Bab 10
Sian Eng memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala
di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap.
Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya.
˜Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak
tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau selalu mempermainkan dia.
Terlalu!!
˜Liong-ko? Mencintaku? Tentu saja! Aku pun mencintanya,
dia seperti kakakku sendiri.!
˜Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini
benar. Tapi kau.. ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti
sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Betulkah itu? Di
mana?!
˜Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya
hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong!!
˜Sombong?!
˜Ya, sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah
berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan
sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya
mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya!!
Tiba-tiba Siang Eng memegang lengan Lin Lin.
˜Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali
akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi? Adakah
yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula.. kau menantang seorang
yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kau andalkan? Lin-moi,
ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat,
kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada
artinya sama sekali.!
˜Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut
kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai
seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang
dahulu lagi!! Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke arah
sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan
jurus pukulan jarak jauh dan.. patung itu terjengkang ke belakang seperti
didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.
˜Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?!
Sian Eng yang melongo menyaksikan adiknya merobohkan
patung tanpa menyentuhnya, menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh
Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga
bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang bergulung-gulung! Ia masih
melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika Lin Lin sudah selesai
bermain pedang dan berdiri di depan encinya sambil tersenyum bangga.
˜Kau lihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi
menghadapi Suling Emas, biarpun ia berkepala tiga berlengan enam!!
˜Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?!
Lin Lin merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di
atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun
Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan
Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng
mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian merangkul Lin Lin sambil berkata.
˜Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang
menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat kepadamu! Dan kau memperoleh
pula seorang sahabat yang setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah.
Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas.
Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah
dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia
telah pula menolong engkau dan Liong-twako.!
˜Dia menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda
kita? Coba ceritakan semua, Eng-cici!!
Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak
mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika
mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan ˜istana! di bawah kuburan.
Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu
tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan,
betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang
punggungnya terasa dingin.
˜Apa yang kau alami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang
jelas!! desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat
degup jantungnya mengeras dan membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya,
dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.
˜Mereka itu orang-orang yang kelihatan gagah perkasa,
akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya.. banyak wanitanya, terutama
yang berada di istana rajanya, mirip.. mirip dengan kau! Aku mereka sangka
seorang Puteri Khitan dan.. dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku,
katanya Puteri Khitan mpmpunyai tanda di pung... astaga, Lin Lin!!
Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri,
memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak.
˜Kau.. kau.. punggungmu..!
˜Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah
baik-baik dan sejelasnya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan
agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku sudah
mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan kepadamu akan hal
ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, setelah mendengar ceritamu,
jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah
memungutku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku, Puteri Mahkota Khitan, tewas
dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali,
bukan? Lanjutkanlah.!
Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara.
Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu
sambil berlinang air mata.
˜Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah,
mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar..!
˜Ha..ha..,ha Kau lihat aku baik-baik. Aku memang berbeda
denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kau katakan begitu, akan
tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu.!
Sian Eng melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur
hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas, melakukan perjalanan
dengan Suling Emas sampai ke kelenteng di kota raja ini.
Lin Lin amat tertarik dan beberapa kali ia menarik napas
panjang.
˜Ah, alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama
orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng? Ramahkah dia? Atau galak?
Sombongkah dia seperti yang kusangka? Dan kepandaiannya bagaimana?!
Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini
demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan? Ia merasa khawatir kalau-kalau
adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat
mencari dan menentangnya bertempur.
˜Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali tidak
seperti manusia biasa sepak terjangnya. Kepandaiannya sukar diukur sampai di
mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-geriknya. Ia pendiam, tak
pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun singkat saja, hanya ya
atau tidak. Wajahnya sering kalii suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan
batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Tak pernah melihat ia tersenyum, apalagi
tertawa. Ada satu kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar
penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak aku bicara tentang dirinya, akan
tetapi harus kunyatakan bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki.!
Lin Lin amat tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya
bergerak seperti bicara kepada diri sendiri,
˜Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh.. seperti
raja saja dia..!
˜Kau bilang apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?!
Lin Lin sadar dan tersenyum,
˜Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga
ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?!
˜Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan
selamat, bebas dari tangan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke
kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang
Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu.!
˜Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat
berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau
sudah mendengar tentang dia?!
˜Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik.
Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya
dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak
sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak
Bu Song itu sudah.. sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara
dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song.!
˜Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimanapun
juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu song. Kalau Suma Boan membenci
kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak
tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa
mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu
Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana
kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng.!
˜Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun,
juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya
Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa
sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya.!
˜Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci
Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga, biar seribu kali dia
menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku
tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat
mencarinya!!
Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya
ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia
atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak
pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup
mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagaimana kalau adiknya ini
kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata benar dapat
berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan
menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apalagi
sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
˜Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu
dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya
seperti dewa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang
berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali,
Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas.!
˜Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau
membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak bermalu!!
˜Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!
Tapi aku tahu, Enciku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas
yang gagah perkasa!!
˜Idihhhhh, genit kau!! Sian Eng mengejar hendak mencubit,
akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya
terdengar dari tempat gelap di atas.
˜Enci Sian Eng, aku pergi dulu!!
Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk
termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah
bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang
bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah
memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang
memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya.
Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia.. eh, tergila-gila kepada Suling
Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia
dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar!
Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang
menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi.
seperti manusia setengah dewa, bukan.. bukan pria macam itu yang dapat merampas
kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya
terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma
Boan, ketika ia tertawan.. dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas
pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia
perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak
kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda
memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam
gedung perpustakaan istana. seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan
dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi
di dalam gedung perpustakaan istana.
Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki
istana menyerbu dapur dan gedung pusaka, merupakan pelajaran yang sekarang amat
berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman,
yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Karena kini ia
telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun
Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah, dengan amat mudahnya Lin Lin
melompati pagar tembok dan berada di daerah istana kaisar yang amat luas itu.
Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar
dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana
adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk
mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia
tak sanggup lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan
begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap
gedung! Apalagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali
pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari
Kim-lun Seng-jin.
Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin
melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di
sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang
amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti
kalau orang merayakan hari raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga
beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara
artistik sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau
hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang.
Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah
taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih.
Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna
karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!
Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum,
merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat tanaman itu sunyi tak ada seorang
pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi
keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan
batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakah hasil seni yang
hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke
kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan,
terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah solah ikan-ikan yang ekornya
mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor
ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke
mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.
˜Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?!
Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk
menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi
kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya
dan kembali ia tertawa.
˜Kau.. siapa?!
Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut
bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat
indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri
di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin
melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran
itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main
sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat,
hatinya berdebar. Agaknya orang ini kaisar!
Laki-laki itu melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang
matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum, senyumnya melebar dan
kembali ia bertanya.
˜Kau siapa? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau
seorang dayang baru?!
˜Kau.. kau..?! Lin Lin balas bertanya, gagap.
Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan
bening.
˜Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota).!
˜Ahhhhh..!! Lin Lin mundur selangkah.
˜Kenapa kaget? Kau siapa?! kembali pangeran itu bertanya,
kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan
diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini
benar-benar aneh sekali!
˜Kau.. kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau
calon Kaisar?! Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar
seperti bintang timur. Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih
terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.
˜Ohhh..!!
˜Kenapa?! Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang
ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh
seperti itu.
˜Aku.. aku salah masuk.. aku.. apakah aku harus berlutut
di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi
saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku
yang.. yang sudah tiada..!
Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh
kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap begini ˜biasa!
kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang
muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap
hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak
dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih aseli belum bau
kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.
˜Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau
tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu?!
˜Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.!
Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini,
pikirnya, tidak berhasil pancingannya.
˜Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?!
˜Namaku Lin Lin.!
˜Wah, nama yang indah sekali! Kau datang dari mana?
Mencari siapa disini?!
˜Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi
tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh
keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran?!
Bukan main! Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah
murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali.
˜Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas?
Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat
ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali.
Mari, mau lihat?!
Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi
wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak
dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan
bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak
menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan seakan-akan berjalan di dalam
taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai
pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan
sahabatnya yang bebas daripada segala aturan protokol, pangeran itu mengajak
Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri
kolam ikan. Pangeran mahkota memang mempunyai ˜hobby! taman bunga yang indah
berikut peliharaan ikan-ikan emasnya dan kalau ia berjalan-jalan menikmati
keindahan taman, baik siang maupun malam, ia tidak mau diganggu oleh para
pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang
diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di
taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman
itu.
Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut
˜Pagoda Ikan!, Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya
berseru kagum. Karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama
sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu
kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan
hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum gembira. Memang indah di dalam
pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat
daripada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga
di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok
kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan
kakek-kakek yang sedang memancing ikan.
Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir
mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin
sampai ternganga memandangi itu semua. Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di
atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan baru yang baginya
tak kalah menariknya daripada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah
dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas
setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar
bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan
lebih menggairahkan daripada isi pagoda.
Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti
gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada
pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata,
˜Hebat sekali! Aku merasa seakan-akan berada di dasar
lautan!!
Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat.
Bagus untuk permulaan sajak! Dan teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi
hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan
keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya, ˜Nona Lin Lin, kau tadi bilang
bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari
gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?!
˜Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja seperti aku
besarnya, bukunya sebesar apa?!
˜Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu
apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobbynya
membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf.!
˜Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku
tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari
perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan..! Lin Lin menjadi ragu-ragu.
˜Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?!
Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya,
maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa
sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam
gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja.
˜Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling
Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana.!
Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan
tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan
terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu.
˜Kau mencari.. dia? Ah, kiranya kau seorang gadis
petualang dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau
lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu
diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan
kelihaianmu..!
Tiba-tiba terdengar bentakan keras,
˜Thiancu, saat kematianmu tiba!! tampak sinar menyilaukan
mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang
di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!
˜Jangan, takut!!
Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung
menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua
pedang bertemu dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu
dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus
pedang Lin Lin!
Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung
penyerangnya tadi sambil berkata perlahan,
˜Menjemukan benar..! Ia melangkah keluar dan tangannya
bergerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik
gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu. Lin Lin
terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang
dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi,
sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang
disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda pangeran itu masih
berdiri, keningnya berkerut.
˜Tidak enaknya menjadi keluarga istana,! katanya ketika
melihat Lin Lin kembali, ˜sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi
perebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul
pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali!!
˜Tapi dengan kepandaian seperti yang kau miliki, tak usah
kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka!!
Lin Lin memuji.
Pangeran mahkota memandang tajam.
˜Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian
pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka!!
Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan
tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik.
Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya mengandung kepahitan.
˜Nona Lin Lin, terus terang saja, pertemuan ini
mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah kurasai selama hidupku. Kau
baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan
masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya.
Tapi.. aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan
menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu
kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu
seperti sekarang ini.!
Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini
dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di
tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.
˜Lin Lin, pertemuan ini menjalin persahabatanmu yang akan
sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang
dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu! Akan
tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku
tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak daripada ini. Kau harus dapat
keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap
hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan
kehadiranmu. Nah, selamat malam.!
˜Tapi.. tapi.. aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana
itu..?!
˜Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung
perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalul tiga bangunan. Atapnya
dari kayu besi berwarna putih, kau cari saja tentu dapat.!
Lin Lin menyarungkan pedangnya.
˜Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang,
berubah pendapatku bahwa semua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan..!
˜Kau kenal Suma Boan?!
˜Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku!!
Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung
sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik paga tembok. Ia lalu menoleh kepada
ikan-ikannya dan berbisik.
˜Mudah-mudahan ia selamat!!
Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa
disengaja ini diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang
menjadi sebab mengapa kelak setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan
antara pemerintahnya dan Kerajaan Khitan berhenti dan berubah menjadi
persahabatan!
Lin Lin melompati pagar tembok taman itu dan menyelinap
ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang pohon ketika melihat
berkelebatnya dua bayangan orang.
˜Ke mana mereka..?! bisik sesosok bayangan.
˜Memasuki taman Putera Mahkota..!!
˜Ha-ha, mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum
begitu tinggi, berani mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat
mereka.!
˜Hush, jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda
panggilan Thai-cu, siapa berani masuk taman? Minta mampus? Biar kita menanti di
sini saja.!
Lin Lin bergerak menjauhi dua orang pengawal itu. Hatinya
kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal pandai di sini. Dua orang itu
saja sudah tahu akan adanya dua orang pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja
membiarkan dua orang penjahat memasuki gua harimau! Lin Lin bergerak ke kiri
dan akhirnya ia melihat bangunan atap putih, hatinya berdebar. Apakah Suling
Emas berada di dalam gedung ini? Kelihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia
mendekat lagi.
˜Berhenti! Siapa kau berani mencuri masuk taman Thai-cu
dan berkeliaran di istana? Hayo menyerah!!
Lin Lin sudah mendahului orang itu, menerjang dan
berhasil mendorongnya roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah melompat bangun.
Tadi ia dapat dirobohkan karena sama sekali tidak mengira akan diserang,
apalagi ketika ia terlongong keheranan melihat bahwa yang ditegurnya adalah
seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu menerjang adalah luar biasa
dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin Lin tadi menggunakan tenaga
Khong-in-ban-kin.
˜Gadis liar, jangan lari!! Pengawal itu membentak dan
menubruk. Akan tetapi cepat seperti seekor burung walet membalik, gadis itu
sudah menyelinap ke kiri dan begitu tangannya bergerak, kembali orang itu
roboh, kini robohnya malah dengan terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget
setengah mati. Kakinya salah urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa
bersuit keras memberi tanda bahaya.
Lin Lin cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat gedung
perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertempuran dengan para
pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena memang itulah maksud
kedatangannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebatan bayangan orang dan di lain
saat ia telah terkepung oleh lima orang pengawal istana yang berpakaian indah
dan gagah, masing-masing memegang sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di
pihak para pengawal, mereka sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa mereka akan mengurung seorang gadis jelita! Tentu saja mereka
menjadi ragu-ragu karena pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti
mereka, masa harus mmgeroyok seorang gadis muda?
Melihat betapa lima orang pengawal itu memegang pedang
dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning
berkilau. Melihat ini, lima orang pengawal itu terkejut.
˜Eh, kiranya kau pencuri pedang? Nona cilik, lebih baik
kau menyerah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan. Malu kami kalau
harus..!
˜Banyak cerewet!! Lin Lin sudah menerjang maju dan sinar
pedangnya bergulung-gulung seperti awan kuning. Para pengawal kaget dan cepat
menangkis. Di lain saat Lin Lin sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini
berkepandaian tinggi, para pengawal itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok,
bahkan mereka terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan secara dahsyat itu.
Khong-in-lui-san adalah ilmu silat yang sakti, apalagi
sekarang dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan
main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang pengeroyok, akan tetapi
pada saat seorang lawan ini roboh, terdengar suara berkali-kali dan dari jauh
berdatangan pengawal-pengawal lain!
Lin Lin bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para
pengawal ini tidak rendah, apalagi kalau mereka melakukan pengeroyokan.
Bisa-bisa tenaganya dan akhirnya ia tentu akan tertawan. Ia pikir lebih baik
melarikan diri dulu, keluar dari istana ini. Urusan dengan Suling Emas dapat
dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru keras, pedangnya meluncur,
merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang lawannya kaget dan terpaksa
menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lin Lin
untuk melompat jauh. Akan tetapi, kini para pengawal yang datang membanjiri
tempat itu sudah tiba di situ dan kembali Lin Lin dihadang dan dikurung.
Gemaslah Lin Lin. Ia menggigit bibirnya lalu memaki.
˜Aku datang bukan bermaksud bikin kacau. Aku tidak ingin
berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mundur semua, tinggalkan aku! Awas jangan
bikin aku hilang sabar!!
Biarpun maklum akan kelihalan nona ini, namun mendengar
kata-kata besar ini para pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan
sekarang di situ telah berkumpul belasan orang pengawal, bagaimana gadis liar
ini masih berani membuka mulut besar?
˜Dia pencuri pedang pusaka! Tangkap!!
Melihat dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya.
Cepat ia mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri.
Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah ini ia
pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustakaan. Akan tetapi
pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang bertubuh tinggi kurus
melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai sinar hitam melayang-layang ke
arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget bukan main ketika melihat bahwa benda itu
adalah sehelai tali yang dapat bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam
hendak melibat tubuhnya! Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang
biasa, maka ia segera membabat dengan pedangnya.
˜Iiihhhhh!! Lin Lin berseru kaget. Pedangnya yang dipakai
membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia mengerahkan tenaga menahan
pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu tentu akan jatuh ke bawah!
Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia melepaskan pedangnya sehingga
tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu. Akan tetapi, begitu kakinya
menginjak atap putih, tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya melayang ke bawah, ke
dalam gedung itu!
Para pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus yang
lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri
tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada sebuah saputangan hitam
yang berkibar seperti bendera di ujung atap. Saputangan hitam yang ada
gambarnya suling berwarna kuning!
˜Dia.. dia di sini..! bisik seorang pengawal dan kini
para pengawal itu memandang penuh pertanyaan, menanti komando pengawal kurus
yang menjadi pimpinan pasukan.
˜Dia di sini, tak boleh kita mengganggu. Mundur! Lakukan
saja penjagaan sekeliling ini dan baru bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap
dia!!
Para pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan
tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah
dalam gedung perpustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita
menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Telah kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa
oleh Suma Boan dan digantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti
yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di
tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib
yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu. Karena
maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin
lalu melarikan diri dari hutan itu dan beberapa hari lamanya ia terus
menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat ramai.
Sepekan kemudian, menjelang senja, ia tiba di sebuah
tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di
sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu
tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam, karena sudah terkenal bahwa
kuburan itu berhantu! Akan tetapi Bu Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran
Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera
mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung
memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya hendak
mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan?
Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil
makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin
menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan. amat
indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka, teringat akan
kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga
kakaknya yang dicarinya. Kam Bu Song, amatlah tipis harapan untuk dapat
dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu pun
mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu masih hidup.
Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh seperti Suma
Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat, tidak berdaya
menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih mengingat akan hal ini dan
berkali-kali ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya
terbelalak memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian
digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak
bcrubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung berdebar-debar dan Bu Sin
merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan
tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat betapa di sebuah kuburan
sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu nisan yang tua berdiri
seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki? Wanita itu
berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing,
kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan
jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa
wanita itu masih muda. Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia
datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu?
Kuntilanak! Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan
jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak
malu mendapat kenyataan bahwa tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka
kuntilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata
terbelalak tinggal putihnya saja, mulut bertaring. Iiihhhhh! Lebih baik ia
pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan
Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat itu.
Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba
ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan halus,
˜Berhenti! Siapa itu?!
Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya.
Suara itu sudah berada tepat di belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu
telah hinggap di atas punggung. Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal
tinju ia membalik, siap menghadapi wajah yang mengerikan.
Ia membalik tiba-tiba dan.. Bu Sin ternganga menatap
wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan sepasang mata lebar
bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan mulut kecil dengan bibir merah yang
selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing, padat, rambut yang hitam
halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau
yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali
bukan siluman mengerikan. Andaikata siluman juga, inilah siluman cantik!
Siluman! Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya
akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis
ia meraba lagi gagang pedangnya.
Wanita itu tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau
tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan, hampir seperti tangis!
˜Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?!
˜Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona.. eh, Nyonya
siapakah?!
Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama
sekali tidak ada taringnya!
˜Bagus sekali! Kau she Kam? Suaramu seperti orang
selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek?!
Bu Sin terkejut dan memandang heran.
˜Dia.. dia adalah mendiang Ayahku.!
Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu
wanita itu tertawa lagi.
˜Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang
aku melihat persamaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi
bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik
Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku!!
Bu Sin makin kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita ini
tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya
tapi akan membunuh puteranya? Ia merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat
tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita
gila ini agar jangan mengganggunya lagi.
Akan tetapi, wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut
panjang terurai itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya dan ˜krak! krak!!
pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki dan
pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum, membuat ia tak dapat
berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan mengerahkan lwee-kangnya,
namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena rambut-rambut itu menekan
lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya!
˜Hi-hi-hik! Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik. Aku
Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit hati oleh Ayahmu, jenderal yang
angkuh dan sombong itu. Mentang-mentang dia seorang jenderal yang tinggi
kedudukannya, ia berani menolak aku! Hi-hik, dan sekarang kau puteranya jatuh
ke tanganku. Apa yang akan kulakukan denganmu? Kau akan kujadikan korban yang
ke empat puluh! Aku sedang menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek
(Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk keperluan itu aku membutuhkann hawa murni dan
darah hidup jejaka-jejaka murni sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja
dan murni. Hi-hik, kau menjadi orang ke empat puluh, dan kau putera Kam Si Ek.
Bagus sekali, tentu darahmu bersih, darah satria. Inilah yang kucari!! Wanita
itu tertawa-tawa.
Bu Sin bergidik. Terang wanita ini gila. Ataukah dia
bukan manusia?
˜Pergi kau! Lepaskan aku!! teriaknya. ˜Kau bohong! Usiamu
takkan lebih tua daripada aku, mana bisa kau mengenal Ayah.!
Siang-mou Sin-ni menggunakan telapak tangannya
mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut.
˜Terima kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega
membunuhmu. Kau betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku
hampir dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang
Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan.. takkan bisa mati! Nah,
kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan
hangat!!
Setelah berkata demikian, wanita itu mendekatkan mukanya
ke muka Bu Sin. Pemuda ini bergidik dan meremang bulu tengkuknya. Hendak apakah
perempuan ini? Ia mengira hendak dicium, akan tetapi wajah berkulit halus yang
harum itu menunduk dan.. hidung dan mulut yang basah hangat itu menempel pada
tenggorokannya!
Bu Sin merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang,
pikirnya dan ia meramkan mata menahan sakit, siap menanti maut karena sama
sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat
mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya.
˜Kau tampan.. gagah, seperti Ayahmu.. sayang kalau
dibunuh!! Sejenak Bu Sin merasa betapa wajah yahg hdlus kulitnya itu menempel
pada pipinya. Ia tak berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang
mengikat kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata.
Siang-mou Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu
bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali.
˜Kau tampan dan ganteng, kau pemberani, seperti Ayahmu.
Bu Sin.. eh, Kanda.. Kau sembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu
dahulu. Kauperbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Koko
(Kanda) yang ganteng?! Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet dengan lagak
genit dan mengambil hati.
Bu Sin merasa tenggorokannya tercekik, mulutnya kering
dan jantungnya berdebar tidak karuan. ˜Apa maksudmu? Apa kehendakmu?!
Siang-mou Sin-ni mengangkat muka lalu dengan lagak genit
mencubit dagu Bu Sin.
˜Hi-hik, kau benar-benar masih hijau! Tentu saja maksudku
agar kau suka menjadi suamiku!!
Kalau saja pada saat itu ada gunung meletus, kiranya Bu
Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Wajahnya menjadi pucat dan
seketika ia membentak,
˜Kau perempuan gila! Pergi, jangan dekat-dekat denganku!
Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh, tak bermalu, lebih baik kaubunuh aku!!
Sambil berkata demikian, Bu Sin mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu
dengan pukulan. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat
benci dan hendak membunuhnya.
˜Bukkk!! Kepalan tangan Bu Sin tepat menghantam dada,
bertemu dengan daging lunak, akan tetapi akibatnya, tubuh Bu Sin yang terlempar
ke belakang! Sebelum pemuda ini tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah
menjadi lemas, jalan darahnya tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu
sudah di panggul dan dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan
itu!
Sambil berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni
bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang pendek,
˜Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih
celaka lagi. Dia menolak dan memaki-maki, keparat!!
Di sebuah anak sungai yang jernih airnya dalam sebuah
hutan, ia berhenti, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia lempar ke atas rumput.
˜Hei, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang? Maukah kau?!
˜Tidak sudi dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina
dan gila!!
˜Hi-hik, seperti Ayahnya!! Tiba-tiba rambutnya bergerak
dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu
terlempar ke dalam air di depan Siang-mou Sin-ni! Bu Sin gelagapan, akan tetapi
tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya dibelenggu rambut. Ia
gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan. Siang-mou
Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi tubuhnya masih terendam.
˜Jawab, mau tidak kau!!
˜Tidak sudi!! Bu Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan
ke dalam air, berkali-kali sampai sukar bernapas dan perutnya kembung kemasukan
banyak air.
˜Apakah kau masih bandel tidak mau?! Siang-mou Sin-ni
kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar dapat bernapas.
Bu Sin tak dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah
pingsan, akan tetapi ia masih cukup kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya
tanda tidak sudi!
˜Bandel!!
Siang-mou Sin-ni berteriak marah dan melelapkan kepala Bu
Sin sampai pemuda ini menjadi pingsan. Baru ia angkat tubuh itu ke atas daratan,
memegangi punggungnya dan membalikkan kepala Bu Sin ke bawah, menepuk perutnya
sehingga dari mulut pemuda itu keluar banyak air!
Ketika Bu Sin sadar daripada pingsannya, ternyata ia
telah berada di tempat yang amat tinggi, di atas pohon yang tingginya lebih
dari sepuluh meter! Pakaiannya sudah kering kembali dan ternyata ia
digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung dari belakang sehingga
tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar, ia berusaha menggerakkan
kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah tertotok pula, tak mampu bergerak.
Baju dalamnya sudah tidak ada, agaknya disobek oleh perempuan iblis itu
sehingga ketika bajunya tergantung pada cabang pohon, perut dada serta lehernya
telanjang. Perempuan itu duduk di atas sebatang dahan kecil di depannya. Luar
biasa sekali. Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak di atas ranting
demikian kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau ranting itu
patah?
Siang-mou Sin-ni duduk merangkapkan jari-jari tangan,
kakinya bergoyang-goyang tergantung, rambutnya riap-riapan, hitam halus
mengkilap, matanya meram melek ketika ia menatap wajah Bu Sin. Nampaknya wanita
itu terheran-heran, kagum, juga jengkel dan kehilangan akal.
˜Bu Sin koko, kau buka matamu dan pandang baik-baik.
Apakah aku tidak cantik molek? Lihat kulitku begini putih kemerahan dan halus,
lihat rambutku begini panjang hitam, halus dan harum. Tubuhku padat dan denok.
Semua orang bilang wajahku cantik seperti bidadari. Apakah kau menganggap aku
kurang cantik?!
Bu Sin mendongkol sekali. Benar-benar wanita iblis dan ia
lebih senang seribu kali mati daripada harus menjadi suami iblis macam ini.
˜Huh, Siang-mou Sin-ni, kau kira aku Kam Bu Sin seorang
laki-laki macam apakah? Kau memang cantik jelita, akan tetapi apa artinya
cantik jelita kalau wataknya busuk dan jahat seperti iblis? Apa artinya buah
yang tampak indah dan lezat kalau di dalamnya tersembunyi banyak ulatnya yang
menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka, di bawahnya hanya
daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri hanya tengkorak yang
menjijikkan! Aku tidak butuh kecantikanmu, dan aku muak melihat kejahatanmu!!
˜Ck-ck-ck.. semuda ini sudah bisa bicara tentang jahat
dan baik! Hi-hik, kau seperti anak kecil yang muntah-muntah melihat tahi, tidak
tahu bahwa di dalam perutnya sendiri penuh tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak
dapat menundukkanmu? Masih banyak jalan.! Ia lalu berkelebat pergi, tapi belum
lebih lima menit ia telah kembali, membawa daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu
memercik-mercikkan madu itu pada muka, leher, dada, perut dan kedua lengannya,
kemudian sambil tertawa-tawa ia melempar daun itu dan duduk kembali seperti
tadi.
Bu Sin tidak mengerti apa kehendak wanita ini. Ia maklum
bahwa wanita ini kejam sekali dan ia sudah siap menanti datangnya siksaan, akan
tetapi apa maksudnya memercik-mercikkan madu kepadanya? Apakah madu ini
mengandung racun sehingga sebentar lagi aku akan merasakan akibatnya?
Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan tetapi baru sepuluh menit kemudian ia
mengerti apa artinya madu dipercikkan itu dan ia bergidik penuh kengerian.
Kiranya semut-semut besar mulai berdatangan melalui batang, cabang, ranting dan
daun-daun, dan tak lama kemudian semut-semut itu telah merayap di seluruh
tubuhnya, menggigitnya! Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan gatal. Bukan main
hebatnya siksaan ini.
Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air yang dingin,
sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak ada derita lagi,
tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi. Semut-semut ini menggigit,
mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang bukan main hebat penderitaannya.
Akan tetapi yang paling hebat di antara segala adalah kenyataan bahwa ia tidak
akan menjadi pingsan karenanya! Ia akan terus sadar untuk merasakan penderitaan
ini, yang membuat seluruh urat syarafnya tegang dan terganggu, membuat
perasaannya tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak tertahankan lagi oleh Bu
Sin, ia mulai berteriak-teriak menahan perasaan yang tak dapat dilukiskan lagi
penderitaannya!
˜Hayo bilang bahwa kau mau menjadi suamiku dan aku akan
membebaskanmu!!