Pagi itu bukan main indahnya
di dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga).
Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi,
menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon
yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh
hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan,
penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja
kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias
ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti
dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.
Cahaya matahari yang lembut
itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun
kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah
daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara
bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana sini bertemu dengan pantulan air
membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala
macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru
dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap hari.
Sebelum cahaya pertama yang
kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula
membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali,
kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru.
Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti
kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari
sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan
terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing
indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi
telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang
bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan
bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih
indah, suara burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat
di antara jarak suara-suara itu.
Anak laki-laki itu masih amat
kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah
patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga
itu, menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam lebih dia berdiri seperti
itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar
ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih
bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak
terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu
sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana
sekali, biarpun bersih seperti bersih tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari
tangannya yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak
lain dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara
matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi
seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai
seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu
bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola
merah besar di balik puncak gunung sebelah timur, bola merah yang amat besar
dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat
laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang
makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini
menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala
sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.
Anak itu lalu menanggalkan
pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa
menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti
itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ.
Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila,
menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya
masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan
seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini
setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua
tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu
malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya
bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk
bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah
hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat.
Anak yang luar biasa! Memang.
Demikian pula penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong
(Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak
sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan
memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu
sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah orang-orang dusun,
penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San
menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh
tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah,
dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang
terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana
anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga,
hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga denga tetumbuhan
beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim
semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan hati
terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka
berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai
seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang
menolong dusun-dusun itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit
menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah
ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus
diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong
dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.
Ketika orang-orang dusun itu,
terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak
itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata
menetes di kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian
sederhana sekali, potongan "dusun".
Siapakah sebetulnya anak kecil
ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah
dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk
menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet
sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang
"menjelma" menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama.
Sebetulnya tentu saja tidak
seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan
ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak
tunggal dari Keluarga Kwa di kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur
Pegunungan Jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong (Naga
Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi
melihat seekor naga beterbangan di angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin
Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng.
Akan tetapi malapetaka menimpa
keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka.
Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga
kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong
mempergoki mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh
ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru
berusia lima tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya
dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak.
Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya
melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri
itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk
mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin
lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah.
Setelah para penjahat itu
keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya
sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka
terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari keluar dan melihat
tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa
buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan "maling.maling!"
dan orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini.
Beberapa orang lari memasuki
rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat
suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi
kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga muka,tangan dan pakaian anak itu
penuh dengan darah ayah-bundanya.
"Pembunuh! Mereka
membunuh keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu
segera lari keluar dan berteriak-teriak
"Manusia kejam! Tangkap
mereka!"
"Tidak! Bunuh saja
mereka!"
"Tubuh suami-istri Kwa
hancur mereka cincang!"
"Bunuh!"
"Serbu...!"
Dan terjadilah pergumulan atau
pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan
untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biasa, mana
mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang sedang marah.
Anak laki-laki itu, ketika
pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh
darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam
mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang
penuh kengerian. Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak
memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para
tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga
orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa
pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan
terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami
mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan
darah muncrat-muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh
keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah itu, yang
menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja
menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak
tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging
hancur dan tulang-tulang patah!.
Ketika semua orang sudah
merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan
pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa,
Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya,
tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat
tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit,
luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi
Dilihatnya wajah orang-orang
itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan
dendam, penuh nafsu membunuh, dengan dengan mulut terngangga seolah-olah tampak
taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya.
Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap
untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa
seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil menangis
tersedu-sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan
rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang
tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa
yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan
ingatan, semalam itu Sin lIong terus berlari sampai pada keesokan harinya,
saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san,
kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari
pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia
terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan
Jeng-hoa-san.
Setelah siuman, anak kecil
berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian
tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah
musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai
lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya
segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan.
Di dalam hutan seribu bunga
itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain.
Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia
teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia
telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman
orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah bundanya
berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman
puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur
tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam
Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang
menyejukkan perasaan.
Mula-mula Sin Liong tidak
mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak
ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga
orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat
betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat
mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak
sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula
memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua
tiga bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap
Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak
yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk
dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan
angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan
baginya.
Demikianlah, anak ini tidak
tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai
keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para
tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alasan "mengamankan"
barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya
diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka
telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh
bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak
"sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang
dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah
daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri
itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah
pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka,
sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang
lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah
pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat
takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa
karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah
bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".
Demikianlah sampai dua tahun
lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu
Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima
tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan
sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung.
Setelah kini dia hidup seorang
diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan
secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah
pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak,
mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian
cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman
ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih
daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari
pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan
pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap
pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini
sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya
saja dia dapat menentukan khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja
dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga,
buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru
terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang
memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati
Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini
menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang
banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
Selain mempelajari khasiat
tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga
untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa
kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul
karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman
yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga
orang pencuri itu tewa
Di tempat itu dia melihat
kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat
kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini
membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam
sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari
pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada
yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya
matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan
purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga
mukjizat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat
dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya.
Setelah keringat membasahi
seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas
batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh
dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah
dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi
mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur
dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain
mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari,
mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat
pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam
pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan
obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita.
Lebih dari lima belas orang
datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang
laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok
dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang
membengkak dan menghitam.
"Sin-tong, kau tolonglah
aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam
dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.
Sin Liong mengerutkan alisnya.
Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat
orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu
mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan
diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala,
yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan saling melukai, sehingga
mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak
mengenai apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang
mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang tua, bukankah dua
bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu
yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.
"Benar, benar sekali,
Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu terkena
senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku menderita luka
lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya, pedang itu mengandung
racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati,
Sin-tong."
Sin Liong tidak berkata
apa-apa lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka
mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka
yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa
panas tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik nafas panjang.
"Lo-enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain,
saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau dating kesini
pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang
lain?"
Mata yang lebar itu melotot
kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak
ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu
kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan
hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah
Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepadaku.
Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang
mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku
tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu
tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku
keliru menilai orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah,
dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang
kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir
buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih
kepadamu, Sin-tong dan akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidk
membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini,
tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang
mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan
tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu
apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah
panas, berarti darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang masih
mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak
seperti sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau
membuka lukamu itu, Lo-enghiong?"
Orang setengah tua itu
membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan
tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tong,
anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar
golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayang kembali tiga batang golok yang
membacoki tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh
tiga orang pencuri itu.
Sin-hek-houw menggunakan ujung
goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras,
akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan
siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan
kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu.
Sin Liong berlutut,
menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah makin
banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin
Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba
yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu
dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini,
hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu,
menabur bubukan itu ke dalam luka yang mengangga.
"Aduhhhhh..mati
aku....!" Kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu
mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian
yang terluka itu.
"Harap kaupertahankan,
Lo-enghiong sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri
itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat
yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu
menggunakan empat helai daun yang sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah
dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan empat helai daun.
Benar saja, rintihan orang itu
makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu
menarik nafas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap Lo-enghiong
membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya untuk membersihkan
racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu tidak akan
membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk dan daun-daun ini untuk mengganti
obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh
sama sekali." Sin Liong berkata sambil membungkus obat-obat itu dengan
sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Sin-hek-houw.
Orang kasar itu menerima
bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang.
"Kalau saja aku dapat
mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau
saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan
tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong dan aku tidak dapat membalas apa-apa
kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar".
Sin Liong mengangkat muka
memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran.
"Sin-tong, dunia kang-ouw
telah geger dengan namamu. Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima
pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama
Sin-tong menjadi kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar
tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan
kini telah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk dating kesini
dan untuk membujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang
kang-ouw yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang
manusia iblis yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan
partai persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."
Sin liong mengerutkan alisnya,
sedikitpun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk
terhadap siapa pun di dunia ini.
"Lo-eng-hiong, aku hanya
seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan
siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?"
Kakek itu memandang terharu.
"Ahh...kau benar-benar
seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan
melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau
menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang
bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..."
Sin-hek-houw menggiggil dan kelihatan jerih sekali.
"Siapakah mereka dan apa
yang mereka kehendaki dari aku?"
"Di dunia kang-ouw,
banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk orang seperti
aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua
ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang
seorang adalah kakek berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang
alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang
memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan
watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah engkau kalu sudah berada
di tangan kakek ini Sin-tong."
"Hemmm, kurasa seorang
kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak
khawatir dia akan mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak aneh kalau kau
berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran
polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang
tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya.
Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung,
kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis
pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan watak yang
sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong, harap saja
Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. itu tidak
baik."
Kakek itu menarik napas
panjang lalu bangkit berdiri.
"Aku sudah memberi
peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku
bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah
keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar berita angin bahwa
dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin Liong menggeleng
kepala "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi
kemana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm, sudahlah! Aku
sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi
seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan
terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada
lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal, Sin-tong dan sekali lagi
terima kasih."
"Selamat jalan,
Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."
Orang itu berjalan menyeret
kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
"Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi,
Sin-tong?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng
kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong, siapakah
namamu yang sesungguhnya?"
"Aku disebut Sin-tong,
biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau
mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw menggeleng
kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya
mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal tinju,
seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah yang
dikaguminya itu.
Beberapa hari kemudian
semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang
yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang-ouw tentang
dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang ancaman
dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan
tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah,
bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu.
Beberapa pekan kemudian, pagi
hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan seorang kakek
seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam
di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya
kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajahnya membayangkan kesabaran dan
mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia
melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan
Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang
berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga
seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba
kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang,
bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu
senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka
mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan
membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh,
juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya!
"Apa artinya hidup
kalau hati tak senang?
Apa artinya hidup
Kalau segala keinginan tak
terpenuhi?
Puluhan tahun mempelajari ilmu
Bekal memenuhi segala kehendak
Berenang dalam lautan
kesenangan
Matipun tidak penasaran!"
Berkali-kali pengemis ini
bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu
dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas
tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu
membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak
meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat
itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun
kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan
bekas.
Beberapa menit kemudian
setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang
dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari 12 orang
laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita
berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang
ramping. 12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka
jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka
yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang
kang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak
salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sin-hiap (13
Pendekar Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai!
"Tahan dulu, para
suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan
memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata,
"Lihat ini....!"
Tiga Belas orang ini
memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan
biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang.
"Siapa lagi kalau bukan
dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
"Tenaga tusukan tongkat
yang hebat" kata seorang.
"Dan jejak kakinya tidak
tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan),
tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan
sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua
di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka seperti
harimau.
Karena kini merasa yakin bahwa
jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga
belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah
berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu
mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan
pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu.
Tak lama kemudian terdengarlah
oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini
memperlambat larinya dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih,
"Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi
kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi
iblis sendiri!"
"Sssssttt, Sumoi,
terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu,
Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga,
tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia
secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua
sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel,
"Siapakah yang takut
kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat
Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat
maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang di antara Cap-sha
Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.
"Sumoi, kita harus
mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan
dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Karena itu, dalam
pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua!"
Karena maklum bahwa dia tidak
boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain paling lihai
juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biarpun
bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak puas melihat
sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama
besar di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, masa sekarang
berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?
Suara nyanyian itu makin
keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu makin dekat. Dengan
ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas orang pendekar
Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan
kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis
dengan sikap keren dan gagah sekali.
Kakek pengemis itu masih
melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya
bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah
nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata,
"Eh-eh, apakah kalian ini
serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis
tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
"Harap Locianpwe tidak
berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua
Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh
terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
Kakek yang mukanya kelihatan
sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga
belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti
kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka
berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena
kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah!
"Ha..ha..ha, sungguh
sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang
muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah
jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia
memandang Kwat Lin lagi dengan kagum,
"Tidak keliru dugaan
kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki
sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian
menghadang perjalananku?"
"Kami adalah Cap-sha
Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah terlanjur, maka
percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar, kami adalah
murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu dengan hati tidak
enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku
bahwa mereka dari Bu-tong-pai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan mereka.
"Ha..ha..ha, bagus.
Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang
kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan
dengan Bu-tong-pai."
Melihat sikap kakek itu masih
ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, twa-suheng itu menjadi
makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di
depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar merupakan seorang anak
ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat
mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia merasa
khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek datuk sesat ini
bertemu dengan anak itu.
"Apa yang Locianpwe
katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada
urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak
berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita
bahwa diantara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil
budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan
Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke
hutan itu?"
Mulai berubah wajah kakek itu
mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang
tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan
sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm, orang-orang muda yang
lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Sin-tong, kalian mau
apa?"
Tiga belas orang anak murid
Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka
semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu
dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak
sesungguhnya.
"Locianpwe, kalau benar
demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu
Sin-tong."
"Apamukah bocah
itu?"
"Bukan apa-apa,
Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang
tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang di
dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya."
Makin nampak perubahan hebat
pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya menyeringai
penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus
dan memandang rendah.
"Anak-anak kurang ajar!
Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?"
"Guru kami tidak
tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan
Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu sengaja hendak
bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong, kami pun sama
sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku memang menuju ke
Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai
Sin-tong?"
Tiga belas pendekar
Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang, maka tiada
salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.
"Siapa yang tidak
mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut
Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?" Tiba-tiba Kwat Lin berseru
sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhengnya
terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati
mereka terkandung tuduhan ini.
Ilmu Hiat-ciang hoat-sut
adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena
ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam
dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih
bersih darahnya! Tentu sajabagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis
ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan
sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah,
otak dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!.
Tiba-tiba kakek itu tertawa
lebar.
"Hah-hah-hah-hah, memang
benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah
Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum
bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka bersenang-senang dengan perawan
cantik seperti engkau, Nona!"
"Singggg!
Singggg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas
buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar
itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa.
"Heh-heh, kalian mau
coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus
mati, kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini
sekalipun, dia juga tentu akan berani menentang Pat-jiu Kai-ong!"
"Serbu dan basmi iblis
ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan
bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.
Tiba-tiba kakek itu
mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa
menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar
suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis
penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan
tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika seperti berubah
menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya
bengong memandang kakek itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut.
Twa-suheng mereka yang bermuka
gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu-hokang (Ilmu menggereng
seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini menyadarkan para
sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking sehingga pengaruh
Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan gerakannya.
"Sing-sing....
siuuuut.... trang-trang-trang..Heh-heh-heh!"
Gulungan sinar pedang-pedang
yang menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh
gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu
kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak
tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis
tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki
tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu
ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di
tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah
pedang-pedang pusaka yang ampuh.
"Ha..ha..ha, inikah
Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha,
tidak seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar
pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk Sin-kiam-tin
(Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa-suheng melihat betapa kakek itu
benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis
dengan mudahnya.
Tiba-tiba tiga belas orang
pendekar itu merobah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan
tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi kakek itu,
sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul
menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.
Diam-diam kakek itu terkejut.
Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan
tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia
sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakan tongkat secara
otomatis untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi
sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan
mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.
Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi
dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan para
pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan
Sin-kiam-tin dia tahu behwa mereka kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia
bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San-jin,
ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya.
Tiba-tiba terjadi perubahan
pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah!
"Hati-hati terhadap
Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan
warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba
mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya
mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu
mendorong ke depan.
"Prak-prak...dessss!"
Tiga orang pengeroyok menjerit
dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi
terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan
dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek
dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan maut yang mengerikan. Padahal
ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek
ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti
Sin-tong!.
Sepuluh orang pendekar
Bu-tong-pai terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh
semangat dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil
bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini
diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk
membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan
akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas
semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The
Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil
tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin.
Dapat dibayangkan betapa
perasaan dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua
belas orang suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini
telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua
belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di
depannya.
"Iblis busuk, aku akan
mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan.
"Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke
arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap.
Namun dengan gerakan seenaknya
kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.
"Krekkk!" Pedang itu
patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakan
matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum yang
baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikan tubuhnya dan melayang ke
arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepalanya pecah pada
batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan
daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa dia tidak akan mampu
mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan
membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan
batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada
dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah berada di situ menghadangnya
di depan pohon!
"Lepaskan aku!!"
Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh kakek itu, jauh
kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah gontai, kakek
itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para
penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat
dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan
menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.
Perasaan ngeri yang luar biasa
membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan
dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinking.
Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa
lagi ubun-ubun kepalanya.
"Plakkk!"
"Aihhh....!" Kwat
Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata
kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri!
"Bretttt...bretttt....!"
Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh
pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya
menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti
seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan,
kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan
diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu!
Kwat Lin melawan sekuat tenaga,
namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk
melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usahanya
meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah
menyenangkan hati si Kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira
dapat mempermankan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya,
mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya!
Selama tiga hari tiga malam
Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada
hari ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang
hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya
matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu
mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang
masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah.
"Ha-ha-ha, sekarang aku
pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silahkan.
Ha-ha-ha!"
Biarpun Kwat lin berada dalam
keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena lelah, muak,
jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun
kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru,
"Jahanam, sekarang aku
harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!"
"Ha..ha..ha..ha! Kalau
sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke Hong-san, sampai
jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu
meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini
menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat dua belas suhengnya yang sudah
mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita
muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas
suhengnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan
bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak
mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis
sendiri.