Bab 14
Untuk memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga
keamanan di istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang
terdiri daripada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya
telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!
Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani
mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan
tetangga pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena
gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para penyerbu itu
dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani mencoba-coba lagi dan
Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil
yang kuat.
Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh
pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang
keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka mengejar ilmu daripada
mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan
setelah kembali, ia telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan
memasukkan agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia
ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu roboh seorang demi seorang
oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti
di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu dan sekaligus diangkat
menjadi koksu oleh raja yang masih keponakannya sendiri.
Pernah diceritakan sedikit dalam cerita ini tentang
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya
mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan terkenal dengan
julukannya, Tok-siauw-kui. Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas.
Hampir tiga puluh tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih
seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia
terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan
gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.
Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan
pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi
karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan
menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini menggegerkan dunia
kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang
tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang seperti Kam Si
Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak banyak artinya?
Namun tak seorang pun berani menyatakan kekecewaan mereka
secara berterang, apalagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki
kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam
memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan
bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh bahagia, saling mencinta.
Setelah Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, mulailah
cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul
percekcokan-percekcokan kecil yang segera berkembang menjadi percekcokan besar.
Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya
yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik bidadari berubah seperti
kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah menjadi keledai yang
menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan
pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci saudara kembar,
bersifat Im dan Yang!
Memang pada dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda.
Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak, berkecimpung di dunia kang-ouw
dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak
liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya,
Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil
hanya melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang
menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga mereka.
Memang sesungguhnyalah, persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan
rumah tangga daripada cinta nafsu yang membuta.
Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya,
berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya.
Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera, demi untuk kebebasan dirinya.
Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di
lereng bukit itu, merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan,
seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang setelah
minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi,
terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama
sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa.
Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang
ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya
sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama
Liu Lu Sian. Akan tetapi, Kam Si Ek menikah lagi dan seperti yang kita ketahui,
dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng.
Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal dunia, tiga
tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan sekaligus Koksu Kerajaan
Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir
menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya, Liu Mo malah lebih tekun daripada
kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang
Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada
puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek adalah Liu Mo setelah menjadi
ketua Beng-kauw, berusaha untuk mencari keponakannya itu.
Demikianlah keadaan para tokoh pimpinan Beng-kauw yang
juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh
Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan
ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari
wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan darurat
disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok.
Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat,
sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh besar dan di
situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini
tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh
dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar.
Di depan pintu gerbang dibangun sebuah gedung penerimaan
tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan
kemudian diatur pembagian tempat penginapan di lingkungan istana. Bukan
pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk melakukan penyambutan ini,
melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup penting.
Sebagai kepala rombongan menyambut bagian pria adalah
Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih
sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali,
dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan terlalu besar, rambutnya
yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali serat, sepatunya dari
rumput, di punggungnya tampak sebuah topi caping lebar yang tergantung dari
leher. Ujung sebatang cambuk tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah
cambuk tukang gembala kerbau, kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi
sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang
paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu, sederhana sekali kelihatannya kakek
ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang
besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh
beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.
Adapun penyambut tamu wanita dilakukan oleh serombongan
penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan
gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing
padat rambutnya dibungkus saputangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari
sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan
bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam
yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu
putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang,
warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatangkan pemandangan janggal, malah
menambah keluwesan gadis itu!
Memang betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa
pun juga tetap tampak cantik menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu
terlibat tali hitam kecil yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada
ujung tali-tali itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol.
Sepintas pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang
itu tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya
bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis manis merupakan
sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau Si Gadis
manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia
bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!
Banyak sudah tamu-tamu yang datang biarpun pesta itu baru
akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang
sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui bahwa para
undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh
negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan
jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan
tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja
sudah merupakan kesenangan tersendiri.
Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang
panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat
daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung dewata!
Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu beruang yang hanya
hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu
saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum
menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan!
Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang
amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba
untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung
Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti
halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam
diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong
sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.
Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau
sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari
pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu sendiri sambil
mengucapkan selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan,
putera pangeran dari kota An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh,
seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar,
melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer,
banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping
Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini
pun membawa sumbangan ˜kecil! sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat
munculnya Beng-kauwcu sendiri.
Seperti dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di
antara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan
hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka
bela. Akan tetapi sebagai tamu daripada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama
rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada
yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain
agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.
Betapapun juga, karena memang di dalam hati sudah
mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya
peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan bertemu
muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi, seperti
telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan
Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk
membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao!
Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias
dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi
pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak
orang bekerja seperti biasa, tampak pada wajah semua penduduk yang terhias
senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama
merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat
daripada Agama Beng-kauw.
Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari
pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di
depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri
bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan, wajah raja
yang sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali
karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata
menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah
kerajaan yang terpandang tinggi.
Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang
tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi
sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak
agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan
wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri
seperti wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya
memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang
mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu
terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal
benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu
mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai
harganya.
Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama
sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah
ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak
pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang
namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
yang amat sakti.
Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu
kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini
tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan
beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te
Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou
Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang
hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk
dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal
itu selengkapnya. Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng
Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang
lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh! Biarpun
kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup
mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan
dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan
lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap
dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya
membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi kalau diingat betapa bibir
yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot
darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah!
Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan
sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang
sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para
tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan
Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan
mereka.
Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang
kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh
Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena
Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk
golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini. Akan tetapi sambil
tertawa Lin Lin berkata,
˜Enci, tidak usah repot-repot, aku bukanlah tamu
undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan..! tiba-tiba
matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya
kata-kata yang terputus tadi,
˜Nah, itu dia.. merekalah yang kucari..!
Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli
lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah
lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas
dan Sian Eng! Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan ˜blusukan! tanpa aturan
ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh
kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas
menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu.
Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil
bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.
˜Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada
Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!!
Sian Eng yang lebih mengenal aturan daripada Lin Lin,
segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan
Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin
mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat
dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.
˜Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?!
Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia
memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah
marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang
duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap
agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai
jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera
mundur, malah menjadi makin berani.
˜Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula
terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap
tidak usah membawa lampu!!
Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya.
˜Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan
lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini,
kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.!
Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu
berkerut.
˜Wah, senang sekali.. tapi, selamanya di sini? Tidak
mungkin!!
˜Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!! Suling Emas
membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut
mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
˜Terima kasih atas keramahan Ji-wi!! Ia lalu melangkah
lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan
pertanyaan-pertanyaan.
˜Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau
membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup
dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku
mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau
enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng..!
˜Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan
Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan
orang lain.!
Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok
kepadanya.
˜Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan
Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin
aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?!
˜Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan
waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu
Sin?!
Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia
menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara
Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam
panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah
menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan
diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
˜Aku akan tanya kepadanya!! Lin Lin sudah bangkit dari
kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya
terang-terangan tentang kakaknya. Melihat ini, Suling Emas menggerakkan
tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun
berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di
kursi sebelahnya.
˜Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu
yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau
kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap.
Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono.!
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan
pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap
merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa
Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul
kakaknya, yaitu Kam Bu Song!
˜Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia..! ia
mengerling ke arah Suling Emas, ˜dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar
kita di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song,
berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin
selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.!
˜Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan
bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan
semuanya.!
Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa
dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan
tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya
tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu
tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi
bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang
kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh.
˜Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu.
Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia!! Sambil berkata demikian ia
mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di
tangan kiri.
Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun
kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otaknya, ia menyambut penuh
kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia
tinggalkan keluar pula.
Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan
kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar
yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia
melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat,
melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang
seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi
Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel.
˜Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting
aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat
itu!!
Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata
lembut,
˜Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun
Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok
di dalam kuli istana.!
˜Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan
Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan
selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi
hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.!
˜Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat.
Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau
membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,! kata
Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.
Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan
kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wajah berseri segera
berkata,
˜Silakan.. silakan..!
Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain
putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke
dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari
tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang
kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain
putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah
terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti
seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama
Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup
jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan
menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.
Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau
menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian
jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat
mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya
mencoret sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak
hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan
coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang sepenuhnya
sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan
memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk
masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para
tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat
menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu
tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak
bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau! Mata harimau
yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan
taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek
seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang
hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua
warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan.
Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!
˜Bagus.. indah sekali..!! Raja Nan-cao seorang penggemar
lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit
mendekati dan memandang lebih jelas.
Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal
sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang
pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar,
bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya
tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw,
memandang dengan tenang.
Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini
mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek
lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian
tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk
sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan
putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang
gemilang!
Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan
napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna
hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu
mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
˜Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak
berharga ini!!
˜Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,! kata Beng-kauwcu
Liu Mo sambil menerima lukisan itu.
˜Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua
orang dapat menikmati keindahannya,! kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.
Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera
maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga semua orang dapat
memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan
pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi
keheran-heranan. Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan
ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan
mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang
maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar
dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan
dan semburan mulut saja!
Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan
lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia
memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau,
lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
˜Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui.
Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan
besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di
Sung Utara, menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada
Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara
selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.! Sampai di sini, Suma Boan
berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda
setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.
˜Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu
yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama
puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang
dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar
menjadi kenang-kenangan.! Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang
tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.
˜Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus
tahun yang lalu!! seru Raja Nan-cao.
Sambil tersenyum Suma Boan berkata,
˜Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat
mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki
pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba
mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di
tempat yang layak.!
Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang
pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik
adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek,
terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung,
barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum.
Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari
cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali.
Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan
telinga mendengar derap dari jauh!
Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada lukisan
harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal
keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna
aseli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek,
lalu ia berkata.
˜Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan
lukisan pusaka itu.!
Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru,
˜Silakan, orang muda yang pintar, silakan.!
Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling
sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan
sajak dengan suara nyaring.
˜Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan!
Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda
sakti!!
˜Bagus!! Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara
para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin
bangga dan dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba
terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek
karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.. kentut! Ada yang
sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini
benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati batas! Suma Boan juga
sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah. Ia merasa
dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi kentut oleh
Gan-lopek!
˜Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku
tadi?! Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai. Kakek itu
bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali,
kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian
terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang
rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia
pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.
˜Ha..ha.., bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi
hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap
seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan
Beng-kauw dengan lukisan itu!! Ia menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara
para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek
kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.
˜Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan aseli dari pelukis
besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina
kami!! Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai
kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apalagi
dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut
sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak
senang, sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina
Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.
˜Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja
Kauwcu tidak tahu.!
˜Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang
kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang,
bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?! Suma Boan menudingkan
telunjuknya.
˜Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa
di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah
datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau
dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu
pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung
orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina
karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama
sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum
akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi
kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar
membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti,
akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya
pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya
pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan
dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang
dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?!
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak
pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa.
˜Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan
tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau
pandai memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu,
kalau kami boleh mendengar keterangannya?!
˜Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang
kejam dan ganas!! Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi
hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah
merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.
Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata
nyaring,
˜Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian
binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa
pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun besar
tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang
besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang
benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang,
maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah
arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!!
Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh
sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan
makin mendongkol dan ia berkata mengejek.
˜Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi
pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang
Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani
bertanding dengan dia!!
Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan
di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan
tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu
saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai
melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak!
Biarpun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan
mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya
tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat,
yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun
yang kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah
tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi, Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh.
Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya
tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia
memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping
ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai
pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu
ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri daripada
ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain
baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya
sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa
Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang ˜mati kutu! terhadap Suma Boan!
˜Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu
keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu
kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kaupanggil ke
sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun
belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum
becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu
merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai
arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?!
Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya
tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh dibandingkan dengan
sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek
Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris kalimat, apa
sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah,
dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya
memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat
paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu
dan Raja Nan-cao sambil berkata.
˜Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek
buta huruf yang pura-pura pintar ini.! Kemudian setelah raja dan ketua
Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan
tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para
tamu dan berkata nyaring.
˜Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang
terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah
huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung
kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?!
˜Betul, betul!! Gan-lopek mengangguk-angguk. ˜Kalau kau
betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan
kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh
leluhurmu!!
˜Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu
yang merupakan empat buah kata-kata!! Suma Boan menantang.
Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar
sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada
kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah
kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai
seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh
perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang
Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah
kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar
lantang ketika ia berkata,
˜Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku
sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa
taruhanmu kalau kau kalah?!
˜Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini
mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang
minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah
kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau
sebagai guru!!
˜Ho-hah, boleh.. boleh.. akan tetapi aku sangsi apakah
aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah,
buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf
pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!!
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang
terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang
ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di
depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas
atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka
bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang
gila saja yang dapat memasukkan kata-kata ˜tahi! ke dalam sebuah sajak, tentu
menjadi sajak orang gila! Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia
cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa
kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan
mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar
untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan
kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan.
˜Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!!
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini.
Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang
berarti hanya ˜makan tahi!! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao
tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti hainya Beng-kauwcu dan yang
lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma
Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
˜Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah
HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kauputar-putarlah otakmu, kaurangkai
empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung
kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di
depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu,
hoh-hoh!!
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah
memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya.
Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi
kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat,
namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah
KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini,
kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek
goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah
membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua
itulah yang ada artinya.
˜Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah,
siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!! seru
Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing
ikut pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru.
˜Harap hadirin jangan berisik!! Suaranya perlahan saja,
akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan
diam. Para locianpwe yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun
gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat
agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai
tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
˜Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini
sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?!
˜Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah
sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat
macam kalimat.!
Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena
banyak diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di
utara ini akan menang, pikir mereka.
˜Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam
kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah
salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!!
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan
dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang
memenuhi ruangan.
˜Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?!
˜Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!!
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil
memegangi perutnya.
˜Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan
tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya
yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!! Ia menudingkan telunjuknya ke
arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi.
˜Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan
kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha!!
˜Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!! teriak Suma
Boan. ˜Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi
saksi!!
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa
sampai keluar air matanya.
˜Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar
melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus
dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian
kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong,
tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau
atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang
bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?!
Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali
terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan
benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
˜Jawaban itu bohong!!
Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua
orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan
menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia
berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
˜Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya
rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan
tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!!
Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk
kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke
atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil
berteriak-teriak gembira,
˜Betul..! Ucapan Nona betul!!
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara
remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka
mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula
kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya,
namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam,
˜Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena
jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu
saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!!
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut
dan menjawab.
˜Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kaukira
aku mudah kautipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat
hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga
mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum
memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat
dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?!
˜Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa
menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau?
Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!!
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan
wajah Suma Boan makin merah.
˜Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat
dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku
kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan
kepalaku kepadamu!!
Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan
tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek
itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga
baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa
sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada
Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao
juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri
sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
˜Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para
hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku
dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran
seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini..!
Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata
memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang
itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
˜HARIMAU MAKAN KUDA!! Akhirnya Empek Gan berkata lantang,
˜Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah
ini, ha-ha-ha!!
Ia berpaling kepada Suma Boan.
˜Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN
KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan
binatang-binatang lemah, termasuk kuda!!
˜Tidak betul!, belum lengkap itu! Huruf TAHI belum
dimasukkan!!
˜Sudah betul,! kata Empek Gan. ˜HARIMAU MAKAN KUDA! Nah,
tidak betulkah itu?!
˜TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kautinggalkan!!
Orang-orang berteriak-teriak,
˜Ya, TAHI-nya bagaimana?!
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya,
tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek,
˜Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang
berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?!
˜Ha..ha..ha.. Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya
tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan
kudanya, adapun TAHI-nya.. kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu
bagianmu!!
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan
mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin
terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan
terus tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah
jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan
sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang
sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini
bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan
untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan
muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang
hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu
seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking
tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan
pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil
memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan
itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat
kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah
menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus
pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas,
apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang
siap mencokel pergi nyawanya dari badan!
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi
Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya
dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal.