‘Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi
petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau
keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?!
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka,
pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku
memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas,
Lu Sian tersenyum mengejek lalu membalikkan tubuhnya,
mengangkat kedua lengannya ke atas,
‘Nah, kau bekuklah aku!!
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu
Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas
tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan
matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang hijau ini. Mana ia tidak
merasa ‘tersiksa! ketika kedua lengannya merasai kulit leher yang halus,
dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut
yang harum semer bak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan
pelukannya pada leher mengendur.
‘Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk
pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekalipun akan mudah lepas. Jangan
sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... kuatirkan engkau kalau-kalau leherku akan
patah?!
Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan
tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher dan untuk melakukan ini,
terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar
kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut dan kepalanya menjadi pening,
napasnya terengah-engah!
Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia
dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu
berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil,
betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin
kagumlah ia.
Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya
kuat, juga batinnya kuat sehingga biarpun nafsu muda yang sudah selayaknya itu
masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
‘Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!!
Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri
sehingga pemuda itu merasa semakin ‘tersiksa!.
‘Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat...!
‘Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?! Lu Sian menggoda
terus.
‘Saya... eh... saya kuatir kalau-kalau... Toanio akan
terluka...!
Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat
menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata,
‘Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan
diri!!
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya,
menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat ‘merosot! keluar dari pelukan
ketat itu!
Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan
memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih
terengah-engah dan meramkan matanya!
‘Bagaimana, Ciangkun?! Lu Sian tertawa dan menggigit
bibir menahan geli.
Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi
hormat.
‘Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk.
Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari
Sia-kut-hoat.!
‘Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah, akan tetapi
dasarnya harus kuat, seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti
dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita
harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa
dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?!
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul
bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang
caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi
syarat agar berhasil!
‘Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi
syarat?!
‘Cukuplah, asal di tempat tertutup,! jawab Lu Sian
menahan geli hatinya.
Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian
yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar.
Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini
terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia berkata,
‘Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan
mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa
sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita
berlatih di atas... sana itu!!
Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka,
tak berani memandang wajah Lu Sian.
‘Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini
saja.!
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat
sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita
di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biarpun hanya bersila!
‘Terserah... kepada Toanio...!
Jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas
lantai.
Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita
itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata,
‘Atur napas kerahkan tenaga biar nanti aku yang
membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah
saja dan lihat hasilnya.!
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan
suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar
jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mukjizat
yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran
aneh. Dan bau yang semerbak harum itu! Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya,
mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sin-kang dalam tubuhnya. Terasa
olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak
tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang
dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri,
kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
‘Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil,
tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan
apapun juga.! Lu Sian berbisik,
‘tanpa menggerakkan tubuh sekalipun kita dapat
meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!!
Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa
betapa tulang pundaknya bergoncang, ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan,
menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.
‘Cu Ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu...! Kembali
Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia
memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang
putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk
lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah
bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang,
sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas.
Pemuda yang selama hidup nya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini,
tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa
panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang
kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.
‘Tak senangkah hatimu karena hasil ini?! Ia berbisik
dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.
Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk
tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang
dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu
Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
‘Eh... eh... Toanio...!
Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan
tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang
menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu
wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi Lu Sian bukannya
wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah
lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing
untuk meniup ke arah lampu di sudur kamar sehingga padam!
Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian
mengalami penghidupan yang penuh kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua
nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa
seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia
tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan
hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia
turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada
Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang.
Biarpun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal
sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk
Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima
muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau
menghalanginya. Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itupun
merupakan hal yang menguntungkan, semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang
sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalaupun ada, tentu akan disapu bersih oleh
wanita sakti itu.
Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para
panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan
perhatiannya keluar istana dan mulai mem bantu melakukan pembersihan dalam kota
raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini
belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha
merampas kekuasaan, dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah
selatan kota raja. Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian
yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia
menjadi kekasih Lu Sian
Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi
musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk
biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.
Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan
mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa
Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada
dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja
terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil
kosong di mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian pergi menyelidiki
rumah tua di ujung kota yang sunyi sebelah barat itu, berpakaian sebagai
seorang penduduk biasa. Goloknya ia sembun yikan di balik baju dan ia mendekati
rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang
rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya
bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu. Setelah dekat ia
mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Ketika ia melihat seorang
kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang
berdiri ketakutan, hatinya tergerak. Siapakah kakek ini, pikirnya. Kakek yang
mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
‘Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil
disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana
gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku
mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan
kalian. Kalau para pembantuku seperti kalian ini patriot-patriot konyol, mana
mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?!
‘Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan
tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua
serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan
kita di sini menjad macet sama sekali.!
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw
Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin? Ia memandang penuh
perhatian dan melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan
lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang.
Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia
tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang
kedua itupun kelihatan lemah.
‘Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah,
setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kaulihat
baik-baik!!
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin
besar menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.
Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu
Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya
sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
‘Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan
diri untuk diadili daripada harus berkenalan dengan golokku!! bentaknya.
Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan
menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil bertanya,
Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup
ringan, dan ia berkata,
‘Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang
memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!!
‘Oho! Bagus sekali, kau mengantarkan nyawa ke sini,
budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!!
Suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan.
‘Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih
Tok-siauw-kwi!! Laki-laki itu berkata pula.
Sementara itu, Cu Bian sudah tak dapat menahan
kemarahannya lagi.
‘Pemeberontak rendah! Rasakan golokku!!
Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat
dan kuat sekali, goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke
arah leher kakek itu.
Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang
sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas
kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar
biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia
menerjang terus kemanapun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia
sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran
bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat gin-kangnya, lweekang
dan ilmu goloknya. Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak
berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka danpada detik terakhir, kakek
itu selalu dapat berpin dah tempat bersama kursinya dan masih tetap
tertawa-tawa.
‘Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki
kematian yang mengerikan!!
Kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu
berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke
arah kepala Cu Bian. Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja
terlepas dari pegangannya bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia
lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua ke arah kepalanya. Cepat
ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena
dihantam ujung lengan baju.
Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya
cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya
serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya. Namun orang muda
ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan
meluap, sambil meluapkan rasa nyeri yang menusuk jantung, ia menerjang maju
lagi dengan dahsyat.
Bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya,
hanya dengan gerakan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas
golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas
dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi
begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas.
Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak
membayangkan ketakutan.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan
menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang
anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat
gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
Teriak Si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah
menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
‘Serbu! Tolong Cu-ciangkun!!
Teriak seorang perwira dan mereka yang berada dekat pintu
segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok.
Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang perajurit ketika
Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil
mengibaskan tangan mengirim tamparan.
Tubuhnya sudah mencelat keluar dengan mempergunakan
sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja, ia telah meleset jauh
ke depan, sebentar saja lenyap dari tampat itu membawa tubuh Cu Bian yang tak
dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang
tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok
rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana
yang tangkas, maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu
tewas di bawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa tertawanya Cu-ciangkun oleh seorang kakek
pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan di perketat, di seluruh kota
tampak para perajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga
sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin
yang menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa.
Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana,
tidak tampak oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke
atas bangunan istana, Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba
di atas istana, mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun.
Ia ikut merasa gelisah, karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya
yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu
dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong.
Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak
terjang kakek lumpuh itu yang amat lihai. Akan tetapi ia tidak takut sekarang.
Bahkan iangin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah
menandingi kesaktian Si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong
dan amat kuat tenaga sin-kangnya untuk melakukan pukulan jarak jauh.
Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam
kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka
jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama.
Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara
perlahan di luar kamar, akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak
bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang
tamu malam yang tinggi gin-kangnya sehingga gerakan kakinya hampir tidak
menerbitkan suara tengah mendekati kamarnya. Selama ini, tak pernah berhenti ia
berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela
memasuki kamar. Biarpun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian
maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk
tidak bergoyang sama sekali.
Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di
atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah
benda merah kebiruan yang kini berada di atas meja tertancap golok. Benda yang
berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian
berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh
melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri,
tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia
memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang
dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!
‘Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh
kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!!
Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya
menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya,
terus melayang keluar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di
pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas
kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo
Sengjin!
Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau
ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!!
‘Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. kau boleh
menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan
yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang, aku seorang patriot
sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang
patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya.
Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!!
‘Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain
boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!!
‘Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani
kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka
Ayahmu, biarlah aku mengampunimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han
ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau
membelanya mati-matian?!
‘Kakek tua bangka! Apa yang aku lakukan, ada
hubungannya apa denganmu? Kau peduli apa?‘
‘Wah, benar-benar keras kepala! Kukira aku tidak tahu
bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu
yang kotor dan hina? Kau....!
Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena
tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat
cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah
menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
‘Trang-trang-trang-trang-trang....!!
Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke
belakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter. Hebat serangan Lu Sian,
akan tetapi hebat pula tangkisan Si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan
mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran.
Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan
sin-kang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan
terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal
ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran. Di lain fihak, Lu Sian
juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat
tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut,
akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar
tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri Lu Sia bergerak dan dan sinar merah menyambar
ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan
tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke
arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu
tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat
sasaran! Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya
dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian
runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
‘Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!!
Bentak Kong Lo Sengjim sambil mengerahkan tenaga dan
menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Terdengar angin bersiutan
menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan
kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu. Banyak musuh kuat
roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah
menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu
pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan Si
Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia
cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh
direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di
tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga
sin-kang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya
menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!
Benturan dua tenaga sin-kang di udara itu tidak
menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat
karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah.
Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sin-kang tadi membuktikan
bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak
dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia
tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah
mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia
barangkali hanya kalah matang saja.
Seru Kong Lo Sengjin dan kini kakek itulah yang
berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali
karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya.
Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan
pekik melengking nyaring lalu tubuhnya mencelat pula ke atas, menyambut
serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara,
dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap.
Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara,
saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara
keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika
keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian
sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo
Sengjin.
Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat
membalik saling berhadapan, sejenak tak bergerak, mata meman dang tak berkedip,
napas agak terengah karena biarpun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka
telah mempergunakan seluruh tenaga sin-kang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan
kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo
Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi,
keduanya telah terluka, biarpun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia
mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak
mau kalah, maka kini menghadapi seorang wanita muda ini ia hanya dapat
menandingi seimbang saja, kemarahannya memuncak. Sambil menggereng liar ia
menerjang maju, tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga
berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan.
Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali
memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus
sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang
sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sin-kang
seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan
gerakan tubuh.
Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir
akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago gin-kang Tan Hui, maka
gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan
ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main,
tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang
gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk
lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk. Namun Kong Lo Sengjin
bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biarpun kedua kakinya sudah
lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang
menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat,
diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya
merupakan senjata yang tiak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang bertemu
tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti
pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang
saling gulung.
‘Trang... cring... plak-plak....!!
Tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke
belakang. Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar
punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang
sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk
menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan
saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan
tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam.
Setelah membuka matanya lagi, ia tertawa.
‘Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar
lihat sekali!!
‘Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan,
hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!!
‘Siluman betina, siapa kalah?!
Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
‘Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami
membantumu!!
Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima
istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan.
Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
‘Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding
pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam
anjing!!
Tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas,
melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang
ke atas tembok istana.
‘Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!!
Kata Lu Sian. Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat
olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir,
‘Eh, Cici, kau... kau terluka...?!
Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya. Akan
tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.
‘Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus
mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu,!
Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika
melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak
berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya
sendiri!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan
keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi
dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak
peduli lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang gembel tanpa sedikit pun
memelihara diri. Ia telah menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan
Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan
cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka
di hatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan
Ang-siauw-hwa. Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee
Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali.
Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu
berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan
keadaannya seperti gembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang
sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini disangka seorang gila.
Akan tetapi, semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin
Lin saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik
yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi, berubahlah keadaan
hidupnya. Timbul pula kagairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena
‘nenek! yang ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang
anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu
sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua,
melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang
merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya. Kegembiraan ini
ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah
ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera
Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati
luka-luka di hati Kwee Seng.
Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri dan
puterinya, juga muridnya, ke Gunung Min-san di mana ia hidup berbahagia dengan
mereka, Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, adapun Kwee Eng
atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira,
merupaka matahari ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat
penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.
Adapun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak
gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun. Ketika masih kecil, mereka itu
seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih
sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang
dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia
mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam
belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya.
Adapun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua
puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya
pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah
terdapat dasar-dasar ilmu silat, Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti
di dalam tubuhnya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu pagi yang indah di puncak Gunung Min-san, Kwee
Seng bersama isterinya duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan
yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai
mengusiri halimun pagi yang tebal. Dalam usianya empat puluh tahun lebih, Kwee
Seng belum kelihatan tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin
tegap dan agak gemuk. Hanya jenggotnya dan kumisnya yang tipis itu
dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua daripada dahulu. Adapun isterinya
yang amat cinta kepadanya, juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping,
senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika
mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang
nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil
berseru.
‘Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlumba
mencari kayu!!
Tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya
yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang,
wajahnya cantik berseri-seri. Di belakangnya tampak Bu Song berusaha
mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang,
dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak
seperti seorang pelajar yang lemah melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya
tampan dan ganteng, dengan alis hitam tebal berbentuk golok, mata lebar bersinar
tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum.
Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan
sifat yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering
kali keningnya berkerut.
‘Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan
kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah.
Larimu lebih cepat daripada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?! Biarpun ia
berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis
yang menjadi teman bermain sejak kecil selama belasan tahun.
Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap
dalam sebuah hutan di puncak. Suami isteri yang duduk di depan pondok itu
tersenyum, saling pandang penuh arti.
‘Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang
amat cocok dan setimpal,!
Kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh
kepuasan.
‘Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka sebaliknya Bu
Song pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga
kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang...!
‘Mengapa sayang, isteriku?!
‘Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya
tidak hidup bahagia, tumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai,
Ayah kawin lagi, Ibu...!
Kwee Seng menghela napas.
‘Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah
kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak
baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia
tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya, apakah masih belum cukup dan haruskah
kita mengingat keadaan ayah bundanya?!
‘Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang
tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang
kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku
sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih
baiknya...!
‘Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kau
sayangkan, apakah itu?!
‘Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu
silat. Sedangkan anak kita, sungguhpun tidak sangat pandai, boleh dibilang
telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang
kesesuaian faham dan watak mereka kelak?!
‘Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini
kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak
yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada
ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai
dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia
kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan
tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman
dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu
silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka.
Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat
baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih
baik daripada aku sendiri. karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu
silat dan telah menyuruh di berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah
memiliki sin-kang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak,
kalau ia mengalami penderiataan hidup karena ketidakmampuannya bersilat, baru
akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang
yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku.!
Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali.
‘Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku.
Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi
suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan mereka....!
‘Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini?
Adakah yang lebih nikmat daripada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita
sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan
pertumpahan darah?!
Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung,
bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata
itu dengan saputangannya. Dengan muka tunduk ia berkata,
‘Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian, juga
bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini.
Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku
terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri,
seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu karena
kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... suamiku,
katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan
hidupku tanpa mengingat sedikitpun akan penderitaan orang tua dan keluargaku?
Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak
kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu
dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah, suamiku...! Gin
Lin lalu menangis.
Kwee Seng memegang pundak isterinya.
‘Tenangkan hatimu, isteriku. Jangan kau kira bahwa aku
pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau
urusan pribadi dicampur-adukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan
karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu
bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda
malapetaka. Andaikata kau hendak membalas, kepada siapakah kau akan membalas?
Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita membalas kepada
seseorang?!
‘Memang betul ucapanmu, suamiku,!
Kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya.
‘Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang,
melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena
mereka itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita
sudah menikah, aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk
menghancurkan musuh sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan
kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga...!
‘Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa
kaukira aku dapar melepasmu begitu saja? Sekali kita berkumpul, untuk
selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai
seorang pendekar tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka.!
Gin Lin memegang lengan tangan suaminya dan matanya basah
memandang wajah suaminya ketika ia berkata terharu,
‘Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali...!
Mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas.
Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya
karena kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya,
mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi
dia, cinta jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng
akan membohongi diri sendiri kalau dia mengaku demikian. Cinta kasih terhadap
wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong.
Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampi
mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba
mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin
Lin dan akan membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.
‘Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah
berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan demikian berarti sudah menang
perang?!
‘Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan
golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi
Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman
kabarnya makin payah...!
‘Bagaimana kau bisa tahu?!
‘Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng gunung
pergi menyelidik ke kota raja....!
Kwee Seng terkejut. Hemmm, kiranya isterinya ini
diam-diam tak pernah melupakan urusan negara. Akan tetapi pada saat itu,
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ,
kedua kakinya bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang
dipegangnya, menggantikan kedua kaki untuk berdiri.
‘Paman...!! Gin Lin berseru girang.
‘Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak
dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu,! kata Kwee Seng yang sudah
bangkit berdiri dan memberi hormat.
Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap
tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata,
‘Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata
denganmu.!
‘Tentu saja boleh, silakan Paman masuk ke pondok kami
yang buruk....!
‘Tidak disitu, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni
puncak. Di lereng sunyi sana kita bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh
mengejar-ngejarku, aku perlu... bantuanmu, suami keponakanku!!
‘Paman! Apakah yang terjadi...?! Gin Lin berseru kaget.
‘Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya
perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini
tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu membantuku?!
‘Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng
bersama Paman. Kasihanlah, bantulah...!
Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan,
juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar
bahwa pamannya kembali sudah jatuh!
‘Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!!
Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak.
Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri
duduk ber sila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata,
‘Kim-mo Taisu, kali ini kau benar-benar membutuhkan
bantuanmu.!
‘Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?!
‘Duduklah di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar
lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan
mengganggu saja.!
Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat
ini, akan tetapi ia tidak membantah lalu duduk di depan kakek itu. Kakek yang
sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat
bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata,
suaranya lambat perlahan.
‘Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa
malapetaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut semua bangsawan dan keluarga
kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku
dalam perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk
berusaha membangun kembali Kerajaan Tang yang telah dirobohkan para
pemberontak.!
‘Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?!
‘Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang
bekas pangeran dan Raja Muda tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan
Tang,!
‘Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan
malapetaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira
bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus
terang kukatakan bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan
Liang, aku lalu mengundurkan diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang
muridku. Baru setelah Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan
berusaha membangun kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang
sudah tewas sehingga terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan
lain, akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan
Han Muda. Namun, begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang
Kerajaan Han telah runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja
(947-951)!!
‘Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk
membantu Paman?!
‘Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun
kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah
pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang? Betapapun
juga, aku harus membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah
meruntuhkan Kerajaan Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han
Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh
karena itu lah. Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?!
‘Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku
terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan
jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian, karena dalam perang tentu
keadaan kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak
mungkin saya dan isteri saya membalas secara membabi buta, karena bukankah
tentara pihak musuh itupun hanya memenuhi tugas mereka? Tidak ada dendam
pribadi dalam urusan perang. Adapun tentang membantu Paman, agaknya sudah
sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman
tidak terancam siapa-siapa pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh
pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus kulihat dulu siapakah mereka
itu. Kalau mereka terdiri dari golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan
membantumu.!
Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga
hancurlah batu.
‘Heh! Sudah kuduga kau akan banyak membantah! Banyak
sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di
antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili
Khitan. Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis baru yang jahat. Ma Thai Kun orang
Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi...!
‘Ahh...?! Tanpa disadarinya Kwee Seng berseru kaget.
‘Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siau-kwi? Benar,
dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi tunanganmu!!
Kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam. Diam-diam
Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah
diketahui pula oleh kakek sakti ini.
‘Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak
mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka
yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang
menimbulkan dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim
Lin!!
‘Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting
adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini
berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku
atau tidak menghadapi mereka?!
‘Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan
membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang
cocok dengan...!