"Tidak mudah mencapai tingkat seperti aku."
katanya.
"Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit daging dan
tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum)
dan untuk pelajaran itu, menyesal pinni tidak dapat memberi karena kitabnya
tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang berkepandaian tinggi seperti
engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu
I-kin-swe-jwe yang paling hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di
samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau memiliki ilmu itu, engkau
pelajari samadhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar dan daun
yang sudah tertulis lengkap pula di situ."
Cepat Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya
sebentar. Ia percaya bahwa nikouw itu tidak akan membohonginya, maka ia pun
lalu mengeluarkan obat pemudah dari sakunya sambil tertawa.
"Siang-tok-ciam senjata rahasiaku memang mematikan,
akan tetapi mana bisa membangkitakan nafsu berahi?"
Nikouw itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri
sedapatnya untuk tidak memaki-maki. Akan tetapi setelah memberikan obat
pemunahnya, Lu Sian sudah melompat keluar dan menghilang di tempat gelap sambil
membawa kitab yang amat diinginkannya itu.
Su-nikouw kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan
menarik napas panjang berkali-kali.
"Su Pek Hong... Su Pek Hong..... inilah hukumannya
kalau orang tidak mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang
bahwa ilmu awet muda ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik marena
menentang hukum alam! Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan,
namun wanita lain tentu akan menganggapku pesolek dan ingin cantik selalu. Dan
wanita yang selalu ingin cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian
laki-laki. Ah, betapa memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau
menerima kekuasaan alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian
usia tua yang sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini
memalukan..."
Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan
obat pemunah racun yang ditinggalkan Lu Sian.
Harta benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah
anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada manusia. Namun, dalam anugerah ini
terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia
akan dapat menikmatinya lahir batin. Sebaliknya, mereka yang tidak kuat
menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati pada lahirnya saja, sedangkan pada
batinnya mereka akan mengalami kemunduran yang akan membawa mereka kepada
kesengsaraan.
Namun diantara tiga macam anugerah itu, yang paling
berbahaya akibatnya bagi mereka yang tidak kuat adalah kekuasaan. Harta benda
dapat menjadikan orang menjadi hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat
menjadikan orang menjadi sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.
Akan tetapi kekuasaan yang timbul dari kekuatan ataupun kedudukan, amatlah
berbahaya karena dapat menjadikan orang sewenang-wenang terhadap orang lain,
mau menangnya sendiri saja tanpa menhiraukan tatasusila dan perikemanusiaan.
Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah
kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat yang ia kuasai. Makin
pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain
mentaati kehendaknya.
Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang
sendiri dan tidak peduli akan perikemanusiaan. Makin ia turuti nafsunya makin
hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia
makin tidak puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar
menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan
dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.
Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw,
seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai dan berhasil mencuri kitab
Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan
latihan lwee-kang dan langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe seperti
yang ia butuhkan. Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar
dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup
melarikan diri dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak
hwesio Go-bi-pai yang terkenal konsen!
Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke
Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala
Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran ia dikeroyok
dan berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh
pedangnya yang ganas dan dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat
itu ia menjadi seorang buruan dicari dan dikejar oleh orang-orang
Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah,
gin-kangnya yang tinggi serta kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu
berhasil meloloskan diri.
Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia
kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak
bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan
sehingga namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri,
Pat-jiu Sin-ong! Yang paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai
karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang
sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga
di Kong-thong-pai ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguhpun ia belum
sanggup mengalahkan ilmu pedang Ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng
Tosu. Namun ia menang cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu
pedang dapat ia atasi dengan kelincahannya.
Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang
di dunia kang-ouw, ilmu kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya
awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman
yang khas sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis
remaja.
Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang
ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah
yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada
waktu itu, Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang
disebut Kerajaan Han Muda. Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi
Kerajaan Hou-han. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar
bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak
seorang pun tahu ke mana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi
dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup
aman sentausa disamping bekas suaminya.
Sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han,
Lu Sian termenung. Kalau teringat akan puteranya, ingin ia menangis. Namun
hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi.
"Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai
ibunya," demikian pikirnya. Bagaimana kalau puteranya itu bertemu
dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang mening galkan anaknya?
Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang
ditakuti orang? Lu Sian tersenyum dan dengan gemas ia meneguk cawan araknya
yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke
perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman keras
ini dan memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia itu.
Cara ia minum adalah cara seorang "setan arak" benar-benar.
Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang
tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang
sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura
tidak melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu
Sian tersenyum, membuang muka akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam
melebihi pedang. Hatinya pun tergetar. Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan
main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka wanita, namun
alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata
harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria ganteng selalu masih
menggerakkan hati Lu Sian, biarpun usianya sudah empat puluh tahun! Semenjak
hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui
dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya
manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk
memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk
lutut oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi setelah Lu Sian
mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu
Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi
patah hati, menjadi gila atau setengah gila!
Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang
pemuda tampan remaja paling tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba
terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam berkelebatnya
senjata rahasia halus menyambar ke arah Si Pemuda Tampan! Melihat sikap pemuda
itu yang seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu silat, Lu Sian merasa
khawatir sekali, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali
menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi
butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!
Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia
tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi mengancam nyawanya. Setelah
senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh terdengar orang berseru di luar rumah
makan,
"Biar ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran
ini!"
Dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang
membawa golok telanjang di tangan. Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya
ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan di situ lari keluar.
Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini, bangkit
berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian
bahwa pemuda yang diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik
ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi tidak
seperti penjahat. Betapapun juga, melihat mereka menyerbu ke arah pemuda yang
kini berteriak,
"Tolong! Tolong!" itu, Lu Sian tidak mau
tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya.
Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak
meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah
dan nyawa mereka sudah putus!
"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid
keponakanku?"
Terdengar bentakan keras dan melayanglah tubuh seorang
tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke
bawah tepat di atas kepala Lu Sian! Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama
sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang didudukinya mencelat ke
samping dan ia masih enak-enak duduk di atas nya. Pedang itu menyambar terus ke
bawah dan "crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian
terbelah menjadi dua potong! Pemuda yang sebenarnya seorang pangeran yang
menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang pengurus rumah makan kini
berjongkok bersembunyi di balik meja.
Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir
lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang berpenyakitan. Namun
menyaksinkan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat
dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak
percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja sedangkan wanita muda yang ia
bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah meja lain. Ia
membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian,
menerjang dengan pedang diputar cepat.
Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah
terjepit sepasang sumpit yang berada di tangan Lu Sian, Si Tosu mengerahkan
tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh
jepitan baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga Si
Tosu terhuyung mundur. Sepasang sumpit itu melayang ke arah lambung dan leher.
Namun Si Tosu ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan
bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi baru saja ia melompat ban gun,
sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh,
namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu
mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum
merah serta mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian,
telunjuknya menuding dan mulutnya berseru,
"Kau... Tok-siauw-kwi....!"
Namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum
telah mencapi jantungnya dan ia mati dengan mata mendelik. Lu Sian hanya
tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.
Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera
keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di depan Si Pemuda Tampan.
"Syukur bahwa Tuhan masih melindungi
Paduka...."
"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas
laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus empat mayat penjahat
itu."
Kata Si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang
kembali. Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan
dada sambil membungkuk memberi hormat.
"Li-hiap telah menolong nyawa saya, sungguh
merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat
membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.
Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan
orang, bibirnya tetap tersenyum manis kerling matanya benar-benar mengiris
jantung.
"Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti
menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat hendak membunuh Kong-cu, bagaimana
saya dapat berpeluk tangan saja?"
Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak
menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum akan kehebatan kepandaian
wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum
semerbak yang memabokkannya, yang keluar dari tubuh wanita itu.
"Hebat sekali, Li Hiap! Kalau tidak menyaksikan
dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang
kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Li-hiap begini can.... eh, muda? Tadi pun
merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang penyerang
saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat
tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Li-hiap yang telah
menolong saya."
Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik
hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang
keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya,
melainkan langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil
menjura lagi dan memperlebar senyumnya sehingga sedikit deretan gigi putih
berkilau tampak, ia berkata,
"Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan.
Bukankah Kongcu seorang Pangeran, kalau tidak salah pendengaran saya? Inilah
yang mengagumkan, melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan
berpakaian seperti rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada
jaman kini."
"Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Li-hiap,
sekali lagi, katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"
"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan
budi. Kalau Kong-cu hendak melakukan sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat
ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu
sebagai pangeran diserang oleh empat orang ini dan siapakan mereka?"
Pemuda itu menggerakan kipasnya untuk mengipas leher,
padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup mulutnya dari orang lain agar
kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata
perlahan,
"Li-hiap disini bukan tempat kita bicara tentang
itu. Saya persilakan Li-hiap singgah di gedung kami, sudikah Li-hiap memberi
penghormatan itu?"
"Ayaaa....! Kong-cu benar-benar terlalu merendah!
Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali bagiku. Terima kasih
Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."
Pada saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan
masuklah tujuh orang berpakaian seragam yang serta-merta menjatuhkan diri
berlutut di depan pemuda itu,
"Bangunlah!, urus empat mayat ini dan selidiki
kalau-kalau masih ada teman-teman mereka berkeliaran dalam kota!"
Mereka bangkit dengan sikap hormat.
"Sediakan dua ekor kuda untuk kami!"
Kata pula pemuda itu. Cepat sekali dua orang di antara
mereka keluar dan terdengarlah tak lama kemudian derap kaki dua ekor kuda di
depan pintu rumah makan.
"Li-hiap, mari kita berangkat."
Ajak Si Pangeran. Ketika Lu Sian hendak membayar harga
makanan, cepat-cepat Si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis.
"Harap Li-hiap tidak usah repot-repot. Semua yang
berada di sini hamba sediakan untuk keperluan Sang Pangeran dan sahabat-sahabat
beliau!"
Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian keluar. Dua
ekor kuda besar dan lengkap pakaiannya telah tersedia.
"Silakan, Li-hiap," ajak pemuda itu. Lu Sian
tidak sungkan-sungkan lagi, segera melompat ke atas pelana kuda, diikuti oleh
pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari
belakang.
Karena pernah tinggal di kota ini bersama suaminya,
walaupun jarang keluar Lu Sian mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu
mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi isatana
Gubernur Li! Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang
mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi lega ketika teringat bahwa sudah lewat
belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah
dan tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia
percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia takkan dikenal orang, karena biarpun
usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap kelihatan seperti seorang gadis dua
puluh tahun lebih!
Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana
raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di
sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan,
mereka memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut
mereka penuh penghormatan.
"Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku
hendak menghadap bersama seorang pendekar wanita yang telah menolongku."
Kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang
pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan memandang Lu Sian penuh perhatian
dan kagum.
Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu
yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian memandangi lukisan-lukisan dan
tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan
suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biarpun seorang jenderal ternama,
hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah dan seindah ini.
"Li-hiap, bolekah saya mengetahui nama Li-hiap yang
terhormat?"
Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada
bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia
tersenyum manis dan menjawab,
"Saya seorang wanita perantau yang tidak pernah
mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki
saya..."
"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar
tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi)
dan mungkin Li-hiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa).
Biarlah bagi saya, Li-hiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut
begitu..
Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan
pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran
Mahkota)?"
"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran
yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie
Kong Hian."
Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah
seorang pelayan wanita yang memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap
menerima puteranya dan seorang sahabatnya.
"Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang
sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku."
Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki
ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat
taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman
bunga yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di
ruangan belakang, ibu pemuda itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi,
seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan
sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang
memijit-mijit punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu
melihat masuknya Kong Hian dan Lu Sian.
Pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak
ibunya dengan sikap manja sekali.
"Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa
puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah
makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li yang
perkasa ini.
"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati
nasihat orang tua."
"Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau
tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di
mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang
pangeran seperti engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran
di luar, kau di rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar
diurus....!"
Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada
Lu Sian yang berdiri menundukkan muka.
"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada
puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang
pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti
Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau
tidak...."
"Ibu, urusan dalam istana kausebut-sebut di depan
Li-hiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu
kita melihat-lihat taman." Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian
menggerakkan tangan memberi ijin mereka pergi meninggalkannya.
Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman
belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian
merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada
sifat-sifat genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita.
Akan tetapi hanya sebentar saja ia memikirkan hal ini karena segera ia tertarik
oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian.
Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan
kata-kata berirama sehingga Lu Sian makin tertarik dan terin gat kepada Kwee
Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk
berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati
keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.
Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini
menggetar dan baru sekarang menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya
menyebut Li-hiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi
ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) daripada disebut
Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun)!
"Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.
"Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan
ibuku tadi menjadi kenyataan."
"Kalau kau menjadi pelindung yang selalu
mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian tersenyum,
sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan
mereka yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati
masing-masing telah menjawab Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian
menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata,
"Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung,
aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para
penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat
tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya! Cepat ia bercerita,
"Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung
dengan pemberontak, mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si Ek yang sudah
meletakkan jabatan."
Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian
terkejut, akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya dan bertanya,
"Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka
memberontak?"
"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si
EK menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada
Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan
hidup mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya
bersekutu dengan tokoh Tang, yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong untuk
memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah
bangun, dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong
tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguhpun kini ia tidak gentar
mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga
tidak perlu lagi takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau
Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu. Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya
tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.
"Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa
Ong?"
"Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku
mendengar namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."
"Dan kau tidak gentar menghadapinya?"