"Kalau begitu, lekas kau buka baju di punggungku,
kau robek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan di
mana letaknya."
Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan
Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung dan "brettt!" baju
luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari
tangannya yang kuat. Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus
seperti salju, dengan urat-urat merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang
kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut kuatir melihat tujuh batang
jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu, di sebelah kiri!
"Tujuh batang jarum merah!"
Suaranya menggetar melihat betapa kulit di sekitar
jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!"
Karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang
tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan
cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu
Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan
tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum
perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kau cari lilin dan nyalakan lilin itu.
Kemudian kau bakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini
sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat
mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam kamar membawa lilin yang
dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua
jarum.
"Sekarang kau tusuklah tepat di kedua jalan darah
kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kau tusukkan
pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya
memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora di
dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga
perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian
begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak
sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi
ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di
sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali
menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung,
Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
"koko, kau kenapa...?"
Pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui
sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa
Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata
menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar
terhadapmu, Sian-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam
keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui.
"Heii.., mengapa kau bilang begitu? kau telah
mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya?
Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Koko, bukan kah... bukankah kau suka pula
kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik
jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini
yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila!
"Sian-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum
kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama
sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan
jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui,
mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada
kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita,
betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat
daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah
seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah
nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan
kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang
laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan
cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak
kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat
berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan
isterinya, sedang haus akan cinta. Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita
seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah
menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka
bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang
memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang.
Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan
batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu
tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah
pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia
telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum
keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk
menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya!
Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah
benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian.
Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas.
Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap
hari bermain-main di pinggir anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau,
tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping berlatih ilmu gin-kang yang
diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya. Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan
Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya. Rahasia kehebatannya
terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi, cara penyaluran jalan darah di
waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah
terletak perbedaannya dengan gin-kang dari golongan lain. Dan cara melatihnya
pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat! Inilah
sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan
gin-kang, dan menyatakan bahwa hanya orang "dalam" atau keluarga
sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain, bagaimana
mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita
menjadi kekasihnya, menjadi isteri walaupun di luar pernikahan, tentu saja
syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi,
dan di samping ini juga amat cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia
sudah berhasil menguasai ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya
kepadanya. Ia merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari
gin-kang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai gin-kang nomor satu itu, juga
ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih
yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti
bekas suaminya, Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan
disiplin! Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping
Tan Hui, karena kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia
menjelajah di dunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan
sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan
Tan Hui di sampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai
Suatu hari itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului
kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai, kebetulan datang serombongan
orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah
serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui,
mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini
untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera
mencarinya. Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang,
juga para piauwsu ini membawa berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking
kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu menekan perasaannya dan segera
ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada
kakak iparnya bahwa ia segera pulang.
Demikianlah, ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah
seorang wanita dalam cinta, pulang dari anak sungai, ia disambut oleh Tan Hui
dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang
mengamuk di hatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia
mencinta Lu Sian maka yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita.
Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!"
"Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak
benar pagi ini?" Lu Sian menangkap lengan kekasihnya yang hendak pergi
itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau.
Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut
lengannya yang dipegang Lu Sian secara kasar, sambil berkata.
"Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu
karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dari dusunku sendiri!"
Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya
dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui, sambil berkata,
"Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang
menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau marah-marah kepadaku dan
seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam kau masih
memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan..."
"Cukup?" Tan Hui membanting kakinya dengan
marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah.
"Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut
lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila. Perbuatan
terkutuk!"
"Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku
menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kau bilang itu terkutuk?"
"Perbuatan zina yang terkutuk! Apa kau masih ingin
memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!" Tan Hui memaksa keluar dari
pintu depan.
Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya.
"Kau bicaralah! keluarkanlah isi hatimu! Aku akan
mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah
dan membenci padaku!"
Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan
tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu
kali terisak.
"Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu
mengelak. Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang
permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah kau menipuku, mewarisi gin-kang dan
menyeretku ke dalam hubungan zina karena kau adalah isteri dari seorang Jederal
Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara pahit sekali
oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri
Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku
sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa
pagi-pagi ini kau berubah? Sejak kapankah kau ketahui rahasiaku itu?"
"Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan
Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang
kau...."
"Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah
menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah kau lempar begitu saja?
Apakah kau sama saja seperti lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu,
seperti kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari
kembang?.
"Liu Lu Sian..!!, kau cukup tahu laki-laki macam apa
aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai
detik ini pun aku masih cinta kepadamu, Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI
Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berzina denganmu, ini saja sudah
merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena
malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu
dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati
serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat
bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk
mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta
kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang,
aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh
siluman betina macam engkau!"
Tan Hui meloncat jauh ke depan. Terdengar pekik kemarahan
dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah menyambar ke arah Tan Hui,
disusul bentakannya,
"Tan Hui, kau terlalu menghinaku!"
Mendengar sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat
mengelak dan tangannya menyambar. Ia berhasil menangkap sebatang di antara
jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Melihat jarum merah di tangannya itu. Tan
Hui tertegun, kemudian kemarahannya memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah
kini ia kembali dan memaki-maki.
"Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau
terluka dahulu itu, hanyalah akalmu saja untuk merayu aku dan menyeret aku ke
dalam jurang kehinaan, yang melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu
sendiri!"
"Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala
macam akal untuk memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku
sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya
seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan
suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"
"Dan aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan
lacur... kau..." saking marahnya Tan Hui tak dapat melanjutkan
kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.
Lu Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa
berkata-kata lagi, kedua orang muda yang semalam masih saling peluk cium dengan
kasih sayang yang semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat dan
mati-matian karena hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan
tangan maut yang mencari korban.
Julukan Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu
saja ilmu pedangnya lihai sekali, akan tetapi sesungguhnya, yang membuat ilmu
pedangnya menjadi lihai itu adalah karena ia memiliki ilmu gin-kang yang hebat.
Ilmu meringankan tubuh ini membuat ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga
ilmu pedangnya tentu saja menjadi amat berbahaya karena cepatnya.
Biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau
dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu Sian yang diwarisi dari ayahnya, pada
dasarnya kalah tinggi, namun andaikata Lu Sian belum mempelajari gin-kang
istimewa itu, agaknya Tan Hui akan dapat mengimbanginya dengan kecepatan.
Namun, kini Lu Sian telah memiliki gin-kang Coan-in-hui (Terbang Terjang Awan)
yang dipelajari dan dilatih secara tekun dari Tan Hui sehingga biarpun
dibandingkan dengan Tan Hui gin-kangnya masih kalah sedikit karena membuat ilmu
pedangnya Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya menjadi beberapa kali lipat
dahsyatnya.
Lu Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan
aneh. Memang tidak dapat disangkal pula bahwa semenjak meninggalkan suaminya,
Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta
Tan Hui dan agaknya akan bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja
tidak terjadi perselisihan di pagi hari itu. Karena ia berwatak keras, begitu
Tan Hui memperlihatkan sikap membenci dan menghina, maka ia pun memaksa
perasaannya untuk balas membenci, dan menganggap Tan Hui seorang musuh yang
harus dibasmi.
Pertandingan berlangsung makin hebat dan seru.
Berdentingan pedang mereka saling beradu, diseling bersiutnya pedang menyambar
membelah angin ketika dielakkan lawan. Setelah berjalan seratus jurus mulailah
Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak
mengandung gerakan-gerakan yang curang. Di samping kalah tinggi ilmu pedangnya,
juga di dalam hatinya, Tan Hui tidak lah sebulat Lu Sian untuk membunuh lawan.
Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah mendengar bahwa kekasihnya
yang benar-benar amat dicintanya itu adalah isteri orang! Ia menentang Lu Sian
terdorong kemarahan karena kecewa inilah, maka setelah bertanding agak lama,
mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang secara sungguh-sungguh.
Berbeda dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat.
Melihat betapa lawannya mulai terdesak, ia berseru keras dan berubahlah
pedangnya menjadi segulungan sinar yang amat hebat. Angin menderu-deru keluar
dari sinar ini yang tadinya bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat
membentuk lingkaran-lingkaran secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui.
Inilah Toa-hong Kiam-sut yang dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang
dimilikinya, biasanya sudah hebat sekali apalagi sekarang setelah gin-kangnya
maju pesat. Maka cepatlah gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar
dari gerakan senjata itu.
Tan Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras
saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang yang demikian dahsyatnya. Cepat ia
mempertahankan diri, namun kecepatan pedangnya tidak cukup untuk membendung
datangnya lingkaran-lingkaran yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru
saja pedangnya berdenting karena bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita
itu sudah menyelinap dengan kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu
sudah memasuki perut Hui-kiam-eng Tan Hui!
"Cepppp!" Hanya sedetik terjadinya hal ini Lu
Sian sendiri merasa kaget, cepat-cepat mencabut pedang dan meloncat mundur
sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak dengan mata terbelalak memandang
bekas kekasihnya yang kini menjadi musuhnya itu.
Tan Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang
pedang, tangan kiri menutup luka di perutnya sambil menekan keras-keras namun
tetap saja darahnya menetes-netes melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya
pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum pahit.
"Tidak penasaran Hui-kiam-eng roboh di tangan puteri
Beng-kauwcu, karena memang kiam-hoatmu hebat luar biasa. Akan tetapi sebagai
bekas kekasihku, biarlah aku nasehatkan kepadamu bahwa kalau kau melanjutkan
kesukaanmu menggoda dan menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk,
kau akan banyak dimusuhi orang. Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada
suamimu sehingga hidupmu kelak akan terjamin...?"
"Cerewet! Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku.
Kau sudah terluka, aku memberi kesempatan kepadamu untuk pergi mengingat akan
perkenalan kita yang lalu!"
"Seorang pendekar tidak akan lari daripada maut.
Lukaku memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri tegak,
pedangku masih di tangan. Siapa bilang aku kalah? Baru kalah kalau pedang ini
sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat berdiri. Lihat
serangan!"
Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat, sambil
menekan perut dengan tangan kiri. Karena gerakannya dalam menyerang ini
mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan
tangan.
Lu Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi
saja selagi masih belum terluka, Tan Hui tidak mampu menandingi ilmu pedangnya,
apalagi sekarang setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut
ujung pedang Lu Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal
roboh bergulingan lalu diam telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan
kanan masih memegang pedang dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas
kekasih nya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan pedangnya.
"Salahmu sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari
mati..." Tan Hui menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya
terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata,
"Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi...
tapi tak mungkin. Aku sudah jatuh... aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya
pesanku... jangan kauturunkan gin-kang kepada orang lain... dan kalau kelak
anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kau
ampunkan dia..." Makin lirih suara Tan Hui akhirnya hanya terdengar
bisik-bisik yang tak dapat dimengerti, kemudian ia diam tak bergerak lagi.
Sejenak Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan
rasa haru yang hendak mencekam hatinya. Ia seorang yang berwatak keras, tak mau
ia dipengaruhi rasa kasihan. Kemudian ia berlutut di dekat mayat Tan Hui.
Setelah mati wajah Tan Hui tampak tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian
akan malam-malam bahagia bersama pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka
Tan Hui sambil berbisik lirih.
"Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"
"Celaka ia membunuh Tan-taihiap!"
"Sing-sing" dicabutnya golok dan pedang.
Perlahan Lu Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu
yang sudah mengurungnya, sinar matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah
tersenyum mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang kempis. Alamat celakalah
mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti itu, karena itu
adalah tanda-tanda daripada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui
mengenalnya oleh keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak langsung, para
piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!
Kalian piauwsu-piauwsu jahanam inilah yang menceritakan
kepada Tan Hui siapa adanya aku?" suaranya terdengar satu-satu perlahan
dan jelas, diucapkan dengan mulut setengah tersenyum.
Seorang piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki.
"Kau siluman betina! Kau puteri Beng-kauwcu dan
sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau membunuh Tan-taihiap...,
perempuan keji...!"
"Syiuuutt, cring... crokkk!" piauwsu muda itu
sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar ke arahnya. Goloknya yang
menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali
dan kepalanya terpental jauh, tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan
menyemprotkan darah seperti air mancur!
Ributlah delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka
itu menerjang dari segala penjuru. Namun Lu Sian sudah siap sedia, dan sudah tak
dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam di tangannya
berkelebat laksana naga mengamuk. Kini gin-kangnya sudah maju pesat sekali
sehingga gerakannya sukar diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguhpun
delapan orang itu menerjang berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu
Sian yang seakan-akan dapat melejit dan menyelinap di antara sinar golok dan
pedang para pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang
Toa-hong-kiam di tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang! Hanya
terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar
bersiutan, kemudian yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang
pengeroyok, disusul orang ke dua ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung,
perut robek, atau muka terbelah dua. Darah muncrat-muncrat dan tubuh
bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu
telah roboh mandi darah di sekeliling mayat Tan Hui! Ada diantara mereka yang
tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi orang cacat karena
sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung!
Sambil tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya,
menyarungkannya kembali lalu pergi dari situ tanpa menengok lagi. Hanya
beberapa loncatan saja dan ia sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi,
barulah penduduk dusun itu geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka
pucat. Di halaman pondok yang tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang
muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka
berkasih-kasihan, kini pebuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati,
ada yang terluka parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan
itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai
turun tangan menolong mereka sedapatnya.
Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal
sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin
dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi
mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu
Sian, wanita ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan
madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian,
tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang
tidak mati, tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian
sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
***
Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari
rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa
tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh
orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja
yang dijumpainya kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa
dan minta tolong kepada siapa.
Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun,
namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar
membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu,
yang disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak
dan agama yang isinya berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan.
Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat
mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.
Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan
yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang
memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya
ini, maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia
mengambil keputusan, akan diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga.
Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada
tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut
sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya
membuat ia dapat saja mencari jalan hidup.
Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali,
ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak
malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar minta
upah sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau,
menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan
dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak
pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk
menyambung hidupnya.
Biarpun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang
ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali
tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karen sejak kecil,
kitab-kitab filsafat dan nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan
rendah terhadap ahli silat. Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan
kasar dan kotor, demikian nasihat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang
pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok!
Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh,
untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat
mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera,
membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan
dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian
silatnya.
Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa
ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf
hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia "memaksa diri" untuk
membenci ilmu silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap
dan tenaganya yang besar itu menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk
menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan!
Karena semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera
seorang pembesar yang serba cukup, maka biarpun sekarang telah menjadi seorang
"gelandangan", namun Bu Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap
bersih dan sehat, biarpun pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan
sehingga yang dimilikinya hanya yang menempel pada tubuhnya, namun ia merawat
pakaian itu dengan hati-hati, mencucinya setiap kali pakaian itu kotor. Oleh
karena inilah, Bu Song selalu tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang
anak gembel.
Pada suatu hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah
Bu Song di lembah Sungai Huai yang subur daerahnya. Ia meninggalkan Kabupaten
Jwee-bun dimana ia tinggal selama sebulan dan bekerja membantu seorang pemilik
rumah makan. Kini, dengan bekal sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi
meninggalkan Jwee-bun, terus ke timur melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah
sungai.
Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menerobos
celah-celah daun pohon di atas kepalanya. Angin semilir berdendang dengan daun
bunga, mengiringi nyanyian burung-burung hutan. Di sana-sini, binatang kelinci
dengan telinganya yang panjang-panjang berlompatan saling kejar dan bermain
"sembunyi-cari" dengan teman-temannya di antara rumpun. Demikian
indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian nyaman perasaan pada
pagi cerah itu sehingga Bu Song lupa akan segala kesukaran yang pernah ia alami
maupun yang akan ia hadapi. Anak ini berdiri diam tak bergerak agar jangan
mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton mereka bermain-main dengan hati geli.
"Ha-ha-ha-ha! Akulah raja di antara segala raja!
Dikawal monyet-monyet berkuda! Ha-ha-ha!"
Bu Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara
ketawa yang disambung kata-kata yang dinyanyikan itu. Suara itu datangnya dari
belakang, masih jauh sekali. Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi
ini ada seorang bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi
makin heran ketika mendengar suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima
ekor kuda besar-besar ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan
bengis-bengis. Kuda terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar
bermuka hitam, menyeret seorang laki-laki yang rambutnya compang-camping penuh
tambalan. Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi, karena memang
keadaannya seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup
besar dan kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh Si Penunggang Kuda. Si
gila ini tangan kanannya memegang sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha
angsa atau kalkun, yang digerogotinya.
Biarpun kedua lengannya terikat, ia kelihatan enak-enak
saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali tidak
kelihatan takut. Terang dia gila, pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang
itu. Mereka kelihatan galak dan membawa senjata tajam. Rasa iba menyesak di
dadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa
seperti itu?
Tentu saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila
itu adalah seorang sakti yang telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan
perbuatannya yang hebat dalam menentang kejahatan, disertai tindakannya yang
selalu edan-edanan seperti orang tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh
jadi lima orang itu juga seperti Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang
mereka tangkap itu adalah Kim-mo Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu
adalah seorang sastrawan tampan dan gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo
eng!
Terdorong oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri
orang gila itu.
"He, bocah! Mau apa kau??" Seorang di antara
para penunggang kuda itu membentak, tangannya bergerak dan cambuk di tangannya
itu mengeluarkan bunyi "tar-tar-tar" seperti mercon.
"Aku hanya ingin bicara dengan Paman ini, apa
salahnya?" Bu Song menjawab dan ia nekat mendekati terus biarpun ia
diancam dengan cambuk yang panjang dan dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki gila itu dengan enaknya menggigit sepotong
daging dari paha panggang yang dipegangnya, lau melirik ke kanan memandang Bu
Song, tertawa dan berkata.
"Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit
dan makan sepotong!" Sedapatnya ia mengelurkan tangannya yang terikat
untuk memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.
"Tidak, Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah
sendiri." Bu Song terpaksa harus maju setengah berlari untuk mengimbangi
orang gila yang terseret di belakang kuda itu. Orang gila itu terpaksa pula
melangkah lebar dan terhuyung-huyung.
"Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan
kau hendak dibawa ke mana?"
"Bocah gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!" Cambuk di
tangan penunggang kuda yang paling belakang, melecut ke arah Bu Song dan orang
gila itu. Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biarpun kurus namun
bertenaga sehingga lecutan itu keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan
leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama sekali tidak merasa sakit
karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan
tertangkis tenaga yang tak tampak.
"Heh-heh-heh, bocah sinting, kenapa kau
bertanya-tanya?" Si Gila itu berkata kepada Bu Song sambil tertawa
menggerogoti paha panggang pula.
"Aku kasihan kepadamu, paman. Biarlah kumintakan
ampun untukmu..."
"Hush, jangan goblok! Aku memang berdosa, aku
mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan untuk itu aku harus menerima hukuman.
Biarlah aku diseret dan baru hukum seret ini habis kalau paha ini pun habis kumakan."
"Kau masih tidak mau pergi?!" Kembali Si
Penunggang Kuda mencambuk, kini ujung cambuk mengenai pipi Bu Song, terasa
sakit dan panas. Namun Bu Song memang keras hati, ia tidak mundur, dan terus
berlari di sebelah Si Gila.
Kini orang gila itu memandang kepadanya dengan mata
bersinar-sinar, memandang ke arah jalur merah di pipi yang tercambuk.
"Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau tahu? Mereka
ini adalah lima ekor monyet yang hendak menangkap anjing, akan tetapi sayang
kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah, pergilah kau, sampai jumpa
pula!"
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud
kata-kata Si Gila itu, hanya ia dapat menduga bahwa Si Gila ini tentu memaki
para penawannya yang disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, Si
Gila ini malah mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata
bersajak mengandung sindiran yang memaki orang!
"Cerewet, masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau
bosan hidup?" Kembali cambuk itu melecut, mengenai kaki Bu Song dan sekali
cambuk itu digerakkan, Bu Song terlempar ke pinggir jalan, bergulingan.
Kulitnya lecet-lecet, akan tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat
ia bangun berdiri dan sempat melihat betapa orang gila itu kini terseret-seret
karena lima ekor kuda itu dilarikan cepat-cepat. Biarpun terseret-seret jatuh
bangun dan terhuyung-huyung, namun Si Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi
dengan suara riang dan nyaring. Bu Song berdiri bengong, penuh iba dan juga
penuh kagum kepada orang gila itu.
Biarpun kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja
sebetulnya hal itu disengaja oleh Kim-mo Taisu Kwee Seng! Pagi hari itu, baru
saja ia bangun dari tidur nyenyak di sebelah kuil bobrok di luar kota Kabupaten
Jwee-bun ketika lima orang penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena
tidak tahu apa urusannya, Kwee Seng tidak melawan dan memang pada saat itu,
gilanya sedang kumat. Malam tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya
dari rumah makan terbesar di kota itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah
begini, tentu ia teringat akan semua pederitaannya sehingga membuat ia
tertawa-tawa dan menangis seorang diri. Ketika lima orang itu menyergapnya dan
mengikat kedua lengannya dengaa tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat
untuk membelenggu lawan, ia hanya tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya.
Orang tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan
lima orang itu, setelah membelenggu kedua tangannya, lalu bertolak pinggang dan
berkata,
"Kami adalah murid-murid tertua dari perkumpulan
Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan Silat Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu
menyelidiki dan mengejar penjahat yang tiga malam yang lalu telah mengganggu
rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena kaulah orang baru yang kami temui
dan jelas bahwa kau pandai ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan
membunuhmu sebelum kau dihadapkan kepada Suhu."
Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar lalu mereka
menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun.
Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Akulah raja-diraja! Pengawal-pengawalku
monyet-monyet berkuda!" Ia menari-nari di pinggir-pinggir jalan dan ketika
mereka lewat di depan rumah makan, kaki Kwee Seng menendang meja. Anehnya, meja
itu tidak roboh, hanya panggang paha yang berada di tempatnya telah
berloncatan.
Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah paha panggang yang
meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha panggang yang masih panas
itu sambil mulutnya mengoceh,
"enak... enak, gurih sedap...!"
Pemilik warung marah-marah, bersama beberapa orang
pembantunya memungut paha panggang yang berjatuhan di tanah, kemudian mereka
hendak memukuli oarng gila itu.
Akan tetapi Si Muka Hitam membentak.
"Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih,
kerugianmu kuganti!" ia melemparkan sepotong uang perak yang diterima oleh
pemilik warung dengan girang. Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan,
anak-anak menggoda Kwee Seng, orang-orang tua mempercakapkan kejadian aneh itu.
Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri paha panggang, dan melihat betapa
kepala rombongan orang berkuda itu dengan baik membayar kerugian Si Tukang
Warung, otomatis semua orang berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga
bahwa orang gila itu tentulah telah melakukan perbuatan jahat.
Kwee Seng terus diseret berlari-lari di belakang kuda
sambil tetap menggerogoti daging paha. Setelah dagingnya habis semua tinggal
tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya untuk dihisap sum-sumnya, mendadak
Kwee Seng berhenti dan berkata.
"Sudah cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun
habis!"
Kuda di depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya,
Si Muka Hitam yang memegangi ujung tali belenggu, tersentak ke belakang dan
jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat
salto sehingga ia dapat jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras
dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh berdiri di atas tanah sambil
membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga cepat melompat turun dan
mencabut senjata masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak
jerih.
Kwee Seng menggerakkan kedua tangannya dan "bret,
brett" tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah.
Kembali lima orang itu terkejut, juga Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut
goloknya, siap menghadapi tawanan yang memberontak ini.
Kwee Seng tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri
memandang lima orang yang mengurungnya.
"heh-heh, habis makan tidak minum, sungguh tak enak
sekali. Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian yang mempunyai
arak? Aku ingin sekali minum!"
Empat orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak
menerjang, akan tetapi Si Muka Hitam menggeleng kepala, menghampiri kudanya
yang sudah dipegang oleh seorang temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan
melemparkannya kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak
lalu menuangkan isinya ke mulut, meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung
henti sampai akhirnya guci itu kosong!
"Heh-heh, arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan
dahaga!" katanya sambil mengusap mulut dengan lengan baju.
"Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri paha
panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan tetapi sekarang barang
curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak perlu segala pura-pura ini!" Si Muka
Hitam membentak.
"Seorang lelaki tidak akan menyangkal perbuatannya.
Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura gila, apakah tidak malu kalau
bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya orang yang mungkin melakukan pengacauan
di rumah Suhu, oleh karena itu, kami harap supaya kau ikut baik-baik menghadap
Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras menolak, terpaksa kami akan
menggunakan kekerasan pula!"
"Siapa guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak
acuh.
"Suhu adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet
Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang menghargai persahabatan dan tidak
pernah mengganggu golongan lain."
"Aha! Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti)
Liong Keng Lo-enghiong di kota Sin-yang."
"Hemm, kau sudah mengenal Suhu, sudah mengacau
rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura lagi!" tegur Si Muka
Hitam.
"Ha-ha-ha! Liong-lo-enghiong memang patut menjadi
monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini benar-benar monyet buntung yang
lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian hendak menangkap anjing, akan
tetapi keliru menangkap hariamau, bukankah itu amat lucu? Sudahlah , aku hendak
pergi!" Setelah berkata demikian, Kwee Seng melempar guci arak yang sudah
kosong ke atas tanah, kemudian tanpa menoleh lagi ia berjalan melewati mereka
dengan lenggang seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!
"Kalau To menyuram, dianjurkan prikebajikan!
Prikebajikan muncul tampak pula kemunafikan!
Kalau rumah tangga hancur berantakan dianjurkan
kerukunan!
Setelah negara kacau, baru timbul pahlawan!
Hayaaaaa......! Hayaaaa...!
Hayaaaaa......!!!"
Nyanyian itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-khing
pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng amat tertarik oleh pelajaran Agama To-kauw ini
setelah selama tiga tahun ia berada di Neraka Bumi, di mana terkumpul banyak
kitab-kitab kuno tentang To-kauw milik nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak
pula kitab-kitab ini dibacanya. Agaknya pengaruh pelajaran To ini pulalah yang
membuat Kwee Seng kini menjadi tak acuh akan keduniawian, bersikap bebas lepas
seperti orang tidak normal!
Adapun lima orang itu ketika melihat Si Gila seperti
hendak melarikan diri, cepat lari mengejar dan mengurungnya dengan senjata di
tangan, sikap mengancam dan siap menerjang.
Si Muka Hitam yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee
Seng sambil membentak.
"Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami menghadap
Suhu!"
"Ha-Ha-Ha, aku akan menghadap Suhumu sekarang
juga!" Kwee Seng berkata sambil berjalan terus tanpa mempedulikan mereka.
Tentu saja lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng
mempergunakan siasat untuk dapat melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda
dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan pedang mereka. Senjata-senjata
itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang
hanya dipakai mengancam karena mereka tidak berniat membunuh Si Gila ini yang
perlu dihadapkan kepada guru mereka untuk diperiksa.
"Siuuuttt... wrr-wrr-wrrr!" Lima orang itu
menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh mereka
terpental ke belakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar
dan jatuh duduk terjengkang sedangkan senjata mereka lenyap entah ke mana
bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang mereka serang tadi! Mereka
saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid-murid pilihan dari
Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah
saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang lawan tanpa mereka ketahui bagaimana
caranya?
"Eh, Twa-suheng... lihat...!" Seorang diantara
mereka berkata sambil menudingkan telunjuknya ke belakang. Si Muka Hitam dan
adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka yang
lenyap tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang kosong!
Entah bagaimana bisa menancap di situ, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali
tidak dapat menerka. Dengan penuh keheranan, kekaguman, juga kekhawatiran
karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang sedemikian saktinya,
mereka bangkit, membersihkan pakaian lalu mengambi senjata dan meloncat ke atas
kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada
guru mereka.
Dengan cepat lima orang itu membalapkan kuda karena
mereka amat khawatir akan keselamatan perguruan mereka. Guru mereka harus
diberi peringatan akan datangnya malapetaka dari tangan Si Gembel yang sakti
itu. Lima ekor kuda mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki
Sin-yang dan cepat-cepat mereka melompat turun di depan rumah besar yang pintu
depannya terdapat tulisan Sin-kauw-bu-koan. Mereka berlima lalu lari masuk
tanpa mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada di depan gedung.
"Mana Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap
Suhu!" Demikianlah ucapan mereka sambil berlari terus menuju ke ruangan
dalam.
Akan tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu,
lima orang murid ini berdiri seperti patung, membelalakkan mata karena hampir
tidak percaya kepada pandang mata dan pendengaran telinga sendiri. Suhu mereka,
seorang tua berusia enam puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk
di ruangan tamu, menjamu seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum
arak, menimbulkan suasana gembira sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa,
seorang tamu berpakaian compang-camping yang bukan lain adalah.... Gembel gila
yang mereka keroyok tadi! Orang gila itu kini menoleh ke arah mereka sambil
mengangkat cawan arak dan berkata sambil tertawa.
"Ha-ha, percayakah kalian sekarang bahwa aku akan
menghadap Liong-lo-enghiong?"
Lima orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang
gila itu memang sikapnya edan-edanan, jangan-jangan suhu mereka kena ditipu
pula. Suhu mereka memang selalu ramah kepada siapapun juga, siapa tahu bahwa Si
Gila inilah mungkin orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.
"Suhu... eh, dia ini..." Si Muka Hitam berkata
akan tetapi segera menghentikan kata-katanya ketika melihat sepasang mata
suhunya memandang marah kepadanya.
"Hemm, apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap
tamu agung? Hayo lekas memberi hormat kepada yang terhormat Kim-mo Taisu!"
Lima orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram
air es! Tentu saja mereka sudah mendengar suhu mereka bicara dengan kagum akan
seorang pendekar aneh yang menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang
pendekar muda yang amat sakti dan jarang dapat ditemui orang namun yang
perbuatan-perbuatannya membuat namanya menjulang tinggi di antara para pendekar
lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa kira nama besar ini dimiliki oleh seorang
gembel muda! Patutnya nama julukan Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang
berwibawa. Kalau saja bukan suhu mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun
mereka takkan dapat percaya. Meremang bulu tengkuk mereka menawan dan
menyeret-nyeret Kim-mo Taisu.
Serempak lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Kwee Seng sambil berkata,
"Mohon Taisu sudi mengampuni kekurang-ajaran kami
berlima!"
Sin-kauw Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan
bercuriga ketika melihat murid-murid kepala ini memberi penghormatan seperti
itu kepada tamu-tamunya, maka cepat ia bertanya dengan suara keren.
"Hemm, apakah yang telah kalian perbuat terhadap
dia?" Si Muka Hitam segera menjawab, suaranya penuh penyesalan,
"Suhu, teecu berlima dalam menyelidiki penjahat,
telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap Taisu, mohon Suhu dapat
mengampunkan teecu."
"Hah...?? Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka!
Gila betul murid-muridku. Harap Taisu suka memaafkan aku orang tua yang
mempunyai murid-murid tolol." Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee
Seng.
"Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila
terjadi kesalahpahaman, kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat mengetahui
bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"
Liong Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan
wajahnya kelihatan murung. Ia menarik napas panjang lalu memberi perintah
kepada lima orang muridnya untuk bangun. Dengan taat mereka bangkit dan
mengambil tempat duduk di belakang suhu mereka. Kini pandang mata mereka
terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali, penuh keseganan dan kekaguman.
"Memang murid-muridku goblok, akan tetapi dapat
dimengerti juga kesalah-pahaman mereka karena dia pun seorang muda yang suka
memakai pakaian gembel seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main... hemm, ataukah
agaknya aku yang sudah terlalu tua dan tiada guna...."
Kembali guru silat tua itu menarik napas panjang dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat
sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata.
"Kim-mo Taisu, aku sudah tahu sampai di mana
hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di Hutan Ayam
Putih membasmi perampok, coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat
merosot?"
Setelah berkata demikian, guru silat tua itu tiba-tiba
menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas bangkunya. Guru silat tua itu
memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun Kwee Seng
hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya, terdengar
suara keras dan bangku yang diduduki Kwee Seng tadi hancur berkeping-keping,
akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah tidak berada di situ! Kejadian ini
berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat luar biasa sehingga
guru silat dan lima orang muridnya melongo, lalu celingukan mencari-cari dengan
mata mereka.
"Ha-ha, pukulan tanganmu masih ampuh sekali,
Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar suaranya dan ketika semua orang
memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada di sudut
ruangan, punggungnya menempel pada sudut dinding bagian atas, seperti orang
enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu sekaligus telah membuktikan
kehebatan gin-kangnya ketika ia "menghilang" dan juga kekuatan
lwe-kangnya dengan cara menempelkan punggung pada dinding!
�Hemm, kau anggap pukulan tanganku masih cukup ampuh?
Sekarang harap kau suka melihat ilmu toyaku, bagaimana?" Cepat sekali guru
silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau
pentung terbuat daripada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata
yang berat dan keras bukan main. Kemudian toya itu diputar-putarnya sampai
mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya karena yang
tampak hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar.
Terdengar suara keras berkali-kali dan di lain saat Si Guru Silat sudah
meloncat turun, toyanya melintang di depan dada, dan ia bengong memandang ke
atas di mana tadi Kim-mo Taisu berada. Pendekar sakti itu sudah tidak berada di
atas dinding itu memperlihatkan akibat serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang
pada tujuh tempat, tepat di bagian tubuh yang berbahaya.
"Wah, ilmu toyamu masih amat luar biasa
Lo-enghiong!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan kiranya pendekar ini tadi
melompat ke sudut lain dari ruangan itu dengan gerakan demikian cepatnya
sehingga tak tampak oleh mereka yang berada di ruangan itu. Kini ia menghampiri
Si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa,
"Kau yang begini tua masih sehebat ini, benar-benar
harus diberi ucapan selamat dengan seguci arak wangi."
Liong Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah
muridnya yang cepat menerimanya dan menyimpannya.
"Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini
sudah tidak butuhkan itu lagi. Taisu kalau kau menganggap bahwa ilmuku masih
belum berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil
lagi guci besar arak wangi untuk Taisu!"
Biarpun tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee
Seng minum arak yang baru dibuka dari guci, namun kerut-kerut di dahinya timbul
lagi dan ia menarik napas panjang
berkali-kali.
"Lo-enghiong, mengapa kau simpan-simpan penasaran di
hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan siapa itu orang muda berpakaian gembel
yang lihai sekali?"
"Kalau diceritakan sungguh membikin orang mati
penasaran! Aku Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat tak
pernah mencari permusuhan dengan siapapun juga, kecuali dengan orang-orang
jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu,
sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak terkenal)!"
Dengan suara penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa yang menimpa
padanya beberapa hari yang lalu.
Liong Keng seorang guru silat yang terkenal, guru silat
walaupun merupakan guru bayaran, namun dalam menerima murid ia tidaklah asal
orang mampu membayarnya saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang
berkelakuan baik-baik, bahkan banyak di antara muridnya yang karena miskin
tidak mampu membayarnya. Ada seorang murid perempuan, anak seorang janda miskin
yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu meninggal dunia, murid
perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru
silat itu sendiri memang tidak mempunyai keturunan. Bi Loan menjadi murid yang
pandai dan anak yang berbakti, wajahnya cukup cantik sehingga guru silat itu
tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai
silat, puteri Sin-kauw-jiu Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang
selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa keluar pintu, bahkan biasa pula
menggunakan kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada
orang yang berani mencoba-coba mengganggunya, karena selain gadis itu sendiri
pandai silat, juga orang merasa sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu itu,
Liong Keng dan murid-muridnya yang banyak jumlahnya.
"Akan tetapi, sepekan yang lalu, Bi Loan memasuki
sebuah tempat judi Karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak
penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah
keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar kalang kabut
oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang langgang. Akan tetapi tiba-tiba
seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian gembel. Ia tidak
terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan
bertanding dengan gembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi.
Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil
menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari
tempat itu."
"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi
berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang, aku menjadi
kuatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi
Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."
Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng
menduga-duga.