Bab 15
˜Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku
nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?!
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang
terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada
di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan,
pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh
belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya
dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai
sasarannya!
Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu
berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu
akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan
tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali,
kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
˜Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau
main pedang!! Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking
geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu
bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan
ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di
sebelah selatan. Penduduk aseli pulau ini suka sekali akan tari-tarian,
memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua
penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan
tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang
dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia
sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya
bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia
menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan
tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak
lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih!
Luar biasa sekali!
˜Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau
memamerkan diri?! tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga,
biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.
˜Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri,
melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh..! kata
Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan
bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo
memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili
suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata,
˜Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini
diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi
menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.!
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan
Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan
pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin,
lalu tertawa!
˜Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!! Lin Lin
menyambutnya dengan tertawa pula. ˜Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat
selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu
silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?!
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang
mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan
kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah
menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga
mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah
maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu
cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara
itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang
hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan
yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia
menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri
bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang
memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju
menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama
ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak
tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng
hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya
menyebut ˜Suling Emas! begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak.
Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
˜Kim-siauw Koko.! akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada
lamunannya, menengok ke belakang.
˜Kau? Kau bilang apa tadi?!
˜Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu.
Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko
saja.!
˜Hemmm, ada apakah, Lin Lin?!
˜Aku menagih janji!!
˜Janji apa?!
˜Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau
hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau
pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat.. eh, kau melihat apa?! Lin Lin
gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang
dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat
seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas
dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka
ketika Lin Lin memandang. Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut
tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri
tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat
dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa
disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri
Beng-kauw itu.
˜Lin-moi, ke sinilah..!!
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti
nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab.
Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan
tubuh lalu menghampiri encinya.
˜Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah
karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu
dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku
ikut ke sini.!
˜Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?!
˜Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!! jawab Sian
Erg dengan muka agak panas.
˜Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui
Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui
Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang
kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka
kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan
dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah
tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!!
˜Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal
itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu..!
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil
menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
˜Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik
kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang..
eh, Lin-moi, kau ke mana..?!
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan
saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa
selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi.
Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena
ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya
diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa
dadanya terasa makin panas!
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping.
Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ
karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang
berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin
berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada
bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah
pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja
ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin
dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis
ini terus berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan
hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara
bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari
balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok ke dua.. dadanya
makin panas seperti terbakar ketika, ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan
dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha
menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia
hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti.
Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
˜.. ah, kau terlalu lemah..!
˜.. cintaku takkan kunodai dengan darah..! terdengar
jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani
bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui
telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki
baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis
jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka
tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku,
pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat
butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai dengan darah, demikian
jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini?
Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu
telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi,
Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.
Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit.
Di depannya telah berdiri seorang.. iblis tengkorak berselubung hitam yang
mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal
takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera
ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini.
Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun
baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini
tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
˜Harap jangan berteriak..! suara serak mendesis itu
keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.
˜Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu,
Hek-giam-lo,! kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya
tersenyum mengejek.
˜Kau kenal padaku..?! Dalam suara yang menyeramkan itu
terdengar bayangan heran.
˜Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan
Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak
begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar
Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur
hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja
Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya?!
Tercenganglah Hek-giam-lo, biarpun tidak dapat dilihat
pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun.
˜Kau.. kau.. betulkah kau orang yang kucari-cari..? Sudah
berkali-kali aku keliru..!
˜Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan
langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah
perkasa, dan aku adalah Puteri Yalin!!
Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan
agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya
sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti
ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!
Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba
menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk
dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika
ia berkata.
˜Be.. betulkah ini..? Tidak tertipu lagikah.. tidak
keliru lagikah..?!
˜Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman
tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba,
tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah
aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu?
Berani kau menghina aku seperti itu?! Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya
darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng
menyakslkan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara
angkat itu akan terheran-heran.
˜Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalin
yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang
telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang
kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka.!
Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang
cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti
Hek-giam-lo ini, takn mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan
kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita encinya tentang tokoh ini dan ia tahu
bahwa mau ataupun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak
hidup. Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya,
yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada
panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak
sekarang, pula ia merasa berat untuk.. berpisah dari Suling Emas! Menolak
permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal
ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang
demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.
˜Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali
mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan
tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku
pasti akan pergi ke utara bertemu Paman..!
˜Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat
mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus
hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat.!
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia
iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari
akal..
˜Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu..
perayaan Beng-kauw masih belum habis..!
˜Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting
daripada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan
Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama
sekali tidak ada artinya, apalagi urusan negara lain.., marilah kita berangkat,
Tuan Puteri Yalin!! Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. ˜Ijinkan hamba
memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.!
Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap
dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh
dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan, berarti ia akan
menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau
melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan
menghormat terhadapnya.
˜Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu
dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai
seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku
tanpa membalas?!
Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan
cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada
sinar api keluar dari situ.
˜Tuan Puteri Yalin, siapakah gerangan berani menghina
Paduka? Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang
juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?!
˜Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo.
Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku
mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja
Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan
diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kaupikir, apakah ini bukan penghinaan
besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah
perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku
akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kau rampas tongkat Beng-kauw itu
untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini
selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka
mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain.!
˜Tongkat Beng-kauwcu..?! Terang bahwa Hek-giam-lo,
biarpun dia seorang tokoh besar malah seorang di antara enam iblis, kaget juga
mendengar perintah ini.
˜Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut
terhadap ketua Bengkauw?!
˜Hamba tidak takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi
tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan
barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan
menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?!
˜Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain,
akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya
kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah
menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita
juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan.
Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja
Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?!
Kena juga akhirnya tokoh iblis ini ˜dibakar! oleh Lin Lin
yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu
mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat.
˜Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba
curi.!
˜Bagus! Sekarang musuhku yang ke dua, Hek-giam-lo. Kau
tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda
angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku,
pembunuhnya tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal. Kau tangkap dia,
jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.!
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik
tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
˜Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini?
Aku sih tidak takut!!
˜Hamba juga tidak takut, akan tetapi.. urusan ini..
tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar daripada mengambil tongkat
Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?!
˜Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di..!
Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang,
entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang
kata-katanya terdengar amat ketus,
˜Kam Si Ek? Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalin, Kam
Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!!
Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik
ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya maupun
dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin
pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut
anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung,
kemudian berkata.
˜Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi
tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini.! Tentu saja tiada niat di hati
Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya mahluk yang
mengerikan ini pergi meninggalkannya.
˜Paduka akan berangkat sekarang juga..!
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah
Lin Lin menjadi pucat.
˜Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat..! Akan tetapi
Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan
tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar
terus-menerus dan sambung-menyambung.
˜Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini..?!
berkali-kali Lin Lin bertanya. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan
kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin
Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin
dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena
kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara
mendesis tinggi. Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di
depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khi-kang
tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti
yang amat tinggi ilmunya.
Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas,
memusatkan panca indera, mengerahkan sin-kang untuk diputar-putar di seluruh
tubuh melindungi dirinya daripada serangan tak langsung tapi cukup hebat itu.
Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat
mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan
dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak
rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo
itu.
Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu
berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan.. bukan Hek-giam-lo yang kini
berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek
ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal
kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua
tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang
terkempit di kedua ketiaknya.
˜Kau.. kau siapa?! Lin Lin bertanya gugup dan memandang
ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo
membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini?
˜Mana Hek-giam-lo?!
Kakek itu membungkukkan tubuhnya.
˜Tuan Puteri Yalin, hambamu ini adalah Pak-sin-tung
(Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun
Suheng Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan
Puteri, tak baik berlama-lama di sini, Suheng memesan agar supaya hamba
mengajak Paduka sekarang juga.!
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kiranya suara
mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk
mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo
demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh
selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya
buntung, agaknya di ales lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan. Kakek
begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri,
meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini
memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat.
Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik?
Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
˜Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.! kata Lin
Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota
yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan
melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, melihat senyum
mengejek pada wajah kakek ini, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali.
˜Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari
pintu utara saja.!
Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja
sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati
Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan
tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia
dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa
sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik
agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga.
Memang kakek itu ˜berjalan! agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok,
akan tetapi harus ia akui amat cepat. Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin
sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak
cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!
Ketika ia menoleh, kakek itu tersenyum lebar dan berkata,
˜Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau
tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan
lebih cepat.!
Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang
dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar
dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka
tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi
pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik
jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang
mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja
Kerajaan Nan-cao.
Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan
Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat
dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.
˜Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat
sekali..!! seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin
ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.
˜Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang!!
Tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan
tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
˜Apa maksud Paduka?!
˜Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan
sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja
aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.!
Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan
muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang.
˜Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus
membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.!
˜Kalau aku tidak mau?! bentak Lin Lin.
˜Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.!
˜Srattt!! Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia
terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu
lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia
bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan
dikembalikan kepadanya.
˜Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!! Kini Lin Lin
menantang.
˜Pedang pusaka Besi Kuning..!! Pak-sin-tung meratap,
wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. ˜Tidak.. hamba
tidak berani.. tidak berani..!
Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek
Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu
dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu
dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya
di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.
˜Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan
ini!! Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.
˜Ti.. tidak, hamba tidak berani..! Kakek buntung itu
meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke manapun juga pedang itu
menerjang, selalu dapat dihalau tongkat. Hebat sekali kakek ini, biarpun kedua
kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang
berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah
membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh
dipandang rendah, karena setiap kali bertemu senjata, tangannya menjadi
tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin!
˜Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan
marah..!
Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan
mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan
mampu menang, apalagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu?
Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan daripada
didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan
Hek-giam-lo, untuk.. menawan Suling Emas! Hasrat hati ini timbul ketika ia
mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap
Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya,
melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia
ingin memberi ˜hajaran! kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke
Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin
menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan
kakak angkatnya, Kam Bu Song.
˜Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak
melawang aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku
ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi, aku baru mau
pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu,
bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku
itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain
yang dapat membantuku di sini?!
Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua
tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada
Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin.
˜Ajaib..! katanya perlahan. ˜.. pedang pusaka Besi Kuning
sudah berada di tangan Paduka pula.. ajaib.. agaknya inilah isyarat dan tanda
dari langit..!
˜Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab
pertanyaanku, bicara tidak karuan!!
˜Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka
dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus
Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada
Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan
Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri
dari dua losin orang perajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi,
semua siap mentaati perintah Paduka.!
˜Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak
memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.!
Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya
diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin lama makin tajam sehingga
kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung,
merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerahkan sin-kang
untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam suara itu mendesis-desis
dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia
membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua puluh empat orang
laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian seperti pedagang,
pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa
dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya dengan barisan
berjajar di belakang Pak-sin-tung!
˜Hamba sekali sudah berkumpul dan siap menanti perintah
Tuan Puteri Yalin!! kata Pak-sin-tung. Tak dapat dicegah oleh Lin Lin rasa
bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat, pikirnya dan yang luar biasa
adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh, malah seperti sudah
sewajarnya dan sudah seharusnya demikian!
˜Kalian semua dengarlah baik-baik,! katanya sambil
memasukkan Pedang Besi Kuning ke dalam sarungnya.
˜Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi
peringatan kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak berani
memandang rendah kepada kita, aku telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri
atau merampas tongkat ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta
kalian membantuku untuk dua urusan lain, pertama, menangkap dan menawan Suling
Emas hidup-hidup, kita bawa dia ke Khitan.!
Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling
pandang dengan muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya,
˜Ke dua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera
pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang
yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia
menunjukkan di mana adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi
tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti?!
˜Hamba mengerti, Tuan Puteri,! jawab Pak-sin-tung
mewakili anak buahnya.
˜Biarlah hamba yang menemani Paduka, adapun
saudara-saudara ini siap secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang
jika hamba panggil.!
˜Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota
raja.! Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung
berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka keluar.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi
seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu, untuk menengok keadaan Kam Bu Sin
yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di
Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam
cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan
Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang
akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang
biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya.
Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan
ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat
menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari
ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung
Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali,
apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya
tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang
dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia duduk bersila dan mainkan
alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara
kawat-kawat khim itu dan terjadilah ˜perang! antara suara khim pertama dan
suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak
sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu
tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini
dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang
sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia
pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Banyak sudah lawan-lawan lihai
roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan
˜jurus-jurus! yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk
berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para
budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung
daripada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika
semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental
kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya
mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil
kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba
˜cringgg!! sebatang kawat khimnya putus!
˜Keparat..!!
Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar
tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap
untuk mencekik dan mencambuk lawan. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun
berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon
besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek
Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat
berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang
dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
˜Kau.. kau.. setan..!! teriaknya, membalikkan tubuh dan..
lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya
menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar
tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara khim yang melengking tinggi dan.. Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti
didorong tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya,
kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya
terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
˜Kurang ajar..!! Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan
marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu
Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya. Kembali terdengar suara
khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk
merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan
membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget,
cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil
mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti
kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek
Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin.
Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik
punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang
pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit. ˜Kasihan..! bibir itu
berbisik, ˜anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya..!
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang,
tidak mengenal kakek itu. ˜Mana.. mana dia..?! bibirnya yang agak pucat
bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang
saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini.
Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik
lagi.
˜Belum terlambat.. anak baik, kau ikutilah aku..!
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah
menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang
tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan
membungkuk sambil bertanya,
˜Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia?
Dan saya berada di mana, apa yang telah terjadi?! Ia mengerutkan keningnya,
mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu
Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama
sekali.
˜Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau
akan dapat mengingat kembali.! Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat
sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit,
akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya
terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh
terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan
memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti
ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
˜Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi
tunduk kepadamu!!
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena
kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang
kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran.
Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.. dia
tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia
menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah
menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu bagaimana
caranya.
˜Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan
Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih..! Ia berhenti dan mengerang.
Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.
˜Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih
kembali.! Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia
bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang
cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak
dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata
dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
˜Kita sudah sampai!! Suara halus kakek itu
menyadarkannya. Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka
matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan
air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari.
Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu
tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
˜Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong
teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan
lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon
petunjuk..!
˜Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou
Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau
menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum
racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak
dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh yang
menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung
dalam hatimu?!
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia
telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya ˜menjadi
permainannya! dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu.
˜Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu
telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui
bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah
membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu
untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou
Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini
lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe
sudi menolong.!
˜Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan
ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa.
˜Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus
keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan
tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau
hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan
tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan
mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu
menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa
yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!!
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek
ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat
mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya.
Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat
hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya? Tanpa
ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang
karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan
panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan
suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa
dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak,
akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya
terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan
matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah
bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara
kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya,
˜Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan
berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah
tiong-cu-hiat.!
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi
karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke
arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu
seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar
ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
˜Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar
kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im
Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar
sambil keluarkan napas.!
Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti
diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada
Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini
sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia
berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang
menimpa di atas kepalanya.
Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta
itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai
tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti
malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak
membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya
sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus
berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan
membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.
Setelah suara itu makin menghilang, barulah
perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia
sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu
panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan
air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang
jarum-jarum yang runcing!
Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi
sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa
dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan,
giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat
isi pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi
karena belum pandai benar ia menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti
hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya
seperti dibakar api neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa
hampir meledak. Kembali dengan mengingat pelajaran tadi, ia berhasil
menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus
melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali
cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak
ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin
nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa
bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat daripada
biasa. Hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya yang terasa
olehnya, kelemahan yang wajar. Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan
membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan
menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan
jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia membuka
mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang.
Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan
kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat
perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung
kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak
cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu, kiranya
ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!
Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia
mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu
yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu?
Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa
ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia
minum racun perampas semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina.
Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang
menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersamadhi di bawah air
terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat
menghitungnya karena ia tekun dalam bersamadhi sambil mencurahkan segala daya
ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.
Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak
akan dapat bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang
mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia
selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut
atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon,
tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya
tentu ada daun-daun muda!
Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah
menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan
lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu
Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu
lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia
mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang
manusia. Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia
buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara.
Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena
lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak
disadari oleh orangnya sendiri. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas
seperti seorang pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau.
Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk
memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring
meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan
kedua lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong
moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih
menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat
menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk
dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera
turun tangan.
Bu Sin melompat dekat, tangannya diayun dan.. ˜krakkk!!
tubuh harimau terguling, kepalanya pecah. Laki-laki itu merangkak keluar dari
bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak
keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh
seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi,
memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan
dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang.
˜Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe..!
Si pemburu yang sudah bangkit duduk, makin melebarkan
mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan
darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan
kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut
dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai
harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan
sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa
syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan.
Cepat ia bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak
kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat
merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah.
Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang segera siuman kembali,
menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk, pandang matanya bertemu dengan
bangkai harimau, bergidik dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan
agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang
pundaknya dan berkata.
˜Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu
sudah mati.!
˜Kau.. kau.. Manusia atau..?!
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk.
˜Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut
masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku
lewat dan sempat membantumu.! kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa
orang ini kagum kepadanya.
Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu
Sin yang segera mengangkatnya bangun.