Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu
Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak
mengganggu.
"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!"
Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.
Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata,
"Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah
bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."
"Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah,
kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni terlalu malas berlatih
silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada
seperseratus bagian yang dapat pinni miliki."
"Melawan usia tua dan berhasil merupakan kepandaian
yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi kebanggaan kaum wanita,"
kata Lu Sian.
"Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang
membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet muda bagi seorang
pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan
usia tua, akan tetapi sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan men
ghendaki kesegarannya agar jangan terlalu mudah diganggu penyakit!"
Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu
pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke manakah mereka pergi? Kembali ke rumah
penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah
bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan semalam itu mereka
bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai nafsu, di dekat
telaga dalam hutan.
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum
ada pengalaman. Tentu saja bertemu seorang wanita seperti Lu Sian, dia
benar-benar jatuh. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali
bukan merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih
yang tidak hanya terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih
suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka,
tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinaan
yang sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila
dan kesopanan, lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.
Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau
ia menyukai seorang pria, siapapun juga dia, harus dia dapatkan.
Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur
hatinya, dan untuk dipermainkan atau dipatahkan cintanya kemudian! Lu Sian
tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada cinta
nafsu, hanya untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta,
sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!
Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh
Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara
sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah
itu, terdiri dari bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal
sehingga banyak tokoh kang-ouw memerlukan datang pula. Sembahyangan itu
diadakan untuk merayakan hari lahir Ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahunnya!
Kian Hi Hosiang, Ketua Siauw Lim Pai, sudah amat tua dan pikun, namun masih
dihormat dan dicinta oleh semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika
ia masih kuat, berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia jalankan di
Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai
dan pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama
Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.
Kini Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun
sehingga kerjanya hanya bersamadhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai
diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu Cheng Han Hwesio murid
pertama dan Cheng Hie Hwesio murid kedua. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi
calon ketua karena ia berwatak tekun, jujur, keras hati berdisiplin, dan
sebagai seorang hwesio ia sudah menjauhakan diri daripada urusan duniawi.
Adapun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini
biarpun dalam hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus
dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas
para murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan
penyelewangan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai biarpun murid murtad itu
berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas jangkauan tangan
besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan menghukumnya
sesuai dengan peraturan persilatan Siauw-lim-pai!
Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan
dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat luas. Adapun semua hwesio setelah
terdengar bunyi kelenengan keras nyaring, berkumpul di ruangan dalam untuk
mulai upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi
serem. Di barisan belakang para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio
yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih
belajar ilmu silat di kuil besar itu maupun yang sudah bekerja di luar, yang
memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat kepada
sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid,
kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan
perondaan disekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.
Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu
Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara murid-murid yang ditugaskan
menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biarpun usianya
masih amat muda. Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di
ruangan tengah diadakan upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan
kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun.
Akan tetapi pada saat itu, kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh
berkelebatnya bayang-bayang orang yang gerakannya ringan bagaikan burung.
Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari
tembok bagian selatan. Setelah mendapat "tanda aman" dari Yap Kwan Bi
yang berjaga di situ, Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan
tubuhnya melayang turun ke pekarangan belakang, terus menyelinap dan
berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang Kuil
Siauw-lim-si.
Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara
cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang
keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andaikata tidak mendapat keterangan yang
jelas lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang
dimaksudkan yaitu kamar kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak
bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat
keterangan jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke
tujuh belas dari kiri, itulah kamar kitab!
Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu.
Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab di
atas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah
hampir lapuk! Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia
sudah mendapat keterangan pula di deretan mana letak kitab yang ia kehendaki,
maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung
kiri. Setelah membuka dua tiga buah kitab wajahnya berseri. Sebuah kitab yang
amat kecil, hanya sebesar telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab
yang ia kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah
yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya
sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia
masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman!
Dikancingkannya lagi baju luarnya dengan hati girang ia berlompatan menuju
kebelakang.
Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan
menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai upahnya! Bibirnya sudah
bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka
janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan
tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap di balik sebuah arca
penjaga taman.
Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan
Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang
telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan! Dari luar
tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun
lebih, dengan gerakan ringan berdiri di atas sebelah laki-laki pertama lalu
berkata perlahan.
"Belum kelihatan?"
"Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui
sini. Mana Liok-sute?"
"Dia menjaga di tembok timur."
"Dan Yap-sute?"
"Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira
Yap-sute akan sampai hati akan berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang
sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."
Dua orang laki-laki itu nampak muram wajahnya dan
berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget
setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi
menyelundupkannya masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh
saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang
naik ke atas mempergunakan kekerasan melawan para penghadangnya. Akan tetapi ia
segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu
dihadapkan pada para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus
menolong kekasihnya yang tertawan karena dia!
Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap di anatara
bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum
bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.
Akan tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi
bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah,
barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio
menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang
dengan ruangan tengah yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah
tampak punggung sebuah arca Buddha yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian.
Betapapun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan
berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor
satu dalam dunia persilatan!
Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang keluar
melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai bukan
pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan
niat ini dan melanjutkan langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia
terlindung dan tertutup oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang
berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai.
Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak
gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak
kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak
seorang whesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya
dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah
ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Disebelah belakang kakek ini
berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahu lebih. Yang sebelah kanan
berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri
dibelakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis
jenggot.
Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos keluar
melalui pintu depan tanpa diketahui, dan ia sangsi apakah ia akan mampu
menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor
sakti. Kemudian ia teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio
Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio Siauw-lim-si adalah
pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil keputusan dan
dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya kemudian muncul
keluar dari balik arca dan berjalan dengan langkah tenang, dada dibusungkan,
menuju keluar.
Tentu saja gerakannya ini tidak terlepas daripada
pendengaran para hwesio yang sedang berdoa. Namun, tepat seperti perhitungan Lu
Sian, para hwesio itu tidak mau menunda sembahyang mereka, sungguhpun mereka
merasa terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita
muncul dari ruangan dalam kuil? Padahal sebuah di antara larangan yang amat
keras dari Kuil Siauw-lim-si di manapun juga, adalah hadirnya seorang wanita ke
pedalaman kuil!
Merupakan pantangan keras karena para tokoh hwesio mak
lum bahwa diantara segala godaan, yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin
para pendeta adalah wanita.
Akan tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang
berlutut paling belakang, yaitu golongan murid yang tidak menjadi pendeta,
tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat munculnya seorang wanita muda cantik
berpedang dari balik arca, terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka.
Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah melompat dengan gerakan ringan, menghadang
di pintu tengah antara ruangan tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir
di ruangan depan juga menjadi heboh.
Melihat dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin
ia menyerbu keluar, akan tetapi maklum bahwa cara ini bukanlah cara yang
bijaksana. Biarlah ia mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa
mengandalkan ketajaman pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti,
berdiri tegak dan tetap tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid
Siauw-lim-pai yang bukan pendeta itu, biarpun masih banyak di antara mereka
yang muda-muda, rata-rata memiliki kepandaian tinggi, karena mereka ini pun
merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang ketua Siauw-lim.
Memang sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak
murid yang bukan pendeta, memang banyak yang langsung menjadi murid Kian Hi
Hosiang, bahkan murid-murid bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi karena mereka ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama.
Di antara para hwesio, kiranya hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya,
yaitu Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun mereka itu sejak kecil
hanya belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat.
Bahkan tiga orang di antara para murid, yang kini berdiri menghadang, yang
usianya di antara tiga puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng Cheng Han
dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun kedua orang ini lebih tua usianya. Mengapa
demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu
silat dari Kian Hi Hosiang.
Akan tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri
menghadang dengan sinar mata tajam, tidak turun tangan karena memang mereka
hanya bermaksud mencegah wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan
mengganggu suasana hening dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu.
Akhirnya selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu
bangkit berdiri. Segera Cheng Han Hwesio yang keras dan jujur itu membentak,
"Wanita dari mana berani mati memasuki kuil kami
tanpa ijin?"
Lu Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil
tersenyum mengejek, tanpa menjawab. Tak sudi ia menjawab. Pertanyaan begitu
kasar. Pada saat itu, para tamu yang melihat sembahyangan selesai, banyak yang
mendekat untuk melihat peristiwa aneh itu. Tiba-tiba seorang di antara mereka
berseru.
"Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!"
Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini
semua orang kaget sekali. Lu Sian dengan tenang mengerling dan melihat dandanan
orang itu seperti piauwsu ia dapat menduga bahwa dia itu tentulah ada
hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan
pertalian asmara antara dia dengan Tan Hui.
Para pendeta mendengar julukan yang biarpun masih baru
namun sudah terkenal itu, terkejut. Kian Hi Hosiang sendiri lalu berkata,
"Omitohud...! Kiranya puteri Beng-kauwcu yang
sengaja datang membikin geger! Nona, di antara kami kaum pendeta Siauw-lim-pai
tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan antara pinceng dan
ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, tak pernah dikotori oleh permusuhan,
mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami?
Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari
kakek itu, Lu Sian lalu berlagak penuh kehalusan, menjura dengan penuh hormat
dan suaranya lemah lembut dan merdu ketika ia menjawab.
"Harap Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang.
Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci kepada wanita dan
memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak
kaki wanita, sekali terinjak kaki wanita akan dicuci dengan abu dapur, maka
saya menjadi tertarik dan tidak percaya. Maka, menggunakan kesibukan di
Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat. Kiranya tidak
ada apa-apanya di dalam, yang macam begitu saja melarang terinjak kaki wanita.
Sungguh keterlaluan! Akan tetapi, betapapun juga saya mohon maaf kepada Losuhu
dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan kepada Ayah bahwa biarpun para
pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya amat
peramah dan baik hati."
Kian Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Sungguh cocok dengan Ayahnya. Pandai dan keji, baik
tangan maupun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik, melihat muka Ayahmu dan mengingat
bahwa hari ini adalah hari baik, biarlah pinceng menganggap pelanggaran berat
ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh pergi." Ia menghela napas panjang.
"Suhu! Ijinkanlah teecu mengajukan pertanyaan lebih
dulu. Munculnya wanita ini sungguh mencurigakan!"
Kian Hi Hosiang mengangguk.
"Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi
ampun akan pelanggarannya."
"Pelanggaran memasuki kuil memang telah Suhu beri
ampun. Akan tetapi siapa tahu ada pelanggaran lain yang lebih hebat. He,
Tok-siauw-kwi, jawabanlah lebih dulu pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi
dari sini!"
Lu Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu
dengan senyum mengejek. Panas dadanya mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun,
sebuah julukan yang diberikan orang kepadanya di luar kehendaknya.
"Heh, setan tua busuk, kalau pertanyaanmu tidak
busuk, baru akan kujawab!"
"Kurang ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng
Han Hwesio membentak dan matanya melotot.
Lu Sian juga pelototkan matanya.
"Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun
menyebut engkau setan tua busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita
sudah punah, satu-satu?"
Bukan main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang
di antara murid Siauw-lim-pai yang dipercaya suhunya, bahkan dialah calon ketua
kelak, karena sejak saat gurunya mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han
Hwesiolah yang mewakilinya. Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan
sungguh-sungguh, siapa nyana hari ini ia dipermainkan seorang wanita muda, di
depan banyak tamu! Kalau ia tidak ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah
turun tangan memberi hajaran kepada setan cilik ini!
"Baiklah akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu
sudah mengampunimu. Akan tetapi, kami tidak percaya engkau akan dapat memasuki
pekarangan belakang kuil tanpa diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu
masuk. Katakan, siapa dia yang membantumu?"
Diam-diam Lu Sian merasa heran. Para penjaga di belakang
tadi sudah tahu agaknya akan perbuatan Kwan Bi, kenapa kepala gundul ini belum
tahu? Ah, tentu saja. Mereka ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum
dilaporkan. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah
kuilmu, yang menjaga adalah penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian
penjagamu? Tentang bagaimana caranya aku masuk ke pekarangan belakang, ah, itu
kewajibanmu untuk mencari tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."
"Nanti dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya
mengguntur.
"Eh, hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh
ke arah Kian Hi Hosiang dan berkata.
"Losuhu yang mulia, muridmu yang satu ini
benar-benar tak patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"
"Cheng Han, mengapa menahan dia? Lebih baik
lekas-lekas suruh dia pergi." Hwesio tua itu mengomel dan diam-diam ia
mencela muridnya yang hanya mencari perkara saja menghadapi wanita ini. Di
depan begini banyak orang, wanita berandalan ini tentu dapat membuat para
hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang banyak.
"Suhu," Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada
gurunya, "dia baru saja berkeliaran di dalam kuil, siapa tahu dia
mengambil sesuatu?"
Mendengar ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya
hwesio galak itu ternyata bukan orang bodoh. Ia lalu cepat melangkah maju,
mengedikkan kepala membusungkan dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata
nyaring,
"Losuhu, apakah orang menyangka aku mencuri benda di
kuil? Hayo geledahlah aku, geledahlah!!"
Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu
menantang, agak berguncang ketika ia menghampiri Ketua Siauw-lim-si sampai
dekat.
"Omitohud...!" Kian Hi Hosiang melangkah
mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu dekat. "Pinceng takkan
menggeledah..."
"Kau, hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh
aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak tahu malu, geledahlah aku!"
Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga
mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.
"Menuduh orang mencuri, disuruh menggeledah tidak
mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau berdiam lebih lama lagi di
sini!"
Lu Sian melangkah lebar menuju ke pintu. Mendadak
berkelebat bayangan putih dan seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih,
pedangnya di punggung, kelihatan gesit dan gagah sudah menghadang di depan Lu
Sian.
"Cheng Han Suheng benar. Kau harus digeledah!"
Lu Sian memandang dengan mata bersinar marah.
"Kau? Hendak menggeledah? Berani kau begini
menghinaku?"
Wanita itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang
kepandaiannya sudah tinggi, bernama Tan Liu Nio. Ia memandang rendah Lu Sian
yang kelihatan masih seperti seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia
menjawab,
"Mengapa tidak berani menggeledahmu?"
Kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba
tubuh Lu Sian.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan
kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang, mukanya pucat karena hampir
saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan
tahu-tahu dua jalan darah maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian secepat
kilat sehingga jalan satu-satunya bagi Tan Liu Nio hanyalah melompat ke belakang
secepat mungkin sehingga ia terhindar daripada malapetaka yang hebat.
"Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah
dari Siauw-lim-pai memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian
hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan
ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih
menggeledah? Tak tahu malu!"
Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang
berani berkutik. Mereka memandang dengan muka merah dan serba salah. Tan Liu Nio
merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka murid
perempuan lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka
menghadapi wanita berandalan yang lihai itu, apalagi mereka. Adapun murid-murid
pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi mati kutu setelah mendengar
ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus menggeledah tubuh
seorang wanita secantik dan semuda itu, apalagi di depan banyak orang. Padahal
ketua mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan sudah memperkenankannya
pergi.
Pada saat itu dari luar menerobos beberapa orang
laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang bermuka pucat sekali. Tiga orang
laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi
Hosiang. Terdengar Kwan Bi berkata, suaranya gemetar.
"Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap
menerima hukuman."
"...apa...? Ada apa...?"
Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena
ia benar-benar tidak pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan
tersayang ini.
�Suhu, Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan
lancang menyelundupkan seorang wanita memasuki pekarangan belakang..."
"Kurang ajar!"
Cheng Han Hwesio yang membentak ini. Akan tetapi pada
saat itu, cepat bagaikan seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak ke
depan dan menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat keluar. Pada
saat itu, Cheng Han Hwesio yang melihat hal ini, cepat menyusul dengan pukulan
maut dari Siaw-lim-pai.
Yap Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari
tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil dan pada saat itu pukulan Cheng Han
Hwesio tiba, biarpun tidak menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan
dadanya sesak dan muntah darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu
memanggulnya dan sambil meloncat ke depan, tangan kirinya bergerak menyambit ke
belakang.
Pada saat itu, tiga orang murid Siauw-lim-pai tingkatan
atas bersama seorang wanita, yaitu Tan Liu Nio sudah mengejar. Mereka berempat
terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lompat menghindarkan diri dari sambaran
sinar merah senjata rahasia Lu Sian. Ketika mereka mengejar terus, mereka telah
tertinggal jauh. Tentu saja sukar bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu
Sian karena Lu Sian telah mempergunakan gin-kangnya yang hebat, yang ia
pelajari dari mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, yaitu Ilmu Lari Cepat Coan-in-hui!
Untung bagi Lu Sian, Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie
Hwesio yang hendak mengejar pula, dicegah oleh Kian Hi Hosiang yang berkata,
"Omitohud... semoga Sang Buddha melimpahkan
kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak usah mengejar.
Ketiga Suhengmu dan seorang Sumoimu sudah cukup. Kita tidak perlu menanam bibit
permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku itu sudah maklum
dan asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya ke sini untuk menerima
hukuman, cukuplah."
Demikianlah, upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang
tadinya akan dibuat besar-besaran dan meriah, ternyata menjadi sunyi dan muram
akibat peristiwa itu. Para tamu juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah
tertimpa urusan yang tidak menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan
kuil itu dalam keadaan suram.
Lu Sian berlari cepat sekali dan setelah memasuki sebuah
hutan tiga puluh lie jauhnya dari Kim-peng, ia berhenti dan meletakkan tubuh
Kwan Bi di atas rumput, terlindung oleh pohon besar dari sinar matahari senja.
Segera ia memeriksa keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak
kulit dada membayang biru, tanda bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan
yang cukup hebat. Cepat ia mencari air untuk membasahi kepala pemuda itu, lalu
memberinya pula minum sedikit. Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya.
Melihat Lu Sian, ia tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Lu-cici, aku telah membikin kau banyak
susah..."
Lu Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan
berbisik di telinganya.
"Hushhh, kau mengigau, bicara dibolak-balik. Akulah
yang membuat kau menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut, selama ada
aku di sini, tidak ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga
dia!"
Kwan Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air
mata membasahi pipinya, lalu kembali dia menggeleng kepala dan menarik napas
panjang.
"Tidak mungkin... dosaku terhadap Suhu dan
Siauw-lim-pai tidak boleh kuhindari, aku harus kembali ke sana. Lu-cici kau
pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak. Cin... cinta kasihmu
takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku, biar kuhadapi sendiri
kemarahan Suhu."
Lu Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda
ini, rasa sayang yang terdorong rasa haru mendengar betapa pemuda ini amat
mencintainya, cinta sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu sanggup
berkorban untuknya. Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali....
kecuali agaknya... cinta kasih Kwee Seng yang telah mati!
"Tidak, aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka
itu boleh saja datang dan mereka hanya akan dapat mengganggu dirimu jika aku
sudah menjadi mayat!"
"Lu-cici... ah, Lu-cici...!"
Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan
jantungnya akibat rasa haru dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu
menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.
Lu Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada
yang terpukul, lalu sambil duduk bersila ia mengarahkan sin-kangnya untuk
membantu kekasihnya memanaskan jalan darah memperkuat hawa sehingga luka itu
akan cepat sembuh. Ia duduk dalam keadaan begini sampi senja terganti malam.
Bulan sudah muncul sore-sore dan keadaan menjadi terang seperti siang.
Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara bentakan.
"Perempuan tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai
yang murtad itu kepada kami!"
Lu Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan
tangannya dari atas dada Kwan Bi. Ia hanya mengerling dan tampaklah olehnya
empat orang berdiri tidak jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi
hendak menggeledahnya, maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki
semua, yaitu murid-murid Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di
pintu. Dua orang berusia empat puluh lebih, yang seorang paling banyak empat
puluh, mukanya putih halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan
tetapi matanya berkilauan terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil
panjang bergantung kebawah, sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga
tulang-tulang pipinya menonjol keluar, tampak menyeramkan.
"Cih, perempuan tak tahu malu. Menculik
laki-laki!"
Wanita yang bukan lain adalah Tan Liu Nio murid
Siauw-lim-pai itu mencaci.
Panas hati Lu Sian dan wataknya yang nakal membuat ia
sengaja memanaskan hati orang. Ia menunduk, merangkul leher dan mencium Kwan Bi
yang masih pingasan dengan mesra dan lama!
Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan Liu Nio
mengeluarkan suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis
itu membentak lagi.
"Kami mengingat Ayahmu ketua Beng-kauw, dengan
baik-baik minta kembalinya adik seperguruan kami. Akan tetapi bukan berarti
kami takut kepadamu! Jangan sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan
apabila kau membangkang!"
Lu Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor
kupu-kupu ia melompat ke atas cabang pohon dan dari situ ia melayang turun.
Indah sekali gerakannya, indah seperti seorang dewi kahyangan menari dan
seperti seekor kupu-kupu terbang melayang mencari madu kembang. Dengan ringan
sekali ia melompat pula ke depan empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil
berkata.
"Betul kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak
takut, kenapa kalian mau mengeroyokku berempat?" Lu Sian berkata sambil
tersenyum manis.
"Siapa hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami
orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah pengecut yang suka mengandalkan jumlah
banyak mencari kemenangan!" bentak Si Muka Halus yang bernama Long Kiat.
"Aih, aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk
bersombong saja begitu, nanti kalau suah terdesak lalu melolong-lolong minta
bantuan kawan dan sambil menebalkan muka kalian berempat maju berbareng!"
"Cukup, kami datang bukan untuk berdebat!" kata
Si Kumis yang bernama Lo Keng Siong. "Kuulangi lagi, kami datang untuk
membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!"
"Wah, jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku? Kalian hendak membawa pulang dia untuk dipukul
lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku yang tidak suka membiarkan dia
disiksa."
Si Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu
Nio, tak sabar lagi. Sambil menudingkan telunjuknya yang hanya tulang
terbungkus kulit itu ke arah muka Lu Sian ia membentak,
"Bocah setan banyak tingkah! Kami datang berurusan
dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah
mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami!"
"Huh, kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai
yang tak tahu malu! Kalian semua berhak apa mencampuri urusan pribadi Yap Kwan
Bi dan aku? Kami saling mencinta, kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami
berhak, sama-sama muda sama-sama suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak
membiarkan kalian membawa pergi Yap Kwan Bi yang sudah terluka oleh Si Keledai
Gundul tadi!"
"Kurang ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih
baik kau mundur dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng
Siong marah
"Tidak bisa tidak mencampuri urusan Yap Kwan Bi.
Pendeknya, aku melarang kalian membawanya pergi, habis perkara!"
"Kau menantang?" kumis Lo Keng Siong
bergerak-gerak.
"Terserah! Aku sudah berjanji bahwa orang hanya
dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku sudah menjadi mayat!"
"Iblis betina, kau sudah bosan hidup?"
"Hi-hik, kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian
mengejek. "Kunasihatkan kalian, kalau memang hendak memaksa dan hendak
menyerangku, lebih baik kalian maju berempat mengeroyokku, karena kalau maju
seorang demi seorang bererti mengantar nyawa dengan sia-sia!"
"Perempuan sombong!" Bentak Liong Kiat marah.
"Twa-suheng, biar siauwte mengusir iblis betina
ini!"
"Eh, eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas,
aku sudah memberi peringatan. Karena Kwan Bi juga murid Siauw-lim-pai, aku
tidak bermaksud memusuhi Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak,
jangan salahkan kaki tanganku yang tidak bermata."
"Sombong!"
Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan
Kosong Lo-han-kun yang terkenal tangguh itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan
langkah diseret hampir berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah
dada dan pusar. Berat dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang
mengeluarkan bunyi
"werrrr-werrr!"
Lu Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka.
Dengan telapak tangannya ia menerima kedua kepalan tangan amatlah kuatnya. Ia
tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong Kiat, kedua kakinya
diayun ke belakang sehingga tubuhnya dengan kedua tangan masih menempel pada
kepalan lawan, terangkat naik ke atas. Selagi Liong Kiat terkejut sekali
menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa ini, tiba-tiba Lu Sian sudah
mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya mengarah ubun-ubun
kepalanya. Karena pada saat itu tubuh Lu Sian berada tepat di atasnya, maka
serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat datangnya sehingga
sukar ditangkis lagi!
"Sute, awas....!"
Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil melompat dekat
diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio. Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat
masih sempat mempelihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai tidaklah semudah itu
dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh ter jengkang bagaikan
sepotong balok kayu akan tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah
melakukan poksai ke belakang, berjungkir balik sampai tiga kali. Ia berdiri
dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Bergidik ia kalau
teringat betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.
Lu Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang
kepandaian Lu Sian sekarang jauh bedanya dengan ketika ia mula-mula
meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang
amat hebat. Gin-kangnya sudah terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui
adalah ilmu gin-kang yang terhebat di jaman itu. Juga ia telah mempelajari tiga
macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat tangan kosong
maupun ilmu pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan
yang luar biasa cepatnya berkat gin-kang Coan-in-hui.
"Sudah kukatakan, lebih baik kalian mundur dan
jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau kalau kalian nekad mengajak berkelahi,
majulah berbareng. Kalau satu-satu, percuma, tidak akan ramai!"
Bukan main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada
keempat orang murid Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa
memang ilmu kepandaian wanita ini seperti iblis, bukan lawan mereka kalau maju
seorang demi seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju,
belum tentu saudara seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.
"Kau menantang kami maju berempat?" kata Lo
Keng Siong hati-hati.
"Hi-hik, mengapa Tanya-tanya lagi? Majulah bersama,
biar lebih asyik aku melayani kalian berempat."
"Bukan kami takut maju seorang demi seorang, akan
tetapi kau menantang dan kau terlalu menghina. Ji-wi Sute dan Sumoi, mari kita
basmi iblis betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong sambil mencabut
senjatanya, sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah
bajunya. Tan Liu Nio dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan
Tan Bhok mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka
segera mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan
dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di
tengah-tengah!
Lu Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda
menyilang, tubuhnya miring, kedua lengannya diangkat ke atas, melengkung di
atas kepala dengan jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat
manis seperti orang menari, akan tetapi menyembunyikan kesiapsiagaan yang
lengkap dan gagah.
"Keluarkan senjatamu!"
Bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil
mengangkat ruyungnya ke atas.
"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak
usah kauperintah!" jawab Lu Sian seenaknya.
"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempat
senjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya tertimpa cahaya bulan menyilaukan
mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tibuh Lu Sian sudah
lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar
keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang Coan-in-hui itu! Makin hebat
empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula
Lu Sian bergerak dan mendadak
"cranggg..... cringgg.... tranggg-trang!"
Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa dapat diikuti
pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan
kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.
Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanan
nya yang memegang pedang serasa lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga
orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa
biarpun dalam gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga
sin-kang, setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin
hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan
puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.
Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum
bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga
orang laki-laki yang memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih
mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena
ia lebih banyak mengelak inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia
terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru
mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka,
Kian Hi Hosiang, tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah
mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh
Lu Sian.
"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan
engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!"
kata Lo Keng Siong dengan suara keras.
Inilah salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin
mempermainkan mereka saja, mengalahkan mereka dengan ilmunya kemudian lari lagi
membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan
dan keangkuhannya. Dia memang seorang yang keras hati, pantang dikatakan kalah.
Mendengar ini, darahnya bergolak dan ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan
lengking lebih mirip suara iblis siluman. Akan tetapi pedangnya kini bergerak
secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi gulungan sinar yang
membentuk lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi menjadi
gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang
kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya.
Di tengah-tengah lengkingnya yang belum putus, terdengar
teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh dalam keadaan mengerikan
karena pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia
bergelimpangan mandi darah, berlojotan dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
"Tok-siauw-kwi, hutang jiwa harus dibayar
jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali.
"Tok-siauw-kwi, berani kau membunuh Suteku?"
Tan Bhok juga membentak dan rantainya berdesing-desing menyambar.
Lu Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika
ketiga orang pengeroyoknya yang menyangka dia hendak kabur itu mendesaknya,
tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!
"Celaka....!"
Tan Liu Nio berseru. Karena dia berada paling belakang,
maka ia sempat melihat gerakan ini dan dapat mengelak. Akan tetapi dua orang
suhengnya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat
melindungi tubuh atas dengan putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing
telah terkena jarum Siang-tok-ciam! Seketika hidung mereka mencium bau amis
akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa mereka terkena senjata beracun.
Namun keduanya masih belum roboh dan masih memutar senjata. Lu Sian tidak
berhenti sampai di situ, begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah
menerjang maju lagi mainkan pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong
Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong
yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus pinggangnya,
perutnya robek dan isi perutnya keluar. Mereka berdua tidak menderita lama,
cepat menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang tewas lebih
dulu.
"Tok-siauw-kwi, kau benar keji dan ganas...!"
Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat, menyerbu
dengan pedangnya. Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.
"Tranggg...!" pedang Tan Liu Nio terlepas dari
tangannya. Dengan kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan Liu Nio roboh
terguling, kemudian matanya yang sudah menjadi beringas itu berkilat ketika
pedangnya ditusukkan ke bawah.
"Trangggg!"
Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya
terbelalak memandang kepada Yap Kwan Bi yang ternyata telah menangkis
pedangnya.
"Kau... kau Tok-siauw-kwi....??" dengan
pedangnya Kwan Bi menuding kepada kekasihnya.
"Orang menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau
tahu...."
"Kau.... kau perempuan hina...! Kau telah membunuh
tiga orang Suhengku dan hendak membunuh Suciku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!"
Yap Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih
lemah, sekali ditangkis ia roboh terguling, dan Lu Sian yang mukanya menjadi
pucat itu tiba-tiba meludah.
"Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati
palsu! Mual perutku melihatmu!" setelah berkata demikian, sekali
berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.
Yap Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan
keadaan tiga orang suhengnya yang tewas dalam keadaan demikian mengerikan. ia
menjambaki rambutnya dan memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma
saja Tan Liu Nio menghiburnya. Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari
cepat melaporkan ke kuil Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini menimbulkan geger.
Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama beberapa orang sute
berlari-lari ke arah hutan itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah
tewas di samping ketiga orang suhengnya, lehernya hampir putus dan tangan kanan
penuh darahnya sendiri. Ia telah membunuh diri karena telah menyesal!
Sementara itu, Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu
Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia merasa kecewa dan menyesal. Ia
benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih Kwan Bi yang tadinya dikira
benar-benar suci murni. Bahkan pengalaman ini membuat ia makin muak terhadap
laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit hati. Di samping kekecewaannya,
ia pun merasa girang bahwa ia berhasil mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat
dari Siauw-lim-pai.
Ia gemas kepada orang-orang Siauw-lim-pai yang telah
menghancurkan ikatan cinta kasihnya dengan Kwan Bi, maka kini pikirannya
tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil Kwanim-bio. Ia harus dapat
merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia selamanya takkan menjadi
tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu untuk menyerahkan
rahasia kepandaiannya!
Hari telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil
itu telah menutup daun pintu depan, akan tetapi sebuah lampu gantung menerangi
ruangan depan, Lu Sian menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah
kaki dari dalam menuju pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut
seorang pendekar wanita bertanya.
"Siapakah yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam
mengunjungi Kwan-im-bio?"
"Aku Lu Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"
Ketika Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum
ramah dan menegur.
"Eh, kiranya Lu-lihiap yang datang. Keperluan apakah
gerangan yang membawa Li-hiap malam-malam datang mengunjungi tempatku yang
buruk? Dan di mana adanya Kwan Bi?"
Akan tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika
melihat pandang mata Lu Sian amat berlainan dengan beberapa hari yang lalu,
bahkan ia melihat Lu Sian membanting kaki lalu berkata tak manis.
"Tak perlu kita berpanjang kata, Su-nikouw.
Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu tentang
ilmu awet muda!"
Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya. Kalau
kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa suka kepada
pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci
dan Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang pengaruh rasa
benci amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati kepada Siauw-lim-pai,
menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang sudah mabok rasa
benci, pandang matanya akan berbalik!
Akan tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu
menguasai batinnya dan ia memandang Lu Sian dengan senyum wajar.
"Li-hiap, biarpun pinni merasa heran sekali atas
perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan disebabkan oleh sikapmu,
melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang belum sadar
akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan
kecantikan pada usian tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan nafsu,
dan percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan kemudaan
yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.
"Tak usah banyak cerewet!"
Lu Sian membentak. Lajim, orang yang sudah membenci
seorang yang lain, apa pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu
selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kauserahkan secara baik-baik
atau dengan paksaan, aku harus mendapatkan rahasia itu!"
"Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang
gelap. Biarlah lain kali kau datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan
hal ini perlahan-lahan secara baik-baik."
Alis yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan
tangan kiri dan Su-nikouw cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang.
Namun terlambat. Jalan darah di pundak kirinya tertusuk sebatang
Siang-tok-ciam! Nikouw itu terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di atas sebuah
kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar saking heran dan
kagetnya.
Sambil tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan.
"Kau sudah terluka Siang-tok-ciam, obat pemunahnya
hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu awet muda untuk ditukar dengan
obat pemunahku."
Su-nikouw yang masih duduk di atas kursi kelihatan
tenang-tenang saja.
"Omitihud.... kau ini wanita muda sungguh ganas,
kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kausadari! Seorang pertapa seperti aku
ini, menganggap kematian sebagai pembebasan jiwa daripada kurungan raga yang
banyak kehendak dan lemah. Racun jarummu yang mengancam nyawaku sama sekali
tidak membikin pinni takut."
Diam-diam Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka,
pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh, hanya mengancam, akan tetapi kalau
wanita gundul ini nekat menghadapi kematian, tidak mau menukar obat pemunah
dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?
"Nikouw bandel! Mengapa hendak kau kangkangi sendiri
ilmu itu? Apakah kau hanya ingin muda sendiri dan cantik sendiri? Ilmu seperti
itu saja mengapa kau hargai daripada nyawamu?"
Su-nikouw menggeleng kepala.
"Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari
Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang
kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan
diajarkan orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi,
pinni akan mati tanpa mengeluh!"
"Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku
membiarkan kau mati begitu saja kalau kau tidak mau membuka rahasia itu?
Ketahuilah, Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu berahi!
Racun Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu.
Tidak terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi
dan tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang
oleh rangsangan berahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang
laki-laki yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu
kalau pada saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi
seorang pendeta wanita!"
Napas Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya
memandang penuh kengerian.
"Ah, jangan.... jangan....! sebenarnya siapakah
engkau ini, begini keji?"
"Orang menyebutku Tok-siauw-kwi."
"Aahhh... kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?"
Nikouw itu makin ketakutan, karena ia mendengar nama julukan ini sebagi seorang
tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka ancaman tadi bukan tak mungkin
dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal kejam. Pula, ia memang sejak terluka
tadi mencium bau harum yang aneh dan memang betul tulang punggungnya
berdenyutan keras! Tentu saja sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lebih
mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak tahu tentang segala racun, dan
ia tidak tahu bahwa Lu Sian sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu
memang berbahaya dan racunnya cukup jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan
tetapi sekali-kali tidak akan menimbulkan gejala nafsu berahi segala. Dia
sengaja mengeluarkan ancaman ini karena dengan tepat ia menduga bahwa hal
seperti itu jauh lebih mengerikan daripada kematian bagi seorang wanita pertapa
yang saleh!
"Bagaiman? Aku mengenal seorang kepala rampok dalam
hutan, usianya tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya
penuh cambang bauk dan kaki tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti
monyet. Dia tunduk kepadaku dan dia amat suka kepada wanita yang wajahnya
bersih. Tentu dia akan senang sekali mendapatkan engkau yang masih kelihatan
muda dan cantik ini!"
Su-nikouw bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar
gambaran tentang laki-laki itu. Tak tertahan lagi ia menangis, hal yang selama
sepuluh tahun lebih tak pernah ia lakukan.
"Baiklah, baiklah...., kuberikan rahasia ilmu itu
kepadamu."
Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa
sebuah kitab tipis tulisan tangan hasil pekerjaannya sendiri.