Dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang
telah memiliki kepandaian hebat juga gadis yang gerakan-gerakannya liar dan
ganas itu amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak
dahsyat. Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha
untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup
jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu.
The Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia
menyerang dahsyat kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak
tiri yang dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu,
Swat Hong mundur-mundur juga. Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan oleh
Sian Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali
mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin, dan ketika wanita ini mengelak
kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat Hong, Soan Cu
menusukan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.
"Singgg....crat..... aihhhhh!!"
Kwat Lin terkejut karena biarpun dia telah mengelak,
tetap saja pedang Coakut- kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya,
merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri dan panas dan perih sekali. Akan
tetapi, wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikan pedangnya
menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka
ini.
"Awas Soan Cu.....!!"
Swat Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah
adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah dia dapat
menolong Soan Cu.
"Brettt.... crok..... aughhhh......!!" Soan Cu
terhuyung, pundaknya berlumuran darah karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin
cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka
parah, terbacok di bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia
menubruk Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat
kaki menendang lutut.
"Dukkk! Aduh....!"
Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam
telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat Hong menendangnya Soan Cu
yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu wanita itu
terguling, pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat Lin.
"Bedebah kau....!" Tiba-tiba pedang di tangan
Kwat Lin meluncur.
"Soan Cu, awas....!!"
Swat Hong berteriak kaget namun terlambat. Pedang yang
terlempar dari jarak dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan dorongan
tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh Soan Cu dan menancap di
bawah pundak sampai dalam!
"Soan Cu!"
Swat Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin
memekik dan lehernya hampir putus! Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu
yang tersenyum!
"Pergilah.... Aku.... aku tak berguna
lagi....!" katanya.
"Omong kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut
pedang Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan
gemas Swat Hong melempar pedang itu memondong tubuh Soan Cu, dibawanya keluar.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang masih
berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya
kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu, yang mengamuk dengan
gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga masih mengamuk,
dan hanya pemuda inilah yang belum terluka, karena Ouwyang Cin Cu menujukan
serangan-serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan
kepada Kwee Lun.
"Ibu....!!"
Dengan kemarahan meluap-luap, Swat Hong meloncat,
melampau para pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis
ini mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya
demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar, bergerak mundur.
"Ibu.....!"
"Ayahhhhh.....!"
Ouw Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri
berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah tewas, maka panggilan itu
menggetarkan jantungnya dan membuat dia lemas.
"Kau.....kau Soan Cu.....?"
"Ayahhhhhhh..... Hu-hu-hu-huuuuu.....!!"
Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga
bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar mata.
"Wutttt..... trangggggg......!!"
Dua batang golok terpental oleh tangkisan oleh tangkisan
Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi
puterinya.
"Ayah, aku puas..... dapat bertemu
denganmu.......!"
"Soan Cu...... aihhhh, anakku, ampuni dosa
ayahmu....." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak.
"Trang-trang..... dessss!!"
Dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh
tangkisan pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang.
"Ah, jangan kau keluarkan tenaga....." kata Ouw
Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu memburu.
"Ayah..... aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu
larilah, ayah......."
"Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!"
Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata
sendiri betapa puterinya yang baru dilihatnya selama hidup puterinya itu,
menghembuskan napas di dalam dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki gagah
perkasa itu masih terus meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika dia
telah membaringkan tubuh puterinya ke atas lantai kemudian dia mengamuk seperti
seekor naga, menyebar maut diantara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak
dirasakannya lagi pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai kegagang,
bahkan sampai ke lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kelilangan
darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia roboh
oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah menjadi Kok-su
ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia sengaja mundur dan
membiar kan anak buah pengawal yang mengeroyok.
Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada
The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah
memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat
Lin. Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan
orang-orang lihai, apalagi keluarga dari Pulau Es!
"Swat Hong, cepat kau pergi......!"
"Tidak, Ibu!"
"Kalau tidak, kau akan mati......!"
"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"
"Hushhhh, anak bodoh. kalau begitu siapa yang akan
mengembalikan pusaka? Kauingat pesan Ayahmu."
"Tapi, Ibu....."
"kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu
tidak akan dapat mati dengan mata meram."
"Ibu......!"
"Lihatlah, dia.....diapun akan mati..... Ibu ada
seorang teman yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami senang mati
bersama.....kau jangan ikut-ikut......!"
Mendengarkan ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan
menengok ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya itu.Mengertilah dia
bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya
seperti ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya
tidak bersalah, sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena
disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!
"Ibu......"
"Pergilah, dan ajak pemuda itu!"
Sambil bercucuran air mata, Swat Hong mengamuk, memutar
pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.
"Toako, hayo kita pergi!!"
"Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya.......?"
"Ayolah.....!!"
"Baik, baik.....!" Mereka berdua membuka jalan
darah, akhirnya berhasil meloncat keluar.
"Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di
dalam!"
Terdengar Ouwyang Cin Cu berseru. Tidak terlalu lama Ouw
Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga
terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat
mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan
kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas
ini adalah orang-orang yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam
dongeng! wanita cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es,
sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau
Neraka, bahkan merupakan tokoh pimpinan!
Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin
juga tewas dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia
maklum betapa dilubuk hati wanita ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat,
yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan kedudukannya sendiri.
Setelah membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang kematian
The Kwat Lin bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang.
"Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang
berguna." Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata,
"Kalau begitu bagaimana dengan puteranya?"
"Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih
berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan
kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak
kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya."
An Lu Shan mengangguk-angguk.
"Habis bagaimana pendapatmu?"
Kok Su yang merupakan penasehat utama itu mengerutkan
alisnya yang bercampur uban, lalu berkata,
"Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia
hamba bawa kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai
dan daerahnya. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa, asal diberi kedudukan di sana
mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang
hatinya."
"Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk
dibereskan."
Demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai,
Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu
diberitahu bahwa dia oleh kaisar "diangkat" menjadi "raja
muda" yang berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung
mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot.
Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah. Akan tetapi
anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biarpun dia dicukupi
hidupnya, diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah "dibuang"
oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam
hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga
Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya. Anak
kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu-ilmu peninggalan ibunnya
yang masih ada padanya.
Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain dia
harus membalas kepada musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas
kembali pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia merasa bahwa dia
berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es? Dari
ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es dan
melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi
jago nomer satu di dunia.
***
Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong
tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang
demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan
ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan tetapi kalau
orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang bisa dianggak
tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa.
Dalam halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal
atau luar biasa. Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di
mana terdapat ratusan ekor ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak
ada seekorpun ular yang berani menggigitnya. Apalagi menggigit, mendekatipun
mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular-ular itu
cepat menyingkir ketakutan. hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju
Sin Liong terdapat batu mustika hijau dari Pulau Es!
Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik
Han Swat Hong yang telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang
racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoinya itu, dia menyimpan batu mustika ini
di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu
mustika itu ikut terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada
ular yang berani mendekatinya. Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat
parah dan yang akan mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini pada
dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan
urat-uratnya, apalagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han
Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan tahan derita. Dua hari dua
malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tanpa diusik oleh ular-ular
itu yang hanya memandang dari jauh seolah-olah dia merupakan mahluk yang
menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak
bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara mengeluh panjang, kemudian tubuh
itu bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah.
Sejak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa
dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan
terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta. Akan tetapi, ketika
dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah dia
dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat
gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah
tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu sengaja
diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di
belakangnya, Sin Liong menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia
mengeluh karena begitu bergerak, dadanya terasa nyeri bukan main!
dDia teringat akan pertempuran itu dan mulai mengertilah
dia bahwa tentu dia telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang
amat gelap. Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab
dan pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia
memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama
kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan menyelamatkan rasa
nyeri-nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa
perutnya lapar sekali.
Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua malam perutnya
sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri dengan hati-hati.
Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya
di atas kepala.Tetap saja disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan
itu tinggi bukan main! Seperti sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia
akan meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian
dengan ilmu ginkangnya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua
tangannya tetap menjaga di atas kepala.
"Plakkkkk!"
Tubuhnya melayang lagi ke bawah. Kedua tangannya bertemu
dengan batu besar yang amat berat, yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali
Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan sekali
meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan
teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang
manusia, betapa kuatpun dia, untuk meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu
besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan yang sebongkah
saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa
usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin baginya.
Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya. Sumur itu
tidak berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia
mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau hamis, tahulah dia bahwa di
tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya
redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat
itulah ular-ular keluar dari sumur. Begitu dia mendekati lubang ini, tampak
olehnya ekor ular berkelebat di dalam cahaya remang-remang itu, menjauhkan
diri.
Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak
mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya.
Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang
mengeluarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku, pikirnya. Hatinya
menjadi makin tenang. Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takut
menghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu,
teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga. Musuh demikian
lihai, dia sendiri kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana
nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat
Hong.
Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin
bersemangat mencari jalan keluar. Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari
sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua
tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan
memukul pecah batu-batu di sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini, karena
selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu di tempat itu amat kerasa dan hanya
dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia
memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus
menggempur lubang di depat yang merupakan terowongan panjang.
Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang
terowongan kecil itu makin terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas bahwa di
seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk,
pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang
ular dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga.
Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima titik-titk air yang jatuh dari
atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. biarpun memakan waktu
lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan meminum secara demikian. Namun
perutnya yang lapar terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari! karena
setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu
dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat
tertutup!
Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan
gelap, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari
sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas,
jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang
merupakan retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk. Sin
Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan harapannya
kandas sama sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tahanan yang sukar
diterobos adalah tempat ini lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular
yang banyak sekali berbelit-belit dan kelihatan ketakutan, ada yang merayap
naik, ada pula yang menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali
ke dalam sumur pertama!
Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah
ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar
matahari yang tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi
putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya
kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoinya dengan keyakinan bahwa apa
pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran yang
tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut dan
inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu.
Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar dari
tempat itu. Sama sekali tidak ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan
benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu
jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh
sinar matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan
meyakinkan hatinya.maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung
racun, lalu mulai dia makan jamur.
Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur
mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di
beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air yang menetes. Ditampungnya
tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya
air yang disaring oleh tanah dan batu itu. Setelah yakin benar bahwa tidak ada
jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat
berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin
Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan
dibacanya dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es
memang amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya.
Oleh karena inilah maka diluar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya
bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal diri
sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari
dalam pribadinya timbul kekuatan mukjizat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap
orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat
terakhir dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut
aku. Tanpa terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah
tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar
biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun!
Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mungkin
dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia tidak lagi
berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi teman-temannya
hanyalah ular-ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa
seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena selama itudia tidak
pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah
menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya.
Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang
datang mengancam diri mereka. Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong,
tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam
itu, pertumbuhannya sama sekali berlainan dengan manusia biasa. makanan amat
mempengaruhi tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua tahun itu mendatang
kan kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula
pertumbuhan batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak menderita
apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam keadaan apapun juga,
menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang dianggap
sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau
tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada
lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang,
yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu
nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang
datang tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan,
seperti batin Sin Liong di waktu itu.
Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini,
terjadilah kesibukan besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan
tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar,
dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu-batu
di dalam terowongan bawah tanah itu. pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu
bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa orang-orang kerdil
bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka. Han Bu Hong kini
telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di
antara tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan
mimpi ibunya sebagai kenyataan, dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua
atau lebih tepat lagi menjadi "raja" dari orangorang katai ini.
Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam
dia mendirikan "kerajaan kecil" di bawah tanah. Bahkan dia telah
membangun sebuah ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi
kebesaran yang dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti
permadani, lukisan dan tulisan indah.
Sering kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan
rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan
pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan
cita-cita ibunya.
Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan
bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil , dan juga karena dia ingin
mencari kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa bangkai di
terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan
bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li.
"Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik),"
Seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran
dilakukan.
"Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu
Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar.
Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan
Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu
tidak mampu hidup kembali." Han Bu Ong tertawa.
"Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup
kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andaikata dia tidak mati oleh
ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini
sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo
bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini tertutup sampai di sini, padahal
kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat penting bagi perkumpulan
kita."
Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang
tepat, maka beramai-ramai para manusia katai itu segera bekerja keras,
membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat
pendongkel dan lain-lain. Hiruk pikuk suara di dalam terowongan itu dan
pekerjaan yang berat itu biarpun dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap
saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak itu
mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah
itu.
Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar
terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para anak
buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur
yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyambar dari bawah
dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah, Han Bu Ong dan semua
orang terkejut. Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi
meloncat melewati kepala mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri
di situ sambil tersenyum, seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki
sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang
pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal
pemuda ini karena memang keadaannya jauh berbeda dengan tahun yang lalu.
Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan
perintah,
"Serbu! Bunuh dia...!!"
Orang -orang katai yang tadinya bengong terheran-heran
dan ketakutan karena menduga keras bahwa tentu hanyalah siluman saja yang
keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar.
Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar
ke dalam sumur. Biarpun mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan
bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini
ternyata masih hidup, namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan
teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan Han Bu
Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong.
Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara
hirup pikuk disebelah atas kemudian melihat cahaya turun melalui terowongan
kecil jalan ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama.
akhirnya dia melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu
terbuka dan melayanglah dia keluar. karena selama dua tahun dia tidak bertemu
orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang. Akan
tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin
Liong hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa
tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua senjata, baik yang
tajam maupun yang tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti
mengenai gumpalan karet yang amat kuat.
"Bu Ong...bukankah engkau itu sute...?"Sin
Liong berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong.
"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!"
Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata
terbelalak. Biarpun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali
menyerbu dan hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata
itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin Liong
menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi makin
compang-camping, terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak
tubuhnya berkelebat melewati kepala para pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan
lenyap.
Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong
menyambarkan dan menenangkan hati mereka. Dia merasa yakin bahwa betapapun
lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan
rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga
ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari
kedudukan dengan menghubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa
tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan mereka
berhasil. Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang
bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat
"pangeran" oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut tahta
kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan bawah
tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat persembunyian. Setelah
selesai mempersiapkan segala-galanya dan tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran
Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja bersama sekutunya itu untuk
mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu.
Memang selama dua tahun itu terjadi dua halyang banyak
tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau
keamanan, bahkan sebaliknya. Selain kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan
dan menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di
barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja, juga di dalam istana
pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan!
Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya
yang telah berhasil dalam "perjuangan" mereka merampas kedudukan
tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya berjuang bahu-membahu, menjadi kawan
senasib sependeritaan, yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah
memperoleh apa yang mereka cita-citakan , berbalik mencurigai, saling iri!
Memang belum ada yang secara berterang beranimenentang An Lu Shan, bekas
panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti
dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan
menjadi Kaisar.
Akan tetapi diam-diam, banyak yang mepersoalkan pembagian
pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang
memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa
curiga dan hati-hati menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih
kecil. Terjadi dan berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka.
***
Kemanakah perginya Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian
depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri,
lari keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang-an.
Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari
benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta
kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat. Setelah terang
tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah
keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah
sebatang pohon besar.
Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat
yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh
sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak
bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar. Kwee Lun juga menghapus
peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. beberapa kali dia
menggerakan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi.
Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa
jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat
berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang
amat dicintainya. Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus
meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya
sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti
orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan
saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending,
akan tetapi kalau terserang batinnya lebih berbahaya lagi. Akhirnya dia
memberanikan diri berkata lirih dan halus,
"Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita
manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan
memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu
tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara meragu,
"Hemm....?"
Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan
Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi
dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan,
"Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah
perkasa."
Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak,
seolah-olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih
makin lama makin keras,
".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!"
Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil
ibunya.
"Tenanglah, Nona. Tenanglah....."
Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan
tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu....! Mengapa aku meninggalkan ibu mati
sendiri....? Ibu....! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu.....!"
Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis
itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong
menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir.
"Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibumu..... tentang
pusaka Pulau Es...."
Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu
juga basah air mata, dia menubruk.
"Toako.... ahhhh, Toako....!"
Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang
dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini.
Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan
sesenggukan Swat Hong berkata,
"Ibu tewas..... di depan mataku..... dan aku tidak
dapat menolongnya..... hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada,
Suheng juga...... hu-huuuuuuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi?, apa gunanya aku
mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?�
Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong
merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju.
"Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah
ibuku sudah meninggal, dan suheng satu-satunya orang yang kucinta..... dia pun
tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?"
Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang
menghancurkan perasaannya, akan tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata,
suaranya nyaring bersemangat,
"Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti
engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah
puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi
dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang mulia dan
gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan
orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan ? Pusaka
itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya
kalau kita segera menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau
Es."
Ucapan penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat
Hong, menarik gadis itu dari lembah kedukaan yang hampir mematahkan
semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya,
lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun.
"Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir
aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah berani hidup harus berani menghadapi
apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri
menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......"
Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata.
"Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku
mencintanya......"
"Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita,
Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai Gurumu, sedangkan aku hanya seorang
diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat
menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih."
Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi.
"Nanti dulu! Hong-moi.... biarlah aku
membantumu....."
"Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka ke
Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke Pulau Es.... untuk.... untuk
selamanya. Selamat tinggal!"
Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja
dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas. Pemuda ini
menjatukan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat
menahan bertitiknya air matanya dan baru sekarang terasa olehnya betapa dia
kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan sunyi.
Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah
dia kepada gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti orang tuanya sendiri. Dia
harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai dan terbayang olehnya betapa
suhunya itu akan terheran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau
Es!
Dengan perasaan yang kosong dan sunyi, ingatan akan
gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya dan berlahan-lahan
Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat
lama ditinggalkannya. Sementara itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya,
Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar
Swi Nio dan Toan KI.
Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka
Pulau Es dia dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah,
dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar.
Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu
sudah kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati!
Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di
situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu
tidak akan begini merana hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat Swat Hong
melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan
Ki. Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok
Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam,
kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan bahwa Tee-tok
bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu
tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang
ditanyakan oleh gadis itu. Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai
bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah salah memilih orang
untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu
sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang
diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini timbul pula
semangatnya yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya masih perlu dan ada
gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak
terjatuh ke tangan orang lain!
Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan
bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus. Sambil menahan kemarahannya,
dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu,
"Andaikata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki,
harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya akan
kembali menemui mereka."
Ang-in Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian
dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini, mengangguk-angguk. Kemudian Swat
Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan
Kota Raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa dengannya
di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali
dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis Tua
Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum
juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang.
"Saya malah merasa gelisah juga memikirkan
Suhu." kata kakek itu.
"Keadaan di mana-mana sedang ribut dengan perang,
akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang."
Swat Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi,
pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan
pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan
selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka!
Dia berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia
memaki-maki Bu Swi Nio yang dipercaya.
"Dasar murid iblis betina itu," gerutunya.
"Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan
aku!"
Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa
hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua orang muda itu namun
anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya
timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang
tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan berkhianat itu takut
kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke barat, ke Secuan.
Sangat boleh jadi!
Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan dan
berangkatlah dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka, dia pun ingin membantu
Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut
kembali tahta kerajaan. Sebaliknya klau dia membantu, pikirnya. Selain untuk
mengisi kekosongan hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio an Liem
Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang
Cin Cu, dan juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau
raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan
darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.
Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di
mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang
hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang
sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita, maka begitu dia berhasil,
tak pernah berhenti setiap malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan
ditunjuknya, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang lain
sekalipun! pada suatu malam, dalam keadaan mabok dan sedang gembiranya, An Lu
Shan lupa diri dan dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya
yang sudah lama sekali dia rindukan secara diam-diam.
Kalau sadar dan tidak mabok, dia masih menahan hasrat
hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam keadaan mabok, dia tidak mempedulikan
apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya! Tidak ada seorang pun manusia di
dalam istana yang berani melarang, danpada saat itu, putera An Lu Shan sedang
tidak berada di situ. Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda
dan cantik jelita itu tidak kuasa menolak atau memberontak, sambil menangis dia
terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabok itu. Dengan
suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun
seorang laki-laki yang tidak hanya mabok arak, melainkan juga mabok nafsu,
tidak mempedulikan apa pun. wanita hanya dapat merintih dan menangis, diseling
suara ketawa gembira dari An Lu Shan.
Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh
pangeran, An Lu Shan telah tidur mendengkur kelelahan dengan muka merah karena
banyak arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di
atas lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali
meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri.
"Crappp....!"
"Auhhh.... haiii.... kau.... kau.....?"
An Lu Shan yang bertubuh kuat itu, biarpun pedang telah
menembus dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram ke arah puteranya. Akan
tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang sehingga
An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam.
Dia berkelojotan dan tak bergerak lagi!
"Tangkap pembunuh.....!!"
Tteriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama
dengan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar. Shi Su Beng menggerakan pedangnya
dan terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu roboh pula di dekat mayat
ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir putus terbabat
pedang Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana. rapat kilat diadakan dan
Shi Su Beng yang dianggap membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk
merampas kedudukan Kaisar!
Dalam keadaan kacau balau itu, Shi Su Beng mengangkat
diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja muda pembantunya yang
setia! Hanyalah mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang
digerakkan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan berahi An Lu Shan
terhadap mantu perempuannya, bahkan di dalam mabok, Shi Su Beng yang membujuk
supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam kamar
itu dia telah menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu
Shan! Dan selagi An Lu Shan yang mabok itu menggagahi mantunya sendiri,
diam-diam Han Bu Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat
memasuki kamarnya.
Maka terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh
mereka berdua, yaitu kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan
kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng. Terjadilah perubahan
besar-besaran di kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali Han Bu Ong
berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya, yaitu
menjadi seorng pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari pada di waktu
ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang menjadi
sekutunya! Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan di
tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota
raja akibat perebutan kekuasaan.
Seperti biasa penguasa baru mengangkat teman-temannya
sendiri menduduki jabatan tinggi, melakukan penggeseran-penggeseran sehingga
menimbulkan dendam dari kawan-kawan yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan
seperti itu, kacau rencana perebutan kekuasaan, kalau perlu dengan cara halus
maupun kasar, para pemberontak yang kini memegang tampuk kerajaan itu menjadi
lalai. Mereka terlalu memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke
Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu sudah jatuh benar-benar. Kesibukan
untuk kepentingan ambisi pribadi membuat mereka lengah dan kurang memperhatikan
pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan
telah membentuk kekuatan baru untuk melakukan pembalasan!
Kaisar lama, yang hancur lahir batinya karena bukan hanya
mahkota kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama
sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh
keputusannya sendiri, setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang patah
semangat dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di
Secuan, keluarga kaisar dan para pengikutnya yang masih setia, menerima
keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat Kaisar baru, yaitu putera mahkota yang
bergelar Su Tiong.
Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah
perang terhadap An Lu Shan, di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah
menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari
rakyatnya di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada negara-negara tetangga
yang bersahabat. Maka terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari
bermacam suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali
datang pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai tanda
bersahabat oleh Kalipu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan
diberi latihan-latihan berat dalam persiapa kaisar Su Tiong untuk merampas
kembali kerajaannya, Kok Cu I.
***
Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong
menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang
wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis
dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walaupun tidak pernah
bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa
hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam
hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan
pusaka Pulau Es itu.
Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang
kematian An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu
Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Su Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah
pimpinan Panglima Besar Kok Cu I sendiri.
Panglima Kok ini menyebar para pembantunya, yaitu
panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk menerima dan mendaftar
para sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara. Seorang di antara
bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan bahkan menghubungi
orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah
yang telah berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang
kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan.
Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan
di sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang sebagian
kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ. Panglima Kok Cu I yang cerdik
memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya
bentrokan.
Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet
berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari
bermacam-macam suku bangsa. Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang
dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat
ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit
coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di
tengah jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah,
memegang gandewa dan akan panah dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab
sambil tertawa-tawa. Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu
berkata dalam bahasa Han yang kaku,
"Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya
sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"
Swat Hong tertarik , berhenti dan memandang ke atas.
Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan
burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini
bukan seorang ahli panah yang sakti?
"Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang adalah paling
sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya
yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak.
"Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung
terakhir!"
Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di
atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu
menarik tali gendewa . Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang
anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan
bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua
ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah.
Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang melihat bahwa dada
burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Boleh juga dia,"
Pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaiannya
memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama
sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh
am-gi seperti jarum, paku, piauw dan lain-lain.
"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira
Malik!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini
adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan
mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.