˜Tak perlu segala kekosongan ini!! katanya. ˜Marilah kita
bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin
bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku.. aku
tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk.!
˜Taihiap tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk
menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat,
Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja
Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!!
Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja
Nan-cao di selatan? Hebat! Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao!
Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia
mengangguk dan berkata.
˜Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan?
Tolong kau tunjukan jalannya agar aku tidak sesat lagi.! Pemburu itu lalu
memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.
˜Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar
tidak terlambat.! Ia bangkit berdiri.
˜Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku,
bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng
nama saya, dan..! akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda
di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya
dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap
diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia
mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda daripada dahulu. Kalau
saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat
mengetahui perubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan
tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja
ia tahu bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu siulian ajaib yang ia terima
dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan cepat tiada pernah mengaso,
pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia
tidak mengenal jalan, maka tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang
amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah
ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah
pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik
sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga
orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah
kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara
mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah
karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua
tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang
setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi orang ke tiga yang
mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang ke dua kepalanya besar
dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bawah ketiga
orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
˜Ha di sinilah tempatnya. Pangcu berpesan agar kita
menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah
kuburan. Ngeri juga!! kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam
dari punggung, meletakkahnya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi
isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan
menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apalagi si
penggendong karung peluhnya membasahi leher dan mukanya.
˜Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker
begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata
kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan semangat, heh-heh!! kata
pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara mereka.
˜Sam-te, jangan main-main kau!! cela si kepala besar,
˜Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau
mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu
akan terpisah dari leher?!
˜Wah, Suheng, aku bukan seorang tolol. Mana aku berani
mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok
untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah
dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah.. berabe,
baru tiga hari dia bunuh diri!! kata lagi si bopeng.
˜Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu!! kata si juling.
˜Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu
juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet..!!
˜Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang
dimakan rayap..!!
˜Sttt, sudahlah!! tegur si kepala besar. ˜Kalian ini
kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan.
Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biarpun aku sendiri tadi kagum menyaksikan
nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan
main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya.!
˜Takut apa, Loheng? Biarpun dia lihai, akan tetapi ia
sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya,
hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang
mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,!
Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan
membuka tali pengikat mulut karung.
˜Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia
tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu!!
Kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya, ketika mendengar ucapan
terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah
mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga,
tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh seorang gadis muda yang luar
biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang
putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat
kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak
aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu.
Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan
hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan
pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah
ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
˜Coba lihat, alangkah manisnya!! kata si juling.
˜Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,! sambung
si kepala besar.
˜Suheng, suheng.., a.. aku.. kan boleh ya aku..
menciumnya satu kali saja?! kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan
sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.
˜Sam-te, jangan gila kau!! seru si kepala besar.
˜Mencium sih tidak ada halangannya, biarpun kita bertiga
melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia
belum sadar?!
Bu Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat
keluar dari tempat sembunyinya sambil membentak.
˜Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis,
benar-benar sudah bosan hidup!!
Tiga orang itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli
mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak
dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan,
ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa
nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk. Akan tetapi dua orang pengemis
lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri
menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah menyambar tongkatnya, sedangkan si
bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
˜Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan
Tiat-kak-cao (Ular Tanduk Besi)?! seru si kepala besar yang mempunyai ˜tanduk!
daging di jidatnya.
˜Tak perlu tahu aku siapa, lekas kalian minggat dan
tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!! bentak Bu Sin, hampir
tidak kuat menahan kemarahannya.
Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus
marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka bopeng.
˜Sam-te, kau masukkan lagi dia ke dalam karung agar
leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini.! Setelah berkata
demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran
helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.
Si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap
mengeroyok, mendengar perintah ini, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata
berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan,
˜Heh-heh.. pipimu begini halus..!! Ia pikir tidak ada
salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia
menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman
kurang ajar.
˜Plakk! Ngekkk..!! Si muka bopeng memekik lemah dan roboh
terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping. Kiranya gadis
yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu
hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan tanpa dapat
mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!
˜Siluman betina, berani kau memukuli temanku?! teriak si
mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang, langsung ia
menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis. Dengan gerakan masih lemah dan
terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia didesak terus oleh
lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening,
masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas.
Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat
mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit
duduk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil
mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!
Sementara itu, Bu Sin yang bertangan kosong pula
menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini
maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan
tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu tongkatnya ganas sekali,
menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun, dengan ilmunya yang baru, ia
dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus
gin-kangnya juga mengalami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya.
Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat
berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat
kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar
dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini
menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah
sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya
mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan, kepalanya meluncur ke arah
pusar lawan.
Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini,
Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi
kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda
itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk
menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah
mencengkeram tongkat lawan. Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot
untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak
dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar.
Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan
diri kecuali meloncat mundur dan untuk melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan
tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin!
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar
turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh
kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu
betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet
dengan tongkat rampasannya.
˜Dukkk!! pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati
karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali, sebelum
ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat
berkutik lagi. Kekagetannya bertambah ketika ia mengenal wajah kakek berambut
riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan
Kai-ong!
Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya,
namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.
˜Bocah tiada guna, minggir!! tiba-tiba terdengar seruan
dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja, kemudian
gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau
saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri
dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini adalah seorang tokoh besar
yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun
seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.
˜Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh
memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!! kata It-gan Kai-ong. Tiga
orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin
dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan
Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sekti ini berjalan dengan
terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan
sebuah kuburan kuno.
Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan.. tiba-tiba
batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga
orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki
tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri.
Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu
tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang
pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu
terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi
juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan
yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan
bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke
sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus diletakkan
di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat
sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi
arak dan air.
˜Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang
pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu.
Tahu?! Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika
mereka meninggalkan ruangan itu.
Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik
itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut.
Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari
dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba,
akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa
panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk
bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka
mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk
bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi.
Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit
pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan
halus ia berkata,
˜Terima kasih atas pertolonganmu..!
˜Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak
dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat
membebaskan diri.!
˜Yang kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat daripada
perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil maupun tidak, aku amat
berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan
saudara dan saudara ini seorang tamu dari golongan mana?!
Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat
wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia
bergantung kepada bibir itu.
˜Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.!
˜Ehhhhh.. ap.. apa..?! Bu Sin tergagap, mukanya menjadi
merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.
Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih
bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau menyambarnya, menyilaukan
mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah
kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa
seperti hendak meletup.
˜Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini,
siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat
yang mana?!
˜Oh.. aku.. namaku Kam Bu Sin, aku.. seperti yang Nona
lihat sendiri, aku bukan tamu, aku.. aku masuk ke sini bukan atas kehendakku,
aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya
julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona
maksudkan..!
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang
manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak
terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.
˜Kau.. namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si
Ek?!
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran.
˜Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang
Ayah?!
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah
girang.
˜Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih
ada hubungan.. eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung..
keponakanku!! Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar
nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara
yang berbisa!
˜Ah, tidak mungkin!! Tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan
sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan
dara jelita ini!
˜Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi.. bibiku sedangkan
usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?!
˜Sembilan belas!! Dara itu menjawab cepat, seakan-akan
khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
˜Nah, sembilan belas malah! Aku yang sudah berusia dua
puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?!
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan
tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang,
dari pemuda itu.
˜Heii..Dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang
keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari
keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan
keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku
bibimu?!
Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak
jelas itu.
˜Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu,
tentu keponakanmu itu Eng-moi atau..! Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia
menatap tajam.
˜Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?!
˜Siapa lagi kalau bukan dia?!
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati
Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari
kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki
tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini,
bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan terancam maut dan
malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya.
Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa
gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak
nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
˜Di mana dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu
Song?!
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan
ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi
merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum
ia berkata, malah setengah menggoda.
˜Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan
hormat, baru aku mau bicara!!
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan
kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat.
˜Maaf.. maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu
dengan Kakak Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk
mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.. aku mengharapkan dapat
bertemu dengannya.!
˜Sebut dulu aku bibi, dia itu keponakanku dan kau yang
menjadi adik tirinya berarti keponakanku pula.!
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau
menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah.
˜Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song
adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya
sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi.
Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?! Ia tersenyum dan
memandang tajam.
Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang
dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan,
˜Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko.!
˜ha..ha..Adikku yang manis, enak saja kau ini,
menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.!
˜Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua
Beng-kauw..!
˜Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau
aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri
Beng-kauwcu yang terhormat dan..!
˜Hushhh, apa-apaan ini? Bu Sin koko, kau tadi menyebut
adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara
sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat denganku?!
˜Ti.. tidak begitu, tapi kau..!
˜Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya
It-gan Kai-ong si Iblis gembel itu cukup menghormat kita sehingga di sini
tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.!
Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa
gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak
pemalu. Kiranya puteri ketua Bengkauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini
menyebut kakaknya sebagai keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw
yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari
kakak tirinya itu.
˜Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan
perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada di sini dan
menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di mana?!
˜Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah namanya sikap jantan,
tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak
mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang!
Ketahuliah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah
teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,!
˜Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong..!
˜Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu
kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya
ada komplotan gelap di antara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin
juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan
keponakanku..!
˜Kau maksudkan Kakak Bu Song..?!
˜Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami
berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang
mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia..!
˜Wah, dia hadir juga dan dia.. dia juga lihai seperti
kau, Hwee-moi?!
Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu.
˜Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku?
Tentu saja tidak! Maksudku.. aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu
melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan
mencurigakan.!
˜Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?!
˜Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali
bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima
sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain. Dari
Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas permata yang dibawa
oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan
tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan
permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya hanya
batu-batu sungai yang tidak berharga!!
˜Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!!
˜Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan
panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang
mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil
barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan
Kerajaan Sung.!
˜Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?!
˜Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu
dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap
pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga
diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni.., eh
kau kenapa?!
Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda
itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan
kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah mendengar disebutnya
Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.
˜Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu
orang-orang jahat sekali..!
˜Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis.
Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang
lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga
datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara
sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya,
tapi..!
˜Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar
julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?!
˜Tentang dia.. mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja
keadaannya tidek mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi,
di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja
seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa
Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah
orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja
untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang
melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan
Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung,
di sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak
tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang
pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka
pergunakan untuk berlumba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia
persilatan, karena kabarnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari
kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu
mendengarkan penuturanku?!
˜Ah, tidak.. tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh
sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar
bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang
berjuluk Suling Emas..!
˜Wah, Koko! Kau ini apakah hendak main-main?! Dara itu
melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri. ˜.. hemmm, dia bilang pernah
mendengar nama Suling Emas.. apakah tidak gila ini..?!
˜Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau
belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau
memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan..!
˜Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu
lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada ini..!
˜Keponakanku itu, kakak tirimu Bu Song itu kebetulan
mempunyai julukan Suling Emas..!!
Bu Sin melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak
lebar, keheranan memenuhi dada dan kepalanya.
˜Kau bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu
kakak kami sendiri..? Wah, pantas, pantas.. dia selalu menolong kami! Ah,
memang patut ditampar kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok.
Ha-ha-ha-ha!!
Bu Sin tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari
kepalanya sendiri.
˜Ha-ha-ha, benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang
pelajar! Wah, kakakku demikian gagah perkasa.. ah, alangkah akan girangnya hati
Ayah kalau mengetahul hal itu.. sayang, Ayah.. takkan pernah tahu..! Dengan
kepalan tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air
mata dari pelupuk matanya.
Sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin
memandang kepada Liu Hwee sambil tersenyum malu.
˜Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah
sekali. Kau harus tahu, selama hidupku, belum pernah aku bertemu dengan kakakku
itu, dan yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah
menyangka bahwa Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak
mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa
berada di sini. Siapa tahu dan siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh
orang tua kami itu malah kakak sulung kami!!
˜Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas
semenjak kecilnya telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang
membingungkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak
tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang
tahu, hanya dapat menduga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat
menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh.!
˜Pertemuanku denganmu benar-benar mendatangkan rasa
bahagia karena rahasia kakakku telah dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang
bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan dapat berlangsung terus. Bagaimana aku akan
dapat bertemu dengan kakakku itu kalau sekarang kita berada dalam tahanan di
bawah tanah dan tidak ada jalan keluar? Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak
berhasil menyelamatkanmu, malah aku sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang
berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai dapat ditawan pengemis-pengemis itu
dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan pingsan?!
˜Belum kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi telah
kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan penyelidikan. Tentu saja kami
berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki para tamu yang termasuk
tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku menyelidiki ke tempat para tamu yang
rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat pemondokan para tamu rombongan
dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang pengemis yang mengempit tubuh dua
orang pula sedang melarikan diri. Aku tertarik sekali, mengira bahwa mereka
tentu melakukan kejahatan. Karena mereka berada di negeriku, aku harus mencegah
orang berbuat kejahatan, maka aku lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam
sebuah hutan, tiba-tiba dua orang itu melepaskan orang-orang yang dikempitnya
dan.. ternyata dua orang yang dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga
berpakaian pengemis dan tertawa-tawa, lalu empat orang itu mengeroyokku! Mereka
tidak menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan
mereka tidak ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud
menculikku. Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak
mereka bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat
aku sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang
demi seorang, muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih,
akan tetapi dia bukan tandinganku. Terlampau kuat, akhirnya aku roboh pingsan
dan selanjutnya kau menolongku.!
˜Agaknya mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi.
Apakah kehendak mereka?!
˜Mungkin karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena
It-gan Kai-ong hendak mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak
mungkin berani menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan
berhadapan dengan Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi demikian,
biar di dunia ini ada seratus It-gan Kai-ong, mereka akan dibasmi semua!!
˜Atau dia mempunyai rencana yang amat jahat! Ah, Moi-moi,
kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat bantuan Kakak Bu Song..! Bu
Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan tetapi segera ia mendapat
kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan ini tertutup semua
oleh dinding batu karang yang amat kuat, adapun pintu satu-satunya adalah pintu
terbuat daripada besi yang agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin
dibuka dari sebelah dalam.
˜Sin-koko, tak usah dicari jalan keluar, tempat ini
memang dahulu dipergunakan untuk tempat tahanan tawanan penting, dan rahasia.
Hanya ada satu cara..!
˜Bagaimana caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas
katakan dan mari kita segera keluar dari sini!!
˜Kita makan dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar
dan kita perlu memulihkan tenaga untuk menghadapi terjangan keluar.! Gadis itu
lalu meraih panci dan memilih roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang ragu-ragu
untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu Hwee menggigit roti dengan
enaknya dan mendengar gadis itu berkata kemudian.
˜Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak
beracun.!
Bu Sin tersenyum dan ia pun segera makan roti itu, karena
selama ini ia hanya makan buah-buah saja maka roti sederhana itu terasa enak
sekali,
˜Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa makanan dan
minuman ini tidak beracun?!
˜Mudah saja. Kalau lawan hendak membunuh kita, apa
sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada makanan atau minuman
yang belum tentu kita sentuh?!
Bu Sin mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji
kecerdikan dan ketenangan dara muda itu. Setelah mereka kenyang mengisi perut,
Bu Sin yang sudah tidak sabar bertanya.
˜Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka
ini?!
˜Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di dalam
neraka, Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini.!
Tiba-tiba jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita
ini senang berada di situ bersama dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri
merasa senang di tempat seperti itu? Tak mungkin.
˜Adikku, Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau
bersamaku di sini, akan tetapi alangkah akan lebih menyenangkan sekali kalau
kita berada di luar tempat tahanan.!
Liu Bwee mengangkat muka memandang tajam. Kembali mereka
saling berpandangan dan biarpun mulut mereka tidak mengeluarkan suara di saat
itu, namun pancaran kasih terbawa sinar mata tampak nyata dan terasa oleh kedua
fihak sehingga kembali kulit pipi menjadi merah sendiri dan keduanya untuk
sejenak merenggut pandang mata yang saling peluk.
˜Ruangan ini tidak mempunyai jalan keluar lain kecuali
pintu itu. Pintu terkunci dan di luar pintu tentu dijaga. Kita tidak
bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan Kai-ong di situ, kita tidak
perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan
rahasia di dalam terowongan ini yang belum tentu dikenal pula oleh mereka.!
˜Kalau begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan
ini?!
˜Kau seranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling
serang, akan tetap jangan ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku..!
˜Apa kaubilang? Mana bisa.. apa artinya itu, Moi-moi?!
Melihat kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli,
juga besar hati karena pemuda yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja
bingung dan menolak untuk memukulnya roboh!
˜Hanya ada satu cara untuk memancing mereka membuka pintu
ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka
tidak mengganggu aku, ini hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki
aku mengalami malapetaka atau terganggu di sini karena dia tidak berani
menghadapi kemarahan Ayah dan Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur,
tentu mereka merasa khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apalagi kalau
mereka membuka pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka
menyerbu masuk untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat
itulah kita pergunakan untuk menerjang keluar. Mengertikah engkau?!
˜Tapi.. Moi-moi, aku hanya akan memukul secara pura-pura
saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana bisa aku memukulmu
sungguh-sungguh?!
˜Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau orang-orang
bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah ahli-ahli sitat
yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah sungguh-sungguh,
biar keras asal jangan kaupergunakan lwee-kang. Percayalah, hanya dengan cara
itu usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi
lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kau desak aku dan aku
mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan.. Kau pukullah punggung kanan ini
sampai aku terjungkal..!
Sambil berkata demikian Liu Hwee memperlihatkan
gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biarpun hatinya merasa
tidak enak sekali. Setelah mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang
orang muda ini mulai berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan
pecahan batu pada pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka
membuat suara gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan
hal ini dan beberapa kali mereka menendang daun pintu.
Akhirnya daun pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi
isyarat kepada Bu Sin dan sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh! Begitu
bertanding, kagetlah Bu Sin karena dara jelita itu benar-benar hebat
kepandaiannya. Pertemuan lengan membuat tubuhnya kesemutan, dan gerakan-gerakan
Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya. Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan
sungguh-sungguh, ia bukan lawan gadis perkasa ini.
˜Jahanam, berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?! Liu
Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangannya.
˜Nona manis, kalau tidak mau menyerah kepadaku lebih baik
kau mampus!! teriak Bu Sin dengan kata-kata dibuat kurang ajar.
Daun pintu terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang
bopeng mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka pengemis bopeng tadi.
Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga, maka si bopeng tidak
segera membuka pintu melainkan mengintai ke dalam. Melihat itu, Bu Sin berseru
keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang berbahaya, sambil mengerahkan sin-kang
yang ia pelajari dari kakek sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin.
Liu Hwee mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan
tubuh dan terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan
oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat
menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan tetapi
menyimpan tenaga lwee-kang, hanya mempergunakan gwa-kang atau tenaga kasar,
yaitu tenaga gerakan otot.
Kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga
hatinya serasa ditusuk.
Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke
belakang, menumbuk dinding batu dan terjungkal roboh. Bu Sin sampai menjadi
pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar itu dapat
membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan permainan
sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia meloncat ke dekat Liu Hwee,
menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, merangkulnya untuk memeriksa
keadaannya.
˜Setan kurang ajar, kau sudah bosan hidup!! teriak si
muka bopeng yang sekarang membuka daun pintu dan menerjang masuk, diikuti si
mata juling dan si kepala besar. Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata
mereka. Akan tetapi Bu Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit
ke kiri dan bagaikan kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki
rongga perut si juling.
˜Ngekkk!! Demikian si juling mengeluarkan suara tertahan,
napasnya terengah-engah, matanya yang juling itu berputaran sebelum ia roboh
pingsan.
Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena
ketika ia menendang tadi, dua orang lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri.
Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu
melayang ke arah leher kiri sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan
tongkatnya ke arah iga kanan! Bu Sin terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah,
akan tetapi kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin
sudah berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling.
Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih telentang
itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.
˜Blukkk! Aduhhhh..!! Tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal,
dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap dan ia berkelojotan tak dapat
bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh
Liu Hwee!
Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup
menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk
tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia
pun roboh mandi darah.
Liu Hwee berbisik. Dengan pedang rampasan di tangan, Bu
Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa.
Mereka berlari-larian melalui lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.
˜Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin
kita keluar dari situ.!
˜Kita terjang saja, membuka jalan darah!! kata Bu Sin
gagah.
˜Sia-sia, apalagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana.
Aku tahu jalan rahasia. Mari..!! Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin
ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap.
Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit
halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan
serasa ada getaran di antara jari-jari mereka. Kembali Liu Hwee berhenti
tiba-tiba di bagian yang gelap, melepaskan tangannya dan berbisik.
˜Sin-ko, kau pegang batu yang kiri, aku yang kanan.
Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita
tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kau raba karena agak gelap.!
˜Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi.!
Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang
yang terdapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia
menekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu,
˜Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko!!
Mereka menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan.
Setelah mengerahkan sin-kang, barulah kedua batu itu bergerak menggelinding
perlahan, membuka sebuah pintu!
˜Cukup, lekas masuk!! Liu Hwee berbisik sambil menarik
tangan Bu Sin. Pintu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin dengan tubuh miring.
Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu
menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di
terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi
karena ada cabaya masuk ke dalamnya.
˜Selamat!! bisik Liu Hwee sambil tersenyum. ˜Kau pandai
sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.!
˜Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justeru aku tadi telah
membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu.
Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak
menolongmu..!
˜Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu
itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau
betul-betul hendak.. berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak
bersandiwara.. ah, kau baik sekali, Koko.!
˜Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan
bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang bagaimana kita dapat keluar?!
˜Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang
luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini
penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan
aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk menolongmu.!
Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak
ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang seram seperti ini tentu
saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya
besar, apalagi setelah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan
telapak tangan Liu Hwee yang menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar,
akan tetapi makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali.
Dari tekanan tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di
tempat berbahaya.
Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee
menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat
sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat akan
pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan mengajaknya berlutut
di atas tanah yang ternyata becek dan basah!
˜Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon
ampun!! kata Liu Hwee dengan Suara aneh.
Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah
suara dari sudut yang gelap.
˜Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan
pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?!
Bu Sin diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia
akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu,
akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apalagi kata-katanya begitu tak
tahu malu!
˜Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua
ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri,
terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat di sini.!
˜Hemmm, kau tahu siapapun dia yang berani menggangguku di
sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini!!
˜Ampunkan dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat di sini,
melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah menolongku dari tangan anak
buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum
membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun harus
menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih
dulu, Cici.!
Terdengat suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu
tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan
tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni!
˜Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan
dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan sebelum memeriksa dia orang apa!!
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau harum menyengat hidung. Bu Sin
kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang
halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak!
Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan
terdengar suara yang tadi.
˜Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak
patut menjadi mantu Beng-kauwcu!!
˜Cici..!! Liu Hwee memprotes.
˜Cerewet! Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda
ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau
dia ini anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang
apa, Siauw-moi?!
Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa
siapapun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya keterlaluan dan amat menghina
Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini
pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu
Hwee mencengkeram tangannya dengan erat.
˜Dia orang biasa saja, Cici.!
˜Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?!
˜Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak
mengenal derajat maupun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya
tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan melarang
orang lain?!
˜Sudah, sudah..! Kau cerewet seperti Ibumu! Kau hendak
menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet! Pergi! Bawa kekasihmu ini
pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus di kepalanya!!
˜Terima kasih, Cici, selamat tinggal,! kata Liu Hwee yang
cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi
dari situ, melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan suara. Ada seperempat jam
mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah gua yang tertutup
rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil!
Setelah melompat keluar, barulah Liu Hwee melepaskan
tangan Bu Sin dan.. ia menjatuhkan diri ke atas rumput sambil menangis, menutupi
mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang!
Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee,
˜Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?!
˜Aku malu.. aku malu setengah mati..! Perlahan Bu Sin
bangkit berdiri.
˜Memang kurang ajar dia! Menghinamu sesuka hatinya. Biar
kuhajar dia, Moi-moi!! Cepat Bu Sin melompat memasuki gua itu.
˜Sin-koko, jangan..!! Liu Hwee kaget, berteriak dan
melompat bangun.
Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar
suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang keluar dari dalam gua. Jatuh berdebuk di
depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi
tiga potong!
˜Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat,
Siauw-moi!! suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera
lenyap lagi.
˜Sin-ko..! Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin
yang merintih perlahan,
˜Cici! Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa
denganmu!! teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu
Sin. Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika
memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena
terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya,
pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.