Pouw Kee Lui biarpun masih muda, namun dia belum pernah
menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu
kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang
ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia
boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi. Ketika tadi Kim-mo Taisu
mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya,
yaitu sebatang tongkat pula, yang ia mainkan seperti orang bermain toya, kini
melihat betapa lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia
menjadi marah dan penasaran. Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat
yang ada rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia
keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian
dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di tangan kanan diputar
dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh.
Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan
pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua
senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan.
Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang
yang memegang pedang dan toya.
Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang
bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan
keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng telah di
"isi" hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh
dan lebih berbahaya daripada sepasang senjata. Kalau senjata tajam hanya
melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit
daging, juga memasukkan hawa beracun! Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan
Cui-beng-ciang yang amat hebat.
Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia
kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap
pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan.
namun Kim-mo Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan
maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap,
diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar
dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi
seorang, biarpun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari
bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka seorang demi seorang. Akan
tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah
berat karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi
secara khusus pula.
Dengan pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian
menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat mempertahankan
diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti. Setelah
kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan
makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang yang telah toboh tadi memiliki
tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi bukannya membantu, bahkan
menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah
lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini dapat bersilat leluasa dan
mencurahkan seluruh daya serangnya.
Kim-mo Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia
menyelingi ayunan cambuknya dengan pukulan Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun
dari Tangan Pasir Hitam yang hanya setingkat lebih lunak daripada tangan
Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun! Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah
permainan tongkat dan pedangnya dengan serangan air ludah! Luar biasa
berbahaya, dan menjijikkan sekali cara bertempur Si Raja Pengemis ini. Akan
tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan dari mulutnya itu benar-benar
tak boleh dipandang ringan.
Ketika Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada
air ludah sedikit mengenai betisnya, terasa panas seperti terpercik air
mendidih!
Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga
orang pengeroyoknya yang lihai ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan
Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya itu
hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang
berhasil untuk menghadapi pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan
kedua ilmu itu yang sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi
sepasang, dapat dimainkan berbareng. Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah
ilmu pedang, penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa
Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai-san-hoat, ilmu kipas
yang juga telah mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya,
Kim-mo Taisu harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara
sempurna. Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan
diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang maupun kipas, hanya mengandalkan
tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebatai pedang. Tentu saja
tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh.
Karena tidak ada pedang, kini ia menggantikan dengan sebatang kayu, sedangkan
tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu
pukulan yang mendatangkan angin.
Betapapun juga, Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia
sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta
tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di
tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit pinggangnya!
Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding
melawan Ban-pi Lo-cia, pernah terbelit juga pinggangnya dan ia tidak mampu
melepaskan diri begitu saja. Oleh karena ini seperti juga dahulu, ia cepat
mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke
arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan
kirinya menampar kepala!
Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak
menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat ini. Terpaksa ia
melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang!
Memang Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan
cambuk, maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee
Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya.
Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari
tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.
Pada saat itu, Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang
lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu
masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui dan kini dalam keadaan
setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee
Lui yang hendak menindas atau membikin patah cabang itu di tangannya. Adu
tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui di atas. Namun
perlahan-lahan cabang liu itu terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja
pengemis itu kalah kuat.
Ma Thai Kun sudah melangkah maju, wajahnya merah dan
membayangkan kegirangan hatinya.
"Sekarang mampus engkau!"
Katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang ke arah
kepala Kim-mo Taisu!
Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling
lekat dengan senjata Si Raja Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam
ke adaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya,
mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk
menangkis.
Kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain
sehingga kini dalam keadaan setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan
tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya!
Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi Lo-cia
sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang sudah
tak dapat menghadapinya lagi itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa
terbahak-bahak disusul ucapan nyaring.
"Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau
masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar memalukan
sekali!"
Dan muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah
lebar menghampiri tempat pertandingan itu.
Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya
bekas suhengnya ini. Dalam keadaan tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu,
berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suhengnya ini
yang keras seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik
kembali tenaganya melompat mundur dan dengan mata beringas ia memandang
suhengnya, lalu memaki.
"Lui Gan, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa
lagi, mengapa kau selalu menentang aku?"
"Cerewet, sebelum menghajar mampus padamu dengan
tangan sendiri, hatiku takkan tentram karena pada suatu saat tentu kau mampus
di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"
"Liu Gan, kau benar-benar terlalu!"
Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil
mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di
lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik seperguruan ini sudah
saling hantam dengan seru.
Biarpun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo
Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk
menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi,
tiba-tiba Ban-pia Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung ke belakang dan
otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.
"Setan iblis manakah yang berani main-main dengan
Ban-pi Lo-cia?" bentaknya.
"Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan.
Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang,
kau rasakanlah tanganku!"
Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya
riap-riapan kumisnya panjang, yang "berdiri" bukan di atas kedua kaki
melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin
atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa
Ong!
"Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?"
Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali. Ketika merobohkan
Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat
dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong sudah
dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat
digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia tahu
betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika
tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak bernafsu
lagi untuk melanjutkan pertandingan. Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat
membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat mengalahkan
bekas suhengnya.
Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat mengatasi
Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat
menangkan Couw Pa Ong, biarpun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil
berkata.
"Couw Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada
urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!"
Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.
"Monyet dari Khitan, kau hendak lari ke mana?"
Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke depan dan kedua tongkat
yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar
Ban-pi Lo-cia.
Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati
Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu
memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan
lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa
terheran-heran. Sudah lama ia mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru
sekarang ia melihat orangnya.
Melihat betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan
bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini
tentulah amat lihai dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari
secepat itu dengan sepasang tongkat saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan
Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan
saja raja pengemis itu lari.
Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suhengnya, namun
setelah beberapa kali mereka beradu lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia
masih belum dapat menandingi bekas suhengnya. Maka setelah melihat betapa
Ban-pi Lo-cia lari juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam ia mengutuk
kecurangan dan sifat pengecut mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan
menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang yang paling hebat.
Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan menyambut datangnya
pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan bertemu di udara dan
akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga meter ke belakang,
akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah segar, melompat
kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.
�Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!"
Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu
berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu. Ia termenung,
menghela napas berulang-ulang. Tadi hampir saja ia menghadapi bahaya maut yang
tak terelakkan lagi. Akhirnya datang pertolongan kalau memang Tuhan belum
menghendaki dia mati, pikirnya. Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Mustahil kakek ini sengaja menolongnya.
Andaikata seorang di antar para pengerook bukan Ma Thai
Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu akan menjadi penolong dan menikmati
kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk
membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw. Adapun muncul
kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya karena belum tentu kakek yang tak dikenalnya
itu akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang aneh kalau
orang belum ditakdirkan mati.
Sebetulnya, mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama
sekali tidak gentar. Hanya ia akan merasa sayang sekali kalau dalam
pertandingan tadi dia yang mati karena dengan demikian berarti orang-orang
macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong, dua orang yang sama sekali tidak ada
artinya hadir di dunia ini karena hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang
lain akan makin merajalela!
Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak, membelalakkan
mata. Gila, pikirnya, mengapa tiba-iba ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak
mungkin ada wanita memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.
Dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya
dan wajahnya berubah, matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika ia melihat
seorang wanita cantik jelita berdiri di situ, menggandeng seorang anak
perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya
dengan sepasang mata berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo
memandangnya dengan telunjuk kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.
Untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya suaranya
gemetar penuh perasaan.
"Mengapa engkau menjadi begini?"
Air matanya membanjir turun membasahi sepasang pipinya.
Kim-mo Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir
bayangan itu, namun sia-sia. Tetap saja wanita cantik itu masih berdiri di
depannya, wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak
mungkin! Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi
Lo-cia!
Sekali lagi ia memandang dengan teliti. Wajah itu, cantik
manis dengan rambut digelung tingi-tinggi ke atas, ujungnya terjuntai ke
belakang, tubuh yang kecil ramping padat itu, tak salah lagi, dia inilah
Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur di Telaga Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah
mati, hal ini ia yakin benar.
"Nona.... Eh, Nyonya..ini.. Siapa....?"
Ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar karena
jantungnya berdebar keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal ini
sudah pasti, ia tidak pernah mengenalnya mengapa wanita itu memanggilnya
Kwee-koko dengan suara begitu mesra?
Wanita itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah,
lalu ia memandang lagi sambil berkata halus,
"Kwee-koko, aku adalah Gin Lin..."
"Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim
Lin...?"
Ia cepat menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama
julukan Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang
pelacur.
"Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara
kembarku."
"Apa...? Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia...
bernama Ang-siauw-hwa dan sudah meninggal dunia?"
"Aku tahu karena engkau sendiri yang menceritakan
kepadaku..."
Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi
melihat wanita itu menyembunyikan senyum manis, senyum membayangkan kegelian
hati. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini seorang yang
tidak beres otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda
Kwee,
"Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana
kau bisa tahu bahwa aku she Kwee?
Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik
napas panjang.
"Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?"
"Suaramu seperti... seperti suara
Ang-siauw-hwa..."
"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang
paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya.
Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari
balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua
tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri
terbelalak dengan muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang
kini berdiri di depannya!
Ia berkata, suara menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh.
"Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?"
katanya sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak,
"Kau rindu....? Ah, dan aku..., aku... ah, sampai
gila aku memikirkan kau....!"
Bagaikan didorong tenaga mukjizat, keduanya saling tubruk
dan saling peluk, berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan
Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata
ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh
Gin Lin dan ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh
"nenek" itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali
perbuatanku!"
Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu.
"Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"
"Apa seperti gembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan
keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang gembel gila yang
begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku
tercinta!"
Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan
terharu sambil menangis sedangkan suaminya masih memondongnya dan
berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa
diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang
mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula menyaksikan mereka
mengucurkan air mata.
Anak itu memanggil. Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti
terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan
wajah pucat.
"Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang
lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu
menggandeng tangan anak itu.
"Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah
kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah
tekadku untuk mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini
anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia
berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu,
kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan
memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan
anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan
menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia
mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku....! Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee
Seng.. agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya
menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu
seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi Ayah Eng Eng. Sekarang Ayah
sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka
kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau
mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa
besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi
ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah
berdosa. Andaikata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekalipun, ia tidak
semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan
sayang kepadamu, anakku!"
Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa
susah?"
"Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan
Ibumu juga!"
Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka
tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di
situ.
"Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat
berkumpul dengan Subo dan ... dan puteri Suhu."
Kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut
bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil
memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata,
"Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa
pamit?"
Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song
menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya.
"Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa
Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan
mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari
puncak. Ketika mengambil air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan
dengan musuh jahat, maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan
mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus
cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau kutahan lagi. Aku memang ada
dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan
bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan
dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang
membantumu."
"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai
jelas."
Terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah
sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata "pulang" lagi.
Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu
mengangguk dan menjawab,
"Bu Song, kau ikut dengan kami."
Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song
masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di
rumah!"
Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song
tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka. Anak itu sedang dilanda kedukaan
hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah
berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa
ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu,
seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah
bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah kepadanya, dan kalau suhunya
sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu
melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik
tangannya.
"Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis?
Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal
betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah
sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis,
benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo
Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah
meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut
dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang
mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu
Song.
"Bu Song, kau lihat aku!"
Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir
menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau
lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut
gurumu?"
"Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau
bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau
tidak mau bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena... karena... dia adalah Kong-kong
teecu..."
Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu
berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya, baik-baik.
"Dia itu Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama
ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau
pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari
ibu..."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk
Bu Song.
"Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu
Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan
mata tebelalak.
"Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu
lagi."
Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari. Akan tetapi
dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Teecu tidak mau Suhu kembalikkan ke rumah Ayah atau
Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
"Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada
Ayah dan Kakekmu, kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari
Ibumu."
Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera,
malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri
kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan
sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya?
Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa
sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi
girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song
seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah
bahagia. Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan tangannya oleh isterinya, yang
kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah
suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan
sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah.
Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan
lari atau diajak memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil
tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya
sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan
sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan
air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi
seperti seorang gembel gila.
Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah
diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin mendiang saudara
kembarnya kepada Kwee Seng, dia dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang
pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini,
adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal. Ketika terjadi perang
yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan
menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi.
Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu
dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari keluar pada saat istana
pangeran itu diserbu musuh dan dibakar.
Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang
sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat
ia terpisah dari saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana
kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari
perang. Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak
orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu yang
kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang
anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia
menyambarnya dan membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh
Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela Kerajaan Tang,
sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong."
Demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya.
"Dia tidak tahu bahwa aku adalah kepaonakan Couw Pa
Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, malah menjadi lumpuh kedua
kakinya, Suhu Kwan Cin Cu terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak
mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang
hebat.
Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat
itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi
sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari
Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku
dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu
silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal
dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa
menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?"
"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, daripada
keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi
dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya
dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda.
Oleh karena itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau
keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai.... Thian membawamu masuk ke sana
dan... dan... lahirnya Eng Eng."
Jari-jari tangan Gin Lin mencengkram jari-jari tangan
suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa
Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di
depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti
itu. Ada pun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk, karena
sebetulnya, sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan
tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak
memberi hormat.
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa
bergelak, kelihatannya girang sekali.
"Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang
sendiri ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami
kepoakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti
Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu,
dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan
kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.
"Maaf, Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama
sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan
ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong
Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang
berkuasa, juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas
Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya
tidak?"
"Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid
saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri
di tempat aman tenteram."
Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas
tanah.
"Gin Lin! Kaudengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah
lupa lagi, akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"
"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku
ke manapun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga, sampai mati pun
keponakanmu ini tidak akan lupa."
Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah
yang pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan
menggunakan kedua "kaki" nya yang berupa sepasang tongkat.
Gin Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu
rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong, dan Sam-hwa yang ternyata bukanlah pembantu
rumah tangga sembarangan saja karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas
panglima pembantu Kong Lo Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda
Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah selesai, dengan terharu Gin Lin berpamit dari tiga
orang pembantu ini, dan mereka pun kelihatan terharu, apalagi Sam-hwa yang
menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai cucunya.
"Harap kalian bertiga jangan terlalu sedih."
Akhirnya Gin Lin berkata. "Betapapun juga, waktu akan membawa kita
berkumpul dalam perjuangan yang sama." Kata-kata ini agaknya menyadarkan
mereka dan berserilah wajah mereka malah mereka mengantar keluarga itu sampai
jauh keluar hutan. Setelah mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya
ucapan isterinya ketika berpisah tadi.
"Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang
pembela Kerajaan Tang. Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan
keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa kerajaan runtuh
diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di
lubuk hati kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat
dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek sudah berusaha keras,
dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang
Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja,
dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan
Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu, agaknya
hati kita masih akan tetap mengandung dendam."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak
menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam itu tidak ada dan tak dapat ia
merasai atau mengerti apa yang diutarakan isterinya itu, karena ia sendiri
tidak pernah melibatkan diri dengan urusan negara.
"Yang terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu
Song." Akhirnya ia berkata, "dan kalau kita terlibat urusan perang,
bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang
tenteram dan jauh dari keributan."
"Ke mana? Asal jangan ke Neraka Bumi!"
Gin Lin berkata dan meremang bulu tengkuknya kalau ia
membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!
"Tempat yang baik dan berjasa." Kim-mo Taisu
berkata, melamun.
"Ihhh, neraka itu kau anggap baik?"
Suaminya tersenyum dan memegang tangan Si Isteri.
"Kalau tidak ada Neraka Bumi, bagaimana kita bisa
saling berjumpa?"
Gin Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum
dan berkata.
"Sudahlah, ke mana kita sekarang pergi?"
Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin
Cu, Gin Lin membaca kitab-kitab dan banyak tahu akan teori ilmu silat sambil
melatih diri sedapatnya. Biarpun kurang sempurna karena kurang bimbingan, namun
dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh
itu mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang
sukar, Gin Lin menggendong puterinya sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan
Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya
mereka sampai juga ke Puncak Min-san di mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah
pondok sederhana untuk tempat tinggal mereka, jauh daripada dunia keramaian.
Mulai saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan
dari Kim-mo Taisu dan isterinya. Akan tetapi oleh karena Bu Song masih saja
kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka hanya Eng Eng saja yang menerima
latihan ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra.
Seperti kita ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu
adalah seorang mahasiswa yang tak pernah lulus dalam ujian. Biarpun ia lebih
gemar ilmu silat, namun sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu
sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai. Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus
dalam ujian tidaklah mudah. Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang
menyerang seluruh pembesar yang berhak memeriksa ujian, jangan harap seorang
mahasiswa akan dapat lulus dalam ujian. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang
yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk melakukan penyuapan,
tidak mau ia lulus ujian yang membuat ia gagal terus dalam ujian lagi.
Karena memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia
dapat mengajarkan ilmu itu kepada Bu Song. Akan tetapi, di samping ilmu menulis
dan membaca sajak ini, diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar
ilmu silat yang secara cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu
kesehatan dan ilmu pengobatan.
Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka
segala macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan
samadhi dan peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju daripada
Eng Eng.
Bertahun-tahun keluarga ini hidup bersunyi, hanya
bertetangga penduduk gunung yang tinggal di lereng Min-san. Hanya sepekan
sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena penduduk tidak ada yang berani
naik ke puncak yang sukar itu. Namun mereka hidup penuh ketenteraman dan
kebahagiaan.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka
agar jalan ceritera dapat lancar, marilah kita mengikuti perjalanan tokoh
wanita kita ini. Sebelumnya telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian
membunuh kekasihnya sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula
atau setidaknya membikin luka berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap
sebagai gara-gara pertengkarannya dengan Tan Hui.
Setelah ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama
kurang lebih dua bulan, kini kembali Lu Sian bebas seperti burung liar yang
terbang melayang di udara. Agak menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus
membunuh Tan Hui, laki-laki yang cukup menyenangkan hatinya, akan tetapi di
samping kekecewaan dan penyesalannya itu, terselip rasa bangga dan girang bahwa
ia kini telah mewarisi ilmu gin-kang dari kekasihnya itu, yaitu Ilmu
Coan-in-hui. Gin-kang ini jauh lebih hebat daripada gin-kang yang pernah ia
pelajari, dan dengan hati gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian
berlari-lari secepat terbang menggunakan Coan-in-hui.
Selagi ia berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar
di lereng bukit, tiba-tiba ia melihat sebuah benda bergerak-gerak jauh di
depannya. Lu Sian kaget seketika melihat bahwa benda itu bukan lain adalah
sebuah bantal atau karung yang dapat berlompatan cepat sekali. Ia mengenal
benda ajaib ini karena di dalam rumah Raja Pengemis, ketika berada dalam bahaya
benda ini telah menolongnya. Maka ia lalu mengerahkan tenaga dan cepat
mengejar. Karena kini ginkangnya memang sudah mulai mahir, gerakannya seperti
burung walet menyambar-nyambar dan biarpun gerakan benda ajaib itu juga amat
cepat, namun setengah jam kemudian ia berhasil memperdekat jarak di antara
mereka.
Akan tetapi benda itu terus berloncatan, seakan-akan
melarikan diri, melompati jurang dan mendaki bukit itu. Lu Sian merasa heran.
Tak salah lagi, pastilah benda itu terisi orang, akan tetapi mengapa begitu
kecil? Apakah seorang anak kecil? Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak
kecil memiliki kepandaian sehebat itu? Orang tua pun akan sukar bergerak
sedemikian cepatnya kalau bersembunyi di dalam karung.
"Locianpwe, tunggu aku mau bicara!" serunya.
Namun bantal itu malah makin cepat bergerak maju
berloncatan. Lu Sian menjadi gemas. Biarpun kau hendak lari ke langit, masa aku
tidak mampu mengejarmu? Demikian pikirnya dan ia mengejar terus.
Akhirnya benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan
Lu Sian telah dapat menyusulnya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam benda
itu,
"Waduh, waduh..., habis napasku...! Terlalu sekali,
mengejar orang terus-terusan. Aku terima kalah!"
Setelah terdengar suara ini, bantal itu pecah dan
muncullah seorang kakek yang pendek kecil berjenggot panjang berkepala besar.
Tubuhnya pendek seperti kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi melihat
kepala yang besar dan penuh mumis dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang
sudah tua sekali! Napasnya mengkas-mengkis, dan begitu keluar dari dalam
karung, ia seperti tidak melihat Lu Sian, melainkan memandang ke kanan kiri
dengan wajah ketakutan, seperti mencari sesuatu.
Lu Sian menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata,
"Kakek lucu, mengapa kau bersembunyi dalam bantal
dan mengapa pula lari terbirit-birit?"
Dengan napas masih tersengal-sengal kakek itu menyusut
peluh di dahinya, lalu berkata cemberut,
"Kenapa kau mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja
aku kalah napas, coba aku masih muda, ilmu gin-kang coa-in-hui itu mana mampu
mengejarku?"
"Kakek yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu
untuk menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu di rumah Kai-ong."
"Sudahlah, apa kau melihat Bu Kek Siansu?"
Tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali matanya
jelalatan ke kanan kiri, ketakutan.
Lu Sian adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat
lagak kakek ini ia dapat menduga bahwa biarpun kakek ini seorang sakti, namun
ada yang ditakuti. Dan agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja ia
pernah mendengar nama Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam
dunia kang-ouw, pasti pernah mendengar nama itu, biarpun jarang sekali yang
dapat bertemu muka dengan manusia dewa yang sakti itu. Maka ia tidak menjawab,
melainkan berkata.
"Sekarang tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu
gerak-gerik manusia dewa itu? Eh, Kakek, siapakah kau dan mengapa bertanya
tentang Bu Kek Siansu?"
"Aku... aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya
dan kakek itu mengangkat muka membusungkan dadanya yang tipis.
"Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar baik-baik supaya jangan
terjungkal karena kaget. Akulah Bu Tek Lojin!"
Belum pernah Lu Sian mendengar nama ini, dan ia
menganggap orang ini selain lucu juga agak sombong. Baru namanya saja Bu Tek
(tidak terlawan)!
"Biar kau tidak terlawan, akan tetapi lariku lebih
cepat daripada larimu."
"Huh, bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah
ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong Liu Gan itu datang bersamamu?"
"Kalau aku panggil dia, tentu ayah datang!"
Sengaja mempergunakan nama ayahnya untuk menakuti orang,
karena ia percaya bahwa nama ayahnya cukup disegani kawan ditakuti lawan,
buktinya Si Raja Pengemis yang lihai itu pun kuncup hatinya mendengar bahwa ia
puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Ho-ho-ho-hoh! Lekas panggil ayahmu datang. Dia
ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan kupermainkan seperti...
seperti... seperti..."
Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel
sebuah batu dan... batu itu mencelat terbang ke atas, padahal batu itu besar
dan amat berat.
"Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia
mencongkel sebuah batu lain yang lebih besar ke atas seperti tadi.
"Dan yang ke tiga ini kawan ayahmu!"
Batu ke tiga mencelat ke atas dan kini tiga buah batu
besar itu melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala Si Kakek Cebol.
Akan tetapi kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke
atas dan... tiga buah batu itu bermain-main di udara, bergerak ke atas dan ke
bawah, tak pernah menyentuh telapak tangan kakek itu, seakan-akan ada hawa yang
berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.
Lu Sian melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan
tenaga sin-kang akan tetapi untuk dapat mempermainkan tiga batu besar seperti
itu, benar-benar membutuhkan tenaga sin-kang yang hebat luar biasa. Kakek ini
sakti sekali dan ternyata kesombongannya bukan kosong belaka.
"Nah, kalian bertiga bisa apa terhadapku?"
Ia lalu membuat gerakan dengan tangannya lalu membentak,
Heran sekali. Tiga buah batu itu bertumpang-tindih
bersusun tiga lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah, seperti dipegang tangan
yang kuat, turunnya pun perlahan-lahan dan tidak menimbulkan debu. Akan tetapi
begitu kakek itu melompat mundur, tiga buah batu yang tersusun itu hancur
berantakan!
Lu Sian menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul
keinginannya memperoleh ilmu dari kakek sakti ini, maka ia cepat menjura sambil
memuji.
"Wah, hebat sekali kepandaian Locianpwe!"
Kakek itu kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak
pinggang membusungkan dada, matanya mengedip-ngedip, hidungnya bergerak-gerak
dengan ujung hidungnya mekar!
"Nah, maka kau jangan main-main dengan Bu Tek Lojin!
Aku pesan kepadamu, dan temannya-temannya, apabila suling emas terjatuh ke
dalam tangan seorang di antara kalian, harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek
Lojin. Mengerti?"
Kakek itu marah-marah dan mengepal tinjunya,
mengamang-amangkan kedua tinjunya di depan hidung Lu Sian.
Lu Sian benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking
gugupnya ia menjawab sambil mengangguk-angguk.
"Aku lihat, dan baunya busuk!"
Lu Sian kaget mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat
lincah dan liarnya kumat sehingga ia bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap
menanti serangan, karena kakek aneh ini tentu marah.
Akan tetapi Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke
depan hidungnya sendiri, mencium-cium. Hidungnya dikernyitkan dan ia berkata.
"Benar bau tak enak, habis belum dicuci,
berhari-hari bersembunyi dalam karung! Eh, bocah, biar tanganku bau, akan
tetapi apakah badanmu lebih keras daripada batu tadi?"
"Maaf Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih
yang kau maksudkan dengan suling emas?"