Bab 21
Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan
tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas
seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun
karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa,
maka tentu saja kepandaian mereka hebat. Suling Emas sudah berhasil
mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya
mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling
yang kenanya memang tidak tepat benar.
˜Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan
cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum datang dan kalian sudah
mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!!
Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang
tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah
oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi
kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang
mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat
beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.
Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan
hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah
meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan
sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas.
Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa
untuk melawan sekian banyak orang pandai, karena disamping harus menandingi
mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.
˜Tapi.. kau sendiri.. Twako?! Sian Eng mengkhawatirkan
kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri
menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.
˜Pergilah..!! Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu
menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat
berbahaya itu.
Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya
dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tempak dari lereng tadi,
kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam
mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa
orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memeng jalan melalui bukit
dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan memotong
yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.
˜Kita menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi
banyak musuh lihai, bagaimana kalau.. kalau dia..!
˜Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita
harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.!
˜Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa
lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang.!
˜Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau
tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari,
Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.!
Tanpa memberi kesempatan lagi kepade Sian Eng untuk
membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan,
menyusuri tepi sunsai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga
tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong
juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!
Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan
cepat dan sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu
setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini tidak
tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera dapat
tersusul Suling Emas karena betapapun juga, berpisah dari kakak yang sakti ini
mereka merasa tidak enak. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil
setengah menanti munculnya Suling Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara
mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena
kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang
mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.
Suling Emas setelah melihat kedua orang adiknya pergi
cepat, menjadi lega hatinya. Ia tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan
beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu yang gerakan-gerakannya cukup
membayangkan kepandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh
kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bahwa menghadapi lawan-lawan
setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya
lega dan sambil tersenyum mengejek ia berkata.
˜Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan
Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada dendam mendendam. Mengapa
kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku murah
dan mengalah? Sekarang suhengmu datang dan teman-temanmu, aku tidak bisa
bersikap mengalah lagi!!
Tiba-tiba Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh,
yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu
Sastra Angin dan Awan) ini adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek
sakti Bu Kek Siansu dan selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib
ini tidak akan sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu. Dengan ilmu silatnya
yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas
jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan
mendesak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus
menyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas kembali
tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini
untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu.
Tok-sim Lo-tong terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika
tiba-tiba matanya menjadi silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar
keemasan dari suling lawan yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan,
namun selain indah gayanya, juga mengandung tenaga mujijat yang sukar ia lawan.
Selama hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari
manapun juga, akan tetapi menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran
mujijat ini, ia benar-benar kaget sekali.
Cepat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya, dan mengingat
bahwa suling bukanlah senjata tajam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan
tangan kirinya untuk merampas suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram
pundak lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak
meleset seperti mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang
bertemu dengan suling, seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke
belakang, membuat gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai
sepuluh meter lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong
dirinya, kalau tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.
Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah
mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat
dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf
ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti
JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan
luasnya bukan main. Bahkan Nabi Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing)
yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber
pada huruf TO inilah! Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO
ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan bahwa TO tidak dapat diterangkan,
tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak tampak, saking
besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib daripada yang gaib, sumber segala
yang ada dan tidak ada, semua rahasia!
Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan
sebagian kaum cerdik pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN
TERTINGGI.
Nah, dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana
bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak
cepat-cepat membuang diri ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter
jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar!
Pada saat Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin
sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang temannya yang sebetulnya adalah
anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat
dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka
berdua, dibantu tiga orang anak buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ
untuk menghadang perjalanan Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek
aneh ini amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim
Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah, dan
mengajak tiga orang pembantu itu memasuki hutan mencari daging binatang.
Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat
menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya,
˜Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute?, Ia
merangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya
seperti scorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis
dalam rangkulan suhengnya! Tangis manja seorang anak kecil!
Adapun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu ketika
melihat Suling Emas segera menyerbu dengan golok di tangan. Mereka semua maklum
akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng Koai-jin,
Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani menyerbu, pada saat
itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari
huruf To, hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena
terdengar tiga orang itu memekik keras, tubuh mereka terpental didahului golok
yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun
kembali!
Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk
menunda perjalanannya dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan,
tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.
˜He, Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu
Suteku, beraninya hanya pada anak-anak, hayo kau lawan aku!! bentak Toat-beng
Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar.
Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu
dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang seketika.
˜Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak
tua bangka, seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!!
Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng
Koai-jin yang memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.
Karena gin-kang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat
tinggi sekali, sebentar saja ia dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan
lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Adapun tiga orang yang
dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biarpun tidak tewas namun masih
˜ngorok! seperti babi disembelih.
Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin menghabiskan waktu satu
jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas hanya membutuhkan belasan menit
saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat banyak sekali
orang menghadangnya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong
sudah berada di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal
sebagai tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan
Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari partai-partai
persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu
dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap
keren dan bermusuh!
˜Para sahabatku, itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi!
Kalau bukan dia yang harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa
lagi?! terdengar It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek.
Kini Suling Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat
semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas
sambil berkata.
˜Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya menjadi
tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat
masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apakah?!
Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu
burung berkicau mereka menjawab dengan ucapan masing-masing. Akan tetapi
rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa mereka
itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi
bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya
baik ia cepat menegur hwesio itu.
˜Cheng San Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya
cukup maklum bahwa aku selamanya tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain
golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan
hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?!
˜Hemmm, Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami,
bahkan kau selalu berbaik dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak
ada artinya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang
suhengku tewas dua puluh tahun yang lalu dan seorang suteku diculik ibumu,
kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu
kandungmu. Dosa itu tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang
harus membayar hutangnya! Harap saja kau suka menyerahkan agar pinceng (aku)
bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!!
˜Mana bisa, Cheng San Hwesio!! bantah seorang tosu yang
dikenal pula oleh Suling Emas sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng
Cu. ˜Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas karena ibunya,
Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh
lima orang suhengku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha
mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan sekarang begitu keluar
lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan, tahun yang lalu di Thai-san,
seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh Siang-mou Sin-ni yang
ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas
yang harus mempertanggungjawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke
Hoa-san!!
˜Tidak bisa!! kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam
bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai. ˜Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka
Go-bi-pai, tentu diberikan kepada puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab
itu, baru pinceng mau pergi!! Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini
seperti yang lain-lain lalu melangkah maju sambil melintangkan toya baja di
tangannya.
Masih banyak yang bicara dan rata-rata mereka itu
mengemukakan perbuatan-perbuatan Tok-siauw-kui dan menuntut balas pada Suling
Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak
disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga
ia rela meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang
tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah melakukan banyak perbuatan
jahat! Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya,
ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin menebus dosa ibunya
dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan tetapi, ia masih mempunyai
banyak tugas di dunia ini. Apalagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya,
mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah
tewas, ayahnya yang agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya
telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng
dan juga Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri
terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki
dulu.
Dengan sudut matanya Suling Emas melihat orang-orang yang
menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum terhitung It-gan Kai-ong.
Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan selain di situ ada It-gan Kai-ong yang
tangguh, di sebelah belakang masih datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim
Lo-tong. Kalau mereka semua maju, biarpun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia
takkan mungkin dapat menandingi mereka!
˜Kalian terburu nafsu! Andaikata mendiang ibuku melakukan
semua itu, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani
kalian yang sedang mabuk dendam!! Setelah berkata demikian, Suling Emas memutar
sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan diri. Tentu saja ia tidak mau lari
ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan kalau
hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil
jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai, berlawanan dengan aliran air.
Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan pengejaran sambil
mengacung-acungkan senjata masing-masing.
Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa
melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah
bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu
banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu
kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya
dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan
membebaskan diri, dan hal ini justeru sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau
ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosa-dosa ibunya! Berpikir
demikian, Suling Emas mempercepat larinya.
Akan tetapi, para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan
dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu
lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan pengejaran den tidak
tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu
mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari
seorang wanita.
˜Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu!
Lihat pedang!!
Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan
langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas
pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik
berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah
keren, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh
tahun. Melihat cara pedang bersinat putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas
menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli
pedang dan ahli Sin-kang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main,
seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat
menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan
menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedeng itu tiap kali sinarnya
menyambar.
˜Kau siapa, Nona?!
˜Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan
Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu
yang jahat setelah ia mengelabuhi ayah sehingga berhasil mewarisi gin-kang dari
ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!! bentak wanita itu
sambil menyerang lagi.
Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago
pedang di pantai timur.
˜Ayahmu yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang
Terbang)?!
˜Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu
nyawamu!!
Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apalagi setelah melihat
para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita
ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi, kalau
pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha
membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?
˜Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,! katanya
sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah menusuknya dengan cepat.
˜Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!! Sambil berkata
demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung
bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit
daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan tetapi pada saat
itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai sekali Suling
Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat
siku.
˜Maafkan aku!! setelah berkata demiklan, kembali Suling
Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum para pengejarnya datang
dekat.
Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan
itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat
gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu
berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah
roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi
membiarkan pundaknya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia
memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.
˜Ayah, cukupkah darah ini..?! bisiknya dan dua butir air
mata mengalir turun yang cepat diusapnya.
˜Dia sudah terluka!!
˜Hayo kejar, dia sudah terluka!!
Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin
orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar,
seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh
It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin juga sudah ikut
mengejar.
Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini
mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum,
piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas. Mendengar
suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh
dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya. Ia maklum bahwa senjata-senjata
rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang ringan.
Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri daripada
senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah ˜senjata rahasia!
yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng
Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!
Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia
yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas
tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk
mengelak.
Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan
kelitan, tangkisan suling dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal
ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat
menyusul dan kembali ia dihujani serangan. Masih untung baginya, agaknya para
pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya itu
membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang
gerakan yang lain.
Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling
Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan,
kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi. Para musuhnya
melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Tidak terlepas dari pandang mata
Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng
Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya
menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar
mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah
memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi gin-kang gadis itu, karena
biarpun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun
dengan gin-kang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar
biasa cepat gerakannya.
Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu
kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya
dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhan-tuduhan yang
amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar,
mencuri kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak
mengerti dan hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk
pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam
menyesali nasibnya yang amat buruk.
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar
seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang
sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas
disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang.
Sepekan sudah mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi
gelisah karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.
˜Sin-ko, mengapa Bu Song koko belum juga menyusul?
Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali menengok..!
˜Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!!
jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia sendiri pun merasa gelisah.
˜Betapapun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita
tidak mentaati perintahnya.!
˜Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu
kedatangannya!!
˜Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari
tempat tinggi ini tampak sungai membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu.
Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana.
Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki gunung seberang sana.
Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku yang mencari perahu agar tidak
melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.!
Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat
mereka berdiri, tampak dari tempat tinggi ini Sungai Kan-kiang membelok ke
kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong bukit itu
melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi
orang biasa, biarpun jarak lebih dekat, akan tetapi mendaki puncak merupakan
pekerjaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama.
Kakak beradik itu lari mempergunakan ilmu lari cepat,
melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai condong ke arah barat ketika
mereka menuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke
bawah, mukanya berubah pucat.
˜Sin-ko, itulah tempatnya..?!
Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu
ia menoleh ke arah yang ditunjuk.
˜Tempat apa, Eng-moi?!
˜Itu.. kuburan tua itu.. di sanalah tempat aku diculik si
iblis Hek-giam-lo dahulu..! Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga
berada di lereng seperti itu..!
˜Hemmm, kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang
iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana. Bukankah kakak kita hendak mengejar
Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya!!
˜Tapi..!
˜Eng-moi, takutkah kau?!
˜Iblis itu lihai sekali, Sin-ko.!
˜Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain
Song-twako berada di belakang kita, juga kita bukanlah orang-orang tiada guna
yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, adikku.
Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah
perkasa, harus menyerahkan segala tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah
kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai orang-orang yang tidak mempunyai
nyali?!
˜Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian
dari kakek sakti seperti yang kau ceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang
gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tempatnya!!
Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak
dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah kuburan kuno yang penuh dengan
batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah mencari-cari beberapa lamanya,
akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa
buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di
masa dahulu.
˜Di situlah..! bisiknya sambil menudingkan telunjuknya
yang agak gemetar ke arah lantai depan makam, ˜Di situ terdapat sebuah pintu
batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.!
˜Kau tidak melihat orang lain dahulu ketika kau dibawa
masuk?! tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.
˜Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu
tongkat pusaka itu disembunyikan di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis
tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu bisa mengambil tongkatnya
kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau
dapat membantu Song-twako.!
Sian Eng mengangguk setuju dan mereka menghampiri lantai
depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu, benar saja mereka melihat ada batu
lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu meter persegi.
Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan
di bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah
Bu Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan
ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu
gelap bukan main.
˜Kenapa berhenti?! tanya Sian Eng.
˜Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur,
Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.!
Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari
bahan, kulit pohon yang dapat terbakar lama, membuat obor, menyalakannya dan
kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin berjalan di depan, obor di
tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat berjalan
cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin lama terowongan
itu makin rendah, hampir kepala Bu Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia
tidak membungkuk. Setelah bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng
berbisik.
˜Seingatku dahulu terdapat ruangan yang lebar seperti
kamar..!
Mereka maju terus mata dan hidung terasa pedas oleh asap
obor. Terowongan di sebelah depan menyempit dan Bu Sin yang berada di depan
sudah mulai berjongkok dan merayap.
˜Agak terang di sini..! katanya, gembira karena benar
saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi. ˜Entah dari mana datangnya
sinat terang ini..!
Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu
mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana
datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya
dan ketika ia menengok.. hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget
dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja,
mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo yang sudah berdiri di
belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak berpakaian hitam, berdiri
dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri memegang senjatanya yang
mengerikan, kiranya obor di tangannya itulah yang membuat terowongan itu
menjadi terang!
˜Eng-moi kau kenapa..?! Bu Sin bertanya ketika mendengar
suara aneh adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya ketika ia melihat wajah
adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak menengok ke belakang. Ia
cepat menoleh dan.. dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia melihat
apa yang menyebabkan adiknya takut.
˜Hek-giam-lo..!! katanya dan pemuda ini membesarkan
suaranya, mengusir rasa takut.
˜Kalau kau memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa
menyambut kedatangan kami dari belakang?!
Iblis bertopeng tengkorak itu mendengus.
˜Hemmm, maju terus atau.. hemmm, kurobek-robek badan
kalian di sini juga!!
Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah
batu karang melayang ke arah muka dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah
dapat menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu di
dekatnya, kemudian menyambitkannya dan ketika iblis itu sedang bicara.
Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di pinggir kepala,
adapun batu ke dua ia terima begitu saja dengan dadanya.
˜Brakkk!! Batu itu pecah berantakan!
˜Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas,
jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi
umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!!
Ketika melihat iblis itu dengan langkah lebar menghampiri
Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin segera berkata, nadanya penuh
ejekan,
˜Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau ini,
sungguh tak tahu malu melayani seorang wanita seperti adikku! Kalau memang kau
gagah, mari kita mencari tempat lapang dan kita bertanding secara laki-laki!!
˜Heh-heh, orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada
tempat luas, boleh kau buktikan betapa kesombonganmu tidak ada isinya!!
Memang bukan maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi
sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk mencegah si iblis mengganggu Sian Eng
karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah baginya untuk melindingi
adiknya terhadap iblis yang luar blasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya
Sian Eng untuk sementara akan bebas daripada ancaman dan ia boleh mencari waktu
panjang untuk memikirkan akal bagaimana harus melawan iblis ini.
˜Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini..!
Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si
ibils yang menerima sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu
hancur! Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik
yang sudah tak berdaya lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan ini merangkak
maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan
suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di
bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.
Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama
kemudian terowongan sempit itu berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter
kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas. Selain
luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat
menembus ke tempat itu. Sejenak timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang
si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan menggunakan obor sebagai senjata,
akan tetapi jiwa satria di hatinya mencegahnya. Serangan seperti itu amat
rendah, apalagi kalau dipikir usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap
lawan yang sakti ini. Dengan tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan,
menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi
Hek-giam-lo.
˜Nah, Hek-giam-lo,! katanya dengan tenang sambil
memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi gagang obor, ˜terus terang
saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah
berada di sini, apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?!
˜Orang-orang muda lancang! Katakan apa maksud kalian
datang ke sini?!
˜Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan
menceritakan bahwa dia pernah kauculik dan kau bawa ke sini. Karena itu aku
merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini.!
˜Hanya itu?! Hek-giam-lo mendesak.
˜Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw
di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada
Beng-kauw.! Jawab Bu Sin sejujurnya.
˜Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat
kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini, bahkan berani mencoba untuk
merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri. Biar pun kalian adik-adik
tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling
Emas berani masuk ke sini. Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik,
biar dia datang hendak kulihat!!
˜Sombong! Aku pun tidak takut padamu, iblis busuk! Tak
usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu!! Sambil berkata demikian, Bu Sin
menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda ini ke arah kedok tengkorak itu.
˜Huh, bocah bosan hidup!! Si iblis menggerakkan obornya
pula, menangkis dengan gerakan perlahan.
˜Dukkk!! gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas
dari tangan pemuda itu, sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang
tadinya menangkis itu terus bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini
biarpun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali
sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu sudah kena pukul.
˜Prakkk!! kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang
menjadi patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo
mengeluarkan suara mendengus marah.
˜Bocah sombong, keras juga kepalamu!! katanya sambil
melemparkan sisa gagang obor di tangannya. Tentu saja iblis itu tidak tahu
bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang dilatihnya di bawah air
terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya ini boleh dibilang
menjadi sumber daripada tenaga mujijat yang dimilikinya akibat latihan aneh
itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh lebih rendah kalau
dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak sempat
mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan
untuk mendemonstrasikan kepandaiannya!
Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia tahu adalah adik
tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau
main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan itu sudah ia angkat ke atas kepala!
˜singgg!! Sian Eng mencabut pedangnya, berdiri tegak di
depan iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa takut.
˜Iblis sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu!!
˜Eng-moi, mundur! Dia bukan musuhmu!! kata Bu Sin yang
khawatir melihat adiknya menjadi nekat.
˜Aku tahu, Koko, akan tetapi dia pun bukan musuhmu. Kalau
kita berdua mati melawannya, aku ingin mati dulu dari padamu.!
Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini.
Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih
dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian sakti dan
ganas mengerikan.
˜Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan
iblis ini!! katanya dan mencabut pedangnya.
˜Akan tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau
keluarlah agar dapat memanggil kalau Song-koko lewat di atas!!
Mendengar ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula
harapannya. Tadinya gadis ini telah putus harapan karena maklum bahwa kakaknya
takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya orang yang boleh diharapkam
dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau
Suling Emas sudah benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.
˜Sin-ko, kau pertahankan dia, biar aku naik menanti
Song-koko!! Ia cepat meloncat untuk berlari keluar melalui terowongan itu. Akan
tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo mengerakkan lengan baju
ke arahnya sambil mendengus.
˜Huh, kau takkan dapat pergi ke mana-mana!!
˜Setan, berani kau mengganggu adikku?! Bu Sin sudah
memerjang maju dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga saktinya karena maklum
bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.
˜Tranggg!! Pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking
kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya sampai ikut terpental dua meter
jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya, perih dan panas.
Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya.
Akan tetapi sekali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul
patah, menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam. Selagi Sian
Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis
itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.
˜Ibils keparat!! bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan
nekat. Ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat
mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti
hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu pedangnya sendiri
masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo
yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.
Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan
gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi
setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu terlempar, Hek-giam-lo tahu
bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di
bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung
bagi Bu Sin dan Sian Eng bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati,
kalau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong
lagi.
Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak
menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri
seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki
pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika menggulung dan
membelit pedang.
˜Aihhhhh!! Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya
dan..
˜brettttt!! putuslah ujung lengan baju hitam itu.
Hek-giam-lo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau
terluka, senjatanya berkelebat mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat
mengangkat pedang menangkis.
˜Trangggg..!! kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan
lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari tangannya!
Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin
cepat mengerahkan gin-kang berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak. Bagaikan
seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di antara
sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi walaupun gerakannya itu cepat
bukan main, ia masih terlambat. Memang, gerakannya tadi menyelamatkan dadanya
daripada kehancuran ketika ujung lengan baju Hek-giam-lo menyambar dengan
kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung
pangkal lengannya keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan
kanannya seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat
itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak
pula!
˜Hu-huh, bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling Ems
kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas? Biar dia datang, kurobohkan
sekalian!!
˜Hek-giam-lo, kalau kakak kami datang, kau pasti akan
dihajar mampus!! teriak Sian Eng marah.
Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke
ruangan yang berdampingan dengan ruangan itu. Tak lama ia keluar lagi,
tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.
˜Kutinggalkan kalian di sini, kalau tidak ada kakak
kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan menjadi setan-setan penjaga
kuburan di sini. Orang-orang tiada gunanya macam kalian, percuma dibunuh juga.
Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia
boleh minta kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-hah!! Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tempat itu.
Bu Sin dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan
totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah makin hebat mereka berusaha, makin
payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu
amat aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan
sin-kang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya
tinggal menanti nasib saja, rebah tak berkutik di atas tanah yang lembab.
Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di terowongan
rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu bersama orang-orang
Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan terhormat. Akan tetapi
ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya
berhenti dan mendarat. Karena tempat ini memang menjadi sarangnya, di pinggir
sungai terdapat pula sebuah rumah pondok yang indah dan jauh daripada tetangga.
Inilah tempat peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para mata-mata Khitan apabila
melakukan tugasnya dan tiba di tempat ini. Ke rumah inilah Lin Lin dibawa,
sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah kuburan kuno untuk mengambil
kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas dari tangan kakek sakti Bu Kek
Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan ˜tengahnya! karena yang separoh
terampas oleh It-gan Kai-ong. Memang ia tidak berani membawa-bawa kitab yang ia
tahu menjadi incaran It-gan Kai-ong, Suling Emas dan Siang-mou Sin-ni, mungkin
juga Bu Kek Siansu sendiri itu. Ketika melawat ke selatan, ia menyimpan kitab
pusaka itu di dalam terowongan dan sekarang ia hendak mengambil dan membawanya
kembali ke Khitan. Secara kebetulan ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng memasuki
tempat sembunyinya.
Lin Lin merasa jengkel sekali. Biarpun ia selalu
diperlakukan dengan hormat, dipanggil tuan puteri, setiap kali mendapat
hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam kebutuhannya, dipenuhi segala
macam perintahnya, kecuali perintah agar ia bebas, ditaati, namun ia maklum
bahwa sebenarnya ia menjadi tawanan! Ia merasa tidak berdaya menghadapi
Hek-giam-lo yang kosen, juga para anak buah Khitan itu terdiri daripada
orang-orang pilihan. Oleh karena itu, gadis ini maklum bahwa takkan mungkin ia
memberontak atau melarikan diri, hal itu hanya akan membuat ia menderita saja.
Pikiran inilah yang membunt ia akhirnya tidak rewel minta dibebaskan lagi, ia
diam saja, malah kini memaksa diri bergembira, akan tetapi diam-diam ia amat
mengharapkan munculnya Suling Emas! Ia merasa gemas juga mengapa sampai begitu
lama Suling Emas tidak juga muncul menolongnya? Dan di samping ini, ia merasa
amat sengsara dan sedih kalau ia mengingat Bok Liong. Kadang-kadang ia masih
dapat melihat bayangan pemuda itu di pinggir sungai, pakaiannya kotor,
rambutnya kusut dan kelihatannya sengsara. Memang pemuda yang keras hati ini
sudah nekat untuk terus mengikuti perahu yang membawa gadis pujaannya.
˜Liong-twako, sudahlah jangan mengikuti perahu. Pergilah
dan cari Suling Emas, suruh dia membebaskan aku!! dari atas perahu Lin Lin
berteriak ke arah bayangan Lie Bok Liong yang bergerak di pinggir sungai.
Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang mendengar dan melihat ini hanya tersenyum-senyum
saja.
˜Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu
Suling Emas berada di mana, kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orang-orang
liar itu mengganggumu? Aku akan mengadu nyawa dengan mereka! Jangan khawatir
selama aku berada di dekatmu!
Lin Lin menghela napas diam-diam ia merasa terharu.
Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia dan jujur hati pemuda itu,
dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan pemuda itu untuk dirinya. Mulai
terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong amat mencinta dirinya dan hal ini
membuatnya sedih dan terharu. Bukan pemuda ini yang selalu menjadi kenangan,
menjadi harapan, menjadi pujaan hatinya. Hati dan perasaan cinta kasih dalam
dadanya terampas oleh Suling Emas! Ia merasa amat khawatir melihat tingkah laku
Bok Liong yang begitu nekat hendak melindungi dan membelanya, biarpun pemuda
itu sendiri tahu betul bahwa menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya, ia tidak
berdaya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok Liong akan nekat dan akhirnya
akan mengorbankan nyawanya, apalagi ketika ia diturunkan dari perahu dan diajak
beristirahat di pondok tepi sungai itu.
Dan kekhawatitannya terbukti. Sore hari itu, ketika
Hek-giam-lo sudah pergi meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat
itu. Pemuda ini tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat
menyusul. Ketika melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia
segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit ia
melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal pemuda
ini sebenarnya sedang tidak sehat tubuhnya panas dan lemas, karena selama dalam
perjalanan mengikuti perahu, ia jarang sekali makan, pula ia masih menderita
luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo di atas perahu beberapa hari yang
lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala
derita.
Ketika melihat pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah
lebar menuju ke ruangan depan. Ia sudah nekat, hendak mencari Lin Lin dan
mengajak gadis itu lari, atau membiarkan gadis itu lari sedangkan dia akan
menahan orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.
˜Lin-moi..!! Ia memanggil dengan suara parau. Suaranya
menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula.
Memang perahu itu tak pernah berhenti sehingga di waktu malam sekalipun Bok
Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal jauh. Selama hampir
sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan
sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil
berjalan terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan
tidur.
˜Lin-moi..!! Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya
menggedor pintu depan yang tertutup.
Karena tidak juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke
pintu samping, yaitu pintu yang menuju ke taman di samping pondok. Pintu ini
terbuat daripada kayu dan tidak sekokoh pintu depan. Sambil mengerahkan
tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah pintu itu! Akan
tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam keluar seorang laki-laki berkumis.
˜Jahanam liar! Berani kau datang ke sini?! teriak orang
Khitan itu yang segera menerjang ke depan dengan pukulan-pukulan keras. Bok
Liong mengelak sambil melompat ke belakang, akan tetapi karena tubuhnya lemah
dan gemetar, ia terhuyung-huyung sampai ke ruangan depan. Lawannya yang
kelihatan kuat itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan keras, betapapun
juga, tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka biarpun
terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak, kemudian setelah peningnya
agak berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena pukulannya
pada leher sehingga orang Khitan itu terpelanting.
Akan tetapi dari pintu taman itu bermunculan orang-orang
Khitan. Bok Liong cepat mencabut pedangnya, akan tetapi karena enam orang
Khitan itu serentak maju menubruknya, Bok Liong yang sudah lemas itu tak dapat
bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung, kedua lengannya dibelenggu
di belakang tubuh dan kedua kakinya pun diikat! Pemuda ini hanya dapat
memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan mengambil pedangnya, pedang
Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah ketika terjadi pergulatan tadi.
Bok Liong diseret masuk ke ruangan dalam. Tahulah
sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin tidak muncul. Kiranya gadis pujaannya itu
berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya terikat pada sebuah tiang! Memang,
sebelum pergi meninggalkan pondok, Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada
tiang itu. Ia cukup maklum akan kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak
berada di situ, amukan gadis ini akan cukup membahayakan, sungguhpun dua puluh
orang anak buahnya merupakan pasukan yang cukup tangguh. Iblis itu tidak mengkhawatirkan
kedatangan Lie Bok Liong karena iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda itu
sudah hampir kehabisan tenaga.
Melihat Lin Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah.
Dengan sisa tenaganya ia meronta-ronta. Namun ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan
belenggu yang mengikat kaki tangannya.
˜Lepaskan dia! Kalian binatang-binatang liar! Hayo
lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak mengganggu wanita! Kalian ini kalau memang
laki-laki, jangan ganggu wanita dan boleh siksa atau bunuh aku!!
Lin Lin memandang Bok Liong dan amatlah terharu hatinya.
Pemuda itu benar-benar menderita, wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya
merah, dan tubuhnya lecet-lecet di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu, pemuda
ini masih hendak membelanya! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu
mata gadis ini.
˜Liong-twako, kenapa kau menyusul ke sini?! tegurnya
perlahan.
˜Lin-moi, bagaimana aku bisa meninggalkan kau yang masih
menjadi tawanan?! balas tanya Bok Liong, suaranya penuh perasaan sehingga Lin
Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apalagi ketika ia melihat betapa Bok
Liong diikat tiang lain di depannya, kemudian seorang Khitan yang berkumis
panjang mencambuknya.
˜Tahan! Jangan bunuh dia!! teriak Lin Lin. ˜Awas, kalau
sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi permaisuri di Khitan, kalian akan
kuberi hukuman berat, akan dikupas kulit kalian!!
Orang Khitan yang berkumis tadi menjura, akan tetapi
mulutnya tersenyum ketika ia berkata,
˜Tuan Puteri, harap Paduka jangan marah. Hamba sekalian
hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan
membunuhnya, akan tetapi harus memberi hukuman kepadanya.! Setelah berkata
demikian, ia memberi aba-aba dalam bahasa Khitan. Majulah dua orang Khitan
tinggi besar yang membawa cambuk berdetak-detak, dua batang ujung cambuk lemas
itu melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan seluruh tubuh
Lie Bok Liong!
˜Tar-tar-tar..!! Bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan
jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.
˜Boleh siksa aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam!
Akan tetapi bebaskan Lin-moi!! Biarpun dicambuki dan bajunya robek-robek,
kulitnya robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan darah, namun Bok
Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit pun ia tidak
mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas
karena ia tak dapat bergerak lagi. Mukanya menjadi matang biru, darah mengucur
keluar dari hidungnya dan beberapa menit kemudian lehernya menjadi sengkleh dan
ia tergantung pada ikatannya. Bok Liong pingsan.
Lin Lin meramkan mata. Tiap kali cambuk melecut, ia
merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air matanya mengalir membasahi
pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan cambuk, Bok Liong selalu
masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi cambuk terhenti, barulah ia berani
membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa hancur dan terharu hatinya melihat
Bok Liong dalam keadaan seperti itu. Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit
tubuhnya penuh jalur-jalur merah dan biru, mukanya sukar dikenal lagi karena
bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar orang-orang Khitan itu melepaskan
ikatannya, menyeret keluar pondok dan melemparkannya ke dalam semak-semak
belukar!
Lin Lin yang tidak berdaya itu merasa tersiksa hatinya.
Semalam itu, ia direbahkan di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu.
Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu terkenang kepada Bok Liong. Tentu
saja ia tidak melihat betapa pemuda itu benar-benar mengalami derita yang hebat
sekali. Bok Liong siuman tak lama sesudah ia dilempar di dalam semak-semak. Ia
merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan sukar sekali bangkit karena setiap kali
menggerakkan kaki tangan, terasa amat nyeri. Ia memaksa diri untuk bangkit,
merangkak keluar dari dalam semak-semak, berjalan terhuyung-huyung menuju ke
sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya yang penuh darah. Ketika tiba di
tepi sungai, ia jatuh tersungkur dan kembali ia pingsan di pinggir sungai.
Sampai jauh malam barulah ia sadar, akan tetapi tubuhnya terasa demikian
sakitnya sehingga setelah mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi.