ke arah... Kong Lo Sengjin yang dipukulnya selagi tubuhnya
melayang itu!
Kong Lo Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang
sakti dan berpengalaman. Maklum bahwa pukulan dari udara ini amat berbahaya,
tidak kalah bahayanya oleh serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh ini
lalu mengangkat tongkat kanannya dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan
tongkat sambil mengerahkan tenaga.
Si Kakek Cebol berseru dan tubuhnya yang masih melayang
di udara itu tiba-tiba dapat mengelak dan seperti seekor burung saja tubuhnya
sudah menyambar turun menghantam tubuh Kong Lo Sengjin bagian kiri. Tentu saja
hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi sibuk sekali. Kedua kakinya sudah
lumpuh dan diganti dengan dua tongkat yang di pegangnya. Kini tongkat kanannya
masih terangkat untuk menyerang tadi sehingga keadaannya seakan-akan seperti
orang menendang dengan kaki kanan. Maka kini diserang bagian tubuh kiri, ia
tentu saja menjadi repot. Namun dasar ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat
kanannya menyambar turun dan memukul tanah. Tenaga pukulan ini membuat tubuhnya
dapat melompat sambil menggerakkan tongkat kiri menangkis. Namun karena agak
terlambat dan kalah dulu, tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya
terbentur lengan Bu Tek Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan
terhuyung-huyung hampir roboh terguling.
‘Hua-ha-ha-ha, bagus..., bagus....!!
Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan
menepuk-nepuk kedua pahanya dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek Si
Kakek Lumpuh. Kemudian tiba-tiba ia sudah meloncat lagi menyerang Kim-mo Taisu
yang sudah sempat memperbaiki kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan
jurus yang amat aneh dan cepat, kelihatannya kedua lengannya itu tidak
mengandung tenaga ketika bergerak, seperti orang menari saja, akan tetapi
begitu dekat dengan tubuh lawan, terasa betapa gerakan itu mengandung tenaga
pukulan yang dahsyat. Ternyata kakek cebol ini menggunakan Ilmu Khong-in yang
sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan kosong, akan tetapi kekuatannya dapat
merobohkan gunung, maka disebut Khong-in-liu-san.
Biarpun Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi,
namun belum pernah ia menghadapi ilmu seperti ini, maka ia terjebak dan mengira
Si Kakek Cebol hanya main-main dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka ia pun
hanya menggunakan kegesitannya mengelak dan siap pula menangkis kalau ada
susulan pukulan yang berat. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu
pukulan kakek itu mendekati tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah
dada. Cepat ia mengerahkan tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh
lawannya tiba-tiba miring seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya
pukulan yang sesungguhnya! Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun
tidak keburu atau kurang cepat, terdengar suara
‘bretttt!! dan ujung bajunya telah robek dan hancur
kena sambaran pukulan sakti Si Kakek Cebol.
Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan
saking girangnya karena dalam dua jurus berturut-turut ia telah memperoleh
kemenangan terhadap kedua orang lawannya.
Mendongkolah hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek
cebol ini selain lihai juga cerdik, sengaja melayani mereka berdua secara
bergantian dan mengirim serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua
orang itu sekarang melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih
terkekeh-kekeh dan enak-enak saja. Ia melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin
mengeluarkan sinar maut, sedangkan Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah
kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan
sebuah guci arak yang selalu tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh
sepasang senjata yang menjadi lambang sastrawan pemabokan ini, karena dengan
sepasang senjata aneh ini, Kim-mo Taisu jarang menemui tanding! Akan tetapi Si
Kakek Cebol masih enak-enak tertawa ha-ha-he-he, malah kini mengelus-ngelus
kepala burung hantu yang sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan
tidak tahu menahu akan pertempuran itu.
‘Bu Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di
antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau memancing pertempuran?!
Kim-mo Taisu masih menahan kemarahannya dan memberi
peringatan.
‘Harap kau orang tua suka pergi meninggalkan kami dan
jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya ini.!
‘Heh-heh, siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau
kalian tidak mengembalikan suling emas, aku tidak mau sudah! Eh, Kim-mo Taisu,
apakah kau takut? Heh-heh-heh!!
Mendongkol rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh
jadi lihai sekali, akan tetapi sama sekali dia tidak takut!
‘Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu bahwa
pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu menahu tentang suling emas
yang kautanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak
menyimpannya...!
‘Ah, mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu
sombong dan sudah bosan hidup!!
Berkata demikian Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju
lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian
berbahaya. Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat.
Kembali tubuh Si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat tongkat, mendekati
Kim-mo Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu
menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu
dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah
menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan kini
ia ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan
secara mendadak! Angin menyambar hebat dan biarpun kakek lumpuh ini sudah
bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang
seperti pohon besar tertiup angin.
Dengan rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin
lalu menerjang dari depan dan belakang. Kakek cebol itu tubuhnya melesat ke
sana ke mari, menyelinap di antara sinar senjata lawan, burung hantu itu
mengeluarkan suara keras dan menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata
kedua orang yang mengeroyok majikannya!
Kong Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti
harimau. Hatinya geram dan penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh yang
terkenal, ditakuti di dunia kang-ouw dan dalam perang mempertahankan dan
membela Dinasti Tang, kakek ini hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan
banyak tokoh sakti. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang kakek cebol, masih
dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu kepandaian belum tentu kalah olehnya,
masih tidak mampu merobohkan setelah menerjang terus sampai belasan jurus! Di
lain pihak, Kim-mo Taisu juga merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini
tidaklah begitu bernafsu untuk membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di
antara mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula, ia memang telah maklum bahwa
kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa.
Selagi tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau
saling mengalah, tiba-tiba terdengar suara tang-ting-tang-ting yang amat merdu.
Suara itu tak salah lagi adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang
suaranya nyaring dan iramanya tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya
benar-benar luar biasa sekali. Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan
hati panas itu seperti disiram air dingin. Yang hebat adalah kakek cebol itu.
matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti orang
ketakutan, kemudian ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya
setelah berkata gemetar,
‘Dia datang....! Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!!
Mendengar disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo
Sengjin berubah. Di dunia ini tidak ada orang yang ia takuti, akan tetapi
mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu banyak ia
mendengar akan nama kakek yang dikabarkan setengah dewa ini dan ia merasa
betapa sepak terjangnya selama ini merupakan modal yang amat tidak menyenangkan
untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu. Apalagi melihat betapa seorang
sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja lari ketakutan, hatinya makin
jerih dan tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini lalu melompat dan sebentar
saja lenyap dari tempat itu.
Eng Eng yang melihat dua orang itu telah pergi
meninggalkan ayahnya, lalu melompat keluar dari tempat sembunyinya dan memeluk
ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali kipas dan guci araknya.
‘Benar-benar berbahaya sekali...!
Katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun
celingukan memandang ke kanan kiri, pandang matanya mencari-cari, suara
crang-cring-crang-cring itu masih terdengar terus, makin lama makin jelas, Eng
Eng yang mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin
erat.
‘Ayah, kau dengarkah itu? suara yang-khim di tengah
hutan! Siapa gerangan...!
‘Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat
anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari kita menyongsong
beliau.!
Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti
ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia
ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan
tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah
yang-khim yang ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari
tangan. Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini
mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani
menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti.
Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap
didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut
seperti orang membaca doa.
Bahagialah kita sesungguhnya,
Tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
Bebas daripada penyakit ini di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
Bebas daripada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
Biarpun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
Karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
Yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!!
Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar
tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar
memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak
punggungnya saja itu.
Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi
lagi, lagu dan iramanya berbeda daripada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap
halus merdu seperti orang berdoa.
Penyelesaian kebencian besar
yang masih meninggalkan sisa dendam
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana
memegang teguh perjanjian
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu
namun orang baik selalu dibantu!!
Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu.
Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha, adapun yang terakhir
adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu
terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok
sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir.
Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan
suara setelah suara yang-khim terhenti.
‘Terima kasih atas nasihat-nasihat Siansu, dan
selanjutnya saya mohon petunjuk!!
Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak
bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya
ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu.
Melihat ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang
gadis yang semenjak kecil menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan
tenaga-tenaga mujijat dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sin-kang,
lwee-kang, khi-kang, dan gin-kang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di
atas batu besar itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar
ia merasa seperti berhadapan dengan ilmu sihir!
Sejenak kakek tua renta yang wajahnya membayangkan
ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu seakan-akan telah
waspada akan segala hal di sekelilingnya itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian
melirik ke arah Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian
terdengar ia menarik napas panjang dan berkata perlahan,
‘Segala sesuatupun terjadilah sesuai dengan
kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha....!
Setelah berkata demikian, matanya bersinar wajahnya
berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu dan dengan tenanga tapi ramah
menegur,
‘Kwee-sicu, puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu
telah dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah
menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu
menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar daripada segala ikatan karma.!
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka
sedih, lalu berkata,
‘Siansu, dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu
telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang
pun, Siansu telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali
saya harus mengecewakan hati Siansu dengan memilih jalan gelap.!
Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan
segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu tersenyum lebar.
‘Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak
mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas
budi maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap hanyalah
tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya gelap,
apakah gerangan yang mendorong Sicu?!
‘Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk
mengaku. Akan tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang
selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu
dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan
saya isi dengn pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah
mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu
pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti.
Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah
bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk
menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela negara?!
Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa.
‘Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat
dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak
dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang mana? Negara yang mana?
Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda, Tang Muda, Cin Muda,
dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta
kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian
muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue, Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan
lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga bangsa lain? Siapakah yang benar
di antara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah yang
membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk
rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu
merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan karena Sicu ada hubungan keluarga dengan
Kerajaan Tang!!
Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia
menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul,
mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang
sesungguhnya benar?
‘Siansu, mohon petunjuk...!!
Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut
pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang
dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena agaknya
Si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang
sudah roboh.
Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke
arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian ia menghela napas panjang.
‘Kewajiban manusia untuk berusaha namun Tuhan berkuasa
menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri
pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini berarti memenuhi perintah Tuhan
dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja untuk
nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan
diri pribadi. Manusia hidup di dunia sudah mempunyai tugas kewajiban
masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus ikhlas, lakukanlah apa yang
menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar dan
baik. Jangan sekali-kali meninggalkan tugasnya sendiri lalu hendak melakukan
tugas orang lain, hal ini tentu akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas
guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas tentara berperang membela
negara, tugas orang tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah
memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan kalau masing-masing
memenuhi tugasnya dengan baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan
diri pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang
meninggalkan tugas sendiri mencampuri tugas orang lain, rusaklah!!
‘Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu.!
‘Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara!
Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah
masuk sekalipun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri
karena tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa
menjadi pendekar silat, tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan
keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu
merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi
penerangan kepada yang gelap, memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena
itu, kalau boleh aku memberi nasihat, marilah Sicu ikut dengan saya,
memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu takkan
sesat jalan. Pengertian tentang ini amat penting karena banyak orang yang
menyeleweng daripada tugas hidupnya tanpa ia sadari!!
Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
‘Maaf, Siansu. Betapapun juga, saya harus melaksanakan
kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan
kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja merajalela. Setelah saya
melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu.!
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas
panjang.
‘Sicu banyak menderita, isteri dan semua keluarga
isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati
dan berbuah saling bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat
ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang...!
‘Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan
mencari dan menghadap Siansu....!
Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa
sambil menengadahkan muka ke atas.
‘Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya
dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada
kekuasaan di dunia maupun akhirat yang mampu merubahnya....!
Kakek itu lalu bernyanyi dan turun dari batu karang,
berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. suara nyanyiannya terdengar makin
perlahan dan akhirnya lenyap. Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi,
barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan puterinya. Ia
menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan
hebat.
‘Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasihatnya
dan pergi ikut dengannya, Eng Eng....!
‘Dia seorang yang bahagia, Anakku, seorang yang sudah
dapat membabaskan diri dari segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu,
manusia setengah dewa.!
‘Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya,
mengapa Kakek cebol dan Kong-kong yang sakti lari ketakutan?!
‘Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari
keduanya, dan sukar diukur sampai di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat
ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena
sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah
membenci, dan selalu mengulurkan tangan kepada siapapun juga, tidak peduli
orang baik maupun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia
sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang
mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya.!
‘Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya
mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah
begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut
diturut nasihatnya, mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan
membasmi musuh?!
Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu
memegang lengan puterinya, diajak kembali ke pondok sambil berkata,
‘Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu.
Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik akan persoalan
perang, akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat pula akan
harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka
yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi
ibumu, Eng Eng, seperti telah kukatakan tadi sebelum datang gangguan, aku akan
pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di sini bersama Bu Song.
Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali.!
Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak
Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shan-si dimana kini telah
berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini
dan tentang kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia
hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai
seorang diantara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan mengunjungi
kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian
dan mendapatkan kedudukan.
Sementara itu, Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini
sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu
dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka
dengan pemuda itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang
ia anggap seperti saudara atau kakak sendiri. Kalau ia teringat betapa beberapa
hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya dan membuatnya tersipu-sipu sejenak
biarpun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya
sejak mereka masih kanak-kanak. Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan
mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini, gemetar tubuh Eng Eng
dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa
kali ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir
kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres pada rambut atau pakaiannya.
Lu Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana
Kerajaan Hou-han yang indah dan mewah. Keadaan mewah, kehidupan yang serba
cukup, berenang dalam lautan kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang
diperoleh semenjak ia tinggal di dalam istana ini, mulai membosankannya. Kini
hatinya risau. Ternyata pemuasan nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran
dan orang-orang muda sesuka hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang
sementara saja. Ia tetap merasa kurang puas, tetap belum dapat merasakan
kebahagiaan hidup. Kesenangan tak pernah dapat puas, makin dikejar makin
hauslah ia, dan akhirnya malah menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan
menggerogoti hatinya setiap malam sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula
memilih teman.
Lu Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang
bernyala tenang karena terlindung dari gangguan angin. Ia merenung memikirkan
keadaan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya,
rindu kepada puteranya! Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini
usianya sudah empat puluh tahun lebih.
Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Alangkah rindu hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song!
Seringkali air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan
peyesalan menusuk-nusuk hatinya.
Di dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim
Bwee, sahabat dan muridnya yang setia. Banyak sudah ilmu ia turunkan kepada
wanita selir raja itu dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang
berilmu tinggi pula. Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.
‘Aku harus pergi dari sini,! keluhnya dalam hati. Ia
sudah bosan! Ingin ia bebas lagi, terbang melayang tanpa tujuan. Alangkah
nikmatnya hidup bebas.
Kasihan Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia
tidak tahu bahwa kebebasan liar seperti itupun hanya indah dan nikmat dalam
khayalan belaka. Kenyataannya tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini
merasa rindu kepada puteranya, ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping
puteranya. Ia kini maklum bahwa usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi
tentu ia akan diseret ke jurang kematian yang tak dapat dielakkan lagi. Biarpun
ia dapat mempertahankan wajah dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun
ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan usia mudanya.
‘Bu Song...!! ia mengeluh lagi, teringat betapa kini
namanya sudah menjadi buah bibir orang. Betapa sebagian besar orang kang-ouw
memusuhinya. Dia tidak takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada
di tempat yang aman dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya.
Jangankan di dalam istana dimana ia mempunyai banyak teman dan pembela, bahkan
andaikata ia berada di luar sekalipun ia tidak akan gentar menghadapi
musuh-musuhnya. Akan tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia
menjadi menyesal sekali. Bagaimana perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya
adalah seorang wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita gila laki-laki
dan suka mencari musuh?
Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik
sebagai seorang laki-laki yang baik oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan
bekas suaminya ini, seorang laki-laki gagah perkasa yang menjujung tinggi
kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki yang anti seratus prosen akan
perbuatan maksiat!
Tiba-tiba Lu Sian tersentak kaget dan sadar daripada
lamunannya yang menggores perasaan. Suara gaduh jauh di luar menyatakan bahwa
di sana terjadi pertempuran. Agaknya perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia
menarik napas panajng. Sudah banyak ia membunuh orang-orang yang menyerang
istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada permusuhan antara dia dan
penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu dengan dasar permusuhan
pengikut kerajan-kerajaan. Sudah banyak ia membunuh mata-mata dari Cin,
kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula pengikut-pengikut yang ia tahu adalah
kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan dirinya pengikut setia
Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia
hanya turun tangan untuk membela Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak
menempatkan dirinya sebagai pembela Kerajaan Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di
istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja sendiri berikut keluarganya.
Bagaimana ia dapat tinggal diam saja?
Suara di luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang.
Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat mengatasi perusuh-perusuh itu. atau
andaikata para pengawal itu kalah, di sana masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu
memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu,
tidak usah turun tangan menghadapi perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.
Sebetulnya, baginya sendiri, ia tidak peduli aka
keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi, ia ingat aka kebaikan Coa Kim
Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu. Maka biarpun
suara gaduh itu jelas membayangkan betapa para pengawal agaknya kewalahan
menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil peduli dan tetap tenang-tenang
saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia tidak dapat melanjutkan lamunannya
seperti tadi lagi.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee
masuk terhuyung-huyung, rambutnya riap-riapan, mukanya pucat dan kakinya
terpincang-pincang.
‘Cici... tolonglah dia amat lihai...!! katanya
terengah-engah.
Lu Sian mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia
dapat melihat betapa Kim Bwee terluka kakinya, berdarah paha kirinya. Melihat
rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah
mempergunakan ilmu mainkan rambut yang sudah lihai. Akan tetapi kalau sampai
kalah padahal terang bahwa selir ini dibantu para pengawal yang cukup kuat
pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan yang datang menyerbu. Ia
menjadi marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee
melainkan marah karena penyerbuan musuh itu mengganggunya dari lamunan.
Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat keluar dari kamarnya
setelah menyambar pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya
yang hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat pertempuran. Ia mengira bahwa
yang datang tentulah musuh dalam jumlah banyak. Akan tetapi alangkah kaget dan
herannya ketika ia melihat bahwa di tempat pertempuran itu, para pengawal
mengeroyok seorang lawan saja!
Lawan itu seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya
tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan keadaan di situ pun tidak
terang, hanya remang-remang. Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan
hanya mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang
tertutup, hati Lu Sian berdebar keras. Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat
hidup kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke dalam jurang yang tak tampak
dasarnya tidak mati?
Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali? Senjata kipas sehebat
itu hanya Kwee Seng seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia
dapat mengenal, karena penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal
yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi girang dan cepat berseru,
‘Minggir! Sian-toanio sudah tiba!!
Mendengar seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua
puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok seorang laki-laki berpakaian putih
itu, mundur dengan girang. Sudah terlalu banyak teman mereka terluka oleh
pemegang kipas yang lihai ini dan mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh
saja karena gentar. Cepat mereka mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu
Sian yang cepat melangkah maju.
Mereka berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca,
saling pandang dengan sinar mata penuh perasaan bercampur aduk. Karena jarak
antara mereka kini hanya empat meter dan kebetulan sinar obor dan lampu terarah
ke muka mereka, Lu Sian dapat mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah
agak tampak tua, akan tetapi masih sama dengan dahulu! Malah lebih matang dan
sinar matanya langsung menembus hati. Kwee Seng?
Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan
memeluknya! Begitu berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian.
Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung
halaman kini bertemu dengan sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia
menemukan sesuatu yang sudah lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa
kegembiraan mendalam yang belum pernah ia rasai.
Di lain pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena
terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang berdiri dengan sikap penuh wibawa
di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah menawan
hatinya kemudian menghancurkan hatinya itu? Memang ia sudah mengharapkan
bertemu dengan Lu Sian di dalam istana ini karena ia sudah mendengar dari Kong
Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu Sian. Akan tetapi kalau benar wanita
ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah sejak
hampir dua puluh tahun yang lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia
empat puluh tahun, akan tetapi mengapa masih tampak seperti baru dua puluh
tahun usianya?
Para pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti
itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu ilmu, melainkan hanya berdiri saling
pandang tanap bergerak. Ada di antara mereka mengira bahwa kedua orang ini
tentu sedang mengadu ilmu melalui pandangan mata!
Tiba-tiba tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke
arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak saling serang, dan bagaikan seekor
burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi ke atas langsung melompat ke atas
genteng istana dan di lain detik tubuh musuh aneh itupun melesat lenyap
mengejar. Karena cepatnya gerakan mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu
bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kim-mo Taisu. Memang hal ini
disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya menyambar,
‘Kwee-twako, kau ikutlah aku!!
Kedatangan Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini
memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang menurut penuturan Kong Lo
Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim
pembunuh itu ke Min-san. Maka kini mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat
mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia dapat bicara dengan wanita itu tanpa
terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan kagum juga melihat gerakan Lu
Sian. Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh itu! sama sekali tidak boleh dikatakan
kalah atau di bawah tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang
bukanlah Lu Sian dua puluh tahun lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah
mewarisi ilmu gin-kang yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.
Agaknya Lu Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka
wanita ini menggunakan ilmu lari cepat sambil mengerahkan ilmunya. Larinya
cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama sekali tidak merasa heran melihat
kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar dan mengimbangi kecepatannya.
Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee Seng memiliki kepandaian yang amat
tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat mengimbangi kecepatannya, Kim-mo
Taisu juga telah mempergunakan seluruh kepandaiannya!
Karena kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka
telah berada jauh di luar kota raja, di luar sebuah hutan yang sunyi dan jauh
dari perkampungan. Kembali mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar
bulan yang muncul lewat tengah malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak
maupun bicara sampai lama sekali.
Akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit
setengah mengeluh, lari menubruk dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis
terisak-isak di dadanya. Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap
puteranya, semua ia tumpahkan di dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya
selama ini, ia carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. semua rasa kasih
sayang yang bebas daripada nafsu, ia rasakan kini bergelora dalam hatinya
terhadap laki-laki ini. Selama ini, ia menganggap semua laki-laki sebagai
hiburan dan permainannya sehingga ia merasa muak dan bosan. Ia haus dan rindu
akan kasih sayang mulus dan murni di samping perlindungan seorang pria. Dan
kini ia sadar bahwa andaikata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya
hidupnya tidak akan serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng
yang disangkanya telah mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu
kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama
ini?
Sudah terlalu banyak dosa-dosanya, penyelewengannya.
Kalau saja Kwee Seng tahu akan semua sepak terjangnya, tentu... tentu...!
Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng
membelai rambutnya, kini laki-laki itu sama sekali tidak membelai ram butnya,
bahkan urat-urat tubuh itu menegang, kaku dan dingin.
Tiba-tiba teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng
malam hari itu adalah untuk mengacau istana. Padahal semua orang tahu bahwa
Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! jadi kedatangan Kwee Seng adalah
untuk memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu
bertanya dengan suara ketus.