Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 42 (Tamat)

Sutejo tertegun, masih tegang oleh pekik melengking dan tawa mengerikan tadi. Dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadi di bawah, di dasar sumur itu dan dia pun tidak ingin menuruni sumur untuk melihatnya. Dia dapat menduga bahwa di dalam sumur itu terdapat bahaya yang menakutkan.

Ketika dia mendengar teriak-teriakan mereka yang bertempur, Sutejo lalu melompat dan berlari cepat menuruni bukit itu menuju ke depan perkampungan Jatikusumo yang sudah menjadi medan pertempuran.

Kalau saja Sutejo dapat melihat ke dalam sumur, dia akan menyaksikan penglihatan yang mendirikan bulu roma karena sungguh menyeramkan. Ternyata ketika Priyadi terjatuh ke dalam sumur, di dasar sumur telah menanti Resi Ekomolo yang kedua kakinya lumpuh.

Kakek yang menyeramkan seperti jerangkong itu tadi mendengar keributan di luar sumur, maka dia cepat berlompatan ke dasar sumur, mengharapkan akan ada orang yang mau menolongnya keluar dari sumur itu. Akan tetapi tiba-tiba ada orang melayang ke dalam sumur.

Sepasang mata kakek itu yang sudah terbiasa di tempat gelap, segera dapat mengenal Priyadi! Amarah dan dendam yang meluap-luap timbul dalam hatinya ketika dia melihat Priyadi. Juga dia merasa girang sekali karena mendapat kesempatan untuk membalas dendam, maka dia mengeluarkan suara tawa seperti iblis, lalu bagaikan seekor binatang buas dia telah menerkam ke arah tubuh Priyadi yang terjatuh.

Pundak Priyadi telah terluka oleh pukulan Aji Bromokendali yang amat kuat, maka ketika terjatuh ke dalam sumur, dia tidak mampu mengatur keseimbangannya dan terbanting ke atas dasar sumur. Dia masih dalam keadaan nanar dan pundaknya terasa seperti remuk ketika Resi Ekomolo menyerangnya.

Tentu saja dia tidak dapat menghindar dan kedua tangan Resi Ekomolo yang jari-jarinya berkuku runcing seperti cakar setan itu telah mencengkeram lehernya dari kanan kiri dan tubuh kakek lumpuh itu telah menempel bagaikan seekor lintah di punggung Priyadi!

Cengkeraman yang mencekik leher itu luar biasa kuatnya sampai kuku-kuku sepuluh jari tangan itu menghujam dan merobek kulit daging leher. Rasa nyeri yang teramat hebat membuat Priyadi mengeluarkan pekik melengking kesakitan yang terdengar oleh Sutejo, diseling suara tawa Resi Ekomolo.

Darah segera mengucur dari kanan kiri leher yang dicengkeram kedua tangan dan melihat darah, Resi Ekomolo yang bagaikan sudah menjadi gila karena terlampau lama tinggal di sumur neraka itu dan karena marah dan dendam, lalu menempelkan mulutnya ke leher yang berdarah dan menghisap darah mengucur keluar dari luka di leher Priyadi!

Priyadi merasa tak mampu membebaskan diri dari cengkeraman yang mencekik leher itu dan dia merasa betapa rasa nyeri berdenyut-denyut menyiksa seluruh tubuhnya, terutama di bagian kepalanya. Rasa nyeri yang membuatnya hampir gila. Juga dia merasa semakin lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur keluar dan terus mengucur karena dihisap oleh kakek gila itu.

Rasa nyeri yang amat sangat dan rasa diri semakin lemah menyadarkan Priyadi bahwa dirinya terancam maut, nyawanya sudah berada dalam cengkeraman maut. Maka dia lalu bertindak nekat. Digenggamnya gagang keris pusaka Ilat Nogo, kemudian dengan sisa tenaganya yang masih ada, dia menusukkan keris itu ke belakang punggungnya.

“Capppp...!”

Keris itu menembus kulit daging, lalu memasuki rongga dada Resi Ekomolo dan langsung menusuk jantung!

“Auuuggghhhh...!” Resi Ekomolo menjerit, akan tetapi cengkeraman kedua tangan pada leher Priyadi tidak dapat terlepas lagi karena sepuluh jari tangannya itu sudah menancap dalam-dalam ke leher itu.

Priyadi roboh dan tubuh Resi Ekomolo terbawa roboh. Kedua orang itu tewas dalam saat yang hampir berbareng, keduanya mati dengan mata terbelalak! Roh mereka menjadi roh penasaran yang gentayangan dan menghantui sumur tua di bukit belakang perkampungan Jatikusumo itu.....!

********************

Dengan berlari cepat Sutejo kembali ke medan pertempuran. Sesampainya di tempat itu, pertempuran masih berlangsung dengan seru dan hebatnya. Kini menjadi pertempuran besar karena semua orang di kedua pihak ikut bertempur. Darah tercecer di mana-mana. Tubuh-tubuh manusia yang terluka berat atau sudah tak bernyawa lagi malang melintang dan tumpang tindih di sekitar tempat itu.

Yang pertama-tama diperhatikan oleh Sutejo adalah Puteri Wandansari dan Retno Susilo. Retno Susilo ternyata sudah bisa mendesak Bhagawan Jaladara. Bukan saja pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar kehijauan itu mengurung dan mendesak Bhagawan Jaladara, bahkan agaknya pukulan Wiso Sarpo yang dipergunakan Retno Susilo sudah mengejutkan pendeta itu karena ketika ditangkis, tangan kirinya lantas terasa panas yang menembus ke tulang lengan sehingga dia dapat menduga bahwa ada hawa beracun yang amat kuat telah memasuki lengan kirinya.

Kini Bhagawan Jaladara mulai menjadi panik, apa lagi sesudah dia melihat betapa rekan-rekannya juga banyak yang terdesak, bahkan para anak buah Jatikusumo tampaknya tak kuat menahan serbuan pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari itu. Melihat keadaan Retno Susilo sekilas tahulah Sutejo bahwa gadis itu tidak membutuhkan bantuannya dan perhatiannya dialihkan kepada Puteri Wandansari.

Berbeda dengan keadaan Retno Susilo, sang puteri ini tampaknya mengalami kesukaran untuk mengalahkan Resi Wisangkolo. Bahkan ia tampak terdesak oleh gerakan kakek itu yang sangat menggiriskan. Tongkat ular hitam itu dapat ditahan oleh ilmu pedang Kartika Sakti, akan tetapi kakek itu menyelingi gerakan tongkatnya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dengan Aji Guntur Geni.

Menghadapi pukulan sakti inilah sang puteri tampak agak kewalahan. Hanya karena ilmu pedangnya Kartika Sakti yang ampuh itu saja yang membuat sang puteri masih mampu bertahan, akan tetapi ia mulai terdesak mundur terus. Melihat ini Sutejo segera melompat mendekati.

“Wisangkolo, resi sesat! Tibalah saatnya engkau menebus dosa-dosamu!” bentak Sutejo sambil menggerakkan Pecut Sakti Bajrakirana di tangannya.

“Tar-tar-tarrr...!”

Sang Resi terkejut sekali, bukan hanya oleh sambaran ujung pecut yang menyerangnya bagaikan halilintar itu, melainkan juga karena munculnya Sutejo. Ini berarti bahwa Priyadi sudah dikalahkan oleh pemuda ini. Dugaan ini membuatnya gentar, apa lagi dia pernah mengadu kesaktian melawan pemuda ini dan dia sudah kalah. Kini melihat cambuk yang meledak-ledak di atas kepalanya itu, dia menangkis dengan tongkat hitamnya.

Bertemunya tongkat hitam dengan ujung pecut membuat tangannya tergetar hebat dan dia pun terhuyung ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Puteri Wandansari untuk menggerakkan pedang pusaka Kartika Sakti yang menyambar ke arah leher Resi Wisangkolo dengan dahsyat sekali.

Sang resi terkejut dan cepat mengelak. Ujung pedang bersinar hijau itu luput dari sasaran, tidak mengenai leher akan tetapi mengenai pundak kanan Resi wisangkolo.

“Singgg...! Crattt...!”

Baju dan pangkal lengan di dekat pundak terobek dan darah membasahi baju sang resi. Rasa perih dan nyeri pada pundaknya membuat dia menjadi marah dan nekat. Dia segera menubruk ke arah Sutejo sambil mengayunkan tongkat ular hitamnya, menyerang ke arah kepala peiuuda itu.

Tetapi Sutejo telah siap siaga. Cambuknya meledak dan ujung cambuk membelit tongkat, lalu sekali tarik dengan pengerahan tenaga saktinya, tongkatnya terlepas dari pegangan tangan kanan Resi Wisangkolo. Kakek ini terkejut dan menjadi semakin marah. Tangan kirinya dihantamkan dengan Aji Guntur Geni. Hawa berapi keluar dari telapak tangan kiri itu menerjang ke arah Sutejo.

“Aji Bromokendali...!” Sutejo berseru sambil menyambut pukulan itu dengan pukulannya yang merupakan aji pamungkas.

“Blarrrrr...!”

Dua tenaga sakti yang amat kuat saling bertumbukan di udara dan akibatnya tubuh Resi Wisangkolo terjengkang dan roboh. Sebelum dia dapat bangkit berdiri, baru merangkak, sinar hijau berkelebat.

“Singgg...! Ceppp...!”

Ujung pedang Kartika Sakti telah masuk menancap di lambungnya. Resi Wisangkolo yang sedang merangkak hendak bangkit itu roboh lagi dan tewas dalam genangan darahnya sendiri.

Setelah melihat betapa sang resi yang sakti itu tewas, Sutejo lalu melompat mendekati Retno Susilo yang sudah mendesak Bhagawan Jaladara.

“Jaladara! Kini tibalah saatnya bagimu untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan kejahatanmu kepada Eyang Resi Limut Manik!” teriak Sutejo dan Pecut Bajrakirana lalu meledak-ledak di atas kepala Bhagawan Jaladara.

Sang bhagawan ini terkejut sekali. Melawan Retno Susilo saja dia sudah kewalahan, apa lagi sekarang ditambah Sutejo yang sudah dia ketahui kesaktiannya. Maka ketika Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepalanya. Bhagawan Jaladara cepat membuang dirinya ke belakang, terus bergulingan untuk menjauhkan diri, kemudian dia meloncat dan hendak melarikan diri di antara banyak orang yang sedang bertempur.

“Jahanam, jangan lari kau!” bentak Retno Susilo.

Dara ini cepat menggerakkan tangan kanan yang memegang gagang pedang Nogo Wilis. Dengan mengerahkan tenaganya dia melontarkan pedang itu ke depan. Sinar kehijauan meluncur dan menyambar ke arah tubuh Bhagawan Jaladara yang sudah mulai melarikan diri.

“Singggg...! Cappp...!”

“Auugghhrrr...!”

Tubuh Bhagawan Jaladara terjungkal ke depan dan roboh menelungkup, tidak bergerak lagi karena pedang Nogo Wilis sudah memasuki dadanya hingga menembus jantung.

Dengan sekali lompatan Retno Susilo sudah berada di dekat mayat bhagawan itu dan mencabut pedangnya, lalu membersihkan pedang yang berlepotan darah itu pada pakaian sang bhagawan. Sutejo sudah berdiri di sampingnya dan pemuda ini menghela napas panjang, memandang kepada tubuh yang menelungkup tak bernyawa lagi itu.

“Hemm. Paman Bhagawan Jaladara, ada jalan yang bersih, mengapa memilih jalan yang kotor?”

“Kakangmas Sutejo, mari kita membantu yang lain-lain! Lihat, ayahmu juga belum dapat merobohkan Ki Klabangkolo!” kata Retno Susilo kepada pemuda yang termenung itu.

Sutejo sadar kembali dan memutar tubuhnya. Benar saja, dia melihat pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Dia melihat ayahnya sudah mendesak Klabangkolo akan tetapi belum dapat merobohkannya, bahkan ada dua orang anak buah Klabangkolo yang membantu datuk itu mengeroyok Harjodento. Juga ibunya, Padmosari, sudah mendesak Sekarsih yang dibantu dua orang anak buah, akan tetapi belum dapat merobohkannya.

“Kau bantulah ibuku, diajeng. Aku akan membantu ayah!” katanya.

Pada saat itu Puteri Wandansari sudah tiba di dekat mereka dan puteri itu berkata, “Biar aku yang membantu Paman Harjodento dan Bibi Padmosari, kakangmas Sutejo.”

Melihat sang puteri bicara kepada Sutejo, Retno Susilo memandang dengan alis berkerut.

“Saya yang akan membantu mereka! Mereka adalah calon ayah dan ibu mertuaku!” kata Retno Susilo dengan suara ketus.

“Diajeng Retno!” Sutejo menegur.

Akan tetapi Retno Susilo sudah berlari membawa pedangnya dan membantu Padmosari sehingga Sekarsih menjadi gentar. Dua orang pembantunya dalam beberapa gebrakan saja sudah roboh dan tewas oleh pedang bersinar hijau di tangan Retno Susilo itu.

“Maafkan diajeng Retno Susilo... Gusti Puteri...” kata Sutejo kepada sang puteri.

Puteri Wandansari tersenyum sehingga tampak lesung pipit di pipi kirinya dan ketika dua bibirnya terbelah, tampak kilatan gigi yang rapi dan putih seperti mutiara.

“Mengapa engkau begini sungkan dan menyebutku gusti puteri, Kakang Sutejo? Jadi, Retno Susilo itu tunanganmu? Ah, ia sungguh gagah dan cantik, juga amat mencintamu, kakang. Aku mengucapkan selamat. Nah, bantulah ayahmu, aku akan membantu Kakang Cangak Awu dan yang lain-lain!” Setelah berkata demikian Puteri Wandansari melompat kemudian membantu Cangak Awu dan Pusposari yang belum juga mampu mendesak Tumenggung Janurmendo yang tangguh.

Sutejo juga berlari menghampiri ayannya yang masih bertanding melawan Klabangkolo yang dibantu dua orang anak buahnya.

Setelah Retno Susilo membantu Padmosari, Sekarsih menjadi panik karena dua orang yang membantunya sudah roboh dan kini sinar hijau bergulung-gulung menyerangnya dari segala penjuru, seolah dia dikurung oleh sinar hijau itu. Dia melawan mati-matian karena tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri. Namun melawan Padmosari seorang saja ia tadi sudah kewalahan sehingga harus dibantu dua orang anak buah, apa lagi sekarang seorang diri dia harus melawan Padmosari yang dibantu oleh Retno Susilo yang bahkan lebih tangguh dan ganas dibandingkan isteri ketua Nogo Dento itu!

Pedang bersinar hijau itu menyambar-nyambar dan ketika Sekarsih menangkis dengan pedangnya, ia langsung terdorong dan terhuyung ke belakang dan hampir seja pedang di tangannya terlepas! Selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, keris di tangan Padmosari menyambar ke arah perutnya.

Sekarsih yang sedang terhuyung tidak dapat mengelak dan terpaksa menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kirinya bertemu ujung keris dan terluka. Pada saat itu terasa angin menyambar keras ke arahnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi tangan kiri Retno Susilo telah menghantam dadanya dengan Aji Wiso Sarpo!

“Desss...!”

Tubuh Sekarsih segera terjengkang dan ia tewas seketika karena pukulan Wiso Sarpo itu mengandung hawa beracun dari ular-ular yang paling ganas!

Harjodento masih bertanding ramai sekali menghadapi Ki Klabangkolo. Ki Klabangkolo hanya mengandalkan kaki tangannya dalam bertanding, namun kaki tangannya ini tidak kalah ampuh dibandingkan senjata tajam. Pukulan kedua tangannya mengandung angin pukulan yang bergelombang seperti badai!

Akan tetapi sekali ini dia harus berhadapan dengan Ki Harjodento dan ketua Nogo Dento ini adalah seorang pendekar gagah perkasa yang sudah berpengalaman dalam bertanding melawan orang-orang tangguh. Apa lagi dalam pertandingan ini dia menggunakan senjata tombak panjang sehingga akhirnya Ki Klabangkolo merasa kewalahan juga.

“Klabangkolo manusia iblis! Bersiaplah kau untuk menebus dosa-dosamu!” teriak Sutejo dan dia sudah menerjang dengan senjata pecutnya.

“Tar-tarr-tarrr...!”

Pecut itu meledak-ledak dan menari-nari di atas kepala Ki Klabangkolo seperti kilat yang menyambar-nyambar. Ki Klabangkolo terkejut bukan main. Dia melempar tubuh ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah. Ketika tombak di tangan Ki Harjodento meluncur, dia cepat menangkis dengan lengan kanannya sambil melompat bangun kembali. Akan tetapi pada saat itu ada angin dahsyat menyambar, membawa gelombang panas sekali.

“Aji Bromokendali!” Sutejo berseru dan melancarkan pukulan ampuh itu. Ki Klabangkolo terpaksa menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya karena tidak sempat mengelak lagi.

“Blarrrrr...!”

Tubuh, Ki Klabangkolo terjengkang dan selagi dia terhuyung dengan muka pucat dan dua tangan menekan dada karena dia sudah terluka dalam, tiba-tiba Harjodento menyerang dengan tombaknya. Tombak meluncur cepat laksana anak panah terlepas dari busurnya. Demikian cepatnya tombak itu menyambar sehingga Ki Klabangkolo yang sudah nanar itu tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.

“Blesss...!”

Tombak memasuki dadanya sampai hampir tembus. Ki Harjodento cepat mencabut lagi tombaknya dan tubuh Ki Klabangkolo roboh terjungkal dan tewas seketika.

Sementara itu Puteri Wandansari cepat membantu Cangak Awu dan Pusposari yang telah mendesak Janurmendo. Biar pun dikeroyok dua dan didesak, Janurmendo yang tangguh itu masih mampu mempertahankan diri.

“Janurmendo, engkau telah ikut membunuh Eyang Resi Limut Manik! Sekarang rasakan pembalasanku!” teriak sang puteri dan ia sudah menyerang dengan pusaka Kartika Sakti.

Serangan Puteri Wandansari ini hebat bukan main, dahsyat sekali mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan cepat laksana halilintar. Tumenggung Janurmendo terkejut dan berusaha menangkis dengan kerisnya Jalu Sarpo.

“Trangg...!”

Keris itu patah ujungnya bertemu dengan pedang pusaka Kartika Sakti dan pedang itu terus meluncur ke arah leber Janurmendo. Tumenggung yang digdaya ini masih sempat miringkan tubuhnya sehingga bukan lehernya yang terpenggal, melainkah ujung pundak yang robek terluka. Dia mengeluh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini digunakan oleh Cangak Awu untuk menghantamkan tongkatnya yang berat ke arah tubuh lawan.

“Bukkk!”

Lambung Janurmendo terhantam tongkat itu, keras sekali sehingga tubuhnya terlempar dan dia pun roboh terbanting. Pedang Kartika Sari di tangan Puteri Wandansari bergerak cepat menusuk dada tumenggung itu sehingga habislah riwayat Tumenggung Janurmendo yang tewas seketika.

Pada saat itu Maheso Kroda yang dikeroyok oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, dua orang pimpinan Sardulo Cemeng, juga telah roboh dan tewas di tangan kakak beradik ini. Robohnya seluruh pimpinan persekutuan Jatikusumo berikut para tokoh Wirosobo ini membuat para anak buahnya menjadi gentar. Apa lagi di antara mereka sudah banyak yang roboh dan tewas. Melihat bahwa mereka tidak mempunyai pimpinan lagi, maka berserabutanlah sisa mereka melarikan diri. Gerombolan itu dapat dibasmi.

Para orang gagah yang membantu penumpasan gerombolan itu, termasuk Retno Susilo, merasa kagum bukan main melihat betapa Puteri Wandansari memimpin pasukannya dan membagi-bagi perintah dengan tegas seperti seorang senopati yang gagah perkasa dan sudah berpengalaman.

Terdengarsang puteri memerintahkan semua anggota keluarga gerombolan yang tertinggi di perkampungan Jatikusumo supaya berkumpul. Dia melarang pasukannya mengganggu para wanita dan kanak-kanak itu, bahkan lalu membagi-bagi harta yang tertinggal di situ kepada mereka, barulah menyuruh mereka meninggalkan perkampungan Jatikusumo.

Kemudian dia membebaskan para wanita yang menjadi tawanan di tempat itu. Dia juga memerintahkan pasukannya untuk menguburkan semua mayat dari korban pertempuran itu, baik mayat para musuh mau pun mayat anggota pasukannya sendiri, lalu beramai-ramai membersihkan perkampungan itu.

Sesudah tempat itu dibersihkan, Sang Puteri mengumpulkan semua orang gagah yang telah membantunya dalam ruangan yang luas di mana biasanya para murid Jatikusumo berlatih silat. Setelah mempersilakan semua orang duduk, dia bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Saya merasa gembira sekali melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di antara para saudara yang telah membantu kami mengalami cedera atau tewas. Kami atas nama Kerajaan Mataram mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara sekalian sehingga gerombolan pemberontak yang telah menguasai Jatikusumo dan bersekutu dengan pihak Wirosobo bisa dibasmi. Kami mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar para saudara yang gagah perkasa suka membantu Mataram kalau waktunya tiba untuk menundukkan para kadipaten yang memberontak terhadap Mataram. Sanggupkah saudara sekalian membantu kami?”

“Sunggup...!” Terdengar jawaban dari banyak mulut.

“Atas nama Kanjeng Rama Sultan Agung, kami mengucapkan terima kasih! Sekarang, mengingat bahwa perguruan Jatikusumo adalah perguruan orang-orang gagah yang telah dicemarkan oleh perbuatan Priyadi yang murtad dan berkhianat, maka sekarang perlu dibangkitkan kembali. Untuk itu kami minta supaya Kakang Cangak Awu suka memimpin Jatikusumo dan mengumpulkan kembali para murid lama yang melarikan diri, mengangkat murid-murid baru yang baik agar Jatikusumo berdiri sebagai perkumpulan yang gagah. Kami harap Kakang Cangak Awu tidak menolak untuk melaksanakan tugas yang mulia ini.”

Cangak Awu merasa terharu dan dia mengangguk-angguk. “Saya akan menaati perintah Gusti Puteri Wandansari!” katanya dengan lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

Walau pun Sang puteri adalah adik seperguruannya sendiri, tetapi dalam keadaan seperti itu di mana banyak orang lain hadir, dia lebih suka menganggap sang puteri sebagai jujungannya dari pada sebagai adik seperguruan.

“Karena murid pertama dan kedua, yaitu Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini telah tewas, dan murid ketiga si jahanam Priyadi juga sudah tewas menurut keterangan... saudara Sutejo, maka sebagai murid keempat saya berkewajiban untuk membangun kembali perguruan Jatikusumo!” kata Cangak Awu.

Dia agak canggung untuk menyebut Sutejo. Mau menyebut adimas, tetapi nyatanya dia akan berjodoh dengan Pusposari, adik Sutejo. Kalau menyebut kakangmas nyatanya dia lebih tua dibandingkan Sutejo. Maka agar aman, dia menyebut saja saudara!

Setelah mengatur semuanya sehingga keadaan di Jatikusumo beres, Puteri Wandansari lalu kembali ke kota raja memimpin pasukan Pasopati yang telah mendapat kemenangan itu. Juga para pembantunya telah bubaran meninggalkan Jatikusumo.....

********************

Retno Susilo sengaja mengajak Sutejo untuk memisahkan diri dari yang lainnya ketika melakukan perjalanan kembali ke perkampungan Nogo Dento. Mereka menunggang kuda dan dua ekor kuda itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan perguruan Jatikusumo. Di sebuah lereng yang teduh, di mana terdapat sebuah hutan cemara yang indah, Retno Susilo menghentikan kudanya dan turun dari atas kuda, lalu duduk ke atas batu besar. Sutejo terpaksa turun pula lalu duduk di sebelahnya.

“Kakangmas, Puteri Wandansari itu sungguh hebat, ya?”

Sutejo tersenyum dan memandang wajah cantik jelita itu dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. Dia tahu bahwa tunangannya ini pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu.

“Memang ia seorang puteri yang hebat, diajeng.”

“Hemm, engkau tentu kagum sekali kepadanya, bukan?” Retno Susilo kini menatap wajah kekasih hatinya penuh selidik.

Sutejo masih tetap tersenyum, lalu mengangguk. Dia harus jujur dan tidak perlu berpura-pura. “Memang sesungguhnyalah, aku kagum sekali kepadanya. Siapakah orangnya yang tidak kagum kepada Sang Puteri Wandansari? Dia seorang dara cantik jelita, juga puteri seorang reja besar, sakti mandraguna, bijaksana pula. Semua orang tentu merasa kagum kepadanya!”

“Akan tetapi... engkau... engkau tidak cinta padanya, bukan?” Sekarang pandang mata itu mengandung kekhawatiran dan keraguan, memandang tajam seakan hendak menembus jantung dan menjenguk isi bati Sutejo.

Sutejo menundukkan mukanya sejenak, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah Retno Susilo sambil tersenyum. “Engkau ini ada-ada saja, diajeng. Aku ini siapa? Berani jatuh cinta kepada puteri raja! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung cendrawasih. Hanya bisa menjadi bahan ejekan dan tertawaan!”

“Ahh, jangan merendahkan diri seperti itu, kakangmas. Bagiku, engkau cukup berharga untuk bersanding dengan seorang dewi kahyangan sekali pun!”

“Hemm, begitukah?”

“Akan tetapi, semua dewi dari kahyangan akan kumusuhi, kahyangan akan kuobrak-abrik kalau ada dewi yang hendak merebutmu dari hatiku!”

“Wah, cemburu, ya?” Sutejo menggoda.

“Tentu saja!” Retno Susilo mendekat dan mereka berangkulan.....

********************

Setelah terjadinya peristiwa penghancuran gerombolan di Jatikusumo itu, Sultan Agung yang mendengar tentang semua pelaporan puterinya, lalu mengutus Senopati Suroantani untuk memimpin pasukan melakukan ekspedisi ke Jawa Timur, untuk membujuk para Adipati dan Bupati agar mau bersatu dan tunduk kepada Mataram. Akan tetapi usaha ini tidak ada hasilnya, bahkan beberapa kali pasukan yang dipimpin Senopati Suroantani mendapat serangan dari mereka. Akhirnya Senopati Suroantani membawa pasukannya kembali ke Mataram dan melaporkan kegagalannya.

Pada tahun 1615, di bawah pimpinan Adipati Surabaya dan dengan Sunan Giri sebagai juru nasihat, bersatulah para bupati Lasem. Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan. Arisbaya (di Madura) dan Sumenep menyerang ke Mataram! Akan tetapi serangan besar-besaran ini gagal dan persekutuan ini dikalahkan oleh tentara Sultan Agung. Hal ini terutama sekali kerena tentara gabungan dari Jawa Timur yang memberontak kepada Mataram itu tidak memperoleh dukungan rakyat pedesaan sehingga mereka kekurangan makanan dalam perjalanan. Sejak dahulu tercatat dalam sejarah bahwa perjuangan hanya dapat berhasil kalau didukung oleh rakyat jelata.

Pada tahun-tahun berikutnya Sultan Agung mengerahkan pasukannya menyerbu ke Jawa Timur dan berhasil menaklukkan Wirosobo, Lasem dan Tuban. Dalam penyerbuan ini ikut pula para pendekar yang pernah membantu Puteri Wandansari pada waktu menyerbu ke Jatikusumo, termasuk pasangan Sutejo dan Retno Susilo, juga pasangan Cangak Awu dan Pusposari yang sudah melangsungkan pernikahan kembar di perguruan Sardulo Cemeng.

Pada tahun 1624, pasukan besar Mataram dipimpin oleh Senopati Kyai Sujono Puro menyerang Madura. Dalam penyerangan ini Kyai Sujono Puro tewas dalam pertempuran. Lalu datang bala bantuan dari Mataram yang dipimpin oleh Senopati Kyai Luru Kiting. Pasukan Mataram yang berjumlah besar ini menyerbu hingga pasukan-pasukan Madura dikalahkan. Arisbaya, Pamekasin, Sumenep, Sampang dan Balega ditaklukkan.

Dalam kemenangannya ini Sultan Agung melakukan taktik yang sangat bijaksana untuk menghilangkan rasa dendam dari daerah-daerah yang ditaklukkannya, yaitu dengan jalan mengangkat Praseno, keponakan dari Bupati Arisbaya, menjadi Adipati yang menguasai seluruh Pulau Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat, berkedudukan di Sampang. Tindakan yang bijaksana ini membuat Pangeran Cakraningrat selalu setia terhadap Sultan Agung.

Sultan Agung melanjutkan usahanya untuk menguasai seluruh jajaran Jawa Timur dengan maksud mempersatukan seluruh kekuatan untuk menghadapi kompeni Belanda. Setahun setelah Pulau Madura ditalukkan, dia memimpin pasukan menyerbu Kadipaten Surabaya. Jatuhlah Kadipaten Surabaya ke tangan Sultan Agung!

Namun kembali Sultan Agung menunjukkan kebijaksanaannya. Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, tidak dihukum malah dikawinkan dengan Puteri Wandansari kemudian diijinkan memerintah terus di Surabaya!

Sungguh merupakan suatu kebijaksanaan yang membuktikan bahwa Sultan Agung bukan berniat menaklukkan semua daerah timur untuk meluaskan kekuasaannya, melainkan untuk mengajak mereka bersatu padu menentang kompeni Belanda.

Akan tetapi masih ada ganjalan bagi Sultan Agung, yaitu Sunan Giri yang belum juga mau tunduk. Dia memerintahkan kepada Adipati Surabaya untuk menundukkan Sunan Giri. Akan tetapi pasukan Surabaya itu dikalahkan oleh pasukan Sunan Giri. Akhirnya Ratu Wandansari, yaitu puteri, Sultan Agung yang sudah menjadi isteri Adipati Surabaya atau Pangeran Pekik, memimpin sendiri pasukan yang istimewa dan kuat.

Puteri yang gagah perkasa ini menggunakan pakaian seorang Senopati dan memimpin serangan yang kedua. Pasukan Sunan Giri berhasil dihancurkan dan Sunan Giri ditawan lalu dibawa ke Mataram. Tetapi kembali Sultan Agung memperlihatkan kebijaksanaannya. Sunan Giri dimaafkan, bahkan diangkat kembali menjadi pemimpin, hanya saja gelar yang boleh dipakai adalah Panembahan saja.

Kekuasaan Mataram menjadi semakin luas, bahkan Cirebon dan Priangan juga mengakui kekuasaan Sultan Agung di Mataram. Pangeran Sumedang, yaitu Dipati Kusuma Dinata, diangkat menjadi wakil Sultan Agung di daerah Jawa Barat.

Memang maksud Sultan Agung menundukkan semua daerah itu adalah untuk mencegah agar Kompeni Belanda tidak bisa mendapatkan kekuasaan memperluas pengaruhnya.

Setelah daerah-daerah itu dapat dipersatukan, maka mulailah Sultan Agung mengalihkan perhatiannya kepada Kompeni Belanda dan mulailah perjuangannya menentang Kompeni Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).....
T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar