Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri
akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara
secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau
belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian,
sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati
Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak
yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang
membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia
merangkul pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan?
Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kaulakukan ketika kau mendaki bukit
ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu." Bu Song lalu memasuki hutan di
sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia
mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang.
Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning
kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam
kantung uang sampai penuh.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda,
nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap
ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk
telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan
tak dapat pula ia mempertahankan diri, buah-buah berikut pundi-pundi uang
terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon! Untung baginya,
Pohon itu tidak terlalu tinggi, juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh
cabang dan dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah,
Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia
melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat
kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit.
Betapapun ia menahan dan menutupi telingan dengan kedua
tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa seperti
jantungnya ditusuk-tusuk jarum, Bu Song bergulingan di atas tanah,
merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara
kelenengan itu makin keras dan kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia
teringat akan nasihat suhunya,
"Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di
dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang
naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya
hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan
tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan
kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi
satu dan memaksa diri "menunggang naga" seperti yang pernah ia latih
di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah
berhasil "tenggelam" ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga
pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai
daya mukjizat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini
seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena
telinga itu telah ditinggalkan "penumpangnya" atau penjaganya yang
sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi,
baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mukjizat itu,
maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan
membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat
suhunya.
Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar
dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi
besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali.
Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir
menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan
pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melenggut
di atas punggung keledai, hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk
dan jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung.
Ketika keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih
duduk bersila di bawah pohon, kakek itu mengeluarkan seruan tertahan dan
keledainya berhenti. Ia lalu melompat turun dan sengaja membunyikan
kelenengannya di depan Kim-mo Taisu sambil mengerahkan tenaganya.
Terheran-heran kakek itu melihat betapa orang yang duduk bersila itu masih saja
duduk, sama sekali tidak bergeming biarpun bunyi kelenengan itu sebetulnya
dapat merobohkan lawan tangguh!
Tiba-tiba Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek
itu lalu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha! Makin tua kau makin ugal-ugalan saja,
Pat-jiu Sin-ong!"
Kakek itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia
membungkuk untuk memandang lebih teliti orang yang duduk bersila itu. Seorang
berusia tiga puluhan, tubuhnya tegap rambutnya riap-riapan mukanya terselimut
awan kedukaan, pakaiannya tambal-tambalan dan kakinya telanjang.
"Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau
menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi bekas calon mantumu? Ha-ha-ha!"
Kim-mo Taisu melompat berdiri.
"Hehh....?? Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee
Seng...!" Kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo Taisu dari kepala sampai ke
kaki dengan pandang mata tidak percaya.
"Cukup Kim-mo Taisu saja, Kauwcu."
"Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu....?" Kakek itu
lalu merangkul pundak dan tertawa bergelak-gelak.
"Siapa akan mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan
tampan, sekarang... sekarang..."
"Ha-ha-ha! Alangkah akan girang hatiku kalau melihat
anakku berpakaian gembel duduk disampingmu bersiulian di bawah pohon! Ahhh,
sayang tidak demikian jadinya. Eh, Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada
penjahat secara menggelap menyerangmu sehingga kau jatuh ke dalam jurang.
Sungguh mati, kukira kau sudah hancur di dasar jurang."
"Sebaiknya begitu, sayang nyawaku belum mau
meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih ingin membiarkan tubuh ini
menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa sampai di sini?"
"Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh,
apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia
enggan bicara tentang bekas kekasihnya itu.
"Dia sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam
Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya kau. Kalau dia menjadi isterimu, agaknya kau
pun akan makan hati seperti aku yang menjadi ayahnya. Dia pulang menceritakan
bahwa dia meninggalkan suaminya, ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah
minggat sambil mencuri kitab-kitabku. Benar-benar anak durhaka dia! Aku
mencarinya sampai berbulan-bulan. Kau benar-benar beruntung dapat terlepas
daripadanya."
Tiba-tiba Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang
awan.
"Ha-ha-ha! Pat-jiu Sin-ong, kau bilang aku bahagia
karena terlepas daripadanya, bukankah kau juga sudah terlepas daripadanya?
Bukankah dengan demikian kita sama-sama menjadi orang bahagia?" Suara
ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh hutan dan di dalam hatinya, kakek itu
terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang terkandung dalam suara tawa
itu. Maka ia pun tertawa dan berkata.
"Kau benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang
laki-laki, muda dan tua, tunangan dan ayah, terbebas dari rongrongan seorang wanita
siluman! Ha-ha-ha! Kita harus rayakan ini, tunggu... aku membawa arak
baik!" Kakek itu lari ke arah keledainya yang makan rumput tak jauh dari
situ, mengambil guci arak dari atas pelana, menuangkan arak ke dalam dua buah
cawan dan membawanya kembali kepada Kim-mo Taisu. Mereka lalu minum arak
bersama sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw
bertemu dan kecocokan watak mereka mendatangkan kegembiraan sementara.
Saking gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak
laki-laki melihat dan mendengar percakapan mereka. Anak ini Bu Song dan
mendengar bahwa kakek itu adalah Pat-jiu Sin-ong, wajahnya berubah. Kiranya
orang tua itu adalah kakeknya sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan
kedua orang tuanya tentang kakeknya, Ketua Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu
Sin-ong bernama Liu Gan. Dan sekarang kakeknya berada di sini, kalau
mengenalnya sebagai putera ibunya, tentu akan membawanya ke selatan! Menurutkan
kata hatinya Bu Song sudah ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu, akan
tetapi ia teringat akan gurunya yang lapar, maka ia lalu menurunkan buntalan
pundi-pundi uang berikut apel, dengan hati-hati dan perlahan ia meletakkan
buntalan itu ke atas tanah, kemudian berindap-indap sambil menoleh memandang
kedua orang yang masih minum sambil tertawa-tawa, pergi dari tempat itu. Dua
butir air mata menghias pipinya ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang
ibunya. Setelah dua orang itu tidak tampak lagi. Bu Song lalu pergi secepatnya.
Setelah arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong
melepaskan rangkulannya, melempar cawan kosong ke bawah lalu berkata.
"Kim-mo Taisu, sekarang kau bersiaplah, mari kita
mengadu kepandaian!"
Kim-mo Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya
pula ke atas tanah.
"Pat-jiu Sin-ong, apa pula ini? Kau tahu bahwa aku
takkan bisa mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur
denganmu. Tidak ada alasan bagiku maupun bagimu untuk saling serang."
"Ha-ha-ha, tidak ada alasan katamu? Akulah yang
membuat engkau terjungkal ke dalam jurang. Nah, sekarang tiba saatnya kau harus
membalas dan aku bersedia melayanimu untuk membayar hutang. Aku yang membuatmu
menjadi seperti ini, tak usah kau pura-pura, seorang laki-laki harus berani
menghadapi kenyataan!"
Akan tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
"Kenyataan nya bukan seperti yang kaukira. Aku tidak
mendendam kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa tahun yang lalu. Dan
aku tahu bahwa kau tidak mempunyai niat buruk, dahulu maupun sekarang Pat-jiu
Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku tidak suka bermusuhan
denganmu."
"Eh-eh!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan
suara kecewa.
"Siapa bilang tidak ada alasan? Bertahun-tahun aku
tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku gatal-gatal. Kalau kau tidak
mendendam kepadaku, sebaliknya akulah yang mendendam padamu dan sekarang kau
harus membereskan hutangmu kepadaku!"
"Hem, hem...! Kalau begini lagi. Katakan, aku
berhutang apa kepadamu? Kalau memang berhutang, tentu saja akan kubayar."
"Ha-ha-ha, kau masih berpura? Aku kehilangan anak,
aku menderita karena anak. Semua ini gara-gara engkau dahulu menolaknya. Aku
baik-baik menyerahkan dia kepadamu, akan tetapi kau tidak mencintanya dan tidak
mau menjadi suaminya maka timbul urusan seperti sekarang ini. Andaikata dahulu
kau suka memperisteri dia, tentu kita semua akan hidup bahagia. Nah,
penghinaanmu itu bukankah hutang besar?"
Tertusuk hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang
menolak, melainkan Liu Lu Sian. Dia mencinta Lu Sian, akan tetapi Lu Sian tidak
mencintanya! Akan tetapi sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku
terus terang akan hal ini kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali
memperlihatkan kepandaiannya. Kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu,
tingkatnya telah maju amat jauh. Kalau sebelum masuk ke Neraka Bumi saja ia
sudah sanggup menandingi Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu
merobohkan kakek sakti ini secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih
melawan seorang lawan yang tangguh sedangkan sekarang tiba kesempatan yang amat
baik.
"Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong.
Nah, aku sudah siap, kau mulailah!"
"Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau
waspadalah!" Tiba-tiba ia memekik keras sekali dan tubuhnya bergerak ke
depan, jubahnya yang leber itu berkibar mendatangkan angin yang dahsyat.
Kim-mo Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga
khi-kang yang hebat sekali dan seandainya ia tidak mengalami latihan luar biasa
di Neraka Bumi, oleh daya pekik ini saja ia tentu sudah kendor semangat. Cepat
ia menggeser kakinya miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus
menghantamkan tangan kanannya dengan bantingan lengan dan tangan terbuka,
serangan yang kelihatannya bertahan saja akan tetapi sebetulnya hebat bukan main
karena ia telah mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).
"Beng-kauwcu, awas serangan balasan!"
Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa
didahului angin pukulan akan tetapi telah terasa hawa amat dinginnya, menjadi
terkejut dan cepat-cepat ia pun mengelak sambil melompat ke kanan.
"Bagus, kau hebat!" katanya sambil menerjang
lagi. Bertandinglah dua orang sakti itu, mula-mula hanya dengan jurus satu-satu
dan lambat, akan tetapi makin lama makin cepat dan kuatlah gerakan mereka
sehingga tubuh mereka lenyap tak tampak lagi, yang kelihatan hanya gundukan
bayangan mereka yang sudah bercampur menjadi satu dan sukar dibedakan.
Sejam sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum
bukan main akan kemajuan lawan. Sepasang lengan sudah terasa sakit-sakit karena
sering beradu, namun belum pernah pukulan mereka mengenai sasaran. Kim-mo Taisu
selain kagum juga mulai bosan dan kuatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di
antara mereka akan terluka hebat. Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan
tentu saja tidak ingin dilukai, akan tetapi ia mengenal pula tabiat Pat-jiu
Sin-ong yang gemar bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja. Pada saat
Kim-mo Taisu memutar otak mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini,
tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua tangan berbareng
sambil merendahkan tubuh, kedua kaki ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan
dengan jari-jari tangan terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo Taisu.
Jangan disangka ringan pukulan Ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya
yang setengah berjongkok itu dalam posisi pengumpulan tenaga dari pusat bawah
perut yang meluncur keluar melalui kedua lengan yang dilonjorkan. Dengan
pukulan simpanan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, dalam
jarak lima meter, Ketua Beng-kauw ini sanggup merobohkan sebatang pohon hanya
dengan hawa pukulannya. Inilah sebuah di antara jurus-jurus rahasia yang tak
pernah ia keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan catat dalam kumpulan tiga
kitab rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini
lenyap dicuri puterinya sendiri! Pukulan Beng-kong-tong-tee ini adalah
ciptaannya sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia
beri nama sebagai lambang daripada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin.
Jurus ini demikian hebat dan gemilang seakan-akan Agama Beng-kauw yang
merupakan sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh
kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan
pukulan itu akan tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada
Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga
perempat bagian saja dari tenaga sin-kangnya.
Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo
Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali pandang saja dapatlah
ia mengenal pukulan ampuh, maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan
dengan kaki terpentang kokoh dan kuat dan kedua lengannya pun ia hantamkan ke
depan dengan tangan terbuka. Tak berani ia mempergunakan tangan kapas lagi,
karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan berbahaya, maka ia
juga mengerahkan sin-kangnya untuk melawan keras sama keras.
"Wuuuttt! Dess...!!" Jarak antara mereka dekat,
maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya bukan main
pertemuan dua tenaga sin-kang kedua orang sakti ini.
Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar ke belakang
dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah
sepuluh meter jauhnya. Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan
ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya. Pat-jiu Sin-ong juga jatuh
terduduk, dari mulutnya tersembur keluar sedikit darah segar. Untung bagi Ketua
Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya
saja untuk menghadapi pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang
seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu
Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu
membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih
banyak daripada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas,
tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.
"Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku
masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!" Kata-kata ini diucapkan dengan
wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding
dengan seseorang lawan yang dapat menandinginya.
"Cukuplah, Kauwcu. Aku harus menyimpan tenaga karena
akan menghadapi lawan yang lebih tangguh daripadamu di puncak ini besok. Lain
kali saja kita lanjutkan."
Biarpun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau
kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang lebih tangguh daripadanya,
ia menjadi penasaran sekali.
"Hemm, siapakah dia yang kaukatakan lebih tangguh
daripada aku?"
Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak
kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian agar Si Kakek mau berhenti.
"Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau
belum mengenalnya, julukannya Raja Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang di
empat penjuru."
"Hemm, hemm ada kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku
melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo
Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama
saja dengan pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!"
Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sin-ong lalu berjalan
menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke atas ia sudah duduk di
punggung keledai kecil itu dan berlarilah si keledai ketika mendengar
kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.
Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan
Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu sadar dari lamunannya.
Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu
Sian. Jadi Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat
terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan tetapi mengapa Lu Sian kemudian
meninggalkan suaminya? Bukan urusannya semua itu, namun sukar baginya untuk
tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan
pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu Song. Baru sekarang ia
teringat kepada Bu Song.
Ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan
melihat bahwa di dalamnya ada beberapa buah apel, ia makin heran. Anak itu
telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu
pergi? Dan ke mana perginya?
Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak
enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari sambil berseru memanggil-manggil nama
muridnya.
Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini setelah mendengar
bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya,
meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat. Ia berlari-lari terus tanpa
tujuan tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia
tidak mau berhenti. Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap
rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak
dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri
tanpa tetangga di lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun
bersih dan cukup luas.
Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu.
Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang
gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan
ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus
membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi
ia lalu memasuki pekarangan rumah.
"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di
belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput
dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu
sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul
seperti keluar dari dalam bumi?
"Maafkan aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah
ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan."
Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata
yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu
berkemak-kemik.
"Kau akan mengemis makanan?"
Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata
anak ini tajam melotot pula.
"Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau
tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak
ada pekerjaan, sudahlah!"
Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh
hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti
tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun,
kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang
minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat
pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari
sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan
sekarang juga."
Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling
roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang
merobohkannya.
"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua
tempat air di sini."
"Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi
perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"
Di bagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang
lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang
tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun
yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak
sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering
tertawa berkelakar.
"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa
anak kelaparan lagi?" tegur Si Tanpa Baju kepada kakek pertama.
"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini,
A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita.
Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi
diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh
ini?"
Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si
Nenek berpaling memandang.
"Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini
lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi
semua tempat air di sini. Lucu, kan?"
Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan
diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat
ini. Agaknya orang serumah tidak ada yang waras!
"Kaumakanlah dan ambil sendiri di atas meja
itu." Kata Si Nenek tak acuh. Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu
adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song
menghampiri meja dan melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap,
perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan
mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat
benar masakan itu, sungguhpun bahannya sangat sederhana. Bu Song adalah seorang
anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan
buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok
kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal setengahnya
lagi!
"Ho-ho-ha-ha-hah!, Malam ini kita berpuasa,
A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup
baju itu berguncang-guncang.
"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan
bekerjanya sekuat itu pula." Kata A-kwi sambil menggeleng-geleng
kepalanya.
Sam-hwa muncul dari pintu. Melirik ke arah tempat nasi,
ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu.
"Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari
terima!"
Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak
ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya
sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa
dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban
roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah
belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat berat
buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek
menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song keluar dapur.
"Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya
bawa keluar."
Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya
itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau
membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang
terletak di sudut rumah.
"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan
tidak kuat menahan dua tahang air."
Celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil
berwarna putih.
"Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang
air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber
air di puncak."
Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan
alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta
yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya
rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya
menggantikan pekerjaan sepasang kaki.
Suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga. A-kwi
sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir
patah dua,
"Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu
tubuh Bu Song dari atas ke bawah.
"Siapa namamu?" "Nama saya Bu Song,
Kek."
"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjiwir
telinga Bu Song.
"Kau harus sebut Ong-ya!"
Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa
panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua
sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya?
Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca
tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi
raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan
umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok
juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh
ini tak mungkin menjadi raja muda maupun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu
dan tidak mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa.
Di mana Nyonya Muda?"
"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar
berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."
"Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada
urusan penting."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat
bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang.
Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau
begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai
sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok!
Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan
tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi
hutangnya.
"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat
pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya, lekas kau pergi ke sana
mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur, A-liong dan
Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik,
aku mau pergi!"
Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu
meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan
ia lari setengah terbang.
Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya.
Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah
terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka.
Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian
segera meninggalkan tempat ini. Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki
bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih
menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil,
membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang
air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan
dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul.
Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di
bawah yang tampak dari tempat itu.
Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah.
A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa.
"Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi
ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam
kolam itu."
Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat
besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus
mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh
buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol
bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya
tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu
mendaki lagi.
Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air.
Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya
sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi,
kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang
perutnya tadi!
"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu
menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi.
Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh
kasihan kepadamu."
Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek.
"Aku tidak membutuhkan kasihan orang!"
Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi,
memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat
lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan
kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia
makin jenkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah
pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biarpun masih kecil, Bu Song
maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan
mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi
pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua
tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh!
Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar
suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan
hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara
gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak! Karena takut kalau-kalau Pat-jiu
Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia
mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri
sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di
antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di
tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti
tikus.
"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau
tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa
mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut,
Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang
lebih kuat. Apakah kau sudah siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai.
"Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang
sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali
mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali
menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah
Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga
gunung (perampok)."
Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng.
"Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma
(Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak.
Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah
kau takut?"
Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah,
gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba
telinga kanannya dijiwir orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi
yang menjiwirnya.
"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu,
pemalas!"
Bisik Si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song. Bu Song
kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan
taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia
akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik ke arah mereka
yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar
anak itu berjalan lebih cepat.
Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel.
"Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak
tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak
bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan
sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih
dulu!"
Sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan,
dan Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula
menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya
hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri
untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu
untuk menjumpai gurunya.
Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak
mendengar ucapan Pouw-kai-ong.
"Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi
sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok
dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong.
Mari kita mulai!"
Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak
dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju,
diikuti oleh Si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat
puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang
golok besar yang terselip di punggungnya, adapun Si Kuda Laut mengeluarkan
sebatang cambuk yang terbuat daripada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap
menantang.
"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi
gembel kelaparan yang sombong ini!" kata Si Tokoh Bajak yang menyebut
temannya raja gunung, cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas
kepala sehingga terdengar suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh
duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benar-benar
akan mengakibatkan luka yang hebat.
"Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku
menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu
yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan
menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang
orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana
kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut
dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah berkumpul di sini,
biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"
Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah
sekali. Hwa-bin-liong Si Muka Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di
hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian kecu dan rampok, baru
kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah dan tanpa menanti
lawan mengeluarkan senjata, ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya
diayun mengarah leher Kim-mo Taisu.
"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!"
Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat,
tidak mengelak malah menggerakkan tangannya, dengan jari tengah tangan kanan ia
menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu. Hebatlah
tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas
dari pegangan Si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir
roboh!
Marahlah Si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu.
Senjatanya ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan
bunyi
"swing-swing-swing...!" dan berkelebatan
diputar-putar di atas kepalanya lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo
Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu
bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak.
Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan
pee itu dapat menyentuh kulitnya. Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium
di kala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya
mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya, maka sambil
mengelak daripada tusukan golok Si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo
Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan
kiri! Ia menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang,
kemudian pada saat Si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari
belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk
ekor ikan pee itu ke arah penyerang di belakangnya.
Hwa-bin-liong berteriak kesakitan, Kim-mo Taisu cepat
membalik, sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu
dan di lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha raja laut yang
masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam
saat hampir berbareng dengan raja gunung, masing-masing terluka oleh senjata
kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup
hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat
untuk beberapa pekan!
Tanpa mempedulikan lagi mereka berdua yang kini
merangkak-rangkak menjauhkan diri dari itu, Kim-mo Taisu menghampiri
Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata,
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan
dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat
macam begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang
tidak ada artinya, memuakkan saja!"
Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai.
"Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa takabur dan
bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu
denganmu."
Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan
tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata,
"Cu-wi Locianpwe, harap sudi memperlihatkan
diri!"
Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa
orang dan dapat dibayangan betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat
mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah
menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya
yang memang ia cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa
Si Ratu Pelacur! Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun,
sute Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya
karena cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya
sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia
membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah, merenggut wanita
terkasih. Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula
tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koi-tung Tiang-lo dari
Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun lebih, sikapnya tenang dan serius, sikapnya gagah. Dia ini adalah Lauw
Kiat, murid Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang
merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya,
ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat
suhengnya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal
mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka kepadamu?"
Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia
tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia
adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng
yang berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis
gembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!"
"Orang she Kwee ini dengan aku pun mempunyai
perhitungan lama yang belum dibereskan, Pouw-pangcu."
Kata Ma Thai Kun yang tidak suka banyak bicara lalu maju
menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar merah. Melihat
tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat
menyempurnakan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya
sejak dahulu. Namun, ketika ia mengelak, kagetlah ia karena dari kepalan tangan
merah itu tampak uap mengepul putih yang seakan-akan menyambar mukanya dengan
hawa pukulan yang amat hebat. Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran, namun
hawa pukulannya yang berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat. Dengan
kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur sikap, karena lawannya ini
ternyata telah maju amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan
Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun
bertapa sambil menggembleng diri sehingga ia berhasil menyempurnakan
Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia
namakan Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)!
Kembali Ma Thai Kun menerjang maju, dari kedua tangannya
keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas. Terpaksa kali ini Kwee Seng
menggunakan Bian-sin-kun untuk menangkis karena selain tak mungkin menghadapi
desakan lawan tangguh hanya dengan berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan
lawan.
Ketika kedua lengan bertemu, Ma Thai Kun kaget sekali
karena merasa betapa tanaganya seperti tenggelam dan tangan lawan sedemikian
lunaknya sehingga ilmunya Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun,
sebaliknya ada hawa dingin yang menjalar dari tangannya sampai ke pangkal
lengan. Oleh karena ini, cepat ia menarik tangannya, menjatuhkan diri ke
belakang dan bergulingan. Hanya dengan cara ini ia dapat terbebas dari pengaruh
Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri, diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa
ilmu kepandaian Kwee Seng ternyata telah meningkat hebat. Maka ia bersikap
hati-hati dan menyerang lagi dengan Cui-beng-ciang, ditujukan ke arah anggota
tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi bertanding mengadu tenaga seperti tadi.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.
"Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah
memperoleh sedikit kemajuan, pantas saja kau berani berlagak. Kau makan
cambukku !"
ucapan ini disusul suara ledakan cambuk di udara dan
tampaklah gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil
melayang dari tangan Ban-pi Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal
sebagai senjata tunggalnya yang ampuh disebut Lui-kong-pian (Cambuk Petir),
terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di
laut utara, di antara gunung-gunung es!
"Bagus! Kalian pengecut-pengecut besar boleh
mengeroyokku!"
Kim-mo Taisu tertawa mengejek dan berkelebat cepat
menyelinap di antara garis-garis lingkaran yang dibentuk sinar cambuk, kemudian
membalas lawan lama ini dengan sebuah tendangan kilat. Ketika Ban-pi Lo-cia
menangkis tendangan ini dengan tangan kirinya, Kim-mo Taisu mempergunakan
tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma Thai Kun dan sudah mendahului
orang she Ma ini dengan sebuah gerakan dari ilmu silat Lo-hai-kun.
Demikian cepat dan tak terduga gerakannya ini sehingga
biarpun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis, namun pundaknya masih kena tampar,
kelihatannya tidak keras namun cukup membuat Ma Thai Kun terlempat dan
bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun memiliki kekebalan,
dan tenaga dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun kembali
sambil menerjang maju dengan kemarahan meluap-luap.
Pada saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat
sudah maju pula. Dia ini bersenjatakan sebuah tongkat dan gerakannya ternyata
cukup hebat. Pemuda ini menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi serangannya
selain kuat juga sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah
mengirim serangan sampai tiga jurus. Kim-mo Taisu menggunakan ginkangnya
menghindarkan diri dan ia belum sempat membalas pemuda she Lauw itu karena kini
kedua orang ketua kai-pang sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata
ia sudah dikurung oleh lima orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
terutama sekali tentu saja Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun, Kim-mo Taisu maklum
bahwa orang-orang pandai dan keadaannya berbahaya, namun seujung rambut pun ia
tidak terjadi gentar. Sambil mengerakan gin-kangnya yang kini menanjak tinggi
tingkatnya sejak ia berlatih di dalam Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada
Pouw Kee Lui yang masih berdiri menonton. Hatinya panas bukan main dan
diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja pengemis yang masih muda itu, yang
dapat mengerahkan dan mempergunakan orang-orang pandai sedangkan dia sendiri
enak-enak menonton.
"Aha, tikus busuk she Pouw yang mengaku raja
pengemis, kiranya kau hanyalah raja pengecut yang mengandalkan kawan
banyak!"
Ia terpaksa berhenti untuk menangkis pukulan tongkat Lauw
Kiat yang tak dapat ia elakkan. Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga
Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama tongkatnya!
Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar dari sambaran cambuk
Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah Koai-tung Tiang-lo.
Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah
terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh
terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya
terlepas!
"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi
aku, bukan?"
Melihat betapa dikeroyok lima, lawannya itu masih dapat
mengejeknya bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui
terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak
mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi
Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih
berani mengoceh!"
Teriak si Raja Pengemis dan cepat ia menerjang maju,
menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok
lima. Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding
dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang yang memiliki kepandaian
seperti raja pengemis ini. Begitu maju dan menerjangnya dengan tubuh
berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai
dan kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Kim-mo Taisu maklum
bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan
Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai daripada Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu
sekarang, tadi pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya
menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan
ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama
cepatnya dengan dia sendiri. Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian,
tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun,
kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok
itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw
yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan kosong!"
Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia
bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai.
Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka
pencurahan panca inderanya terganggu dan pada detik yang bersamaan, setelah
berhasil menghindarkan yang lain, ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari
atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang.
Tiga orang pengeroyok lain telah menutup jalan keluarnya,
maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan
untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat.
Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman
ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung
Sin-kai biarpun lihai, dapat ia atasi tenaganya.
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi
dilain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat ke atas.
Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki
Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga
empat orang pengeroyoknya tidak berani turun tangan khawatir akan mengenai
tubuh kawan sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk
meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun
kembali ke atas tanah, tangan kanan nya memegang sebatang cabang pohon itu!
�Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku,
majulah!"
ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung
Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka. Ia heran tadinya karena tahu
betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sin-kang yang tentu
akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri. Akan
tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus
merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat
penawar yang manjur sekali. Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan,
Kim-mo Taisu mendahhului menggerakkan cabang pohon liu
itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh
Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca
dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi. Hebat sekali gerakannya ini,
karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan
menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh
Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sin-kang di dalam tubuhnya sudah
mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi. Cabang kayu di tangannya
itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan
bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas
batang kayu kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari
membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan bersenjatakan cabang kayu mainkan
Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi tidak sepayah
tadi. Kini ia mampu balas menyerang, akan tetapi karena daya serangnya hanya
satu bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka
tentu saja serangan balasannya itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi
Lo-cia, Pouw-kai-ong dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung
Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih
rendah, terpengaruh serangan balasannya. Melihat ini, Kim-mo Taisu lalu
menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat kesempatan,
cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya
menyambar laksana seekor burung garuda. Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba
menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk
menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka,
seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian
sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat,
muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang kiranya sudah
berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur.
"Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai
Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?"
Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di
tangannya.
Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia.
Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan
selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguhpun tenaga dalam dan
hawa sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu
menuruti nafsunya yang tak kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul daripada
seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih
tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman.
Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar
kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka dan tanpa
berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga
sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya lalu membentuk
sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah
Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di
tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas.