Pendekar Rajawali Sakti eps 172 : Misteri Tabib Siluman

SATU
Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berjalan mondar-mandir di beranda rumahnya. Sepertinya, hatinya sedang gelisah. Terutama ketika mendengar suara rintihan dari dalam rumah. Ingin rasanya dia pergi jauh agar rintihan itu tidak terdengar. Tapi sebelum kakinya melangkah, seorang perempuan berusia empat puluh lima tahun telah berada di belakangnya.

“Apa yang bisa kita lakukan, Kakang Jaladra? Apakah kau akan membiarkan Sentanu mati begitu saja?” tegur perempuan itu, membuat laki-laki setengah baya ini menarik napas dalam-dalam.

Nada bicara perempuan itu terdengar sinis. Sementara laki-laki setengah baya yang bernama Jaladra kembali menarik napas seraya beringsut ke tiang teras. Dan dia bersandar di situ.

“Aku tidak tahu...,” desah laki-laki setengah baya berpakaian sutera putih dengan rantai emas menjulur keluar dari sakunya.

Ki Jaladra yang di Desa Karang Welas ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatannya hanya bisa pasrah. Sementara perempuan di belakangnya yang tak lain istrinya, terus mendesak agar dia berbuat sesuatu.

“Apakah Kakang sama sekali tidak mau berusaha?” desak istri Ki Jaladra dengan raut wajahnya kelihatan memelas.

“Usaha apa lagi yang mesti kulakukan, Sakaweni?!” Ki Jaladra malah balik bertanya.

“Bawa anak kita ke tabib itu....”

Seketika, laki-laki itu berbalik. Ditatapnya tajam-tajam penuh amarah pada istrinya yang bernama Sakaweni.

“Jangan kau sebut-sebut lagi nama itu! Dia bukan tabib, tapi pembawa malapetaka!” desis laki-laki kepala desa ini geram.

“Jadi kau akan membiarkan anak kita mati begitu saja?”

“Akan kudatangi tabib mana pun, asal Sentanu bisa sembuh. Tapi, tidak ke tabib itu!”

Nyi Sakaweni menghela napas berat. Dipandanginya Ki Jaladra dengan tatapan lesu. Entah kenapa, suaminya pun termakan cerita-cerita orang. Tabib wanita yang berdiam di Desa Galuh telah banyak menyembuhkan orang sakit yang datang ke tempatnya. Bahkan boleh dikata, tabib itu amat istimewa. Sebab telah tersiar kabar sampai ke mana-mana bahwa orang sakit yang datang ke tempat itu pasti sembuh!

“Coba lihat anak Ki Rebung! Setelah dari sana, pulangnya seperti orang linglung. Memang penyakitnya sembuh. Tapi tidak berapa lama dia kabur tanpa berita. Apa kau mau anak kita seperti dia?” lanjut laki-laki itu.

“Si Kajar sakit karena-ditinggal mati kekasihnya. Kata orang-orang, dia malah bunuh diri ke dalam telaga yang berada di pinggiran Hutan Belitung....”

“Apa pun alasannya, toh Kajar bukan malah sembuh sepulang dari tabib itu!”

“Masih banyak contoh lain. Pernah dengar anak Desa Margahayu? Katanya anak itu sembuh setelah berobat pada tabib itu. Padahal, penyakitnya parah. Bahkan banyak tabib lain yang mengatakan nyawanya tak lama lagi,” usik Nyi Sakaweni.

Ki Jaladra terdiam. Lalu kakinya melangkah menghampiri salah satu bangku berukir yang ada di beranda ini. Seketika pantatnya dihenyakkan di atas bangku ini. Istrinya mengikuti, lalu duduk di bangku yang satu lagi. Sebuah meja menjadi pembatas mereka berdua.

“Ayo tho, Kang! Kenapa percaya pada cerita yang buruk? Segala sesuatu ada baik dan buruknya. Kalau tidak mencoba, lalu bagaimana kita tahu? Ini harapan terakhir buat anak kita. Kalau didiamkan terus dia bisa mati dalam keadaan menderita,” bujuk Nyi Sakaweni lagi.

“Lalu kalau setelah berobat dan ternyata Sentanu aneh-aneh seperti si Kajar, apa yang bisa kita lakukan?” tanya laki-laki ini.

“Sentanu tidak sama dengan Kajar. Dia tidak ditinggal mati kekasihnya. Bahkan kuperhatikan, Sentanu belum punya kekasih. Dia tidak akan patah hati!” tandas Nyi Sakaweni, berusaha meyakinkan suaminya.

Ki Jaladra sendiri terdiam, memikirkan kata-kata istrinya. Atau mungkin juga tengah berpikir kalau penyakit anaknya semakin parah bila tidak segera diobati. Dan selama ini, tidak seorang tabib pun yang bisa menyembuhkannya. Padahal, tabib yang dikatakan istrinya tadi terkenal ampuh!

“Ayo, Kang! Apa lagi yang perlu dipikirkan?” desah Nyi Sakaweni.

“Kalau Sentanu makin parah?”

“Apa itu berarti kita harus pasrah dengan penyakitnya tanpa usaha? Padahal, ada jalan untuk menyembuhkannya. Harapan anak kita untuk sembuh, tinggal tabib itu!”

Kepala Desa Karang Welas itu kembali diam. Tapi kali ini matanya memandang istrinya dengan sinar sayu. Raut wajahnya berbeda dengan tadi. Lebih lunak, dan berkesan pasrah.

“Bagaimana, Kang?”

“Terserahmulah....”

Nyi Sakaweni langsung berubah berseri-seri. Buru-buru dia masuk ke dalam untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara Ki Jaladra masih termangu. Dan pikirannya tetap bingung, meski telah menyetujui saran istrinya.

***

Penduduk Desa Galuh sendiri tidak tahu pasti, siapa sesungguhnya nama tabib yang saat ini cukup terkenal di desa mereka. Memang diakui, tabib itu terkenal mujarab. Sehingga ada saja yang menjulukinya Tabib Sakti. Bahkan terkadang tabib itu mampu menyembuhkan penyakit-penyakit atau segala kesulitan tamunya yang tidak masuk akal, seperti menyembuhkan orang buta, memperindah wajah sehingga berbeda dengan aslinya, sampai menemukan orang yang telah puluhan tahun menghilang dan tak tentu rimbanya.

Konon menurut orang yang pernah berobat, tabib yang terkenal di Desa Galuh itu adalah seorang wanita muda berwajah cantik. Tak heran kalau hal itu pun semakin membuat daya tarik bagi tamu yang akan berobat. Mereka harus menunggu selama beberapa hari, karena jumlah yang datang setiap harinya selalu berjubel. Tapi usaha itu tidak sia-sia. Sebab setelah menginap dua malam di tempat terbuka, mereka pasti mendapat giliran.

Dan setelah menunggu beberapa hari, akhirnya Ki Jaladra dan istrinya mendapat giliran untuk membawa Sentanu ke hadapan tabib cantik ini. Begitu cantiknya, sehingga laki-laki setengah baya itu hanya termangu memandangi tabib ini.

“Siapa namanya...?” tegur tabib cantik itu.

Ki Jaladra masih terpaku. Telinganya seperti tertutup oleh perasaan menggebu-gebu melihat kecantikan tabib di depannya.

“Kang!” panggil Nyi Sakaweni sambil mencubit pelan pinggang suaminya.

“Eh, iya!” sahut Ki Jaladra tergagap. Seketika wajahnya merah menahan malu, ketika menoleh ke arah istrinya.

Sementara tabib cantik itu tersenyum memperlihatkan deretan gigi-giginya yang rata dan putih bagai biji ketimun. Bibirnya merah merekah. Dan tatapan matanya bersinar cerah.

“Sentanu...,” sahut Nyi Sakaweni seraya memandang Ki Jaladra dengan muka cemberut.

“Oh, ya. Sebelumnya perkenalkan, namaku Dewi Saraswati...,” kata dukun cantik ini, sambil memandang Ki Jaladra dan Nyi Sakaweni bergantian. “Mudah-mudahan anak kalian bisa cepat sembuh....”

Disertai senyum ramah, dukun cantik yang mengaku bernama Dewi Saraswati ini memandang pemuda berwajah sayu yang duduk bersila di depannya. Pemuda bernama Sentanu hanya terduduk loyo, tanpa gairah sedikit pun yang tersirat dari sinar matanya. Nyai Dewi Saraswati lantas memegang kepala Sentanu. Lalu diperiksanya urat nadi pada pergelangan tangan pemuda itu. Kemudian kepalanya mengangguk kecil disertai senyum.

“Parah juga penyakitnya...,” gumam tabib cantik ini.

“Apakah masih bisa disembuhkan, Nyai?” tanya Nyi Sakaweni memandang penuh harap.

“Jangan khawatir.... Putra kalian masih bisa disembuhkan.”

“Oh, syukurlah....”

Nyai Dewi Saraswati kemudian menuangkan isi kendi yang ada di sampingnya ke dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Lalu disodorkannya pada pemuda berwajah pucat dan kuyu di hadapannya.

“Minumlah...!” kata Nyai Dewi Saraswati.

“Minum, Sentanu! Cepat minum...!” ujar Nyi Sakaweni.

Pemuda bertubuh kurus itu mencicipinya sedikit. Namun, bibirnya tidak lepas dari cangkir. Dan pelan-pelan ditenggaknya air itu sampai tandas.

“Tidak diberi obat. Nyai?” tanya Ki Jaladra setelah kegugupannya mulai reda.

“Sudah...,” sahut dukun cantik ini.

“Cuma air putih saja?” tanya Ki Jaladra, heran.

“Apakah kau tidak percaya pada air putih itu?” Nyai Dewi Saraswati balik bertanya dengan tatapan tajam.

“Eh, tentu saja kami percaya!” sahut Ki Jaladra cepat, seraya berusaha mengusir ketidakenakannya.

“Dan, apakah kalian percaya padaku?” sindir Nyai Dewi Saraswati.

“Kami percaya, Nyai...!”

Hampir berbarengan sepasang suami istri itu menyahut. Mereka tersenyum dan mengangguk cepat.

“Kalian memang harus yakin. Apa pun yang kuberikan pada putramu, akan menyembuhkannya dari penyakit yang diderita,” tegas dukun sakti ini.

“Eh, Iya, Nyai...!” sambut suami istri itu kembali mengangguk.

“Cukup begitu dulu. Mudah-mudahan Sentanu akan sembuh.”

“Eh, sudah, Nyai?” tanya wanita istri Kepala Desa Karang Welas ini.

“Ya.”

“Kalau begitu kami mohon diri dulu, Nyai. Ini ada sedikit bawaan dari kami. Ala kadarnya.... Terimalah dengan senang hati, Nyai!” ucap Nyai Sakaweni seraya menyerahkan beberapa buah keping emas.

Sambil tersenyum Nyai Dewi Saraswati menerima beberapa keping emas itu.

“Kami pamit, Nyai! Terima kasih banyak atas pertolongan yang Nyai berikan...!” pamit Nyai Sakaweni lagi seraya bangkit berdiri diikuti suami dan putranya.

Setelah menjura hormat, mereka keluar dari ruangan untuk digantikan tamu yang lainnya. Setiba di luar Nyai Sakaweni marah-marah pada suaminya. Sementara Ki Jaladra diam saja. Mungkin menyadari kesalahannya.

“Sadar toh. Kang! Umur sudah berapa.... Eee, malah melotot begitu melihat perempuan cantik!”

Ki Jaladra tetap diam saja seraya memperhatikan Sentanu yang sudah berada di dalam sebuah tandu. Tandu itu sendiri dipanggul dua pembantu setianya yang tadi menunggu di luar. Hati wanita setengah baya itu memang mangkel kalau mengingat suaminya yang seperti kepincut dengan tabib itu. Namun mendadak kemangkelannya hilang ketika...

“Ibu.... Aku lapar...,” rintih Sentanu dari dalam tandu.

Kedua pembantu yang memanggul cepat berhenti, ketika Nyai Sakaweni menghampiri tandu dan menyeruak ke dalam. Wajahnya tampak berseri.

“Benar kamu ingin makan?!” tanya perempuan ini.

Sentanu mengangguk.

“Oh, Gusti Yang Maha Agung! Setelah sekian lama kau tak mau makan, kini berkat tabib itu kau mau makan, Sentanu...!” desah Nyi Sakaweni dengan mata berbinar-binar penuh rasa syukur. Kemudian dia berbalik, menatap suaminya. “Kang, cepat toh! Carikan makanan buat anak kita...!”

“Eh, iya..., iya!” Ki Jaladra belingsatan merogoh persediaan uangnya. Lalu mereka buru-buru mencari kedai makanan di sekitar tempat itu.

***

Perubahan yang terjadi pada Sentanu berlangsung cepat. Semula nafsu makannya hilang, kini amat rakus. Lalu kedua kakinya yang lumpuh, perlahan-lahan bisa digerakkan. Bahkan dalam waktu seharian saja, dia mampu berjalan. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati orangtuanya.

“Tapi dia jadi pemurung, Kang...!” kata Nyi Sakaweni pada suaminya, setelah dua hari Sentanu berubah.

Ki Jaladra terdiam. Lalu dia menyeruput kopinya.

“Aku khawatir.... Jangan-jangan....”

“Jangan-jangan apa?! Tidak usah berpikir macam-macam!” potong Ki Jaladra cepat.

“Entahlah.... Dia hanya menyahut sepatah atau dua patah kata kalau ditanya...,” desah Nyi Sakaweni.

“Sentanu sembuh dari penyakitnya. Dan sekarang punya penyakit baru? Begitu menurutmu?” cibir kepala desa ini.

Nyi Sakaweni tidak menyahut. Wajahnya masih kelihatan cemas.

“Sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Toh, kau sendiri yang menyarankan berobat ke tabib itu!” ujar laki-laki setengah baya ini agak kesal.

“Mau menyalahkanku?”

“Bukan begitu. Tapi tidak usah disesali yang terjadi. Kalau sudah sepakat membawanya ke sana, ya harus terima apa adanya!” tegas Ki Jaladra.

“Huh! Kakang juga senang kalau kita ke sana, bukan?” sindir Nyi Sakaweni mangkel.

“Tidak usah mengalihkan persoalan!” tukas Ki Jaladra.

“Ya, sudah. Kalau begitu kau bujuk anakmu itu. Tanya dia. Apa maunya. Kenapa terus-menerus mengurung diri dan malas bicara!”

Tanpa menyahut lagi, Ki Jaladra bangkit dan beranjak ke kamar anaknya. Tapi sebentar kemudian dengan tergopoh-gopoh dia telah kembali ke depan. Wajahnya kelihatan kaget.

“Sentanu tidak ada di kamarnya...!” kata Ki Jaladra.

“Mungkin ke belakang buang air, atau....”

“Tidak ada! Sudah kucari-cari!” potong Ki Jaladra.

Tanpa banyak bicara lagi Nyi Sakaweni langsung ke dalam dengan setengah berlari. Tiap kamar dimasukinya. Sampai akhirnya perempuan setengah baya ini berkeliling rumahnya sambil memanggil-manggil Sentanu. Tapi sampai suaranya serak, tak juga ada sahutan.

“Ke mana anak itu? Cari to. Kang. Jangan diam saja!” sentak Nyi Sakaweni pada suaminya yang ikut mengiringi mencari.

“Mau cari ke mana malam-malam begini?”

“Ya cari, ke mana saja! Masa’ harus didiamkan saja?!”

“Iya, iya.... Sebentar!”

Ki Jaladra bergegas melangkah diikuti istrinya ke belakang rumah. Kemudian mereka sama-sama masuk ke dalam. Diambilnya sebatang obor. Laki-laki itu lantas mengambil goloknya dan menyelipkannya di pinggang. Setelah menyalakan obor, Ki Jaladra melangkah ke luar rumah. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan rumah, dia berpapasan dengan dua orang pembantunya yang baru saja keluar rumah untuk suatu keperluan.

“Mau ke mana, Ki?” tanya salah seorang pembantu.

“Kalian melihat Sentanu? Dia tidak ada di rumah!”

“Sentanu? Baru saja tadi kami berpapasan di sebelah sana!” tunjuk pembantu yang bertubuh kurus.

“Aneh anak itu. Ditanya diam saja seperti orang tidak kenal!” timpal seorang pembantu lagi dengan wajah bingung.

“Ke sana? Mau apa dia?” tanya Ki Jaladra bingung. “Hm.... Ayo, kalian ikut aku!”

Tanpa membantah, kedua orang pembantu itu bergegas mengikuti langkah lebar-lebar Ki Jaladra.

***

Setiba di tempat yang dituju, Ki Jaladra dan kedua pembantunya hanya menemukan suasana gelap dan sepi. Tak seorang pun yang ditemui. Bahkan mereka mencari agak jauh ke depan yang diperkirakan sebagai jalan yang ditempuh Sentanu.

“Mana dia, Gombloh, Rawit? Kalian bilang menuju arah sini...?” gerutu Ki Jaladra.

“Wah! Tadi ke sini, Ki...!” tangkis Rawit, yang bertubuh kurus.

“Belum lama dia kami temui. Langkahnya pelan, seperti orang tidur sambil berjalan...,” sambung yang bernama Gombloh.

Ki Jaladra mendesah pelan. Wajahnya tampak kesal. Diajaknya kedua pembantu setianya itu untuk mencari ke sekitar tempat ini.

“Kalau benar jalan yang ditempuh lewat tempat ini, berarti dia ke.... Desa Galuh!” duga Gombloh kepada Rawit yang berjalan di sampingnya.

“Desa Galuh? Mau apa dia ke sana?” tanya Ki Jaladra, langsung berhenti melangkah. Tubuhnya berbalik, seraya menatap tajam kedua pembantunya yang juga sudah berhenti.

“Siapa tahu ke rumah pacarnya...,” sahut Rawit, berkelakar.

“Huh, edan kau! Tengah malam begini ke rumah pacar. Lagi pula, anakku belum punya pacar!” semprot Ki Jaladra.

“Tapi mau apa dia ke Desa Galuh?” tanya Gombloh dengan kening berkerut.

Ketiganya terdiam. Namun pandangan mata mereka menyapu ke sekeliling tempat. Kalau-kalau saja menemukan orang yang tengah dicari.

“Jangan-jangan...,” kata Rawit lirih dan tiba-tiba.

“Jangan-jangan apa?!” desak Ki Jaladra.

“Anu, Ki. Nasib Sentanu sama dengan si Kajar!”

“Huh! Jangan ngawur kau!”

“Eh! Maksudku bukan begitu, Ki. Buktinya Kajar berobat pada tabib yang sama dengan Sentanu, yaitu di Desa Galuh. Eh.... Tidak berapa lama, si Kajar sering bengong. Dan besoknya, dia mati di telaga. Telaga itu merupakan perbatasan desa kita dengan Desa Galuh,” jelas Rawit.

“Lalu, apa maksudmu...?” kejar Ki Jaladra semakin waswas.

“Coba kita cari ke telaga itu. Siapa tahu dia di sana!” ajak Rawit.

Ki Jaladra berpikir sesaat. Demikian juga Gombloh. Tapi akhirnya mereka setuju.

***
DUA
Telaga Air Mata Dewa memang menjadi pembatas antara kedua desa yang bertetangga. Desa Karang Welas dengan Desa Galuh. Namun bila hendak ke sana, maka jalan termudah harus melintasi Desa Galuh lebih dulu. Sebab bila dari Desa Karang Welas harus melewati punggung Bukit Lonjor. Suasana di Telaga Air Mata Dewa selalu senyap dan menggiriskan. Sesekali terdengar suara unggas malam. Sebelum mayat Kajar ditemukan di sini, telaga itu sendiri memang sudah terkenal angker. Bermacam-macam cerita seram sering didengar penduduk kedua desa itu. Jangankan pada malam hari. Bahkan siang hari pun orang-orang akan takut mendekati tempat itu.

Kini Ki Jaladra yang memegang obor, telah tiba di tempat ini bersama dua pembantu setianya. Melihat keadaan tempat ini, Rawit yang dikenal pemberani sempat pula bergidik. Namun perasaan itu cepat ditepisnya. Sementara bagi Ki Jaladra, keberaniannya timbul terpaksa saja.

“Tidak ada apa-apa...,” ucap Gombloh lirih.

Pelan sekali dan nyaris tidak terdengar. Ki Jaladra memberi isyarat dengan telunjuk ke bibirnya. Dan Gombloh pun terdiam, lalu melangkah terburu-buru di antara mereka berdua. Dia tidak mau berada paling belakang!

Sementara Rawit mendadak menghentikan langkahnya. Diperhatikannya dengan seksama ke seluruh permukaan telaga. Sejauh mata memandang, rasanya hanya tempat mereka saja yang terang oleh ketiga obor yang dibawa.

“Betul kata Gombloh, Wit. Tidak ada apa-apa di sini...,” kata Ki Jaladra.

“Ssst, jangan ribut!” ujar Rawit menempelkan telunjuknya ke bibir.

Mereka seketika terdiam.

“Matikan obor!” lanjut Rawit.

“Tapi....”

“Matikan!” bisik Rawit lebih keras, memotong keberatan Gombloh.

Tanpa banyak tanya lagi mereka segera mematikan obor masing-masing, sedang Gombloh sudah merapatkan diri, tidak mau terpisah jauh.

Krosak!

“Heh...?!”

Mereka terkesiap begitu mendengar suara halus dari arah depan. Secepat kilat Rawit memberi isyarat agar menunduk, lalu bersembunyi di balik rerimbunan semak-semak. Sementara jantung Gombloh dan Ki Jaladra jadi berdetak lebih kencang. Sebaliknya Rawit berusaha menajamkan penglihatannya untuk bisa melihat, apa yang terjadi di depan sana.

Benar saja. Tak lama satu sosok bertubuh ramping muncul berjalan pelan mendekati tepi telaga dari arah seberang. Sosok yang jelas adalah wanita ini sambil membopong sesuatu.

“Siapa dia...?” tanya Ki Jaladra lirih.

“Kuntilanak barangkali,” sahut Gombloh sekenanya.

Rawit tidak mempedulikan ocehan mereka. Laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini beringsut ke depan.

“Mau ke mana, Wit?! Jangan tinggalkan kami di sini!” bisik Gombloh ketakutan.

“Jangan ribut!” sentak Rawit berbisik. Diberinya isyarat dengan tangan agar mereka mengikuti dari belakang.

“Mau ke mana?” Ki Jaladra mengulang pertanyaan Gombloh.

“Mau lihat apa yang akan dilakukannya...,” sahut Rawit.

“Sepertinya dia membopong orang, Wit?” lanjut Ki Jaladra.

Rawit mengangguk. Jarak mereka semakin dekat. Kendati demikian, karena suasana yang gelap, mereka tidak bisa mengenali siapa sosok tubuh itu.

“Nekat betul! Tengah malam begini seorang diri ke telaga. Mana perempuan lagi! Pasti bukan manusia. Dia kuntilanak, Wit!” seru Gombloh dengan suara ditekan sedemikian rupa.

“Jangan ribut!” larang Rawit semakin kesal.

Gombloh kembali diam. Kini mereka melihat wanita itu mengangkat orang yang dibopongnya.

“Mau apa dia...?” bisik Ki Jaladra.

Suara laki-laki ini pelan sekali. Tapi, tetap saja membuat Rawit jengkel. Kalau saja Ki Jaladra bukan tuannya, tentu akan disentaknya seperti yang dilakukannya terhadap Gombloh.

Rawit tidak perlu menjawab pertanyaan tuannya. Sebab, Ki Jaladra sendiri segera menemukan jawabannya. Tampak wanita itu mencampakkan orang yang dibopongnya ke dalam telaga.

Byurrr...!

“Heh?!” Kepala Desa Karang Welas ini terkejut. Jantungnya mendadak berdetak kencang. Ada sesuatu firasat yang menyelinap cepat ke dalam sanubarinya.

“Sentanu...,” sahut laki-laki setengah baya ini tanpa sadar.

Rawit dan Gombloh memandang Ki Jaladra. Bukan keheranan, tetapi seperti ikut berduka cita karena mungkin saja apa yang ada di benak mereka sama dengan pikiran majikannya. Bisa saja sosok yang dibuang ke dalam telaga memang Sentanu.

“Mungkin bukan Sentanu, Ki...,” hibur Rawit meski hatinya tetap menduga bahwa yang dilemparkan wanita itu ke telaga adalah Sentanu.

“Benar, Ki...!” tambah Gombloh.

Ki Jaladra diam saja, tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tampak kelam. Dan hawa dingin yang tadi perlahan-lahan mulai menyerang, kini seperti tidak dirasakannya. Dan sebelum juga ada yang bicara lagi, mendadak...

“Hi hi hi...! Kalian yang bersembunyi di balik semak-semak itu, keluarlah. Jangan kira aku tidak tahu. Aku tahu kehadiran kalian sejak tadi...!”

Tiba-tiba saja terdengar teguran yang didahului tawa nyaring. Tampak wanita yang ternyata berpakaian terusan panjang warna putih itu menuding ke tempat persembunyian ketiga orang yang mengawasinya. Sudah barang tentu hal ini membuat Ki Jaladra, Rawit, dan Gombloh terkejut setengah mati. Jelas kata-kata itu ditujukan buat mereka. Bahkan Rawit yang pemberani saja sampai gemetar tubuhnya mendengar suara nyaring yang merindingkan bulu roma. Apalagi kedua orang yang bersamanya!

“Ayo keluar! Atau, kucekik kalian...!” sambung wanita berbaju terusan panjang itu.

“Wit... Bagaimana kita sekarang...?” tanya Gombloh terbata-bata dengan bibir gemetar.

“Apa pun yang terjadi akan kulawan kalau coba mengusik kita!” tekad Rawit membesarkan hati.

Pemuda itu tetap tidak mau keluar dari persembunyiannya, namun sudah bersiap memegang gagang goloknya. Namun baru saja dia berkata begitu, mendadak wanita itu berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri di depan mereka.

“Ohhh...!” Rawit terkejut bukan main. Apalagi Ki Jaladra dan Gombloh. Tanpa menoleh kanan dan kiri lagi, mereka langsung kabur ketakutan meninggalkan Rawit. Sementara Rawit yang sudah ciut nyalinya segera ikut kabur menyusul.

“Hi hi hi...!”

“Ohhh...! Apa itu...?!” desis Gombloh yang berada paling depan ketika melihat sesosok tubuh berbaju panjang putih berada di depannya.

“Wanita itu...!” seru Ki Jaladra.

“Celaka...!” desis Rawit.

Apa yang mereka lihat seperti tidak masuk akal. Bagaimana mungkin wanita itu tiba-tiba saja telah berada di depan?

“Ampun.... Ampuni kami...! Kami sama sekali tidak bermaksud mengganggu...!” ratap Gombloh seraya berlutut dengan suara memelas.

Hal itu diikuti pula oleh Ki Jaladra. Sementara Rawit yang masih ragu-ragu dan hatinya belum sepenuhnya menerima kalau wanita yang berdiri di depan mereka sambil tertawa nyaring itu adalah kuntilanak, akhirnya ikut juga berlutut dengan kepala menunduk.

“Hi hi hi...!”

Suara tawa itu masih terdengar nyaring. Namun perlahan-lahan semakin halus, lalu hanya terdengar lapat-lapat dari kejauhan. Ketiganya baru berani mengangkat kepala, ketika merasa yakin kalau wanita itu telah pergi. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung kabur tunggang-langgang!

***

Siang yang semula terik, perlahan-lahan meredup ketika matahari bergeser ke arah barat. Bahkan ketika si Raja Siang itu sudah terpuruk di peraduannya, kegarangannya sudah tak terasa lagi. Sementara, para penduduk Desa Karang Welas, sudah sejak tadi menutup pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat. Tak seorang pun yang nampak di luar.

Dan ini membuat kening seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung jadi berkerut Pemuda di atas kuda berbulu hitam mengkilat itu memang baru saja memasuki Desa Karang Welas.

“Ayo, Dewa Bayu! Melangkahlah perlahan-lahan. Mudah-mudahan ada di antara mereka yang berbaik hati menerima kita untuk numpang menginap!”

“Hieeekh...!”

Seperti mengerti, kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melangkah perlahan-lahan memasuki desa ini. Dan pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling. Dia yakin, rumah-rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat ini pasti berpenghuni. Nyala pelita yang ada di setiap luar rumah, menguatkan dugaannya.

Rangga menghentikan langkah Dewa Bayu, namun tidak segera turun. Kembali diamatinya keadaan sekeliling disertai pengerahan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Saat itu juga telinganya mendengar desah napas dan degup jantung pada salah satu rumah tepat di depannya. Segera Rangga turun dan melangkah menghampiri.

Tok! Tok!

Rangga mengetuk pintu. Namun tak terdengar jawaban. Padahal Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau penghuninya belum tidur. Yang didapat hanya keheningan saja. Kembali diketuknya pintu rumah yang kelihatan sederhana ini. Berdinding bilik dan beratap rumbia.

Tok! Tok! Tok!

“Sampurasun...,” ucap Rangga halus.

Sesaat terdengar suara langkah-langkah halus mendekati pintu. “Siapa di luar...?” tanya seseorang dari dalam. Nada suaranya agak tinggi penuh kecurigaan, meski dikeluarkan secara berbisik.

“Aku seorang pengelana yang kemalaman di desa ini...,” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

Pintu terbuka sedikit. Dan dari dalam muncul seraut wajah seorang laki-laki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun. Jenggotnya pendek dan tumbuh tidak teratur, serta sebagian telah memutih. Tulang pipinya menonjol. Berlawanan sekali dengan kedua pipinya yang telah mulai peot dan sedikit keriput. Rambutnya yang sebagian telah berubah dipotong pendek. Sedang kepalanya diikat kain bercorak kembang-kembang warna coklat dan hitam.

“Maaf mengganggu.... Bolehkah menumpang menginap semalam ini saja...?” ucap Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Kata-katanya terdengar ramah sekali.

Sejenak laki-laki tua ini menatap Rangga dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian dibukanya pintu lebih lebar ketika melihat tidak ada satu pun yang patut dicurigai dari pemuda ini. Dipersilakannya Pendekar Rajawali Sakti masuk. Kemudian mengunci pintu rapat-rapat. Selain kunci gembok, laki-laki tua itu juga menambahkan dengan dua batang palang. Dan ini membuat dahi Rangga berkerut. Kebiasaan seperti itu agaknya sedikit asing baginya.

“Di sini sudah biasa sejak musibah itu terjadi...,” jelas laki-laki tua ini, seperti mengerti kebingungan tamunya.

Sementara pemuda berbaju rompi putih itu hanya mengangguk-angguk. Kembali bibirnya tersenyum. Matanya mengerling ke balik ruangan yang hanya disekat dua buah lemari kayu. Tampak seorang laki-laki tua berusia sama dengan orang tua yang membukakan pintu tengah duduk di sebuah bangku panjang. Di sebelahnya duduk seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Kedua orang itu mengangguk, lalu tersenyum pada Rangga.

“Kau boleh tidur di situ!” ujar orang tua yang membuka pintu sambil menunjuk sebuah balai bambu yang ada di ruang depan.

“Terima kasih...,” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

“Boleh kami tahu namamu?” tanya laki-laki tua ini.

“Rangga...,” sahut Rangga, singkat.

“Hm, ya. Dan kau boleh memanggilku Ki Salika....”

“Sekali lagi terima kasih atas kemurahan hatimu, Ki Salika. Maaf, telah merepotkan...,” ucap Rangga lagi.

“Sudahlah. Silakan beristirahat,” sergah Ki Salika seraya kembali beranjak menemui kedua orang tadi.

Kini Rangga duduk bersila untuk melepaskan otot-otot di seluruh tubuhnya. Lalu dia mulai mengatur pernapasannya. Saat itu juga matanya memejam dengan kedua telapak tangan bertemu di depan dada. Sementara Ki Salika berbincang-bincang dengan kedua orang di rumahnya. Suara mereka terdengar halus sekali.

“Hieee...!”

“Heh?!” Mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut begitu mendengar suara ringkik Dewa Bayu. Seketika Rangga membuka matanya, lalu melompat ke arah pintu depan. Dia tahu betul ringkikan Dewa Bayu yang terdengar aneh, mengisyaratkan sesuatu yang tidak beres telah mengusik ketenangannya.

Begitu membuka pintu, Pendekar Rajawali Sakti melihat sekelebatan bayangan putih. Saat itu juga tubuhnya berkelebat mengejar.

“He, berhenti...!” teriak Rangga.

Baru saja beberapa tombak Pendekar Rajawali Sakti melesat, tiba-tiba bayangan itu berbalik sambil menghentakkan tangannya.

Wesss...!

Rangga terkejut setengah mati, begitu serangkum angin kencang berhawa dingin meluruk ke arahnya.

“Hup...!” Dengan gerakan luar biasa cepat, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Sehingga serangan mendadak itu hanya lewat di bawah kakinya. Dan begitu mendarat di tanah, bayangan putih tadi sudah menghilang entah ke mana.

Dari kecepatan dan sambaran serangan tadi, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau sosok bayangan putih itu bukan tokoh sembarangan. Serangan semacam itu hanya mampu dilakukan oleh tokoh golongan atas. Tapi, apa maksudnya. Mengapa sosok itu menyatroni rumah Ki Salika? Ingin merampok? Apa yang hendak dirampok kalau laki-laki tua itu hidup sederhana?

Dengan wajah lesu Rangga berbalik. Baru saja hendak melangkah, Ki Salika dan dua orang tamunya sudah berdiri di ambang pintu memperhatikan gerak-geriknya dengan wajah bingung.

Agaknya bukan hanya tiga orang itu saja yang ikut kaget. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun serta seorang gadis sekitar enam belas tahun dalam dekapannya, ikut juga keluar dari kamar. Mereka semua memperhatikan pemuda berbaju rompi putih yang terus berjalan menghampiri.

“Maaf, aku telah membuat keributan sehingga kalian tidak merasa tenang...,” ucap Rangga lirih, ketika berhenti setengah tombak di hadapan mereka.

Ki Salika masih membisu. Demikian pula yang lainnya.

“Kalau memang sikapku telah membuat kalian susah, baiklah aku mohon diri dulu. Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud mengganggu...,” lanjut Rangga seraya berbalik dan menghampiri Dewa Bayu.

“Eh, Nak Rangga...! Maaf, kami tidak bermaksud mengusirmu. Ayo, silakan masuk kembali. Silakan!” ujar Ki Salika buru-buru menghampiri Rangga.

Ki Salika jadi salah tingkah sendiri ketika telah berada di depan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk sesaat dia membisu, dan hanya bisa tersenyum.

“Eh, betul! Maafkan sikap kami tadi. Kami benar-benar tidak bermaksud mengusirmu...!” ucap Ki Salika ramah, begitu mereka telah berada di ruang tamu.

Untuk menghilangkan rasa tidak enaknya, Ki Salika telah menyediakan kopi hangat untuk Rangga, yang disediakan istrinya. Sementara dua orang tamunya ikut menemani di ruang tamu ini. Sehingga, Rangga jadi salah tingkah sendiri dibuatnya.

“Kenapa harus repot-repot, Ki? Kedatanganku ke sini hanya untuk menumpang menginap saja. Tidak untuk merepotkan keluarga ini...,” kata Rangga, sambil menggeleng lemah.

“Ah! Tidak apa-apa! Hal ini sudah biasa...! Ayo, diminum kopinya mumpung masih hangat!” ujar Ki Salika.

“Terima kasih....” Rangga menyeruput kopinya sedikit, kemudian kembali meletakkan cangkir.

“Ini Ki Danu, saudara sepupuku. Dia baru tiba siang tadi. Dan ini putranya, Mirja...,” kata Ki Salika memperkenalkan kedua orang tamunya.

Rangga mengangguk pada kedua orang itu sambil tersenyum.

“Kalau yang tadi istriku. Dan seorang lagi anakku satu-satunya. Namanya Wuni...,” lanjut Ki Salika.

Rangga kembali tersenyum dan mengangguk pada dua orang yang baru disebutkan barusan.

Kini mata Ki Salika memperhatikan pedang yang tersandang di punggung Pendekar Rajawali Sakti. “Eh, agaknya Nak Rangga bukan orang sembarangan...,” usik Ki Salika.

“Apakah ada sesuatu yang luar biasa pada diriku...?” Rangga malah bertanya.

“Seorang pengembara biasanya jarang membawa senjata....”

“O, itu...! Hanya sekadar membela diri dari begal, Ki!” sahut Rangga, berkilah.

“Hm, ya. Seorang pengembara memang layak membekali diri dengan senjata. Tapi, Nak Rangga agaknya lebih dari sekadar membekali diri,” timpal Ki Danu.

Rangga kembali tersenyum. “Aku hanya seorang pengembara biasa saja...,” kilah Pendekar Rajawali Sakti, merendah.

“Kalau boleh kami tahu, apa yang kau lihat di luar tadi, Nak Rangga?” tanya Ki Salika.

“Agaknya seseorang tengah mengawasi rumah ini. Aku tidak tahu, apakah orang itu mengikutiku atau tidak sejak tadi...,” jelas Rangga, terus terang.

“Maksudmu?” tanya Ki Salika dan Ki Danu nyaris bersamaan.

“Rasanya sepanjang menuju desa ini ada yang aneh...!” sahut Rangga, hati-hati.

“Aneh bagaimana?” tanya Ki Salika tambah penasaran.

“Aku merasa diikuti. Namun, tidak tahu siapa yang mengikutiku. Dan ketika tadi sempat terlihat, orang itu bergerak amat cepat laksana kilat. Apakah kalian tidak merasakan hal-hal aneh terjadi di desa ini?”

Kedua orang tua itu terdiam dan saling pandang. Rangga bisa merasakan, apa yang tengah mereka pikirkan. Namun karena merasa bahwa hal itu bukan urusannya, maka dia tidak ingin mendesak.

“Sudahlah.... Mungkin saja itu kerajaan perampok yang ingin membegalku...,” desah Rangga.

“Sebenarnya tidak begitu...,” cetus Ki Salika.

“Maksudmu, Ki?” tanya Rangga, dengan kening berkerut seraya memandang tajam pada orang tua itu.

Ki Salika jadi salah tingkah dan beberapa kali memandang Ki Danu.

“Ada apa gerangan, Ki? Kalau memang ada rahasia yang berat dikatakan, tidak usah dikatakan. Simpan saja.”

“Bagi orang desa ini hal itu bukan rahasia lagi...,” jelas Ki Salika pelan.

“Maksudmu?”

“Telah lama desa ini dilanda suatu musibah...,” tutur Ki Salika mulai bercerita.

“Musibah? Musibah apa, Ki?”

“Para pemuda dilanda suatu penyakit aneh yang datangnya secara tiba-tiba. Mereka dapat disembuhkan oleh seorang tabib. Namun setelah sembuh, keesokan harinya mereka ditemukan mati terapung di Telaga Air Mata Dewa. Lambat laun para pemuda di desa-desa sekitar telaga itu habis. Sedang yang masih hidup buru-buru melarikan diri sejauh-jauhnya dari tempat itu...,” jelas Ki Salika pelan sekali seperti tak ingin terdengar siapa-siapa.

“Sungguh aneh...! Apakah tak seorang pun yang menyelidiki apa penyebab kejadian itu?” desis Rangga.

Ki Salika menggeleng.

“Kenapa?”

“Entahlah. Mungkin mereka takut kena kutuk penguasa telaga....”

“Sejak kapan hal itu terjadi? Dan, apakah pernah ada kejadian yang membuat penduduk takut?” cecar Rangga.

“Kejadian ini telah berlangsung dua bulan. Pernah dulu kepala desa ini secara tidak sengaja berada di telaga pada tengah malam. Dia bernama Ki Jaladra. Pada malam itu, kebetulan putranya menghilang. Dan dia kalang kabut mencari dibantu dua pembantu setianya. Entah kenapa, esok paginya Ki Jaladra dan kedua pembantunya mati di rumahnya secara aneh,” jelas Ki Salika, masih pelan suaranya.

“Lalu, apa yang mereka temukan di telaga itu?”

“Tidak seorang pun yang tahu! Pagi harinya, ada seorang penduduk yang memberitahukan adanya sesosok mayat di telaga. Setelah beberapa penduduk ke sana, ternyata mayat Sentanu, putra Ki Jaladra. Dan bahkan mereka yang mengangkat mayat Sentanu tiba-tiba sakit, setelah tiba di rumah. Lalu, dua hari kemudian mati. Sejak itu tak seorang pun yang berani mendekati Telaga Air Mata Dewa. Baik siang, apalagi malam hari.”

“Apakah Ki Jaladra dan kedua pembantunya tidak menceritakan sesuatu sebelum meninggal?” tanya Rangga.

“Menurut istrinya, Ki Jaladra pulang dengan tubuh menggigil. Dia tidak bicara sepatah kata pun. Sampai istrinya menyadari, pada pagi harinya ternyata Ki Jaladra telah mati. Sedang kedua pembantunya tidak lama kemudian ikut mati,” jelas Ki Salika.

Rangga mengangguk-angguk mendengar penuturan orang tua itu. “Lalu, siapa menurut kalian orang yang patut dicurigai atas peristiwa itu?” cetus Rangga.

“Banyak yang curiga pada tabib itu....”

“Tabib yang menyembuhkan pemuda-pemuda yang sakit?”

Ki Salika mengangguk. “Dia seorang tabib hebat. Lagi pula cantik. Banyak yang berobat padanya,” kata Ki Salika.

“Di mana tabib itu tinggal?” tanya Rangga, jadi penasaran.

“Di Desa Galuh. Setelah keluar dari Desa Karang Sewu ini kini menempuh arah barat laut. Maka kau akan bertemu Desa Galuh,” jelas Ki Salika.

“Lalu di mana letak Telaga Air Mata Dewa itu?”

“Apakah Nak Rangga akan ke sana...?” sahut orang tua itu balik bertanya dengan wajah tampak kaget. Suaranya yang keluar terdengar pelan.

“Ya. Akan kulihat apakah cerita itu benar!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, mantap.

“Sekarang juga?” tanya Ki Salika merasa tidak yakin.

“Mungkin tidak. Malam ini aku terlalu letih....”

Ki Salika menghela napas lega. “Kalau lurus ke utara, maka kau akan sampai ke telaga itu...,” sahut orang tua ini.

Rangga mengangguk kecil.

“Eh! Apa maksud Nak Rangga menanyakan semua itu...?” sentak Ki Salika.

“Kalau memang tak ada yang mau menyelidikinya, biar aku yang akan menyelidiki kejadian-kejadian aneh itu...,” jelas Rangga, enteng.

“Kau akan menyelidiki kejadian itu? Sebaiknya jangan, Nak Rangga! Kau akan celaka...!” ujar Ki Salika memperingatkan. Wajahnya jadi tegang membayangkan kematian pemuda itu.

“Tenang saja, Ki. Tidak akan terjadi apa-apa padaku...,” sahut pemuda itu berusaha meyakinkan.

***
TIGA
Pagi berkabut bagai tirai tipis, perlahan-lahan terkuak oleh sinar matahari dan angin yang tertiup. Rangga yang telah berada di sekitar Telaga Air Mata Dewa melangkah menyusuri. Walaupun udara amat dingin merasuki tulang sumsum, namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tak pernah merasakannya. Jangankan terhadap hawa dingin. Menghadapi keangkeran telaga ini saja, hatinya tak pernah ciut sedikit pun.

Rangga berjalan sambil menuntun Dewa Bayu pelan-pelan. Sejauh ini belum ada sesuatu hal aneh yang ditemukannya. Bahkan hampir dua kali pinggiran telaga itu dikitari, tidak ada kejadian apa pun. Di dekat sebuah pohon yang cukup besar, Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Matanya tajam memandang seperti hendak menikam sampai ke dasar telaga.

“Hieee...!” Mendadak Dewa Bayu meringkik kasar sambil menghentak-hentakkan kakinya untuk beberapa kali.

“Tenang, Dewa Bayu. Tidak akan kubiarkan sesuatu menyerangmu...,” bujuk Rangga sambil mengelus-elus leher tunggangannya yang dapat berlari secepat kilat.

Dibujuk demikian, Dewa Bayu yang memang bukan kuda sembarangan malah mendengus-dengus liar seraya meringkik kecil beberapa kali. Namun begitu, Rangga berusaha terus membujuknya, dan Rangga yang sudah mengenal watak Dewa Bayu langsung mengerti isyarat-isyarat yang diberikan. Jelas, Dewa Bayu gelisah. Padahal, sejak pertama Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetrapkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ yang membuat telinganya tajam, setajam telinga rajawali. Bahkan suara semut berjalan pun mampu didengar telinganya. Namun....

Kali ini ajian itu tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Dan membuat hatinya semakin diliputi tanda tanya. Apa yang membuat Dewa Bayu mendengus kasar seperti terusik oleh kehadiran sesuatu yang asing di dekatnya!

Sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji ‘Tatar Netra’ yang membuat matanya mampu melihat sesuatu yang jauh, walaupun dalam kegelapan. Namun, tetap saja hasilnya nihil.

Terakhir Rangga membenamkan pandangan ke dasar telaga. Juga tidak ada apa pun yang dilihatnya. Dasar telaga itu sendiri keruh dan airnya kotor berwarna hitam pekat.

Setelah mendesah pelan, Pendekar Rajawali Sakti menaiki kuda lalu menggebahnya perlahan-lahan. Wajahnya tampak keruh dan otaknya terus berpikir. Kini Rangga mulai menyusuri Telaga Air Mata Dewa.

“Hm.... Sebaiknya aku kembali ke Desa Karang Welas,” gumam Rangga.

Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya dengan kencang. Namun kali ini arah yang ditempuh tidak melewati jalan semula. Jalan ini lebih singkat dan mudah dilalui ketimbang harus lewat jalan saat kedatangannya tadi.

“Sebaiknya, aku langsung ke rumah almarhum Kepala Desa Karang Welas. Hm..., kalau tak salah, namanya Ki Jaladra...,” gumam Rangga lagi sambil terus memacu kudanya yang berlari bagai sambaran kilat.

Dengan kecepatan lari yang luar biasa, sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di mulut Desa Karang Welas sebelah utara. Rangga memperhatikan dengan cermat keadaan di desa ini. Dan agaknya, cerita Ki Salika memang tidak bohong. Desa ini sepi. Dan sejak tadi tak seorang pemuda yang dilihatnya. Hanya orang-orang tua, para wanita, dan anak-anak. Dan sebaliknya, kehadirannya di tempat itu menarik perhatian para penduduk. Sepanjang perjalanan, mereka memperhatikannya dengan pandangan heran.

Setelah bertanya ke sana-sini, Rangga telah tiba di depan rumah Ki Jaladra, dan langsung bertemu dengan istrinya. Dan Rangga langsung menjelaskan kedatangannya, sekaligus menanyakan perihal kematian Ki Jaladra.

Namun istri almarhum Ki Jaladra ini kelihatan tidak begitu suka peristiwa kematian suaminya diusik. Dia hanya menjawab sepatah atau dua patah kata saja saat pemuda itu bertanya.

“Siapa, Anak Muda? Dan punya maksud apa menanyakan musibah yang menimpa keluargaku?” tanya perempuan tua bernama Nyi Sakaweni ini setelah merasa bosan menjawab pertanyaan-pertanyaan Rangga.

“Aku bermaksud membereskan persoalan ini...,” tandas Rangga.

“Huh! Persoalan tidak akan beres sebelum Tabib Siluman itu mati!” desis Nyi Sakaweni.

Rangga terdiam. Entah berapa kali sudah didengarnya wanita ini mengumpat-ngumpat tabib yang telah menyembuhkan penyakit putranya, sekaligus diyakininya sebagai penyebab kematian Sentanu dan Ki Jaladra.

“Kalau kau mau membereskan persoalan ini, bereskan iblis wanita itu! Karena dia, suami dan anakku mati! Karena dia pula beberapa pemuda desa yang berobat kepadanya meninggal. Karena dia pula pemuda-pemuda desa ini minggat entah ke mana!” lanjut Nyi Sakaweni menumpahkan amarahnya.

“Baiklah.... Kalau begitu permisi dulu, Nyi.” Rangga menjura hormat, lalu berbalik. Dihampirinya Dewa Bayu. Dan dengan lompatan indah, Rangga naik ke atas punggung kudanya, lalu menggebah perlahan-lahan.

Tidak banyak yang diperoleh Pendekar Rajawali Sakti dari wanita itu. Tidak jauh berbeda dari apa yang didengarnya semula. Namun begitu Rangga tidak putus asa. Dan dia kembali melanjutkan perjalanan menuju jalan yang tadi dilalui. Namun arahnya terus ke barat, menuju Desa Galuh!

Namun tanpa disadari sesosok bayangan mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari tempat yang tersembunyi. Agaknya orang itu memang pintar mengatur jarak, sehingga Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak sadar dibuntuti seseorang.

Dengan menggebah kudanya perlahan-lahan, Pendekar Rajawali Sakti memasuki Desa Galuh yang terasa lengang. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan dua desa yang telah dilaluinya. Penduduk jarang keluar dari rumahnya. Padahal, hari telah menjelang siang. Rangga segera menghentikan kudanya, tepat di depan sebuah rumah kecil.

Seorang perempuan tua yang sedang menyapu halaman segera menghentikan pekerjaannya ketika pemuda berbaju rompi putih ini telah melompat dari punggung kudanya dan melangkah menghampiri. Dengan senyum ramah Pendekar Rajawali Sakti membungkuk hormat, setelah berada dua tombak dari perempuan tua itu.

“Maaf, Nyisanak.... Kalau boleh tanya, di manakah tempat tinggal tabib yang konon telah menggegerkan sekitar Telaga Air Mata Dewa?” tanya Rangga.

Bukannya menjawab, perempuan tua itu malah tersentak kaget. Wajahnya seketika berubah.

“Apakah kau akan pergi berobat. Anak Muda?” tanya perempuan tua ini.

“Ah, tidak. Hanya ingin beranjangsana saja,” sahut Rangga dengan senyum ramah.

“Sebaiknya memang tidak usah. Tabib itu memang hebat. Namun, juga membawa malapetaka. Para pemuda yang berobat padanya bisa dipastikan akan menemui ajalnya beberapa hari kemudian!” kata perempuan tua itu, penuh kekhawatiran melihat pemuda tampan di depannya ini seperti mencari mati.

“Ya.... Kegemparan itu memang kudengar....”

“Tidak perlu dekat-dekat dengannya! Kau akan celaka...!”

“Begitu jahatnyakah tabib itu?”

“Huh! Dia bukan sekadar tabib tapi juga iblis wanita yang amat jahat! Tak heran kalau kemudian orang-orang menjulukinya Tabib Siluman!” umpat wanita yang berusia enam puluh tahun ini.

“Dari mana Nyisanak bisa begitu yakin?” pancing Rangga.

“Di desa ini sudah tidak ada seorang pemuda pun yang tinggal. Beberapa orang menemui ajalnya, setelah berobat pada tabib itu. Dan yang lainnya mengungsi jauh-jauh meninggalkan desanya!”

“Apakah kepala desa tidak bertindak terhadap tabib itu?”

“Apa yang bisa dilakukannya? Kami sudah tidak mempunyai bukti. Tidak ada alasan menuduh tabib itu. Meski demikian, bukan hanya penduduk desa ini saja yang percaya kalau tabib wanita itu adalah pembunuh keji!”

“Siapa nama kepala desa ini, Nyisanak?” tanya Rangga, mengalihkan pembicaraan.

“Ki Somareksa. Apakah kau akan menemuinya? Untuk apa?”

“Ya! Ada beberapa hal yang mungkin akan kubicarakan dengannya sehubungan peristiwa ini....”

“Huh! Kami tidak butuh bicara, Anak Muda! Satu-satunya yang kami perlukan adalah mengusir wanita iblis itu dari sini!” cibir perempuan tua itu, sinis.

“Lalu kenapa tidak kalian lakukan?” pancing Rangga kembali.

“Siapa yang berani? Setiap mereka yang bermaksud jahat kepadanya, pasti gagal. Orang itu kemudian sakit dan tidak berapa lama mati tanpa diketahui sebabnya!”

Rangga mengangguk perlahan mendengarkan penjelasan itu.

“Siapa kau sebenarnya? Dan, apa kepentinganmu mengurusi persoalan ini? Kalau memang kau tak ada urusan apa-apa, sebaiknya lekas menjauh sebelum dirimu celaka. Tapi kalau memang berkepentingan dalam hal ini maka usirlah wanita iblis itu! Berjalanlah kau ke arah sana. Bila kau menemukan pohon mahoni yang cukup besar, maka akan menemukan rumah yang paling besar pula. Di sanalah dukun iblis itu tinggal!” tunjuk perempuan tua ini, ke arah kanan.

“Aku memang punya kepentingan. Dan, akan kulakukan sebisaku! Setiap kebusukan selalu akan tercium meski serapat mungkin disembunyikan. Demikian pula halnya kejahatan!” tandas Rangga. “Oh, ya. Di mana tempat tinggal Kepala Desa Galuh itu, Nyisanak?”

“Sama arahnya, namun kau harus berbelok ke arah kiri. Lima puluh tombak dari pohon mahoni itu, ada belokan ke kiri. Dan bila kau menemukan rumah yang cukup besar dan apik, itulah rumah kepala desa ini....”

“Ciri-ciri kepala desa itu?”

“Usianya sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya gagah, tinggi besar. Wajahnya bercambang bauk dan berjenggot lebat...,” urai perempuan tua ini.

“Wah..., terima kasih banyak, Nyisanak. Aku telah terlalu banyak mulut,” ucap Rangga, halus.

“Aku tak keberatan kau tanya-apa saja, selama bisa menjawab. Asalkan, bantulah kami melenyapkan Tabib Siluman itu,” kata perempuan tua ini penuh harap.

“Mudah-mudahan Nyisanak. Aku toh hanya manusia belaka. Semuanya hanya karena pertolongan Yang Maha Kuasa. Lain, tidak!” sahut Rangga merendah. “Aku mohon pamit, Nyisanak.”

Tanpa mengharapkan jawaban lagi. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Kakinya melangkah cepat ke arah kudanya yang berdiri tenang. Dengan gerakan indah sekali Pendekar Rajawali Sakti naik ke atas punggung Dewa Bayu, lalu menggebahnya.

“Hm.... Aku harus ke rumah kepala desa ini lebih dulu. Setahuku, seluruh desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa berada di wilayah Karang Setra. Dan aku paling benci bila rakyatku hidup dalam ketidaktenangan, sementara kepala desanya, tenang-tenang saja!” gumam Rangga yang juga Raja Karang Setra ini, sambil terus menggebah kudanya.

***

“Ada keperluan apa kau bertanya tentang tabib itu?” tanya laki-laki setengah baya bertubuh tegap dengan cambang bauk dan berjenggot lebat.

Rangga yakin, laki-laki inilah yang bernama Ki Somareksa, Kepala Desa Galuh ini. Namun kepala desa ini kelihatan angkuh sekali. Sejak tadi Rangga hanya dibiarkan di luar. Malah sambil menemui tamunya dengan cara seperti itu, Ki Somareksa terus saja asyik dengan burung-burungnya yang berada di dalam sangkar. Sedikit pun kepalanya tak menoleh pada pemuda itu.

“Tabib itu agaknya berkait dengan peristiwa yang terjadi....”

“Semua orang berkata begitu,” potong Ki Somareksa. “Dan kau tidak perlu menambahkannya lagi! Dan kalau benar dia bersalah, maka tidak ada orang yang mau berobat lagi padanya. Nyatanya, sampai saat ini tetap saja banyak orang dari mana-mana berobat padanya.” Kembali Kepala Desa Somareksa bersiul sambil menjentik-jentikkan jari-jari kedekat sangkar burung.

“Kalau begitu, apa yang telah kau lakukan sebagai kepala desa?” singgung Rangga.

Nada bicara Pendekar Rajawali Sakti datar saja. Tapi terasa pedas didengar Ki Somareksa. Seketika wajahnya berbalik ke arah Rangga. Perlahan-lahan tubuhnya ikut berbalik sambil terus menatap tajam pemuda itu. Dahinya berkerut dan tatapan matanya tajam seperti hendak menghujam jantung Rangga.

“Kau bicara apa, heh?!” dengus kepala desa itu sedikit kasar.

“Apakah kerjamu hanya bersiul-siul di depan sangkar burung sementara rakyatmu satu persatu mati tanpa sebab-sebab yang jelas? Bahkan kau sepertinya menutup mata bagi pemuda-pemuda yang telah meninggalkan desanya, karena ketakutan oleh sesuatu yang akan menyebabkan kematian?!” sindir pemuda itu datar.

Rangga bukan tidak tahu kemarahan laki-laki setengah baya di depannya. Dengan kata-katanya tadi, agaknya dia sengaja ingin membakar amarah kepala desa itu.

“Kurang ajar! Tahukah kau tengah bicara dengan siapa, Anak Muda?! Kau orang asing di sini. Dan, tidak tahu persoalan. Tidak usah mengajariku macam-macam! Aku tahu apa yang harus kulakukan!” bentak Ki Somareksa.

“Kalau memang kau tahu apa yang harus dilakukan, kenapa tidak dilakukan sejak dulu sehingga korban tidak terus berjatuhan?” sahut Rangga tenang.

Wajah kepala desa itu semakin berkerut geram. Dan tatapan matanya tajam seperti hendak menerkam pemuda di depannya. Hela napasnya terasa memburu dan kasar, menandakan amarah di hatinya yang semakin bergelora.

“Anak muda! Kalau kedatanganmu ke sini untuk mengurusi tugasku, enyahlah! Kalau tidak, kau tidak akan sempat menyesal!”

Kali ini agaknya Ki Somareksa jelas-jelas mengancam padanya. Sementara Rangga tetap tenang-tenang saja. Malah tersenyum sinis.

“Mestinya kau sadar, dengan siapa berhadapan saat ini, Ki!” ujar Rangga, masih tetap kalem.

“Apa peduliku? Kau hanya seorang pengembara kesasar yang mau tahu urusan orang!”

“Tidakkah kau tahu kalau wilayah ini termasuk Kerajaan Karang Setra? Dan, bukankah rajanya seorang pengembara?!”

Nada bicara Rangga datar saja tanpa maksud menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Rangga hanya berpura-pura dengan maksud menggertak. Dan ternyata kata-kata Rangga membuat kepala desa itu tertegun. Dahinya berkerut. Tatapan matanya yang tadi galak, perlahan-lahan berubah lembut.

“Apa maksudmu...?” tanya Ki Somareksa dengan nada lunak.

“Aku hanya sekadar mengingatkan bahwa penguasa kerajaan ini pun seorang pengembara....”

Kepala Desa Galuh ini terkesima memandang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini ditelitinya setiap sudut kecil di wajah pemuda itu untuk memastikan dugaan yang ada di benaknya. Sebentar Ki Somareksa mengingat-ingat. Dan baru disadari kalau Raja Karang Setra adalah seorang pendekar pengembara. Dia juga pernah mendengar kalau ciri-ciri rajanya bila tengah mengembara, selalu memakai baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Sungguh dia tadi tidak menyadarinya. Maka laki-laki tua ini menjatuhkan diri bersujud.

“Ampun, Kanjeng Gusti Prabu...! Maafkan kelancangan hamba! Maafkan kekasaran hamba...! Maafkan hamba...!” ucap Ki Somareksa, penuh penyesalan.

“Kisanak! Apa yang kau lakukan? Kenapa tiba-tiba saja berlutut dan meminta maaf padaku?”

“Oh! Maafkan hamba, Kanjeng Gusti Prabu! Hamba mengaku salah. Maafkan hamba...!” ratap kepala desa itu tanpa beringsut. Seakan, dia begitu takut dijatuhi hukuman berat.

Rangga jadi geleng-geleng kepala, tak mengira kalau gertakannya cukup ampuh untuk menjatuhkan nyali Ki Somareksa.

“Baiklah, kau kumaafkan. Sekarang bangkitlah....”

“Oh! Terima kasih. Kanjeng Gusti Prabu....” Ki Somareksa bangkit perlahan-lahan. Namun badannya sedikit membungkuk dengan pandangan mata menekuri tanah.

“Kenapa kau memanggilku Kanjeng Gusti Prabu? Apa kau kira aku ini seorang raja?” tanya Rangga.

“Kanjeng Gusti Prabu telah menjelaskannya tadi...,” sahut Ki Somareksa takut-takut.

“Kapan? Aku tidak merasa mengaku sebagai raja?!” tukas Rangga.

“Kanjeng Gusti Prabu mengatakan, bahwa Raja Karang Setra adalah seorang pengembara. Dan itu memberi isyarat bahwa sesungguhnya Kanjeng Gusti Prabu sendiri yang bicara demikian,” sahut kepala desa itu, memojokkan Rangga.

“Jangan terlalu yakin kalau tidak tahu pasti. Aku hanya pengembara biasa. Kedudukanku sama seperti rakyat kebanyakan. Kebetulan aku tertarik menyelidiki kejadian-kejadian aneh yang menimpa daerah ini...,” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Dengan senang hati hamba berusaha akan membantu. Silakan masuk ke gubuk hamba, Kanjeng Gusti Prabu...!” ujar kepala desa itu.

Sekarang Rangga tidak berkutik lagi. Dia pasrah, mau dianggap apa. Yang penting, tujuannya membasmi Tabib Siluman terlaksana. Segera diikutinya langkah kepala desa itu masuk ke rumah cukup besar ini. Dan Rangga diterima di ruang tamu.

“Apa yang bisa hamba bantu untuk Paduka...?” tanya Ki Somareksa setelah Pendekar Rajawali Sakti duduk di ruang tamu.

Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya kepala desa itu beberapa saat lamanya. Dan ini membuat Ki Somareksa jadi salah tingkah.

“Entahlah.... Kenapa kau masih menyangka kalau aku seorang raja. Padahal, aku tidak pernah mengatakannya....”

“Siapa yang tidak kenal dengan rajanya sendiri, Gusti Prabu? Hamba pernah mendengar tentang ciri-ciri Gusti Prabu jika tengah mengembara. Tapi sungguh. Hamba sama sekali tidak menyangka kalau Gusti Prabu mengembara ke desa kami yang terpencil dan jauh ini...,” sahut Ki Somareksa.

Rangga kali ini benar-benar terpojok. Tak bisa berkilah lagi. “Ya, sudah. Itu terserahmu saja...,” desah Rangga.

“Maafkan penyambutan hamba yang tidak semestinya, Kanjeng Gusti Prabu...!” ucap Ki Somareksa.

“Sebagai orang biasa, maka ini sudah berlebihan,” kata Rangga.

“Paduka selalu merendahkan diri. Padahal, itu tidak pantas....”

“Seorang raja hanya pengemban amanat rakyat Dan bukan kehinaan bila senantiasa bersikap rendah hati. Tapi, sudahlah. Bukan untuk itu aku datang ke sini....”

“Mengenai tabib itu. Paduka...?” tebak laki-laki setengah baya ini.

“Ya. Sejak kapan dia datang ke desa ini...?” tanya Rangga.

“Belum lama.... Sekitar tiga bulan yang lalu....”

“Selama ini, bagaimana sikapnya terhadap penduduk?”

“Dia ramah dan baik. Bahkan sering menolong tanpa pamrih. Kebanyakan orang yang berkunjung ke tempatnya berasal dari kalangan miskin. Tapi dia sama sekali tidak mengharap imbalan apa-apa,” jelas kepala desa itu.

“Hm, ya...,” gumam Rangga mengangguk pelan.

“Semua penduduk memang curiga, bahwa tabib itu biang keladi dari kematian para pemuda di desa sekitar Telaga Air Mata Dewa. Tapi, hamba tidak yakin kalau dia pelakunya,” lanjut Ki Somareksa.

Rangga tidak langsung menyahut. Kepalanya manggut-manggut dengan kening berkerut dalam.

“Gusti Prabu hendak ke sana?” tanya Ki Somareksa.

“Ya,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, pendek.

“Begitu memang lebih baik. Sehingga Gusti Prabu bisa melihat dan menilai sendiri bagaimana tabib itu sebenarnya....”

Rangga tersenyum. “Dengan siapa dia tinggal di rumah itu?” tanya Rangga lagi.

“Bersama dua pembantunya, Kanjeng Gusti Prabu. Satu laki-laki sudah agak tua. Dan seorang lagi gadis belia berusia sekitar lima belas tahun. Mereka membantu mencarikan dedaunan atau akar-akaran yang dijadikan obat oleh tabib itu....”

“Ketika datang ke sini, tabib itu sudah membawa keduanya?” cecar Rangga.

“Eh, iya...,” jawab Ki Somareksa agak gugup.

“Bagaimana sikap kedua pembantunya?”

“Sama seperti majikannya. Mereka ramah pada setiap penduduk. Hanya saja, sejak peristiwa belakangan ini, para penduduk membenci mereka juga. Tiap kali mereka menegur, maka tak seorang pun yang menyahut,” jelas Ki Somareksa.

“Dan tabib itu sendiri?”

“Ya! Sejak para penduduk membencinya, dia jadi jarang keluar seperti dulu.”

“Kau katakan orang yang datang berobat padanya semakin banyak. Apakah mereka berasal dari luar desa ini?”

“Ya! Penduduk di sekitar sini sudah tidak percaya lagi padanya. Mereka membencinya. Juga, para pemuda yang kabur meninggalkan desanya sering menceritakan tentang tabib itu....”

“Dengan maksud memburuk-burukkannya?” sambung Rangga.

“Tentu saja! Tapi pada kenyataannya, mereka yang berobat tidak pernah berkurang. Malah semakin bertambah.”

“O, begitu. Kelihatannya kau kenal betul dengannya, Ki?”

“Tidak terlalu. Tapi beberapa kali tabib itu pernah ke sini...,” sahut Ki Somareksa malu-malu.

“Dan kau sering ke sana, Ki?” pancing Rangga seraya tersenyum.

Kepala desa itu hanya tersipu malu.

“Boleh kutahu, kapan waktu istirahat tabib itu, Ki?”

“Tengah hari. Dan sebelum tengah malam sampai subuh,” jelas Ki Somareksa.

“Sebentar lagi tengah hari. Sebaiknya aku berangkat menemuinya...,” kata Rangga seraya bangkit dari duduknya.

“Eh! Boleh kuantar. Kanjeng Gusti Prabu?!”

“Boleh. Tapi, asal jangan kau mempermalukan aku dengan panggilan kehormatan itu!”

“Tapi....”

“Tidak ada tapi-tapian, kalau kau mau mengantarku!” tukas Rangga cepat.

“Baiklah...,” desah Ki Somareksa sambil mengangkat kedua bahunya.

***
EMPAT
Baru saja Rangga dan Ki Somareksa tiba di pekarangan rumah Tabib Siluman, sudah terdengar teriakan-teriakan penuh amarah dari kerumunan orang-orang menuntut agar tabib itu keluar rumah.

“Ada apa ini, Ki?” tanya Rangga dengan kening berkerut.

“Entahlah.... Mungkin mereka hendak membuat keonaran di desaku...,” sahut Ki Somareksa.

“Mereka penduduk Desa Galuh?”

“Ada beberapa orang yang bukan penduduk desa ini....”

“Cepat redakan kemarahan mereka, Ki!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa diperintah dua kali, Ki Somareksa berlari dan langsung menyeruak kerumunan.

“Berhenti...! Ada apa ini?!” bentak Ki Somareksa sambil mengangkat kedua tangannya.

Melihat siapa yang datang, orang-orang yang mengenal Ki Somareksa langsung berhenti berteriak. Sebagian menggumam tak jelas, bagai kawanan lebah.

“Ki Soma! Kenapa kau melarang kami untuk menghukum iblis itu?!” teriak seorang penduduk.

“Ya, benar! Kenapa kau melarang kami?!” timpal yang lain.

“Siapa yang kau maksud iblis?!” Ki Somareksa malah balik bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan tabib keparat itu!” sahut beberapa penduduk, hampir berbarengan.

“Dia bukan iblis! Kalau benar tuduhanmu, maka tak seorang pun yang mau berobat padanya!” sergah Ki Somareksa.

“Tanya pada penduduk desamu! Juga, katakan pada penduduk dua desa lainnya yang berada di sekitar sini! Mereka akan mengatakan bahwa tabib itu iblis betina! Dia penyebab kematian pemuda-pemuda di desamu. Dia juga penyebab kematian para pemuda di desa-desa yang berdekatan dengan Telaga Air Mata Dewa. Dan dia juga penyebab kematian adik kami!” teriak seorang laki-laki setengah baya dengan muka garang dan suara kasar.

Begitu selesai kata-katanya, para penduduk berteriak-teriak mendukungnya.

“Tuduhanmu tidak beralasan. Dan tidak ada bukti sedikit pun!” tangkis kepala desa itu.

“Apakah kebencian para pendudukmu terhadapnya bukan bukti nyata? Apakah mereka semua sepakat membencinya tanpa alasan?!” cecar orang ini, yang sepertinya bukan penduduk Desa Galuh.

“Ki Soma! Jangan ikut campur! Lebih baik menyingkir!” teriak seseorang.

“Mundur! Kau tidak pantas menjadi kepala desa!” timpal yang lain.

“Kalau dia tidak mau mundur, usir saja dari sini...!”

“Usir, usiiir...!”

Teriakan-teriakan itu berubah cepat menjadi kenyataan. Dan puluhan warga desa baik lelaki maupun wanita bergerak cepat menyerbu ke arah Ki Somareksa sambil mengacung-acungkan berbagai macam senjata. Bahkan batu-batu mulai menghujani kepala desa itu!

Agaknya para penduduk itu telah lama memendam kebencian pada Ki Somareksa. Sehingga ketika menemukan saat yang tepat, maka kebencian mulai dilampiaskan.

Ki Somareksa jadi ciut nyalinya. Sementara lemparan batu semakin banyak menyerangnya. Sedangkan para penduduk desa mulai rapat mengepungnya. Untung pada saat yang gawat, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala para penduduk dan hinggap di depannya. Seketika dihalaunya serangan batu itu, hingga tak ada satu pun yang mengenai sasaran.

“Berhenti...!” teriak Rangga keras menggelegar, membuat para penduduk yang terus maju jadi berhenti seketika.

“Tolong.... Tolong aku, Kanjeng Gusti Prabu...!” ratap Ki Somareksa, ketakutan sambil bersembunyi di belakang pemuda berbaju rompi putih itu.

“Kisanak! Apa maksudmu melindunginya? Orang itu tidak layak dilindungi. Dia bersekutu dengan iblis betina itu, untuk menimbulkan kekacauan di desa ini!” bantah salah seorang penduduk dengan suara lantang.

“Aku tidak bermaksud melindunginya. Hanya saja menghindari kalian dari tindakan biadab...,” teriak Rangga, tak kalah lantang.

“Orang itu seperti binatang. Dan dia patut menerima ganjaran yang setimpal!” sahut yang lain dengan suara bernada gusar.

Penduduk lain menimpali dengan nada sama. Mereka berteriak-teriak seraya memaki dan menyumpah-nyumpah Kepala Desa Somareksa.

“Berikan dia pada kami. Dan, pergilah kau dari sini! Jangan campuri urusan kami!” teriak yang lainnya.

“Anak muda! Kau orang asing di sini! Tidak perlu campur tangan!”

“Pergi kau...! Pergiii...!”

Meski berteriak-teriak garang begitu, namun tak seorang pun yang berani melakukan pelemparan batu seperti tadi. Agaknya mereka merasa yakin kalau pemuda itu bukan orang sembarangan. Apalagi dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Dengan penampilan seperti itu Pendekar Rajawali Sakti jadi kelihatan wibawa sekali.

“Aku memang orang asing. Tapi aku paling tak suka melihat kalian bertindak semena-mena!” sahut Rangga, dingin.

“Kalau begitu, tangkap iblis betina itu. Dan enyahkan dia dari desa ini!”

“Ya! Bawa dia pergi. Dan, jangan sampai datang ke desa ini lagi!” timpal yang lain.

“Diamlah kalian semua...!” teriak pemuda itu lantang.

Orang-orang itu terdiam. Mereka ingin mendengarkan, apa yang akan dikatakan.

“Aku akan bicara pada tabib itu. Dan kalau perlu, tinggal di desa ini barang beberapa hari untuk menyelidikinya. Sekarang bubarlah. Dan jangan buat kerusuhan disini! Ayo, bubaaar...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti.

Meski menggerutu dan tidak puas, tapi perlahan-lahan para penduduk satu persatu meninggalkan tempat itu.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,” ucap seorang gadis cantik, begitu Pendekar Rajawali Sakti yang ditemani Ki Somareksa telah berada di dalam rumah tabib itu.

Bibir gadis ini yang merah merekah menyungging senyum. Tangan kanannya terjulur. Jarak mereka dekat sekali, sehingga Rangga terpaksa mundur sedikit seraya menyambut jabat tangannya.

“Namaku Dewi Saraswati. Kau boleh memanggilku Dewi atau sesuka hatimu...,” lanjut tabib yang bernama Dewi Saraswati ini.

“Rangga...,” sebut Rangga, memperkenalkan diri.

“Hm, bagus sekali namamu!”

“Maaf, kejadian tadi membuat mereka yang hendak berobat padamu ikut pergi,” ucap pemuda itu, tidak menanggapi pujian Dewi Saraswati.

“Tidak mengapa. Mereka mengerti keadaan. Silakan dicicipi kopi dan kue-kuenya. Maaf aku tidak punya sesuatu yang istimewa. Hanya sekadar kue-kue dan kopi hangat ini.”

“Kau tidak perlu repot-repot, Dewi. Aku sudah dijamu Ki Somareksa. Dan, bukan maksudku menolak hidangan yang kau suguhkan. Tapi, aku punya pantangan untuk tidak makan dan minum dalam waktu yang dekat,” kilah Rangga mencari alasan.

Bukannya tanpa alasan Pendekar Rajawali Sakti menolak halus hidangan yang disediakan tuan rumah. Sejak semula mata hatinya berkata kalau gadis yang dijuluki Tabib Siluman ini bukan orang baik-baik. Sikapnya yang terlihat sedikit genit, membuatnya jengah. Tadi saat bersalaman, pandangan matanya begitu tajam seperti hendak menghujam sanubarinya. Rangga bisa merasakan daya sihir kuat dari pandangan mata itu. Juga jabatan tangan yang membuat tubuhnya merinding dan sedikit gemetar. Wanita ini memang cantik. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya merinding dan gemetar.

“Hm.... Sayang sekali...,” gumam Dewi Saraswati dengan wajah kecewa.

“Ya, sayang sekali...,” Ki Somareksa membeo.

“Tapi bukan karena terpengaruh cerita orang-orang, bukan?” lanjut gadis ini sambil tersenyum kecil.

“Maksudnya?”

“Mereka yang berobat, lalu ditemukan mati di telaga itu. Kemudian, kau mengira bahwa aku membubuhkan racun pada makanan dan minuman ini...,” jelas Dewi Saraswati, terus terang.

“Hm, tidak...,” sahut Rangga berdusta.

“Yaaah, syukurlah. Nah, kini apa yang bisa kubantu untuk mempermudah tugas penyelidikanmu? Orang-orang menuduh bahwa aku penyebab kematian beberapa orang pemuda. Juga, penyebab mengapa banyak pemuda kabur dan meninggalkan desanya. Kau sudah lihat dan dengar sendiri, bukan? Semuanya menuduhku begitu. Padahal, aku sama sekali tidak melakukannya. Kau bisa lihat sendiri. Aku mengobati dan menyembuhkan mereka yang datang ke sini dengan ikhlas, tanpa maksud apa pun selain ingin mengabdikan kepandaian yang kumiliki....”

Pendekar Rajawali Sakti tidak banyak bicara. Dan dia hanya mendengarkan wanita itu bicara panjang lebar tentang perlakuan-perlakuan buruk yang diterimanya dari penduduk desa-desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa.

***
LIMA
Rangga memutuskan untuk menerima tawaran menginap di rumah Ki Somareksa. Selain di tempat kepala desa itu ada sebuah kamar kosong, Rangga pun seperti punya kewajiban untuk melindungi Ki Somareksa dari amukan penduduk yang sewaktu-waktu akan meletus lagi. Sementara bagi Ki Somareksa hal itu seperti anugerah saja. Karena, seorang raja sudi menginap di tempatnya. Dia tetap merasa yakin kalau pemuda itu adalah Raja Karang Setra!

Kamar yang ditempati Rangga tidak terlalu luas, tapi cukup tertata rapi. Tampak sebuah tempat tidur dari kayu jati yang diukir indah, dan sebuah lemari. Di sebelahnya terdapat meja yang di atasnya terletak guci beserta dua cangkir dan sebuah wadah dari kuningan berisi buah-buahan segar.

Tok! Tok! Tok!

Belum sempat Rangga merebahkan diri, terdengar pintu kamar diketuk.

“Masuk! Tidak dikunci...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Begitu pintu terbuka, seorang wanita muda masuk. Dan dia langsung bersimpuh di muka pintu dengan kepala tertunduk.

“Siapa kau...?” tanya Pendekar Rajawali Sakti ramah.

“Hamba Warsih, diutus Ki Somareksa untuk meladeni semua keperluan Kanjeng Gusti Prabu...,” kata gadis bernama Warsih ini.

“Terima kasih, Warsih. Tapi sekarang aku belum memerlukan apa-apa. Aku ingin istirahat Kau boleh keluar...,” ucap Rangga, ramah.

“Hamba menunggu di luar. Kanjeng Gusti Prabu....”

“Ya, silakan....”

Warsih beringsut setelah menghaturkan sembah. Lalu dia berbalik melangkah keluar seraya menutup pintu.

Rangga tidak buru-buru merebahkan diri. Cepat dia duduk bersila untuk bersemadi. Kedua telapak tangannya telah merapat di depan dada. Matanya perlahan-lahan memejam, memusatkan perhatian pada satu titik.

Di luar, malam merambat semakin kelam. Hanya gemersik dedaunan tertiup angin yang terdengar. Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti merasakan keheningan.

Dan tiba-tiba kelopak mata Rangga terbuka. Telinganya mendengar bisikan halus sekali. Dan rasanya, bagai disapu angin.

“Aku tahu kau mendengar suaraku. Keluarlah.... Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu....”

Setelah merasa yakin kalau bisikan itu bukan sekadar khayalan, Rangga menghentikan semadinya. Cepat dia beranjak dari tempat tidur. Matanya melirik sekilas ke arah pintu, kemudian melangkah ke dekat jendela. Bila keluar dari jendela , rasanya tidak akan menarik perhatian penghuni rumah. Begitu pikirnya.

Angin dingin segera menyambut begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti berada di luar. Rangga menutup jendela, kemudian memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tampak gelap. Di langit terlihat awan hitam berkumpul, membentuk hamparan permadani luas yang semakin menambah gelapnya malam.

“Ikuti aku....” Kembali terdengar bisikan.

Srak!

“Hm....” Rangga menggumam pelan ketika melihat sesuatu bergerak tidak jauh di depannya. Sesosok bayangan yang mirip manusia, melesat cepat ke arah tenggara. Dan berarti, menuju Telaga Air Mata Dewa. Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengempos tenaga, dan berkelebat mengejar.

Kejar-mengejar di antara mereka tidak terlalu lama. Orang yang dikejar seperti membiarkan dirinya terus diikuti. Bahkan memberi kesempatan pada pengejarnya agar tidak kehilangan jejak.

Begitu tiba di tepi Telaga Air Mata Dewa, sosok bayangan itu berhenti berlari. Dia berdiri tegak menghadap ke telaga. Dan Rangga cepat pula berhenti, namun tidak mau berada terlalu dekat dengannya. Pendekar Rajawali Sakti mengambil jarak di sebelah kiri, sejauh tujuh langkah. Matanya melirik sekilas pada sosok yang tubuhnya terbungkus kain hitam. Demikian pula bagian muka. Sehingga, pemuda itu tidak bisa mengenalinya. Namun dari bentuk tubuhnya yang ramping, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau sosok itu adalah seorang wanita. Keyakinannya makin mantap.

“Apa maksudmu mengajakku ke sini?” tanya Rangga datar.

Tak ada sahutan, selain semilir angin yang mengibar-ngibarkan rambut. Sementara hawa dingin terasa menusuk tulang sumsum.

“Siapa kau sebenarnya. Dan apa maksudmu mengajakku ke sini?” tanya Rangga.

“Telaga...,” sahut sosok itu sambil menuding ke bawah. Suaranya terputus.

Rangga memandang heran padanya. Sejak tadi sosok ini sedikit pun tak melirik ke arahnya.

“Nisanak! Aku tidak cukup sabar untuk melayani kemauanmu. Katakan, apa yang kau inginkan. Dan, siapa kau sebenarnya?!” desak Pendekar Rajawali Sakti sedikit keras.

Seketika wanita berkerudung hitam itu menoleh. Dan sesaat Rangga terperanjat kaget melihat sepasang mata berkilau tajam laksana mata seekor kucing di kegelapan.

“Kau tidak sabar, Bocah? Padahal kematianmu sudah dekat...!” desis wanita itu tajam. “Hiaaat..!”

Selesai berkata demikian, mendadak wanita itu melejit bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh...?!” Bukan main terkejutnya Rangga mendapat serangan mendadak dengan gerakan sedemikian cepat. Cepat tubuhnya menunduk, dan bergulingan ke belakang. Sementara sebelah tangannya masih menangkis hantaman tangan sosok itu.

Plak!

“Uhhh....” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan. Tangannya yang habis memapak terasa linu dan dingin. Disadari kalau tenaga dalam sosok itu sangat tinggi. Namun begitu secepat kilat dia bangkit dan bersiap menghadapi serangan berikutnya.

Sementara wanita itu telah berdiri tegak di depan Rangga dalam jarak tujuh langkah. Sorot matanya masih tajam ketika memandang pada pemuda berbaju rompi putih itu.

“Kau akan mati di dasar telaga ini, karena berani mencampuri urusan orang!” desis wanita itu.

Suara sosok ini terdengar serak dan parau. Dan sepertinya, dikeluarkan dari tenggorokan.

“Siapa pun adanya kau, jangan harap bisa menyurutkan langkahku untuk menyelidiki pembunuh keji di desa ini!” balas Rangga, tak mau kalah gertak.

“Kalau begitu kau memang harus mampus!”

Setelah berkata begitu, kembali sosok itu melesat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun kali ini Rangga telah siap menangkis.

Plak!

“Heh?!” Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut. Ternyata gerakan sosok ini cepat bukan main, begitu habis menangkis, sosok itu kembali menyerang. Dan ini membuat Rangga jadi kewalahan, tanpa sempat balas menyerang.

“Sial...!” desis Rangga geram, sambil terus menghindar dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.

“Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti? Maaf, riwayatmu hanya sampai di sini!” leceh sosok ini.

“Terserah, bagaimana kau memanggilku. Yang jelas, aku tidak akan menyerah begitu saja!”

“Hik hik hik...!” Orang berselubung hitam itu malah tertawa mengikik mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Suaranya serak, tapi nyaring seperti membelah udara malam yang dingin.

“Hik hik hik...! Pemuda dungu! Kau kira bisa menyelesaikan segala persoalan dengan kepandaianmu yang masih seujung kuku!” ejek sosok itu. “Heaaat..!”

Disertai teriakan keras sosok ini menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya meluruk sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Dengan wajah dingin. Pendekar Rajawali Sakti berusaha melayaninya dengan mengandalkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’. Kadang tubuhnya melenting ringan, namun tak jarang meluruk deras sambil melepaskan pukulan berbahaya.

“Hik hik hik...! Jurus yang hebat.... Tapi apakah kau kira mampu membunuhku?! Ayo, carilah bagian terempuk dari tubuhku!” ejek sosok ini.

“Heaaat...!”

Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti meningkatkan serangannya. Langsung tangannya mengibas disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan rasanya, kali ini serangannya akan telak mendarat di sasaran. Tapi....

Bet!

Klap!

“Heh?!” Kembali Rangga dibuat terkejut ketika kibasan tangannya membabat tempat kosong. Padahal jelas, tangannya menebas ke arah leher. Namun ternyata tahu-tahu saja sosok itu lenyap entah ke mana.

“Hik hik hik...!” Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan. Dan ini semakin membuat Rangga kalap. Namun sebelum dia kembali menyerang, mendadak....

Begkh!

“Akh...!” Rangga mengeluh kesakitan begitu dadanya terhantam pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan kiri mendekap dada.

“Heaaa...!”

Terdengar jeritan serak tapi melengking, dari mulut sosok yang tak terlihat lagi. Dan Rangga hanya merasakan kelebatan angin yang cepat bagai kilat. Dan....

Duk!

“Aaakh...!” Untuk kedua kalinya Rangga menjerit kesakitan. Satu hantaman keras kembali menghajar perutnya. Pendekar Rajawali Sakti terjungkal ke belakang dengan darah menetes dari sudut bibirnya.

Hantaman itu cepat dan keras bukan main. Kalau saja tidak diiringi pengerahan tenaga dalam tinggi niscaya tidak akan membuat pemuda itu menderita luka dalam. Tapi yang dirasakannya terasa berat bukan main, seperti dihantam bandul besi yang beratnya puluhan kati!

“Hik hik hik...! Pendekar Rajawali Sakti, pendekar masyhur kata orang. Memiliki kepandaian laksana dewa. Tapi, siapa yang nyana hari ini akan menemui ajalnya di tangan orang yang tak terkenal. Hik hik hik...!” ledek orang berkerudung hitam yang kini tak terlihat bentuk wujudnya.

“Uhhh...!” Rangga mengeluh tertahan. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha menahan rasa sakit yang diderita, dan bersiaga terhadap serangan berikut. Padahal pemuda itu mulai bingung, bagaimana caranya menghadapi ilmu aneh yang diduga sebagai ilmu ‘Halilintar’.

“Hup...!” Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti memejamkan kedua kelopak mata, siap menghadapi serangan dengan mengandalkan pendengaran.

Pendekar Rajawali Sakti mengira, dengan cara mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, dapat mengimbangi serangan.

“Heaaa...!”

Terdengar teriakan nyaring. Dan Rangga merasakan adanya serangkum angin serangan dari depan. Buru-buru tubuhnya melejit ke belakang sambil berusaha memapak.

Tapi tetap saja Rangga sia-sia saja mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Karena justru, perhatiannya jadi pecah tertuju ke segala arah. Dia yang merasa serangan datang dari depan, sungguh tak menduga kalau tiba-tiba serangan itu berhenti. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, tiba-tiba satu hajaran menghantam punggungnya.

Desss...!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti tersungkur ke depan. Cepat tubuhnya bergulingan ke kiri seraya membuka kelopak mata. Pada saat yang sama serangan selanjutnya datang.

“Yeaaat...!”

Dengan untung-untungan Rangga kembali bergulingan.

Dug! Dug!

Begitu Pendekar Rajawali Sakti melihat ke arah tadi, tampak permukaan tanah melesak ke dalam sampai batas lutut. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila jejakan itu mengenainya.

“Apakah kau telah berdoa untuk kematianmu, Bocah? Pendekar Rajawali Sakti yang malang! Siapa kini yang bisa menolongmu dari kematian? Hik hik hik...!” ejek sosok yang tak terlihat wujudnya.

“Jahanam terkutuk! Sebelum kau mati di tanganku, barangkali kau mau mengakui dosa-dosamu terlebih dulu!” bentak Rangga, seraya bangkit berdiri.

“Dosa? Dosa apa gerangan?!”

“Bukankah kau yang telah membunuh pemuda-pemuda desa ke dalam telaga ini?”

“Hik hik hik...! Dari mana kau punya dugaan seperti itu?”

“Kau tidak butuh dugaanku. Sebaliknya, jawab saja pertanyaanku tadi!”

“Sebagai orang yang mau mampus, rasanya tidak keberatan kujawab pertanyaanmu kalau saja bisa memuaskan hatimu. Nah! Aku tidak tahu-menahu soal pemuda-pemuda yang mati di telaga ini. Puaskah kau dengan jawabanku?”

“Dusta! Kaulah penyebab kematian mereka...!”

“Hik hik hik...! Apa pun penilaianmu, apa peduliku? Pertanyaanmu sudah kujawab.”

“Kau memang iblis wanita yang tidak malu! Kau perempuan jalang yang haus pemuda-pemuda untuk memuaskan nafsu iblis yang bersemayam di jiwamu!” maki Pendekar Rajawali Sakti geram.

“Hik hik hik...!”

Mendengar makian itu, terdengar tawa mengikik dari sosok yang tak jelas ini. Suaranya masih tetap serak dan parau. Tapi, terdengar amat menakutkan di tengah malam buta seperti sekarang.

“Akan kubuktikan sekarang juga! Heaaat...!”

Disertai teriakan menggelegar, menderu angin serangan dari sosok yang tak jelas. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dengan mengandalkan pendengaran yang tajam hanya berusaha menghindar dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Kendati demikian tetap saja dia semakin keteter menghadapi serangan-serangan dahsyat ini.

“Hiaaat!”

Secara meraba-raba, Pendekar Rajawali Sakti menghindar ke samping ketika merasakan angin sambaran ke dadanya. Pada saat yang sama, kembali datang serangan mengarah ke leher. Cepat bagai kilat, Rangga berusaha menyampoknya.

Plak!

“Uhhh...!” Kembali Rangga mengeluh tertahan, begitu terjadi benturan tangan. Mukanya berkerut menahan sakit. Pergelangan tangan sosok yang tak jelas itu terasa dingin amat menusuk. Dan belum lagi Rangga sempat mengatur jarak untuk menghindari serangan selanjutnya, satu sambaran berkelebat ke arah tengkuknya. Dan....

Desss...!

“Akh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan. Tubuhnya sempoyongan dan bergeser ke samping seperti kehilangan keseimbangan. Dan belum sempat memperbaiki keseimbangannya....

Begkh!

“Aaa...!”

Byurrr...!

Dalam keadaan begitu, tiba-tiba satu hajaran keras mendarat di perut Rangga. Pemuda itu terjungkal dan tercemplung ke dalam telaga disertai pekik kesakitan. Tubuhnya tidak bergerak langsung tenggelam ke dasar Telaga Air Mata Dewa.

“Hik hik hik...! Mampuslah kau sekarang, Bocah! Mulai hari ini tidak akan pernah terdengar lagi nama Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah terkubur di dasar telaga ini. Dan jasadmu akan menjadi makanan bagi penghuninya. Hik hik hik...!”

Terdengar suara meledek yang disertai tawa mengikik dari sosok yang tak jelas ini. Perlahan-lahan, sosok yang tak jelas memperlihatkan jasadnya kembali. Kemudian matanya melirik ke telaga. Disertai dengusan sinis, dia berkelebat menghilang dari tempat itu. Belum lama sosok itu pergi, sekonyong-konyong sebuah bayangan hitam lain bergerak cepat ke arah telaga. Dan....

Byur...!

Sosok itu langsung menceburkan diri ke dasar telaga. Lalu tak lama dia muncul kembali membawa jasad Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa berpijak lagi, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu. Suasana kembali sunyi, dan tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa....

***
ENAM
Rangga tidak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri. Namun ketika siuman, kepalanya terasa berat. Pandangannya berputar-putar begitu matanya membuka. Dada dan perutnya terasa sakit bukan main. Pemuda itu berusaha bangkit, namun sebuah tangan menempel di keningnya untuk menahan geraknya. Perlahan-lahan kepalanya menoleh ke samping kanan. Tampak seorang bertubuh ramping duduk bersila di samping kanannya. Pandangannya berusaha ditegaskan, namun yang terlihat hanya samar-samar.

“Ohhh.... Di mana aku sekarang...?” keluh Rangga lirih.

“Kau di tempat yang aman, Kisanak....”

Pendekar Rajawali Sakti kembali berusaha menegaskan pandangan, namun tetap saja belum bisa melihat dengan terang. “Si..., siapakah kau ini?” tanya Rangga, pelan sekali.

“Aku yang menolongmu...!”

“Aku..., aku....” Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat-ingat, namun kepalanya terasa berat dan pusing sekali.

“Jangan banyak bergerak atau berpikir. Keadaanmu gawat, Kisanak. Istirahatlah. Dan tenangkan pikiranmu....”

“Ohhh....” Pendekar Rajawali Sakti berusaha istirahat dan menenangkan pikirannya. Namun peristiwa yang menimpa dirinya terbayang tiba-tiba dan membuatnya terjaga. Tiba-tiba dia bangkit dari tidurnya.

“Berbaringlah. Dan jangan dulu bergerak. Itu akan membuat luka dalam yang kau derita semakin parah...,” ujar sosok berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng.

Suara sosok ini terdengar lembut dan terasa merdu di telinga. Sehingga rasa nyeri yang baru saja diderita Rangga sedikit terobati. Perlahan kembali tubuhnya rebah kembali.

Rangga merasakan jari-jari yang lembut mengusap-usap dahinya ketika matanya memejam. Usapan itu agaknya bukan sembarangan, sebab pemuda itu merasakan hawa hangat mengalir di sekitar kepala, kemudian turun ke bawah hingga merata ke sekujur tubuhnya. Rasa sakit yang dirasakannya perlahan-lahan mulai berkurang. Dan tubuhnya yang tadi lemah seperti tak bertenaga, kini terasa lebih baik.

“Apa yang kau rasakan saat ini?” tanya sosok berpakaian serba hitam yang bila melihat bentuk tubuhnya adalah seorang wanita ini.

Pendekar Rajawali Sakti mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya untuk memperhatikan lebih jelas sosok itu. Seorang bertubuh ramping itu memakai baju hitam pudar, berukuran agak besar. Rambutnya panjang sepinggang dan dibiarkan tergerai begitu saja. Tapi yang paling menyolok adalah sebuah topeng kayu yang melekat menutupi wajahnya. Topeng kayu itu berwarna putih memperlihatkan sepasang bola mata yang jernih.

“Baik....”

Rangga berusaha bangkit dan duduk saling berhadapan. Kini baru disadari kalau mereka duduk beralas tikar pandan dalam sebuah ruangan lebar. Tidak jauh didekatnya, tersedia dua mangkuk porselen yang berisi cairan berwarna kehitaman. Sedang satu lagi berwarna merah. Kemudian pada jarak sekitar empat langkah di kanannya terlihat sebuah jendela berjeruji kayu yang terbuka lebar, sehingga cahaya matahari masuk dengan bebasnya.

“Kaukah yang menolongku?” tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah mengingat-ingat kejadian yang menimpa dirinya.

“Sudah kukatakan tadi....”

“Aku amat berterima kasih dan berhutang budi padamu!” ucap Rangga seraya membungkuk dan menghaturkan hormat.

Orang bertopeng itu terdiam beberapa saat sampai Rangga kembali duduk tegak dan memandang padanya.

“Namaku Rangga. Aku....” Pemuda itu tidak meneruskan kata-katanya ketika orang bertopeng ini mengangkat sebelah tangannya.

“Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya...,” kata orang bertopeng ini, sepergi menggumam.

“Dari mana kau tahu?” tanya Rangga dengan kening berkerut.

“Sejak pertama kau memutuskan datang ke tempat ini....”

“Maksudmu?”

Orang bertopeng itu bangkit. Dan kini baru disadari Rangga kalau kedua kaki wanita bertopeng ini buntung sebatas lutut.

“Kau lihat apa yang terjadi padaku, bukan?” kata wanita ini, seraya kembali duduk.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.

“Untuk inilah aku membawamu ke tempat ini.”

Rangga terdiam. Tapi wajahnya jelas kelihatan bingung. Dia sama sekali belum mengerti maksud kata-kata orang bertopeng ini.

“Akulah yang memanggilmu ke sini melalui tenaga batin. Karena menurutku, kaulah satu-satunya orang yang bisa mengalahkannya.”

“Kau memanggilku kesini?” tanya Rangga, bertambah bingung.

“Ya! Tujuanmu sebenarnya tidak ke sini. Namun sejak berada di istanamu, aku telah menghubungimu. Bahkan berusaha mengalihkan perjalananmu ke sini melalui tenaga batin. Aku ingin minta pertolonganmu untuk membalaskan dendamku pada seseorang....”

“Siapa yang kau maksud?”

“Orang berpakaian serba hitam yang bertarung denganmu di tepi Telaga Air Mata Dewa.”

Rangga terdiam dan tidak langsung menjawab.

“Bagaimana? Apakah kau mau menolongku?”

“Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan aku sendiri berhasil dikalahkannya. Bagaimana mungkin kau memintaku untuk membalaskan dendammu...?” tanya Rangga, lesu.

“Itu tidak menjadi masalah. Sehebat apa pun seseorang, pasti ada kelemahannya. Dan aku tahu kelemahannya!”

“Kalau tahu kelemahannya, kurasa kau tidak perlu pertolonganku lagi.”

Orang bertopeng itu terdiam, lalu kembali duduk bersila. “Aku tidak bisa...,” desah orang bertopeng ini lirih.

“Kenapa?” tanya Rangga.

“Kemampuanku tak cukup untuk melawannya. Lagi pula, aku telah terkena racunnya yang amat ganas,” sahut wanita bertopeng itu pelan.

“Kau tentu mengenal orang itu?”

Orang bertopeng ini mengangguk.

“Siapa dia?”

“Kakak seperguruanku....”

Rangga terdiam. Sementara orang bertopeng itu pun ikut membisu.

“Bagaimana?” tanya orang bertopeng ini setelah sekian lama suasana hening.

“Bagaimana caraku untuk mengalahkannya?” Rangga balik bertanya.

“Dia memiliki aji ‘Halimunan’ yang membuat lawan tidak mampu menyarangkan pukulan. Sedangkan dia leluasa memukul lawan. Di samping itu, dia pun memiliki pukulan sakti bernama ‘Sinar Api Neraka’. Hanya kedua hal itu agaknya yang perlu kau perhatikan. Bila kau berhasil mematahkan kedua ilmu andalannya, maka aku yakin kau akan mampu mengalahkannya.”

“Lalu, bagaimana cara memunahkan kedua ilmu andalannya?”

“Aji ‘Halimunan’ akan punah bila kau menghadapinya dengan batang kelor putih. Kebetulan benda itu ada padaku. Pukullah dia. Dan jangan bernapas saat senjata itu kau babatkan padanya. Tapi, ingat! Kau harus menyerangnya dengan tiba-tiba tanpa disadarinya!”

Rangga mengangguk tanda mengerti.

“Pukulan ‘Sinar Api Neraka’ akan berkurang kedahsyatannya bila telah dilepaskan dua kali. Maka pada pukulan yang ketiga balaslah dengan aji ‘Cakra Buana Sukma’ andalanmu. Tapi harus ingat. Dua pukulan pertama yang dilepaskannya sangat cepat laksana kilat. Dan akibat yang ditimbulkannya dahsyat sekali,” jelas orang bertopeng itu sekali lagi.

“Agaknya kau tahu banyak tentangku...,” gumam Rangga.

“Selama bertahun-tahun aku menanggung dendam pada saudara seperguruanku. Aku mencari-cari orang yang tepat untuk kuminta pertolongannya. Pilihanku jatuh padamu. Maka aku mulai sering bertanya-tanya tentangmu dari orang-orang yang pernah mengenal atau mengetahui tentangmu. Dengan begitu, aku merasa yakin kalau kaulah orang yang tepat untuk menghadapinya...,” jelas wanita bertopeng itu.

“Baiklah. Aku akan menolongmu. Tapi mungkin tidak dalam waktu dekat, sebab aku sendiri tengah terluka dalam dan perlu menyembuhkannya. Mungkin dua minggu atau lebih....”

“Tidak perlu menunggu terlalu lama. Kau lihat dua mangkuk di dekatmu? Itu ramuan khusus yang kubuat untukmu. Ramuan itu bekerja cepat. Dan dalam setengah hari, mampu mengembalikan keadaanmu seperti semula. Bahkan menguatkan tenaga. Minumlah. Dan kau akan merasakannya....”

Rangga mengambil kedua cangkir itu, lalu menoleh pada sosok di depannya.

“Minumlah.... Tidak usah ragu-ragu. Aku tidak meracunimu....”

Perlahan-lahan pemuda itu menenggak isi mangkuk yang pertama. Lalu, disusul isi mangkuk kedua.

“Kau hanya sedikit merasakan pengaruhnya. Tapi, khasiatnya tidak diragukan lagi....”

Apa yang dikatakan orang bertopeng itu memang benar. Rangga hanya sedikit merasakan hawa panas di perut. Bahkan nyaris tidak terasa. Tapi bersamaan dengan itu, tubuhnya pelan-pelan terasa mulai segar.

“Semalaman kau tidak sadarkan diri. Dan banyak memuntahkan darah. Dan mudah-mudahan, sekarang keadaanmu telah lebih baik...” kata orang bertopeng ini.

“Terima kasih. Kau telah merawatku dengan baik. Saat ini, aku sudah mulai segar. Dan mudah-mudahan tidak lama lagi aku akan pulih seperti sediakala. Eh! Kalau boleh tahu, siapa sebenarnya kau ini?” ucap Rangga.

Orang bertopeng itu terdiam sejurus lamanya.

“Maaf, mungkin pertanyaanku menyinggung perasaanmu...,” kata Rangga, pelan.

“Tidak. Kau memang perlu tahu siapa aku. Panggil saja Rinjani....”

“Lalu, kenapa wajahmu ditutupi topeng kayu itu? Adakah sesuatu yang kau sembunyikan?” tanya Rangga lagi.

Rinjani terdiam. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bahkan tanpa sepengetahuan Rangga, di balik topeng itu menetes air bening dari sudut-sudut mata gadis ini.

“Sebenarnya bila tidak berhadapan dengan orang, maka topeng kayu ini kulepas. Wajahku telah rusak, akibat perbuatan Dewi Saraswati, saudara seperguruanku. Bahkan kedua kakiku dibuntunginya pula. Kemudian dia menenggelamkanku ke Telaga Air Mata Dewa setelah mengikat sebongkah batu pada pinggangku agar aku mati tenggelam. Tapi, syukurlah. Sang Hyang Widhi belum berkenan mengambil nyawaku. Aku berhasil melepaskan ikatan itu, meski dengan susah payah. Setelah menotok luka di kedua kakiku agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah, aku merangkak dan terus merangkak menjauhi telaga ini. Sampai akhirnya, aku menemukan sebuah rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Disini, aku menyembunyikan diri sambil merawat lukaku.”

Rinjani diam sebentar, seperti hendak mengumpulkan kekuatannya dalam mengungkapkan kisahnya.

“Setelah bertahun-tahun, kudengar kabar kalau Dewi Saraswati, kembali lagi dengan menjadi tabib di Desa Galuh. Dan aku semakin geram saja saat mendengar kalau Dewi Saraswati ternyata telah menjadi budak iblis. Dia pura-pura jadi tabib, dengan maksud mencari pemuda-pemuda untuk dijadikan tumbal. Bila yang datang berobat lelaki tua, anak-anak atau wanita, dia benar-benar mengobatinya. Tapi bila yang berobat seorang pemuda, maka akan dibuatnya seperti orang linglung, lalu dibunuh dan dibuang ke Telaga Air Mata Dewa.”

Kembali Rinjani menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.

“Maka saat aku mendengar kalau kau datang ke Desa Galuh, aku berusaha menghubungimu. Tepat ketika malam itu kau menginap di rumah Ki Somareksa, aku menyuruhmu keluar dan pergi ke Telaga Air Mata Dewa lewat ilmu mengirimkan suara dari jauh. Tapi, sayang pada saat yang sama, Dewi Saraswati juga bermaksud memancingmu ke luar. Dan bahkan, dia berani menampakkan diri, dan mengajakmu ke telaga itu. Sementara, aku sendiri hanya mengikuti dari belakang dan bersembunyi dari jarak cukup jauh, melihat kalian bertarung....”

Rinjani kembali menghentikan ceritanya. Dan suasana pun jadi hening.

“Dulu wajahku lebih cantik ketimbang dirinya. Sehingga tidak heran bila banyak pemuda yang menyukaiku. Aku tidak menyadari kalau kakak Dewi Saraswati ternyata memendam iri dan dengki. Sepeninggal guru, dia membiusku. Aku tidak sadarkan diri. Dan ketika sadar, kudapati kedua kakiku telah buntung. Kemudian dengan keji dia merusak mukaku. Lalu....” Rinjani tak mampu lagi melanjutkan ceritanya.

“Hm.... Jadi benar kalau Dewi Saraswati adalah Tabib Siluman?” gumam Rangga seperti untuk dirinya sendiri.

Rinjani mengangguk. “Dia membutuhkan para pemuda untuk sebuah ilmu yang dapat membuatnya terus awet muda, dan menambah tenaga dalamnya,” tambah Rinjani.

“Benar-benar terkutuk!” Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram.

“Dia harus cepat-cepat dibinasakan, sebab akan banyak lagi korban berjatuhan...,” tambah Rinjani lagi.

“Aku memang tak akan membiarkan keangkara-murkaan merajalela di dunia ini!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Tapi, ingatlah baik-baik! Dia mempunyai dua pembantu yang bukan orang sembarangan. Mereka akan menjadi batu sandungan bila kau menganggap rendah. Bahkan dia pun memiliki beberapa orang hamba sahaya yang selama ini tidak menampakkan diri...,” jelas Rinjani.

“Maksudmu?”

“Orang-orang yang mati di tangannya karena meminum ramuan obat yang diberikan, akan bangkit dari kuburnya dan menyerangmu bila dikehendaki. Berhati-hatilah! Untuk membinasakan mereka gunakan cara seperti kau memunahkan aji ‘Halimunan’ itu. Pukullah mereka dengan batang kelor putih sambil menahan napas.”

***

Ki Somareksa tampak tergopoh-gopoh mendatangi rumah tabib bernama Dewi Saraswati lewat belakang. Sebentar-sebentar bola matanya memandang ke sekeliling tempat. Dan ketika merasa yakin tidak ada seorang pun yang mengawasi, dia mengetuk pintu.

“Buka pintu...!” seru kepala desa itu, berbisik.

“Siapa?” tanya suara dari dalam.

“Aku, Ki Somareksa...!”

Pintu terbuka. Dan seraut wajah manis menyembul dari dalam. Ki Somareksa segera menguak pintu agak lebar dan buru-buru masuk ke dalam. Lalu dikuncinya rapat-rapat.

“Nyai ada?” tanya Ki Somareksa, pada gadis belia pembantu Dewi Saraswati.

“Tengah di kamarnya...,” sahut gadis belia itu.

“Kapan kira-kira dia keluar?”

“Sebentar lagi....”

“Ki Baligu mana?”

“Keluar mencari kayu bakar....”

“Biar aku menunggu di sini saja....”

Gadis belia itu tidak mempedulikannya, dan kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur. Sementara kepala desa itu menunggu, tak lama orang yang dimaksud muncul.

“Ada apa?” tanya wanita yang tak lain Dewi Saraswati dengan nada dingin.

Rambut wanita ini yang panjang masih dilepas begitu saja. Dan tubuhnya dibalut jubah kuning yang pada bagian tertentu disulam benang emas. Dia berdiri tegak di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Pemuda itu tidak ada di kamarnya!” seru Ki Somareksa seraya menghampiri wanita itu. Wajahnya tampak tegang. Dan dari pancaran sinar, matanya, tampak kegugupannya.

“Lalu?” tanya Dewi Saraswati.

“Kita harus cari dia!”

“Untuk apa?”

“Untuk apa? Apakah kau tidak khawatir? Dia tengah mencari-carimu.”

Dewi Saraswati memandang sekilas, kemudian berbalik dan kembali ke kamarnya. Sementara kepala desa itu mengikutinya. Mereka langsung duduk bersila saling berhadapan di atas permadani merah. Ada bekas pedupaan yang asapnya masih sedikit mengepul. Ruangan ini sendiri masih harum oleh wangi-wangian serta bau kemenyan.

“Apa yang kau khawatirkan? Dia tidak mencari-cariku...,” kata wanita ini membuka percakapan.

“Mana mungkin! Lambat-laun dia akan curiga bahwa kau biang keladi semua ini!” desis Ki Somareksa.

“Jangan keras-keras bicaramu! Atur kecemasanmu. Dan, tenanglah. Nah! Kau tidak perlu khawatir, sebab pemuda itu kini telah mati!” tandas Dewi Saraswati.

“Mati? Apa maksudmu?!” tanya kepala desa ini, dengan kening berkerut.

“Tadi malam kupancing dia keluar, lalu kubunuh di dekat telaga. Mayatnya tenggelam di dasar telaga itu,” jelas wanita berjuluk Tabib Siluman itu.

“Astaga! Sadarkah kau dengan perbuatanmu? Dengan begitu kita akan mendapat kesulitan baru,” sentak Ki Somareksa, terkejut setengah mati.

“Heh, bicara apa kau?!”

“Dia bukan orang sembarangan!”

“Ya, aku tahu. Dia tokoh tingkat tinggi yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.”

“Lebih dari itu sebenarnya. Pemuda itu adalah Raja Karang Setra!”

Tabib Siluman terdiam mendengar penjelasan itu. Dipandanginya wajah Ki Somareksa seakan ingin mencari kebenaran kata-katanya di situ.

“Aku berkata yang sesungguhnya! Belum lama, kukirim orang ke Karang Setra. Dan ternyata, begitulah keadaannya!”

“Huh, apa peduliku?! Yang jelas dia telah mampus di dasar telaga itu! Siapa yang tahu? Lagi pula, bahaya apa yang kau maksud kalau memang orang-orang tahu aku membunuhnya?” leceh wanita ini.

“Kepergiannya ke sini, tentu diketahui pihak kerajaan. Bila dalam beberapa hari tidak kembali, tentu para prajurit kerajaan akan dikerahkan ke sini. Mereka tentu akan menekan untuk mencari tahu soal raja mereka!” jelas Ki Somareksa, bernada khawatir.

“Kau tidak perlu takut! Katakan saja dia menghilang dirumahku. Akan kuhadapi meski seluruh prajurit kerajaan dikerahkan untuk menangkapku! Nah! Pulanglah kau. Dan, tidak usah berpikir macam-macam. Sebentar lagi akan banyak orang datang ke sini untuk berobat. Dan kehadiranmu hanya mengganggu mereka saja!” ujar Tabib Siluman, kasar.

Ki Somareksa terdiam. Tapi perlahan-lahan dia beringsut dan segera bangkit. Lalu ditinggalkannya tempat ini melalui jalan belakang pula.

***
TUJUH
“Apa kabar, Ki Baligu? Masih mengenalku...?” tegur seorang pemuda berbaju rompi putih, menghalangi jalan seorang laki-laki tua berikat kepala merah yang tengah memikul kayu bakar di jalan setapak ini.

“Eh.... Bukankah kau....”

“Ya, aku Rangga. Dan aku tidak mati seperti dugaan majikanmu Tabib Siluman...,” potong pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Kisanak! Aku hendak lewat. Sudilah kiranya kau menepi barang sedikit,” kata laki-laki tua bernama Ki Baligu, mengalihkan pembicaraan seperti tak ingin mempedulikan Rangga.

“Kau boleh lewat, tapi harus dengan membawa pesanku padanya...,” sahut Rangga, dingin.

“Kisanak kuharap jangan menggangguku...!” kilah Ki Baligu, tidak peduli pada kata-kata Rangga.

“Jangan sampai aku berubah pikiran, Ki. Aku bisa saja bertangan kejam!” desis Rangga.

“Aku tidak mengerti maksudmu?!” elak Ki Baligu, seraya meletakkan pikulan kayu bakarnya.

“Katakan pada Tabib Siluman. Suruh datang tengah malam nanti di tepi Telaga Air Mata Dewa. Ada hutang lama yang harus dibayarnya!”

“Aku tidak tahu siapa itu Tabib Siluman?! Kalau memang ada urusan dengan majikanku sampaikan saja sendiri,” tandas Ki Baligu.

“Kau membuat kesabaranku habis, Ki! Heaaa...!”

“Heh?!”

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menyerang.

“Hup!” Namun Ki Baligu mampu bergerak tak kalah gesit. Dia melompat ke samping, sehingga terjangan Rangga hanya menyambar tempat kosong.

“Bagus! Akan kulihat, sampai di mana majikanmu menurunkan ilmunya!” kata Rangga, mencoba memancing kemarahan Ki Baligu.

Begitu kata-katanya habis Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagai kilat, sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

Tak disangka, ternyata Ki Baligu melayaninya. Tangannya berputaran, melepaskan sampokan untuk memapak.

Plak! Plak!

“Uhhh....” Laki-laki tua pembantu Tabib Siluman itu mengeluh tertahan begitu terjadi benturan tangan. Dari sini Rangga bisa langsung mengukur kekuatan lawan. Maka belum lagi Ki Baligu berusaha memperbaiki keseimbangan tubuhnya yang sempoyongan, Pendekar Rajawali Sakti langsung menyusuli dengan tendangan menggeledek ke arah dada.

“Hup!”

Tapi Ki Baligu cepat menjatuhkan diri ke tanah dan secepat itu pula bergulingan ke tanah. Namun serangan Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai disitu saja. Begitu laki-laki tua itu melenting bangkit berdiri, tubuhnya kembali meluruk deras dengan sebuah kibasan tangan. Tak ada waktu lagi bagi Ki Baligu untuk menghindar. Dengan terpaksa, kembali dipapaknya kibasan tangan itu dengan tangan kanan menyilang.

Plak!

“Uhhh...!” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Baligu terhuyung-huyung ke belakang, tak mampu menahan kekuatan tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya yang memapak tadi terasa nyeri bukan main. Mulutnya meringis sambil memijat tangan kanannya dengan tangan kiri.

Dan belum juga rasa sakitnya hilang, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas menggunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Seketika tubuhnya meluruk, dengan kedua telapak tangan menguncup, membentuk paruh rajawali ke arah Ki Baligu. Lalu....

Tuk! Tuk!

“Aaakh...!”

Tanpa dapat mengelak lagi, tubuh Ki Baligu melorot ambruk terkena totokan Pendekar Rajawali Sakti di kedua pundaknya. Saat itu juga tulang-tulangnya terasa dilolosi. Begitu kuat tenaga dalam yang terkandung dalam totokan, membuat Ki Baligu langsung pingsan.

“Heaaa...!”

“Majikanmu akan segera menerima hadiah ini...,” kata Pendekar Rajawali Sakti, begitu mendarat di tanah.

Dengan sekali bergerak Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat dari tempat ini seraya memanggul tubuh orang tua itu.

***

“Apa yang terjadi, Ki Baligu? Kenapa tiba-tiba kau berada di belakang dalam keadaan tertotok dan tidak sadarkan diri...?” tanya seorang gadis belia, pembantu setia Tabib Siluman yang telah menemukan laki-laki tua itu terbaring di depan pintu belakang rumah.

Segera gadis ini membawa membopong tubuh Ki Baligu. Tak ada kesulitan baginya saat membopong, menandakan kalau gadis ini memiliki kepandaian yang tak bisa dipandang enteng. Begitu berada di dalam, diletakkannya tubuh orang tua ini ke sebuah balai bambu. Sebentar gadis ini memeriksa, membolak-balikkan tubuh Ki Baligu.

“Hm...!” gadis belia ini menggumam pelan, ketika melihat sesuatu yang terjadi pada pundak Ki Baligu. Lalu....

Tuk! Tuk!

“Ohhh...!” Perlahan-lahan Ki Baligu siuman, ketika totokan pada tubuhnya sirna oleh totokan gadis belia itu. Begitu tubuhnya membalik, matanya mengerjap-ngerjap seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Oh.... Di mana aku...?” tanya Ki Baligu, lirih.

“Kau sudah di rumah, Ki...,” kata gadis belia itu, yang duduk di sampingnya. “Siapa yang menyerangmu?”

“Pemuda berbaju rompi putih yang pernah datang ke sini....”

“Dia?! Apa yang diinginkannya?” sentak gadis belia ini.

“Dia menitip pesan untuk Nyai...,” desah Ki Baligu.

“Pesan?” ulang gadis belia itu, seraya menyodorkan secangkir teh.

Ki Baligu mengangguk, lalu mengambil cangkir teh yang disodorkan.

“Tapi Nyai saat ini tengah mengobati beberapa orang tamu....”

“Ya. Akan kukatakan nanti padanya....”

“Kayu bakar itu kau tinggalkan, Ki?”

“Apakah persediaan masih banyak?” Ki Baligu balik bertanya.

Gadis belia ini mengangguk.

“Biarlah besok akan kuambil. Atau, kalau Nyai memerintahkan akan kuambil sekarang juga.”

“Sudahlah, tidak usah terburu-buru. Sebaiknya kau istirahat dulu. Tenangkan pikiran....”

Ki Baligu mengangguk. Dihabiskannya isi cangkir di tangannya. Lalu ditariknya napas dalam-dalam. Tidak berapa lama, seorang perempuan cantik muncul. Dan Ki Baligu langsung menjura hormat.

“Nyai...,” sambut laki-laki tua ini.

“Ada apa, Ki?” tanya perempuan yang tak lain Dewi Saraswati.

“Seseorang menitip pesan kepada Nyai...,” sahut Ki Baligu.

“Siapa dia?”

“Pemuda itu, Nyai....”

“Pemuda? Pemuda yang mana?” Dahi Dewi Saraswati alias Tabib Siluman berkerut Dipandanginya laki-laki tua itu lekat-lekat Sementara yang dipandang menundukkan kepala.

“Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.”

“Rangga...?! Tidak mungkin! Dia sudah mati! Aku tahu persis kalau pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu terluka dalam amat parah dan tercebur dalam Telaga Air Mata Dewa!” sentak Tabib Siluman ini.

“Tapi, begitulah kenyataannya, Nyai...,” tandas Ki Baligu, pelan.

“Ya! Kalau toh dia masih hidup, paling tidak memerlukan waktu berbulan-bulan untuk memulihkan kekuatannya. Tapi ini...?” gumam Dewi Saraswati, dengan kening berkerut dan kepala menggeleng-geleng. “Siapa yang menolongnya...?”

“Tapi dia benar-benar pemuda itu, Nyai....”

“Ah, sudahlah. Apa yang dititipkannya padamu..,?” sergah Dewi Saraswati sambil mengulapkan tangan.

Ki Baligu lalu menceritakan peristiwa yang tadi dialami. Sementara Tabib Siluman mengangguk dan tersenyum.

“Akan kulihat nanti malam, apakah kau berkata benar kalau pemuda itu masih hidup,” tukas Tabib Siluman, setelah mendengar cerita Ki Baligu.

“Hati-hati, Nyai. Aku punya firasat tidak enak....”

“Kau meragukan kemampuanku?”

“Mana berani hamba berpikir begitu!”

Dewi Saraswati tersenyum. “Kalau demikian, buang jauh-jauh firasatmu itu!”

“Baik..., baik..., Nyai.”

“Bagus. Sudah selesaikah urusanmu?”

“Eh! Be..., belum. Nyai.”

“Tidak mengapa. Biar saja kayu bakar itu. Besok kau bisa mengambilnya, bukan?”

“Iya, Nyai!”

“Bagus. Nah, bantulah Rara di sini!”

“Baik, Nyai.”

Tabib Siluman berbalik dan kembali ke kamarnya.

***

Malam ini terasa dingin. Sesekali angin bertiup semilir menambah dinginnya malam. Dalam keadaan begini, penduduk Desa Galuh akan enggan keluar rumah. Sehingga tidak mengherankan bila di sepanjang jalan utama desa ini tak terlihat seorang pun berkeliaran. Semuanya bersembunyi di rumah masing-masing, atau tengah terlelap dalam mimpi. Tapi bukan hanya malam ini saja desa itu sepi. Melainkan, telah beberapa minggu lamanya sejak kejadian-kejadian buruk menimpa beberapa pemuda desa. Orang-orang tidak berani keluar malam karena takut. Demikian juga para peronda.

Dalam keadaan begitu, terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat. Begitu cepatnya bayangan itu melesat, sehingga bisa-bisa orang menyangka bahwa yang terbang melesat itu adalah seekor kelelawar besar. Sesungguhnya hanya tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi saja yang mampu berbuat seperti itu!

Arah yang dituju sosok bayangan hitam bertubuh ramping itu, adalah Telaga Air Mata Dewa. Tapi sebelum sampai ke tempat itu, mendadak berlompatan dua sosok tubuh yang langsung menghadang perjalanannya.

“Berhenti kau, iblis Betina...!”

“Hm....”

Bayangan bertubuh ramping itu menghentikan langkah, lalu berdiri tegak menghadap dua penghadangnya. Rambutnya panjang terurai. Tubuhnya dibungkus jubah hitam. Bagian mukanya juga tertutup kain hitam. Hanya sepasang matanya yang tajam berkilau, seperti mata seekor kucing dalam kegelapan.

“Ular Setan dan Tapak Bayangan, mau apa kalian ke sini?!” tanya bayangan bertubuh ramping, yang agaknya mengenali dua sosok penghadangnya.

“Hari ini kami akan membuat perhitungan denganmu, Tabib Siluman keparat! Tak ada lagi tempat bagimu untuk lari!” dengus salah seorang penghadang yang berkumis tebal.

Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Bentuk mukanya agak lonjong. Kedua rahangnya agak menonjol. Rambutnya dikuncir ke belakang. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang tipis.

Sedang seorang lagi bentuk mukanya mirip tengkorak. Dia memakai ikat kepala hitam. Kedua tangannya terlipat di dada. Dan pandangan matanya tidak kalah tajam dibanding bayangan hitam di depannya itu.

“Aku datang mewakili kedua muridku, Sancang dan Satria. Perbuatanmu terhadap adik mereka sungguh terkutuk! Dan Tapak Bayangan mempunyai urusan yang hampir sama denganku. Salah seorang keponakannya mati, setelah berobat padamu. Tidak usah mengelabui kami, Keparat! Sudah banyak cerita tentangmu yang kami dengar. Kau harus mempertanggungjawabkannya sekarang juga!” seru laki-laki bersenjata pedang yang lebih dikenal sebagai Ular Setan.

“Hik hik hik..,! Sebenarnya aku malas berurusan dengan kalian. Juga, enggan mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, baiklah. Akan kuluruskan persoalan ini. Aku sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan-pembunuhan yang kalian dengar dari orang-orang desa. Itu fitnah belaka!” tandas bayangan hitam yang ternyata Tabib Siluman.

“Phuih! Terkutuk kau. Iblis Laknat! Di desa ini tak seorang pun yang memiliki kepandaian hebat selain dirimu. Siapa yang mampu berbuat begitu dengan leluasa? Lagi pula, tidak perlu mungkir. Sebab, kepala desa bernama Somareksa telah mengungkapkannya semua!” tukas si Ular Setan.

“Hm.... Jadi kalian banyak mendengar cerita bohong darinya...?”

“Tidak usah berpura-pura. Sebab dalam ketakutannya, dia pun telah bercerita bahwa kau telah membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Kepala desa itu sudah semestinya mampus, karena berkomplot denganmu. Dan sebentar lagi kau akan menyusulnya ke neraka!” timpal laki-laki berwajah tengkorak yang berjuluk si Tapak Bayangan yang sejak tadi diam mendengarkan.

“Hik hik hik...! Aku telah katakan hal yang sebenarnya, tapi kalian lebih percaya pada si dungu itu. Sekarang, terserah. Apa mau kalian?!”

“Kami inginkan nyawamu. Iblis Keparat!” Setelah berkata demikian Ular Setan melompat menyerang.

“Heaaat!”

Pada saat yang sama, Tapak Bayangan segera menyusuli. Mereka menyadari, setelah mendengar berita bahwa Pendekar Rajawali Sakti binasa, tentulah kepandaian Tabib Siluman tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka tanpa ditunda-tunda lagi, keduanya mengerahkan segala kemampuan guna menjatuhkan tabib itu secepatnya.

“Haaat!”

“Hiyaaat...!”

Ular Setan dengan permainan ilmu pedangnya yang hebat, serta Tapak Bayangan dengan ilmu silat tangan kosongnya, melakukan serangan bertubi-tubi. Bila saja yang dihadapi tokoh silat yang memiliki ilmu tanggung, niscaya sejak awal tadi mungkin mereka mampu membinasakannya. Tapi yang dihadapi saat ini adalah seorang wanita iblis perempuan berkepandaian tinggi. Jangankan mampu membinasakannya. Bahkan menyentuh ujung pakaiannya pun mereka tidak mampu.

Ilmu meringankan tubuh Tabib Siluman memang luar biasa hebat. Sedikit pun tidak merasa kesulitan menghindari serangan-serangan. Bahkan masih sempat tertawa nyaring, yang membuat kedua lawannya semakin geram saja.

“Hik hik hik...! Kerahkan seluruh kemampuan yang kalian miliki! Ayo, pamerkan semua kebisaan yang kalian miliki, sebelum aku mengirim kalian berdua ke akhirat...!” ejek Tabib Siluman.

“Keparat...!” dengus Ular Setan geram.

Mau tidak mau, laki-laki berkumis lebat itu terpaksa harus mengakui kehebatan Tabib Siluman. Tubuhnya telah mandi keringat. Dan napasnya mulai sedikit memburu. Semua ilmu pedang yang dimilikinya telah dikerahkan. Namun wanita itu sama sekali tidak bergeming. Kini dia bermaksud mencoba cara lain.

“Heaaa...!”

Disertai bentakan nyaring. Ular Setan merogoh saku jubah kuningnya. Langsung dikeluarkannya beberapa ekor ular hitam sebesar kelingking dan sepanjang kurang dari dua jengkal. Dan seketika, kedua ular itu dilemparkan.

“Sss...!”

“Mainan anak kecil begitu kau pamerkan!” ejek Tabib Siluman. “Phuih...!”

Seketika dua lendir menjijikkan meluncur dari mulut Tabib Siluman, ke arah dua ular yang meluncur ke arahnya.

Pras! Prasss!

Ular-ular amat beracun itu kontan berjatuhan di tanah, menjadi beberapa bagian terhantam lendir yang dikeluarkan lewat tenaga dalam tinggi.

“Heh?!” Ular Setan terkejut setengah mati, melihat ular-ularnya binasa hanya sekali gebrak.

“Tidak perlu terkejut. Ular Setan. Aku menguasai hampir seluruhnya tentang obat-obatan. Termasuk, obat-obatan yang mengandung racun. Meski ular-ular peliharaanmu mampu menggigitku, dia tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebab, darah dan ludahku lebih beracun ketimbang bisa ular-ularmu...!” ejek Tabib Siluman.

***
DELAPAN
“Boleh jadi begitu. Tapi, pukulan ‘Tapak Bayangan’ku tidak peduli dengan segala racun-racunmu!” hal ini si Tapak Bayangan yang menyahuti. Bersamaan dengan itu kedua telapak tangan laki-laki berwajah mirip tengkorak disorongkan ke depan.

Wesss!

Seketika seberkas cahaya berwarna keperakan bergerak cepat laksana gemuruh angin topan, mengancam keselamatan Tabib Siluman.

“Heaaa...!”

“Heh...?!” Bukan main terkejutnya Tapak Bayangan ketika melihat pukulan jarak jauhnya menembus tubuh Tabib Siluman dan terus menghantam sebuah pohon besar yang ada di belakang.

Brakkk!

Pohon besar itu kontan roboh ambruk, menimbulkan suara gemuruh dahsyat.

“Hik hik hik...! Ayo, kerahkan semua tenaga dalammu. Dan pilih bagian tubuhku yang empuk!” tantang Tabib Siluman, merendahkan.

“Hiaaah...!”

Tapak Bayangan mencoba sekali lagi. Kedua telapak tangannya kembali menghentak.

Wesss...!

“Hik hik hik...!”

Kembali Tapak Bayangan harus menahan kekecewaan ketika sinar keperakan yang meluncur dari telapak tangannya, hasilnya tetap seperti tadi. Pada saat yang sama Ular Setan ikut membantu. Pedangnya cepat dibabatkan.

Wuttt!

“Heh?!” Kali ini Ular Setan yang kecewa bercampur kaget, ketika pedangnya hanya menebas tempat kosong belaka. Padahal jelas senjata itu memapas pinggang Tabib Siluman. Dan belum lagi mereka menyerang kembali, mendadak tubuh Tabib Siluman bergerak bagai tiupan angin. Lalu....

Begkh! Des!

“Aakh...!”

Kedua orang itu terkesiap dan sama sekali tidak mampu mengelak. Mereka menjerit kesakitan dan terjungkal ke belakang, begitu hantaman Tabib Siluman mendarat di perut dan dada masing-masing.

“Heaaa...!”

Belum lagi mereka berbuat apa-apa, tubuh Tabib Siluman telah bergerak cepat. Kali ini yang jadi sasaran Ular Setan.

Desss!

“Hugkh...!” Ular Setan menjerit tertahan ketika perutnya diinjak Tabib Siluman. Tubuhnya sampai terangkat beberapa jengkal ke atas tanah. Dari mulutnya seketika menyembur darah segar. Namun, Tabib Siluman tidak berhenti sampai di situ.

“Kau akan mampus lebih dulu. Dan setelah itu, si muka tengkorak akan segera menyusul!”

“Wanita iblis, mampuslah kau...!”

Tapak Bayangan mencoba membantu dengan menyerang Tabib Siluman dari belakang.

Pias! Pias!

“Heh...?!” Kembali Tapak Bayangan tersentak kaget. Usahanya ternyata sia-sia, sebab pukulan dan tendangannya hanya mengenai tempat kosong.

“Percuma sama kau menyerangku, Muka Tengkorak! Lebih baik simpan tenagamu untuk menjemput ajalmu nanti,” desis Tabib Siluman.

Pada saat itu Ular Setan berusaha mempertahankan diri mati-matian dari injakan Tabib Siluman yang disertai tenaga dalam tinggi. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk berontak, sebab tenaga dalamnya sendiri hanya mampu untuk menahan. Sementara pedangnya sudah sejak tadi terpental. Sedangkan ular-ular beracunnya sama sekali tidak berguna lagi.

Tabib Siluman saat ini memang sudah mengerahkan aji ‘Halimunan’ pada tingkat pertengahan. Pada tingkat seperti ini, tubuhnya masih terlihat jelas, namun hanya berupa bayangan semu saja. Sehingga bila sebuah pukulan menghantam, hanya seperti menyambar angin saja.

Sementara itu. Tapak Bayangan sama sekali tidak merasa jemu dan mencoba segala cara untuk mencari titik kelemahan Tabib Siluman dengan menyerang gencar. Meski tidak mampu melukainya, namun wanita iblis ini merasa jengkel juga. Lalu....

“Hih!” Saat itu juga. Tabib Siluman menekan perut Ular Setan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

Bras!

“Aaa...!” Disertai jeritan menyayat, Ular Setan kelojotan ketika kaki Tabib Siluman amblas ke dalam perutnya. Darah langsung berhamburan dari perutnya yang pecah. Sebentar laki-laki itu meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.

“Hiaaa...!” Tepat ketika Tapak Bayangan meluruk menyerang dari belakang. Tabib Siluman berbalik dan menanti.

Wuttt!

Tapak Bayangan melepaskan hantaman keras ke arah kepala, namun lagi-lagi hanya menghantam angin kosong. Pada saat yang sama. Tabib Siluman menghantam dadanya.

Desss...!

“Aaakh...!” Tapak Bayangan kontan menjerit keras. Tubuhnya terpental balik ke belakang. Baru saja dia berusaha bangkit, Tabib Siluman telah berkelebat sedemikian cepat mengirim serangan susulan.

Desss!

“Akh...!” Kembali Tapak Bayangan menjerit menyayat ketika hantaman Tabib Siluman mendarat di perutnya. Tubuhnya terpental dengan darah meleleh dari mulutnya. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit yang hebat, ketika ambruk di tanah.

Sementara Tabib Siluman hanya memandangi sebentar. Kemudian tubuhnya berkelebat hendak melanjutkan serangan. Tapi....

“Tahan, Tabib Siluman. Kukira sepak terjangmu cukup sampai di sini saja.”

Seketika Tabib Siluman menghentikan serangan. Kepalanya langsung menoleh ke arah datangnya suara. Dan betapa terkejutnya dia ketika dua tombak di depannya telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.

“Pendekar Rajawali Sakti! Bukankah....”

Walaupun sempat diberitahu Ki Baligu, tak urung Tabib Siluman terperanjat kaget melihat pemuda tampan yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Semula dia memang tak yakin kalau Rangga masih hidup. Itu sebabnya, dia langsung ingin membuktikannya.

“Jangan terlalu heran, Dewi Saraswati! Yang jelas Sang Hyang Widhi belum menghendaki kematianku...,” ujar Rongga kalem.

“Huh! Setan mana yang menyelamatkanmu?!” bentak Tabib Siluman.

“Seseorang yang telah kau sakiti hatinya dan kau buat cacat tubuhnya...,” sahut Rangga, kalem.

“Bangsat! Jadi, Rinjani pun masih hidup?! Hm.... Jadi kau berniat membalaskan dendamnya?!” geram Tabib Siluman, seperti untuk dirinya sendiri.

“Bukan dendam. Aku hanya ingin melenyapkan keangkaramurkaanmu saja,” kata Rangga, dingin.

“Bedebah...! Hiaaa...!”

Agaknya Tabib Siluman gegabah sekali. Dia terlalu percaya dengan keampuhan ilmu yang dimilikinya, sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan pertahanan dirinya. Tubuhnya langsung meluruk, melepaskan serangan bertubi-tubi ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Sebaliknya dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengelak. Dan tiba-tiba disabetkannya sepotong ranting.

Ctar!

“Aaakh...!”

Tabib Siluman kontan memekik setinggi langit dan jatuh terjungkal ke belakang. Ternyata, aji ‘Halimunan’ yang digunakan langsung pudar pengaruhnya. Sehingga tubuhnya yang semula berupa bayangan semu, perlahan-lahan nampak jelas membentuk jasad kasar.

“Kelor putih? Kurang ajar! Pasti Rinjani yang memberitahu!” dengus Tabib Siluman. Sepasang matanya terbelalak kaget melihat ranting kelor putih yang telah melumpuhkan ajiannya.

“Dari siapa pun benda ini yang jelas mulai sekarang kau tidak bisa lagi membanggakan aji ‘Halimunan’!”

“Huh! Kau kira bisa berbuat seenaknya?! Jangan harap, sebab sebentar lagi kau akan mampus di tanganku!”

Setelah berkata begitu, Tabib Siluman melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Lalu kedua telapaknya dirapatkan di dada. Kedua tangannya perlahan-lahan bergetar. Demikian pula tubuhnya. Kemudian tiba-tiba saja....

“Heaaa...!”

Disertai bentakan nyaring, Tabib Siluman menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Wut! Wus...!

Bukan main terkejutnya Rangga ketika melihat selarik cahaya putih keperakan amat menyilaukan mata. Sinar itu bergerak secepat kilat ke arahnya, menimbulkan angin kencang laksana badai topan serta hawa panas yang amat menyengat.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menjatahkan diri ke samping lalu bergulingan. Sehingga pukulan Tabib Siluman yang dikenali bernama pukulan ‘Sinar Api Neraka’ luput dari sasaran. Namun demikian, hawa panas dari angin sambarannya seperti membakar tubuh. Dan akibat yang ditimbulkannya pun sungguh hebat. Beberapa batang pohon besar kontan mengering jadi arang, lalu perlahan-lahan ambruk.

“Hm.... Inikah yang dinamakan pukulan ‘Sinar Api Neraka’?” gumam Rangga dalam hati dengan sinar mata penuh takjub.

“Hik hik hik...! Masih untung kau bisa menyelamatkan diri, Keparat! Tapi sebentar lagi tubuhmu akan lumat jadi arang!” desis Tabib Siluman.

“Silakan, Dewi. Kau yang memulainya. Dan aku hanya meladeni saja...,” ucap Rangga, dingin menggetarkan.

“Hm.... Kenapa kau begitu yakin kalau aku Dewi Saraswati?” tanya Tabib Siluman, penasaran.

“Rinjani telah menceritakan semuanya....”

“Bedebah!” dengus Tabib Siluman.

“Ya! Jadi buka saja topengmu. Karena sia-sia saja kau bersembunyi di balik kain hitam itu....”

“Keparat! Akan kulihat, apakah kau masih mampu bertahan dengan aji pamungkasku,” bentak Tabib Siluman. “Heaaa...!”

Tiba-tiba saja Tabib Siluman melompat menyerang. Tapi agaknya hal itu tidak semudah perkiraannya. Sebab, Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak cepat mengimbangi serangannya. Bahkan dengan suatu gerakan yang tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sekali. Tangannya langsung menyambar kain hitam yang menutupi wajah Tabib Siluman.

Bret!

“Ohhh...!” Seketika, terlihatlah wajah cantik dengan sepasang mata bening. Rambutnya yang panjang terurai lepas.

“Kurang ajar...!” desis Tabib Siluman, seraya mundur beberapa langkah.

“Kau terlalu keras hati. Dewi. Mengapa mesti aku yang harus merobek kain topengmu?” ejek Pendekar Rajawali Sakti, berusaha terus membangkitkan amarah Tabib Siluman.

Dewi Saraswati alias si Tabib Siluman menggeram semakin murka. Amarahnya berkobar-kobar dan tak terkendali lagi. Kini kembali kedua tangannya merapat didepan dada. Tubuhnya bergetar keras. Lalu....

“Kau boleh mampus lebih dulu, yeaaa...!”

Wesss...!

Seberkas sinar putih keperakan dari aji pukulan ‘Sinar Aji Neraka’ kembali meluncur, begitu Tabib Siluman menghentakkan kedua tangannya ke depan.

“Hup!” Dan Rangga cepat melenting ke atas, menghindari pukulan yang bukan main dahsyatnya. Dari mulutnya keluar keluhan ketika kakinya bagai terpanggang terkena hawa panas yang kencang luar biasa dari sambaran pukulan itu. Padahal Pendekar Rajawali Sakti telah berusaha menghindar setinggi mungkin.

“Hik hik hik...! Kau lihat? Sebentar lagi kau akan mampus di tanganku!”

“Dewi Saraswati! Kau terlalu memaksaku. Tapi aku masih memberi kesempatan padamu. Bertobatlah...,” ujar Pendekar Rajawali Sakti, masih memberi kesempatan.

Sring!

Pada saat tubuh Dewi Saraswati meluruk, Rangga cepat mencabut pedang. Seketika cahaya biru terang memancar dari mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika Tabib Siluman terperanjat kaget.

Wut!

Nyaris saja leher Tabib Siluman putus disambar pedang Rangga kalau saja tidak buru-buru merunduk. Tapi Rangga yang sudah memperhitungkannya cepat melepaskan tendangan dahsyat.

Wut!

“Uhhh...!” Tabib Siluman kalang kabut menghindarinya. Cepat dia menjatuhkan diri dan bergulingan. Setelah mengambil jarak, dia berusaha bangkit. Tapi baru saja berdiri, Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan pedangnya ke arah leher sambil melompat.

Wut!

“Uts!” Kembali Tabib Siluman merunduk. Namun, pada saat yang sama kaki Rangga begitu cepat meluruk ke arah pinggang. Dan....

Begkh!

“Aaakh...!” Tabib Siluman memekik keras ketika ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti menghantam pinggangnya.

“Keparat!” Tabib Siluman menggeram sambil berusaha bangkit. Cepat kedua tangannya disilangkan di dada.

“Kuperingatkan padamu, Dewi! Jangan coba-coba menggunakan ilmu anehmu untuk memanggil mayat-mayat yang terbunuh, sebab ranting kelor putih masih ada ditanganku!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Dewi Saraswati terkesiap. Bola matanya membelalak.

“Tidak usah terkejut. Kini tanggunglah dosa-dosamu di neraka! Hiaaa...!” Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat mengayunkan pedangnya.

“Uhhh....” Tabib Siluman yang telah bersiaga sejak tadi segera menghindar dengan melompat ke belakang. Namun Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun padanya. Pedangnya terus bergerak amat cepat.

Sementara Tabib Siluman terus berjungkir balik menghindari serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, niscaya sudah sejak tadi tubuhnya terpotong-potong oleh sabetan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Namun begitu, kemampuannya pun mempunyai batas. Kini perlahan-lahan gerakannya mulai lambat. Dalam kekalutan dan rasa penasaran, dia jadi tidak percaya diri lagi.

Sementara itu pedang Pendekar Rajawali Sara telah mengurung semua ruang geraknya. Tak ada jalan baginya untuk meloloskan diri. Tabib Siluman coba mencelat ke belakang. Namun ujung kaki kiri Rangga tiba-tiba menyapu cepat menghantam tulang kakinya.

Plak!

Tabib Siluman mengeluh kesakitan. Keseimbangan tidak terjaga. Padahal saat itu juga pedang Rangga berkelebat cepat tak tertahankan lagi. Dan....

Tesss!

“Aaa...!” Tidak ada ampun lagi, Tabib Siluman memekik keras. Tubuhnya kontan ambruk ketika lehernya putus dibabat pedang. Kepalanya langsung menggelinding. Darah Tampak menyembur dari lehernya yang buntung. Sebentar tubuhnya kelojotan, lalu diam tak berkutik lagi.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi mayat Tabib Siluman, lalu berbalik. Dihembuskannya napas panjang, seperti hendak mengeluarkan seluruh ganjalan hatinya.

“Hm.... Aku harus kembali ke rumah Ki Somareksa untuk mengambil Dewa Bayu yang kutinggalkan di sana....”

Setelah berkata demikian. Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagai kilat. Tanpa disadari, masih dua orang di tempat terpisah yang bersembunyi. Kedua orang itu tersenyum puas, melihat kematian Tabib Siluman yang menjadi momok menakutkan bagi tiga desa di kawasan tempat ini.

Kedua orang itu adalah Rinjani, yang merasa puas dendamnya terbalas. Sedangkan satunya lagi adalah Tapak Bayangan. Yang merasa kagum terhadap Pendekar Rajawali Sakti yang telah menyelamatkannya dari kematian.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar