"Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!"
The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi
meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan
gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan.
"Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya.
"Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
"Ayah kalian telah tewas...."
Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal
tinjunya dan berkata,
"Si jahanam Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian
Ayah!"
"Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio,
"kami harus menuntut balas!"
"Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu
Kai-ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat,
he-he-heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua
telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"
Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini.
Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa serem. Memang, mendengar
kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh
Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan
tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh
luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari tangannya,
dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat
mereka bergidik!
"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang
dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak
bersamaku sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian."
Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo
mereka sambil bercucuran air mata.
Kata mereka di antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah," kata pula Swi
Liang.
"Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah
itu aku akan membakar gedung itu."
Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua
orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah.
Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar
oleh The kwat Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh
besar ini! Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi
anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu
berubah-ubah menjadi muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbanya. Puluhan,
bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah
mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah
dan rasa nyeri sampai menusuk-nusuk tulang, dia ditinggalkan diantara mayat-mayat
itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat
sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu.
Kalau saja dia dapat pingsan atau mati sekali, tentu dia tidak
akan menderita sehebat itu. Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang
memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa
nyeri di sekujur tubuhnya, masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang
dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya, menyesali
perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu.
Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa bergelak
melihat musuh besarnya masih belum mati.
Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di
antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat
membalas secara memuaskan sekali.
"Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah,
mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!"
Pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar
kakek itu dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa
puas melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat api dan membakar gedung
itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio
memandang nyala api yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut
terbakar.
"Ayahmu telah sempurna, tak perlu menangis lagi, hayo kalian
ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan
mengalami penghinaan orang lagi."
Dengan hati berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka
pandang setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti
The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan Hen-san.
Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang besar, merupakan
sebuah di antara "partai-partai" persilatan yang terkenal. Akan
tetapi pada saat itu, Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu
yang letaknya di lereng pegunungan Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai
rumah-rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih
menghias pintu, tanda bahwa Bu-tong-pai sedang berkabung. Siapakah yang
meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah berusia lanjut,
yaitu Kiu Bhok San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun.
Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid
Bu-tong-pai, para tamu telah meninggalkan Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi
semua anak buah murid Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu.
Suasana penuh pergabungan dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap
air mata. Kui Bhok San-jin terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik
dan yang dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai.
"Suhu...!" Seruan ini membuat semua orang menengok dan
tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh seorang
muda-mudi remaja dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan
kiri, melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru dan menjatuhkan diri
berlutut di depan batu nisan sambil menangis.
"Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?"
Seorang murid Kui Bhok San-jin yang usianya lima puluhan berseru.
Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah
seperti seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin!
Tentu saja mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin
merupakan seorang anak murid Bu-tong-pai yang amat terkenal, sebagai orang
termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah bertahun-tahun lenyap tanpa
meninggalkan jejak?
"Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!"
Terdengar seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu.
Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri, menyusuti air
matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata,
"Benar, aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap-Sha
Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia,
siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?"
Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di
antara mereka, terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The
Kwat Lin, dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian
seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah
mendengar bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini
mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata,
"Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggauta termuda
dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda
dari mendiang suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh
anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang suheng menjadi ketua
di Bu-tong-pai."
Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh kecil
sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya bersinar terang dan
jenggotnya yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu masih hitam semua,
demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari perak.
Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To yang longgar.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu kalau seorang murid keponakan
tidak mengenal susioknya sendiri, ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin,
satu-satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin."
Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya ini, seorang tosu
perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari mendiang suhunya.
Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian berkata
dengan suara lantang,
"Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin yang menggantikan Suhu
menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan yang sama sekali tidak tepat! Aku
tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!"
Tosu itu membelalakan matanya dan memandang kaget, heran dan
penasaran. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain
yang bernama Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju
dan berkata,
"Sumoi, apa yang kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau
mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai dengan petunjuk suhu, juga
telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara
seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya
paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu
menjadi ketua kita?"
"Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka,
juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang Suheng,
dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin,
bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu, siapa gerangan yang
patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak
ada?"
"Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang
rendah kepada Susiok, akan tetapi penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang
matang."
Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan
dan mengherankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat
dari wanita itu.
"Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak
pernah memperdulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu
sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai
akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian
mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari bermacam-macam
golongan. Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi
bahan ejekan dan bahan penghinaan orang lain."
"Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan
Souw Cin Cu kembali berkata penasaran,
"Sumoi, aku benar-benar merasa heran mendengar kata-katamu
dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu menghilang dan kini
engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti langit dengan bumi bedanya
antara engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa
Bu-tong-pai menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain.
Apa artinya ini?"
"Souw Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha
Sin-hiap telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan
kalian."
"Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga
semua suhengku, tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui
oleh Bu-tong-pai!"
Semua orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari
Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang!
"Siapa yang membunuh mereka?"
Souw Cin Cu bertanya dengan suara marah sekali. Hati siapa yang
takkan menjadi panas dan marah mendengar bahwa dua belas orang saudara
seperguruannya dibunuh orang?
"Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh
Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."
"Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru kaget,
"Pat-jiu Kai-ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin tersenyum
mengejek.
"Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan
menjadi gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah
membunuh dua belas orang Suheng-ku. dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga
belas orang tokoh Bu-tong-pai mengalami penghinaan, dan Butong- pai sendiri
diam saja, apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahu-pun tidak akan
peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini Bu-tong-pai hendak
diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu dan
menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan membunuh
musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang
di Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang
Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin harus diganti oleh
orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat
Bu-tong-pai, barulah tepat!"
Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit
halus itu kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya
menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ. Pandang mata
bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Butong- pai
merasa gentar dan mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang mata Kwat
Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang dengan marah dan
penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil
mengangguk-angguk, matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik.
"The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan
Bu-tong-pai. Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kau
pandang tepat untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?"
Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang.
"Untuk waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari
Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!"
Kini benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid
Bu-tong-pai yang berada di situ.
Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat disangkal lagi
bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok Sanjin dan
orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia bukanlah orang
yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali bukan! Di atas dia
masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok San-jin yang lebih tua,
dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat
jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah paman gurunya!
Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju, diikuti
pula oleh sutesutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The Kwat Lin.
"The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi murid
Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai
iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami berkewajiban
untuk mengajar seorang murid murtad!"
Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan
dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok
San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat
paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang-orang
tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika
dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi orang
termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali
tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu. Dia telah
mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mukjizat dari Pulau Es! Tingkatnya
sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika suhengnya itu
menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh
suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw Cin Cu
mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar pelipis, dia
diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan
tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan
kirinya bergerak dari bawah ke atas.
Kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini
terpelanting ketika tangan Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan
itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang
perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin
terpelanting!
Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan
wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak
dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong- pai! Akan tetapi tujuh
orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka
menerjang maju. Akan tetapi The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian
cepatnya dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow
Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu
terpelanting dan bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai
patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja.
Bagaimana andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya,
sukar dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari
Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu mudah dan mereka sudah
meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing!
"Ibu, mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan
ini?"
Tiba-tiba Bu Ong berteriak. Anak ini sudah bertolak pinggang dan
memandang marah kepada para pengeroyok ibunya. Kalau saja tangannya tidak
dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan Swi Nio, suheng dan sucinya, tentu dia
sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, Swi Liang
dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama
sekali mencegah bocah ini mencampuri urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai.
Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan
senjata.
"Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng
tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan
andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi
aku."
Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi
tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru,
"Tahan senjata! Mundur kalian!"
Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati
perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita
yang tersenyum-senyum itu.
"Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi
maka berani menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah
mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan
mana?"
"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku
menceritakan kepada siapapun juga."
"Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah
engkau?"
Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur
bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai
mendengar ini. Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama
besar tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw.
Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di
hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan
perasaannya dan berkata,
"The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid
Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada
pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat
dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau
tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai.
" Kwat Lin tersenyum mengejek"
Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah membelajari
ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih
tinggi daripada semua tokoh Butong- pai. Akan tetapi aku bukan saja masih
mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tongpai menjadi perkumpulan
terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai
agar tidak ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai,
apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi kepada Cap-sha
Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu."
"Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai,
terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin."
"Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"
"Dengan mempertaruhkan nyawaku, kehormatan Bu-tong-pai lebih
penting dari pada nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan
persoalan ini dengan kepandaian kita"
"Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para
suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin
menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan
mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu."
Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali,
karena mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan
hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh
lebih tinggi dari lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh
murid keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari
Bu-tong-pai, sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda
Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu
nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai
lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.
"The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto
menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun
juga, dan saat ini pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!"
Sambil berkata demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke
depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang.
Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam
saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak
dahulu.
Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan
ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek
itu jauh lebih barbahaya dari pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu
kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki
sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan
sebagai senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan,
dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat
melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena
itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik
melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan
dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im
Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im
Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya
dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang
mendatangkan rasa dingin.
Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang menyambar
dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa
membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil
keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke arah kepala wanita
itu dari samping.
Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka
untuk memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu dan
mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu
berseru kaget ketika merasa betapa lengan kanannya yang memegang tongkat terasa
dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih
terkejut dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin
dengan jalan menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah
lawan dengan tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa
panas!
Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja
tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran
melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya
dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata luar biasa kuat dan
panasnya, mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak
disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke
belakang dan mengorbankan tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula,
memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan
berkata,
"Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti
akulah ketua Bu-tong-pai!
Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika
tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya
bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam segebrakan itu, Kwat Lin
telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebaskan
diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan andaikata Kwat lin bukan seorang
pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin dia dapat menghindarkan diri
lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah
totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat
pusaka itu terlepas dari peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah
dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar merah berkeredepan dan
menyambar-nyambar dahsyat.
Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat mundur dan ternyata bahwa
ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan
sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa
dilepaskan oleh tangannya yang tertotok.
"Susiok! Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak,
terpaksa aku akan mematahkan tongkat pusaka ini kemudian membunuh kalian dan
merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!"
Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi.
"Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang
memiliki tingkat tinggi dan memegang tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua
dengan niat untuk mempertinggi tingkat Butong- pai!"
Delapan orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak
menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan
berkata,
"Mundurlah kalian. Dia benar, kita tidak boleh melawan
pemegang tongkat pusaka!"
Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin,
"Baiklah, melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan
melawan. Akan tetapi, betapapun juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi
ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang
tidak mau tunduk kepadamu dan meninggalkan tempat ini."
Kwat Lin tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak
murid Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan
kemuliaan bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia
akan mengusahakan agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat
dan paling besar.
"Terserah kepadamu, Susiok."
Dia lalu memandang ke sekeliling, kepada para anak murid
Bu-tong-pai,
"Hai, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengar lah
baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di
dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan
para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku ingin menyebarkan
ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan
Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada
kalian apakah hendak setia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi murid-muridku,
ataukah hendak setia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini
yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!"
Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata
ini. Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan dan
akhirnya hanya ada dua puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan
tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit yang dipilih
oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil
menanti perkembangan selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin
menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin
dan mereka semua ingin memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi.
Demikianlah, mulai hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua yang baru
dari Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula. Dengan
harta benda berupa emas permata yang amat mahal, yang didapatkan dan
dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan
yang megah, mewar dan kuat. Bahkan dalam keinginan hatinya untuk lekas-lekas
melihat Butong- pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia
menerima anggauta-anggauta baru.
Anggauta baru diterima dari golongan apapun juga, syaratnya hanya
satu bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang sampai pada tingkat
tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada Bu-tong-pai. Karena mendengar
bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang
memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah orang-orang
kang-ouw dan golongan kaum sesat yang tadinya hidup sebagai perampok dan
bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk menjadi
anggauta Bu-tong-pai! Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan
cita-citanya untuk puteranya.
Dengan kerja sama antara dia dan para anggauta baru yang
berpengalaman mulailah dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari kesempatan
untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia untuk
membrontak terhadap kaisar. Inilah cita-cita The Kwat Lin. Dia pernah menjadi
ratu, menjadi istri seorang raja, biarpun hanya raja kecil yang menguasai
Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya, Han Bu-ong,
adalah seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja.
Bukan raja kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan
satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar
sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar! Tentu saja
untuk membrontak sendiri dengan mengandalkan kekuatan Bu-tong-pai merupakan hal
yang tak masuk diakal dan hanya merupakan bunuh diri, maka dia mencari
kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi seperti
dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat
dikuasai untuk mencapai cita-cita mereka itu.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari
Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita mengikuti pengalamanya agar tidak tertinggal
terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu
marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong menolong seekor beruang dan tidak
mempedulikan dia. Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari alasan untuk
menghambat perjalanan, padahal dia ingin sekali segera mencari dan menemukan
ibunya yang tidak ia diketahui kemana perginya dan bagaimana nasibnya setelah
badai yang amat dahsyat mengamuk disekitar lautan itu. Akan tetapi tentu saja
bukan dengan hati yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau
kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukan kemarahan hatinya saja.
Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga
pulau dimana Sin Liong mengobati beruang itu tidak nampak lagi, dara itu
memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong. Sudah
dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya
itu akan minta maaf dan menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan
memaafkannya! Saat - saat seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggan dan
kemenangan di dalam hatinya. Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia
mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi dimana dia
meninggalkan Sin Liong tadi!
Demikian banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak
sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja! Setelah berputar
putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin
Liong berada, setelah berteriak - teriak memanggil dengan pengerahan khikang
tanpa ada jawabannya dan memutar perahu keluardari daerah penuh pulau kecil
yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan perjalanan
seorang diri mencari ibunya. Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan
dapat menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi.
Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah
Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah -
olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong
angin itu membawanya.
Pada suatu hari , tampaklah olehnya garis hitam di sebelah kanan,
masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa garis
hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang
agaknya tiada bertepi. Itu lah daratan besar, pikirnya dengan girang dan dia
segera membelokan perahunya menuju ke garis hitam itu. Ketika perahunya sudah
tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang
meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu
seorang laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan tampan.
Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling
pandang sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak mempedulikan
orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja mendayung perahunya ke tepi. Begitu
perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan
perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan
berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong. Dia akan mencari
ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya
tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu
berada di daratan besar, dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan
bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu dengannya. Andaikata tidak, dia pun akan
merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa demikian
pula agaknya pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah
membicarakan hal ini berkali-kali.
Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga
berhasal dari daratan besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan
tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali
pula ke daratan besar!
"Heiii... Nona! Tunggu...!!"
Swat Hong mengerutkan alisnya dan berhenti melangkahkan kakinya,
membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah
menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya meloncat tadi, di
pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya.
"Mau apa kau?" Swat Hong bertanya, matanya memandang
penuh selidik. Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya,
seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, yang perawakanya tinggi besar
dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian.
Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar
berotot membayangkan tenaga yang hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain
tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat
sekali.
Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang
yang berada, namun melihat dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya
dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau seorang nelayan, pikir
Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu.
Pemuda itu tersenyum, senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi
yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja.
Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai
penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah "makan sekolahan" alias
terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat
akan tetapi tetap sopan.
"Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa
sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat,
jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena
selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya
mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang amat lancang ingin
"belajar kenal", sungguh menggemaskan.
"Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi, dan aku tidak peduli
apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu.
Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki
saja yang mau belajar kenal dengan orang asing lancang!"
Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu
yang amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di
luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan rasa
kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda
ini yang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura
seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan.
Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh
air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti
orang menangis. Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus
air matanya.
"Nona hebat sekali! Ha-ha-ha, aku Kwee Lun selama hidupku
baru sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara
seribu orang gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku
Kwee Lun, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah
seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut
akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang
terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia
kang-ouw, dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan."
Melihat sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia
melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang,
akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam
ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah
pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun menurut pengakuannya dia murid
seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum.
"Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu!
Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku, dengan maksud
apakah engkau seorang pria minta perkenalan dengan seorang wanita?"
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah
sikat ditaruh melintang di dahinya itu, dan dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Memang, sebelum aku berangkat merantau, suhu berpesan dengan
sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat
berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun Nona cantik sukar dicari
cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku
ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang
diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti Nona untuk memberi
petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan
hatimu."
Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar
atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada
bayangan ketololan.
"Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan
hatiku?" Dia menyelidik.
"Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang kurang
ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka!
Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot itu.
"Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku
masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu sengan senjataku kipas dan
pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang indah dan
di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka
sekali bernyanyi."
Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang yang kekar seperti seekor
singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar
seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau percaya begitu
saja. Sambil memandang tajam dia berkata,
"Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata,
akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa."
"Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkanya di
perahu!"
Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikan tubuhnya dan berlari
cepat sekali ke perahunya dan ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong,
benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah dan
sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan
senjata-senjatamu?"
"Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan
dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana
aku berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!"
Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum, timbul rasa sukanya kepada
pemuda kasar yang aneh ini.
"Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang
pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang."
Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan
kirinya dikepalkan.
"Apa peduli kata-kata orang? Kalau ada yang berani mengatakan
yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang
manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan bersahabat?
Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan
sembarangan memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap
memperkenalkan diri."
Swat Hong makin tertarik, akan tetapi dia masih ragu-ragu apakah
orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan, siapa
tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?"
"Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling
terkenal di daerah selatan!"
"Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai daripada
bicaramu sepeti penjual jamu?"
"Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona
yang dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih
tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!"
"Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan
tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang
lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua
senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!"
Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya
perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya.
Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan
ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah
nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya!
"Tidak usah banyak ragu, kalau kau tidak mau, pergilah dan
jangan menggangguku lebih lama lagi!"
Pedang terhunus sudah berada di tangan kanan Kwee Lin dan sarung
pedangnya dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut kipas
gagang perak yang telah dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu
dilonjorkan ke depan.
Swat Hong memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian
pemuda yang aneh ini, maka tanpa banyak kata lagi dia sudah meloncat ke depan
dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di tangannya itu adalah
pedang biasa saja, akan tetapi karena yang menggerakan adalah tangan yang
mengandung tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es, maka pedang itu lenyap
bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh dara
itu juga tertutup oleh gulungan sinar pedang saking cepatnya tubuh itu
berloncatan.
Kwee Lun berseru keras dan cepat dia menggerakan pedang dan kipas.
Memang sudah diduganya bahwa dara itu lihai sekali, akan tetapi menyaksikan
gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia menjadi kaget, kagum, heran dan
juga gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan
semua ilmu silatnya untuk menandingi dara yang mengagumkan hatinya ini. Seperti
telah kita kenal di permulaan cerita ini ketika terjadi para tokoh kang-ouw
memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai Sin-tong (bocah ajaib),
guru pemuda itu, Lam Hai Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam
Agama To, juga pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu silatnya. Namun terkenal
sebagai pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai dan senjatanya yang
berupa hudtim dan kipas mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya
kepandaian itu telah diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini, namun tentu
saja karena muridnya bukanlah seorang tosu, senjata hudtim diganti dengan
pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang ringan, kini dimainkan oleh kedua
lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga gajah, tentu saja dapat dibayangkan
betapa cepatnya kedua senjata itu bergerak sampai tidak tampak lagi sebagai
senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya gulungan sinar yang
berkelebatan dan saling belit dengan sinar pedang di tangan Swat Hong.
Tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas
terlepas dari tangannya. Swat Hong tersenyum. Dia tadi sudah menyaksikan bahwa
ilmu pedang pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga
tidaklah kalah banyak dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. Adanya dia
dapat membuat pemuda itu terlepas dalam waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena
selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi daripada pemuda itu, juga kenyataan
bahwa pemuda itu tidak mau menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan
permainannya pada tingkat penguji dan berlatih saja. Kalau pemuda itu merupakan
lawan sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi apakah akan dapat merobohkannya dalam
waktu seratus jurus.
"Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!"
Kwee Lun menjura dan menyimpan kipasnya. Suaranya
bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau menyerang
sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara
itu benar-benar memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat.
"Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu."
"Kwee-twako, kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat!
Perkenalkanlah, aku bernama Hat Swat Hong...."
Sampai di sini, dara itu meragu karena dia masih sangsi apakah dia
akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau Es yang
asing dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu.
"Ilmu pedang Nona hebat bukan main, juga amat aneh
gerakannya, Selama melakukan peratauan dengan Suhu, dan mendengar penjelasan
Suhu, sudah banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat perkumpulan besar di dunia
kang-ouw akan tetapi melihat gerakan pedangnya tadi, aku benar-benar tidak tahu
lagi, sedikit pun tidak mengenalnya, maukah Nona Han Swat Hong
memperkenalkannya kepadaku?"
"Kwee-twako, sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku, Baru
pertama kali ini aku menginjak daratan besar dan aku tidak ingin melibatkan
diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi memperkenalkan diriku. Akan
tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan sikapmu
menarik hatiku, membuat aku tidak dapat menyembunyikan diri lagi. Aku akan
menceritakan keadaanku hanya dengan satu janji darimu, Twako."
Kwee Lun memunggut pedangnya, mengikatkan sarung pedang di
punggung lalu membusungkan dadanya yang sudah membusung tegap itu sambil
menepuk dada dan berkata,
"Kwee-twako, sekali mau mengenal orang, aku tidak mau
bersikap kepalang. Aku menyebutmu Twako, berarti aku sudah percaya kepadamu.
Maka janganlah kau masih bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan
tak perlu kau menyebutku Nona seperti orang asing."
"Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan
memandang ke langit.
"Bukan main! Aku benarbenar berbahagia dapat memperoleh adik
seperti engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong), kauceritakanlah kepada kakakmu ini.
Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan untukmu!
Kakakmu ini sekali bicara tentu akan dipertahankan sampai mati!"
Diam-diam Swat Hong merasa girang dan kagum. Inilah seorang
laki-laki sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang
boleh dipercaya seorang kakak dan sebagai pengganti seorang keluarga setelah
dia kehilangan segala-galanya. Dia telah kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga
ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan suhengnya dan dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee Lun!
"Kwee-twako aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku di
tengah-tengah laut di sekitar sana!"
Dia menuding ke arah laut bebas.
"Di manakah tempat tinggalmu itu? Di sebuah pulau?" Swat
Hong mengangguk, masih agak ragu-ragu.
Benar saja seperti dugaannya, nama Pulau Es mendatangkan kekagetan
luar biasa, bahkan wajah pemuda itu berubah menjadi agak pucat dan dia
memandang dara itu seperti orang melihat iblis di tengah hari!
Seperti juga semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya
didengarnya seperti dalam dongeng saja, dan pangeran Han Ti Ong yang pernah
menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang
memiliki kepandaian seperti dewa! Dan kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu
dari Pulau Es.
"Kwee-twako! Jangan memandangku seperti memandang siluman
begitu...!"
"Ohh... eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa yang mau
percaya? Akan tetapi aku percaya padamu, Moi moi! Wah! aku percaya sekarang!
Kau pantas kalau dari Pulau Es. Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti
manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun dalam beberapa
jurus saja? Aku malah bangga! Seorang penghuni Pulau Es menyebutku twako dan
kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan tercengang saking kagetnya kalau
mendengar ini!"
Melihat pemuda itu petentang- petenteng mengangkat dada seperti
orang membanggakan diri sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat
Hong menjadi geli hatinya.
"Hong-moi, engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya
hatiku. Aihh, sekali ini, baru saja meninggalkan Suhu untuk merantau seorang
diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Betapa bangga
hatiku!"
Swat Hong terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum
melanjutkan syaratnya, maka cepat dia berkata,
"Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan
menceritakan kepada siapapun juga tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja.
Berjanjilah Twako!"
Kwee Lun memandang kecewa.
"Tidak menceritakan kepada siapapun juga bahwa engkau adalah
penghuni Pulau Es? waaahhh... ini..."
Tentu saja hatinya kecewa karena hal yang amat dibanggakan itu
tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia berbangga kalau
begitu?
" Kwee Lun."tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang.
"Hanya ada dua pilihan bagimu. Berjanji memenuhi permintaanku
dan selanjutnya menjadi sahabat baiku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi
kuanggap sebagai seorang musuh!"
"Wah-wah... aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut
kepadamu, Hong-moi, aku bukan seorang penakut dan juga tidak takut mati, akan
tetapi karena memang aku merasa suka sekali kepadamu. Aku tidak sudi menjadi
musuh! Nah, aku berjanji, biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak akan
menceritakan kepada siapapun juga tentang asal-usulmu, kecuali... hemm, tentu
saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa tahu..." Sambungnya
penuh harap. Swat Hong tersenyum lega.
"Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan memegang
teguh janjimu. Sekarang dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau suka
membantuku. Aku adalah puteri dari Raja Pulau Es..."
"Aduhhhh...." Kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun
segera membungkuk, agaknya malah akan berlutut!
"Twako, kalau kau berlutut atau melakukan hal yang
bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi kepadamu!" Kwee Lun berdiri
tegak lagi.
"Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang
mengejutkan secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat... eh, benarkah aku
boleh menyebutmu Moi-moi?"
"Siapa bilang tidak boleh ! Aku hanya bekas puteri raja!
Ayahku telah meninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku yang
pergi entah kemana. Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi.
Yang penting kau ketahui hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan meninggalkan
Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya. Juga aku telah
saling berpisah dengan Suhengku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari
Ibuku dan Suhengku."
Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai
kebawah siku itu.
"Terima kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke
manakah?"
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku meninggalkan Pualu Kura-kura
untuk pergi merantau meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi permintaan
penduduk kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh dari pantai ini."
"Beberapa orang penduduk bersusah payah mencari Suhu di Pulau
Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk menghancurkan komplotan
busuk yang merajalela di kota ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan
sekalian aku diberi waktu setahun untuk merantau sendirian. Kebetulan sekali
aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu
kau akan gembira melihat keramaian ketika aku menghadapi komplotan itu. Setelah
selesai urusanku di sana,aku menemanimu mencari Suhengmu dan Ibumu."
Swat Hong mengangguk setuju. Lega juga hatinya, karena kini ada
seorang teman yang setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar dari
pada dia yang asing sama sekali.
"Baik, Twako. Akan tetapi perutku...."
"Eh, perutmu mengapa? Sakit...."