"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku
tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak
mempunyai tempat tinggal?"
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau
meninggalkan rumah orang tuamu?"
Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu
Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang
Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda
anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau
anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura
kepada Kwee Seng.
"Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani
bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara
lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song
menjawab,
"Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling
membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang
riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh
kesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan
tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan
duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu
memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang
dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa
untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau
muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song
menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah
kau menjadi muridku?"
Murid? Menjadi murid gembel yang gila-gilaan ini? Mau
belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena
merasa sangsi.
"Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar
apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret
tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat
huruf yang berbunyi
"Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata,
"Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang
mata kagum.
"Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka
menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama
to!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini
memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah
dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi
anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra
yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song.
Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi
terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik
sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu
menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang
berbentuk golok.
"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal
permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik
jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu
itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan
pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk
berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu
silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang
ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu
adalah pendapatku sendiri."
Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci
akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam
merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia
pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan,
memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai
sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas,
dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal
takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng
makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak
akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan
pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus
ikut ke mana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka
kepada gembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak
terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum
bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan
sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat
sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut,
"Suhu!" Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas
tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak
tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih
tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke
atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan hal tak
tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau
takut keluar dari mulutnya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah
suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh
muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!" Bu Song
terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk
meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang
yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena
sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, di dalam
hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian
gembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid
terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!"
tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya
melesat lenyap dari tempat itu. Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran.
Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya belajar
"terbang" seperti yang dilakukan suhunya, akan tetapi hatinya yang
keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil,
masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak
dapat menduga kemana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa
gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela
napas lalu duduk di bawah pohon itu, menanti. Kewajiban seorang murid untuk
menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya itu sehari semalam tidak
kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!
Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama.
Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang, membawa pundi-pundi
kuning, datang-datang melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa
bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu
memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai
berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai
modal! Benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu
menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya.
"Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap
mereka?" tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus
dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkirbalikkan meja judi,
kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak
setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka, tidak
mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam
dalam hati mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan
tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan
tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam
ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid
terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji
sampai di mana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia
menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan.
"Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting
ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau
susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku
pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan
pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya Bu
Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu
bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu
"menghilang". Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di
punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih
jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia
tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti di sana.
Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya.
Apapun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang,
langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali, Anak kecil ini memandang
ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia.
Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa
potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di
dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba
mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada
gunanya!
Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka.
Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia dapat mencari pengisi perut.
Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga
mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong.
Buah-buahan, telur-telur di sarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan
beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum
tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai
kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki Gunung Tapie-san.
Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di
Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah
cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya
pagi-pagi ia sudah berloncatan dai batu ke batu, melompati jurang-jurang,
mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar
terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang besar dan yang
agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok
bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh
kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat
mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat tinggal manusia ini
terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di
mana seoarang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin
seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari
adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya?
Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan
mengetoknya. Ketokannya keras dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti
sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin kalau
kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung
dara terbang berputaran di atas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.
Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang
disusul langkah kaki ke arah ppintu kemusian suara tapal pintu dibukakan orang.
Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang
luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan tuan depannya saja jelas
membayangkan kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua
orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis!
Kim-mo Taisu melangkah masuk dan sekarang tampaklah
olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri berbaris di kanan kiri
pekarangan itu setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu
keluar tiga orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan,
malah tidak begitu bersih seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang
ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama
sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap
pembesar-pembesar tinggi! Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah
di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi
menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, taja pengemis itu masih
muda sedangkan tiga orang pengemis ini biarpun agaknya juga merupakan pimpinan
pengemis, sudah berusia lima puluh lebih.
Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini
berpakaian tambal-tambaln, Kim-mo-Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya
sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak
buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut
dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang
puny rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar sama, jauh bedanya!
Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku
bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja
ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul
pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan
manusia?"
Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan
Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang,
kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi
mengandung tenaga sehingga terdengar jelas,
"Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di
Sin-yang dan hendak mencari Kai-ong?"
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini
bisa tahu akan peristiwa di Sin-Yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan
cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-Yang
mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari
cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya. Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke
atas dan ia tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan
kecepatan burung?"
Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang
mengirim surat dengan perantaraan burung dara itu ke tempat ini.
"Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia
keluar, aku mau bicara dengannya!"
"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang
muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu dengan Kai-ong?"
"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh
saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan kalian pengemis-pengemis
palsu."
"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan
kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga pengemis tua bertongkat sakti,
mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"
Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang
kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja, bertubuh kurus seperti kurang
makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan
mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai
tongkat maupun senjata. Melihat bentuk pentung ini ketiganya serua, teringatlah
ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga
Pengemis Tua Bertongkat Sakti). Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung
Sam-lo-kai adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal
sebagai orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin
kaipang-kaipang di selatan. Bagaimana sekarang tiga orang tokoh ini hanya
menjadi penjaga pintu di sini?
"Bukankah Sam-wi ini Sin-tung Sam-lo-kai?"
Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa
heran.
"Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih
baik kau memperkenalkan diri dan katakan terus terang saja apa maksudmu mencari
Kai-ong?"
"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di
selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di sini? Siapakah dia
yang memiliki gedung ini?"
"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau
pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami." Jawab pengemis itu
cepat-cepat.
Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga
bahwa tiga orang itu terntu merasa tidak senang sekali dengan
"pekerjaan" mereka akan tetapi agaknya terpaksa, entah oleh apa dan
mengapa?.
"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu,
akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun, aku harus mencari
dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata
keras,
"Harap kalian bertiga minggir!"
Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat
mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo Taisu tertawa bergelak, seakan-akan
tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak
memasuki pintu depan rumah gedung.
"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang
kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar keras ketika mereka
menggerakan tongkat menyerang. Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat
menaksir bahwa kepandaian tiga orang kakek pengemis ini tidak kalah oleh
Koai-tung tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam rumah judi di Sin-yang. Maka
dapat dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan
sebatang lagi diputar menghadang di depan!
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua batang tongkat berubah
menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri mengancam lambung. Kim-mo
Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat
menangkap ujung kedua tongkat, mengerahkan lwee-kang menarik ujung tongkat ke
bawah sambil berseru keras. Dua orang pengemis tua itu tak dapat melawan
tarikan tenaga yang dahsyat ini.
Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas
kembali tongkat yang terpegang lawan, sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat
mereka telah amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih!
Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali,
ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini meluncur ke depan
bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang
berlenggang-lenggok dan sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah
berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus serangan ini, maka ia
cepat menggunakan gin-kangnya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri,
kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat dan
"Lepas....!!" Teriaknya sambil mengerahkan
sin-kang, sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan
lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian
menancap pada dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.
Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari
julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu ahli-ahli tongkat yang lihai.
Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya
betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu
merampas tongkat mereka! Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran,
juga mereka tidak berani membiarkan orang ini masuk ke dalam gedung begitu saja
karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari
Kai-ong.
"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah
kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu berlenggang seenaknya
hendak memasuki gedung. Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding,
sedangkan kedua orang temannya juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang
menancap di atas tanah. Barisan pengemis yang berdiri dari delapan belas orang
itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu.
Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang
dan tertawa bergelak melihat barisan pengemis itu lari berputaran di
sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah, kadang-kadang
merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus
berubah-ubah dengan bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi
delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi. Barisan ini teratur sekali dan
melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.
"Orang muda, biarpun kau lihai, tak mungkin kau
dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis Pengejar Anjing) kami.
Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku siapakah
engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong!"
"Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku
mencoba untuk menjadi anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil
tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat hendak memasuki
gedung. Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan
yang sekaligus telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang
bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata pedang dan orang ke tiga
bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat
berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju
bersama, ternyata mereka bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan
seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang
Kim-mo Taisu!
Kedua tangannya Kim-Mo-Taisu digerakkan, dengan ilmu
tankapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka. Akan tetapi
tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada
detik itu juga, pengurung bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat
membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa tiga orang di bagian belakangnya
ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara mereka
menyerang berbeda sungguhpun kerja sama mereka tetap baik. Karena ia diserang
dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut
pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal,
tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang
Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka. Secara begini,
sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali
tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang
dikejar-kejar oleh barisan pengemis! Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia
memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan
rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik
sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya
yang jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya
untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justeru ingin melihat bentuk permainan
mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang
terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan
mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat
jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan
garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin yang terkenal itu. Dia sendiri adalah
ahli permaianan Pat-kwa-kun tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa,
maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Kiranya
barisan biasa saja setelah terdapat rahasia sumbernya.
�Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu
ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang
terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa
harimau, ha-ha!" sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai
"bekerja", tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat
bagaikan bayangan kilat. Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika
senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul bertebangan ke atas genteng.
Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang
anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo
Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan
berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat
betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani
lagi turun!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan
Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, mampu menghadapi seorang muda
gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa orang muda gila ini memasuki gedung,
tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas
mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat
di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap
dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam
apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala
macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku
hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika
mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia
merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia
kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu
tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw
sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah
menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul,
kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk
Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga
merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah
terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera
menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh
permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami
tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di
empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu
Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk berarti
kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami,
membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang
di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!"
Tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat
dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam
gedung!
"Twa-suheng...!" Dua orang adik seperguruannya
menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh
permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan
tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik,
masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu
berkata, suaranya nyaring dan merdu.
"Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo
Taisu untuk datang menghadap!"
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena
pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu
dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap Kai-ong itu, yang seakan-akan
benar-benar seoarang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan
tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia
tertawa begelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan. Heran
sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding
yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia
mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi,
bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke
ruangan yang lebih dalam lagi.
Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau.
Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah
suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa
wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih
dulu." Wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku
bukankah jauh lebih bersih dan sehat daripada lantai dan permadani? Tidak biasa
aku membersihkan kakiku, kalau mau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang
membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini,
ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di
wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekuatiran. Agaknya wanita ini
terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang
berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke
luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian
berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita berjalan keluar tergesa-gesa, lalu
muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti
pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat daripada
sutera tipis dan halus beraneka warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah
yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka
keluar dan melihat bahwa "tamu agung" itu adalah seorang gembel yang
pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka
mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan
ragu-ragu. Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan
mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah
sebuah bangku sambil berkata.
"Silahkan Khekkoan (tamu) duduk di bangku ini,
biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa
ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya
menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang
harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar
kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia
lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi. Ngeri ia membayangkan
kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik
itu, yang demikian genit-genit.
Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya
dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh
sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka
mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah
berlari ke dalam di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja
ditemani tiga orang wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh
perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia
melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan
seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya
sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena
bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian
berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup
topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya
seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang
baunya harum semerbak meimbulkan selera.
Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat
ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang
wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan
mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua
menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Adapun wanita ke tiga yang bersikap
gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan Laki-laki itu menoleh
kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan
menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus akan
tetapi suara tetap serak tak sedap didengar.
"Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum,
dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!"
Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut Si Cantik. Wanita itu
tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian
berkata.
"Pouw-koko, bukankah kau sudah berjanji bahwa kau
akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti
ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga
puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku.
Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas
berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di
sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau
berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada
tahi lalatnya di dagu, berkata genit.
"Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya menjadi
kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa
Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun
dengan wanita lain?"
Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya
yang merah cemberut.
"Benar tidak adil!, semenjak dia ini datang, kita
seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita
cantik?"
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya
terangkat dan matanya merah,
"Mana bisa aku dipersamakan dengan...
perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah,
duduklah."
Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya
duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka
menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.
Dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi
muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka
terusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi
dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua
orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang
luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" Perintah ini
diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka lalu menggotong
kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan.
"Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah
menaklukkan seluruh kai-pang, yang secara keji membunuh orang tertua dari
Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas
pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si
Raja Pengemis itu penuh ejekan.
Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang
pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui adalah murid seorang
pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara
kejam telah membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu
isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari kitab-kitab simpanan gurunya itu,
kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya yang tinggi.
Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan
pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu dengan Liu Lu Sian dan hanya
karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee Lui
yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar
kekuasaannya dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu
mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang hidup mewah,
yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis mana saja yang
disukainya.
Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan
murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat oleh guru silat Liong Keng.
Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan
sekali Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat
gadis cantik ini serta melihat ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong
tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada yang
memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan
ilmu kepandaiannya yang amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil
membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya, wajahnya yang tampan, dan
sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati.
Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam perangkap,
mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka seorang
pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti
Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil kosong, Si
Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga
Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah menyerahkan
dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.
Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah
menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang membuta saja menurutkan
nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka
seekor domba sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia
hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga penyesalannya ketika Pouw Kee Lui
membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan bersetia kepadanya, akan
mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi.
Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya
di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya girang sekali
ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar datang membawanya pergi dan
tentu saja ia ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama
kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya, daripada menjadi seorang
gadis ternoda yang akan menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia
ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang yang amat penting, seorang
raja, biarpun hanya rajanya pengemis! Dan melihat selir "suaminya"
begitu banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk
menghalau semua selir itui, yang juga diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima
selir yang tadi melayani mereka makan minum. Demikianlah keadaan singkat Si
Raja Pengemis yang lihai itu.
Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang
penuh teguran, ia mengangkat muka memandang, mulutnya tersenyum sinis, pelupuk
matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang serak,
"Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat nama besar itu
karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang lain? Kubunuh
Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang selirku,
itu adalah urusan keluargaku sendiri."
"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang
tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!" Kim-mo Taisu
menggoyang-goyang tangannya.
"Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau
menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut dengan arak wangi dan
hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan
berseru. "Silakan!" Sekali ia menggerakkan tangan, mangkok berisi
penuh arak itu melayang cepat sekali seperti peluru tanpa araknya tumpah sedikit
pun, menuju ke arah dada Kim-mo Taisu.
Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya dan
begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan
kirinya, di mana mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat
dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat
kuat, tanda bahwa penyambitnya memiliki sin-kang yang hebat. Di lain fihak,
Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa
tergoyang sedikit pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin
jarang didapatkan keduanya. Hebat Kim-mo Taisu ini, pikirnya dan otaknya yang
cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.
Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di
dalam mangkok dengan tenang, mengecap-ngecapkan lidahnya dan mengangguk-angguk
sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong.
"Arak baik... hemm, arak yang baik sekali. Terima
kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya bergerak
dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.
"Tinggg!!" Mangkok kosong itu kini melayang ke
arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar seperti gasing.
Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok
kosong.
"Brakkk!!" Mangkok kosong itu begitu menyentuh
tangannya, lalu pecah berantakan!
"Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget.
Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua
tangannya menegang, jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau.
Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan
tetapi, lambat laun muka raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti
sediakala, bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lwee-kang
tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan
mempersilakan tamunya duduk.
"Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu,
namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka. Silakan duduk!"
Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap
masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja pengemis itu, kemudian ia
menarik bangku dan duduk.
Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok
sampai penuh. Mangkok itu, ia letakkan di atas telapak tangan kanannya dan ia
mengerahkan hawa sin-kang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus
menjalar ke mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak
mendidih dan beruap! Inilah hawa sin-kang yang bukan main tingginya!
"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya
tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu kepada tamunya.
Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol.
Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sin-kang yang diperlihatkan raja pengemis
itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu
melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jerih, baginya demonstarasi
itu hanyalah permainan untuk menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia
mengulur tangan menerima mangkok arak mendidih itu sambil mengerahkan
sin-kangnya.
Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada
di telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak
bergolak mendidih lagi!
"Terima kasih, sayang arakmu dingin." Kata
Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak itu tidak mau
keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang
lebih hebat lagi, menggunakan sifat dingin dari tenaga sin-kang yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar Kim-mo Taisu meletakkan mangkok
itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.
Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu.
Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian tamunya
benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali.
"Kim-mo Taisu, keperluan apakah yang membawamu
datang mencari aku?"
Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis,
lalu mengangguk-angguk dan menjilati bibirnya.
"Arak baik, arak baik...!"
"Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!"
Ia melemparkan seguci arak ke arah Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main
karena disertai tenaga lwee-kang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja,
hanya terpisah sebuah meja. Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci
arak itu dan terus menggelogoknya langsung tanpa cawan atau mangkok lagi.
Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan
meletakkan guci arak di atas meja.
"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan
dengan Liong-kauwsu di Sin-yang dan karena tidak tahan mendengar tangis seorang
ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."
"Aaahhhh....!" Wanita cantik baju biru yang
sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu, kini berseru
tertahan, wajahnya berubah pucat. Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek.
"Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu
denganku, apa yang kau kehendaki?"
"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri
Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan mengembalikan puterinya
itu, kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak
yang baik!" Pouw Kee Lui juga tertawa.
"Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama
sekali bukan dengan maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan
memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya.
"Kim-mo Taisu, perkenalkan, inilah isteriku yang
bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"
"Is... terimu....? Moi-moi kekasihku, kau katakanlah
kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"
Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah,
wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan berkata,
"Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami
berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"
Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu.
Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa ia akan menghadapi hal seperti
ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya,
tentu saja ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini
telah terpikat oleh Pouw-kai-ong, telah jatuh cinta atau juga karena takut.
Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan rasa takut,
jadi terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis!
Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang telah
terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta, melainkan
karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa
mengikuti Pouw Kee Lui!
Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk
kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya kehilangan senyumnya seperti
orang gila ketika ia berkata,
"Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini
juga aku menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu.
Akan tetapi mendengar bahwa kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan
pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas merenggut nyawa para pimpinannya, aku
menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku
datang, biarlah aku merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan,
di dalam ruangan ini atau di luar!"
Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang
menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang biasanya pucat itu kini menjadi
merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya, akan
tetapi mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke
kanan ke kiri membayangkan kecerdikan otaknya. Selama ini ia sudah bersekutu
dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang Muda.
Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap
Kerajaan Tang Muda sebagai musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar
tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau
Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus
waspada menghadapi orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri
kehebatan sin-kang dari manusia sinting ini. Dan sungguh kebetulan sekali,
dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para
sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata
dengan senyum lebar.
"Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan
kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu. Akan tetapi kau melihat
sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat
mengotori suasana meriah dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan?
Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang
jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama
tiga hari untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan
menantimu di puncak gunung ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati
kita tanpa mengganggu isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"
Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman,
dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu
muslihat apa yang hendak digunakan nya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san.
Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar.
"Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan
bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah,
aku pergi!"
Setelah melenggang keluar dari ruangan itu, terus
berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para
pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya
bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata
pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini
mereka melihat ada orang yang berani menantang kai-ong mereka dapat keluar
dengan selamat dan seenaknya!
�Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika
ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersamadhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah
merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat
suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan,
menghampiri suhunya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang
memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah
membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan bahwa ia dapat
juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar
bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak
pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu
masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata
yang bersinar-sinar itu.
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus
belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari
pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki
yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan,
busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang..." Kim-mo Taisu
memberi petunjuk sambil memberi contoh.
Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini,
terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa
paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan
kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin
lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu
mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya
ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara
menguasai napas.
"Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar
dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu, kaubiarkan
dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kautunggangi jangan lepaskan
sedikitpun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya."
Demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk. Kemudian ia
mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak
dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung
hidung, seluruh panca indera dipusatkan "menunggang naga". Inilah
inti pelajaran ilmu bersamadhi, dan siulian atau samadhi ini pula menjadi dasar
pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa
gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan
kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu
silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru
saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk
bersamadhi, sungguhpun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba
punggung muridnya. Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati
girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan
lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu
kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan
tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah
kepada teecu?"
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu,
tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung
goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat
membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian
ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus
menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar,
menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan
tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan
engkau menulis huruf indah."