Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya
amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoinya ini. Girang dan juga khawatir.
Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam
keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia
kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong. Andaikata dia sendiri
saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin
mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan
tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan
menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya
menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya.
Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak
menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan
batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapapun juga. Tidak membantu, tentu
Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya! Mereka
sudah mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi, kau serahkan saja kepadaku untuk bicara
dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita
kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong mengangguk.
"Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi
kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis
betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang.
"Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran
sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnyaBu-tong-pai merupakan perkumpulan
yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang
yang tertutup tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam,
terpentang lebar-lebar tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya
beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan
memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong! Setelah tempat
yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin
berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapapun juga. Tidak
membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci
kepadanya! Mereka sudah mendekati puncak dimana tampak dinding tembok
Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi, kauserahkan saja kepadaku untuk bicara
dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita
kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong mengangguk.
"Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi
kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis
betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang.
"Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran
sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnya Bu-tong-pai merupakan perkumpulan
yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang
yang tertutup tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam,
terpentang lebar-lebar tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya
beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa
dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong! Setelah para
tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin liong cepat
menjura dengan hormat sambil berkata,
"Apakah kami berhadapan dengan para Locianpwe dari
Bu-tong-pai?"
Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang
Sin Liong dan tosu tua yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan
berteriak,
"Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu
sebelum diperintah!"
Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan
belas orang laki-laki gagah perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon
dan rumpun, di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan
mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Melihat ini, timbul
kemarahan di hati Swat Hong.
"Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak
menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil
dia keluar!"
Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin
mereka, berkata,
"Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan Ketua
Bu-tong-pai? Pinto ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa
hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak, memandang kaget dan heran.
"Eh....? Benarkah ini? kami.... kami tidak datang
mencari Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu saling pandang kemudian
seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam,
tidak setua kakek pertama, bertanya,
"Kalau begitu, siapakah yang Nona cari?"
"Kami mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam
itu sudah berteriak keras dan menubruk maju, tangan kiri mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya.
Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam
dan berbahaya sekali. Apalagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan
yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa kakek
itu memiliki tenaga yang kuat.
"Heiiiittt....!!"
Dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat
menyambut.
"Dukkkk.... plakkkk....!!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia
tangkis dengan kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan
dengan menundukan kepala sedikit, kemudian mendahului dengan jari tangannya,
dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan.
Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena
tangkisan itu membuat lengannya tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya,
kaki Swat Hong sudah bergerak menendang.
"Desss....!!"
Tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh
terbanting ke atas tanah dengan cukup keras! Semua orang terkejut, juga tosu
tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya, tingkat
kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam
segebrakan saja?
Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang
sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai,
demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya
orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu
kepandaian seperti setan itu. Para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainya melihat
tosu muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas
orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Enghiong itu.
Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai
hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di
tangan.
"Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi? bagus,
majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang
Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!"
Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan
cahaya seperti hendak menyebarkan maut. Tiba-tiba Sin Liong membentak.
"Tahan senjata....!!"
Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang
Bu-tong-pai dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana
saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan
berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahu sebabnya!
Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura
dan berkata,
"Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi.
Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak
berurusan dengan Bu-tong-pai, karena kami tidak pernah berurusan dengan
Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang
dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta
membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya."
"Apa....? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini
sahabat-sahabat wanita iblis itu?"
"Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong
membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak
membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh
sekalian!"
"Siancai....! Siancai...!"
Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan
mulut yang tidak bergigi lagi.
"Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena
tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini. Semua ini gara-gara wanita iblis
yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga
kepada siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"
Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam
bangunan yang menjadi pusat Bu-tongpai itu, dan dipersilahkan duduk di ruangan
tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya,
"Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan
mengapa menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu
kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat
Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi."
"Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan
diri,"
jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri
sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak
memperkenalkan diri.
"Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi
dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tongpai,
maka kami berdua menyusul ke sini."
Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.
Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian
luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es!
Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, kemudian
menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu,
dengan kekerasan merapas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan
terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia
menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani
menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para
pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum
lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami
telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk
membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami
harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Enghiong, murid-murid
pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap
pemberontakan An Lu Shan."
Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa
sekali, jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa
The Kwat Lin tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang
buruan pemerintah.
"Aihhh.... ke mana kita harus mencarinya?"
Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.
"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, dugaan
kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau
Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang
wanita itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan dimana tempat tinggalnya?"
Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena timbul
pengharapan lagi di dalam hatinya.
"Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita
yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu
pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa bangkai, di kaki Pegunungan
Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke
Lu-liang-san!"
Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.
Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu
berkata,
"Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan
daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo
Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya
berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima kasih atas peringatan Locian-pwe," kata
Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah
menggangu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi
dari situ. Setelah ber pamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap.
Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya,
"Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa.
Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan
mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat
Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"
"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu
tempatnya?"
"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan
tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap
Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong mengangguk, mengeluarkan saputangan sutera dan
menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti
buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut
dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya
dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti
sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini!
Padahal, seorang dara muda seperti sumoinya itu
sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman teteram dan penuh
kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersedau-gurau,
tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing
itu menggerakan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat
menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas
panjang. Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam
bayangan pohon.
Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan
perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.
"Suheng...."
Sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat
menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa
lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?"
Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya
dengan jari-jari tangannya, kemudia dalam keadaan tidak sadar meremas rumput
itu sampai hancur di tangannya.
"Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan
terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan
nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa depanya.
"Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita
akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?�
Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah
mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan
rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibu sampai
dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan
kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari
sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti
mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang
menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga,
"Kalau sudah bertemu dengan ibu?"
"Kalau sudah ketemu?"
Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena
hal itu anehlah kalau ditanyakan.
"Tentu saja engkau hidup bersama ibumu......"
"Dan kau?"
"Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi merantau karena
tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti
burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh
oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas
terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng...."
"Hemmm.....?"
"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan
kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman
kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu?
Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu....ibu sudah
meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah
terbayangkan dan di hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan
bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir kemudian menjawab tanpa
keraguan sedikitpun juga,
"Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan
meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab.
Swat Hong bekata lagi.
"Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku
merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan
seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam
melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan
besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat
kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung
bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu.
"Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan
aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon
suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut
menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!"
Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan
membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah
dikunyah-kunyah! Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia
benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoinya memdadak marah seperti
itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang
baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu.
"Sumoi....!"
Dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh. Untuk kedua
kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah
menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang
bergerak menurun dari pelupuk matanya.
"Suheng, engkau....engkau kejam....!"
Dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan
dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan,
membiarkan air matanya membanjir keluar dari celah-celah jari tangannya. Sin
Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala.
"Kejam....?"
Dia seperti hendak bertanya kepada bayangan sendiri,
mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam. Swat Hong memeras
air matanya, mengapus muka dengan saputangan, kemudian mengangkat mukanya
memandang.
"Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri
saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain
agar dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak
punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai
aku. Akan tetapi.....uhuh- uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat
bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!"
"Eh-eh, Sumoi...., bagaimana pula ini? Siapa yang
akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu..... tentu saja
kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta.
Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu,
sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah,
apa kaukira aku harus menungguimu saja?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau
dapat bebas! Aku akan hanya menikah kalau engkau sudah menikah lebih
dulu!"
Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia
merasa penasaran. Sin Liong membelalakan matanya memandang.
"Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan
menikah, Sumoi!" Swat Hong menampar tanah.
"Tass!!" lalu memandang dengan muka merah
kepada suhengnya, disambung kata-kata nyaring,
"Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak
menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang
wanita...."
"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah
selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum
engkau menikah, Suheng!"
Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar
pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani,
pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh
kemarahan. Kalau kelah sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan
mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoinya tentang pernikahan tidak
seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti
sumoinya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya,
sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri dia
memikirkan ini! Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk termenung, agaknya
Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus
dengan saputangan dan dia pindah duduk dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan
tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoinya.
"Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kau marah kepadaku?"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah
itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada
Swat Hong, sayang dan kasihan.
"Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya
engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau
menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat
Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya,
mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga karena
sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban
dengan tidak sabar lagi.
"Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan
merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin
aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri?
Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain
ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu , agaknya tertegun mendengar
jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya,
"Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan
pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh
Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan
menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya
penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukaan sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan
memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta.
Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah
engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta
nafsu."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan
melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang
lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian
setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah
siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan
kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan
itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis
sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau
tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar
bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi
isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak
membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cinta?" Sin Liong
menggeleng lagi.
"Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan
sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga
sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar
dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya
sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi
seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan
jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku
mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat
dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa
sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu,
percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum ...."
"Sudahlah..... sudahlah....! Mari kita melanjutkan
perjalanan, tugas kita masih belum selesai!"
Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki
puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu....! Hati-hatilah....!"
Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya
untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu. Karena agaknya Swat Hong
berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa
Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng
barat!
Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai
ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang
mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring. Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak
memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakan matanya saking herannya.
Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya kerdil, pendek
sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong!
Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat
Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan
tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah
wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang
lebih empat puluh tahun! Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek,
mereka kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah, mengandung
kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang
aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan
bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka
diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi
makin pendek seperti kakat, kadang-kadang berloncatan!
"Kalian mau apa? Pergi....!!"
Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke
arah empat orang kerdil terdekat akan tetapi batapa heranya ketika melihat
empat kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan
gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu
mengelah, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang
yang bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan
lemah."
Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar
sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul
sebesar lengan.
"Kita hadapi mereka dengan saling melindungi,"
Kembali Sin Liong berbisik. Swat Hong adalah seorang dara
yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut akan tetapi melihat hasil
tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh
di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan suhengnya dan
mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan pungung saling
membelakangi hampir bersentuhan.
Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang
diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di depan dada.
Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat
pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali,
hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti setiap gerak-gerik para
pengurung mereka.
"Harap Cuwi jangan salah paham," Sin Liong
berseru nyaring,
"Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau
siapapun juga di tempat ini. Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa
Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan
berterima kasih sekali."
Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak
maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua
orang muda mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua
urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan. Seorang di antara orang
kerdil itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya,
"Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab
dengan bentakan,
"Orang-orang kerdil menjemukan! Kami mencari seorang
yang bernama The Kwat Lin!"
Mata orang-orang itu melotot namun mereka masih tetap
mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang memegang sebatang golok besar
bercincin empat agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya
kecil melintang, bertanya lagi,
"Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau kubunuh mampus!"
Jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja
karena mendengar mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus
mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu
merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khingkang. Tentu
saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat
begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu. Melihat betapa dua orang
muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba Si pemegang golok bercincin
berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara
aneh, yaitu sambil lari mereka menyerang, tampaknya sambil lalu saja akan
tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya. Sin
Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga
menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Trang-trang-cringggg...!!"
Bunyi senjata tajam bertemu dan terdengar pekik kaget
dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat
pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan
senjata dari pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu
saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu
memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka maka mereka lalu
mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata
lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan
sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!"
Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suhengnya
mempertahankan dan melindungi diri saja itu yang dianggapnya terlalu mengalah
dan terlalu "memberi hati" kepada para pengeroyok yang menjemukan
hatinya itu. Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan
mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya berkelebatan
dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka
terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua
orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri
dan terjangan kaki Swat Hong! Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat
dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam
segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima orang!
Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang!
Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua.
Si kerdil Bergolok yang memimpin mereka, segera mengeluarkan suitan aneh dan
gerombolan itu lalu melarikan diri, sambil membawa lima orang teman mereka yang
terluka, Si Pemegang Golok berteriak,
"Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah,
ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!"
"Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong
membentak.
"Heh-heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah
macam apa kau itu?" Si Pemegang Golok mengejek.
"Keparat, siapa takut?" Swat Hong melompat dan
mengejar.
"Sumoi....!" Sin Liong memperingatkan, akan
tetapi Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali,
apalagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin segera
berhadapan dengan musuh besarnya itu. Melihat sumoinya terus mengejar, terpaksa
pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu
berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki daerah yang
tandus berbatu-batu dan di situ terdapat banyak gua batu yang besar-besar, dan
dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam gua tidak memperoleh
matahari sehingga amat gelap.
Dari belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil
itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki gua-gua
di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah guha terbesar dan
yang berada di tengah-tengah di antara semua gua.
"Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah
rawa!" teriak pula Sin Liong,
Akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh
semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam gua besar.
"Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya
sembrono dan berbahaya,"
Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki
guha besar itu. Guha itu gelap sekali, gelap dan sunyi.
"Sumoi....!!" Dia berteriak memanggil, akan
tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan! Dia
terkejut dan dapat menduga bahwa gua itu merupakan terowongan yang bercabangcabang.
Dia maju terus dan benar saja dugaannya, gua yang gelap itu merupakan lorong
dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!
"Sumoi....!!" Dia berteriak lagi dan jauh dari
depan, terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali berturut-turut!
"Celaka," pikirnya, "Kita telah
terjebak!"
Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan sumoinya
yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong
tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa, ternyata
terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari yang masuk dan
memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia
berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang dipilihnya itu ternyata
berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!
"Aihhh....!" dia mengeluh lalu mengerahkan
khingkangnya berteriak memanggil,
"Sumoi....!"
Gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu tidak
jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari memasuki terowongan
sebelah kiri setelah meneliti ke bawah tidak melihat bekas tapak sepatu
sumoinya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari
orang-orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut taksirannya tentu
tidak kurang dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau. Sudah begini lama dan
jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknyapun
belum ditemukan.
"Sumoi....!!"
Dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir
di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup lebar. Sebagai
jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesin gan dan dari depan, kanan dan
kiri menyambar sinar-sinar hitam. Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat
melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah anak panah-anak panah yang
dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah
menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama
dia menangkis dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini
penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana
nasib sumoinya di tempat berbahaya ini?
"Sumoi....!!"
Dia segera membalikan tubuhnya karena ruangan itu
merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang panjangnya
ada dua li itu sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi, kini dia melihat
terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoinya.
"Swat Hong....! Han Swat Hong....!!"
Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang
sekuatnya sehingga dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun
tidak ada jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang. Sin
Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini dia
merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi
tidak melarang sumoinya memasuki gua-gua rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu
melarang dengan kekerasan! Dia berlari terus dengan hati gelisah, akan tetapi
dengan kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat
rahasia yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak
mungkin tangan manusia membuat gua-guh dan lorong-lorong batu dalam gunung ini,
akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan
bahkan dipasang jebakan-jebakan yang jahat!
"Haiiitttt!"
Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali
ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang
telah dilalui, terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tibatiba sekali,
tentu digerakan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi ketika berlari, di
depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga meter, terbuka tiba-tiba
sehingga kalau dia tadi tidak berhasil dan lari terus, tentu akan terjeblos ke
dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap,
akan tetapi desis itu dan bau hamis membuat Sin Liong bergidik dan tahulah dia
bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!
"Kurang Ajar....!" desisnya dengan marah
melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan mempergunakan cara yang
amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan. Dia melompati lubang itu dan
melanjukan larinya. Ketika dia berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti
di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan besar pula, bahkan ruangan ini cuacanya
cukup terang, entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari
mana sinar matahari dapat masuk.
Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu,
tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti
orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah
tua dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar sedangkan
kumis dan jenggotnya panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang
lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa
pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin Liong memandang
penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu
rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba
terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang
kerdil lain yang tubuhnya amat tegap besar membayangkan kekuatan. Juga orang
kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan
berewok tebal menghitam. Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang
ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dari ping gang ke bawah amatlah
pendeknya sehingga kelihatan aneh dan lucu.
Orang Ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan
kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari pada
tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang
baik. Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan,
biarpun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura
dengan penuh hormat,
"Harap Jiwi-locianpwe sudi memaafkan kalau saya
lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya
kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk
mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini
bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi."
Dua orang kakek itu saling pandang dan melihat betapa Sin
Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali
tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya, mereka tertawa dan
kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata,
"Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang
tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa
pula Sumoimu itu?"
"Namaku Kwa Sin Liong dan....sesungguhnya kami tidak
mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini."
"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin
Lihiap?"
"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya
urusan yang amat penting sekali dan tidak menyangkut diri orang lain."
Kembali dua orang kekek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku
Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan
denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah
musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami
keksengsaraan seperti Sumoimu."
Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar
bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali
mendengar akan sumoinya.
"Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan
dia?" bentaknya.
"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!"
Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu
menjawab.
Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali dan dia lalu
menerjang maju dengan tongkat pendeknya.
"Sing....siuuuut.... trang-trang....!!"
Dua orang kakek itu sudah menggerakan pedang dan toya,
cepat dan kuat sekali gerakan mereka. Namun kini kedua orang itu berhadapan
dengan Kwa Sin Liong murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang
hebat-hebat, maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah
menggerakan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua
orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup
ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti hampir
membeku!
Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan
senjata di tangan kiri dan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Biarpun
berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk
membunuh orang, maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya
dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang
menyambarnya dari kanan kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu
dengan kedua tangan kosong! Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang
menangkap toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi
menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena
tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong berteriak dan
mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan lawan yang
menggenggamnya, akan tetapi betapapun ia mengerahkan tenaga, pedang itu tetap
tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin Liong. Demikian pula kakek brewok
yang membetot-betot toyanya, percuma saja, Sin Liong kembali memekik keras,
kedua tangannya bergerak sedikit dan...tubuh kedua orang kakek itu terlempar
membentur dinding kanan kiri!
Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui
kedua senjata itu dan menyerang melalui lengan mereka masingmasing dan memukul
dada, membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar
dinding, terengah-engah dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu dan
tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka secara aneh.
"Kalian hendak lari ke mana?"
Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun dinding
itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek brewok itu
telah lenyap dari dinding kanan kiri. Sin Liong menancapkan pedang di atas
lantai, lalu menggunakan toya rampasannya menghantami dinding kiri, namun hanya
batu permukaan saja yang remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh.
Akhirnya Sin Liong membuang toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis.
Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong
Swat Hong?
Teringat akan sumoinya ini, dia menjadi panik lagi.
Andaikata sumoinya berada di sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak
menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa
sumoinya terancam bahaya, benar-benar meng gelisahkan hatinya. Dia merasa
bertanggung jawab akan keselamatan sumoinya, dan dia merasa seolah-olah
mendengar suara ayah bunda dara itu mencelanya mengapa dia sampai membiarkan
dara itu terancam bahaya.
Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa,
tangannya meraba-raba. Lebih satu jam dia menyelidiki, akhirnya secara tidak
sengaja tangannya meraba sebuah di antara puluhan batu menonjol di dinding itu!
Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap
melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah
sana dinding batu itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak
tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi.
Kembali dia berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan
dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang
dilaluinya dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan keluar. Dia pun tidak
ingin keluar sebelum dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat
bahwa mungkin sekarang di "dunia luar" sudah mulai senja.
Bagaimanapun juga, dia tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong. Sin Liong
berjalan terus, ke mana saja asal bergerak dan dia memperhatikan lorong yang
dilaluinya agar jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya.
Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat
melangkah maju dengan meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar terang di depan,
menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju ke
sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah
lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk
memancing dan menjebaknya! Betapapun juga, dia tidak takut. Dengan hati-hati
dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak
olehnya adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya,
kakinya yang melangkah hati-hati tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba
di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi sebatang obor itu
kepadaku? Sin Liong tidak perduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam
berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat
dia butuh sekali akan sebatang obor.
Kini dia dapat melanjutkan usahanya mencari Swat Hong.
Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara mendengung dari
belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor
itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah
sananya kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan
akhirnya tam paklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil
yang mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam
yang datang berterbangan, Seakan berlomba untuk mencapai sinar terang itu.
Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu dan Sin Liong maklum
sekarang mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik
lebahlebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing
mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya mengandung bisa
yang mematikan. Dia sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong
cepat mengambil sehelai saputangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan
menggunakan saputangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu.
Namun, tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa,
lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran
menggunakan saputangan ini. Biarpun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong
karena terhalang saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin
Liong, menanti saat baik untuk menyerang!
Celaka, pikir Sin Liong. Tidak mungkin dia harus berdiri
di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa gunanya ada
obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya
dengan putaran saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah
batu dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi
mepedulikannya setelah dia tidak memengang obor, dan kini binatang-binatang
kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor. Sin Liong duduk bersandar
dinding, memandang dari jauh.
Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu api,
makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak
berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api seperti gila
itu. Dia harus menghentikan bunuh diri masal yang mengerikan itu. Diremasnya
batu-batu dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak.
"Aduh....! Aduh, mati aku....!"
Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor.
Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan
pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan cara ini
dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan
siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan Swat Hong dia pun
mempergunakan siasat itu!
Semalam Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang
datang mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakanuntuk
beristirahat dan biarpun dia sama sekali tidak dapat tidur. Mana mungkin dia
tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong seperti itu? Betapapun juga,
dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga.
Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah
terganti pagi. Untuk melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di
bawah obor yang telah padam rebah di antara bangkai-bangkai lebah yang hangus.
Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai
mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang datang menghampirinya!
Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu bersama enam
orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya, bahkan ada tangan
yang menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan
ilmunya, menghentikan detak jantung dan pernapasannya.
"Dia telah mati....!!" Terdengar suara di
atasnya. Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring.
"Kita laporkan kepada Lihiap!"
Terdengar suara kekek berjenggot panjang. Pada saat itu,
Sin Liong membalikan tubuhnya, tangannya menyambar dan dia telah menangkap
lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang lain
terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik dinding melalui pintu-pintu
rahasia, meninggalkan Si Kerdil yang telah roboh tertotok. Memang Sin Liong
hanya membutuhkan seorang saja. Dia lalu mengangkat bangun orang itu,
membebaskan totokannya dan menghardik,
"Hayo tunjukkan aku dimana temanku wanita itu
ditawan!"
Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng
kepalanya.
"Aku..... aku tidak tahu...."
"Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan
membebaskannya. Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu."
"Aku.... aku tidak berani...."
Kemudian orang itu berkata, suaranya mengandung rasa
takut dan dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar
oleh dinding di kanan kirinya.
"Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum
oleh atasanmu. Akan tetapi kau menunjukan tempat itu karena kupaksa dan mereka
tentu tahu akan hal itu."
"Aku... aku takut..... takut disiksa...."
Orang itu berkata setengah menangis Sin Liong menjadi
gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus mengeraskan hati. Apa boleh
buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit tengkuk
orang itu, memijit jalan darah sambil berkata,
"Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut
kepadaku? Nah, kautunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama
hidupmu!"
Orang itu menyeringai, makin lama makin lebar dan
tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan
tetapi, rasa nyeri itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling,
menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih,
"Bebaskan aku.... atau bunuh aku saja..."
Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia
mengeraskan hatinya.
"Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan
menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukan tempat sahabatku itu, selama
hidup kau akan menderita seperti ini!"
"Tolong.... aduhhhh... baik, kutunjukkan
tempatnya.... tapi .... tapi bebaskan dulu aku......"
Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa
totokan dia membebaskan orang itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit
dadanya, kemudian memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri.
"Aku akan menunjukan tempatnya, akan tetapi....kau
harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku
pembunuhnya."
Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan
main. Dia tidak mau banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah
.
"Lekas.... tunjukkan....!"
Dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu agar
jangan sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia. Orang kerdil itu
mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong dan ternyata lorong-lorong itu
amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya.
Pantas saja dia tidak berhasil, pikir Sin Liong dan merasa kagum. Lorong
rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih
lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit
dan di situ banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang dandari atas
bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam guha-guha
besar yang berbeda sekali dengan guha-guha darimana Sin Liong dan Swat Hong
masuk.