Bab 2
Suling Emas terpaksa
melayani desakan yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan
lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam,
sulingnya membalas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan
menyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi
patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk memaksa
ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya
yang menginjak gagang pedang.
˜Tengkorak busuk, serahkan
Si Ganteng kepadaku!! Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat
ke atas gagang pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher
Suling Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau
jejaka tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang
amat lihai.
Namun Suling Emas biarpun
masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut
Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut
muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.
˜Ihhhh.. kau mau
membunuhku?! Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. ˜Kau tidak suka
kepadaku? Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?!
˜Kalau perlu, apa salahnya
membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,! jawab Suling Emas sambil menerjang
lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
˜Wah-wah, sungguh
memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai
enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak dapat
mengalahkan seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa
tercemar nama besar Thian-te Liok-koai!! It-gan Kai-ong Si Raja
Pengemis Mata Satu
melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya
sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat
tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam
hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani
ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik
daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia
berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri dengan
pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari kesempatan merobohkan lawannya
seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan tiga orang tokoh yang
selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan belum dua puluh jurus ia terdesak
hebat.
Tiba-tiba terdengar suara
keras dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan keluar dari
lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling
Emas, telah roboh malang melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa
betapa angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang
tanpa dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai
(bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat
menghilang dari tempat itu.
Suling Emas
terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang
pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil
berseru.
˜Iblis Hitam, bawa pergi
pedang-pedangmu!!
Tiga belas batang pedang
itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar
yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan
patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang
menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu
tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di
depannya. Ia merasa serem karena tak mungkin ada orang, betapapun saktinya,
dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. Helaan napas saja dapat
tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali
tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini
pandai menghilang?
Dengan pandang mata penuh
selidik ia menatap kakek itu, Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua.
Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya
berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di
atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga
hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang
mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup
cambang itu selalu tersenyum ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman,
sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan
bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim.
Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek.
Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya
daun telinganya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan
orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas cepat menjura
dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,
˜Maaf, Locianpwe (Kakek
Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek Siansu?!
Kakek itu tertawa dan
tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet
dua baris gigi yang masih utuh dan rapi.
˜Tidak salah, anak muda.
Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah
kepadamu..!
Suling Emas terkejut dan
cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada
Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini.
˜Locianpwe, maafkan
kelancangan teecu tadi, Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe
selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.!
˜Ha-ha-ha-ha, anak muda
lucu, kau rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kaukira kalau
sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti
bahagia? Ha-ha-ha!!
˜Teecu mohon petunjuk,
Locianpwe.!
˜Sulingmu tadi mainkan
Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan
Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?!
Suling Emas terkejut
sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi.
˜Kiranya Locianpwe yang
tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan
terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu, dan
beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada
tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe don mohon petunjuk.!
˜Ha-ha-ha, Thian sungguh
adil dan bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang amat baik. Jadi
Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu daripada aku? Ha-ha, aku
berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang
sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.!
˜Tidak salah dugaan
Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah
Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka,
tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu.! Suara Suling Emas melirih, akan
tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya sudah terlalu masak dan
mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.
˜Hemmm, belasan tahun ia
bersusah payah membantu Cao Kwang Yin dalam usahanya mendirikan Wangsa Sung.
Sampai Cao Kwang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantunya
dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih, tidak
mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya hidup makmur.
Betapapun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan akan diatur
pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?!
˜Teecu dikenal sebagai
Kim-siauw-eng, dan teecu tidak menggunakan nama lain lagi.!
˜Ha-ha, begini muda, sudah
menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat
mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat,
dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang
yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau tersesat, buktinya kau masih mau
mengubur jenazah-jenazah itu.!
˜Maaf, Locianpwe. Teecu
cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biarpun teecu sengaja meninggalkan
hidup yang lewat untuk.. untuk..!
˜Melupakan kepahitan yang
mematahkan hatimu?!
Suling Emas hanya
mengangguk lalu menundukkan muka.
˜Teecu mohon petunjuk.!
˜Kau berjuluk Suling Emas,
tentu pandai bermain suling. Hayo perdengarkan suara sulingmu, dan kita
coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari
keserasian.! Kakek itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang
mempunyai tujuh buah kawat itu.
Suling Emas girang sekali.
Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia
maklum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu, berarti berlatih
atau menguji kepandaian lwee-kang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk
bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek Siansu tersenyum
mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring
itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar
suara cring-cring-cring tinggi rendah.
Suling Emas kaget bukan
main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara
sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua
matanya, memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sin-kang di dalam
tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang dan mungkin sampai memenuhi pusarnya,
dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang
kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi permainan khim
dari Bu Kek Siansu juga makin hebet. Suara nyaring tinggi rendah dari
kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat daripada
tusukan-tusukan pedang pusaka. Lebih hebat daripada gempuran tangan sakti,
kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat
seperti ombak samudera.
Keadaan Suling Emas amat
terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata, keningnya berkerut
dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sin-kang bekerja
di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan melindungi dirinya
dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi usahanya itu seperti seorang
pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan taufan mengamuk di
lautan. Ia sebentar tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dam terhanyut
kemudian dibantingkan ke atas setinggi gunung lalu dihempaskan ke bawah seperti
dilempar ke neraka. Beberapa kali hampir ia pingsan namun semangatnya yang
pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan tekun ia
memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam
otaknya inti sari jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan
ajaib.
Bu Kek Siansu di samping
menuntun dan memberi petunjuk, agaknya juga hendak menguji kekuatannya. Suara
khim itu makin mendesak, menekan dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak
kuat lagi, kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil
dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba, berbareng
dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin melemah dan makin habis
itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah
pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang menindih
kepalanya, diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya
kembali dalam keadaan normal.
˜Ha-ha-ha, tidak kecewa
kau menjadi murid Kim-mo Taisu.!
Suling Emas membuka kedua
matanya, lalu berlutut.
˜Banyak terima kasih atas
petunjuk Locianpwe yang amat berharga.!
˜Orang muda, bakatmu
memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu mengangkatmu sebagai murid. Manusia
hidup mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup,
untuk mengabdi kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari
ilmu kalau tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya? Apa pula artinya
puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak dibawa mati? Karena
inilah maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku selalu mencari jodoh
untuk menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu
denganku pada hari pertama musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari
ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing.!
Melihat kakek itu berhenti
sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan
dipermainkan perasaan, berkata,
˜Teecu sudah mendengar
akan hal itu, sudah pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang
terkenal keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap
Locianpwe terangkan mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu.!
Kakek itu tertawa lebar,
berkilauan giginya tertimpa sinar matahari.
˜Aku sudah melepaskan diri
daripada ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci, tiada yang baik
dan tiada yang buruk bagiku. Betapapun juga, aku seorang manusia yang masih
dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu dengan aku,
siapa pun dia, akan menerima warisan ilmu, sesuai dengan watak dan bakatnya.!
Suling Emas biarpun baru
berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah banyak melalap
kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti seperti ini.
Ia tidak mau berdebat, dan tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya,
˜Teccu sudah menerima
petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama ilmu itu dan
apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe mengajarkannya?!
˜Orang muda, selama aku
merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak pernah
dapat diterima orang, biarpun setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya.
Yang pertama adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi
nama Kim-kong Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani
aku, sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali, berarti kau sudah
dapat menangkap inti sarinya, tinggal kau kembangkan saja, tergantung kepada
ketekunan dan bakatmu. Yang ke dua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat
dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat kau
cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing akan
sastra, bukan?!
˜Teecu masih bodoh, akan
tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat
itu, Locianpwe.!
Bu Kek Siansu terkekeh
girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan mencurahkan
seluruh perhatiannya. Dengan tenaga sin-kangnya ia dapat membuka mata tanpa
berkedip berjam-jam lamanya.
˜Lihat dan ingat baik-baik
semua huruf ini, orang muda,! terdengar Bu Kek Siansu berkata dan mulailah
kakek lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke
atas dan ke bawah, kedua kakinya bergerak selalu, juga geserannya berupa
corat-coret membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan
kedua tangannya.
Suling Emas girang sekali
bahwa dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra,
sehingga ia hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang
dilakukan oleh kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah
dan kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek itu
melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam pelajaran
Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi:
THIAN BENG CI WI SENG
(Anugerah Tuhan Adalah Watak Aseli).
Tentu saja ia sudah hafal
akan ayat-ayat kitab TIONG YONG ini, maka ia tidak perlu lagi untuk
mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan setiap
huruf. Hal ini menguntungkan Suling Emas, karena perhatiannya tidak terpecah
dan setelah menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti
sarinya sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain
dibentuk dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biarpun kini Bu
Kek Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan
baik bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf
suci itu.
Saking tertarik dan
tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas
tanah, dan otomatis ia juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi,
melainkan ia melanjutkan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi
sajak dalam ayat-ayat kitab TIONG YONG.
˜Cukup, tidak sia-sia kali
ini aku berlelah-lelah.! Bu Kek Siansu tertawa gembira. ˜Dan saat pertemuan
inipun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang juga.!
Suling Emas menjatuhkan
diri berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata,
˜Budi Locianpwe terlalu
besar terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan penting ini
sedemikian singkat? Teecu mohon petunjuk.!
˜Ha-ha-ha, tidak ada
manusia di dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal
kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat menikmati
berkah Tuhan. Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang kaumiliki ini, kau
berada di persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang kejahatan, juga
dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari golongan hitam
dan putih saja yang sejajar dengan tingkat kepandaianmu.!
˜Maaf akan kebodohan dan
kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah pengetahuan
dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?!
˜Ha-ha, mereka yang selama
ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka mulai
menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan
hitam amat banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang
terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah
mengenal siapa mereka, bukan?!
˜Teecu pernah mendengar,
akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.!
˜Ha-ha-ha, yang tiga orang
tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi
adalah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua
Berhati Racun), dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah
terhadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi
sekali.!
˜Terima kasih, Locianpwe,
akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.!
˜Adapun tokoh-tokoh
golongan putih, juga banyak akan tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri,
suka bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun
Seng-jin (Manusia Suci Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk
orang-orang luar biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya.
Sudahlah, kelak kalau kau mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat
menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak
menyeleweng daripada kebenaran.!
Suling Emas memberi
hormat, kemudian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang kepandaiannya
sudah tinggi tingkatnya, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah
menuruni Thai-san dan setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan
terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak Thai-san yang
kini tertutup awan putih itu.
˜Awan putih sudah tinggi,
masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding dengan langit,
puncak Thai-san masih terlalu rendah.! Bibirnya membisikkan sebagian daripada
sajak kuno yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan
perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung mengingat kembali Kim-kong
Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek Siansu.
Bu Kek Siansu masih
berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Suling Emas, kemudian ia
berbisik kepada diri sendiri,
˜Manusia bertemu dengan
penderitaan hidup kalau ia mengharapkan kesenangan hidup. Dia dapat menahan
derita hidup dengan tenang tanpa penyesalan, benar-benar seorang muda yang
kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin.
Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?!
Bu Kek Siansu mengeluarkan
sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan membacanya sambil berdiri. Pada saat
itu tiga bayangan orang muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek Siansu menyimpan
kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan menggantungkannya di
punggung. Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum
ramah.
˜Bukankah kau Bu Kek
Siansu?! tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum
lebar.
˜Kebetulan sekali. Dunia
kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim semi, kau akan
muncul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi,
ilmu apakah yang dapat kauberikan kepadaku?!
Bu Kek Siansu tidak marah
mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
˜Aku pun menghadap padamu
pada permulaan musim semi untuk minta diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek
Siansu,! kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.
˜Yang datang menghadap
adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,! Hek-giam-lo menyusul dengan
suaranya yang dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat
kedua lengannya ke atas sambil tertawa.
˜Jangan khawatir, aku si
tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak
akan berjodoh dan cocok dengan pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa
ilmu-ilmuku hanya dapat diterima oleh orang yang menjauhkan diri daripada rasa
dengki, iri, murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu
yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan tubuh
sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?!
Tiga orang sakti itu
saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah sifat yang
aneh apalagi pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam merupakan
ukuran untuk kelihaian seseorang. Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam,
karena siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat
memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti
itu.
˜Bu Kek Siansu, tadi kami
mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci dengan kasih.
Apakah kau termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?!
˜Mudah-mudahan Thian
menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar
kasih-Nya.!
˜Jadi kau tidak membenci
golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?!
Bu Kek Siansu menggeleng
kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
˜Kalau begitu,! kata pula
It-gan Kai-ong, ˜kau jangan pilih kasih. Tadi kau turunkan dua macam ilmu
kepada Suling Emas. Nah, kami pun minta kauturunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.!
˜Betul, aku menghendaki
dua ilmu itu,! kata Siang-mou Sin-ni.
˜Ilmu-ilmu apa tadi itu
dan apa namanya?! Hek-giam-lo menyambung.
˜Ha-ha-ha, kalian bertiga
memang bermata tajam, tidak pereuma menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai!
Memang tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut
Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti
kedua ilmu itu dan menyukainya, tergantung kepada kalian sendiri Bagaimana?!
Karena mereka bertiga tadi
sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas tanpa mereka
ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek
Siansu yang ingin mencegah terjadinya pertempuran selanjutnya antara
orang-orang sakti itu, maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin
mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
˜Tidak perlu banyak
cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!! kata pula It-gan Kai-ong yang
memang selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar
sikapnya, makin baik dan berwibawa dan gagah!
˜Kalian juga setuju?! Bu
Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou Sin-ni den
Hek-giam-lo. Keduanya meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena
tidak ade pilihan lain. Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini
masih memandang rendah kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh curiga
kalau-kalau kakek tua renta ini akan menipu dan mempermainkan mereka.
˜Baik-baik, kalian
perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara
Sakti) dipelajari dengan pendengaran.! Kakek itu menurunkan alat musik khim
dari punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim,
dimulai dengan ˜cring-cring! yang nyaring bening. Mula-mula tiga orang sakti
itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi khim,
akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak gelisah sekali. Terutama Siang-mou
Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh oleh suara
khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa jantungnya berdebar, kemudian
setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa seakan-akan jantungnya
ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia
mengerahkan sin-kang di dalam tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk
bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih berusaha untuk menyelami
bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan
Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga
dalam tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai
dua orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu
mengandung hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu sambil
menutup kelemahan diri dengan sin-kang mereka pun memperhatikan dan berusaha
menangkap inti sari daripada Kim-kong Sin-im.
Baru seperempat jam saja
orang itu sudah menderita hebat sekali, wajah mereka pucat dan saking kerasnya
mereka mengerahkan sin-kang, kepala mereka sampai mengepulkan uap putih. Namun
pelajaran itu masih juga belum dapat mereka tangkap inti sarinya, atau ada juga
mereka menangkap, namun hanya menurut perkiraan mereka masing-masing dan
ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda, sesuai dengan watak
masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja menyeleweng daripada inti sari yang
sebenarnya. Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih rendah
kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya
mereka tidak berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan
oleh Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, pula
ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara. Suling Emas dapat mewarisi
inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan suara
sulingnya sehingga seakan-akan ia ˜bertempur! dengan ilmu ini dan karenanya ia
lebih mudah untuk mengenal sifat-sifatnya menyerang dan bertahan dari Kim-kong
Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal keindahannya kalau
ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau hanya mendengar
saja.
Bu Kek Siansu memang tidak
hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain di depan
Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila
dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang
menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit
berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang sakti itu tidak
berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam
telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih
sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu
kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat memetik inti
sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang kepada Bu Kek Siansu
dengan mata marah.
Bu Kek Siansu menyimpan
kitab kecilnya lalu berkata,
˜Kim-kong Sin-im sudah
kalian dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in
Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?!
˜Kakek, kau tadi bersilat
di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kau turunkan kepada
kami,! kata It-gan Kai-ong.
˜Kai-ong, itulah tadi yang
disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana
dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?!
Karena tidak tahu harus
memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapapun juga,
mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu
Kim-kong Sin-im tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka,
mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah
gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian
mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka
setuju dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi
dan sakti.
Seperti juga tadi ketika mengajar
Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua
lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain
yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam
kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh
tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur. Bu Kek Siansu
mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya
berbunyi demikian : THIAN BENG CI WI SENG-SUT SENG CI WI TO-SIU TO CE WI KAUW.
Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama, mempunyai
arti yang amat dalam, kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini :
Anugerah Tuhan adalah watak aseli-Selaras dengan watak aseli adalah
To-Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas bahwa huruf-huruf
itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia
menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali
mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan
Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang
ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang
mengemukakan pelajaran tentang kebajikan? Sebagai orang-orang yang
berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti
gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap
kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa
ilmu Silat Sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam
huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih
mendekati arti daripada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini
disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan
begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat
terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak mengherankan apabila
tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus menggerakkan
kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu
semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.
Agar jangan dianggap berat
sebelah Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama
ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga
orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.
˜Nah, puaskah kalian?!
˜Puas apa? Kau main-main
dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan
kepada kami,! kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.
˜Jangan-jangan kakek ini
hanya menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan
memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,! kata
Siang-mou Sin-ni, tersenyum masam. Adapun Hek-giam-lo hanya mendengus saja,
marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam
pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan
peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju,
menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya.
Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka.
Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni menghantam
sembilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan
Hek-giam-lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua
penyerangen itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu
roboh!
Serentak tiga orang itu
menubruk, Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan
Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu
tadi, mendapat bagian masing-masing separuh karena kitab kecil itu telah
terobek menjadi dua bagian ketika mereka berebut.
Sambil tertawa-tawa mereka
memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka
meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang
dihantam sabit tajam itupun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali
tidak terluka. Namun, jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika
It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya
tidak berdenyut lagi.
˜Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu
yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,! kata
It-gan Kai-ong.
˜Seorang penipu!! sambung
Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik,
berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya.
˜Aku benci ilmu sihirnya
ini, kita buang dia ke jurang saja,! ia menggumam, lalu menggunakan kakinya
menendang. Tubuh kakek itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun,
diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni.
Akan tetapi tiba-tiba
suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga terhuyung-huyung
dan hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang
menyerang mereka dari arah jurang tadi.
˜Celaka.., rohnya
mengamuk..!! It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat
jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat
kabur meninggalkan puncak Thai-san.
Tak lama kemudian, tampak
Bu Kek Siansu melayang keluar dari dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi
sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali.
˜Thian menghendaki
demikian. Akan geger di dunia persilatan.. harapanku ada pada Suling Emas.!
Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.
Pada masa itu, keadaan di
seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada
peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kwan
Yin yang tadinya merupakan panglima tertinggi daripada wangsa ke lima. Sebelum
itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah
Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa Cao Kwan
Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.
Daerah-daerah yang tadinya
semasa Kerajaan Tangtelah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat
ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal
ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang
sudah kembali, sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai
daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke
Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah
tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada
Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil
dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali
terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung
sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu membangun
negara setelah persatuan dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil
itupun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang
cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang, mengikuti aliran Sungai Han
yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut
Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti
manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga
kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!
Sunyi di sepanjang sungai
itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka
jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis
panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang
memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya sehari-hari.
Kulitnya coklat kehitaman, terbakar matahari.
Tiga orang yang menumpang
perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih dua
puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam
bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar,
pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang ke dua adalah
seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas,
sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang
matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan
kehalusan budi, bibirnya tersenyum selalu membayangkan keramahan. Juga gadis
ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ke tiga juga seorang
gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis
pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali.
Wajahnya cantik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya.
Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini?
Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan
putera-puteri diri seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa.
Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena
berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang dahulu
memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang. Kam-goanswe yang namanya adalah Kam Si
Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan lahir batin. Karena
inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi
raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini
diserang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa
menyelamatkan daerah Shan-si.
Semenjak bentrokan itu,
Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun,
sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air
di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang muda itu adalah
putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam
Bun Sin. Anak ke dua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Adapun
gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut
Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut.
Belasan tahun yang lalu,
dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam menemukan
seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita
yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan,
bukan main gagah sikapnya.
Jenderal Kam amat kagum
menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya
sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu
sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil
menyebut ˜Lin Lin!.
Lin Lin tahu bahwa dia
adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak angkat. Selama
hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia
diperlakukan sama dengan anak-anak lain, ayah ibu angkatnya amat cinta
kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin
merasa bahwa dia memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat
lagi akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya
sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah
bundanya, juga tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka, karena
menurut jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai seorang jenderal
perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek
menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata
tiga orang anak itu mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang
menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lwee-kang (tenaga dalam), Sian Eng
mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali keringanan tubuhnya
dan karenanya ia amat maju dalam ilmu gin-kang.
Keluarga Kam hidup
tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun
lamanya. Mereka hidup sederhana sebagai petani dan kesederhanaan dusun dan
pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi, seperti sudah
menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang langgeng, alam dan
isinya selalu berubah. Demikian pula kehidupan manusia, selama manusia masih
terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti
samudera yang selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya
pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan.
Hari itu menjelang senja,
Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan
belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng,
dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan
ayah mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan gaya
masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil bertolak pinggang
dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang
berpakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari
pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.
˜Hebat bocah ini.. kiranya
kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu
keturunan orang gagah bangsa Khitan?! demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang
mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah
suara. Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki
tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali
dan wajahnya berubah.
˜Giam Sui Lok, mau apa kau
datang ke sini?!
Orang tinggi besar muka
hitam itu tertawa lagi, tetap masih berjongkok di atas tembok, matanya yang
besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang
ajar. ˜Kam-goanswe..!
˜Aku bukan jenderal lagi,
tak usah kau berpura-pura tak tahu.!
˜Ha-ha-ha, orang she Kam.
Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?!
Kam Si Ek menoleh ke arah
tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah.
˜Orang she Giam, aku
sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita
bicarakan nanti.!
˜Kapan?!
˜Malam nanti kunanti
kunjunganmu.!
Laki-laki tinggi besar
muka hitam itu tertawa bergelak.
˜Boleh, boleh.., aku tidak
khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!! Tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik
pagar tembok.
˜Ayah, siapa dia?! tanya
Bu Sin tak enak.
˜Dia kurang ajar sekali,!
cela Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan
seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas
pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik
jelita itu kini tampak marah.
˜Lin Lin, kembali kau..!!
Kam Si Ek berseru cemas.
Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun
kembali, berlari mendekati ayahnya.
˜Heran, ke mana ia
sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang macam itu mengapa tidak dihajar
saja, Ayah?!
Kam Si Ek tersenyum,
girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat
khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan
di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di
antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan
Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin
kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.
˜Dia itu bekas teman lama,
ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kau
ajak kedua orang adikmu pergi ke Kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san
sekarang juga. Kau sampaikan hormatku kepada Kui Lan suci, dan katakan bahwa
besok dia bersama kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini
membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.!
˜Tapi, Ayah, orang tadi..!
Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang
membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika
sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.
Kam Si Ek tertawa. ˜Dia
memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa?
Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi
Guru) kalian.!
Biarpun hati mereka tidak
rela, namun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya,
apalagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam
itu pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini
lalu bergegas mendaki puncak Gunung Cin-ling-san yang tinggi itu, sambil
membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di
puncak.
Yang dimaksudkan
Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng pendeta-pendeta
wanita yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita)
di kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si
Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak,
malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula memberi
petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan mendaki puncak
itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan ilmu
lari cepat. Biarpun cekatan gerakan mereka, karena hanya diterangi oleh obor di
tangan, perjalanan itu agak lambat juga.
Kui Lan Nikouw yang sudah
berusia enam puluh tahun lebih masih segar mukanya dan masih gesit
gerakan-gerakannya itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid
keponakannya di waktu malam gelap itu.
˜Eh, apa yang terjadi?
Mengapa malam-malam datangnya?! tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat
wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut
memberi hormat, Bu Sin berkata,
˜Ayah yang menyuruh teecu
bertiga, Sukouw, pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua
kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke
pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan
kepada Sukouw.!
˜Hemmm, hemmm.. Ayahmu
memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah ke
sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang?
Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak
sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouwmu,
hayo ke dapur!! Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali amat disayang
oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu
tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka
ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
˜Eh, kalian ini
bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang jangan
ragu-ragu!!
˜Sukouw, sebetulnya.. kami
sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi
ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.!
˜Ada apa? Hayo lekas
bicara.! Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan
kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang
mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
˜Hemmm, laki-laki tinggi
besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?!
˜Ayah menyebut namanya, Giam
Sui Lok namanya, Sukouw,! kata Lin Lin. ˜Orangnya kurang ajar, mukanya buruk,
ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!!
Biasanya, kelincahan dan
kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia
tampak termenung. ˜Giam Sui Lok..? Ah, akhirnya dia datang juga..?!
˜Sukouw kenal dia?
Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang
ajar?! Bu Sin mendesak.
˜Berbahaya, tentu terjadi
pertumpahan darah.. wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga.
Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa
adanya orang she Giam itu.!
Lega hati tiga orang anak
muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya dan ketika
nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan
tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak
memperkenankan mereka.
˜Jalan turun agak sulit,
biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!!
Di tengah perjalanan,
nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda
itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.
˜Orang she Giam itu memang
musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak
mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat
diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.!
˜Permusuhan apa, Sukouw?!
Bu Sin bertanya penasaran.
˜Urusan.. eh, urusan..
percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah..
eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi
persaingan, Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan
penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang
menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang
lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki
memang aneh dan tolol.. eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini
benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau..!
Sudah cukup jelas bagi
mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak,
maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka
terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia
itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin
Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap
seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan
khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan
cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam
hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung
keluarga Kam.
Dapat dibayangkan betapa
gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama
sekali. Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di
tangan.
˜Ayah..!! Bu Sin berseru
keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak
memanggil ayah ibu mereka.
˜Tenang, anak-anak.
Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,!
kala Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak
pengalamannya.
Nikouw itu sambil
memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada,
diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya, berjalan masuk ke dalam
rumah. Ruangan depan sunyi dan kosong, dan pada saat mereka memasuki ruangan
tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke
depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ
menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka
melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata
mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu
menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan
memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
˜Sratt!! Pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang
she Giam itu.
˜Kau yang membunuh Ayah
Ibu!! Pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.