Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar
terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta
tolong..
Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah
berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak. Kakek lumpuh itupun
bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi
wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum
dingin.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika
ia tiba di puncak, dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang
bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut
panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang,
akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah
ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya dan
isterinya yang memang kurang terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam
keadaan bahaya.
Teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum
bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu
sudah mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat. Mendengar
teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun
sekali tangkis pedangnya terlepas.
Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali
seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu
amat cepatnya ketika menusuk dan...
Ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin!
Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal mengerikan ini, Kwee Seng
menggerang, tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.
‘Krakk!!!! Hebat bukan main tamparan ini. Tepat
mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di
dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat
keluar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa
lagi.
Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya
yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee
Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan
pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati
hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat
tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!
‘Lin-moi... oh, Lin-moi...!!
Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi
pipinya. Gin Lin membuka matanya dan tersenyum!
‘Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat
mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan
Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku
mengakui namaku, dia... terus menyerang....!
Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suamnya, mencium
pipinya..
‘Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan
Bu... Song...!
Tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa
Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia
memejamkan matam, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat
tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan
muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat
laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!
‘Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini,
di sakunya ada surat penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal
dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan
Han!!
Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia
menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditandatangani oleh
Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai
Kuning d Laut Po-hai.
‘Aku akan mencari mereka...!
Seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya.
‘Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji
apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo
Taisu akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!!
‘Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan
mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu
lagi!!
Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu
berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok, berlutut
di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu
Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song
yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar pondok,
pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari,
membuka pintu pondok dan...
Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti
patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.
Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada
ibunya.
‘Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!!
Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat
ibunya.
Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu
berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersamadhi di dalam kamarnya. Jarang ia
keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak
Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung
kedukaan. Biarpun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya
seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang
berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa
amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah
menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya,
melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa
kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia
bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin
dan isterinya.
Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat
mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang
selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore
hari itu, Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat
puterinya. Hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca
kitab. Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera
memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata.
‘Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi
teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan
ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan akan
berubah menjadi racun yang melemahkan batin?!
Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri
dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab.
‘Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan
itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa
hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja
yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang
membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat
meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau
bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya.!
Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan
kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur.
‘Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu
hidup!!
Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini.
Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan
penuh kepada pemuda ini.
‘Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?!
Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh
kejujuran.
‘Tentu saja Suhu, teecu mencinta Adik Eng Eng
‘Mencinta seperti adik kandung?!
‘Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik
kandung.!
Kim-mo Taisu memegang pundak wajahnya dengan pandang mata
tajam.
‘Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria
mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!!
Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia
menundukkan mukanya, menjawab gagap,
‘Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya
seperti itu...?!
Dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak
ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti
mendiang ibunya.
‘Memang teecu.... mencintanya seperti itu, Suhu...
hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku...!
‘Bagus! Legalah hatiku. Bu Song, kalau begitu kau tentu
bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?!
Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat
membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang
gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh,
‘Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada
Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik
teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri
dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu
bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani
lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang
kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau
kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam
kehidupan miskin sengsara.!
Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song.
‘Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah?
Katakan padaku.!
‘Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu
pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu
ingin sekali mengikuti ujian di kota raja...!
Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan
pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita
demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang
dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para
petugas. Oleh karena itu, ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya.
‘Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak
tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh
ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan
pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota
raja, mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou
Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang.
Eh, di mana Eng Eng?!
‘Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap
hari menutup diri dan tenggelam berduka cita. Kalau Suhu tidak mau makan,
Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau
mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana
harus menghiburnya.!
Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu.
‘Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini,
Bu Song.!
Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat.
‘Kau pun tentu ikut pula kurang makan kurang tidur!
Jangan bohong.!
‘Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa
senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu
berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana.!
‘Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul
Adikmu dan suruh pulang!!
Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita
tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia
mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan
suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan
berjalan cepat mendaki sebuah puncak di mana ia yakin tentu Eng Eng berada. Ia
tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang lalu menarik napas panjang
dan berkata seorang diri.
‘Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia
akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana
dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu
lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia
menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!!
Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng
duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu
Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan
tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar
aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya
berdebar dan mukanya terasa panas.
‘Eng-moi...!! Ia memanggil lirih.
Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang
kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata,
‘Koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah
aku seorang diri...!
Tangisnya makin menjadi, Bu Song maju mendekat, berlutut
dan menyentuh pundak gadis itu.
‘Eng-,oi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu?
Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini?
Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita
sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri.
Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu
sehari-hari menangis begini...!
Gais itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada
dada pemuda yang berlutut di depannya. Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya
berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan
mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang
mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya
merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus.
‘Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini
masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya,
Moi-moi.!
Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis
ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia
menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari
pipi.
Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang
bidang itu. Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus.
Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biarpun
tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lwee-kang, maka tubuh Bu
Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan
memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan
tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya
marah.
‘Song-koko... apa yang kaulakukan tadi...??!
‘... apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku
kasihan...!
‘Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!! Bu Song
memperotes.
!Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, memang
tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau
mencium hidung...??!
Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah.
‘Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja...
aku... aku...!
Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu.
‘Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium,
melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata,
mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?!
Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak!
Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul
dengan orang banyak. Dialah satu-sa tunya kawan bermain, seperti kakak dan
adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang
jodoh!
‘Eng-moi, mari kita pulang.! Dia membungkuk dan
menyentuh pundak gadis itu. ‘Hari sudah hampir petang.!
‘Tidak, aku tidak mau pulang!!
Kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air
matanya yang mulai keluar lagi.
‘Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak
pulang, biar tidur di sini!!
‘Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah
sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap
pulangmu, Moi-moi.!
‘Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis,
tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan
marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!!
Ia menarik tubuh gadis itu berdiri. Eng Eng seperti
sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu
Song.
‘Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku?
Boleh kau memukulku agar puas hatimu!!
‘Siapa mau pukul? Aku tidak marah!! Akan tetapi
suaranya ketus.
‘Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat,
ayahmu menanti.!
‘Lain kali mau cium, harus bilang.!
‘Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku.!
Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan
mengangkat kedua tangan di depan dada.
‘Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!!
Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari
turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar,
akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik memiliki
gin-kang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia
berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak
canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan.
Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan
pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya
itu yang menjadi teman bermain sejak kecil. Semenjak kecil, Eng Eng memang
lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil,
karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng
Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu
menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa
ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya.
Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian
Bu Song bersenandung.
Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan.
Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah
lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang
wanita! Sebagai cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya
selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang
ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup
rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng
sebagai isterinya.
Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng
menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan
pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka
itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu
Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia.
Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan
heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia
hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.
‘Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan
riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak
menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa
tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau
enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang gagah?!
‘Kong Lo Sengjin. Kau pergilah,!
‘Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur,
engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan.
Kaulihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi
habis!!
‘Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati,
seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku
lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan.
Ha-ha-ha!!
‘Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan
kita berpisah biarpun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!!
Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di
atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang
memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis Bu Song tak berani bergerak.
Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan
anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang
terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini
agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan
antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun bantahan yang isinya menghancurkan
hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia
takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu
menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak
keras.
‘Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada
orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah
aku ayahnya?!
‘Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah
isterimu meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin
Lin karena kau kira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita
seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak
ingatkah engkau bahwa perbuatanmu yang hina itu, Gin Lin menjadi wanita ternoda
dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap?
Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah
Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul
dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini
Gin Lin dibunuh orang, eng kau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu
sebagai ayah Eng Eng.!
‘Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan
sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!! Kim-mo Taisu membentak marah.
‘Aha, kaukira aku takut? Kaukira engkau gagah?
Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha!
Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan
aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak
boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan
tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa
saksinya? Ha-ha-ha!!
‘Diam!!, Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan
ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di
Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku
telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya.!
‘Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi
Tok-siauw-kwi?, aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan
kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya
kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha,
alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar
nenek-nenek sekalipun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa
mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para
bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku,
memusuhi Gin Lin, dialah seorang diantara musuh-musuh yang menyebabkan kematian
Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?!
Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening
kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji
ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami
hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan
batinnya terhadap asmara.
‘Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!!
Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song
datang dan mendengar percakapan selanjutnya. Pemuda ini sama sekali tidak tahu
bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun,
andaikata ia mendengar sekalipun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah
ibu kandungnya.
Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng
tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia
berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi
dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya,
kadang-kadang menangis. Adapun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang
dalam kamar samadhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu
sudah memanggilnya menghadap.
‘Bu Song, kau kumpulkan semua persediaan akar-akar obat
yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang
baik-baik. Kemudian kaubawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui
Sam.!
‘Suhu maksudkan Kui Sam lopek di dusun Hek-teng?!
Bu Song menjelaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang
keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya
dalam perantauannya.
‘Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan
katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah untukmu, kemudian
sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil
uangnya.!
Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan
disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan
kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan
bertahun-tahun.
‘Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada
lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan.!
Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
‘Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung
pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai
aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah
itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...!
Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani
membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barang itu, mengikatnya menjadi satu,
menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak
terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul
beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Ia agak merasa heran mengapa Eng
Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke
dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu
belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi, lalu dipikulnya
barang-barang itu dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke dusun Hek-teng yang
letaknya di lereng Gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan
langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima
kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau
barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi
pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ
berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song
menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam, kemudian Bu
Song bertanya,
‘Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa
semua Paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau
perang saja?!
‘Kebetulan sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu
sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami mengusir atau membinasakan
musuh ganas!! kata seorang di antara penduduk Hek-teng yng mewakili Kui Sam
menjawab.
Muka Bu Song menjadi merah.
‘Ah, maafkan, Paman. Biarpun aku benar murid Suhu, namun
aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu,
mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?!
Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau
percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu
merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah.
‘Wah, Kongcu terlalu merendah!, gurumu memiliki
kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Pula, kami bukan
hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang.!
‘Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?!
‘Burung. Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini
sudah mengha biskan sepuluh ekor domba kami!!
‘Oohhh... agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang
pernah disebut-sebut Suhu,! kata Bu Song kagum. Pernah ia bersama suhunya pada
suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin
besar dan akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah
gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu sekor garuda, akan tetapi
suhunya segera menerangkan,
‘Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar
dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk mencari-cari tampat yang aman untuk
bersarang dan bertelur.!
‘Mungkin sekali, Besarnya bukan main, ganas dan kuat.
Sebuah kakinya mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram
dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak
kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti api menyala.!
‘Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimana?
Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?!
Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui
di mana sarangnya, di puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur
di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya tentu dia akan lari ketakutan dan biar
dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan
api, ha-ha!!
‘Boleh aku ikut menonton?!
‘Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami
makin tidak takut terhadap burung raksasa itu,! jawab mereka.
Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang.
Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan. Bu Song berjalan di
sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan
hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang
belum pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya.
Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti
karang, runcing tajam dan kasar.
Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa
melalui jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak
kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang
bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi
tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu
karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati
mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang.
Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara
itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi
bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan...
mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang
melayang keluar dari atas batu karang. Inilah si Rajawali Hitam yang ganas itu.
Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala.
Seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor. Ada
yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali
kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi,
anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak
panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak
dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api,
burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas
sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi
kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.
‘Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!!
Teriak Kui Sam. Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu
karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat bersama mendaki ke atas,
itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru
kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas.
Teriak mereka yang tinggal di bawah. Kui Sam dan temannya
terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala
sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam
menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan
tetapi, kibasan sayap yang besar dan amat kuat sekaligus memadamkan dua buah
obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah!
Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka dan yang tertimpa
ikut roboh bergulingan. Biarpun babak-belur, namun mereka selamat. Kembali
burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas
kembali setelah semua orang menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas.
‘Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!!
‘Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling
banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal itu berbahaya.
Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!!
‘Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di
ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di
puncak, dalam sebuah gua,! kata Kui Sam.
Tiba-tiba Bu Song berkata. Pemuda ini sejak tadi menonton
dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan
gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. ketika melihat penuh
perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung
muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya
melotot.
Semua orang berdongak memandang.
‘Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah.!!
kata Kui Sam. Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan usul ini, karena selain
terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh
rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar
ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas,
tepat mengenai daun telinganya sehingga robek.
Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak
tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat betapa seekor di antara
mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah
ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke
pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka begitu melihat anak burung itu
tergelincir keluar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung
kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan
tetapi setelah ia terima dengan tangannya, ternyata sebesar bebek!
"Mungkin sekali,� kata Kui Sam.
"Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya
mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor domba
dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi
matanya merah seperti api menyala.�
Bu Song makin tertarik. "
Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah?
Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?�
!Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini
dilanjutkan!!
Bu Song berkata dengan suara keras. Entah suaranya yang
berwibawa, entah karena mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo
Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri,
memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu di tangannya.
‘Sekarang aku mengerti, Rajawali itu mencuri kambing
untuk memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu
mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini.!
Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk
burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu
Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak
burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki
batu karang berbentuk menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke
atas. Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan
orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu
menyambar ke arah Bu Song. Namun, burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat
pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang
ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya.
Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah gua yang
besar. Kiranya di dalam gua itulah sarang si Rajawali, karena lubang itu penuh
dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua
ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata
melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan mengelus-elus kepala mereka. Tiba-tiba
matanya tertarik oleh serumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda
seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur
burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia
lalu mengambil setumpuk setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah.
Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi
tempat itu dan matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak
mengganggu Bu Song yang mendaki turun.
Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan
kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh,
malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!
Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan cerdik. Ia
maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera berkata,
‘Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi
burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh
manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya
karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita
memusuhinya.!
‘Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor
kambing kami!! bantah seorang.
‘Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih
banyak lagi!!
‘Tidak, asal dijaga baik-baik, kambing-kambing yang
sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan
akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya
mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini,
burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman
begini daripada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu.
untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?!
Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song
dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak membawa liur kering burung
rajawali hitam.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas
suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup
menduda di samping puteranya, Kam Bu Song, selama tiga tahun. Kemudian ia
menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa, puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan
yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan Bu Song yang lalu
minggat meninggalkan rumah ayahnya.
Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam
Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari puteranya, namun sia-sia
belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang
kehilangan Bu Song agak mereda, sungguhpun ia masih senantiasa teringat dan
berusaha mencari puteranya yang sulung itu.
Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan
mentaati perintah atasan. Biarpun ilmu silatnya tidak amat hebat, namun
kepandaiannya mengatur barisan, menggunakan siasat perang, terkenal sekali.
Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang
jauh lebih besar bala tentaranya. Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara
inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali dan biarpun berkali-kali musuh,
terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur
dan digagalkan. Nama Jenderal kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai
di Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han.
Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga
terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, yang ia anggap seorang yang setia
kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi.
Kemudian ia dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk
membangun kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin
lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu
dengan pemberontak!
Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan
untuk mengundurkan diri, akan tetapi pada hari ia hendak mengirim surat
permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh
gelombang pasukan Khitan yang amat besar. Biarpun Kam Si Ek sudah tidak suka
untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang,
namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat
mengenakan pakaian perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong
puterinya yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua
orang anak, yang pertama laki-laki berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin,
yang ke dua perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian Eng.
‘Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan
Shan-si dan kita mengundurkan diri ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju
perang lagi?! Antara lain isterinya memperingatkan.
‘Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar
dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah
bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi
tugas terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita,
isteriku.!
Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan
memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan yang datang menyerang
bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat
jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh
menjadi beberapa bagian terpisah, lalu pasukan-pasukannya yang terlatih baik
itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka, perama-tama menggunakan
panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong itu,
kemudian mengurung mereka yang sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan
setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan ini menyerbu!
Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu, Raja Kulukan,
ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di
tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia
mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur.
Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu panglima-panglima yang kosen.
Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih
setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami.
Akan tetapi, kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia
amat membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga
tahu bahwa sewaktu-waktu dapat goyah. Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan
saingan ini.
Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima
muda, perajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua hidup bahagia, saling
mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan
sehat, dan yang mereka beri nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan
mereka dan biarpun bekas puteri mahkota ini tidak menggantikan kedudukan
mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan,
namun hati puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di
samping suaminya yang mencinta dan puterinya yang mungil.
Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami
melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besar-besaran terhadap Shan-si
digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan
kepada Panglima Salinga, suami Tayami, untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang
perajurit yang bertugas membela negaranya, tentu saja Salinga tidak berani
membantah dan siap-siap berangkat. Akan tetapi isterinya merasa khawatir dan
berkata,
‘Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan
kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang
Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa
di Shan-si terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini
amat berbahaya. Aku merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus
ikut.!
‘Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu
menanti di rumah...!
‘Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut
mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku
pula menyertai pasukan kita melawan musuh.!
‘Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat Yalina
yang masih kecil.!
‘Dia anak kita, anak orang-orang perangan. Usianya
sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan berada di barisan
belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik
perintah penyerbuan ini, suamiku.!
Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami
berangkat juga bersama barisan yang dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri
Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia
dua tahun lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri
yang gagah perkasa ini menyertai suaminya.
Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara
yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur
siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan menyerbu dengan
tiba-tiba sehingga bari san Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan
terdiri orang-orang gagah dan pandai perang, akan tetapi menghadapi siasat
Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya dan kacau-balau. Banyak orang Khitan
tewas terkena panah gelap.
Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga
tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang
berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami
menjadi kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor
kuda, menggendong puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa
ini lalu terjun ke dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya
merobohkan banyak lawan. Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si
Ek yang memimpin sendiri barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan
ini hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan
yang ampuh sekali. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu
akan patah dan bagaikan seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya
ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin
pasukannya.
Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan
membangkitkan kembali semangat para pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat
banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke
tem pat itu. pertempuran menjadi makin hebat dan melihat kegaduhan ini Jenderal
Kam Si Ek terkejut. Seorang pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh
yang dipimpin seorang wanita Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil
menghacurkan kepungan.
Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin
pasukan pengawal untuk membantu pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang
menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia
memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada
pasukannya untuk mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya
menghujani pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak panah!
Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri
Tayami Roboh dari atas kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan
terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri!
mengapa begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya
untuk menggunakan kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami! Salinga tewas
dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan
kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain
hendak mentaati perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin
menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa
membahayakan nyawanya sendiri. puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak
mudah dibunuh begitu saja.
Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia
membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat! Maka kini melihat puteri itu
mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri
perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah
inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga
membalas musuh dengan anak panah. Melihat betapa Puteri Tayami melindungi diri
sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya,
pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada
musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang pun mengetahui bahwa
dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi
korban anak panah musuh!