Pendekar Rajawali Sakti eps 201 : Pedang Kilat Buana

SATU
"Hajar...!"

“Bunuh Pendekar Belalang!”

Suara-suara teriakan penuh hawa amarah terdengar keras, tertuju pada seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap terbungkus pakaian ketat serba putih.

Dia dikelilingi oleh laki-laki berpakaian serba hitam dengan lambang bergambar tengkorak di punggung. Dengan senjata terhunus, para pengepung siap melenyapkan laki-laki berpakaian serba putih yang dipanggil Pendekar Belalang.

“Kalian jangan bertindak tolol! Jangan membabi-buta. Percayalah! Apa yang kalian inginkan tidak ada padaku. Apakah jawabanku kurang jelas?” kilah Pendekar Belalang.

“Lidah tidak bertulang, Pendekar Belalang. Siapa percaya bualanmu?” sahut seorang laki-laki berusia setengah baya kepala botak, namun jenggotnya begitu lebat.

“Baiklah! Agaknya kalian sukar diajak bicara baik-baik. Kalau itu yang kalian inginkan, aku akan membuka jalan darah demi menyelamatkan selembar nyawaku!” jawab Pendekar Belalang.

“Pendekar Belalang! Aku Sura Medal. Dan aku adalah manusia yang suka memegang janji. Jika kau serahkan senjata itu padaku, maka kau akan kubiarkan pergi!” bujuk laki-laki botak yang berjenggot panjang.

“Huh...! Sudah kukatakan, warangkanya saja aku tidak punya. Apalagi senjatanya!” bantah Pendekar Belalang.

“Omong kosong! Bunuh dia...!” teriak laki-laki berjenggot panjang bernama Sura Medal.

Perintah itu ternyata sangat berpengaruh bagi sepuluh orang laki-laki berbaju hitam lainnya. Serentak mereka menerjang Pendekar Belalang dengan berbagai jenis senjata di tangan.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan-teriakan keras, mereka segera menghujani Pendekar Belalang dengan babatan maupun tusukan senjata.

Namun, agaknya laki-laki berpakaian putih itu tak bisa dianggap sembarangan. Dengan loncatan-loncatan tubuhnya yang seperti belalang, semua serangan berhasil dihindari. Setelah berhasil menghalau serangan-serangan, kini giliran Pendekar Belalang yang melakukan serangan balik. Akibatnya tentu sangat berbahaya bagi orang-orang berpakaian serba hitam ini. Mereka berpelantingan terkena hantaman Pendekar Belalang.

“Mampus kalian semuanya! Hiyaaa...!” teriak pemuda berbaju putih itu. Dengan gerakan-gerakan sangat aneh lagi kacau, Pendekar Belalang menerjang ke arah para pengeroyok. Kedua tangannya meluncur deras ke depan menghantam ke dada lawan-lawannya yang terdekat.

Des! Des!

“Aaa...!” Dua orang berpakaian serba hitam dengan gambar tengkorak di punggung langsung terpelanting roboh. Tenggorokan mereka berlubang, terkena ujung jari Pendekar Belalang. Sedangkan bagian dada mereka amblas.

Melihat kenyataan ini laki-laki botak berjenggot panjang yang jadi pimpinan menjadi sangat marah. Senjatanya yang berupa tombak pendek dengan mata dari baja lengkung seperti bulan sabit. Seketika senjata itu dikibaskan ke bagian perut Pendekar Belalang.

Namun pemuda itu segera melenting ke udara seraya berjumpalitan. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, kedua tangannya menghantam punggung Sura Medal.

“Herkh...!” Laki-laki botak itu jatuh tunggang langgang. Tulang punggungnya patah. Dan lebih mengerikan lagi, Pendekar Belalang yang telah mendarat telah meluncur dengan kaki terjulur ke arahnya.

Sementara, pimpinan orang-orang berpakaian hitam itu yang masih jatuh telungkup, tidak sempat lagi menghindari. Dan....

Krak!

“Huaagkh...!” Disertai teriakan kesakitan, Sura Medal meregang nyawa. Dari hidung, mulut serta bagian telinganya, meneteskan darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya.

“Huh! Untuk orang-orang yang tidak tahu urusan yang sebenarnya, memang tidak ada yang lebih baik selain kematian!” dengus Pendekar Belalang.

Melihat pimpinannya tewas, sisa orang-orang berpakaian serba hitam tak ada yang berani menyerang lagi. Perlahan-lahan, mereka mundur teratur, lalu berbalik melarikan diri.

Sementara Pendekar Belalang menghela napas lega. Kemudian perjalanannya yang sempat tertunda dilanjutkan.

***

Senja baru saja jatuh di ufuk barat. Matahari tak lagi menampakkan kegarangannya, setelah sejak tadi pagi menunaikan tugasnya menyinari mayapada ini. Sinar merah jelaga di kaki bukit sebelah barat, tak menyurutkan langkah-langkah orang yang hendak berkunjung ke kota Kawunganten. Kota ini memang tampak selalu ramai, karena memang bisa disinggahi dari empat penjuru.

Banyak kaum pedagang singgah di sini bila ingin melanjutkan ke kotaraja. Maka tak heran kalau di kota ini banyak pula kedai makan, serta rumah penginapan. Bahkan kaum persilatan biasanya singgah barang satu atau dua malam bila sedang bepergian jauh.

Sementara itu di sudut kota, tampak sebuah kedai besar yang ramai oleh pengunjungnya. Rupanya pelayan kedai yang terdiri dari gadis-gadis cantik merupakan daya tarik tersendiri bagi para tamu.

Saat ini di dalam warung, tepatnya di sudut belakang tampak seorang gadis berbaju merah tengah menikmati tuak keras yang tersedia di atas meja. Ada sepuluh bumbung tuak dan semuanya sudah kosong. Mata gadis itu sendiri telah berwarna merah dan agak sayu, pertanda sudah mulai mabuk. Apa yang dilakukan gadis berikat kepala kain merah ini memang hampir tidak masuk akal.

Sebab, laki-laki dewasa saja bila telah menghabiskan satu bumbung tuak keras, pasti akan mabuk. Jangankan lagi sampai sepuluh bumbung. Pemilik kedai sendiri tampak tercengang, melihat cara gadis baju merah minum tuak yang kelihatannya seperti minum air putih saja!

“Hei..., anak-anak manis! Tolong disediakan lima bumbung lagi. Mungkin sebentar lagi aku kedatangan tamu. Dan semua tamuku orang gila. Hi hi hi...!” ujar gadis itu disertai tawa.

Pelayan langsung menghidangkan apa yang dipesan gadis berbaju merah ini. Begitu pesannya datang segera disambarnya. Lalu....

Gluk! Gluk...!

“Hi hi hi...! Semakin banyak minum, badanku semakin ringan. Aku seperti terbang melayang-layang di angkasa biru! Hi hi hi...!” kata gadis baju merah itu tertawa sendiri.

Tentu saja ulah gadis ini menjadi pusat perhatian para pengunjung kedai. Namun sikapnya terlihat acuh saja. Baru saja gadis ini menghabiskan satu bumbung tuak, muncul orang laki-laki tua berambut putih berjenggot hitam. Segera dihampirinya meja gadis berbaju merah. Kemudian tanpa bicara apa-apa, diambilnya sebumbung tuak yang terletak di atas meja.

Gluk! Gluk! Gluk!

“Enaaak..., ha ha ha...! Enak. Hmm.... Benar-benar nikmat...!” kata laki-laki tua itu sambil menyeka mulutnya yang basah oleh cairan tuak.

“Enak ya? Apalagi kalau tuak itu hasil mencopet milik orang lain. Kau memang tua bangka kurang ajar, Raja Pencopet!” dengus gadis berbaju merah itu sewot.

Namun lucunya gadis itu terus tertawa-tawa sambil meneguk tuaknya. Dan yang diejek pun ternyata tidak marah. Malah, ikut tertawa pula seperti orang gila.

“Kau sudah mabuk, Dewi Pemabuk. Kalau aku membantumu supaya mabuk juga, kurasa tidak ada salahnya. Jadi, kita sama-sama mabuk!” celoteh Raja Pencopet disertai tawa.

“Huh! Kau tidak pantas menjadi seorang pemabuk. Wajahmu kulihat hanya menjanjikan rasa putus asa. Tampangmu tidak meyakinkan. Kau hanya pantas menjadi Raja Copet! Hi hi hi"

“Jangan begitu, Dewi Pemabuk. Nanti ku kemplang kepalamu!” dengus Raja Pencopet.

“Coba kalau kau mampu! Aku jadi ingin lihat, apakah semakin tua kau tidak semakin pikun?” ejek gadis baju merah yang ternyata berjuluk Dewi Pemabuk.

“Lihatlah! Heaaa...!” Disertai desisan lirih, Raja Pencopet melompat ke depan. Tangannya terjulur meliuk-liuk bagaikan ular. Di lain saat tangannya telah menarik lepas ikat kepala gadis.

Namun diawali liukan yang serampangan, Dewi Pemabuk menggerakkan salah satu bumbung tuak yang masih penuh. Isinya tertuang di mulut Dewi Pemabuk, sedangkan ujung bumbung mengancam kepala Raja Pencopet. Kalau Dewi mau, tentu kepala Raja Pencopet sudah berantakan terhantam bumbung tuak.

“Bagaimana? Apakah kau masih ingin mencoba?” leceh Dewi Pemabuk.

“Ha ha ha...! Kita masih tetap seimbang. Kita tidak perlu pamer kehebatan. Sebaiknya, kita duduk-duduk saja. Mungkin kita akan kedatangan tamu,” ujar Raja Pencopet.

“Itukah tamu yang kau maksudkan?” tanya Dewi Pemabuk sambil melirik dengan sudut matanya.

Di depan pintu ternyata telah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan. Wajahnya kusam berselimut debu. Sorot matanya terlihat letih. Tangannya memegang sebuah tongkat hitam berkilat Bibirnya yang tertutup kumis serta jenggot, hampir tanpa senyum sama sekali.

“Mau pesan apa, Kisanak?” tanya seorang gadis pelayan kedai pada laki-laki tua berpakaian hitam penuh tambalan.

“Aku ingin berpesan padamu, agar kedua gembel yang sedang mabuk itu diusir dari kedai ini!” jawab laki-laki tua berpakaian tambalan, begitu mengejutkan.

Gadis itu terkesiap. Disadari, siapa laki-laki berpakaian tambal-tambalan ini. Laki-laki tua yang tidak lain Dewa Pengemis ini adalah pelanggan kedai ini. Di pihak lain dia juga menyadari siapa kakek dan gadis yang sedang menikmati tuaknya. Mereka semua pelanggan di kedai ini dan juga sama-sama mempunyai kepandaian tinggi.

“Aku tidak berani melakukannya, Kisanak!” tolak gadis pelayan dengan suara bergetar.

Perlahan laki-laki tua berikat kepala hitam ini memandang tajam pada gadis pelayan itu. Matanya tampak bengis. Ini cukup mengejutkan bagi gadis itu karena pada hari-hari sebelumnya Dewa Pengemis tidak pernah bersikap seperti itu.

“Kau bilang tidak bisa mengusir kedua kucing kurap itu? Biar kutunjukkan bagaimana caranya!” dengus Dewa Pengemis.

Sekarang perhatian laki-laki tua berbaju serba hitam itu tertuju pada Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk. Lalu tanpa kelihatan sama sekali, kakinya menjejak lantai di bawah meja. Apa yang dilakukan Dewa Pengemis sangat pelan. Namun keanehan di meja Dewi Pemabuk segera terjadi. Bumbung-bumbung tuak di atas saja tiba-tiba terangkat tinggi-tinggi. Kemudian satu demi satu bumbung-bumbung itu melayang meninggalkan meja.

“Weit! Gila betul! Bumbung-bumbung milikmu dibawa pergi oleh tuyul, Dewi! Rupanya tuyul itu tidak punya uang untuk mabuk, sehingga melarikan tuak milikmu!” leceh Raja Pencopet disertai senyum.

“Ini pemandangan indah. Ada bumbung terbang. Aih! Sungguh hebat!” desis Dewi Pemabuk, bernada meremehkan. Wanita ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Hebatnya, bumbung-bumbung yang mengambang di udara ikut bergoyang ke kiri dan kanan. Jelas, Dewi Pemabuk mengerahkan tenaga dalamnya saat menggelengkan kepalanya tadi.

“Wah, semakin hebat saja! Bumbung-bumbung itu bisa menari-nari. Rupanya tuyul suka menari, Dewi,” kata Raja Pencopet.

Laki-laki tua ini tiba-tiba menggerakkan kakinya. Seketika angin kencang melesat dari telapak kaki Raja Pencopet. Dan secepat kilat gelombang angin itu menghantam delapan bumbung tuak yang mengambang di udara.

Baik bumbung-bumbung yang masih berisi maupun yang sudah kosong hancur berantakan terkena hantaman yang tidak terlihat tadi. Laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan tadi tampak tercekat. Sedangkan Dewi Pemabuk hanya tersenyum. Tapi, tatapan matanya berubah dingin.

“Tuyul biasanya berkepala gundul. Namun tuyul yang kulihat sekali ini tuyul kurang ajar dan sudah ubanan lagi! Apa keinginannya sehingga mengganggu ketenangan orang lain?!” dengus Dewi Pemabuk.

Ucapan Dewi Pemabuk membuat merah wajah Dewa Pengemis. “Mulutmu kelewat tajam, Ararini. Kau pikir sedang bicara dengan siapa?” sahut kakek berbaju hitam.

“Hi hi hi...! Jika yang tua bangka tidak tahu peradatan, mengapa yang lebih muda harus bersikap hormat?” balas Dewi Pemabuk yang bernama asli Ararini tidak kalah sengit.

“Dewa Pengemis! Kau tidak biasanya mengganggu kesenangan orang lain. Mengapa sekarang suka usilan?” tegur Raja Pencopet.

“Hm.... Sebenarnya aku bukan membenci gadis pemabukan. Hm.... Kalau kau mau tahu, sebetulnya aku sebal melihat tampangmu!”

“Karena aku pencopet?”

“Ya...!” jawab Dewa Pengemis singkat.

“Apa urusanmu? Pekerjaanmu sendiri lebih hina. Menadahkan tangan itu adalah pekerjaan yang sangat memalukan, dan dicemooh orang. Aku sendiri tidak pernah usil dengan urusan orang lain!”

“Jangan berbohong padaku. Aku tahu, apa yang telah kau lakukan. Dan kuharap, kau mengerti apa maksudku?”

Baik Raja Pencopet maupun Dewi Pemabuk sama-sama tercengang mendengar kata-kata Dewa Pengemis yang tidak ketahuan ujung pangkalnya.

“Kau bicara seperti orang gila. Merepet seperti kampret! Orang yang betul-betul gila sekalipun pasti tidak tahu arah ucapanmu!” cibir Raja Pencopet.

“Rupanya kau tetap berpura-pura tidak mengerti sebelum aku membuka kedokmu!” desis Dewa Pengemis. “Kau tentu kenal Empu Wasila bukan?”

“Tentu saja aku kenal. Orang tua terhormat itu telah menciptakan beratus-ratus jenis senjata yang sangat ampuh. Lalu, kenapa?” tanya Raja Pencopet.

Dewa Pengemis tidak langsung menjawab. Melainkan berdiri tegak dari atas bangku yang didudukinya. Matanya menatap tajam ke arah Raja Pencopet, seakan ingin melihat isi hatinya. “Seseorang telah melihatmu datang ke rumahnya, sebelum dia ditemukan tewas terbunuh!” jelas Dewa Pengemis.

“Aku tidak percaya Empu Wasila tewas. Siapa yang telah begitu tega membunuhnya?” desis Raja Pencopet tegang.

“Aku datang mewakili orang segolongan untuk bertanya padamu! Empu Wasila adalah orang yang paling berarti bagi semua golongan. Dia sahabatku. Itu sebabnya aku harus tahu, apa betul kau telah ke rumahnya semalam?”

“Sudah hampir satu purnama ini aku tidak ke rumahnya. Bagaimana bayangan sampai ke sana? Atau kau hanya mengada-ada, Dewa Pengemis?” tukas Raja Pencopet.

“Kurang ajar! Aku tidak sembarangan bicara. Dua hari lagi pembakaran mayatnya segera dilakukan. Satu hal yang harus dilakukan untuk menyatakan apakah kau bersalah atau tidak, kau harus mencari pembunuh Empu Wasila. Dan perlu kau ketahui juga, Raja Pencopet. Pedang Kilat Buana milik Empu Wasila hilang!”

“Gila! Pedang hilang, Empu Wasila tewas, mengapa jadi aku yang dibebani dalam mencari pembunuhnya?”

“Tentu saja. Sebab, jika pembunuhnya tidak didapatkan, maka kau akan digantung tokoh-tokoh dunia persilatan!” sahut Dewa Pengemis

“Menurutmu bagaimana, Dewi Pemabuk? Apakah ini adil?” tanya Raja Pencopet.

“Menurutku jelas tidak adil! Tua gembel itu dapat kabar dari siapa?” tanya Dewi Pemabuk.

“Aku mana tahu. Tanya saja sendiri padanya?” tukas Raja Pencopet seenaknya.

“Semua golongan di rimba persilatan ini mempunyai mata-mata. Aku tentu saja mengetahui kehadiranmu di rumah Empu Wasila dari mata-mata yang tidak pernah berpihak pada siapa pun!” Kiranya Dewa Pengemis mendengar ucapan Dewi Pemabuk tadi. Sehingga disahutinya dengan suara keras.

“Raja Pencopet! Tampaknya tugasmu akan menjadi sangat berat. Ah, kasihan sekali. Tetapi terus terang, jika kau tidak berhasil menemukan orang yang telah mencuri Pedang Kilat Buana dan pembunuh Empu pandai besi, aku tidak akan membiarkan kau digantung oleh orang-orang dunia persilatan! Ha ha ha...!”

“Aku menyanggupi permintaanmu dalam mencari pembunuh Empu Wasila! Sekarang pergilah kau, Dombleh!” ujar Raja Pencopet.

“Baik. Kau harus datang ke Bukit Buana pekan yang akan datang!” ujar Dewa Pengemis sambil melangkah pergi.

***
DUA
“Berhenti!”

Dua puluh orang penunggang kuda berpakaian serba hitam dengan punggung berlambang tengkorak tersentak kaget, saat tiba di luar batas kota Kawunganten terdengar bentakan keras menggelegar. Di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki berbaju serba putih dengan kepala memakai caping bambu. Tali kekang kuda mereka langsung ditarik, dan berhenti.

“Siapa kau?! Berani benar menghentikan kami?!” bentak penunggang kuda yang berada paling depan.

“Kalian sendiri siapa?” laki-laki bercaping bambu malah balik bertanya sambil bertolak pinggang. Wajahnya sebagian tertutup kain hitam, yakni pada bagian hidung sampai mulut.

“Huh! Rupanya kau tidak pernah melihat tingginya gunung di depanmu. Namaku Sentot Prawara, pemimpin perjalanan ini. Kami datang dari Padepokan Umbul Perkasa!” sahut laki-laki tegap yang duduk di atas punggung kuda dengan gagah.

Wajah di balik kain hitam itu tampak berubah kejam. Ada amarah membakar hatinya. Dan ini membuat geraham bergemeletukan. “Jadi kalian murid-murid Padepokan Umbul Perkasa yang kesohor itu? Pantas, orang-orang begitu menaruh hormat pada kalian. Aku pun harus menghormati pada kalian!” kata laki-laki itu.

Apa yang dilakukan orang bercaping kemudian memang benar-benar seperti orang yang sedang menghaturkan sembah. Tubuhnya membungkuk. Sedangkan tangannya memegangi penatnya. Karena dalam keadaan membungkuk, tentu tak seorang pun yang tahu kalau laki-laki berbaju putih ini sedang mengambil sesuatu dari balik bajunya.

“Hiaaa...!” Disertai teriakan keras, laki-laki bercaping itu menegakkan tubuhnya seraya mengibaskan tangannya ke depan. Seketika, tiga leret sinar biru, merah, dan kuning melesat menebas kaki-kaki kuda di depannya. Sedemikian cepat gerakannya, sehingga sulit diikuti oleh mata.

“Hieeekh...!”

Bruk! Bruk! Bruk!

Disertai ringkikan panjang sepuluh kaki kuda pada bagian depan terbabat putus oleh senjata di tangan orang bercaping itu. Sebelum para murid Padepokan Umbul Perkasa sempat melihat bagaimana dan senjata apa yang dipergunakan laki-laki bercaping, senjata itu telah masuk kembali ke dalam warangka.

“Bangsat! Kau telah memotong kaki tunggangan kami! Apa kesalahan yang telah kami lakukan kepadamu?” tanya Sentot Prawara yang nyaris terpelanting dari atas punggung kudanya, namun cepat melenting dan mendarat ringan di tanah.

“Hik hik hik...! Kesalahan kalian, mengapa harus berguru pada Umbul Perkasa? Perlu kalian ketahui, guru kalian memiliki dosa-dosa kepadaku sebanyak buih ombak di lautan. Kalian harus menanggung semua kesalahan Umbul Perkasa dulu!” dengus laki-laki bercaping.

“Kau manusia gila! Guru kami orang yang sangat baik kepada siapa saja. Mustahil dia mempunyai dosa padamu!” bantah Sentot Prawara tidak senang. Sementara itu, sembilan belas orang murid Padepokan Umbul Perkasa telah mengepung laki-laki yang wajahnya di balut kain hitam itu dari seluruh penjuru.

“Nanti jika telah kucukur semua koreng di badan gurumu, baru tahu siapa Umbul Perkasa!” dengus laki-laki bercaping itu geram.

Sentot Prawara jelas semakin berang saja mendengar ucapan laki-laki bercaping bambu ini. Apalagi penghinaan itu menyangkut diri guru mereka yang selama ini sangat dihormati. Tanpa banyak bicara lagi, segera diberinya isyarat pada adik-adik seperguruannya untuk menyerang laki-laki bertopeng kain itu.

“Heyaaa...!” Disertai teriakan keras, lima orang murid segera menerjang ke depan. Tentu saja serangan mereka ini cukup berbahaya, karena terarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Apalagi, mengingat serangan tersebut datang secara bersamaan dan sangat cepat!

“Ciaaat!” Tiba-tiba saja dengan gerakan cukup gesit namun terlihat aneh, orang bercaping telah melenting ke udara. Sehingga, serangan para murid padepokan itu saling menghantam sesamanya.

Kelima murid itu jatuh tunggang langgang. Masing-masing tangan mereka yang saling membentur hingga membengkak. Sambil menggeram marah, serentak mereka berdiri. Kemudian secara bersamaan pula melakukan serangan kembali.

Melihat kenekatan lawan-lawannya, laki-laki bercaping bambu ini segera memutar tubuhnya yang begitu cepat. Sehingga dalam waktu sekejap saja, dia telah lenyap dari pandangan. Ketika para pengeroyok terkesiap, laki-laki itu segera berkelebat cepat dengan tangan terjulur.

Tuk! Tuk!

“Heh...?!” Sentot Prawara terkejut bukan main. Lima orang saudara seperguruannya tahu-tahu berdiri tegak dengan badan kaku terkena totokan.

“Orang gila! Buka penutup wajahmu. Aku akan mengadu jiwa denganmu!” teriak Sentot Prawara.

Sebelum Sentot Prawara sempat bergerak, empat belas orang saudara seperguruannya yang lain telah menyerbu ke depan. Laki-laki bercaping bambu segera melompat mundur. Secepat kilat, dilepaskannya caping itu kemudian dilemparkan ke arah lawan-lawannya. Sentot Prawara makin tersentak kaget, ketika tahu-tahu sebuah caping bambu telah melesat membelah udara, menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Lalu....

Cras! Crasss!

“Aaa...!” Caping bambu langsung merobek bagian perut serta dada para murid Padepokan Umbul Perkasa. Seketika, terdengar jeritan-jeritan menyayat hati. Darah menyembur dari luka-luka yang cukup mengerikan.

Sementara caping bambu itu terus melayang-layang mencari sasaran. Kembali terdengar suara jerit kematian di sana-sini yang disertai berpelantingannya tubuh-tubuh terluka. Tetapi sebagai pimpinan perjalanan, kiranya Sentot Prawara tidak tinggal diam. Melihat saudara-saudara bergelimpangan roboh, laki-laki berbadan gemuk ini langsung mencabut senjatanya. Begitu melompat pedang bermata ganda ini langsung dikibaskan ke arah caping bambu yang meluncur deras ke arah kawan-kawannya.

Ternyata laki-laki yang menutupi sebagian wajahnya ini mempunyai tenaga dalam sempurna. Terbukti dengan sedikit menggerakkan tangannya saja, caping yang melayang-layang di udara melesat ke samping. Dan kali ini bukan menebas perut ataupun leher, tapi menotok urat gerak lawannya.

Tuk! Tuk!

“Aagkh...!” Beberapa pemuda berpakaian hitam dengan gambar tengkorak di punggung ini langsung kaku dan tidak dapat berbuat apa-apa. Melihat kenyataan ini, Sentot Prawara berusaha membebaskan kawannya. Namun, ternyata usahanya sia-sia saja. Bahkan caping itu telah melesat balik ke arah pemiliknya, lalu hinggap di kepala.

“Akan segera kau lihat, semuanya akan kujadikan patung yang tidak berarti sama sekali! Hiyaaa...!” Diiringi teriakan merobek angkasa, laki-laki berpakaian putih itu melompat ke arah Sentot Prawara.

Sementara itu, Sentot Prawara segera mengibaskan pedangnya ke dua arah sekaligus. Maka seketika cahaya putih yang keluar dari pancaran pedang melesat ke arah laki-laki bercaping. Secepat kilat, laki-laki bercaping berguling-guling menyelamatkan diri. Karena Sentot Prawara tampaknya memang bermaksud membunuhnya. Maka seketika capingnya kembali dilemparkan ke arah Sentot Prawara.

Caping bambu itu meluruk, siap menghantam kepala. Namun, Sentot Prawara dengan gesit menangkisnya. Terjadi benturan sangat keras, antara pedang dengan caping bambu. Sentot Prawara mengeluh tertahan. Badannya terhuyung-huyung. Sedangkan tangannya seperti kesemutan.

Hebatnya, caping bambu sama sekali tidak hancur atau terbelah. Pertanda laki-laki berkedok kain hitam ini telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi caping bambunya yang telah melesat dan kembali bertengger di kepalanya. Sentot Prawara yang sempat merasakan kehebatan lawannya segera bersiap-siap melakukan serangan kembali. Tetapi sebelum sempat bertindak, laki-laki bercaping bambu itu telah terlebih dahulu menyerangnya.

“Hiyaaa...!” Melihat kaki lawannya meluncur cepat ke bagian dada, Sentot Prawara segera menghantamkan pedangnya ke kaki. Namun secara tidak terduga, laki-laki berbaju putih itu menarik balik kakinya. Dan secepat kilat tangannya menotok pergelangan Sentot Prawara, dan disusul totokan pada bagian dada.

“Aaakh...!” Sentot Prawara kontan menjerit keras. Selain tidak dapat menggerakkan tubuhnya, ternyata dari ujung rambut sampai bagian kakinya seperti ditusuk ribuan batang jarum.

Begitu mendarat, laki-laki berbaju putih dan bercaping bambu ini tampak bertolak pinggang sambil tersenyum dingin. “Bagiku, kalian adalah kucing kurap yang tidak berarti sama sekali. Apalagi dengan adanya Pedang Kilat Buana di tanganku!” dengus laki-laki bercaping.

Mendengar orang itu menyebut Pedang Kilat Buana, sadarlah Sentot Prawara kalau laki-laki bercaping bambu inilah yang telah membunuh Empu Wasila. Memang, sebenarnya Sentot Prawara dan murid-murid Padepokan Umbul Perkasa lainnya, ditugasi oleh guru mereka untuk mencari pembunuh Empu Wasila. Ketua Padepokan Umbul Perkasa sebenarnya juga punya hubungan baik dengan empu pembuat pedang yang dikenal sebagai Pedang Kilat Buana.

Begitu mendengar Empu Wasila tewas terbunuh dan Pedang Kilat Buana hilang, Umbul Perkasa segera mengutus beberapa muridnya. Namun setelah sekian lama, tak seorang murid pun yang kembali, walau hanya sekadar bertanya saja. Maka, Ketua Padepokan Umbul Perkasa kembali mengutus murid-murid yang dipimpin Sentot Prawara. Sampai akhirnya, mereka bentrok dengan laki-laki bercaping bambu itu.

“Hm.... Jadi kau yang telah mencuri pedang itu. Sungguh orang-orang rimba persilatan tidak mungkin sudi mengampuni jiwamu!” dengus Sentot Prawara.

“Ha ha ha...! Aku tidak pernah minta ampun siapa pun. Dan semua orang tidak akan pernah tahu, siapa yang telah mencuri Pedang Kilat Buana atau membunuh Empu Wasila!” sahut laki-laki bercaping bambu tersebut.

Kemudian tanpa menghiraukan ucapan Sentot Prawara, laki-laki bercaping itu menghampiri beberapa ekor kuda yang terkapar. Diambilnya beberapa gelung tali. Setelah itu, dibuatnya beberapa simpul tali.

“Aku merasa bangga pada kalian. Tali-tali ini akan menjerat leher kalian satu demi satu!” dengus laki-laki bercaping, setelah menyelesaikan pekerjaannya.

“Keparat kau! Lebih baik bunuh saja kami!” teriak Sentot Prawara mulai kalap.

“Pada akhirnya, permintaanmu itu memang kupenuhi. Tetapi sebelum itu, kalian harus merasakan siksaan yang akan kulakukan!”

“Kau bajingan busuk! Apa salah kami?” teriak salah seorang saudara seperguruan Sentot Prawara.

“Kesalahan kalian baru nanti diketahui setelah berada di alam kubur!” sahut laki-laki bercaping bambu seenaknya.

Laki-laki bercaping lantas menghampiri sebatang pohon yang banyak cabangnya. Bagian tali-tali itu diikatkan pada cabang pohon. Sedangkan bagian lainnya untuk menjerat leher para murid Padepokan Umbul Perkasa. Satu demi satu, para murid itu menerima perlakukan yang teramat mengerikan. Mereka digantung. Ada yang dijerat lehernya, ada pula yang diikat kaki ke atas dan kepala di bawah.

“Ha ha ha...! Sekarang, kepada siapa kalian meminta tolong?” desis laki-laki berbaju putih ini dingin.

Laki-laki ini segera mengambil sebuah pisau. Dihampirinya Sentot Prawara yang kepalanya tergantung menghadap ke tanah.

“Kurang ajar kau! Kalau mau bunuh, jangan siksa kami dengan cara begini rupa!” teriak pemuda itu. “Akh...!” Sebuah tendangan keras menghantam kepala Sentot Prawara, sehingga membuatnya menjerit kesakitan.

“Pertama-tama akan kugores urat lehermu. Kemudian, matamu kucungkil. Sebelum kau melihat kegelapan di alam kubur, maka menjelang kematianmu kau sudah tidak dapat melihat apa-apa!” ancam laki-laki bercaping. Sebelum Sentot Prawara sempat berkata apa-apa, pisau di tangan orang bercaping telah berkelebat.

Crok! Crok!

“Wuaagkh...!” Sentot Prawara kembali menjerit. Tubuhnya menggeliat. Pada saat itulah pisau yang telah berlumuran darah menghujam dan menyayat-nyayat tubuhnya. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuhnya. Tidak lama kemudian laki-laki itu tewas.

Perhatian laki-laki bercaping bambu ini segera beralih pada korban lainnya. Apa yang terjadi pada Sentot Prawara terjadi juga pada saudara-saudaranya yang lain. Sampai akhirnya tidak seorang pun yang tersisa. Dan pemandangan di situ tidak ubahnya seperti tukang jagal saja.

***

Beberapa hari kemudian seluruh tokoh rimba persilatan dikejutkan oleh pembantaian yang dihadapi. Namun hingga sampai saat ini, mereka memang tidak dapat berbuat banyak. Karena, mereka harus mengikuti upacara pembakaran jenazah Empu Wasila.

Pagi-pagi sekali Bukit Buana yang biasanya dalam keadaan sunyi, tampak ramai dipenuhi orang-orang penting dari rimba persilatan. Di antara mereka yang hadir, terlihat Dewa Pengemis dan anggota kaum pengemis berjumlah tidak kurang dari lima belas orang. Kemudian terlihat pula murid-murid Padepokan Umbul Perkasa. Jumlah mereka lebih banyak dibanding yang lain-lainnya. Umbul Perkasa sendiri tidak berada di antara murid-muridnya. Dia memang turun langsung mempersiapkan upacara.

Dalam upacara itu hadir pula Dewi Pemabuk dan Raja Pencopet. Selain mereka, masih ada lagi beberapa orang sesepuh desa terdekat mewakili rakyatnya. Tidak kurang dari sepemakan sirih lamanya, jenazah Empu Wasila yang terbungkus kain putih telah digotong keluar dan kemudian diletakkan di atas tumpukan kayu bakar. Seorang pendeta segera memberkati acara pembakaran mayat. Sampai akhirnya, api dinyalakan oleh seorang pemuda tampan berbaju putih.

Sekejap api segera membesar. Semakin lama api bertambah besar dan melahap apa saja yang terdapat di atasnya. Selain suara bergemeretaknya kayu bakar dan tulang-belulang yang mulai hancur, tidak terdengar suara apa-apa lagi. Bau daging terbakar mulai menyengat hidung. Namun tidak seorang pun yang menghiraukan semua itu.

Setiap wajah tampak tertunduk. Beberapa saat setelah itu, api pun padam. Seorang pemuda berbaju putih segera mengambil guci. Abu jenazah Empu Wasila dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam guci. Setelah itu pemuda berbaju putih berdiri tegak, tidak jauh dari tempat pembakaran mayat tadi. Pandangan matanya menyapu pada semua yang hadir di Bukit Buana.

“Kepada sesepuh dunia persilatan segolongan, dan juga pada saudara-saudara sekalian yang ikut menghadiri upacara ini. Aku, Pendekar Belalang, mewakili almarhum guruku Empu Wasila mengucapkan terima kasih atas kehadirannya. Kematian guruku tentu membekas di hati kalian semua. Yang menyakitkan, dia dibunuh hanya karena pembunuh biadab itu menginginkan Pedang Kilat Buana. Sebuah pedang keramat yang betapa berbahayanya bila sampai jatuh ke tangan orang salah...!”

“Benar!” sahut salah seorang hadirin. Dia tidak lain adalah Umbul Perkasa. “Menurut Tri Gata Bayu, hari ini pembunuh Empu Wasila juga telah ditentukan. Kami jadi ingin melihat, siapa orangnya yang telah begitu tega membunuh orang yang sama-sama kita hormati!”

Suasana berubah menjadi hening. Dewi Pemabuk tampak gelisah. Sementara, laki-laki tua yang berada di sebelahnya telah mengeluarkan keringat dingin.

“Kami ingin tahu, siapa orangnya. Dia harus digantung secepatnya di tempat ini juga!” sahut yang hadir, hampir bersamaan.

“Tenang, Saudara-saudara!” ujar Umbul Perkasa. “Empu Wasila adalah orang tua yang paling dekat dengan diriku! Mustahil aku berdiam diri melihat kematian orang yang telah kuanggap sebagai saudaraku sendiri! Pendekar Belalang pasti segera mengatakan pada kita, siapa orangnya!” Perlahan Umbul Perkasa menoleh pada Pendekar Belalang, yang kemudian menganggukkan kepalanya.

“Aku tidak melihat langsung siapa yang telah membunuh guruku. Seseorang yang sangat kupercaya mengatakan padaku bahwa pembunuh dan pencuri Pedang Kilat Buana adalah seorang laki-laki tua berambut putih berjenggot hitam. Begitu berhati-hatinya dia sehingga tidak mau menyebut namanya!” jelas Pendekar Belalang, yang bernama asli Tri Gata Bayu.

Semua yang hadir di situ menjadi sangat terkejut Terkecuali, Dewa Pengemis. Karena orang dengan ciri-ciri yang seperti disebutkan Pendekar Belalang, itu berarti menuding pada Raja Pencopet! Perhatian semua orang yang hadir di Bukit Buana sekarang terpusat pada Raja Pencopet yang berdiri di sebelah Dewi Pemabuk.

“Cepat katakan yang sebenarnya jika tidak ingin mampus digantung, Tukang Copet!” bisik Dewi Pemabuk dengan suara perlahan.

“Aku tidak melakukan apa-apa? Bagaimana orang-orang ini bisa menggantungku?!” tukas Raja Pencopet.

“Kau tolol sekali. Mungkin ada orang yang memfitnahmu. Atau, memang nasibmu lagi sial. Cepat bicara!” perintah gadis bernama Ararini ini tidak sabar lagi.

Sementara itu, Dewa Pengemis telah melompat ke tengah-tengah lapangan luas. Dia tampak bicara sebentar pada Pendekar Belalang, setelah itu berpaling pada Raja Pencopet.

“Raja Pencopet! Seperti yang pernah kukatakan padamu, kau harus mencari pembunuh Empu Wasila. Kau telah menyangkal tidak membunuh ahli pembuat senjata itu. Dan sekarang, ternyata kau tidak dapat menangkapnya. Karena, memang kau lah pembunuh Empu Wasila!” tegas Dewa Pengemis.

“Ucapanmu tidak beralasan,” bantah Raja Pencopet. Selanjutnya matanya menatap nyalang pada Pendekar Belalang. “Tri Gata Bayu! Aku ingin bicara dengan orang yang telah mengatakan padamu, bahwa akulah orangnya yang telah membunuh Empu Wasila!”

Tri Gata Bayu menggelengkan kepalanya. “Hari ini, dia tidak bisa datang kemari karena ada keperluan penting di Kartasura!” kilah Pendekar Belalang.

“Kalau begitu, aku tidak bisa percaya padamu! Boleh jadi memang ada orang lain yang sengaja memfitnahku!” bantah Raja Pencopet.

“Yang bicara padaku adalah saudaraku sendiri. Aku tahu hatinya. Mustahil dia berdusta!” tandas Pendekar Belalang.

“Saudara Umbul Perkasa! Kami tidak sabar menunggu keputusanmu. Kau orang yang paling berpengaruh di daerah timur ini, dan menjadi penentu setiap hukuman. Apa keputusanmu?!” selak Dewa Pengemis.

***
TIGA
Umbul Perkasa mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Tampaknya otaknya sedang berpikir keras untuk menentukan apa yang harus dilakukannya. “Patut disayangkan kalau saudara dari Pendekar Belalang tidak ada di tempat. Namun, segala-galanya cukup jelas. Sudah banyak korban yang berjatuhan karena Pedang Kilat Buana.

Raja Pencopet memang bersalah!” tegas Umbul Perkasa.

“Lalu...?” tanya salah seorang sesepuh desa yang hadir.

“Dia pantas dihukum gantung!” tegas Umbul Perkasa memberi keputusan.

Raja Pencopet terkejut sekali mendengar keputusan itu. Matanya terbelalak dengan mulut ternganga lebar. Sekarang, mengertilah dia bahwa dirinya hanya korban fitnah seseorang. Tetapi, siapa yang telah begitu tega melakukannya?

“Kalian benar-benar bertindak tidak adil!” bentak Dewi Pemabuk dengan suara keras.

“Mengapa kau berkata begitu, Gadis Pemabukan?” tanya Umbul Perkasa, melecehkan.

“Raja Pencopet belum tentu bersalah. Jika saudara dari Pendekar Belalang tidak dapat dihadirkan, keputusan kalian terang-terangan kutolak! Dan aku akan menentang kalian semuanya demi menegakkan keadilan!” tegas Dewi Pemabuk.

“Bocah bau ingus! Kau tidak tahu apa-apa. Pengalamanmu baru seujung kuku. Kalau tidak mengingat nama besar Setan Pemabuk gurumu, mulutmu memang pantas ditampar!” bentak Dewa Pengemis geram.

Memang, Setan Pemabuk adalah tokoh dari wilayah barat. Orang tua itu telah mengasingkan diri dari rimba persilatan. Dia disegani oleh lawan maupun kawan-kawannya, karena kepandaiannya yang sulit dijajaki.

“Aku bicara yang sebenarnya!” sergah Dewi Pemabuk.

“Kalau begitu, semua orang yang berada di sini akan membunuhmu!” tegas Umbul Perkasa.

“Siapa takut mati?! Kalian bunuh sekalipun sampai sepuluh kali, aku tidak takut!” balas Ararini lantang.

Melihat pembelaan Dewi Pemabuk, Raja Pencopet merasa terharu. Namun gadis itu tidak mungkin dibiarkan terseret dalam urusannya.

“Baiklah! Kalau kalian menginginkan kematianku, aku tidak mau melakukan perlawanan. Agar kalian puas! Tetapi jika aku sudah mati di tiang gantungan dan ternyata nanti Pedang Kilat Buana masih tetap berkeliaran memakan korban, maka arwahku akan mengutuki kalian semuanya. Sekarang tunggu apa lagi?!” putus Raja Pencopet, tegar.

“Goblok! Mengapa kau menyerah begitu saja?! Kalau kau tidak bersalah, jangan menyerah walau sampai mati!” maki Dewi Pemabuk kesal.

“Jangan campuri urusanku!” ujar Raja Pencopet, tegas.

“Apa?! Jadi kau rela mati, Raja Pencopet?! Lehermu akan dijerat tali. Apakah kau pikir enak? Sungguh tidak enak, Tolol!” gerutu Ararini

“Mereka menghendaki begitu!” sahut laki-laki tua itu pasrah.

“Tangkap dia!” Dewa Pengemis memberi aba-aba.

Pendekar Belalang yang dibantu beberapa orang pengemis dan juga murid-murid Umbul Perkasa, serentak mengurung Raja Pencopet Dewi Pemabuk yang memang bermaksud membela segera melompat ke depan. Tetapi, Raja Pencopet sendiri malah mencegah tindakannya.

“Sudah kukatakan jangan campuri urusanku. Mereka nanti bisa menyulitkan dirimu!” ingat Raja Pencopet.

Dewi Pemabuk membanting-banting kakinya. “Aku benci melihat manusia pengecut sepertimu, Raja Pencopet! Kau dengar kata-kataku ini...?!” dengus Ararini.

“Benar seperti yang dikatakannya! Hendaknya kau tidak usah ikut mencampuri urusan orang lain!” timpal Pendekar Belalang mengingatkan.

“Begitu? Tapi, awas! Aku akan menyelidiki masalah ini. Jika ternyata nanti Raja Pencopet tidak bersalah, kau harus menyerahkan lehermu kepadaku!” ancam Dewi Pemabuk.

Pendekar Belalang sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Ararini. Dia dan yang lain-lain segera mengikat tangan Raja Pencopet yang sama sekali tidak melakukan perlawanan. Laki-laki tua itu kemudian digiring menuju tali gantungan. Semua mata menyaksikan kejadian ini dengan perasaan haru.

Pendekar Belalang segera menutup mata Raja Pencopet dengan kain hitam. Setelah itu, diperintahkannya Raja Pencopet untuk berdiri di atas sebuah bangku tinggi. Seutas tali besar segera dikalungkan ke lehernya.

“Bagaimana, Paman Umbul Perkasa? Aku tidak berhak melakukannya. Karena, masih ada orang yang lebih tua dariku!” tanya Tri Gata Bayu.

Umbul Perkasa segera mendekati tiang gantungan. Setelah itu, tali-tali yang lainnya mulai dilepaskan secara perlahan. Tiba-tiba kursi yang dipijak Raja Pencopet ini ditendang oleh Umbul Perkasa. Sehingga....

Begitu kursi terguling, tubuh Raja Pencopet tergantung. Dewi Pemabuk hampir menjerit melihat semua itu. Namun pada saat-saat nyawa lelaki ini terancam bahaya, dari arah timur berkelebat bayangan putih yang langsung membabat putus tali yang menggantung Raja Pencopet.

Begitu tali itu putus sosok bayangan putih segera melesat pergi membawa Raja Pencopet. Melihat kejadian yang berlangsung begitu singkat, membuat semua orang yang berada di atas Bukit Buana terkesiap. Umbul Perkasa yang segera menyadari keadaan yang sebenarnya langsung berteriak....

“Kejar! Bangsat itu telah menyelamatkan Raja Pencopet!”

“Keparat!” dengus Pendekar Belalang.

Laki-laki bernama Tri Gata Bayu itu segera melakukan pengejaran. Yang lain-lainnya pun segera menyusul. Sehingga, di atas bukit itu hanya tinggal Dewi Pemabuk sendirian.

“Yang Maha Adil pasti selalu memberi perlindungan pada orang tidak bersalah,” gumam Dewi Pemabuk, seraya mengambil bumbung tuaknya yang tergantung di punggungnya.

Gluk! Gluk! Gluk!

“Hm... Baru nyaman! Sekarang aku harus menemukan Raja Pencopet. Aku harus tahu, siapa yang telah menyelamatkannya. Tetapi...!” Ararini tiba-tiba menjadi ragu. “Apa benar orang tua pikun itu diselamatkan? Bagaimana jika dibunuh di suatu tempat dengan alasan tertentu. Sial! Urusan bisa runyam kalau demikian. Tanpa membuang-buang waktu lagi, akhirnya Dewi Pemabuk segera melakukan pengejaran.

Sementara itu di sebuah tempat yang cukup jauh dari Bukit Buana, sebuah bayangan putih terus melesat cepat. Di bahunya terpanggul seorang laki-laki yang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di sebuah tempat yang dianggap aman bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih menghentikan langkahnya.

“Gila! Begini banyak orang terbunuh dengan cara yang sangat mengerikan! Mata dicungkil, kaki digantung ke atas dan tubuh mereka disayat-sayat!” desis pemuda dengan senjata sebuah pedang bergagang kepala burung di punggung. Dia tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa menghiraukan bau busuk yang sangat menusuk, Rangga memeriksa mayat-mayat itu satu persatu. Sementara sosok di bahunya yang tak lain Raja Pencopet, tetap belum sadarkan diri.

“Kurasa mereka ini murid-murid Umbul Perkasa. Pakaian mereka sama dengan yang kulihat di atas bukit tadi. Jadi, inilah korban Pedang Kilat Buana. Yang pertama harus kulakukan adalah, membuat laki-laki tua malang ini sadar!” gumam Rangga.

Sekejap Pendekar Rajawali Sakti berlari kembali mencari tempat yang tersembunyi. Kebetulan tidak jauh dari mayat-mayat tadi, dia menemukan sebuah tempat yang terlindung. Begitu sampai, Rangga meletakkan Raja Pencopet di atas rerumputan kering.

Diperiksanya bekas tali yang sempat menjerat leher Raja Pencopet tadi. Ada bekas luka membiru pada lingkaran leher orang yang ditolongnya. Segera disadari sejak tadi rupanya jalan darah di tubuh Raja Pencopet sempat kacau. Sehingga Rangga terpaksa mengurut beberapa urat di pangkal leher laki-laki itu. Beberapa saat kemudian....

“Oh.... Di manakah aku? Apakah aku sudah mati? Mengapa di alam kubur banyak pohon-pohonnya juga?” desah Raja Pencopet.

“Syukurlah kalau kau sudah sadar, Ki...!” sambut Rangga sambil menarik napas lega disertai senyum.

“Heh...?!” Raja Pencopet tersentak kaget, langsung memperhatikan pemuda berompi putih dengan seksama.

“Apakah kau malaikat? Jangan kau siksa aku. Kesalahanku di dunia hanya mencopet saja! Tidak pernah membunuh orang. Aku mati karena dibunuh orang-orang gila!” desis Raja Pencopet ketakutan.

“Raja Pencopet! Kau masih di alam nyata. Kau belum mati, karena aku telah membebaskanmu dari tiang gantungan!” jelas Rangga, meyakinkan.

Raja Pencopet bangkit berdiri. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh rasa terima kasih yang tidak terucapkan. “Oh! Jadi aku telah kau selamatkan? Siapakah namamu?” tanya Raja Pencopet, lugu.

“Aku Rangga. Kau harus menceritakan padaku, mengapa Umbul Perkasa, Pendekar Belalang, dan Dewa Pengemis hendak membunuhmu?”

“Namaku Malim Seta. Mereka ingin membunuhku, karena aku tidak dibolehkan hidup lebih lama lagi di dunia ini!” jelas Raja Pencopet.

Kemudian secara panjang lebar laki-laki tua yang bernama asli Malim Seta menceritakan tentang masalah besar yang dituduhkan kepadanya. Termasuk juga tentang Pedang Kilat Buana milik Empu Wasila yang hilang dilarikan orang.

“Kalau tidak bersalah, mengapa mau saja dihukum gantung, Ki?” tanya Rangga, heran.

“Aku tidak mungkin mengelak. Karena, mereka adalah orang-orang yang punya pengaruh cukup besar. Lagi pula, orang yang bernama Ki Dombleh itu memang sudah membenciku sejak dahulu. Jadi, aku mau bilang apa?”

“Ha ha ha...! Kau ini lucu, Ki. Tidak bersalah tapi bersedia digantung. Toh jika mau, kau bisa mencari orang yang telah membunuh Empu Wasila?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Kawanku yang pemabukan juga bicara begitu. Masalahnya, bukan kematian Empu Wasila itu saja yang menjadi pokok persoalan. Pedang Kilat Buana itulah yang jadi pangkal utamanya!” sergah Raja Pencopet dengan perasaan tidak senang.

“Maksudmu bagaimana?”

“Sejak dulu, Pedang Kilat Buana memang selalu menjadi incaran orang-orang di dunia persilatan. Pedang itu memang milik Empu Wasila. Hanya saja, orang tidak berani bertindak gegabah, mengingat begitu banyak tokoh persilatan di wilayah timur ini yang berpihak pada Empu Wasila. Aku tidak tahu, bagaimana seseorang bisa menyelinap di tempat kediaman Empu Wasila. Jika dia orang luar, tentu akan sulit. Karena pada malam hari, Empu Wasila tidur di suatu tempat yang sangat rahasia,” jelas Malim Seta.

“Lalu, siapa Pendekar Belalang?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Pendekar Belalang adalah murid tunggal Empu Wasila. Dia mempunyai jurus-jurus ‘Kalajengking Mabuk’ yang hebat. Tapi herannya, mengapa dia sampai tidak tahu ketika Empu Wasila dibunuh oleh orang lain?”

“Jadi yang menuduh mu sebagai pembunuh Empu Wasila dan melarikan Pedang Kilat Buana siapa?” desak Pendekar Rajawali Sakti.

“Saudara dari Pendekar Belalang,” jawab Raja Pencopet.

“Kau pernah melihatnya, Ki?”

“Tidak! Bahkan sampai menjelang saat aku digantung!” sahut Malim Seta, tegas.

Rangga tertegun. Tampaknya, ada sesuatu yang tidak beres di balik semua peristiwa yang terjadi. Inilah yang membuatnya, semakin merasa tertarik. “Kalau begitu, kita harus memulainya dari Pendekar Belalang, Ki. Mungkin dia tahu sesuatu, tapi tidak berani mengatakannya kepada orang banyak. Sehingga untuk mempermudah semuanya, dia memfitnah mu!” tebak Rangga.

Raja Pencopet menggelengkan kepala. “Pendekar Belalang adalah orang jujur. Pembunuh Empu Wasila tentu punya alasan kuat, selain hanya untuk mendapatkan pedang yang dapat menimbulkan angkara murka!”

“Benarkah begitu?”

“Tentu saja! Aku berani menjamin dia tidak mungkin tega menyengsarakan hidup orang lain.

Pendekar Rajawali Sakti akhirnya terdiam. Jika benar apa yang dikatakan Malim Seta, berarti kecurigaannya pada Pendekar Belalang pupus begitu saja. Mungkin memang ada orang luar yang sengaja mencuri pedang itu. Tapi siapa?

“Rangga! Jika kau memang berniat membantuku, sebaiknya kita mulai mencari pencuri Pedang Kilat Buana. Sebab, menurutku pedang itu hanya akan menebar darah di muka bumi ini!” kata Raja Pencopet.

“Sudah, Ki. Dugaanmu tidak meleset, sebab tidak jauh dari sini, kulihat murid-murid Umbul Perkasa digantung hingga tewas,” sahut Rangga.

“Bagaimana kau tahu mereka murid-murid Umbul Perkasa?” tanya Raja Pencopet terheran-heran.

“Dari pakaiannya,” jawab Rangga.

“Mari kita pergi!” ajak kakek tua berambut putih berkumis hitam ini sambil mengayunkan langkahnya.

Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkata-kata lagi segera mengikutinya.

***

Pengejaran terhadap orang yang telah melarikan Raja Pencopet ternyata tidak membuahkan hasil. Dengan perasaan kesal, Umbul Perkasa mengirimkan murid-muridnya. Sedangkan dia sendiri bersama Pendekar Belalang kembali ke Bukit Buana.

Lain lagi halnya Dewa Pengemis. Laki-laki tua ini memerintahkan tidak kurang lima belas anggotanya untuk meneruskan pencarian. Sedangkan dia sendiri kembali ke kota Kawunganten. Kelima belas anggota kaum pengemis itu selanjutnya meneruskan perjalanan menuju tenggara. Keputusan itu diambil karena mereka menemukan korban-korban lain yang tampaknya menuju jalan yang dilewati.

Selepas senja mereka sampai di sebuah daerah berawa-rawa. Daerah ini memang sangat jarang dilewati orang. Karena selain angker dan banyak buaya berdiam di sana, juga banyak rawa-rawa penghisap. Konon menurut orang-orang yang selamat, daerah yang bernama Rawa Pening ini dihuni peri-peri cantik yang selalu menggoda kaum laki-laki.

“Kita tidak mungkin meneruskan perjalanan dalam keadaan gelap seperti sekarang ini,” kata laki-laki tua pengemis berbaju kuning penuh tambal-tambalan. Matanya yang tajam menusuk memandang ke depan, di mana terdapat hutan rawa yang luas menyimpan teka-teki.

“Lalu apa yang kita lakukan, Ki Rayud? Bermalam di sini?” tanya yang berbaju putih berambut kelabu.

“Benar, Ki Gombret!” sahut laki-laki tua berbaju kuning yang dipanggil Ki Rayud.

Laki-laki yang dipanggil Ki Gombret itu hampir tanpa senyum dalam hari-hari hidupnya. Sebagaimana dua orang laki-laki yang seusianya, dia sangat lihai memainkan toya. Hanya saja, tenaga dalamnya lebih tinggi. Juga, pukulan-pukulannya mengagumkan.

“Memang sebaiknya kita bermalam di sini!” usul laki-laki tua memakai baju merah hitam kedodoran. Wajahnya agak pucat, namun selalu tersenyum. Ilmu olah kanuragannya juga tinggi.

“Kau tahu, apa nama tempat ini, Ki Dileng?” tanya Ki Gombret.

“Kita ini golongan pengemis. Selama bertahun-tahun, kita tidak pernah menghiraukan di mana harus tidur. Mengapa sekarang tempat ini menjadi masalah?” jawab laki-laki tua berbaju hitam yang bernama Ki Dileng.

“Kita berada di Hutan Rawa Pening!” jelas Ki Gombret yang tampaknya lebih memahami keadaan.

Ki Dileng memang tidak tahu, betapa angkernya Hutan Rawa Pening. Dia langsung duduk di bawah sebatang pohon. Tanpa menghiraukan yang lain-lainnya, matanya segera dipejamkan. Sebentar saja, terdengar suara dengkur nafasnya yang teratur.

***
EMPAT
Ki Rayud dan Ki Gombret hanya dapat menggeleng. Ki Dileng memang orang yang mudah tertidur. Apalagi bila habis melakukan perjalanan jauh. Ki Gombret terpaksa mengalah. Segera diperintahkannya pada anak buahnya yang rata-rata masih muda untuk melakukan penjagaan secara bergantian. Tidak lama mereka segera mempersiapkan tempat seadanya untuk melewati malam yang teramat dingin.

Dan sebentar saja, ketiga pemimpin rombongan pengemis ini terlelap dibuai mimpi. Lebih kurang lima orang pemuda pengemis tampak berjaga-jaga. Mereka duduk mengelilingi perapian yang telah berubah menjadi bara. Sesekali, salah seorang menambah kayu bakar. Sehingga, api membesar kembali.

“Malam ini terasa dingin sekali,” kata salah seorang pemuda untuk memecah kebisuan yang terjadi.

“Ya.... Suasana lebih dingin bila dibandingkan di kota Kawunganten. Aku jadi ingat istriku!” sahut pemuda yang satu lagi.

“Kurasa api ini lebih hangat bila dibandingkan istrimu!” kata yang lain menimpali.

Sekejap kemudian terdengar derai tawa para pengemis. Lalu suasana berubah sunyi kembali.

“Hm.... Aku mencium bau wangi seorang perempuan,” kata pemuda yang berbaju putih. Cuping hidungnya kembang-kempis seperti sengaja mengendus-endus sesuatu.

Empat orang lainnya tersentak kaget. Serentak mereka mengedarkan pandangan, memperhatikan di sekeliling. Ternyata bukan hanya yang bicara itu saja yang mencium bau harum seorang wanita. Empat pemuda lainnya pun mencium bau yang sama. Tanpa terasa tengkuk mereka meremang berdiri.

“Coba lihat ke sana!” seru salah seorang tiba-tiba.

Serentak mereka memandang ke arah yang dimaksudkan kawannya tadi. Seketika mereka terkesiap. Karena dari balik kegelapan, tampak berdiri tegak lima orang gadis berbaju hijau. Mereka segera menghampiri lima pemuda pengemis yang sedang melakukan penjagaan. Sehingga semakin lama wajah mereka semakin jelas.

Dalam penerangan api unggun, ternyata wajah mereka cukup cantik. Rambut mereka panjang sebahu. Sedangkan dada mereka agak tersembul, karena pakaian yang dikenakan begitu rendah.

“Siapa kalian?” tanya salah seorang pemuda pengemis itu heran.

“Kami adalah orang-orang yang tersesat di Hutan Rawa Pening ini. Sudah dua hari kami tidak menemukan jalan keluar. Apakah kalian berlima mau menolong kami!” tanya salah seorang gadis yang mempunyai paras paling cantik.

Para pengemis yang berjaga malam ini pada umumnya baru berusia dua puluh lima tahun. Mendapat tawaran seperti itu, sulit rasanya untuk menolak.

“Pertolongan apa yang dapat kami berikan?” tanya salah seorang.

“Besok pagi, tolong carikan jalan keluar bagi kami. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Orang tua kami pasti kehilangan, jika kami tidak kembali secepatnya!” kata gadis yang berbadan agak jangkung.

“Kalau itu keinginan kalian, tentu pimpinan perjalanan tidak keberatan melakukannya,” sahut pengemis yang berbaju putih, memberi harapan.

Kelima gadis berpakaian serba hijau itu melonjak kegirangan. “Aku dan keempat kawanku belum mandi. Ketika hendak ke sini tadi, aku melihat ada sebuah sungai di balik pohon itu. Apakah kalian mau mengantarkan kami?” bujuk yang berwajah paling cantik.

“Apakah kalian tidak malu?” tanya pemuda pengemis berbaju hitam.

“Mengapa harus malu? Bukankah sekarang malam hari? Kalian tentu tidak dapat melihat tubuh kami. Atau kalian mau coba-coba mengintip? Hi hi hi...!”

Tawaran yang sangat menggoda ini tentu tidak disia-siakan kelima pemuda pengemis. Mereka segera mengantarkan gadis-gadis itu ke sungai. Begitu berada di pinggir sungai dalam jarak tidak kurang dari batang tombak, kelima gadis itu tanpa malu-malu lagi langsung menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh. Sampai akhirnya, mereka ini benar-benar dalam keadaan telanjang bulat!

Kelima pemuda kaum pengemis ini tampak membelalakkan matanya. Walaupun suasana agak remang-remang, tapi dengan jelas mereka dapat melihat betapa mulusnya gadis-gadis itu. Dan para pengemis ini dengan leluasa dapat menikmati keindahan lekuk-lekuk tubuh yang tanpa benang sehelai pun. Darah muda mereka pun mendidih. Bukan oleh amarah, melainkan karena terbakar nafsu birahi. Dengus napas mereka kian tersengal dengan mata melotot bagai serigala liar melihat domba gemuk.

“Hi hi hi...! Apakah kalian tidak ikut mandi?” tanya salah seorang gadis itu, seperti menawarkan.

“Jangan malu-malu. Kita sama membutuhkan. Mendekatlah kemari!” ajak gadis yang bertubuh sintal dan berdada montok seraya melambaikan tangannya.

Satu demi satu pengemis yang ditugaskan berjaga malam ini mendekati. Hingga akhirnya, mereka berpasang-pasangan. Mereka bukan lagi mandi, melainkan saling berpelukan. Wajah masing-masing pasangan merapat, dengan bibir saling bersentuhan.

“Sebaiknya kita bercinta di dalam sungai saja...!” bisik gadis-gadis itu di sela-sela desahan napas yang tersendat-sendat.

Tidak ada alasan bagi para pengemis ini untuk menolak. Apalagi, mereka berada di tempat seperti ini dengan suasana yang mendukung.

Byur! Byur!

Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung tercebur ke dalam sungai. Permukaan air sungai langsung bergolak oleh tingkah polah mereka yang berguling-gulingan sambil berpagutan. Tapi...

Sesuatu yang tidak diharapkan tiba-tiba terjadi. Tubuh gadis-gadis itu mendadak membesar. Bahkan pada bagian punggung tumbuh pula ekor yang panjang mirip bergaji. Keanehan yang terjadi begitu cepat. Bagian kepala gadis-gadis itu telah pula berubah menjadi kepala buaya! Bahkan tampak dengan buasnya, gadis jadi-jadian itu kemudian mencabik-cabik tubuh para pengemis. Bukan di dalam sungai seperti yang tadi terlihat, melainkan di dalam rawa-rawa.

“Tolong!” teriak kelima pengemis yang mendapat serangan secara bersamaan.

“Wuaaagkh...!” Jerit kesakitan segera terdengar di sana-sini. Tentu saja mereka yang sedang tertidur lelap jadi tersentak kaget.

Ki Rayud, Ki Dileng, dan Ki Gombret langsung bangkit berdiri. Mereka bertiga langsung memeriksa ke tempat anak buah mereka yang sedang berjaga-jaga. Ternyata, kelima penjaga sudah tidak berada di tempat.

“Aaa...!” Kembali terdengar teriakan menyayat. Lalu, suasana berubah sunyi kembali.

Ketiga laki-laki tua ini saling berpandangan. “Bukankah itu tadi suara mereka?” tanya Ki Dileng cemas.

“Tidak salah! Lalu?” tukas Ki Gombret.

“Kita harus menolong mereka!” tegas Ki Dileng.

“Sebaiknya jangan lakukan, kalau tidak ingin kita semua celaka. Kita tidak tahu, apa yang terjadi di depan sana. Sudah kukatakan, daerah ini rawan. Dan kalian tetap tidak mempercayainya!” dengus Ki Gombret marah.

“Sebagai pimpinan, masakan kita tinggal diam. Sedangkan anak buah kita di sana menentang maut!” Ki Rayud menimpali.

“Aku yakin mereka telah melakukan kesalahan. Ada apa mereka malam-malam begini kelayapan sampai ke sana?” duga Ki Gombret.

Baik Ki Rayud maupun Ki Dileng memang tidak bisa membantah. Dewa Pengemis telah memutuskan, Ki Gombret sebagai pimpinan tertinggi. Sehingga orang-orang ini hanya dapat menunggu sampai datangnya pagi.

Matahari bersinar cerah. Setelah alam di sekitarnya berubah terang, Ki Gombret, Ki Rayud, Ki Dileng, dan anggota perkumpulan pengemis sisanya, segera mencari lima orang yang hilang. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Kelima pengemis yang berjaga malam tadi seakan lenyap ditelan bumi. Sejauh-jauh mata memandang, hanya rawa-rawa yang membentang luas seakan tidak bertepi.

“Anggota kita hilang. Kehidupan terus berjalan. Dan kita harus mencari Raja Pencopet yang dilarikan sosok berbaju rompi putih itu!” geram Ki Dileng.

“Kurasa kita bisa melewati rawa-rawa ini,” kata Ki Rayud.

“Tidak bisa!” bantah Ki Gombret.

Laki-laki tua berbaju putih itu kemudian mengambil sebatang kayu yang masih basah sepanjang dua batang tombak. Kayu itu segera dilemparkannya ke tengah rawa. Kayu yang dilemparkan Ki Gombret tadi langsung amblas ke dalam lumpur. Dan hanya dalam beberapa kejap saja, telah lenyap dari pandangan mata.

“Itulah yang akan terjadi pada kita bila coba-coba menyeberanginya...!” jelas Ki Gombret

“Lalu, bagaimana?” tanya Ki Rayud.

“Kita ambil jalan memutar. Jauh sedikit tidak apa, asalkan semuanya selamat!” jawab Ki Gombret.

Tidak seorang pun yang membantah usul Ki Gombret. Mereka segera berjalan memutar. Namun baru beberapa langkah berjalan, di depan telah berdiri sosok tubuh berpakaian serba putih. Wajahnya tertutup kain hitam. Hanya bagian matanya saja yang terbuka. Dia juga memakai caping bambu.

“Kalian tentu anggota pengemis yang dipimpin Dewa Pengemis, bukan?” tanya orang bercaping itu dingin.

“Benar,” sahut Ki Rayud, pendek.

“Dewa Pengemis dulu telah ikut membunuh ayah dan ibuku. Saudaraku yang tertua bahkan dibunuhnya. Sekarang, kalian harus mati di tanganku...!” desis orang itu.

“Gila! Siapa kau sebenarnya?!” dengus Ki Gombret.

“Mengenai siapa aku, tidak begitu penting. Heyaaa...!”

Sambil berteriak keras, tiba-tiba saja laki-laki berbaju serba putih itu melemparkan caping ke arah anggota perkumpulan pengemis. Caping bambu melesat ke arah sasaran disertai suara mendesing yang cukup membuat sakit telinga.

Serentak anggota perkumpulan pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis serangan yang tidak terduga-duga. Sehingga, benturan keras pun terjadi.

“Heh...?!” Sambaran topi caping bambu membuat putus tongkat-tongkat milik lawannya. Dan apa yang terjadi ini tentu sangat mengejutkan sekali.

Caping bambu telah kembali ke pemiliknya. Sementara rasa kaget para anggota perkumpulan pengemis itu tidak berlangsung lama. Karena saat itu juga, laki-laki memakai penutup wajah ini telah melemparkan capingnya kembali. Melihat serangan mendadak ini, beberapa orang berusaha menghindarinya. Namun, caping itu terus meliuk-liuk seakan mempunyai mata! Lalu....

Cras! Crasss!

“Aaaeekh...!” Tiga orang anggota perkumpulan pengemis itu terjengkang roboh disertai jeritan cukup keras, ketika caping bambu itu menghantam dada dan leher.

Kemudian serangan berikutnya menyusul. Kenyataan ini membuat Ki Dileng, Ki Gombret, dan Ki Rayud menjadi berang. Mereka segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan anak buahnya. Namun....

Crak! Crak! Crakkk!

“Aaa...!” Tindakan mereka ternyata kalah cepat dengan serangan caping yang dilemparkan lelaki berkedok kain hitam itu. Sehingga, empat orang kembali tersungkur roboh dengan nyawa tidak tertolong lagi.

“Setan biadab! Siapa kau!” bentak Ki Gombret, marah bukan main.

Sebagai jawabannya tanpa disangka-sangka laki-laki berkedok kain hitam itu menyerang dengan jurus-jurus berbahaya. Ki Gombret dan dua orang kawannya segera melompat mundur. Kemudian tongkatnya diputar begitu cepatnya, sehingga menimbulkan angin menderu-deru. Itulah jurus 'Pengemis Sakti Tadahkan Tangan' salah satu jurus perkumpulan pengemis yang sangat hebat.

Hampir bersamaan, Ki Gombret dan kedua kawannya menghantamkan tongkat ke arah lawannya. Masing-masing menyodok perut, dada, serta tenggorokan. Gerakan serentak dan beruntun ini tentu sangat sulit dilakukan. Namun, sulit pula dihindari lawannya.

Laki-laki yang berkedok kain hitam itu jelas dalam keadaan terancam bahaya. Tetapi hebatnya, dia masih sempat melompat ke belakang. Serangan Ki Gombret bisa dihindarinya. Namun serangan Ki Rayud masih sempat membeset pinggangnya.

“Eeekh...!” Laki-laki berbaju putih itu sempat terhuyung-huyung. Segera ditotoknya beberapa urat darah di tubuhnya agar darah tidak banyak yang mengalir keluar. Setelah itu, tiba-tiba dia melakukan gerakan sangat cepat! Badannya berguling guling. Sedangkan kedua tangannya menghantam ke kiri dan kanan.

Ki Gombret juga tidak tinggal diam. Dengan dibantu kedua orang kawannya, segera dibalas serangan. Ketiga laki-laki tua ini tiba-tiba menerjang ke depan secara bersamaan. Tongkat di tangan mereka meluncur menghantam pinggang, samping kepala, juga punggung.

“Huagkh...!” Laki-laki berkedok kain hitam itu jatuh terguling-guling terkena hantaman tongkat di tangan Ki Rayud. Dan sambil menggeram secepatnya dia bangkit berdiri.

“Hm.... Ternyata kalian adalah orang-orang yang cukup berisi juga! Bagus! Itu artinya, kalian harus mampus di tanganku! Hiyaaa...!”

Dengan teriakan keras, laki-laki berkedok kain hitam ini membentangkan kedua tangannya, kemudian sejajar bahu. Setelah itu, tubuhnya berputar dengan kaki bergerak berpindah-pindah. Tiba-tiba dia melompat ke depan sambil meraba pinggangnya. Di lain kesempatan, sinar putih telah berkelebat secepat kilat mengancam ketiga lawannya. Ketiga anggota perkumpulan pengemis ini tidak tinggal diam. Mereka segera membabatkan tongkat memapak.

Tras! Tras! Tras!

Saat sinar putih membentur, maka tongkat-tongkat itu terbabat menjadi tiga bagian. Dan tiba-tiba, laki-laki berbaju putih itu berbalik. Lalu dengan kecepatan berlipat ganda pula, sinar putih ini telah bergerak menebas. Ki Gombret dan Ki Rayud sudah tidak sempat menghindari lagi. Sinar putih yang bersumber dari senjata pedang di tangan orang berkedok itu menyambar pinggang dan leher. Sehingga.

Cres! Creesss!

“Aaa...!” Ki Rayud menjerit keras ketika pedang itu membabat putus pinggangnya. Sementara Ki Gombret langsung terjengkang roboh. Begitu menyentuh tanah, kepala Ki Gombret menggelinding ke tanah. Badannya yang tanpa leher mengucurkan darah.

Ki Dileng terkejut melihat kejadian yang berlangsung sangat cepat ini. Justru kelengahannya yang cuma sesaat harus dibayar sangat mahal.

“Heaaa...!” Laki-laki berkedok kain hitam ini telah menerjang. Sinar putih dari mata pedang kembali meluncur ke arah perut Ki Dileng yang tidak terelakan lagi.

“Huaakh...!” Pedang menembus perut Ki Dileng hingga tembus ke punggung. Darah langsung mengucur dari luka di bagian perut. Ketika orang berkedok hitam menarik lepas senjatanya, robohlah Ki Dileng untuk selama-lamanya.

Secepat orang bengis ini mencabut, maka secepat itu pula senjatanya masuk kembali ke dalam warangkanya. Dengan sinar mata dingin, dia memandangi mayat-mayat anggota para pengemis ini. Kemudian tubuhnya berkelebat pergi, meninggalkan Hutan Rawa Pening yang kembali sunyi seperti tak pernah terjadi apa-apa.

***
LIMA
“Rasanya usaha kita hanya sia-sia saja, Rangga! Aku sendiri tidak tahu di mana saudara dari Pendekar Belalang berada!” keluh Raja Pencopet, setelah beberapa hari usaha mereka tidak menghasilkan apa-apa.

“Mengapa kau menjadi manusia yang begitu mudah putus asa, Ki? Kalau Pendekar Belalang memang mempunyai saudara, tentu kita akan menemukannya. Tetapi jika Pendekar Belalang berbohong, aku yakin rahasia kematian Empu Wasila dan hilangnya Pedang Kilat Buana ada di tangannya!” sahut Rangga, pelan.

“Sudah kukatakan, Pendekar Belalang adalah orang jujur. Mustahil dia membohongi tokoh-tokoh di dunia persilatan hanya untuk kepentingan diri sendiri!” sergah Raja Pencopet, tegas.

“Kita tidak tahu isi hati setiap manusia, Ki. Terkadang, kita bisa saja bersikap baik. Namun, hati kita busuk. Atau boleh jadi sebaliknya. Korban semakin bertambah banyak, Ki. Kalau kita menghentikan pencarian ini, tentu Pedang Kilat Buana akan terus meminta korban lebih banyak lagi. Aku yakin, di balik kematian Empu Wasila dan hilangnya Pedang Kilat Buana, ada dendam di dalamnya!” duga Rangga, mantap.

Raja Pencopet terkejut juga mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Dia berusaha mengingat-ingat sesuatu, namun setelah cukup lama berpikir tidak menghasilkan apa-apa. “Bagaimana kau bisa berkata begitu, Rangga?” tanya Malim Seta, kemudian.

Rangga tersenyum. Matanya memandang jauh ke depan. Di sana, dia melihat hamparan rumput yang sangat luas. “Aku hanya menduga. Tetapi kalau Pendekar Belalang tidak tahu apa-apa dalam persoalan yang menimpa gurunya, tentu kuncinya ada pada Umbul Perkasa atau Dewa Pengemis!” kata Rangga lagi, tetap menduga.

“Aku semakin bingung, Rangga. Persoalan yang kita hadapi begitu rumit. Jika aku tidak menemukan pembunuh itu, maka orang-orang dunia persilatan akan mengejar-ngejar ku terus,” keluh Raja Pencopet.

“Kau tidak perlu ragu, Ki. Aku akan terus mendampingimu selama persoalan ini belum selesai!” janji Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku merasa berhutang nyawa kepadamu, Rangga!” desah Raja Pencopet merasa terharu.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar kata-kata laki-laki tua berambut putih ini. Sulit dibayangkan, apa yang terjadi dengan Malim Seta ini jika Pendekar Rajawali Sakti tidak muncul pada saat-saat gawat waktu itu.

“Ha ha ha...! Di cari ke mana-mana, tidak tahunya bersembunyi di sini. Kalian berdua tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dari tali gantungan!”

Mendadak terdengar sebuah suara yang disusul munculnya, seorang laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan. Tangannya memegang tongkat hitam mengkilat. Bibirnya yang tertutup kumis berwarna putih hampir tanpa senyum sama sekali. Tatapan matanya letih. Namun, menyorot tajam.

Pendekar Rajawali Sakti sendiri merasa pernah melihat orang tua berpakaian hitam penuh tambal-tambalan ini.

“Orang hitam jelek yang berdiri seperti kayu terbakar itu bernama Dewa Pengemis. Dari dulu dia memang membenci ku tanpa kuketahui apa sebabnya. Kepandaiannya cukup tinggi. Mungkin lebih tinggi dariku. Kita harus berhati-hati dalam menghadapinya!” bisik Raja Pencopet, mengingatkan.

“Apa yang kalian bicarakan?!” dengus Dewa Pengemis dingin.

“Tidak ada! Kubilang pada kawanku ini, kumismu cukup bagus. Dan, ilmu serta kesaktianmu segudang. Kau termasuk penjilat yang memusuhi aku tanpa sebab! Ha ha ha...!” elak Raja Pencopet disertai tawa mengekeh.

“Keparat! Kau manusia busuk yang pantas mati. Tapi sebelum itu, kau harus menjelaskan padaku. Siapa pemuda yang telah menyelamatkanmu?”

“Tanya saja pada yang bersangkutan!” ujar Raja Pencopet dengan suara mengejek sehingga semakin membuat kesal Ki Dombleh alias Dewa Pengemis.

Pendekar Rajawali Sakti segera maju ke depan. Dia menjura hormat pada Dewa Pengemis, walau sebenarnya muak melihat keangkuhan laki-laki tua itu. “Maafkan atas peristiwa di Bukit Buana itu. Namaku Rangga,” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Dewa Pengemis menatap Rangga dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sejenak dia merasa kaget namun tidak ditampakkan pada air wajahnya. “Hm.... Aku tahu. Kau pasti, ya! Pendekar Rajawali Sakti. Nama besarmu sering kudengar. Katanya kau penegak kebenaran dan keadilan. Tapi melihat tindakanmu di Bukit Buana, kurasa apa yang kudengar selama ini hanya bualan kosong saja!” tegas Dewa Pengemis mencemooh, setelah melihat dan yakin, dengan ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti. Terutama pada pedang bergagang kepala burung rajawali di punggungnya.

Sebaliknya Raja Pencopet kaget. Sungguh tidak disangka kalau pemuda memakai baju rompi putih yang telah menyelamatkan diri dari tiang gantungan tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti. “Kau keterlaluan! Mengapa tidak mau berterus terang sejak kemarin?” rutuk Raja Pencopet.

“Sudahlah jangan persoalkan hal-hal kecil, Ki! Dewa Pengemis tampaknya tidak mau terima atas tindakanku di Bukit Buana,” sergah Rangga, pelan saja suaranya.

“Apakah kalian sedang membicarakan masalah penyerahan diri?” tanya Ki Dombleh, sudah tidak sabar lagi.

“Tidak. Kami malah sedang memikirkan, bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri dari manusia sepertimu!” jawab Raja Pencopet, seenaknya.

Jawaban ini tentu di luar dugaan Dewa Pengemis. Dan hatinya menjadi semakin geram saja dibuatnya. “Baiklah! Kalau kau tidak mau menyerah secara baik-baik, secara kekerasan aku sanggup! Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras Dewa Pengemis menerjang Raja Pencopet.

Melihat serangan datang sangat cepat, Rangga bermaksud menghadangnya. Namun, Raja Pencopet cepat memberi aba-aba untuk segera mundur. “Biarkan aku yang maju dulu, Rangga. Orang jelek ini memang selalu banyak tingkah. Terlebih-lebih di depan orang banyak!” dengus Malim Seta.

Sementara itu Ki Dombleh tiba-tiba mengibaskan tangannya ke arah tenggorokan Malim Seta. Namun Raja Pencopet segera memapakinya dengan mempergunakan siku.

“Huagkh...!”

Begitu terjadi benturan, kedua-duanya terdorong mundur beberapa langkah. Raja Pencopet merasakan tangannya panas bukan main. Sedangkan Dewa Pengemis hanya menyeringai saja.

Set! Set!

Tiba-tiba Dewa Pengemis memutar tongkat hitam di tangannya. Segera dikerahkannya jurus-jurus tongkat yang hebat. Maka begitu tongkatnya berputar, dalam waktu sekejap saja tubuhnya telah tertutup cahaya hitam pekat.

“Ciaaat..!” Disertai teriakan keras, Raja Pencopet meluruk menerjang pertahanan Dewa Pengemis.

Dalam keadaan mengambang di udara Malim Seta mengibaskan pedang pendeknya, sehingga seperti hendak merobek udara. Melihat luncuran pedang lawan yang sangat cepat, Dewa Pengemis segera menggerakkan tongkatnya.

“Heh...?!” Raja Pencopet terkejut bukan kepalang. Benturan keras tadi membuat api berpijar di udara. Bahkan tubuhnya terpental. Begitu mendarat dengan putaran tubuh, mulutnya meringis menahan sakit. Tangannya yang memegang pedang terasa panas seperti terbakar. Dewa Pengemis yang sadar kalau tenaga dalamnya lebih tinggi dibanding Raja Pencopet segera melakukan serangan balasan. Namun tiba-tiba....

“Hiyaaa...!” Tiba-tiba Raja Pencopet mengibaskan tangannya dengan pukulan ‘Maut Bermata Satu’ ke arah Dewa Pengemis. Dadanya kontan terasa seperti dihimpit balok-balok es. Ketika bangkit berdiri, ada darah segar menetes di sudut-sudut bibirnya. Tapi tampaknya semua itu tidak berpengaruh pada dirinya.

Zeb! Zeb!

“Hiyaaa...!” Ki Dombleh kali ini yang meluruk, membuka serangan tongkat di tangannya bergerak ke depan, mengancam bagian-bagian yang mematikan di tubuh Raja Pencopet. Serangan ini benar-benar telah sampai pada tingkat yang paling berbahaya. Karena Dewa Pengemis telah mempergunakan jurus ‘Sepuluh Cakar Memukul Harimau’.

Raja Pencopet tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya segenap kemampuannya untuk mengatasi serangan lawan. Kali ini tampak jelas kalau perlawanan Raja Pencopet selalu kandas di ujung tongkat Dewa Pengemis. Sampai akhirnya sebuah babatan menyilang telak menghantam punggungnya.

“Wuaagkh...!” Hantaman yang cukup keras membuat Raja Pencopet terjengkang. Darah menyembur dari hidung dan mulutnya. Malim Seta berusaha berdiri, namun pandangan matanya nanar. Tanah yang dipijaknya seperti bergerak cepat.

Melihat lawannya sudah dalam keadaan tidak berdaya, Dewa Pengemis bermaksud membunuhnya sekaligus. Namun....

“Heaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji ‘Bayu Bajra’. Rangga yang sudah melihat kehebatan Dewa Pengemis ini langsung mendorong kedua tangannya disertai teriakan keras menggelegar.

Wusss...!

Saat itu juga meluncur topan dahsyat disertai suara menderu-deru yang begitu mengiriskan. Sekejap kemudian, gelombang angin topan itu menghantam Dewa Pengemis tanpa ampun.

“Wuaaagkh...!” Tidak tanggung-tanggung Ki Dombleh terpental sejauh dua batang tombak, lalu menabrak sebuah pohon hingga tumbang. Mulutnya mengucurkan darah. Tongkat di tangannya tercampak tidak jauh darinya. Dia mencoba bangkit berdiri. Namun....

“Hoegkh...!” Darah kembali mengucur dari mulutnya. Sadarlah Dewa Pengemis ini kalau dirinya mengalami luka dalam yang parah. Dan lebih disadari lagi, kalau pemuda berbaju rompi putih itu mau, tentu dia sudah tewas sejak tadi.

Pendekar Rajawali Sakti segera mengobati luka-luka yang diderita Raja Pencopet. Sedangkan Ki Dombleh langsung bersila dan pejamkan mata. Perlahan hawa murninya dikerahkan untuk mengobati luka dalam yang diderita. Sampai akhirnya peredaran darahnya kembali berjalan seperti biasa dan nafasnya dapat teratur kembali. Ki Dombleh bangkit berdiri setelah memungut tongkatnya. Sementara Rangga telah berdiri pula untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diingini.

“Kesalahanmu semakin bertumpuk setelah kau halangi keinginanku untuk membunuh Raja Pencopet, Pendekar Rajawali Sakti! Seluruh orang-orang persilatan pasti memusuhimu karena persoalan ini!” desis Ki Dombleh dingin.

“Kau tidak bisa membuktikan kesalahan Raja Pencopet. Aku tidak bisa menyalahkan seseorang begitu saja, selama bukti-bukti yang kubutuhkan belum begitu jelas!” sergah Rangga.

“Kuakui kehebatanmu. Sayangnya, kau tidak cukup bijak untuk menentukan sikap!” cibir Dewa Pengemis.

“Pergilah, Dewa Pengemis! Selama kau tidak bisa menghadirkan saudara dari Pendekar Belalang di hadapanku, maka selama itu pula tidak seorang pun yang kubiarkan mengusik Raja Pencopet!” tegas Rangga.

“Kau akan menyesal nanti!” desis Ki Dombleh. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi, Dewa Pengemis segera berkelebat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Raja Pencopet. Sesaat setelah Dewa Pengemis tak terlihat lagi, Rangga segera berpaling pada Malim Seta.

“Bagaimana lukamu, Ki!” tanya Rangga.

“Eeh! Kurasa agak baikan sedikit. Tapi kupikir, aku tidak bisa melakukan perjalanan jauh!” jawab Malim Seta, jujur.

“Kalau begitu kita harus menunggu waktu yang tepat, sampai luka-lukamu baik kembali,” usul pemuda berbaju rompi putih ini memutuskan.

“Ya, sebaliknya begitu. Kalau perlu, Raja Pencopet disembunyikan saja di sebuah tempat yang aman. Kulihat, ada mayat di mana-mana. Aku semakin gelisah kalau-kalau mayat itu adalah kawan ku! Hi hi hi...!”

Mendadak terdengar sebuah suara disertai tawa, Rangga agak terkejut juga. Karena apa yang didengarnya di ucapkan dari jarak yang cukup jauh. Jelas, orang itu mempunyai ilmu mengirimkan suara jarak jauh yang cukup tinggi.

Sebaliknya Raja Pencopet segera mengenali kalau pemilik suara itu tidak lain dari Dewi Pemabuk. Sebuah bayangan serba merah berkelebat, dan tahu-tahu telah berdiri tidak jauh di hadapan Rangga dan Raja Pencopet. Gerakannya cukup ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Pendekar Rajawali Sakti hanya dapat memuji dalam hati. Ternyata wanita yang bicara melalui ilmu mengirimkan suara tadi, masih begini muda. Wajahnya pun sangat cantik. Hanya tingkahnya agak ugal-ugalan.

Gluk! Gluk! Gluk!

Dewi Pemabuk segera meneguk tuak keras di bumbungnya. “Apakah kau mau minum, sahabatku tukang copet?” tanya Dewi Pemabuk. Sementara sudut matanya sempat melirik ke arah Rangga. Gadis ini menjadi agak gugup, karena ternyata pemuda yang telah menolong Raja Pencopet adalah seorang pemuda berwajah tampan!

“Aku tidak butuh minum. Kepalaku pusing. Dan aku juga menderita luka dalam. Oh ya... Perkenalkan, kawanku itu. Namanya Rangga. Dialah yang telah menyelamatkan aku!”

Dewi Pemabuk jadi salah tingkah. Dan ini terjadi untuk pertama kalinya. Karena pada waktu-waktu sebelumnya, dia tidak pernah peduli terhadap pemuda mana pun. Dewi Pemabuk kemudian menjura hormat. “Aku Ararini. Maafkan segala tingkah laku ku yang kurang pada tempatnya. Oh ya.... Apakah kau yang telah membawa lari Raja Pencopet dari tiang gantungan?” ucap Ararini.

“Benar!” sahut Rangga singkat.

“Wah, aku merasa bersyukur sekali. Kalau tidak kau tolong, tentu Raja Pencopet sudah almarhum,” kata Dewi Pemabuk seadanya.

“Dengan begitu, bukan berarti bahaya sudah berlalu. Baru saja Dewa Pengemis datang kemari,” ingat Rangga.

“Mengapa tidak dibunuh sekalian manusia sialan itu? Aku muak melihat tingkahnya yang konyol!” dengus Ararini.

“Persoalannya bukan hanya menyangkut Dewa Pengemis saja. Kita harus mencari pembunuh Empu Wasila yang sebenarnya. Selain itu, kita juga harus menemukan Pedang Kilat Buana,” sergah Rangga.

“Aku tahu. Tapi entah mengapa, aku malah curiga pada Pendekar Belalang. Dia pasti mengetahui sesuatu!” desis Ararini.

“Mengapa kau bisa berkata begitu?” tanya Raja Pencopet.

“Ingat tidak, waktu pertemuan kita di kota Kawunganten?”

“Tentu saja ingat.”

“Sebelum aku sampai ke kedai itu, aku melihat Pendekar Belalang bertarung melawan murid-murid Umbul Perkasa. Mereka dibunuh semuanya. Ini tentu aneh, mengingat antara Pendekar Belalang dan Umbul Perkasa masih terjalin hubungan yang sangat baik. Kurasa ada sesuatu di balik semua itu,” papar Ararini.

“Kalau begitu kita harus kembali ke Bukit Buana!” terabas Raja Pencopet.

“Tidak! Kita masih punya pilihan lain. Kita cari dulu orang yang telah membunuh Empu Wasila. Kalau usaha ini tidak membawa hasil, pilihan terakhir ada pada Pendekar Belalang!” tegas Rangga.

Dewi Pemabuk dan Malim Seta setuju. Mereka segera melanjutkan perjalanan kembali.

***

Sementara, hari sudah mulai gelap. Satu sosok tubuh dengan kepala memakai caping berkelebat dan menyelinap ke belakang sebuah rumah, di pinggiran kota Kawunganten. Dia mengendap-endap, menuju pintu rumah yang tak begitu besar.

“Hm.... Ini pasti rumah Dewa Pengemis! Kebetulan, tadi kulihat dia masuk ke dalam kedai.... Kalau tak salah, anak tunggalnya adalah seorang gadis bernama Ratih. Hm.... Gadis itu bisa dijadikan umpan untuk memancing kemunculan Dewa Pengemis...,” desah sosok bercaping itu pelan sekali, seraya membuka pintu dengan kekuatan tenaga dalamnya.

“Ayah...? Ayahkah yang datang...?” Terdengar suara dari dalam rumah Dewa Pengemis. Suara seorang gadis. Tidak terdengar jawaban apa-apa. Suasana tetap sepi mencekam. Ratih jelas menjadi penasaran. Segera diambilnya sebatang tombak yang selalu terpajang di dinding. Sambil menggenggam tombak pendek dia menyelinap keluar. Namun baru saja sampai di depan pintu, tiba-tiba sebuah tangan bergerak cepat ke arah gadis ini.

Tuk! Tuk!

“Aaakh...!” Ratih mengeluh tertahan. Tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sulit digerakkan. Sementara, di depannya kini telah berdiri seorang laki-laki bercaping dan berbaju putih. Sedangkan wajahnya tertutup kain warna hitam. “Siapa kau?” tanya Ratih. Suaranya bergetar pertanda dalam keadaan ketakutan.

“Aku adalah orang yang menuntut balas atas kematian orangtua ku. Karena kau adalah anak musuh orangtua ku, maka sudah sepantasnya ikut menanggung dosa-dosa ayahmu!” desis laki-laki itu.

“Aku tidak tahu menahu persoalan ayahku. Bebaskanlah aku!” pinta Ratih.

“Tidak bisa!” tegas laki-laki bercaping. “Kau harus ikut aku!”

“Auh..., lepaskan...!” teriak Ratih.

Dan suara gadis ini tiba-tiba saja lenyap, ketika laki-laki berbaju putih ini menotok urat suaranya. Tanpa bicara apa-apa lagi, segera dipanggulnya tubuh Ratih.

***

“Ada apa kau kemari?! Aku tidak memanggilmu...!" Dewa Pengemis melotot garang pada seorang pelayan laki-laki yang mendatangi. Hatinya saat ini memang sedang kesal. Tadi setelah gagal membunuh Raja Pencopet, dia langsung menuju kedai untuk mengubur amarahnya pada Pendekar Rajawali Sakti yang menggagalkan niatnya.

“Ta..., tapi, Tuan.... Ada pesan dari seseorang...!” jawab pelayan ini gugup.

“Pesan apa?” tanya Dewa Pengemis sambil memandanginya dengan mata yang telah berubah merah.

Pelayan ini tanpa mau berkata lagi segera menyerahkan daun lontar yang tampaknya ditulis sangat tergesa-gesa. Merasa penasaran Ki Dombleh segera membacanya.

Dewa Pengemis...

Kuharap kau tidak terkejut. Karena, aku meminjam anakmu untuk menemaniku malam ini. Semuanya menyangkut hutang lama. Kalau kau ingin anakmu selamat, sebaiknya cepat susul ke Hutan Gondopuro. Terlambat sedikit, putri tunggalmu keburu mampus!

Pesan di atas daun lontar itu sama sekali tidak diketahui, siapa pengirimnya. Yang jelas, Dewa Pengemis merasa Ratih pasti dalam keadaan terancam. Untuk itu, tanpa membuang waktu lagi segera tubuhnya berkelebat pergi menuju hutan yang dimaksudkan penculik anaknya.

***
ENAM
Jauh di tengah Hutan Gondopuro, tepatnya di pinggir sungai, seorang laki-laki berbaju putih tengah menurunkan satu sosok tubuh ramping dari bahunya. Kemudian dibaringkannya tubuh yang ternyata gadis bernama Ratih.

“Sebentar lagi kita akan bersenang-senang. Tetapi sebelumnya, aku harus mandi dulu. Ha ha ha...!” kata laki-laki berbaju putih dan bercaping bambu disertai tawa panjang. Setelah itu, laki-laki ini tanpa malu-malu lagi segera menanggalkan pakaiannya. Sekejap saja dia sudah menceburkan diri ke dalam air sungai yang sangat dingin.

Ratih semakin sadar kalau kehormatannya dalam keadaan terancam. Sekarang dia punya waktu untuk menyelamatkan diri dari tangan laki-laki biadab yang menculiknya. Namun usahanya sia-sia saja. Ternyata, totokan yang dilakukan oleh laki-laki berkedok kain hitam sulit dimusnahkan. Padahal tenaga dalamnya telah dikerahkan.

Dapat dibayangkan betapa takutnya gadis ini bila mengingat apa yang menimpa dirinya. Rasanya, lebih baik dibunuh seratus kali daripada harus menerima aib memalukan!

Tidak sampai sepemakan sirih, laki-laki yang menculiknya telah kembali ke daratan. Langsung dihampirinya Ratih yang tergeletak di atas semak-semak, dan berjongkok di sampingnya.

“Lihatlah, Sayang! Betapa malam ini sangat indah!” kata laki-laki itu, tanpa sempat mengenakan pakaiannya kembali. Laki-laki bercaping ini mengurut totokan pada bagian pangkal leher Ratih. Sehingga, gadis itu mampu bicara kembali.

“Ciih...! Manusia iblis! Bebaskan aku! Kita bertarung sampai mati!” teriak Ratih begitu terbebas dari totokan.

“Ha ha ha...! Seluruh dunia melihat kekejaman ayahmu dan kawan-kawannya. Kini, aku telah mendapatkan anaknya. Aku tidak akan memaksamu. Semuanya akan terjadi secara wajar dan berlangsung suka sama suka. Dan pengalaman yang memabukkan ini, pasti tidak terlupakan olehmu!” oceh laki-laki itu, enteng.

Sebelum Ratih sempat berkata apa-apa, laki-laki itu telah mengusap bagian ketiaknya. Sehingga, tubuh gadis itu menggelinjang dengan mulut ternganga. Kesempatan itu tidak disia-siakan laki-laki berkedok kain hitam. Segera dimasukkannya benda bulat sebesar ibu jari ke dalam mulut Ratih yang terbuka.

Putri tunggal Dewa Pengemis ini sudah tidak sempat memuntahkannya karena laki-laki itu telah membekap mulutnya, seraya menyentil lehernya. Akibatnya benda bulat itu langsung tertelan di perut Ratih. Dan tak lama kemudian....

“Panas! Oh..., panas sekali...!” desis gadis ini sambil berusaha meronta-ronta.

Laki-laki itu tampaknya memang mengerti, apa yang sedang terjadi. Segera dilepaskannya totokan pada tubuh Ratih, sehingga dapat bergerak lebih leluasa. Tanpa malu-malu laki-laki ini melepaskan pakaian Ratih satu demi satu. Dan seluruh tubuh gadis ini ternyata telah dibasahi keringat.

Tubuhnya terus menggeliat seperti seekor ular sekarat. Mulutnya mendesis-desis dan setengah terbuka. Kiranya laki-laki berkedok kain hitam ini tadi memasukkan sejenis obat pembangkit gairah, sehingga membuat gadis itu tak menyadari apa yang dilakukannya.

“Oh..., panas..., akh...!” keluh Ratih lagi-lagi. Pada saat itu, Ratih benar-benar dalam keadaan polos. Lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kedua bukit kembarnya ikut bergoyang saat tubuhnya menggelinjang. Semuanya serba menantang.

“Kita akan bersenang-senang malam ini, Sayang!” desis laki-laki itu menatap nyalang.

Tanpa banyak kata lagi, laki-laki ini memeluk gadis di depannya. Anehnya, Ratih membalas pelukan itu. Bahkan menekankan dadanya ke wajah laki-laki itu. Bulan di angkasa sana tertutup awan. Sehingga, suasana di sekeliling Hutan Gondopuro menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan di pinggir sungai, hanya suara rintihan-rintihan yang terdengar. Alam sekitarnya menjadi saksi bisu, apa yang tengah dilakukan manusia berlainan jenis itu.

“Ohh...!” Sinar matahari yang menerabas celah-celah pepohonan, membuat Ratih tersadar. Dan mulutnya kontan meringis, pangkal pahanya sakit bukan main. Lebih terkejut lagi setelah melihat dirinya dalam keadaan tak tertutup benang sehelai pun. Gadis ini segera menyambar pakaiannya yang berserakan di atas tanah.

Setelah memakai pakaian kembali, barulah dia menatap tajam pada seorang laki-laki berbaju putih yang berdiri tegak tidak jauh di depannya. Wajahnya yang terlihat hanya bagian matanya saja, karena tertutup kain berwarna hitam.

“Bagaimana? Bukankah semuanya terasa menyenangkan? Kulihat kau pun begitu menikmatinya! Ha ha ha...!”

Ratih segera sadar apa yang telah terjadi pada dirinya. “Keparat! Kau telah hancurkan hidupku!” teriak Ratih dengan dada tampak turun naik. Tubuhnya terguncang keras. Sementara laki-laki itu hanya tertawa saja.

“Hiaaat...!” Disertai amarah meledak-ledak, Ratih segera menyerang laki-laki yang telah merampas mahkotanya. Walaupun gadis ini memiliki ilmu olah kanuragan juga, namun lawan yang dihadapinya bukanlah tandingannya. Tak heran setelah melakukan gebrakan beberapa kali, dia mulai mendapat tekanan berat.

Bet! Bet!

Laki-laki berbaju putih itu tiba-tiba saja mencabut pedangnya. Begitu tangannya dikibaskan, seleret cahaya putih langsung meluncur ke delapan penjuru arah. Salah satu di antaranya mengancam dada Ratih. Gadis berkulit kuning langsat ini segera memiringkan tubuhnya ke samping kanan. Namun, gerakannya kalah cepat. Maka tanpa ampun lagi....

“Aaa...!” Pedang laki-laki bercaping ini menebas tepat di sasaran. Ratih menjerit keras lalu ambruk ke tanah. Pinggangnya nyaris putus menjadi dua. Darah bercampur isi perutnya berhamburan keluar. Tubuh gadis malang itu kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

Laki-laki bercaping memasukkan senjata ke tempatnya semula. Secara kejam digantungnya mayat Ratih di atas pohon. Setelah itu, dia bersembunyi pula di suatu tempat yang tidak terlihat orang lain.

Di pinggir sungai yang tak jauh dari tempat Ratih diperkosa dan dibunuh. Seorang laki-laki tua menghentikan langkahnya ketika melihat ceceran darah.

“Kau mencari anakmu, Dewa Pengemis? Sayang, kedatanganmu tertambat Terpaksa, pedangku sudah tidak sabar menunggu!”

Terdengar suara, membuat laki-laki tua yang tak lain Dewa Pengemis tersentak kaget dan berdebar dadanya. Betapa tidak? Kata-kata itu sama artinya bahwa Ratih anaknya telah tewas. Dewa Pengemis segera mengedarkan pandangannya ke segenap arah. Sampai akhirnya matanya melihat sebuah pemandangan yang sungguh mengenaskan.

Tidak jauh di samping kirinya, tampak sesosok tubuh yang hampir putus tergantung dengan kaki dan tangan terikat pada batang sebuah pohon. Laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan dan bersenjata tongkat hitam ini langsung menjerit keras, berusaha menurunkan putri tunggalnya yang telah menjadi mayat! Namun....

Pada saat itu terdengar suara mendesing di belakang. Terpaksa Dewa Pengemis mengurungkan niatnya. Tubuhnya langsung berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri. “Pembunuh keji keparat! Aku tak terima anakku diperlakukan demikian! Aku benar-benar tidak dapat mengampuni dosamu!” dengus Ki Dombleh berang bukan main, begitu bangkit berdiri.

“Aku tidak akan minta ampun pada siapa pun. Kau adalah salah seorang pembunuh orangtua ku. Sekarang, sudah saatnya bagimu menerima karma dari hasil perbuatanmu!” sahut orang yang bersembunyi di balik semak-semak belukar. Sekejap kemudian tampak sebuah bayangan putih berkelebat. Dan tahu-tahu di depan Dewa Pengemis telah berdiri tegak seorang laki-laki berpakaian putih memakai caping.

“Siapa orang yang kau maksudkan tadi?” tanya Ki Dombleh tegas.

Laki-laki memakai bercaping bambu itu tidak langsung menjawab. Terus dipandanginya laki-laki tua itu dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian. “Ingatkah kau pada Sepasang Manjangan Merah?!”

“Manjangan Merah?” Tentu saja Dewa Pengemis ingat pada Sepasang Manjangan Merah, tokoh suami istri dari golongan sesat yang dulu pernah menghancurkan kota Kawunganten dan membantai seluruh penduduknya yang tidak berdosa.

Sepuluh tahun yang lalu bersama Empu Wasila, Umbul Perkasa, dan juga Raja Pencopet, Dewa Pengemis menumpas mereka di Bukit Tusina. Sepasang Manjangan Merah mempunyai anak kembar tiga. Anak yang paling tua, terbunuh oleh Dewa Pengemis sendiri. Sedangkan yang kedua dilarikan seseorang yang tidak dikenal.

Dan yang ketiga, adalah Tri Gata Bayu. Yang ketiga ini dibesarkan dan dididik oleh Empu Wasila. Setelah Sepasang Manjangan Merah tewas di tangan mereka, keadaan berubah aman. Sebenarnya, walaupun dikeroyok, mereka hampir tidak terkalahkan. Hanya berkat Pedang Kilat Buana, Sepasang Manjangan Merah berhasil dibunuh. Siapa sangka jika hari ini Dewa Pengemis sendiri harus berhadapan dengan putra dari Sepasang Manjangan Merah? Sungguhpun begitu, dia masih merasa kurang yakin.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Dewa Pengemis.

“Ha ha ha...! Rupanya kau tuli, Dewa Pengemis. Sekarang dengarlah! Karena, aku tidak akan pernah mengulang ucapanku lagi,” tegas laki-laki berbaju putih itu. “Aku adalah Dwi Gata Bayu. Guruku si Mata Iblis telah memberi tahu di kota Kawunganten inilah para pembunuh orangtua ku bersembunyi....”

“Jadi, kaulah yang telah membunuh Empu Wasila? Tidak kusangka, kau bekerja sama dengan Pendekar Belalang!” sentak Dewa Pengemis, kaget.

“Memang aku yang telah membunuh Empu keparat itu. Dan walaupun Tri Gata Bayu adalah saudara kandungku, namun dia tidak mau kuajak bekerja sama. Rupanya, dia lebih sayang pada pembunuh orangtuanya. Sayang, aku tidak tega membunuhnya sekalian!” geram laki-laki bercaping yang ternyata bernama Dwi Gata Bayu.

“Dan kau yang mencuri Pedang Kilat Buana?” tebak Dewa Pengemis.

“Aku mencuri pedang ini duluan. Baru kemudian, dengan pedang miliknya sendiri Empu Wasila kubunuh!” jelas kakak kembar Pendekar Belalang ini.

“Hm.... Aku hampir kesalahan tangan dengan menuduh orang lain. Satu hal yang sangat kusesalkan, dulu Empu Wasila melarangku untuk membunuh seluruh keturunan Sepasang Manjangan Merah! Dan sekarang mereka benar-benar menjadi penyakit!” keluh Ki Dombleh, seakan menyesali.

“Percuma kau menyesali diri. Di saat kematianmu perlu kusampaikan bahwa ternyata anakmu benar-benar masih perawan! Huh! Betapa hebat dia...!” Dwi Gata Bayu tersenyum mengejek.

Tanpa ada yang meminta, tiba-tiba saja Dwi Gata Bayu membuka kedoknya. Kini wajah Dwi Gata Bayu terlihat jelas. Dewa Pengemis terbelalak melihat kesamaan wajah antara Tri Gata Bayu dengan Dwi Gata Bayu. Mereka benar-benar kembaran yang sangat sempurna, bagaikan pinang dibelah dua.

“Kau tentu sudah puas melihat wajahku, bukan?” kata Dwi Gata Bayu.

“Hutang nyawa memang harus dibayar nyawa. Namun, aku tidak bisa menerima perbuatanmu atas diri putriku. Untuk itu, aku juga harus memenggal kepalamu. Hiyaaa...!” Dewa Pengemis berteriak keras.

Tubuhnya tiba-tiba saja menerjang. Sedangkan tongkat di tangan meluncur menuju ke sepuluh kelemahan lawannya. Dwi Gata Bayu langsung melompat mundur ke belakang. Caping bambu di kepalanya dikibaskan, untuk menghalau serangan tongkat Dewa Pengemis.

“Heh...?!” Terjadi benturan sangat keras. Dewa Pengemis terdorong mundur. Sedangkan caping bambu membalik, dan berhasil ditangkap pemiliknya. Namun, Dwi Gata Bayu tidak urung sempat terhuyung-huyung juga.

Sekarang, sadarlah Ki Dombleh kalau tenaga dalam lawannya hampir seimbang dengan tenaga dalam yang dimilikinya. Melihat senjata Dwi Gata Bayu ternyata lebih berbahaya, maka diam-diam tenaga saktinya disalurkan ke bagian telapak tangan. Kemudian....

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras, Dewa Pengemis mengerahkan aji 'Langlang Buana', kedua tangannya didorong ke depan. Saat itu juga, seleret sinar merah menebar hawa panas seperti api menerjang ke arah laki-laki bercaping.

Dwi Gata Bayu segera menggerakkan caping di tangannya. Akibatnya telak sekali pukulan Dewa Pengemis menghantam sasarannya.

“Wuaaagkh...!”

Kedua orang itu sama-sama terbanting ke tanah. Sebagian caping Dwi Gata Bayu hancur. Sedangkan Ki Dombleh sendiri sempat muntahkan darah segar. Ternyata, laki-laki tua berambut putih ini memang menderita luka dalam yang cukup parah.

“Ternyata kau mempunyai kehebatan juga, Pengemis Hina! Namun jangan berbangga dulu. Karena Pedang Kilat Buana segera mengirimmu ke neraka!” desis Dwi Gata Bayu.

Setelah itu, putra dari Sepasang Manjangan Merah segera mengerahkan jurus-jurus yang dipelajarinya di Bukit Setan. Dengan jurus warisan Mata Iblis ini, dia mulai mencecar Dewa Pengemis. Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan laki-laki bercaping menjadi hebat dan sangat berbahaya. Dan ini membuat Dewa Pengemis menjadi terdesak dan keteter.

“Hiyaaa...!” Ki Dombleh tiba-tiba melenting ke udara. Tongkat hitam di tangannya dikibaskan ke kepala. Saat yang sama Dwi Gata Bayu segera melepaskan caping di tangannya.

Begitu terjadi benturan, Dewa Pengemis berguling-gulingan. Tetapi, dia sudah bangkit lagi walaupun nafasnya sudah tidak beraturan. Selanjutnya Ki Dombleh melancarkan serangan lebih hebat lagi. Memang, agaknya Dewa Pengemis sudah tidak menghiraukan keselamatannya lagi. Terbukti segenap kemampuannya telah terkuras.

“Hup...!” Dwi Gata Bayu tiba-tiba saja melompat ke belakang, membuat jarak. Segera dicabutnya Pedang Kilat Buana. Senjata ini langsung memancarkan cahaya putih, seperti salju ketika Dwi Gata Bayu mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian hulu pedang yang berbentuk kepala ular sendok.

Bet! Bet! Bet!

“Ciaaat...!” Dwi Gata Bayu segera menerjang ke depan. Pedang di tangannya yang memancarkan cahaya berkilauan meluncur deras, mencari sasaran. Sepuluh tahun yang lalu, Dewa Pengemis pernah melihat kedahsyatan senjata milik almarhum Empu Wasila itu. Sehingga, dia tidak berani bentrok secara langsung dengan senjata itu.

Tetapi apa yang terjadi sekarang hanya membuat Dewa Pengemis cepat terdesak. Ketika pedang di tangan orang bercaping menyodok ke bagian ulu hati, maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Dombleh terkecuali menangkis dengan tongkatnya.

“Heh...?!” Benturan yang sangat keras tidak dapat dihindari lagi. Dan Dewa Pengemis jelas terkesiap melihat tongkat hitamnya terputus menjadi dua. Segera dia melompat mundur, dan berjumpalitan menghindar.

Tetapi pada kesempatan yang sama, Dwi Gata Bayu telah melesat ke udara dengan pedang terhunus. Pedang Kilat Buana kemudian mengibas ke punggung Dewa Pengemis. Demikian cepat gerakannya, sehingga Dewa Pengemis tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Dan....

“Aaa...!” Begitu pedang menebas punggung, Dewa Pengemis menjerit kesakitan. Tubuhnya terbabat putus menjadi dua bagian, dan tampak begitu mengerikan.

Cepat sekali Dwi Gata Bayu memasukkan pedang ke dalam warangkanya. Dia lalu tertawa-tawa seperti orang kesurupan. Dan mendadak tawanya terhenti, kepalanya lantas menengadah.

“Buat orang-orang yang telah membuatku jadi yatim piatu! Hati ini, rasanya tidak akan tenteram sebelum kalian semuanya mati di tanganku...!”

Selesai dengan ucapannya, Dwi Gata Bayu bermaksud meninggalkan tempat itu untuk mencari Umbul Perkasa. Namun tiba-tiba, telinganya mendengar suara ranting diinjak seseorang. Dengan cepat Dwi Gata Bayu menyelinap di balik sebatang pohon besar untuk memastikan siapa yang datang. Ternyata, yang muncul adalah dua orang laki-laki dan seorang gadis berbaju merah.

“Salah seorang di antaranya adalah orang yang ikut membunuh orangtua ku!” kata batin Dwi Gata Bayu.

Sementara itu, ketiga orang tadi segera meneliti mayat yang tergeletak di rerumputan. Keadaannya sungguh sangat mengenaskan.

“Tampaknya Dewa Pengemis belum lama mati. Kurasa pembunuhnya masih berkeliaran di sekitar sini!” kata pemuda yang berbaju rompi putih menyimpulkan.

“Mari kita cari!” sahut yang berambut putih berjenggot hitam tidak sabar.

“Hati-hati, Tukang Copet. Lukamu belum sembuh benar!” kata gadis berbaju merah mengingatkan. Dialah Dewi Pemabuk, yang punya nama asli Ararini. Mereka baru saja hendak beranjak dari tempat masing-masing sesaat, terdengar tawa disertai kemunculan seorang pemuda tampan berbaju putih.

***
TUJUH
Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk tercenung. Pemuda di depan mereka ternyata sangat mirip dengan Tri Gata Bayu yang berjuluk Pendekar Belalang. Bahkan hampir tidak terlihat perbedaannya sama sekali.

“Tri Gata Bayu...!” seru Raja Pencopet heran.

Pemuda itu menggelengkan kepala. “Aku bukan Tri Gata Bayu atau Pendekar Belalang! Aku Dwi Gata Bayu, saudara kembarnya!” sahut pemuda bercaping bambu sinis.

Kalau tidak melihatnya sendiri, tentu kedua orang itu tidak percaya. Bagaimana mungkin di dunia ini ada kembar yang sangat mirip?”

“Kau yang telah membunuhnya?” tanya Rangga langsung pada titik persoalan.

“Ya...!” jawab Dwi Gata Bayu pendek dan begitu tenangnya.

“Pendekar Belalang mengatakan, kau melihat pembunuh Empu Wasila. Apakah itu benar?” desak Pendekar Rajawali Sakti.

“Memang.”

“Benarkah Raja Pencopet yang membunuh Empu Wasila?” tanya Dewi Pemabuk.

“Tidak benar. Aku hanya mengalihkan perhatian untuk sementara saja,” jelas Dwi Gata Bayu.

“Lalu siapa yang membunuh Empu Wasila?” desis Rangga, tampak tidak sabar saja.

“Aku...!” sahut Dwi Gata Bayu sinis.

Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk menjadi marah. Namun, Pendekar Rajawali Sakti memberi isyarat agar mereka berdua dapat menahan diri.

“Kau membunuhnya karena ingin memiliki pedang itu?” pancing pemuda berbaju rompi putih tanpa tekanan. Namun suaranya dingin menggidikkan.

“Aku merampas pedangnya untuk melakukan sesuatu yang menjadi kewajibanku. Empu Wasila telah membunuh Sepasang Manjangan Merah. Sedangkan mereka adalah orangtua ku,” jelas Dwi Gata Bayu, tidak kalah dingin.

Raja Pencopet yang mendengar ucapan Dwi Gata Bayu langsung berkeringat dingin. Kejadian sepuluh tahun yang lalu melintas di dalam benaknya. Waktu itu, tiga orang lelaki kembar anak Sepasang Manjangan Merah memang masih kecil-kecil. Dewa Pengemislah yang membunuh salah satu anak-anak itu. Kemudian seseorang yang tidak dikenal telah melarikan salah satu di antaranya. Sedangkan yang bungsu dirawat Empu Wasila sampai dewasa. Dialah yang kini berjuluk Pendekar Belalang. Kini, segala-galanya menjadi jelas. Dwi Gata Bayu muncul melakukan balas dendam atas kematian orangtuanya.

“Jadi kau putranya Sepasang Manjangan Merah yang telah mati di Bukit Tusina itu?” tanya Raja Pencopet dengan suara bergetar.

“Benar! Dan kau adalah salah seorang dari pembunuh orangtua ku. Apakah kau sekarang hendak memungkirinya?” dengus Dwi Gata Bayu.

“Aku tidak pernah memungkiri perbuatanku. Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, orangtua mu berada di jalan sesat yang telah banyak melakukan pembunuhan dan perampokan. Mereka juga pernah membumihanguskan kota Kawunganten. Orang tua seperti itukah yang akan kau bela?” tukas Raja Pencopet.

“Huh! Apa pun tindakan mereka, tetap orangtua ku. Jadi, sekarang kau harus merelakan nyawamu!” ujar Dwi Gata Bayu.

“Jangan sembarangan bicara selama aku masih berdiri di sini.” sergah Rangga. “Kau boleh membunuhnya. Tapi kau harus menyerahkan Pedang Kilat Buana dulu!"

“Ha ha ha...! Jangan berani macam-macam padaku. Pedang Kilat Buana tidak akan kuserahkan pada siapa pun!” desis Dwi Gata Bayu.

Tiba-tiba di luar dugaan laki-laki bercaping ini mengibaskan tangannya ke arah Raja Pencopet. Baik Rangga maupun Dewi Pemabuk terlebih-lebih lagi Raja Pencopet, tidak pernah menyangka sebelumnya. Sehingga mereka berdua tidak sempat melindungi Malim Seta dari lesatan benda-benda halus berwarna putih keperakan. Dan Raja Pencopet sendiri tidak sempat menghindar. Sehingga, tanpa ampun...

Crap! Crap!

“Aaa...!” Disertai jerit kesakitan, Raja Pencopet langsung terkapar terhantam jarum-jarum halus yang beracun amat ganas. Sekujur tubuhnya berubah membiru. Dia berkelojotan sesaat, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak sempat lagi memberikan pertolongan apa-apa. Inilah yang membuatnya marah.

“Tindakanmu benar-benar nekat! Mampuslah kau!” desis Dewi Pemabuk. Secepat terbang, gadis itu menerjang Dwi Gata Bayu. Sedangkan bumbung tuak ini segera dituangkan ke mulutnya.

Gluk! Gluk! Gluk!

“Fruhhh...!” Begitu tuak di mulutnya penuh, Dewi Pemabuk langsung menyemburkannya. Semburan tuak keras itu bukan main-main, pergesekannya dengan udara sempat menimbulkan pijaran api! Melihat ini, tentu Dwi Gata Bayu secepatnya menjatuhkan diri berguling-gulingan ke tempat aman. Akibatnya, semburan tuak Dewi Pemabuk mengenai ranting-ranting kering di belakangnya tadi hingga langsung terbakar.

“Bagus kau mengelak. Tapi sekali ini tidak akan meleset lagi!” dengus Ararini sengit. Saat itu juga, Dewi Pemabuk melancarkan serangan kembali. Tuak keras berhamburan dari mulutnya. Mau tidak, mau, Dwi Gata Bayu terpaksa mempergunakan capingnya untuk menangkis.

Prat! Prat!

Akibatnya, caping itu terbakar. Sambil memaki-maki, Dwi Gata Bayu terpaksa melepaskan capingnya yang terbakar. Dwi Gata Bayu kemudian melenting ke udara, di saat serangan Dewi Pemabuk semakin menggila. Ketika tubuhnya meluncur ke bawah, dilepaskan satu pukulan berbahaya.

“Hiyaaa...!” teriak Dwi Gata Bayu seraya mengerahkan aji 'Pari Sedewo'nya. Ketika kedua tangan Dwi Gata Bayu mengibas ke depan, angin keras pun menderu.

Namun pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti yang melihat bahaya sedang mengancam Dewi Pemabuk langsung mendorongkan kedua tangannya.

“Heaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji ‘Guntur Geni’. Seketika meluruk seleret sinar merah yang sangat panas memotong serangan Dwi Gata Bayu di tengah jalan.

Blarrr...!

“Wuaaakh...!”

Terdengar suara teriakan kesakitan begitu benturan dua kekuatan terjadi. Dwi Gata Bayu maupun Pendekar Rajawali Sakti sama-sama terpelanting sejauh satu batang tombak. Rangga merasa jalan darahnya tidak teratur. Sedangkan nafasnya sesak bukan main. Sementara di pihak Dwi Gata Bayu juga mengalami akibat yang sama. Jelas tenaga dalam yang mereka miliki terpaut tidak begitu jauh.

Dewi Pemabuk terhindar dari bahaya yang mengancam jiwanya. Melihat lawannya dalam keadaan begitu rupa, kembali dia melakukan serangan balasan. Diam-diam, tenaga dalamnya dialirkan ke bagian tangannya.

“Hiyaaa...!” Di lain saat, gadis ini telah mendorongkan kedua tangannya ke arah Dwi Gata Bayu. Kejap itu juga tampak segundukan angin meluncur deras ke arah laki-laki yang telah kehilangan capingnya. Pemuda itu sempat terkesiap juga. Namun dengan cepat pula tangannya dikibaskan.

“Shaaa...!” teriak Dwi Gata Bayu seraya mengerahkan pukulan ‘Wedang Geni’.

Keanehan tiba-tiba saja terjadi. Dari tangan Dwi Gata Bayu langsung menderu angin laksana badai topan, disertai keluarnya air yang panas luar biasa. Serangan yang dilakukan Dewi Pemabuk tiba-tiba saja tertahan. Bahkan kemudian, membalik meluncur ke arah Dewi Pemabuk sendiri.

Gadis ini tentu saja tidak mau terhantam pukulannya sendiri. Terpaksa dia melompat menghindar ke samping kiri. Pukulannya yang membalik itu terus meluncur dan menghantam sasaran di belakangnya.

Batang pohon besar di belakang Dewi Pemabuk kontan hancur, roboh menimbulkan suara menggemuruh. Sementara gelombang angin topan disertai semburan air panas yang keluar dari tangan Dwi Gata Bayu terus mencecar Dewi Pemabuk.

Rangga jadi tidak tega juga membiarkan Dewi Pemabuk yang terancam bahaya. Seketika dia melompat ke depan. Lalu.... “Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!” teriak Rangga keras.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mendorongkan kedua tangannya ke arah pukulan Dwi Gata Bayu yang membawa akibat cukup aneh ini. Gelombang angin topan pun tampak bergulung-gulung. Kemudian....

Glar! Glaar!

Terjadi ledakan-ledakan keras, membuat masing-masing terpelanting roboh. Rangga merasa perutnya mual. Napasnya pun sesak. Dan ketika mencoba bangkit berdiri, dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah.

Keadaan Dwi Gata Bayu pun sebenarnya sama saja. Hanya saja, dia bangkit berdiri, lalu meraba sesuatu di balik bajunya. Tampaknya disadari betul kalau lawannya cukup tangguh. Walaupun dia belum tentu kalah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, namun membunuh musuh besarnya terlebih dulu jauh lebih penting! Maka tanpa pikir pajang lagi, dibantingnya tiga buah benda bulat ke tanah.

Bum! Buumm!

“Asap penghilang jejak!” teriak Dewi Pemabuk sambil menghindar.

Sebentar saja, keadaan berubah gelap gulita tertutup asap tebal yang didahului ledakan. Ketika asap tebal tadi hilang dari pandangan mata, Dwi Gata Bayu sudah tidak berada di situ lagi.

“Sungguh pengecut pemuda iblis itu!” desis Dewi Pemabuk geram.

Rangga yang telah dalam keadaan duduk bersila, perlahan membuka matanya kembali. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sambil memperhatikan jenazah Raja Pencopet yang terbujur kaku.

“Kurasa dia bukan pengecut!” sergah Rangga.

“Orang yang melarikan diri dari pertempuran adalah pengecut sejati!” dengus Dewi Pemabuk, tampak tidak puas.

“Yang menjadi tujuan utamanya adalah membunuh musuh-musuhnya yang telah membuatnya kehilangan orang tua. Kurasa, sekarang ini dia sedang mencari Umbul Perkasa.”

“Hm.... Daerah itu jauh berada di Pacitan sana,” jelas Dewi Pemabuk.

“Jangankan di Pacitan. Di ujung langit pun akan dikejarnya. Begitulah sifat orang kalap. Kita masih punya waktu untuk menghentikannya. Tetapi lebih baik kuburkan dulu mayat Raja Pencopet sahabatmu!” kata Pendekar Rajawali Sakti.

Dewi Pemabuk mendekati jenazah Raja Pencopet. Sedangkan Rangga segera membuat sebuah lubang kubur untuk Malim Seta dengan sebuah batang kayu. Untuk mempersingkat waktu Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan tenaga dalamnya.

“Sahabatku yang malang. Nasibmu benar-benar apes. Luput dari tiang gantungan, kau malah mati di tangan Dwi Gata Bayu. Akhir hidupmu benar-benar menyedihkan. Nasib apek bau jengkol. Huh...! Aku bersumpah akan terus mencari orang yang telah membunuhmu, walaupun dia bersembunyi di sarang babi sekalipun!” dengus Dewi Pemabuk.

“Jangan hanya mengumpat. Sekarang coba bawa kemari jenazah Raja Pencopet!” ujar Rangga.

“Secepat itu kau menggali kubur untuknya?” tanya Ararini seakan tidak percaya.

“Ya.... Dan kurasa, Malaikat kubur sudah tidak sabar ingin bertanya berapa ratus kali Raja Pencopet mengambil uang orang lain!”

“Kau ada-ada saja, Rangga. Kalau bukan kau yang bicara, sudah ku kemplang mulutmu!” desis Dewi Pemabuk.

Kemudian dibantu Pendekar Rajawali Sakti, Ararini segera memasukkan jenazah Raja Pencopet ke dalam lubang kubur. Dan dengan gerakan cepat, mereka menguruknya. Begitu selesai, Ararini mengambil bumbung tuaknya. Kemudian diteguknya beberapa kali.

“Untuk menghormati arwahmu, aku terpaksa meminum tuak ini,” kata gadis ini begitu bersungguh-sungguh. Gluk! Gluk! “Karena kepergianmu, rasa tuakku ini jadi tidak enak. Aku sekarang sudah tidak punya kawan mabuk lagi. Sayang, sungguh sayang...!”

“Jangan terlalu banyak minum, nanti mabuk!” ujar Rangga. Walaupun hatinya gundah, dia mencoba menghibur.

“Kalau aku minum banyak, yang mabuk pasti setan kuburan. Bukan aku. Hu hu hu...!” jawab Dewi Pemabuk, sambil menangis sesenggukan.

“Sudah, jangan bersedih. Mari kita cari Dwi Gata Bayu!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

***

Sore hari, Padepokan Umbul Perkasa yang terletak di daerah Pacitan tampak sepi. Beberapa waktu yang lalu, murid-murid padepokan ini memang sangat banyak jumlahnya. Hampir seratus orang. Namun setelah ketua padepokan mengutus murid-muridnya untuk mencari pembunuh Empu Wasila, kebanyakan dari mereka tidak pernah kembali lagi!

Penyelidikan terakhir yang dilakukan murid tertua yang bernama Basra dan Bawuk Bangkotan, menyatakan bahwa para murid yang ditugasi mencari pembunuh Empu Wasila ditemukan tewas secara mengenaskan di beberapa tempat. Kenyataan ini sangat memukul hati Umbul Perkasa. Walau bagaimanapun, selama ini murid-muridnya sangat disayangi.

Kini jumlah mereka hanya berjumlah tidak kurang dari dua puluh lima orang saja. Hari-hari belakangan, Umbul Perkasa banyak mengurung diri di dalam kamarnya. Apa yang terjadi pada Empu Wasila yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri, membuatnya putus asa. Diam-diam ia bersumpah, jika ia dapat menemukan pembunuh Empu Wasila sekaligus merupakan pencuri Pedang Kilat Buana. Maka ia akan mencincang orang itu.

Sementara itu di halaman depan, murid-murid padepokan sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Pada saat-saat sibuk begitu, tampak seorang pemuda berbaju putih berbadan tegap memasuki halaman Padepokan. Basra yang kebetulan berada di situ tampak heran melihat kemunculan pemuda itu.

“Ada keperluan apa sore-sore begini, Pendekar Belalang?” sapa Basra ramah.

Sebagai jawaban, pemuda berbaju putih ini mengibaskan tangannya. Seketika, meluruk sinar-sinar halus berwarna putih keperakan ke arah Basra. Basra cepat menghindar dengan membuang diri ke samping. Kalau tidak tentu pemuda ini telah terkapar terhantam senjata rahasia yang berupa jarum-jarum beracun. Dengan terkejut Basra bangkit berdiri. Dipandanginya pemuda itu dengan teliti. Sebelum sempat mengajukan pertanyaan apa-apa...

“Aku bukan Pendekar Belalang!” kata laki-laki berbaju putih ini, seperti tahu apa yang hendak ditanyakan Basra.

“Apa? Kau bukan Tri Gata Bayu murid almarhum Empu Wasila?” desis Basra tegang.

“Aku Dwi Gata Bayu dari Bukit Setan. Aku murid si Mata Iblis!” tegas pemuda yang tak lain memang Dwi Gata Bayu.

“Mengapa kau menyerangku?” tanya Basra

“Karena kalian adalah musuh-musuhku yang harus kubunuh demi ketenangan arwah kedua orangtua ku!” dengus Dwi Gata Bayu.

Beberapa orang murid lain yang kebetulan berada di situ segera mengurung Dwi Gata Bayu.

“Kalian cepat beritahu Umbul Perkasa. Aku datang untuk meminta nyawanya!”

Ucapan yang kurang sopan untuk orang tua yang dihormati seperti Umbul Perkasa, tentu membuat Basra dan yang lain menjadi sangat marah. “Pemuda kurang ajar. Tidak tahu peradatan! Cepat pergi dari sini, sebelum habis kesabaran kami!” bentak salah seorang murid lain sengit.

“Kalian adalah orang-orang tolol yang tidak tahu persoalan! Menyingkir dari hadapanku!” dengus Dwi Gata Bayu.

Mana sudi murid-murid Padepokan Umbul Perkasa menuruti perintah itu? Apalagi mereka berada di kandang sendiri. Sebagai jawabannya murid-murid Padepokan Umbul Perkasa segera mencabut senjata. Dan seketika lima orang menerjang ke depan sambil mengibaskan tombak pendek.

Dwi Gata Bayu menggeram. Secepat kilat dilemparkannya senjata rahasia berupa jarum-jarum halus ke arah kelima penyerangnya. Dalam keadaan tubuh mereka melayang ke depan, tentu orang-orang ini tidak sempat menarik diri lagi. Ketika melihat jarum-jarum beracun meluncur deras, murid-murid Padepokan Umbul Perkasa ini hanya dapat mengibaskan tombaknya melakukan tangkisan. Namun apa yang mereka lakukan sia-sia.

Crap! Crap!

“Aaa...!” Murid-murid Padepokan Umbul Perkasa kontan menjerit sekeras-kerasnya.

Tangan mereka memegangi pangkal tenggorokan yang tertembus jarum-jarum racun. Sekejap saja mereka jatuh bergelimpangan. Permukaan kulit mereka langsung berubah membiru. Mata mereka melotot, mulut berbusa dengan lidah terjulur mengerikan. Jelas sekali jarum-jarum yang dilemparkan Dwi Gata Bayu mengandung racun yang sangat keji. Mereka pun langsung menemui ajalnya seketika itu juga.

***
DELAPAN
Melihat kejadian ini tentu murid-murid yang lain tidak tinggal diam. Bahkan yang berada di bagian belakang padepokan setelah mendengar teriakan sekarat kawan mereka tadi, sekarang telah mengurung Dwi Gata Bayu.

“Bunuh dia!” teriak seorang pemuda lain yang berbadan agak bungkuk. Dia tidak lain Bawuk Bangkotan, murid tertua Padepokan Umbul Perkasa.

Mendengar aba-aba dari saudara tertuanya, murid-murid lainnya dengan pedang terhunus langsung melakukan serangan kembali. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi, Dwi Gata Bayu melemparkan senjata rahasianya.

Set! Set! Set!

Jarum-jarum itu langsung melesat bagaikan anak panah dari busurnya. Mereka yang sempat melihat serangan senjata-senjata rahasia ini segera menangkis dengan pedang. Hanya beberapa buah senjata rahasia saja yang berhasil ditangkis. Sedangkan serangan berikutnya, tidak mampu dihindari lagi.

Crap! Crap!

“Huaagkh...!” Lagi-lagi jeritan mengerikan kembali terdengar. Beberapa sosok tubuh tampak roboh dengan dada tertancap senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang mengandung racun mematikan. Rata-rata mereka yang terkena senjata milik Dwi Gata Bayu tidak dapat bertahan lama. Langsung mati dengan sekujur tubuh membiru dan mulut berbusa.

“Manusia iblis!” bentak Bawuk Bangkotan. Selanjutnya laki-laki agak bungkuk ini segera memberi isyarat pada Basra untuk mengurung rapat.

Murid-murid lainnya tampaknya semakin geram saja melihat keganasan Dwi Gata Bayu. Sehingga kejap berikutnya berbagai senjata pun menghujani pemuda berbaju putih itu. Namun Dwi Gata Bayu hanya tertawa terbahak melihat serangan-serangan itu. Dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara. Begitu menjejak dengan tumpuan kepala murid-murid Padepokan Umbul Perkasa, dia melakukan serangan dari atas.

“Hiyaaa...!”

Wuut! Wuuut!

Tebasan ujung tombak dua orang murid padepokan berhasil dielakkan Dwi Gata Bayu. Kemudian laki-laki berbaju putih ini melakukan serangan balasan....

Buk! Buk!

“Aaakh!” Beberapa murid jatuh terpelanting dengan tulang dada remuk. Mereka bahkan terinjak-injak kawan sendiri yang sibuk mencecar Dwi Gata Bayu.

“Sheaaa...!” Basra akhirnya ikut pula menyerang. Dengan turunnya Basra dan Bawuk Bangkotan, maka pertempuran menjadi semakin seru dan membahayakan bagi Dwi Gata Bayu.

Pemuda berbaju putih ini segera mengerahkan jurus Langkah-Langkah Setan. Dengan gesitnya, Dwi Gata Bayu menghindari setiap serangan. Sementara Basra dan Bawuk Bangkotan segera mengerahkan jurus-jurus ampuh milik Padepokan Umbul Perkasa.

Pertempuran berlangsung semakin seru. Basra menerjang sambil menusukkan tombak pendek di tangannya. Sedangkan dari arah belakang, Bawuk Bangkotan melepaskan tendangan dahsyat ke arah Dwi Gata Bayu. Serangan ujung tombak yang terarah ke bagian perut berhasil dihindari Dwi Gata Bayu dengan menggeser tubuhnya sedikit ke samping. Namun, tendangan Bawuk Bangkotan telak menghantam bagian pinggangnya.

“Aaagkh...!” Dwi Gata Bayu tersungkur ke depan.

Melihat kenyataan ini para pengeroyok semakin bersemangat. “Bunuh! Jangan beri kesempatan padanya untuk meloloskan diri!” teriak Basra sambil melompat ke depan.

Tombak di tangannya dikibaskan ke arah sasaran. Dwi Gata Bayu terus berguling-gulingan. Namun, tidak urung tombak itu masih sempat menggores bahunya.

“Aaakh...!” Dwi Gata Bayu menggeram kesakitan. Di luar dugaan, dia mendadak melenting ke udara. Begitu meluruk tangannya menghantam ke kiri dan kanan.

Des! Des! Des!

“Aukh...!” Beberapa orang murid Padepokan Umbul Perkasa yang berada paling dekat berpelantingan ke sembarang arah. Mulut mereka menyemburkan darah. Bahkan dua orang ada yang mengalami patah tulang.

Namun semua ini tidak mengurangi semangat Basra dan Bawuk Bangkotan untuk meningkatkan serangan. Dua mata tombak membelah udara menghantam ke bagian mata, dada, serta iga Dwi Gata Bayu. Sedangkan dari samping kiri, Bawuk Bangkotan menusukkan pedangnya. Kedua serangan ini cukup membahayakan. Dwi Gata Bayu tidak mungkin menghindari lagi, mengingat kedua jenis senjata itu semakin dekat jaraknya. Namun pada saat-saat yang sangat menegangkan diambilnya tindakan yang begitu tepat.

Trang! Trang!

“Heh...?!” Baik Basra maupun Bawuk Bangkotan sama-sama terkejut. Mereka terdorong mundur ke belakang. Sementara sinar putih terus berkelebat. Kedua murid Padepokan Umbul Perkasa itu bermaksud melakukan serangan kembali. Namun, mereka terkejut ketika melihat tombak dan pedang di tangan masing-masing telah buntung menjadi beberapa bagian.

“Mampuslah kalian! Hiyaaa...!” teriak Dwi Gata Bayu.

Sebelum Basra dan Bawuk Bangkotan menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba meluruk ke depan. Pedang Kilat Buana di tangannya menghantam mereka sekaligus.

Cras! Cras! Cras!

“Aaa...!” Terdengar jeritan susul-menyusul. Basra dan Bawuk Bangkotan tampak mendekap perutnya. Yang isinya terburai berserabutan disertai mengucurnya darah yang tidak dapat terbendung lagi. Mereka jatuh terduduk dan terkapar di atas tanah dengan luka-luka sangat mengerikan. Dan sebelum Dwi Gata Bayu menebar petaka kembali....

“Berhenti...!” Sebuah suara langsung menghentikan tindakan Dwi Gata Bayu.

Laki-laki berbaju putih ini langsung memandang ke arah datangnya suara.

Di depan pintu bangunan, berdiri tegak ketua padepokan yang bernama Umbul Perkasa. Dia yakin laki-laki itu bukan Pendekar Belalang. Memang wajah Tri Gata Bayu dengan pemuda berbaju putih ini memiliki banyak kesamaan. Hanya saja, tatapan mata pemuda di depannya tampak menyorot penuh kebencian. Umbul Perkasa berjalan menghampiri Dwi Gata Bayu. Tampaknya, dia tidak mau bersikap gegabah mengingat pemuda ini memegang Pedang Kilat Buana yang telah menelan banyak korban jiwa.

“Benarkah kau putra Sepasang Manjangan Merah?” tanya Umbul Perkasa, seakan ingin meyakinkan.

“Ya.... Aku anak kedua dari tiga anak kembar Sepasang Manjangan Merah. Ingat, kau telah ikut membunuh orangtua ku! Jadi tidak ada ampun lagi bagimu!” dengus Dwi Gata Bayu.

Kini Umbul Perkasa makin yakin dengan apa yang dilihatnya. Jadi, benar kalau pemuda di depannya adalah kakak dari Tri Gata Bayu, yang berjuluk Pendekar Belalang. “Antara kau dengan Tri Gata Bayu memang memiliki perbedaan menyolok. Namun Tri Gata Bayu dapat memaklumi kesalahan orangtuanya. Sehingga di hatinya tidak ada dendam seperti di hatimu. Mungkin karena dia dididik manusia baik-baik seperti Empu Wasila itu!” keluh Umbul Perkasa, seakan ditujukan untuk diri sendiri.

“Bangsat! Jangan mengguruiku! Tri Gata Bayu adalah manusia lemah. Dia tidak tahu kepada siapa harus berbakti. Karena Empu Wasila telah meracuni hatinya dengan nasihat-nasihat kosong!”

“Kau keliru! Justru kaulah yang semakin tersesat. Tetapi semua itu adalah urusanmu sendiri. Sekarang, kau telah bertemu denganku. Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya Umbul Perkasa penuh tantangan.

“Di antara pembunuh orangtua ku, hanya tinggal kau saja. Mereka semuanya telah berangkat ke liar kubur. Kau musuh terakhirku yang akan kukirim ke liang kubur!” tegas Dwi Gata Bayu.

“Hm, begitu? Tanpa Pedang Kilat Buana, kau bukanlah apa-apa. Walaupun aku tahu kau berguru pada si Mata Iblis di Bukit Setan. Sekarang, tunggu apa lagi? Kalau kau mau membunuhku, silakan!” tantang Umbul Perkasa begitu tenang.

Dwi Gata Bayu adalah pemuda berangasan yang dididik seorang tokoh sesat. Maka mendapat tantangan seperti itu, hatinya menjadi panas sekali. “Aku akan membuat kematianmu lebih sakit dibandingkan yang lain-lainnya! Heaaa...!”

Pemuda berbaju putih itu melompat mundur ke belakang. Secara diam-diam tenaga dalamnya disalurkan ke bagian telapak tangannya. Setelah itu....

“Hiyaaa...!” teriak Dwi Gata Bayu seraya mengerahkan pukulan 'Penggetar Raga'. Sambil melompat ke depan, Dwi Gata Bayu mendorongkan kedua tangannya ke arah lawan. Sekejap kemudian tampak seleret sinar meluruk ke arah Umbul Perkasa.

Namun, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun ini telah melipat kedua tangannya ke depan dada. Mulutnya tampak komat-kamit membaca mantra. Dan tiba-tiba kabut putih telah menyelimuti tubuhnya. Dwi Gata Bayu melihat tubuh Umbul Perkasa memancarkan cahaya putih laksana perak. Saat pukulannya menghantam, sama sekali Umbul Perkasa tidak berusaha menangkis atau menghindar. Maka....

“Heh...?!” Dwi Gata Bayu terkejut ketika pukulannya menghantam tubuh Umbul Perkasa. Namun anehnya, jangankan tewas atau tergelimpang roboh. Sedikit pun tubuh Umbul Perkasa tidak bergeming. Sebaliknya, justru pemuda itu sendiri jatuh terguling-guling terkena sambaran angin pukulannya sendiri.

Sambil mengurut-urut dadanya yang terasa sesak luar biasa, Dwi Gata Bayu bangkit berdiri. Dengan penasaran pukulannya hendak dilepas kembali. Sekali ini tenaga dalamnya dilipatgandakan. Sehingga kedua tangannya yang berwarna hitam tampak bergetar hebat.

“Penggetar Raga! Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras, Dwi Gata Bayu kembali mendorongkan kedua tangannya. Segulung angin dingin langsung menerpa Umbul Perkasa, sampai akhirnya pukulan itu benar-benar menghajarnya.

Tubuh Umbul Perkasa yang memancarkan cahaya putih itu hanya bergetar saja. Sebaliknya sebagian pukulan yang sempat membalik, membuat Dwi Gata Bayu terjengkang. Sudut-sudut bibirnya meneteskan darah.

Umbul Perkasa saat itu mengerahkan ajian ‘Watu Karang Sejagat’, sebuah ilmu langka yang jarang dimiliki tokoh-tokoh rimba persilatan.

Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pukulan yang dilepaskan, Dwi Gata Bayu menjadi penasaran. Kemudian langkahnya digeser ke samping. Pemuda berbaju putih ini mencabut Pedang Kilat Buana dari warangkanya. Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke bagian hulu pedang berbentuk kepala ular sendok. Maka memancarlah cahaya putih dari mata pedang.

“Umbul Perkasa! Kau boleh pergunakan kekuatan iblis sekalipun untuk melindungi dirimu. Tapi, kau tidak akan lolos dari pedang ini! Heaaa...!” Dwi Gata Bayu tiba-tiba meluncur sambil mengibaskan pedangnya ke dada Umbul Perkasa.

Melihat serangan senjata ini, rupanya Umbul Perkasa merasa khawatir juga. Seketika dia melompat ke samping. Dengan begitu buyarlah kekuatan yang melindungi dirinya. Segera dicabutnya tombak pendek berwarna kuning keemasan. Dan dengan senjata pusakanya itu ditangkisnya serangan Pedang Kilat Buana!

“Ciaaat...!”

“Heh...?!” Umbul Perkasa terkejut melihat tombak pusakanya terbabat putus menjadi beberapa bagian. Laki-laki setengah baya ini terpaksa melompat mundur sambil mengerahkan jurus-jurus andalan untuk menghindari tusukan pedang. Tetapi celakanya pedang yang memancarkan sinar putih itu tampak bergetar dan terus bergerak tanpa terkendali.

Umbul Perkasa berusaha berkelit dengan memutar tubuhnya. Namun, pedang yang seakan dikendalikan kekuatan setan itu lebih cepat menghujam punggungnya. Umbul Perkasa menggeliat disertai jerit kesakitan. Pedang Kilat Buana telah menembus punggung hingga ke perutnya. Anehnya, pedang itu sekarang menyedot habis darah Umbul Perkasa! Sehingga, ketua padepokan ini tewas dengan tubuh kering kehabisan darah!

Secepat Dwi Gata Bayu mengeluarkannya, maka secepat itu pula Pedang Kilat Buana dimasukkan ke dalam warangka. Kemudian pemuda berbaju putih itu tertawa-tawa seperti setan. Beberapa saat setelah gema suara tawanya lenyap, sayup-sayup terdengar suara seseorang dari kejauhan.

“Dikejar-kejar selalu lolos, tidak tahunya di sini melakukan penjagalan! Dasar sontoloyo berhati iblis"

Dwi Gata Bayu terkejut ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara terlebih-lebih setelah melihat kehadiran pemuda berbaju rompi putih dan gadis memakai baju merah.

“Sial dangkalan! Rupanya kalian tidak bosan-bosannya mencampuri urusan orang lain! Kalian benar-benar ingin mampus!” dengus pemuda berbaju putih itu geram.

“Maut sudah kau tebar di mana-mana! Selama Pedang Kilat Buana belum diserahkan, maka selama itu pula kami terus memburumu!” sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Dia ditemani Dewi Pemabuk.

“Rasakanlah ini! Hiyaaa...!” teriak Dwi Gata Bayu. Pemuda berbaju putih itu tiba-tiba mengibaskan tangannya ke arah Rangga dan Dewi Pemabuk, melepaskan jarum-jarum beracun.

Namun serangan senjata rahasia itu sudah dapat diduga kedua orang ini. Rangga cepat menghindar dengan melompat ke samping. Sedangkan Dewi Pemabuk menyemburkan tuaknya ke arah jarum-jarum beracun itu.

“Fruhhh...!”

Tes! Tes!

Jarum-jarum beracun itu langsung rontok ke tanah. Apa yang terjadi, membuat Dwi Gata Bayu penasaran. Sehingga segera dilakukannya serangan gencar dengan mengandalkan jurus ‘Langkah-Langkah Setan’ yang sangat berbahaya! Karena selain tangannya mencecar ke bagian yang mematikan, kedua kakinya secara silih berganti mencecar kaki Rangga. Demikian cepatnya serangan itu membuat Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari. Namun tiba-tiba Dwi Gata Bayu berputar ke belakang sambil melakukan tendangan beruntun. Akibatnya....

“Hegkh...!” Rangga terguling-guling. Belum sempat bangkit berdiri, sebuah tendangan kembali menghantam dadanya. “Huagkh...!” Seperti hendak meledak, dada Pendekar Rajawali Sakti seperti bergemuruh. Dari hidung dan mulutnya meneteskan darah. Pada saat Dwi Gata Bayu hendak menginjak kepalanya...

“Fruhhh...!”

Pada kesempatan itulah semburan cairan tuak Dewi Pemabuk meluncur ke bagian paha Dwi Gata Bayu. Pemuda berbaju putih ini terpaksa membatalkan serangan. Dia cepat menyelamatkan pahanya dari cairan tuak. Sambil menggeram marah, tubuhnya berbalik menyerang Dewi Pemabuk dengan jurus ‘Langkah-Langkah Setan’ pada tingkatan yang lebih tinggi.

Dewi Pemabuk terus berusaha menghindar sambil sesekali melakukan serangan balasan. Namun semakin lama gerakan jurus ‘Langkah-Langkah Setan’ semakin rumit dan sulit dilayani Dewi Pemabuk. Maka keadaan gadis itu mulai terdesak. Dewi Pemabuk berusaha melayani dengan sambaran tuaknya. Dan anehnya, selalu saja Dwi Gata Bayu dapat menghindari. Sampai akhirnya, pemuda itu menyusup ke dalam perlahan. Tangannya cepat meluncur menghantam perut.

“Wuaagkh...!” Ararini jatuh terbanting dengan mulut mengucurkan darah. Tampak jelas kalau gadis itu menderita luka dalam yang tidak ringan. Melihat kejadian ini, Dwi Gata Bayu bermaksud mengakhiri riwayat Dewi Pemabuk. Tubuhnya tiba-tiba melesat. Pada saat-saat yang sangat gawat, tiba-tiba dari samping kanan meluruk angin deras menebarkan hawa panas luar biasa.

“Heegkh...!” Dwi Gata Bayu kontan terguling roboh.

Kiranya Pendekar Rajawali Sakti telah melepaskan aji ‘Guntur Geni’ ke arahnya. Sambil menggeram marah dan tanpa menghiraukan luka dalam yang dideritanya, Dwi Gata Bayu segera bangkit. Dwi Gata Bayu memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh kebencian. Sekejap saja tangannya telah dikibaskan ke depan.

“Hiyaaa...!” Sambil melompat ke depan sekali lagi, Dwi Gata Bayu mendorongkan tangannya ke arah Rangga, mengerahkan pukulan ‘Penggetar Raga’. Saat itu juga, seleret sinar hitam meluruk mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

Namun sebelum pukulan itu berhasil mencapai sasaran, Pendekar Rajawali Sakti yang juga telah terluka dalam segera melenting ke udara. Sehingga pukulan itu hanya menyambar angin kosong. Dwi Gata Bayu yang telah kehilangan kesabarannya, segera meloloskan Pedang Kilat Buana untuk mengakhiri perlawanan Rangga.

Segera dikerahkannya tenaga dalam ke bagian hulu pedang. Seketika senjata maut itu bergetar hebat, memancarkan sinar putih. Dalam keadaan demikian, tentu kekuatan iblis yang mengendalikan pedang ini.

Sementara Dewi Pemabuk sadar betul dengan bahaya yang mengancam. “Awas, Rangga! Pedang itu bergerak atas kekuatan iblis!” teriak Dewi Pemabuk.

Mendengar ucapan Dewi Pemabuk, Pendekar Rajawali Sakti yang telah mendarat tidak punya pilihan lain. Segera seluruh tenaga dalamnya disalurkan ke bagian telapak tangan. Dibuatnya beberapa gerakan tangan dengan tubuh miring ke kiri dan ke kanan dengan kuda-kuda kokoh. Begitu tubuhnya telah tegap kembali, kedua telapak tangannya telah diselubungi sinar biru sebesar kepala bayi. Lalu....

“Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Hiyaaa...!” Sambil melompat ke depan, Rangga mendorongkan kedua tangan ke arah Dwi Gata Bayu yang memegang pedang. Seketika sinar biru berkilau segera menghantam Dwi Gata Bayu.

“Aaa...!” Ledakan keras terdengar, disertai jeritan Dwi Gata Bayu. Tubuh pemuda itu hancur berantakan, menjadi serpihan daging kecil-kecil.

Pedangnya terlempar, dan jatuh persis di dekat kaki seorang pemuda yang baru saja muncul di tempat itu. Dia tidak lain Pendekar Belalang! Baik Rangga maupun Dewi Pemabuk terkejut melihat kemunculan murid Empu Wasila yang tidak lain adik kandung Dwi Gata Bayu ini. Mereka menyangka, urusan tentu semakin panjang. Tri Gata Bayu alias Pendekar Belalang, memungut Pedang Kilat Buana. Air matanya berlinang melihat kematian kakak kandungnya. Tapi, sama sekali matanya tidak menyimpan dendam.

“Aku telah berusaha mencegah keinginannya. Ternyata, aku tidak mampu melakukannya!” desah Tri Gata Bayu sedih.

“Maafkan aku, Pendekar Belalang! Aku sangat terpaksa melakukannya. Semoga kau mengerti!” ucap Rangga pelan.

“Aku mengerti, bagaimana Pedang Kilat Buana ini. Dia tidak dapat dihentikan bila kekuatan iblis telah mengendalikannya, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak bisa menyalahkanmu.”

“Apakah kau tidak mendendam pada Rangga?” tanya Dewi Pemabuk.

“Jika menurutkan kata hati, iblis akan bersarang di dadaku! Apa yang dapat kulakukan hanyalah memasrahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa! Karena, jiawaku ada dalam genggamannya!” desah Pendekar Belalang.

Rangga dan Dewi Pemabuk merasa terharu. Mereka segera membantu, ketika pemuda rendah hati itu mulai memunguti serpihan daging kakak kandungnya yang berserakan bercampur debu.

“Aku akan menguburkan Dwi Gata Bayu di Bukit Buana. Dan pedang ini kukuburkan bersamanya,” kata Tri Gata Bayu.

“Aku ikut denganmu!” ujar Dewi Pemabuk.

“Aku akan pergi ke suatu tempat. Maaf, aku tidak ikut,” ucap Rangga menahan sakit di dadanya.

“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak akan mendendam padamu!” ujar Pendekar Belalang.

Sungguh mulia kata-kata seperti itu. Dan tanpa diketahui yang lain, darah merembes keluar dari sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti. Menyadari hal ini, Rangga segera berkelebat meninggalkan Padepokan Umbul Perkasa. Sedangkan Dewi Pemabuk dan Pendekar Belalang hanya mampu melihat kelebatan bayangannya.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar