Pendekar Rajawali Sakti eps 209 : Memburu Rajawali

SATU
SAAT ini, Pendekar Rajawali Sakti tengah menemani seorang tokoh persilatan dari negeri Sakura bernama Buntaro. Laki-laki itu tengah diobati oleh tabib istana, setelah bahu membahu bersama Rangga bertarung melawan pasukan Kerajaan Pasir Angin. Buntaro terluka parah, setelah tertembus paku-paku beracun yang dilepaskan para prajurit Kadipaten Demak.

Rangga merasa tak enak meninggalkan Bun­taro begitu saja. Pemuda ini tak ingin dikatakan pengecut. Walaupun Buntaro sudah menyarankan agar Rangga menunggu saja di Bukit Muria pada dua purnama yang akan datang, tapi Pendekar Ra­jawali Sakti telah memilih untuk menemani saja.

Di Istana Pasir Angin, Pendekar Rajawali Sakti diterima Gusti Prabu Wisnu Palaran dengan suasana penuh keakraban. Namun karena banyak urusan, terutama dalam mengatur pencarian terhadap Adipati Sangkaran, Gusti Prabu tak lama menemaninya.

Saat ini Rangga ditemani Jonggol Maraka yang baru saja memasuki ruang balairung. Jonggol Maraka adalah seorang pejabat istana yang ditolong Rangga, saat hendak dibunuh oleh orang-orang suruhan Adipati Sangkaran.

Kerajaan Pasir Angin, sebuah kerajaan besar di wilayah utara tanah Jawa, dipimpin Gusti Prabu Palaran yang sangat adil dan bijaksana. Belum la­ma, kerajaan itu nyaris diguncang pemberontak yang didalangi seorang adipati berhati busuk. Adipati Sangkaran yang menguasai Kadipaten Demak.

Untung saja seorang pendekar besar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti telah mencium gelagat itu. Dan akhirnya, pemberontakan pun dapat dipadamkan. (Baca Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Ancaman Dari Utara).

"Rangga, aku senang mendengar berita bahwa kau selamat! Kini aku semakin yakin akan kehebatanmu. Kalau dulu hanya mendengar cerita-cerita saja, maka kini punya kesempatan menyaksikan sendiri!" oceh Jonggol Maraka panjang lebar.

"Kau tahu? Para prajurit membicarakan, bagaimana ka­lian berdua menyikat anak buah adipati terkutuk itu lebih dari setengahnya. Padahal, di antara mereka banyak terdapat jago silat yang tak diragukan lagi kehebatannya. Memang benar apa kata orang. Meski hebat dan memiliki kepandaian selangit, namun kalau di jalan kotor pasti akan binasa. Dan...."

"Ki Jonggol...," potong Rangga.

"Eh, maaf!" ucap Jonggol Maraka seraya tersenyum.

"Apa?" Rangga tersenyum. "Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda berbaju rompi putih ini setelah menarik napas. Pertanyaan itu agaknya dikeluarkan asal-asalan. Yang penting, ocehan Jonggol Maraka segera putus.

"Baik! Baik...! Aku tak pernah merasa sebaik ini sebelumnya!"

"Baik?" Rangga melirik wajah Jonggol Maraka yang tampak pucat. Darah kering di sudut bibir. Dan wajahnya pun agak lebam. Belum lagi tubuh di balik baju yang babak belur bekas pukulan, tendangan, atau sabetan senjata.

"Kau tahu? Belum pernah aku merasa bangga seperti ini. Meski tubuhku tinggal tulang pembalut kulit, tidak akan kudiamkan orang seenaknya menggulingkan Kanjeng Gusti Prabu" tegas laki-laki ini dengan raut wajah bangga. "Meskipun jasaku kecil..." Kata-kata Jonggol Maraka yang terakhir terdengar lirih.

"Ki Jonggol, jasamu amat besar! Percayalah. Bila kau gagal memberitahukan pihak kerajaan, niscaya mereka tak akan berangkat menggempur Ka­dipaten Demak. Dan itu berarti..., nasib kami berdua tak akan selamat..." sergah Rangga.

"Benarkah?!" tukas Jonggol Maraka dengan-wajah kembali berseri.

Rangga mengangguk. Tampak wajah Jonggol Maraka terus berseri. Hidungnya kembang-kempis dengan dada berbuncah menahan ledakan kegirangan. Namun tiba-tiba dipandangnya pemuda itu dengan senyum dikulum.

"Kau tak akan percaya jika kukatakan sesuatu!" kata Jonggol Maraka.

"Apa?" tanya Rangga.

"Gadis itu ada di sini!" sahut Jonggol Maraka dengan wajah berseri-seri.

"Gadis yang mana?"

"Gadis yang menari di istana Adipati terkutuk itu!"

"Oh...!" Rangga mengangguk. "Di sini? Apa yang hendak dilakukannya?"

"Dia datang khusus untukmu!"

"Untukku?!" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sepasang matanya memandang lawan bicaranya setengah tak percaya.

"Ketika Panglima Utama menyerbu ke Kadi­paten Demak, semua tawanan yang selama ini menentang kehendak adipati keparat itu dibebaskan!" jelas Jonggol Maraka. Kata-katanya yang terakhir itu sengaja dijelaskan, menyiratkan kebenciannya terhadap Adipati Sangkaran yang sekarang jadi buronan. "Dia bertanya tentang kita. Dan pang­lima Utama mengatakan kalau kau terluka parah dan dibawa ke istana. Dia memohon agar panglima utama sudi membawanya ke istana untuk merawatmu...."

"Merawatku?!" ulang Rangga tersenyum bingung, masih dengan wajah setengah tak percaya.

"Ya! Kau tak percaya? Pada mulanya, pang­lima utama menolak. Dan dia mengatakan kalau di istana tersedia banyak orang yang akan merawatmu. Namun, dia tetap bermohon. Katanya, dia punya kesalahan besar terhadapmu dan bermaksud hendak menebusnya dengan merawatmu..."

"Lalu?!"

"Lalu..., ya, dia di sini sekarang!"

Rangga terkekeh. Matanya memandang geli pada Jonggol Maraka. "Kau pasti mempermainkanku, kan?!" tebak pemuda itu.

Kau tak percaya?" tukas Jonggol Maraka.

"Tidak! Sebelum melihat buktinya."

Jonggol Maraka tak banyak bicara. Dipandanginya seorang prajurit yang berjaga di depan pintu kamar dengan isyarat lambaian tangan. Dan prajurit itu cepat menghampiri. "Katakan pada prajurit yang ada di ruanganku untuk membawa gadis yang ku maksud ke sini!" perintah Jonggol Maraka pada prajurit itu.

"Siap, Panglima...!" sahut prajurit ini.

Rangga masih terkesima ketika melihat prajurit itu berlalu. Dipandanginya Jonggol Maraka. Dan di hatinya terasa kalau kepercayaan atas kata-kata pejabat kerajaan ini mulai bertambah. "Ki Jonggol! Kau bersungguh-sungguh?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau kira aku berbohong?!" tukas laki-laki itu.

"Gila! Kalau ini benar, maka dunia betul-betul kiamat!" rutuk Rangga.

"Hei? Kenapa kau ini?! Seorang gadis jauh-jauh mencarimu, tapi kau kelimpungan seperti kebakaran jenggot!"

Rangga terkikik geli.

"Sepertinya dia naksir padamu!" bisik Jonggol Maraka sambil memasang telapak tangan kanannya di pinggir bibir.

"Naksir? Waduh, ini lebih gila lagi!" umpat Pen­dekar Rajawali Sakti.

"Kenapa? Semuanya gila! Apa-apa gila! Jangan-jangan otakmu nanti ikut-ikutan gila!" kali ini Jonggol Maraka yang mencibir kesal.

"Ya, aku memang sedang gila. Bagaimana ti­dak gila kalau seorang bidadari mencari-cari kita?!

Tapi senyum Pendekar Rajawali Sakti mendadak hilang ketika ingat sesuatu. Dipanggilnya Ki Jonggol dengan isyarat agar menghadapkan wajah lebih dekat.

"Jangan-jangan dia dibawa ke sini sebagai penari istana!" tebak. Pendekar Rajawali Sakti.

"Gila kau! Gusti Prabu tidak akan berbuat begitu!"

"Bisa saja! Toh, istana kadipaten bisa mengadakannya. Apalagi istana kerajaan."

"Sinting! Aku saja kaget ketika adipati sialan itu menggelar tarian itu."

"Gadis itu menunggu di luar, Panglima," lapor prajurit yang tadi diperintah Jonggol Maraka.

"Terima kasih. Kau boleh keluar. Dan, suruh dia masuk," ujar Jonggol Maraka.

"Baik, Panglima!"

Dari ambang pintu terlihat seorang gadis bertubuh tinggi padat sepasang matanya bulat indah dinaungi sepasang alis tebal berbaris rapi. Hidungnya mancung dengan bibir agak lebar namun berbentuk bagus. Pakaian yang dikenakannya amat sederhana, tapi tetap tak mampu menghalangi kecantikannya.

"Kemarilah Malini...!" panggil Jonggol Maraka ketika melihat gadis itu tegak berdiri dengan kepala tertunduk.

"Kemarilah! Bukankah kau ingin bertemu Rangga?"

"Terima kasih, Tuanku..." sahut gadis yang ternyata bernama Malini lembut. Kemudian kakinya melangkah pelan mendekati. Namun kepalanya tetap tertunduk. Tak berani memandang mereka berdua.

"Katakanlah, apa yang hendak kau sampaikan padaku...," ujar Rangga.

Aku, eh, hamba ingin...." Kata-kata Malini seolah tertahan di tenggorok­an. Lidahnya terasa kelu saat berhadapan dengan Rangga, orang yang hendak dibunuhnya.

"Aku bukan seorang raja di sini. Juga bukan seorang pejabat. Bahkan bukan seorang prajurit rendahan sekalipun. Aku hanya orang biasa, karena itu tak usah merasa sungkan" kata Rangga, berusaha membantu Malini yang berusaha mengenyahkan rasa sungkannya.

"Baiklah...."

Meski menjawab begitu, namun gadis cantik ini tetap bingung untuk bicara selanjutnya. Maka dia hanya terdiam untuk sejurus lamanya.

"Aku tak mendengar suara apa pun. Apakah kau mendengarnya Ki Jonggol?" goda Rangga.

"Tidak...!" sahut Jonggol Maraka.

"Malini, suaramu kurang keras. Dan telingaku sedikit budek. Maukah kau mengeraskannya?" pinta Rangga.

Gadis itu tersenyum kecut. "Aku..., eh! Soal tempo hari, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, Kakang...," ucap Malini terbata-bata. "Aku tak bermaksud mencelakaimu"

"Aaah! Tak usah dipikirkan! Aku sudah memaafkan dan melupakannya...!" sergah Pendekar Ra­jawali Sakti.

"Benarkah...?!"

"Ya...!" "Terima kasih. Aku..., aku terpaksa melakukan itu karena....

"Dipaksa Adipati Sangkaran?" sambar Rangga. Malini mengangguk.

"Ya, aku mengerti. Aku tidak marah padamu. Dan karenanya, kau tak berhutang apa-apa pada­ku!"

"Kakang Rangga, aku..., aku....

Rangga menunggu beberapa saat. Gadis ini tampak masih kikuk. "Bagiku itu bukan soal hutang, namun harga diri. Aku merasa bersalah. Dan meskipun kau ampuni, tetap saja aku merasa bersalah. Dan rasa salah itu akan terobati bila telah berbuat suatu kebaikan padamu. Dengan begitu, akan mengembalikan harga diriku..." ungkap Malini.

"Tidak perlu begitu. Kau tak perlu harus memaksakan diri untuk berbuat kebaikan. Karena de­ngan kejujuran itu, berarti kau telah berbuat ke­baikan. Bukan saja pada diriku, tapi juga pada dirimu sendiri. Sebab kejujuran bagi seorang gadis amat mulia di mata orang lain..." tolak Rangga, halus.

"Terima kasih, Kakang Rangga.... Tapi, itu adalah suatu kebiasaan dalam keluarga kami turun-temurun. Yang sulit dihapus begitu saja. Kalau kau tak menerima kebaikan ku secara nyata, maka harga diriku akan terus terbelenggu oleh hutang. Jadi ketimbang tak punya harga diri, keluarga kami akan memilih kematian. Dan jika Kakang menolak pula, maka jalan itu yang terbaik bagiku," tegas Malini.

"Aduh! Kenapa jadi begini?!" keluh Rangga dalam hati.

Rangga menatap Jonggol Maraka seperti minta pendapat. Namun ketika laki-laki itu mengangkat kedua bahunya, Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap Malini. "Malini, aku..."

"Apakah Kakang tak mau menerima kebaikan ku?" Suara gadis itu terdengar agak lantang. Dan sepasang matanya kini berani memandang Pen­dekar Rajawali Sakti.

"Kebaikan apa yang kau maksudkan? "tanya Rangga.

"Aku akan merawatmu, sahut Malini."

"Merawatku? Lihatlah, aku tak sakit! Aku tak apa-apa!" tolak Rangga.

"Apakah..., apakah ini berarti Kakang menolakku?" tanya Malini, lirih.

"Bukan begitu. Tapi...."

Sring!

Belum lagi habis bicara Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba gadis itu memasukkan tangannya ke balik pakaian. Begitu keluar tangannya telah menggenggam sebilah pisau yang segera ditempelkannya di perut.

"Kalau begitu biarkan aku ma...." gadis itu menghujamkan pisau berkilat itu ke perut, dengan kecepatan luar biasa Pendekar Rajawali Sakti menyambar sebutir buah rambutan yang ada di meja, lalu melemparkannya dengan tenaga dalam sempurna.

Tak!

"Aaah...!" Malini terpekik. Pisau itu terlepas dari genggaman. Gadis itu merasakan tangannya sakit dan kesemutan. Kini yang dilakukannya kemudian adalah membalikkan tubuh dan menangis tersedu-sedu. Gadis ini merasa kecewa, karena baru saja hen­dak membuktikan kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghalangi.

***
DUA
Untuk sesaat tak ada yang bisa dilakukan Pen­dekar Rajawali Sakti. Dipandanginya Jonggol Mara­ka, laki-laki ini pun terdiam sebelum bergerak bangkit.

"Rangga, aku permisi dulu! Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan," ucap Jonggol Maraka seraya menjura hormat.

Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Jonggol Maraka segera angkat kaki dari tempat itu. Tinggal kini Rangga dan gadis itu berada di da­lam ruang balairung. Pemuda ini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatap Malini.

"Baiklah, Malini. Kuterima kebaikanmu itu...," desah Rangga.

Malini tersentak girang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan memandang haru. Rangga bisa melihat lelehan air mata membasahi pipi halus gadis ini.

"Sungguhkah?!" tanya Malini seperti kurang yakin dengan pendengarannya.

"Kalau kau tak berhenti menangis, kata-kataku tadi akan kutarik," sahut Rangga sambil tersenyum.

Dengan wajah berseri Malini buru-buru menghapus air matanya. Kemudian cepat berlutut. "Tuanku.... Mulai kini hamba adalah pelayanmu! Akan hamba abdikan hidup hamba untuk Tu­anku!"

Rangga sungguh terkejut dengan tindakan Mali­ni. Sungguh tak diduga kalau persetujuannya malah membuatnya jadi serba salah. "Malini, apa-apaan kau! Jangan begini!"

"Tidak! Tuanku adalah majikan hamba. Oleh karena itu, hamba mesti berlutut. Jangan halangi rasa syukur hamba, Tuanku!"

Khawatir kalau gadis itu akan ngambek lagi, Rangga membiarkannya saja untuk beberapa saat. "Begini saja, Malini. Anggap saja aku ini kakangmu. Dan kau adalah adik yang selalu menurut pada kakangmu. Bagaimana?" Rangga memberikan penawaran.

Perlahan-lahan gadis itu mengangkat kepalanya. Ditatapnya mata Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung keteduhan.

"Dengan begitu, kaupun sudah bisa menebus kesalahanmu. Kaupun bisa merawatku. Rasanya itu lebih baik. Nah, jangan panggil aku tuanku. Seperti tadi, aku lebih suka kau memanggilku Kakang," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.

"Oh, Kakang...!" Malini langsung memeluk Rangga penuh keharuan. Sungguh dia memuji budi pekerti Pendekar Rajawali Sakti yang begitu luhur.

"Tak baik kalau kita berdua di dalam ruangan ini. Bagaimana kalau kau menemani aku ngobrol di luar sambil jalan-jalan!" tanya Rangga, sambil melepas pelukan perlahan-lahan, agar gadis itu tak tersinggung.

"Kalau itu sudah kehendak Kakang, aku akan menuruti saja..." desah Malini.

Rangga dan Malini segera melangkah.

***

"Aku ingin bertemu Buntaro!" kata Rangga kepada seorang prajurit, ketika tiba di lorong terbuka yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar. Jalan lorong ini cukup lebar.

"Dia ada di kamar nomor delapan ratus, Tuan Pendekar!" jawab prajurit berusia sekitar dua puluh lima tahun itu yang menjaga pintu utama lorong. "Kalau Tuan Pendekar mau, biar hamba antarkan.

"Tidak usah! Aku mau sekalian jalan-jalan. Eh, ngomong-ngomong, ada berapa kamar di istana ini sampai ada nomor delapan ratus segala?" tanya Rangga.

"Hanya ada delapan kamar untuk tamu istimewa, Tuan Pendekar. Tiap kamar diberi angka kelipatan seratus. Seperti kamar Tuan Pendekar yang memiliki nomor seratus. Berarti, Tuan Pen­dekar dianggap tamu mulia oleh Gusti Prabu. Sedangkan orang asing itu mestinya di tempatkan di kandang kuda, karena diketahui berkawan dengan pengkhianat. Namun karena Tuan Pendekar menganggapnya sebagai kawan, maka di tempatkan di urutan terakhir kamar yang diperuntukkan bagi tamu-tamu istimewa," jelas prajurit muda ini.

Rangga mengangguk. Diperhatikannya nomor kamar yang ditempatinya. "Peraturan aneh...," gumam pemuda berbaju rompi putih ini pelan.

Dan kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, arah mana yang dituju. Karena, delapan kamar yang dikatakan kamar untuk tamu-tamu istimewa bersebelahan dengan jarak-jarak tertentu. Kamar no­mor seratus, terletak dekat sebuah taman dan kolam yang ditata apik. Dan di seberang taman pada arah menyamping, merupakan balairung istana yang sekaligus tempat pertemuan yang sering dihuni Gusti Prabu setiap hari. Sedangkan kamar nomor delapan ratus kurang lebih berjarak lima belas tombak dari tembok pembatas bangunan kerajaan.

Setelah mendapat keterangan itu, Pendekar Rajawali Sakti dan Malini melangkah pelan-pelan ke kamar nomor delapan ratus. Pintu terbuka lebar ketika mereka tiba di depan kamar Buntaro. Tampak pemuda dari negeri Matahari Terbit itu tengah bersemadi. Rangga dan Malini menunggu di depan pintu untuk beberapa saat. Dan tak lama kemudian Buntaro menutup semadinya. Dia bangkit berdiri, lalu membungkuk hormat.

"Rangga..., silakan masuk," ucap Buntaro.

Apa kabar, Buntaro? Bagaimana keadaanmu? Mudah-mudahan kau baik saja," tanya Pende­kar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, Kawan! Keadaanku jauh lebih baik. Mereka merawatku sungguh-sungguh," sahut Buntaro.

"Syukurlah...."

"Kebetulan sekali kau datang. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan."

"Apa itu? Katakanlah!"

Buntaro menoleh pada Malini. Dan suaranya tak keluar ketika kembali berpaling pada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerti. Kepalanya segera berpaling pada gadis itu.

"Malini, maukah kau menunggu kami di luar?"

"Baiklah...," sahut Malini, langsung berbalik dan melangkah keluar.

Buntaro segera menutup pintu rapat-rapat.

"Nah, katakanlah apa yang hendak kau bicarakan," lanjut Rangga setelah Buntaro melangkah menghampirinya.

"Aku membatalkan tantangan itu."

"Kenapa?"

Buntaro tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam. "Tiga kawanku mati sia-sia. Dan aku merasa berhutang budi pada orang yang hendak kuajak bertarung. Dan yang lebih terpenting, kau memperlihatkan sikap ksatria. Dan itu membuatku kagum dan bangga. Kau punya kesempatan membunuhku. 

Namun, tak kau lakukan. Padahal kami mengajakmu bertarung untuk alasan yang tidak dimengerti. selain ingin menunjukkan kehebatan kepandaian kami. Tapi di sini aku belajar banyak, ada sesuatu yang patut dibanggakan ketimbang menjadi jago nomor satu. Yaitu persahabatan yang saling didasari ketulusan hati...," tutur Buntaro.

"Syukurlah kalau memang pendirianmu seperti itu. Kalaupun aku menerima tantangan, itu hanya sekadar untuk menghormatimu. Lain tidak," sahut Rangga, mantap.

"Jadi kau bersedia melupakan soal itu, dan merubahnya menjadi persahabatan sejati di antara kita berdua?" tanya Buntaro.

"Senang sekali aku mendengarnya, Buntaro...."

"Terima kasih, Kawan!" Buntaro menjulurkan tangan. Dijabatnya ta­ngan Pendekar Rajawali Sakti erat-erat.

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Pen­dekar Rajawali Sakti.

"Entahlah. Negeri ini indah. Dan raja di sini menawarkan pekerjaan padaku. Tapi, aku belum bisa melupakan begitu saja negeri leluhur ku...," desah Buntaro sambil mengangkat kedua bahunya.

"Itu bagus! Kau bisa pikirkan baik-baik selama menunggu masa penyembuhan mu" kata Rangga.

"Ya. Ada beberapa hal yang memberatkan ku untuk tinggal di sini. Sebelumnya, aku pernah ber­buat kejahatan. Dan aku merasa berhutang pada negeri ini. Sekali hutang, tetap hutang. Dan aku akan membayarnya. Namun, di negeri leluhur pun aku punya tugas yang tak bisa ku tinggalkan begitu saja. Pilihan ini membingungkan bagiku," papar Buntaro.

"Sobat! Ada pepatah yang mengatakan, memilih satu di antara dua pilihan baik, adalah perbuatan mulia ketimbang keduanya... Jadi menurutku, hendaknya pilihanlah salah satu. Dan, tetapkan pilihan itu dengan keyakinan, kalau pilihan kita cukup bijaksana. Dengan begitu, kau telah berbuat sesuatu. Sebagai manusia, kita punya batas kemampuan. Ada yang bisa dikerjakan hanya satu orang, namun ada pula yang tidak...," urai Rangga, bijaksana.

"Terima kasih, Kawan. Itu baik sekali! Aku akan mengingatnya," Buntaro mengangguk. "Dan kau sendiri, apa yang hendak kau kerjakan?"

"Aku seorang pengelana. Maka setelah ini aku akan melanjutkan perjalanan...," jawab Rangga tegas.

"Tidakkah pernah terpikir olehmu untuk menetap? Punya istri, anak-anak dan sawah ladang? Kemudian hidup tenteram?" pancing Buntaro.

Rangga tersenyum manis. Pernah...."

Gadis itu kulihat tidak jelek. Dan dari cahaya wajahnya bisa kutebak kalau dia punya hati bersih...," pancing Buntaro lagi.

Rangga tertawa renyah. "Kenapa? Kenapa kau tertawa?"

"Tidak! Tidak apa-apa."

"Perkataanku salah? Atau..., barangkali kau masih suka gonta-ganti pasangan?"

"Dua-duanya tidak! Hanya saja, aku belum berminat mewujudkan angan-angan itu dalam waktu singkat. Mungkin karena merasa masih banyak yang mesti kukerjakan," kilah Rangga.

"Sayang sekali...," desah Buntaro.

Rangga tersenyum-senyum. Mereka ngobrol hal-hal lain beberapa saat kemudian.

***

Hujan gerimis mulai turun membasahi Desa Kragan. Jalanan mulai becek dan tergenang air. Malam ini tampaknya semakin buruk bagi mereka yang hendak keluar rumah. Banyak orang lebih memilih untuk tinggal di dalam rumah. Tidur-tiduran, duduk dan ngobrol sambil menghirup kopi panas.

Di beranda sebuah rumah yang paling besar ini, berkumpul beberapa orang laki-laki berbadan kekar dengan senjata golok di pinggang masing-masing. Mereka agaknya adalah para centeng yang tengah ngobrol ngalor-ngidul.

Penduduk desa ini tahu, rumah besar berbentuk pendopo dari kayu dan berpanggung itu milik Juragan Aswatama, Selain pedagang besar juragan itu juga dikenal sebagai tuan tanah.

"Malam Jumat begini biasanya banyak hantu berkeliaran, Timan," kata salah seorang centeng.

"Jangan bicara sembarangan kau, Kliwon?" desis centeng yang dipanggil Timan.

"Biasanya yang suka ngomong itu yang suka didatangi hantu."

"Hantu? Perkara itu kecil!" Centeng bernama Kliwon menjentikkan jempol di ujung kelingkingnya. Namun baru saja dia bertingkah demikian...

Set! Tuk!

"Aduhh...!"

Para centeng yang berkumpul di beranda terkejut ketika tiba-tiba Kliwon berteriak kesakitan sambil mendekap kepalanya. Dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Mereka semua mengedarkan pandangan de­ngan perasaan tegang. Tepat di tengah halaman, pandangan semua mata kini terpatri. Di antara derai rintik hujan gerimis, tampak seorang bocah berkepala botak dengan mata bulat seperti hendak keluar dari sarangnya. Sepasang kupingnya besar melebihi kuping rata-rata manusia biasa. Bocah tak berbaju dan tak bercelana itu terkekeh-kekeh kegirangan.

"Bocah edan! Kau rupanya yang melempar batu ke kepalaku, heh?!" bentak Kliwon, geram.

Laki-laki ini segera turun dan hendak menjewer telinga bocah itu. Namun baru melangkah dua tindak, mendadak dari sekujur tubuh bocah itu mengepul asap putih tebal disertai bunyi mendesis seperti bara tersiram air.

Blup!

"Heh?!"

Begitu asap sirna terbawa angin ke udara, bocah itu telah berubah menjadi seekor monyet hitam yang terus melompat-lompat seperti mengejek. Kliwon yang memang pemberani sempat terkejut. Namun bukan berarti langkahnya tersurut.

"Jahanam!" Kliwon mendengus, setelah memompa semangatnya. Langsung goloknya dicabut. "Kubunuh kau keparat!"

"Kliwon, eling! Jangan dikejar...!" teriak salah seorang centeng mengingatkan.

"Kliwon, jangan dilayani! Itu makhluk jejadian! Kau akan celaka!" timpal yang lainnya.

Bukan main khawatirnya para centeng melihat kejadian itu. Mula-mula mereka tercengang. Tapi ketika monyet itu mulai keluar menggoda, Kliwon terus mengejarnya. Tak dipedulikannya lagi luka di kepalanya.

"Kubunuh kau, Monyet Sial!" teriak Kliwon seraya membabatkan goloknya.

Wuuttt...!

Monyet itu melompat ke atas tembok pagar. Kembali Kliwon menebaskan goloknya.

Wuuttt!

Tapi, monyet itu mendadak menghilang di balik asap tebal. Begitu asap menghilang, yang terlihat kini seekor hewan yang mengejutkan. Seekor kelelawar raksasa!

"Coeeett..!"

"Heh...?!" Dengan suaranya yang khas, hewan itu menjerit melengking. Dan sebelum Kliwon mampu meng­usir keterkejutannya, kelelawar raksasa itu telah menerkamnya.

"Aaakh...!" Terdengar jeritan menyayat dari mulut Kliwon. Sebentar kemudian laki-laki ini ambruk dengan leher terkoyak. Darah menyembur deras dari lukanya. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak bergerak lagi.

Melihat keadaan ini para centeng itu terkejut bukan main. Namun sebelum mereka mencabut golok, kelelawar raksasa itu menjerit panjang. Jeritan itu disambut oleh jeritan-jeritan lain di angkasa. Ketika semua mata memandang ke langit, tampak gerombolan bayangan hitam tengah berarak, Malam pun semakin pekat. Dan ketika gelombang bayangan itu mendekat...

"Astaga! Kelelawar! Pasukan kelelawar..." te­riak seorang centeng.

***
TIGA
Para centeng di rumah Juragan Aswatama benar-benar kalang kabut begitu melihat ribuan kele­lawar berseliweran di sekitar mereka. Namun yang sudah terlelap dari tadi, seakan tak menyadari adanya bahaya.

"Ayo, bangun! Bangun! Ada ribuan kelelawar ke sini!"

Aaah...!"

"Sial! Bangun! Hei, bangun! Jangan menggeliat terus! Kita terancam! Hantu jadi-jadian telah membunuh Kliwon. Cepat selamatkan diri kalian!"

"Sudah! Jangan macam-macam, Barja. Tidurlah kalau kau mau tidur...," teriak yang seorang.

"Brengsek!" centeng yang bernama Barja memaki kesal.

"Terserah! Aku telah memperingatkan. Kalau kalian memang mau mampus, silakan saja. Tapi aku masih sayang nyawaku!"

Setelah itu Barja buru-buru masuk ke rumah besar ini. Salah seorang centeng sudah membunyikan kentongan kuat-kuat. Sementara centeng-centeng lain sudah keluar rumah menyelamatkan diri. Barja tiba di depan pintu kamar Juragan As­watama.

"Juragan, bangun! Bangun, Juragan...! Ada yang tak beres! Bangun, Juragan...!" teriak laki-laki bertubuh tegap itu sambil mengetuk pintu keras-keras.

"Brengsek! Siapa itu?!" Terdengar suara makian dari dalam kamar.

"Barja, Juragan! Ada yang perlu disampaikan, Juragan!" kata Barja, dengan suara keras.

"Malam-malam begini?!

"Ini penting sekali, Juragan!"

Juragan Aswatama sudah hendak membuka pintu. Namun.... "Kakang...! Masa begitu..?"

Orang terkaya di Desa Kragan itu terkesiap melihat apa yang ditunjuk wanita cantik di atas ranjang kamarnya. Saat ini dia hanya memakai celana dalam saja. Buru-buru dia melompat menyambar celana dan baju yang berserakan di bawah ranjang. Dengan terburu-buru dia memakai pakaian seperti gaya para prajurit yang tengah berperang. Sampai-sampai celananya terbalik. Yang mestinya di dalam, jadi di luar. Baru kemudian dia melangkah langsung membuka pintu.

"Ada apa, Barja?!" tanya Juragan Aswatama.

Wajah laki-laki ini kelihatan masam. Suaranya pun terdengar kesal ketika kepalanya muncul dari balik pintu kamar.

"Ada kawanan kelelawar menuju ke sini, Gan! Salah satunya berukuran raksasa. Bahkan Kliwon mati diterkam!" jelas Barja agak tergagap.

"Lalu apa urusannya denganku? Kalian kubayar untuk melindungi kami, bukan membangunkan ku tengah malam begini!" sentak Juragan Aswa­tama.

"Betul, Gan! Tapi jumlahnya banyak sekali. Dan kalau kami tak sanggup menghadapinya, Juragan siap-siap melarikan diri..."

"Melarikan diri bapakmu!" maki Juragan As­watama. "Kau datang tengah malam dan menggedor pintu kamarku keras-keras. Lalu, menga­takan hal-hal aneh! Kau kira aku percaya semua itu? Otakmu memang encer! Tapi, jangan dikira aku tak tahu kalau kau bekas penipu, garong, ma­ling! Sekarang juga kau boleh berhenti, Barja! Pergiii...!"

"Juragan memecat ku?" tanya Barja, coba meyakinkan.

"Apa telingamu tuli. Atau, kau berpura-pura tolol?! Kau ku pecat tanpa pesangon! Pergi dan cepat angkat kaki dari sini!"

Tapi sebelum Barja angkat kaki, terdengar suara riuh dari luar. Tak lama, disusul jeritan panjang.

"Apa itu? Apa yang terjadi?" teriak Juragan Aswatama blingsatan. "Barja, cepat periksa...! Periksa apa yang terjadi di luar, lekas!"

"Maaf, Aswatama! Apakah kau tak ingat kalau aku penipu? Apa yang kukatakan tak bisa dipercaya. Percuma mendengar omonganku. Lagi pula, kau mesti ingat. Aku bukan pekerja mu lagi. Baru saja kau telah memecat ku tanpa pesangon. Seka­rang hadapi sendiri bahaya yang mengancam mu," sahut Barja tanpa memandang hormat lagi kepada laki-laki setengah baya ini. Setelah bicara begitu, Barja berlari menyelamatkan diri sendiri.

"Barja, kembali kau! Barjaaa...!" teriak Juragan Aswatama.

Tapi percuma saja laki-laki ini berteriak-teriak. Karena jangankan Barja kembali. Menoleh pun ti­dak.

"Brengsek!" maki Juragan Aswatama, geram. Sementara suara-suara di luar semakin santer saja terdengar. Hati laki-laki ini mulai ciut. Tubuhnya gemetar ketiga jantungnya berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya.

"Jangan ke mana-mana! Jangan bukakan pintu untuk siapa pun, kecuali aku. Mengerti?" pesan Juragan Aswatama pada istrinya sebelum menutup pintu kamar.

Perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengangguk. Dia melihat wajah suaminya kelihatan pucat ketakutan. Tapi dia pun lebih ketakutan lagi. Dengan hati-hati Juragan Aswatama melang­kah ke depan. Dia bermaksud menutup pintu serta jendela yang lupa dikunci sebelum tidur tadi. Tapi saat itu juga....

Siuuttt..!

Mendadak melesat sebuah bayangan hitam ke arahnya. Buru-buru dia menunduk, kalau tak ingin tersambar. "Binatang haram jadah!" maki Juragan Aswa­tama geram, ketika melihat bayangan hitam yang ternyata seekor kelelawar besar.

Dan saat itu juga dari depan terlihat puluhan kelelawar menerobos masuk, beterbangan di dalam rumah. Binatang-binatang itu langsung memporak-porandakan barang-barang yang bisa dihajar.

"Binatang terkutuk! Keluar kalian! Keluaarrr!" bentak Juragan Aswatama garang. Laki-laki setengah baya itu kalang kabut sen­diri. Cepat dia melompat ke dinding. Buru-buru disambarnya sepasang pedang yang menempel di dinding di ruang tamu.

Siut! Siut!

"Mampus kalian! Mampus...! Hiih" dengus Ju­ragan Aswatama seraya menyabetkan kedua pedangnya ke sana kemari.

"Hi hi hi...! Kau hanya membuang-buang tenaga saja, Gendut!"

Hei?!" Juragan Aswatama yang memang bertubuh tambun itu menoleh ke pintu. Tampak di ambang pintu depan berdiri seorang laki-laki kurus dan berkulit hitam. Badannya tak terbungkus baju sepotong pun. Kepalanya memakai sorban putih. Celananya panjang gombrong berwarna putih. Di bawah hidungnya yang bagai paruh burung betet, tumbuh kumis lebar. Kelopak matanya agak ke dalam.

"Siapa kau?!" bentak Juragan Aswatama.

Perkenalkan! Aku Banghadur Gupta alias Penyihir Sakti Dari Benggala," sahut laki-laki hitam itu.

"Namamu aneh. Dan negeri yang kau sebutkan belum pernah kudengar sebelumnya. Apa maumu?!” tanya Juragan Aswatama, dengan mata melotot.

"Memang! Aku berasal dari tempat yang cukup jauh di seberang lautan sana. India namanya dan keinginanku ke sini karena tertarik pada harta benda yang kau miliki, sehingga menimbulkan hasratku untuk segera memilikinya. Hi hi hi...! Kalau kau tak mau celaka, berikanlah padaku dengan cuma-cuma!" papar laki-laki bernama Banghadur Gupta atau berjuluk Penyihir Sakti Dari Benggala.

"Keparat! Jadi kau sebangsa rampok, he?! Ja­ngan harap aku akan menyerah, begitu mudah. Kau boleh mampus dan mengambilnya di akhirat sana!" desis Juragan Aswatama, berang.

Sebentar laki-laki bertubuh tambun itu memandang ke sekeliling. Sepertinya dia mencari-cari sesuatu. "Gumira! Sukma! Ke mana kalian?! Keparat! Kalian hanya makan gaji buta saja!" Juragan Aswatama berteriak-teriak memanggil para centeng-centengnya. Namun tak seorang pun yang menyahut. Apalagi datang menghampiri.

"He he he...! Kau memanggil mereka yang ada di luar? Mereka telah kukirim ke akhirat!" kekeh Banghadur Gupta.

"Kurang ajar! Kalau begitu susullah mereka ke sana. Heaaat!" Juragan Aswatama mendengus geram, lalu melompat menyerang. Kedua bilah pedangnya dibabatkan ke arah leher dan pinggang Banghadur Gupta.

Wuuttt...! Wuuuttt...!

"Hei?!" Juragan Aswatama tercekat dengan wajah penuh keheranan. Mendadak saja, orang yang jadi sasaran dua pedangnya lenyap dari pandangan. Se­hingga, pedang itu hanya menerabas angin saja! "Keparat! Ke mana kau, Jahanam! Jangan kira bisa mempermainkan ku!" teriak laki-laki tambun itu sambil berjalan berkeliling ruangan ini dengan sorot mata nyalang. "Tunjukkan dirimu!"

He he he...! Aku tengah mempermainkan di­rimu, Juragan!" mendadak terdengar suara tanpa wujud.

"Hei?! Hiih!"

Bet! Wut!

Juragan Aswatama menggeram seraya menyabetkan pedang ke kiri. Dari situlah suara tadi didengarnya. Dan seperti tadi, pedangnya hanya membabat angin.

"Hi hi hi...! Juragan tolol, aku di sini! Kenapa kau malah menebas angin? Aku di sini! Ayo, tebas leherku! Aku di sini...! Hi hi hi...! Ayo, kemari! Kemari Juragan goblok!" Kembali terdengar suara tanpa wujud yang bernada mengejek.

Juragan Aswatama menoleh ke sana kemari. Suara yang didengarnya memang bagai datang dari segala arah. "Keparat kau, Iblis! Kubunuh kau! Kubunuh kaaaauu..!" Juragan Aswatama menjadi kalap. Seketika kedua pedangnya menerabas ke sana kemari, membabi-buta.

Wut! Prak! Bruk!

"Heaaa...!"

Bret! Bret! Brukkk!

"Hi hi hi...! Juragan tolol! Goblok! Otak kerbau! Apa yang kau kerjakan di rumahmu sendiri? Kau merusak barang-barangmu! Dasar goblok! Hi hi hi...! Kau kira bisa menghalangi niatku mengambil segala perhiasan dan uang yang kau miliki?" Suara tanpa wujud itu kembali bergema. Dan bersamaan dengan itu, terlihat cahaya-cahaya berkilauan tertimpa sinar lampu.

Juragan Aswatama terkesiap seraya menegaskan pandangan. Tampak kelelawar-kelelawar yang beterbangan itu keluar dari kamar pribadinya de­ngan membawa sesuatu yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

"Ohh.... Permata! Perhiasan ku! Emas?! Kembalikan! Kembalikan! Binatang keparat!" teriak laki-laki tambun ini seraya mengejar kelelawar-kelelawar yang membawa kabur perhiasan-perhiasannya.

Tapi ketika Juragan Aswatama mengejar ke pintu, dari halaman depan terlihat seekor banteng liar tengah mengais-ngais kaki depan sambil menggeleng-gelengkan kepala disertai semburan napas kasar.

"Mooughh...!"

Disertai lenguhan panjang, banteng liar itu berlari kencang menghampiri Juragan Aswatama. "Astaga! Apa itu?! Celaka! Aku mesti lari! Aaah...!"

Tanpa pikir panjang laki-laki tambun itu berbalik, langsung berlari kencang menyelamatkan diri.

Bruk! Brak!

Banteng liar itu menghajar pintu depan sampai lepas dari engselnya. Bahkan langsung memporak-porandakan kursi dan meja serta segala perabotan yang ada di ruangan depan. Kemudian menerobos ke dalam, menghajar pintu-pintu kamar sampai jebol dan merusak segala yang ada.

"Aouuww...! Tolong! Kakang, tolooong...!"

"Ayahhh...!"

Sebentar saja suasana gaduh mewarnai isi ru­mah. Anak-anak Juragan Aswatama yang tadi terlelap tidur, kini terbangun dan langsung kalang kabut Demikian pula istri laki-laki tambun itu.

Juragan Aswatama sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya mampu mendengar serta meli­hat anak istrinya yang kalang kabut dari jauh di belakang rumahnya. Ketika melarikan diri tadi, dia tak sempat memperingatkan mereka.

"He he he...! Ayo, sobat-sobatku! Habiskan semua benda berharga di rumah ini! Hi hi hi...! Lekas! Karena kita akan berpesta di tempat lain!" teriak Banghadur Gupta yang telah menampakkan wujudnya kembali.

Kini yang masuk ke dalam rumah bukan hanya kelelawar dan banteng liar, tapi segala hewan lain seperti kambing, kerbau, ular, dan lain sebagainya. Isi rumah juragan itu seperti hutan saja layaknya. Penuh hewan-hewan beraneka ragam.

"Ayo kita pergi! Hi hi hi...!" ajak Banghadur Gupta sambil tertawa mengekeh meninggalkan rumah itu. Di belakang laki-laki dari India itu, menyusul hewan-hewan suruhannya. Mereka amat penurut seperti mengerti apa yang diperintahkan manusia ceking bertelanjang dada itu. Bahkan para penduduk desa yang terbangun karena keributan itu, mendecah kagum melihat pemandangan aneh didepan mata.

"Duh, Gusti Allah! Apa dosa Juragan Aswata­ma hingga mengalami nasib buruk seperti ini?" gumam seorang penduduk. Belum lagi habis rasa kaget, mendadak terde­ngar derap langkah kuda menghentak-hentak bumi.

***

Para penduduk Desa Kragan melihat dua laki-laki berkuda tengah berteriak-teriak di sepanjang jalan utama ini. Mereka menggebah kudanya kencang-kencang sambil mengacung-acungkan golok besar di tangan kanan.

"Dua orang bersaudara yang dikenal sebagai Golok Kembar!" desis seorang penduduk, ketika mereka melintasinya.

"Mau apa mereka ke sini?" tanya penduduk lain yang berdiri di sebelah.

"Mana kutahu?! Tapi melihat gelagatnya mere­ka mengejar orang aneh yang merampok harta Ju­ragan Sendang Awur."

Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Dua manusia berjuluk si Golok Kembar yang bernama Subala dan Subali memang mengejar Penyihir Sakti Dari Benggala. Dan yang dikejar bukannya tidak mengetahui. Malah sengaja memperlambat jalannya.

"Keparat busuk, berhenti kau!" bentak yang bernama Subala seraya menghentikan lari kudanya.

"Eee, apa?! Ada apa?!" tanya Banghadur Gup­ta berbalik, pura-pura berlagak bodoh.

"Masih juga kau berlagak pilon, Jahanam?! Kau telah menguras harta Juragan Soma. Dan sekarang kau malah menggasak harta keluarga Juragan Aswatama. Kau benar-benar harus mampus!" desis yang bernama Subali.

"Mampus? He he he...! Siapa sudi? Tapi siapa yang mau mampus duluan? Kalian? Hi hi hi...! De­ngan senang hati aku akan melihatnya," sahut la­ki-laki kurus dari India itu.

"Setan!" Subala bersiap akan lompat dari punggung ku­danya. Begitu juga Subali saudara kembarnya. Na­mun sebelum hal itu dilakukan, kuda mereka meringkik keras dan melompat-lompat liar.

"Hieeekh...!"

"Brengsek!" Subala dan Subali memaki-maki tak karuan. Langsung mereka melompat turun. Namun kedua kuda yang ditunggangi masih tetap mengamuk. Bahkan menyerang mereka.

"Hi hi hi...! Anak manis, ayo lekas injak me­reka! Kalian tahu, apa yang mesti dilakukan. Bunuh mereka! Injak tubuh mereka sampai gepeng!" teriak Banghadur Gupta.

"Keparat! Iblis itu memiliki ilmu sihir!" desis Subala.

"Ya! Seperti yang dikatakan Juragan Soma. Kita mesti bunuh kuda-kuda ini, sebelum membunuh kita! Tak ada jalan lain."

"Ya...!"

Kedua orang kembar itu bukan orang sembarangan. Kalau hanya dua ekor kuda mengamuk tentu perkara mudah. Meski bisa menghindari setiap amukan kedua kuda itu, namun tujuan si Golok Kembar terhambat untuk meringkus Banghadur Gupta. Sebab, setiap kali mendekati laki-laki kerempeng berkulit hitam itu, kedua kuda itu selalu menghalangi. Sehingga mau tak mau terpaksa mereka menyerang kedua kuda itu. Seketika mereka melompat sambil menebaskan golok ke arah leher-leher kuda.

Cras! Bret!

"Hieeekh!" Golok-golok itu tepat menebas leher. Darah memancur deras. Dan kedua kuda itu kontan roboh tak bernyawa.

"Sayang sekali...! ucap Banghadur Gupta dengan suara lirih. Kedua kuda itu amat penurut. Dan kalian telah membunuhnya dengan kejam...."

"Tidak usah bersedih karena sebentar lagi kau akan menyusulnya!" dengus Subala.

"Mampus!" desis Subali sambil melompat Go­loknya cepat menghantam batok kepala laki-laki dari India itu.

Wut! Plas!

"Hei?!"

Tiba-tiba saja Banghadur Gupta menghilang dari pandangan sehingga golok di tangan Subali hanya memapas angin. Namun tahu-tahu orang bersorban itu muncul kembali di belakangnya. Dekat dengan Subala.

"Apakah Juragan Soma tidak memberi tahu kalau kalian hanya mengantar nyawa bila berani macam-macam denganku?" leceh Banghadur Gup­ta.

"Beliau hanya bilang kalau kau bakal mampus di tanganku!" dengus Subala sambil membabatkan goloknya ke leher Penyihir Sakti Dari Benggala.

Wut!

Kali ini Banghadur Gupta tidak menghilang, tapi melompat ke belakang. Dan Subali tak menyia-nyiakan kesempatan. Goloknya cepat berkelebat ke leher.

Wut!

Tapi Banghadur Gupta hanya mengegoskan kepalanya sedikit, sehingga golok itu luput dari sasaran.Tepat ketika Penyihir Sakti Dari Benggala tegak kembali, tangannya bergerak cepat. Langsung ditangkapnya pergelangan tangan Subali.

Tap!

"Hiih!" Banghadur Gupta langsung memelintir tangan Subali. Sementara kaki kanannya menyodok ke ulu hati.

Desss...!

"Aaakh...!" Subali berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan goloknya pun berpindah tangan.

"Itu giliranmu, Sobat" kata Banghadur Gupta, begitu melihat banteng liar suruhannya yang sudah menyelesaikan tugasnya dan kini berdiri garang dengan mata nyalang tak jauh dari situ.

Begitu mendapat isyarat dari majikannya, se­rentak banteng itu menunduk hingga jelas terlihat sepasang tanduknya yang runcing melengkung tajam. Dan seketika banteng itu berlari kencang menyeruduk Subali.

Jrosss!

"Aaa...!" Subali tak mampu menghindari. Tak ampun lagi, ujung tanduk banteng liar menyeruduk perutnya. Pekik kesakitannya kontan menggema di tengah malam.

Sementara Banghadur Gupta terus terkekeh kegirangan. Apalagi ketika melihat Subala terkejut, lalu buru-buru lari dari tempat itu dengan wajah pucat ketakutan.

"Hi hi hi...! Dasar pengecut-pengecut hina! Kematian lebih baik ketimbang kalian hidup!" ejek laki-laki dari India itu, seraya melangkah tenang.

***
EMPAT
Gunung Karacak berdiri kokoh seperti hendak menentang langit. Di bawahnya, membentang sebuah lembah yang makin lama makin menjorok ke bawah bila berjalan menuju timur. Di sebelah timur lembah yang cukup terpencil, terdapat sebuah gubuk sederhana terbuat dari kayu. Namun bagian dindingnya ditutupi kamar yang selalu basah. Agaknya lumpur itu didapat dari dasar telaga yang tepat berada di sebelahnya.

Gubuk itu memang tersamar oleh pepohonan yang banyak terdapat di sepanjang tepi telaga. Sehingga penduduk sekitar tak ada yang menyangka kalau di tempat itu berdiri sebuah gubuk. Seorang laki-laki setengah baya keluar dari gubuk itu. Bertelanjang dada, dengan celana pendek yang merupakan kain panjang dibalut sedemikian rupa untuk sekadar menutupi aurat bagian bawah. Kulitnya hitam. Hidungnya persis paruh betet dengan kelopak mata agak dalam. Sepasang matanya bersinar tajam ketika memandang sesuatu. Di kepalanya terdapat sorban putih. Siapa lagi kalau bukan Banghadur Gupta?

"Hi hi hi...! Hasil tadi malam lumayan juga. Harta ku telah banyak bertumpuk. Dan..., kurasa telah cukup untuk membangun sebuah istana megah. Kemudian aku akan menjadi rajanya. Maha­raja Banghadur Gupta! Hi hi hi...!" oceh Penyihir Sakti dari Benggala.

Laki-laki dari India ini tertawa sendiri, lalu duduk di atas batu depan gubuk tadi. Tengah ter­tawa begitu, burung-burung yang berada di sekitar tempat itu mendekat. Demikian pula buaya-buaya yang ada di dalam telaga, keluar dan mendekat ke arahnya. Ular-ular berdatangan dari semak-semak. Bahkan segala hewan yang berada di sekitar tempat itu.

"Dengarkan baik-baik!" ujar Penyihir Sakti Dari Benggala pada hewan-hewan itu seperti merasa yakin kalau mereka mengerti ucapannya. "Bila kelak aku menjadi mahajara, maka kalian kuangkat men­jadi bala tentara ku. Kita akan menjadi suatu kera­jaan kuat. Lalu, satu persatu kerajaan di dunia ini akan kita taklukan. Dan akan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak kurang ajar pada kerajaan kita. Aku ingin agar setiap orang yang mendengar nama Banghadur Gupta akan menggigil tubuhnya karena ketakutan!"

Seketika terdengar suara riuh hewan-hewan itu sebagai sahutannya. Tak jelas apa yang dikatakan binatang-binatang itu. Namun Banghadur Gupta agaknya mengetahui. Dia terkekeh senang sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"He he he...! Jadi kalian setuju aku menjadi maharaja? Hi hi hi...! Bagus! Tapi..., tadi kudengar ada yang meragukan kerajaan kita, kenapa? Apa karena kita kurang kaya? Kurang kuat balatentaranya? Atau...."

"Hauummm...!" Mendadak seekor harimau loreng mengaum keras, sehingga kepalanya terdongak ke atas dan mulutnya terbuka lebar.

"Ha ha ha...! Sahabatku yang perkasa! Jadi, itulah alasanmu? Raja negeri ini lebih kaya dari kita? Dan dia juga memiliki bala tentara kuat? Itu mudah saja. Kalau begitu, mengapa tidak kita rebut kekayaannya? Kemudian kita patahkan kekuatan bala tentaranya?!" sahut Banghadur Gupta, lantang.

Harimau tadi kembali mengaum. Suaranya tetap menggelegar seperti tadi. Sementara kawanan serigala saling melolong bersahutan. Demikian pula kawanan banteng liar yang melenguh panjang de­ngan napas kasar. Yang lainnya pun memperlihatkan sikap sama. Kalau tidak, tak mungkin Bangha­dur Gupta terus mengekeh.

"Ha ha ha...! Kalian setuju? Bagus! Itu baru prajurit-prajurit setia. Barang siapa yang tak setia padaku akan kupenggal lehernya. Dia lebih baik mati!"

Hewan-hewan itu kembali mengeluarkan suara khas masing-masing, membuat Banghadur Gupta mengangguk-angguk puas. "Kalau begitu, malam nanti juga akan kita adakan pesta besar-besaran di istana kerajaan ne­geri ini!" lanjut si Penyihir Sakti Dari Benggala. "Dan seperti yang kukatakan tadi, kita rampas kekayaan mereka. Lalu kita patahkan kekuatan ba­la tentara mereka!"

Hewan-hewan itu mengeluarkan suara lebih keras ketimbang tadi. Dan Banghadur Gupta kem­bali mengangguk-angguk. Tapi pada saat itu terlihat belasan ekor burung terbang dari arah selatan menuju ke tempatnya.

"Hei, ada apa di sana?!

Pertanyaannya itu tak perlu dijawab, sebab Penyihir Sakti Dari Benggala segera mengetahui apa penyebab terbangnya burung-burung itu.

"Rajawali raksasa?! Kalian melihatnya?!" tanya Banghadur Gupta tampak kaget. Namun di satu isi terlihat seringai senyum kegembiraan. "Ini berita bagus untukku! Perlihatkan! Di mana rajawali rak­sasa itu berada!"

Dua ekor burung kecil terbang berputar seben­tar di atas kepala. Dan bersamaan dengan melesatnya Banghadur Gupta dari tempat duduk, maka secepat itu pula dua ekor burung tadi melesat.

Mata Penyihir Sakti Dari Benggala jelalatan beredar ke sekeliling. Kemudian bibirnya tersenyum ketika memandang ke tempat yang ditunjukkan ke­dua burung. Semak-semaknya kelihatan menyingkir ke pinggir. Dan di sekitar itu pun debu-debu menepi membuat lingkaran besar yang samar dipandang mata.

"Ini dia!" seru Banghadur Gupta gembira ke­tika melihat setumpuk benda lembek berbau tak enak. Mirip tahi kerbau! "Dia membuang hajat di sini. Berarti terbang ke sana..., sana!" tunjuk Banghadur Gupta ke utara.

Dan mendadak, Banghadur Gupta bersuit nyaring. Dan tak lama seekor kuda jantan berbulu coklat berbelang putih muncul. Dengan sigap laki-laki berkulit hitam ini lompat ke punggung dan menggebahnya kencang-kencang.

"Ayo, lari sekuat-kuatnya! Kerahkan semua tenagamu. Kita harus cepat-cepat menyusulnya. Rajawali itu harus kumiliki!"

"Hieee...!" Seperti mengerti kata-kata Penyihir Sakti Dari Benggala. Sebentar saja, mereka telah melewati padang datar seluas ratusan tombak. Kuda itu terus berlari, dan belum juga memperlihatkan tanda-tanda letih. Bahkan larinya masih mantap seperti semula.

"Titik itu! Aku yakin pasti dia!" seru Banghadur Gupta dengan wajah berseri-seri. "Lekas pacu te­nagamu lagi! Cepaaat!"

Namun, kuda coklat itu tak lagi punya persediaan tenaga. Larinya masih kencang seperti tadi, namun tak berubah. Bahkan ketika Banghadur Gupta memukul-mukul pantatnya, larinya semakin lambat. Pukulan itu bukan pukulan untuk memberi semangat. Karena geregetan dan kesal, Penyihir Sakti Dari Benggala memukul kuat-kuat hingga kuda itu kadang meringkik kesakitan. Dan sedikit pun Bang­hadur Gupta tidak menghiraukannya. Hatinya malah kesal dan marah melihat kudanya berlari semakin lambat.

"Celakalah kau! Apa ingin kepalamu kupenggal? Lekas lari yang kencang!"

Namun, kuda itu tetap berlari seperti tadi. He­wan itu bukan berarti tak mengerti apa yang diperintahkan majikannya. Juga bukan tidak takut oleh ancaman itu. Tapi tenaganya memang sudah terkuras habis. Malah saat ini pun tenaganya telah berusaha dikempos habis.

"Brengsek kau! Cepat! Lebih cepat lagi...!" teriak Banghadur Gupta sambil menepuk pantat kuda keras-keras.

Kuda coklat itu meringkik kesakitan. Namun Banghadur Gupta tak peduli. Mata dan hatinya ha­nya tertuju pada satu titik di langit luas. Titik hitam itu bergerak pelan, namun terlalu tinggi di angkasa.

"Suiiit...!"

Banghadur Gupta bersuit nyaring. Suitan itu tidak bisa dianggap sembarangan, karena mengandung getaran sihir. Bahkan mampu mengadakan hubungan batin antara dirinya dengan hewan yang diminati. Kalau saja ada seekor hewan yang men­dengar suitan itu, niscaya akan berpaling dan men­dekat padanya serta siap menerima perintah. Na­mun titik hitam di atas langit itu tak bergeming. Dan itu membuatnya geram.

"Kurang ajar! Kau coba melawanku, he?! Tak satu hewan pun yang tak bisa ku peroleh! Termasuk kau! Kau akan segera kumiliki!" desis Banghadur Gupta, geram.

Kembali Penyihir Sakti Dari Benggala bersuit Lebih nyaring dibanding sebelumnya. Beberapa ekor burung yang berada di sekitarnya mengalihkan terbangnya dan mengikutinya. Sementara itu titik hitam di angkasa yang dikejar sejak tadi, kelihatan merendahkan terbang­nya secepat kilat. Sehingga, Banghadur Gupta bisa melihat jelas sepasang sayap terentang demikian besar.

"Astaga! Jadi cerita itu benar! Dan, aku tidak bermimpi! Kutemukan rajawali raksasa yang benar-benar langka!" decak laki-laki ini penuh kekagum-kagum. Tapi hal itu membuatnya lengah. Karena dalam sekejap, rajawali raksasa itu kembali membubung jauh ke angkasa.

"Suiiittt...!"

Banghadur Gupta kembali bersuit. Saat itu juga rajawali tadi menukik. Gerakannya seperti menahan sedotan luar biasa yang datang dari bawah. Sayapnya dikepak-kepakkan untuk mengatur keseimbangan.

"Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul bertenaga, ya? Rasakan yang ini!" dengus Banghadur Gupta.

Kembali Penyihir Sakti Dari Benggala bersuit. Kali ini disertai tenaga dalam sepenuhnya, sehingga memekakkan siapa pun yang mendengar.

"Suiitt...!"

Hasilnya terlihat nyata. Rajawali raksasa itu menukik tajam, tak tertahankan lagi.

"Hi hi hi...! Baru tahu rasa kau sekarang!"

"Hieeekh...!" Namun Banghadur Gupta agaknya melupakan sesuatu. Akibat suitannya tadi, kudanya meringkik lirih dengan tubuh ambruk terkulai.

Bruk!

"Hup!" Karuan saja laki-laki ini terkejut. Buru-buru dia melompat. Padahal saat itu kedua sayap rajawali raksasa itu telah menaungi mereka.

Wuusss...!

"Uhh...!" Banghadur Gupta dalam keadaan tak siap. Se­hingga tanpa ampun tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, lalu terjerembab bersama kuda tunggangannya yang sekarat ketika kedua sayap raja­wali raksasa itu terkepak-kepak.

Waktu yang singkat telah cukup bagi rajawali raksasa itu untuk kembali melesat ke angkasa ketika pengaruh sihir Banghadur Gupta hilang dalam pikirannya. Sementara laki-laki berhidung mancung dengan kepala bersorban itu masih terengah-engah ketika bangkit berdiri. Bola matanya memandang kesal ke arah rajawali yang telah membubung se­makin tinggi.

"Awas kau! Suatu saat nanti, kau akan kumi­liki!" umpat Banghadur Gupta, geram.

"Hi hi hi...! Dasar serakah! Sebaiknya sesuatu yang bukan milik kita tak perlu dikejar-kejar. Hasil­nya akan seperti tadi!"

Mendadak terdengar suara dari belakang. Nadanya jelas mengejek. Banghadur Gupta menoleh. Matanya meman­dang tajam pada seorang laki-laki tua berambut putih yang tengah berdiri seenaknya sambil bersandar di batang pohon. Kedua tangannya terlipat di dada. Di pinggangnya tersampir sebuah guci.

"Orang luar sebaiknya tidak usah ikut campur kalau tak ingin celaka!" dengus Banghadur Gupta dingin.

"Maaf kalau penilaianmu begitu, Sobat. Namaku Ki Demong. Siapa Kisanak ini? Dan, datang dari mana?" ucap laki-laki tua yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Kau tak perlu tahu. Dan juga aku bukan sobatmu!" desis Banghadur Gupta masih ketus. Nadanya sama sekali tidak bersahabat. Apalagi ketika berbalik dan meninggalkan Ki Demong begitu saja.

"Hei, Sobat! Tunggu dulu...!" cegah Pemabuk Dari Gunung Kidul, seraya mengikuti.

"Aku bukan sobatmu! Apakah kau tak tahu malu?!" sahut Banghadur Gupta tanpa menoleh ataupun menghentikan langkahnya.

"Ya, ya..., aku tahu!" Kata Ki Demong. "Dalam perjalananku selama ini, sering kulihat orang-orang sepertimu. Berkulit hitam, memakai sorban dan bertelanjang dada. Serta..., maaf! Hanya memakai cawat!" Ketika mengucapkan kata yang terakhir, Ki Demong tertawa mengikik. "Mereka berdagang obat yang khusus untuk laki-laki! Harganya cukup mahal. Dan aku tak kuat membelinya. Karena kau tidak sedang berdagang, mungkin sudi memberikan padaku barang sebotol atau dua botol? Ayolah.... Itu tidak membuatmu rugi kan? Aku sangat memerlukannya!" lanjut Ki Demong.

Banghadur Gupta menghentikan langkah, lalu berbalik. Matanya memandang tajam, sampai-sampai Ki Demong bergidik ngeri. Namun dia berusaha menepis dengan tersenyum-senyum kecil.

"Dengar, Pemabuk! Aku bukan kawanmu! Dan akupun bukan penjual obat kuat. Jadi jangan ganggu aku lagi! Kalau tak menuruti, jangan menyesal kalau kau akan mendapat celaka!" dengus Pe­nyihir Sakti Dari Benggala, geram.

"Mendapat celaka? Celaka apa?" tanya Ki De­mong berpura-pura.

"Kupatahkan lehermu!" desis Banghadur Gup­ta mengancam. Dan setelah itu, tubuhnya berbalik dan meneruskan langkahnya.

"Aduh, galak betul!" seru Ki Demong. "Bagai­mana dengan kudamu? Dia sekarat. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja?!"

Banghadur Gupta tak menjawab. Ki Demong terkekeh-kekeh sendiri. Diambilnya guci dari pinggang dan diangsurkan ke bibirnya. Ditenggaknya tuak dalam guci. Matanya tak lepas memandangi orang asing itu dari kejauhan. "Dasar orang aneh! Dikiranya di dunia ini ha­nya dirinya saja yang hitam dan berhidung mancung!" umpat Ki Demong kesal.

Beberapa saat setelah Banghadur Gupta lenyap dari pandangan, dari arah lain dua orang berjalan ringan dan agak cepat. Ki Demong tersenyum. Wajahnya berseri-seri ketika melihat salah seorang yang dikenalnya dengan baik.

"Sobatku, Rangga! Dari mana saja kau selama ini?" sapa Ki Demong.

Salah seorang yang tengah berjalan ringan itu menoleh. Dia tak lain adalah Rangga. Di sampingnya, seorang gadis cantik yang tak lain Malini.

"Apa kabar, Ki Demong? Mudah-mudahan kau selalu baik..." balas Rangga seraya menjura hormat.

"Wueeeh! Kau selalu menanyakan kabarku dan berharap aku selalu baik-baik. Padahal, tidak! Aku selalu kekurangan uang. Dan yang paling penting, aku tetap saja tak laku-laku di mata perempuan. Beda denganmu. Setiap kali bertemu, selalu menggandeng gadis cantik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau ini kalah tampan dibandingkan aku!" cibir si Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan wajah sombong.

"Memang betul, Sobat. Kau ini kelewat tam­pan. Tapi sayang, tak ada yang tahu. Kenapa tidak kau katakan saja setiap kali bertemu? Katakan pada mereka bahwa kau laki-laki tertampan sejagat ini!" kata Rangga, sedikit berseloroh.

"Kau kira aku sinting, apa?!"

Rangga tersenyum-senyum ketika melihat se­pasang mata Ki Demong membulat lebar.

"Ya, kadang-kadang aku memang berniat be­gitu. Tapi, perlu juga pendukung..." desah Ki De­mong.

"Aku selalu mendukungmu! Kenapa, tidak?" sambar Pendekar Rajawali Sakti.

"Bukan kau yang ku maksud!" semprot Ki Demong.

"Lho, lalu apa?"

"Yaaah, seperti yang pernah kulihat di tukang obat yang suka berjualan di tengah keramaian. Obat pemikat perempuan!"

"Obat pemikat perempuan? Pelet?!" Mata Rangga mendelik lebar. Malini tersenyum-senyum. Gila! Orang setampanmu tak perlu menggunakannya. Minyak pelet itu akan kalah pamornya ketimbang ketampananmu!" kata Pendekar Raja­wali Sakti.

"Minta pada orang asing? Memangnya dia punya minyak pelet?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Biasanya orang seperti mereka punya!"

"Bagaimana bisa seyakin itu?"

"Entahlah. Selama ini yang kulihat berjualan obat, yaaah, orang-orang seperti mereka! Dan yang membuatku lebih yakin, dia mampu memanggil burung-burung dan hewan-hewan. Mereka semua mendekati dan berkeliling di dekatnya. Dan..., yang satu ini kau pasti tak akan percaya!" jelas Ki De­mong dengan wajah berbinar. Bibirnya tersungging senyum.

"Apa yang membuatku tak percaya?" tanya Rangga.

"Dia sedang mengakali burungmu!" Bola mata Ki Demong membulat lebar. Bibir­nya masih menyungging senyum bangga.

"Burungku?" ulang Rangga.

"Jangan jorok kau, Rangga! Maksudku, burung rajawali raksasa tungganganmu yang edan itu?!"

Sungguh Rangga tak bermaksud jorok. Hanya Ki Demong saja yang terbiasa dengan hal-hal yang ngeres. Dan orang tua itu tersenyum dalam hati melihat wajah Rangga memerah bagai udang rebus, karena malu. Apalagi di sisinya ada Malini.

"Rajawali Putih sahabatkku...?!" desis Rangga, kaget.

"Nah! Kau tak percaya, kan? Aku tidak mabuk, Sobat. Kulihat setitik hitam di angkasa, lalu aku mengikuti. Titik hitam itu melesat turun, namun secepatnya kembali membubung ke angkasa. Aku terus mengikuti. Dan kulihat orang asing itu penasaran sekali. Dia bersuit dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam, sampai-sampai telingaku mau pecah rasanya. Namun tidak sia-sia. Karena ternyata titik hitam itu rajawali raksasa sahabatmu. Dia menukik tajam sambil mengibaskan kedua sayapnya. Sehingga orang asing itu jungkir balik dibuatnya. Lalu secepat kilat membubung kembali ke ang­kasa, menjadi setitik hitam lagi," jelas Ki Demong.

***
LIMA
"Apa kau yakin?" tanya Rangga, coba menegaskan.

"Sialan! Kau mengira aku mengarang-ngarang cerita?!" sahut Ki Demong, kesal.

"Bagaimana bentuk orang asing itu?"

"Kenapa? Kau ingin minta minyak pelet juga?"

"Mungkin...," sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.

"Aku saja tak diberi.... Apalagi kau! Orangnya galak, sombong, dan..., hati-hati saja kau! Karena dia penasaran. Salah-salah kepalamu dipecahkan. Begitu ancamannya padaku kalau aku terus merongrong!"

"Mungkin denganku lain..."

"Sial! Kau ingin mengatakan kalau nasibmu lebih baik dariku? Dasar bocah edan!"

"Tapi, buktinya begitu, kan? Aku sering membayarimu makan, sedangkan kau tidak. Aku sering bersama perempuan cantik. Dan kau tidak."

Dahi Ki Demong berkerut. Kepalanya meng­angguk kecil. "Iya, benar juga...," sahut Ki Demong.

"Nah! Kalau begitu, katakan saja bagaimana ciri-cirinya! Siapa tahu dia mau memberikannya padaku" ujar Rangga.

"Kau ingin menyusulnya?"

Rangga mengangguk. "Kalau begitu, ajak juga aku!" pinta Ki De­mong.

"Tidak bisa...."

"Kalau begitu tak akan kukatakan!" potong Ki Demong sebelum bicara Rangga habis.

"Brengsek!" Rangga memaki di hati. Namun wajahnya coba dimaniskan. "Kenapa kau tidak menunggu saja di sini? Kau sudah coba meminta, tapi tak diberi. Berarti, dia tak suka padamu. Dan kalau kau ikut mengejarnya, dia tentu akan menduga kalau kau kawanku. Se­hingga dia tak mau memberikannya pula"

Ki Demong mengangguk-angguk. "Ya, benar juga kau...!"

"Ayo, kalau begitu lekas katakan!" kejar Rang­ga.

"Tapi sebenarnya untuk apa sih minyak pellet bagimu?" tanya Ki Demong.

"He he he...! Kalau begitu, kaupun pernah mengalami kekecewaan sepertiku!" tebak Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Iya, iya...! Maka cepat katakan!"

"Orang itu bertubuh ceking seperti papan. Kulitnya hitam. Tapi hidungnya mancung seperti paruh betet. Bertelanjang dada, dan memakai cawat. Kepalanya bersorban putih. Dia mengejar burung rajawali raksasa itu ke selatan!" tunjuk Ki Demong.

"Terima kasih! Kalau begitu aku ke sana dulu!"

"Hei, jangan lupa bagian untukku!" teriak Ki Demong melihat Rangga berkelebat sambil menggandeng Malini

"Beres! Akan kumintakan sepuluh botol untukmu!" sahut Rangga, berteriak.

"Dasar tolol! Buat apa banyak-banyak. Kau kira aku mau berjualan obat pelet, apa?!"

Rangga terkekeh. "Apakah Kakang bersungguh-sungguh?" tanya Malini di sela-sela kibaran rambutnya yang digelung ke atas.

"Apa maksudmu?"

"Minyak pelet itu..." Gadis ini agak geli sendiri ketika menyebutkan kata-kata itu.

Rangga tersenyum. "Kakang mempercayainya?" cetus Malini, bertanya.

"Bagaimana menurutmu sendiri?" Rangga ba­tik bertanya.

"Itu kebohongan! Tidak benar ada minyak yang bisa mengguna-gunai perempuan" tegas Ma­lini.

"Akupun berpikir begitu..."

"Lalu mengapa sekarang kita mengejarnya? Seandainya benar ada minyak pelet, kurasa Kakang tak memerlukannya..."

"Mengapa?"

"Kakang sudah cukup tampan" Malini memalingkan muka ketika mengatakan hal itu. Sebaliknya, Rangga memandanginya de­ngan tersenyum lebar.

"Benarkah begitu?" tanya Rangga, tanpa kebanggaan sama sekali. Wajahnya biasa-biasa saja.

"Kenapa Kakang tidak berhenti, lalu mencari sebuah sungai yang bening dan berkaca di permu­kaan airnya?"

"Itu usul yang baik. Nanti setelah urusanku selesai dengan orang asing itu, akan kita coba mencari sungai," sahut Rangga.

"Kakang masih berhasrat menemui orang asing itu?" tanya Malini lagi.

"Tentu saja. Kenapa tidak?"

"Untuk sebotol minyak pelet?"

Rangga tertawa. "Tentu saja tidak. Itu hanya alasanku agar Ki Demong tidak banyak tanya lagi...," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada urusan penting kiranya. Apakah Kakang kenal dengan orang asing itu?"

"Tidak..."

Sebenarnya banyak yang hendak ditanyakan, namun Malini merasa sungkan. Gadis itu takut kalau-kalau Rangga menganggapnya usil. Makanya segera berdiam diri saja dan tak lagi mengajukan pertanyaan. Namun dia cukup mengerti kalau pe­muda itu bukan mengejar barang konyol seperti mi­nyak pelet!

Rangga memang tak bermaksud mencari mi­nyak pelet. Yang lebih diutamakan adalah apa yang diceritakan Ki Demong tadi. Rajawali Raksasa tunggangannya tengah diburu orang asing. Dan pasti orang itu memiliki kepandaian hebat.

"Lapar?" tanya Rangga, ketika mereka telah tiba di Desa Kaliasin.

Malini yang berjalan di sebelahnya tersenyum.

"Kita cari sebuah kedai kecil yang tak terlalu ramai orang. Asalkan makanannya lezat..." cetus Rangga.

Malini belum menyahut ketika perhatian Rang­ga beralih pada kerumunan orang di satu tempat. Tampak seorang pemuda yang berada di tengah-tengah berteriak-teriak meneriakkan sesuatu.

"Kita ke sana sebentar!" ajak Rangga.

"Orang asing itu?" tanya Malini, minta penegasan.

"Entahlah. Tak ada salahnya melihat..."

"Jangan-jangan Kakang berubah pikiran dan mencari minyak pelet!" goda Malini.

"Ah, bisa saja kau!"

Malini masih terkikik. Dan Rangga cengar-cengir karena merasa geli sendiri. Ketika dekat, Rangga menyibak kerumunan para penonton. Malini pun ikut menyelinap di sampingnya. Tepat saat itu si penjual obat melihat ke arahnya.

"Nah! Barangkali gadis cantik ini mau mencoba! Ayo, jangan malu-malu! Silakan mencoba!"

Malini terperangah. Apalagi saat pemuda tukang obat menghampirinya. Seketika penonton yang lainnya menoleh ke arah mereka.

"Gadis ini cantik seperti bidadari. Dan dia akan kita sulap menjadi bidadari sesungguhnya. Nisanak! Maukah kau membantuku membuat pertunjukkan barang sebentar?" pinta penjual obat.

"Aku..., aku...." Malini tak berani menjawab. Kepalanya meno­leh pada Rangga.

Melihat gelagat itu pandangan tukang obat ini berpindah kepada Rangga. "Tuan, sudikah kau mengizinkan kekasihmu membantuku barang sebentar?" pinta pemuda itu.

Rangga melirik sebentar. Kemudian pandangannya beralih ke tengah-tengah. Pemuda penjual obat ini kelihatannya akan memamerkan sebuah sulapan, dan minta bantuan Malini. Ini bisa berarti menyenangkan, atau sebaliknya. Dan karena dia merasa tak berhak mewakili gadis itu, maka keputusannya diserahkan pada Malini.

"Nah, Nisanak! Kekasihmu telah memberi izin untuk menentukan putusanmu sendiri. Maukah kau membantuku?" tanya penjual obat seraya mengulurkan tangan menyambut Malini.

Wajah Malini memerah, karena dua kali disebut kekasih pemuda di sebelahnya ini. Entah karena merasa jengah disebut begitu, atau karena senang bisa diajak bermain sulap. Yang jelas, kepalanya mengangguk.

"Nah! Saksikanlah saudara-saudara sekalian! celoteh tukang obat seraya membawa Malini ke tengah arena. "Bukan sulap, bukan sihir. Ini anugerah dari Hyang Widhi kepadaku. Kalian pun bisa mendapatkannya dengan petunjuk dariku. Namun sebelumnya, mari kita lihat pertunjukan ini!"

Penjual obat itu menutupi tubuh Malini dengan kain hitam sehingga yang terlihat hanya mata kakinya saja. Beberapa saat kemudian, dia membaca mantera. Tiba-tiba disingkapnya kain penutup. Kini terlihat pakaian Malini berubah menjadi merah muda, terbuat dari sutera halus. Rambutnya lepas tergerai. Tampak sebuah mahkota bertahtakan intan berlian di atas kepalanya. Sehingga Malini benar-benar berubah seperti layaknya seorang putri raja. Atau mungkin juga bidadari yang turun dari kah­yangan!

"Nah, lihatlah! Ini salah satu karunia yang kukatakan tadi. Ini semua bisa terjadi apabila kita memiliki hati bersih lagi suci! Dengan latihan-latihan teratur dan selalu mengingat akan kekuasaan Hyang Widhi, maka saudara-saudara semua bisa melakukannya!" teriak penjual obat.

Penjual obat itu membungkus tubuh Malini kembali. Dan sesaat setelah membaca mantera, kain hitam itu disingkap kembali. Dan kini, pakaian serta perhiasan yang tadi dikenakannya lenyap dari pandangan. Malini mengenakan pakaian yang tadi dikenakannya!

Penonton bertepuk tangan. Dan gadis itu kem­bali menghampiri Rangga, setelah mendapat ucapan terima kasih dari pemuda penjual obat. Rangga yang merasa tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini segera meraih tangan Malini.

"Kita cari kedai yang punya makan enak. Perutku sudah minta diisi!"

Malini tersenyum. Diikutinya langkah pemuda itu. Mereka kini melangkah ke sebuah kedai.

"Mereka mengagumimu...," ucap Rangga lirih, setelah memesan makanan dan duduk di tengah-tengah ruangan. Karena hanya tempat ini yang masih kosong, tak heran kalau Malini jadi pusat perhatian.

"Benarkah? Menurutmu kenapa?" tanya Mali­ni.

"Karena kau cantik...," sahut Rangga datar.

Malini tersenyum. Diperhatikannya para pengunjung satu persatu. "Sayang, tak seorang pun yang tampan..., gumam Malini sambil tersenyum sinis.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga, jadi geli me­lihat tingkah gadis ini.

"Kukatakan, tak seorang pun di tempat ini yang setampan penjual obat tadi. Siapa namanya? Ah, sayang sekali! Tidak sempat kutanyakan," sahut gadis ini.

"Kenapa? Kau tertarik pada tukang obat itu?"

"Hmm...! Dia kelewat tampan untuk tidak diperhatikan," puji Malini sambil membayangkan se­suatu.

Entah apa yang ada di benak gadis ini. Tapi, Rangga melihat kelakuan Malini aneh. Padahal ketika pertama kali jalan bersama, Malini tak pernah bersikap segenit sekarang. Bahkan amat sopan dan menghormati Rangga.

"Kau bisa menanyakan namanya...," kata Rangga.

"Oh, benarkah?!" Malini tersenyum lebar. "Pa­dahal aku ingin lebih dari itu. Berkenalan, lalu..., berada di dekatnya. Kau tentu tidak keberatan, bukan?"

"Kau tahu, aku hanya menganggapmu sebagai adik. Kau bebas berbuat apa saja yang kau sukai..."

"Ah, benar! Benar sekali. Tiba-tiba selera makanku hilang. Dan..., aku mesti ke sana! Menanya­kan namanya. Dan..., mungkin lebih dari itu. Selamat tinggal!" ucap Malini.

Gadis itu buru-buru bangkit, bergegas keluar tanpa menoleh lagi. Rangga menghela napas sambil menggeleng lemah. Namun hatinya berdetak curiga ketika dua pengunjung kedai pun ikut keluar. Tampang mere­ka seram, dan kelihatan kalau bukan orang baik-baik. Apalagi ketika mereka sempat menyeringai mengejek. Rangga diam saja. Namun otaknya terus berpi­kir. Dan kecurigaannya makin menjadi-jadi.

"Tuan..., Hidangan yang Tuan pesan telah tersedia...!" kata laki-laki tua pelayan kedai seraya meletakkan hidangan di meja.

"Berapa harga makanan ini?"

"Dua keping perak, Tuan."

"Hmm...!" Tanpa banyak bicara pemuda itu mengeluar­kan sejumlah uang yang dimaksud. Makanan yang tersaji di meja untuk berdua. Dan serakus-rakusnya, rasanya tak mungkin Rang­ga menghabiskan semua makanan yang terhidang. Apalagi saat ini rasa laparnya tertindih oleh persoalan lain yang tengah dipikirkan.

Sambil menyantap, mata Pendekar Rajawali Sakti tak lepas memandang ke arah pemuda pen­jual obat yang tak seberapa jauh dari kedai. Penjual obat itu tampak gembira melihat Malini kembali bergabung. Namun baru saja hendak menjadikan Malini sebagai sasaran permainan sulapnya, dua laki-laki bertampang kasar yang tadi keluar dari kedai menarik lengan gadis itu dengan kasar.

"Hei?! Dia tak boleh ikut!" kata laki-laki yang bertubuh gemuk.

"Hei, apa-apan ini?! Lepaskan aku! Lepaskan...!" teriak Malini coba berontak.

"Diam! Kau di bawah kekuasaan Sanggeni dan Ruwekso, tahu?!" bentak lelaki bertubuh kecil dengan kepala bulat. Wajahnya dipenuhi bopeng. Dialah yang bernama Sanggeni.

"Kisanak! Apa-apaan ini? Lepaskan gadis itu. Dan biarkan dia bergabung denganku. Kalau tidak berhak mengaturnya!" hardik pemuda penjual obat.

"Hei, Tukang Obat! Lekas pergi dari sini! Atau, kuobrak-abrik daganganmu!" tuding Sanggeni de­ngan mata melotot garang. Dan, wajahnya berubah merah seperti orang yang sedang bangun tidur.

Mendengar gertakan itu penjual obat ini tenang-tenang saja. Tak sedikit pun terbersit rasa takut di wajahnya. Sebaliknya para penonton bubar satu persatu, sampai tak seorang pun yang tersisa. Mereka menyadari akan terjadi sesuatu. Dan agar tidak kena getahnya, maka lebih baik menyingkir!

"Mengobrak-abrik daganganku? Lihatlah! Ka­lian telah melakukannya. Mereka lari ketakutan dan tak mau beli obatku. Semua ini salah kalian! Kalau kau tak mau ganti maka...."

"Maka apa?!" sentak Ruwekso yang tengah menelikung Malini. Di pinggang Ruwekso terselip sebilah kapak be­sar.

Sedangkan senjata khas Sanggeni adalah seuntai rantai besi yang melilit di pinggang. Keduanya amat dikenal penduduk desa ini sebagai pembuat onar. Jarang ada yang berani, apalagi menentang mereka. Selain berkepandaian lumayan, mereka pun galak. Bahkan tidak segan-segan main kasar pada orang yang tidak disukai. Buktinya, kini Sanggeni langsung maju. Kepalan tangan kanannya cepat terulur ke muka pen­jual obat itu.

Wut!

Penjual obat itu mengegos sedikit ke samping, dan tangan kanannya menepis.

Plak!

"Hiih!" Bersamaan dengan itu, kaki kanan penjual obat mengait lutut Sanggeni bagian dalam. Tak ampun lagi....

Bruk!

Sanggeni jatuh berdebuk keras di tanah. Wa­jahnya kontan berubah garang.

"Maaf.... Aku tak bermaksud berbuat kasar padamu! Mari kutolong berdiri...!" ucap penjual obat ini seraya mengulurkan tangan dengan wajah takut-takut.

"Huh!" Sanggeni mendengus geram. Matanya mendelik kasar. Di hatinya terbersit niat untuk menarik kuat-kuat tangan pemuda penjual obat ini agar kedudukan jadi satu-satu!

Tap!

Hiih!

Namun niat Sanggeni lenyap begitu saja ketika tahu-tahu tubuhnya tertarik dan mengapung ke atas. Bukan main geramnya Sanggeni. Maka ketika hinggap di tanah setelah mematahkan luncuran, dia langsung bersiap. Jari-jari tangannya membentuk seperti cakar, siap mencengkeram.

"Oh, maaf! Aku tak bermaksud menerbangkanmu, Kisanak!" ucap pemuda penjual obat itu dengan lagak seperti orang ketakutan.

"Mampuslah kau!" desis Sanggeni.

"Aduh, ampun! Ampun...!" Pemuda itu berteriak-teriak sambil memegangi kepalanya dan berputar-putar di sekitar tempat itu.

***
ENAM
Namun gerakannya membuat serangan Sanggeni menemui tempat kosong. Dan dengan amarah meledak-ledak di dalam dada, laki-laki kurus itu kembali melompat menerjang laksana seekor serigala menerkam mangsa.

"Ampuuun...! Aku menyerah, aku menyerah..." teriak pemuda penjual obat sambil berlutut dengan tubuh membungkuk. Akibatnya, serangan Sanggeni kembali nyeplos ke tempat kosong.

"Setan! Kau mau mempermainkan ku, he?!" dengus laki-laki kurus itu geram, setelah berbalik.

Sring!

Sanggeni meloloskan rantai yang melilit ping­gang, kemudian memutar-mutarnya. Wajahnya kelihatan bengis. Dan sepertinya, siap menghabisi nyawa penjual obat itu.

"Aduh, ampun Tuan! Ampun...! Aku belum mau mati sekarang!" ratap penjual obat sambil berlutut. Kedua tangan dirangkapkan ke dada. Mukanya kelihatan sedih mengharapkan belas kasihan.

"Akan kuampuni setelah kepalamu copot!" desis Sanggeni seraya mengibaskan rantai. Ujungnya mencelat lurus ke tenggorokan.

Siuutt! Wut! Plos!

"Aduh, copot! Copot, copooot..!" teriak pemu­da penjual obat sambil menunduk. Tubuhnya membungkuk, seperti batang pohon roboh. Dan akibatnya, ujung rantai hanya menyambar angin kosong.

"Hiih!" Sanggeni menarik rantai. Maka ujung rantai yang melengkung kembali mengancam leher pen­jual obat yang tengah berteriak-teriak sambil memegangi lehernya.

"Ampun, Tuan...! Ampuni aku...!" teriak pe­muda penjual obat sambil bergulingan mendekati Sanggeni. Rantai tak menemui sasaran. Sementara, sebelah kaki pemuda penjual obat telah melayang deras ke perut Sanggeni. Dan....

Desss!

"Hugkh!"

Demikian kuatnya tendangan itu, membuat la­ki-laki kurus ini ambruk beberapa langkah ke be­lakang. Sanggeni bangkit pelan-pelan sambil menahan nyeri di perutnya.

"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan kami, he?!" dengus Ruwekso geram. Dilepaskannya Malini. Lalu dicabutnya kapak.

"Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Ruwekso meluruk sam­bil membabatkan kapaknya.

"Eee..., tunggu dulu! Mau apa kau? Apakah kau menghukumku seperti dia?" Penjual obat itu masih berlagak pilon. Wajah­nya. terus menunjukkan ketakutan. Namun Ruwek­so tak mempedulikan.

Wut! Bet!

Kapak itu menyabet ke dada, namun pemuda penjual obat itu menarik tubuhnya ke belakang. Dan tiba-tiba sebelah kakinya melayang menghantam pergelangan tangan Ruwekso.

Plak!

"Aduh...!" Ruwekso menjerit kesakitan. Kapaknya terpental dari genggaman. Begitu kuat papakan barusan, membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke bela­kang.

"Maafkan aku, Kisanak! Aku sama sekali tak bermaksud melukaimu!" ucap pemuda penjual obat dengan nada terdengar memelas. Namun pada saat itu tubuh pemuda penjual obat sudah melesat dengan kedua kaki bergerak ke perut dan dada.

Duk! Des!

"Wuaaakh...!" Ruwekso terpelanting ke belakang disertai jerit kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Dan dengan tertatih-tatih, dia berusaha bangkit Matanya nyalang penuh dendam memandang pen­jual obat itu.

"Jangan kira persoalan ini akan selesai begitu saja! Kau akan mendapat balasan setimpal atas perbuatanmu ini!" dengus Ruwekso dengan amarah membludak. Hatinya tersaput dendam membara.

Penjual obat itu mengiba ketakutan dengan tu­buh gemetar. "Aduh ampunilah aku! Tolong, jangan sakiti aku, Tuan...!"

"Setan alas!" maki Sanggeni sambil meludah.

Memang orang bodoh pun tahu kalau penjual obat itu mengejek dengan tingkahnya yang memuakkan. Jelas-jelas kedua begundal itu begitu mudah dijatuhkan. Tapi, masih juga dia berteriak-teriak minta ampun dengan suara ketakutan. Padahal sulit bagi orang biasa menjatuhkan mereka berdua. Apalagi dalam waktu singkat.

Bisa ditebak kalau orang yang mampu menja­tuhkan mereka tidak bisa dianggap sembarangan. Gerakan pemuda itu cepat dan gesit meski kelihatannya ayal-ayalan. Demikian pula tenaga dalamnya. Buktinya, kedua jagoan desa itu cepat mengambil langkah seribu.

"Nah! Sekarang tak ada lagi yang mengganggumu...!" kata penjual obat itu sambil menghampiri Malini dengan senyum lebar. "Kau aman di dekatku sekarang."

"Hebat! Hebat betul! Dalam segebrakan saja kau berhasil menghajar mereka!" puji Malini. Bola matanya menyiratkan kekaguman luar biasa.

"Sia­pa namamu?"

"Namaku Malin Sani, bergelar Sutan Mudo Pangikek Mato."

Malini tertawa mendengar pemuda penjual obat menyebut namanya. "Gelarmu lucu sekali!"

"Apalah arti sebuah gelar? Yang penting, kan orangnya. Nah! Mau ke mana tujuanmu seka­rang..., eh! Aku belum tahu siapa namamu?" tanya Malin Sani.

"Malini. Aku..., aku tak tahu tujuanku akan ke mana. Tapi kalau tak keberatan, aku mau ikut kau saja," kata gadis yang perangainya telah berubah ini.

"Kebetulan sekali! Aku memang tak punya ka­wan seperjalanan. Senang sekali bisa jalan bersama gadis secantikmu," puji Malin Sani.

"Benar aku cantik? tanya Malini, seakan tak percaya.

"Kau cantik sekali, Malini! Seperti bidadari!" kembali Malin Sani memuji tak kepalang tanggung.

Mendengar pujian itu bukan main senangnya Malini. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Sementara, Malin Sani kini bergerak lincah mengemasi barang-barang dagangannya. "Ayo, kita berangkat!" ajak Malin Sani setelah selesai mengemasi.

Kini mereka berjalan beriringan. "Aku nginap di suatu tempat. Kau boleh ikut bila suka!" kata Malin Sani alias Sutan Mudo Pangikek Mato.

"Aku suka! Di mana?!" sambut Malini berseri-seri.

"Tidak jauh dari sini. Kalau berlari, kita akan cepat sampai!"

"Kalau begitu kenapa kita tidak berlari saja?!"

"Kau mau?"

"Mau!" Secepat jawaban Malini, maka secepat itu pula Malin Sani segera berlari. Dan gadis itu mengikutinya dari belakang sambil tertawa-tawa.

Tempat yang dituju Malin Sani dan Malini ada­lah sebuah penginapan kecil di pinggiran desa. Se­buah gubuk kecil yang masih memadai untuk dihuni. Pemiliknya tinggal di rumah besar yang ada di dekat gubuk itu.

"Nah! Di sinilah istanaku sementara!" kata Malin Sani masuk ke gubuk itu. Dicampakkannya barang-barang dagangannya ke kolong tempat tidur.

Malini masuk ke dalam. Matanya beredar ke sekeliling, memandangi ruangan ini dengan sorot iba.

"Ke sinilah, Malini!" ujar Malin Sani. Gadis itu segera melangkah dan duduk di dekat Malin Sani.

"Ini baru permulaan. Tapi setelah usahaku berjalan lancar, maka keadaan pun akan berubah! Aku akan membangun istana. Dan..., kau ikut bersamaku di dalam istana!" kata pemuda itu dengan mata menerawang jauh.

"Aku menjadi apa?" tanya Malini

"Menjadi apa?! Tentu saja menjadi permaisuriku! Kau setuju, kan?!" sahut Malin Sani, seraya menatap gadis ini.

Malini tersenyum. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

"Ayo katakan, kau setuju, kan?!" desak pemu­da itu.

Lagi-lagi Malini hanya tersenyum dan tak men­jawab. Malin Sani terus memandangi dengan tajam. Seolah-olah dari pandangan matanya keluar tenaga gaib yang membuat gadis itu mengangguk.

"Nah! Begitu lebih baik. Kelak kau jadi permaisuriku. Dan sebagai permulaannya..., kita resmikan hubungan itu," sambut Malin Sari dengan sorot mata penuh kegembiraan.

Malin Sani mendekat. Kepalanya mendekat. Bibirnya hendak menyentuh bibir gadis ini. Namun, Malini menghalangi dengan jari-jari sebelah tangan.

"Kenapa? Kau tak suka padaku?" tanya Malin Sani, agak kecewa.

"Suka, tapi...."

"Tapi apa? Katakan," potong Malin Sani. "Apakah kau masih menyukai kekasihmu itu?"

Malini terdiam. Pikirannya mengambang entah ke mana. Tapi ketika Malin Sani mengucapkan kata-katanya yang terakhir.

"Kekasih...?" desah Malini, tak sadar.

"Ya! Pemuda berbaju rompi putih itu. Kau masih mengingatnya? Dia tak mempedulikanmu! Dia mendiamkan saja saat aku membawamu. ltukah yang pantas disebut kekasih?!" cibir Malin Sani.

Malini terkesiap. Dia seperti ingat sesuatu. Bayangan wajah seseorang yang amat dekat di ha­tinya. Seketika dia berdiri. Namun, Malin Sani cepat mencekal lengannya. Pemuda itu berdiri, memegangi pundak gadis ini. Matanya menyorot tajam, menusuk ke bola mata Malini. "Lihat mataku! Lihat mataku...! Setelah ini, kau akan turuti keinginanku...!" desis pemuda ini dengan suara lirih bernada tajam.

Malini terdiam. Matanya menatap kosong ke depan seperti mayat. "Kau membencinya, bukan? Dia menyia-nyiakanmu!" lanjut Malin Sani, penuh kekuatan gaib.

"Ya," jawab Malini, di luar kesadarannya.

"Kau tak boleh mengingatnya lagi!"

"Ya....!"

"Kau hanya boleh mengingat aku seorang! Kau mengasihiku, dengan sepenuh hati! Kau mencintaiku dengan sepenuh jiwa!"

"Ya....!"

"Karena itu kau mesti membuktikannya! Bukalah bajumu! Buka semua...!" desis Malin Sani.

"Ya....!" Malini mengikuti perintah Malin Sani yang terakhir. Perlahan-lahan bajunya mulai dibuka. Na­mun sebelum hal itu terjadi....


"Kurang ajar! Siapa di luar?!" bentak Malin Sani. Cepat pemuda ini melompat ke pintu. Di bukanya pintu dengan sikap siaga, siap menghadapi segala kemungkinan. "Hmm! Kau rupanya!" gumam Malin Sani.

Di ambang pintu tegak berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih berambut panjang dalam sikap memunggungi. Terlihat pedang bergagang kepala burung tersandang di punggung.

"Kau memintanya baik-baik untuk dijadikan peramai sulapmu. Tetapi, kenapa mendadak berniat busuk?" gumam pemuda yang tak lain Rangga.

"Aku tak bicara pada orang yang membelakangiku!" sungut Malin Sani.

"Aku tak ingin memandang wajah manusia penipu sepertimu!"

"Huh! Kau tak diperlukan di sini! Pergilah!"

"Hanya karena telah mempecundangi dua jawara desa, kau merasa bisa berbuat seenaknya?" gumam Rangga dengan senyum dingin.

"Aku bisa mengulangi kejadian itu terhadapmu kalau kau tidak lekas-lekas pergi!" ancam Malin Sani.

"Aku jadi ingin tahu," sambut Rangga, tenang.

Merasa ditantang,. Malin Sani berpikir untuk memberi pelajaran. Maka dengan menghempos tenaga kuat-kuat, tubuhnya melesat kencang melayangkan tendangan.

"Hiih!"

"Yeaaa...!" Rangga mencelat ke samping, membuat ten­dangan Malin Sani hanya menebas angin kosong. Untuk mematahkan luncuran tubuhnya, Malin Sani jungkir balik. Begitu berbalik kembali diserangnya Rangga dengan kedua kaki yang dirapatkan. Dan kali ini Rangga menangkis lewat kibasan tangan.

Plak! Plak!

"Huh...!" Malin Sani mendengus geram dengan tubuh terpental ke belakang. Dia bersalto beberapa kali. Begitu menjejak tanah, tubuhnya cepat meluruk. Kepalan tangannya langsung dihantamkan berun­tun mengarah perut, dada, dan leher.

Pendekar Rajawali Sakti cepat meliuk-liuk seperti menari dengan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Sehingga semua serangan dapat dikandaskan. Bahkan tiba-tiba kakinya mengibas sambil berbalik.

"Hup!" Malin Sani terkesiap. Untung dia cepat berjumpalitan ke belakang.

"Hiyaaat...!" Dengan mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega Pendekar Rajawali Sakti melayang cepat. Kedua tangannya terpentang lebar ke samping. Sementara kedua kakinya mengibas-ngibas.

Malin Sani tercekat. Tubuhnya cepat merunduk ketika kaki Pendekar Rajawali Sakti menyambar kepala. Namun mendadak Rangga menggulingkan tubuhnya di udara, lalu meluruk dengan tangan mengibas ke tengkuk. Begitu cepat gerakannya. Se­hingga....

Des!

"Uhh...!" Malin Sani mengeluh tertahan ketika tengkuknya terhantam kibasan tangan Pendekar Raja­wali Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan pandangan kabur. Kepalanya pusing bukan main.

"Brengsek!" maki Malin Sani geram.

"Aku hanya minta kau menyadarkan gadis itu kembali. Atau, kita lanjutkan pertarungan ini," gertak Rangga, begitu mendarat di tanah.

"Kurang ajar! Kau kira aku sudah kalah?!" de­ngus Malin Sani, geram. Dan yang lebih-lebih mem­buatnya geram adalah karena Pendekar Rajawali Sakti terus membelakanginya seperti tadi. Seolah-olah memandang rendah padanya.

"Brengsek! Agaknya dia tahu kalau aku bisa mempengaruhinya lewat pandangan mata. Itu sebabnya dia membelakangiku. Dan berarti, dia ber­tarung dengan mengandalkan pendengarannya. Luar biasa bagi seseorang yang masih melihat!" puji Malin Sani dalam hati, sekalipun memendam ge­ram. "Aku mesti mengecohnya dengan bunyi-bunyian!"

Berpikir begitu, Malin Sani berkelebat cepat ke dalam pondok. Sebentar saja, dia telah keluar kem­bali, membawa beberapa buah gelang yang berbentuk kincringan. Alat itu sering juga digunakannya kalau tengah berdagang untuk memikat pengunjung.

"Sekarang kau tahan seranganku!" bentak Malin Sani. Pemuda itu segera membunyikan kincringan, bermaksud agar Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dia membawa kincringan.

"Heaaa...!" Malin Sani melempar dua buah kincringan hingga melayang ke atas. Dua benda itu berputar-putar, menimbulkan bunyi gemerincing. Kincringan itu sama sekali tidak ditujukan ke arah Rangga, melainkan dilewatkan di kiri dan kanannya. Dan bersamaan dengan itu Malin Sani melompat, menyerang dari belakang.

Apa yang diduga memang benar. Rangga menyadari kalau sorot mata Malin Sani mengandung daya sihir. Kalau saja lengah, maka dirinya terpengaruh. Makanya, Rangga harus menghindari pandangan langsung ke mata Malin Sani ketika bertarung. Dan kalau menyangka bisa menipu dengan kincringan, Malin Sani boleh kecewa. Sebab, Rang­ga sama sekali tak terpengaruh. Begitu datang se­rangan dari tengah, dia langsung menjatuhkan diri. Kedua kakinya cepat berputar sambil menyambar bergantian.

Wut! Bet!

Malin Sani menghindari benturan. Tubuhnya mengelak ke samping sambil membungkuk. Dan mendadak dia berbalik, seraya melayangkan tendangan. "Hiih...!"

Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangan kiri menangkis. Dan ketika Malin Sani melanjutkan serangan lewat tendangan kaki yang satu lagi, Rangga membungkuk. Lalu mendadak tubuhnya berbalik seraya menghantam lutut penjual obat itu di bagian belakang.

Duk!

"Uhh...!" Kuda-kuda Malin Sani kontan goyah. Dan belum lagi dia sempat berbuat apa-apa, lutut kiri Pendekar Rajawali Sakti masuk ke perut.

Desss!

"Aaakh...!" Malin Sani menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, lalu ambruk menghan­tam gubuknya sendiri. "Cukup! Aku menyerah kalah...!" teriak Malin Sani ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti akan menyerang lagi.

Pendekar Rajawali Sakti menarik serangannya. "Jangan mengakaliku!" bentak Rangga.

"Sungguh! Aku betul-betul menyerah...," sahut Malin Sani seraya bangkit tertatih-tatih. "Kalau begitu, kau harus mengembalikan ingatannya!"

"Ya, ya...! Tapi sabar dulu. Tenagaku banyak terkuras. Tunggu sampai aku agak pulih."

"Aku tak bisa menunggu untuk tipuanmu yang lain!"

"Hei, kau ini bagaimana sih?! Baru kenal saja sudah menyangka penipu!"

"Kau penipu! Dan aku tak perlu kenal lama untuk menuduhmu seperti itu!"

"Atas dasar apa? Mana buktinya?!" tantang Malin Sani.

"Aku ke sini bukan hendak berdebat. Sembuhkan Malini, atau akan kubuat kau lebih parah?!" ancam Rangga, menggetarkan.

"Iya, iya...! Aku sudah menyanggupi. Tapi, jangan seenaknya menuduhku penipu!" gerutu Matin Sani.

Pemuda itu segera masuk ke dalam. Dan Rang­ga mengikuti sampai ke ambang pintu. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tak mau menatap mata pemuda itu secara langsung.

"Ayo, masuk dan duduk seadanya!" ujar Malin Sani.

Namun Pendekar Rajawali Sakti diam saja, pura-pura tak mendengar.

"Yaaah, terserahmulah! Aku sudah berbaik hati menyuruhmu duduk. Tapi, ternyata kau lebih suka berdiri. Silakan saja! Mudah-mudahan kau lebih tinggi dari sekarang nantinya."

"Jangan cerewet! Lekas sembuhkan dia!" hardik Rangga.

"Iya, iya...!

***
TUJUH
Ohh.... Di mana aku? Tempat apa ini? Dan kau..., bukankah kau tukang obat itu?" ucap Malini dengan wajah kaget lalu buru-buru menjauh ketika telah disadarkan Malin Sani. "Apa yang kau lakukan padaku? Apa yang telah kau lakukan terhadapku?!"

Wajah gadis ini tampak curiga. Kemudian dicobanya merasakan adakah sesuatu yang ganjil te­lah terjadi pada dirinya? Dan dia tidak merasa ada perubahan apa-apa. Meskipun begitu, dia tak mau percaya begitu saja. Matanya melotot garang memandangi Malin Sani.

"Apa yang kau lakukan padaku?! Kalau kau melakukan sesuatu yang merusak kehormatanku, akan kuadukan hal ini pada kakang ku! Dan kau akan terima hukuman berat!" bentak Malini, ga­rang.

"Malini, kau tak apa-apa?"

"Oh, siapa kau?" Gadis itu yang tak menyadari kehadiran Rang­ga di tempat itu cepat berpaling. Wajahnya berubah gembira ketika mengetahui siapa yang bicara meskipun membelakanginya.

"Kakang,..! Oh, syukurlah kaupun ada di sini! Orang ini.., dia hendak berbuat sesuatu padaku. Kau mesti menghajarnya sampai kapok!" seru Malin sambil berlutut dan merangkapkan kedua tangan di dada.

"Ya. Dan dia telah menerimanya...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang telah menghajarnya?!" seru Malini tak percaya seraya bangkit berdiri.

"Kita tak perlu berlama-lama di sini. Mari pergi!" ajak Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri dengan menjawab pertanyaan Malini

"Tapi, Kakang.... Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanya Malini

"Bukankah ini kemauanmu sendiri?"

"Kemauanku? Tidak! Aku ingat Kakanglah yang menyerahkan jawaban ketika dia memintaku membantu sulapannya."

"Ya, ya.... Aku memang menyerahkan jawaban kepadamu sendiri, karena kuanggap kau harus punya hak. Aku tak bermaksud mengekang mu...," sahut Rangga.

"Ya! Mungkin juga kemauanku sendiri, maka­nya aku berada di sana...," desah Malini.

"Waktu di kedai tadi, kau meninggalkan ku begitu saja...," jelas Rangga.

"Benarkah?!" tanya Malini, terperangah.

"Kalau tidak, bagaimana mungkin kau bisa ber­ada di sini."

"Jadi aku mengikutinya dengan suka rela?"

Dengan senang hati!"

"Oh, tidak! Pasti ada sesuatu, sehingga aku berbuat seperti itu. Tak mungkin aku melakukannya!" bantah Malini

"Ya, memang. Dia mempengaruhi mu dengan tenaga batinnya. Itulah sebabnya aku tak mau memandang matanya," jelas Rangga.

"Kakang juga terpengaruh olehnya?"

"Tidak. Tapi untuk berjaga-jaga saja...."

Mereka lantas keluar dari gubuk. Sementara Malin Sani kesal sendiri. Dia mondar-mandir di gubuknya, lalu menendang benda apa saja untuk melampiaskan kesal. Matanya nyalang ketika melihat kedua orang itu terus melangkah pergi menaiki kuda. Entah mengapa, tiba-tiba dia keluar.

"Kalian mau ke mana?!" teriak Malin Sani, bertanya.

"Malini! Jangan pandang matanya!" ingat Rangga ketika mereka berbalik.

Malini hanya mengangguk dengan kepala ter­tunduk.

"Tipu daya apa lagi yang hendak kau perlihatkan?" tukas Rangga, kalem.

"Aku tahu! Kalian tengah mencari seseorang, kan?!" tebak Malin Sani sambil tertawa kecil

"Itu bukan urusanmu, Kisanak!"

Malin Sani tersenyum. "Kalian mencari laki-laki berkulit hitam, berhidung mancung, dan bertelanjang dada! Orang itu memakai sorban di kepalanya!" teriak Malin Sani.

Mendengar teriakan itu Rangga yang sudah berbalik dan hendak melangkah, kembali menghadap Malin Sani. Hampir saja matanya menatap mata penjual obat itu, kalau tak ingat betapa bahayanya seandainya Malin Sani mampu menguasainya.

"Apa yang kau tahu tentangnya?" tanya Rang­ga, dingin.

"Banyak!"

"Dan kau tak akan memberitahukannya pada­ku, kan?"

"Tergantung keadaan. Kalau sikapmu bersahabat, tentu saja dengan senang hati aku mengatakannya," sahut Malin Sani tersenyum-senyum penuh kemenangan.

"Kau salah menilai orang!" sahut Rangga, langsung melenyapkan senyum Malin Sani. Pendekar Rajawali Sakti cepat berbalik dan menuntun Malini yang mengikutinya.

"Eee..., apa maksudmu?!" teriak Malin Sani ketika melihat Rangga berkelebat cepat.

"Maksudku baik. Paling tidak kita bisa menjadi seorang sahabat!"

"Aku tak butuh sahabat untuk saat ini!" teriak Rangga di kejauhan.

"Kau harus belajar mempercayai seseorang!" teriak Malin Sani.

Rangga tak peduli. Bersama Malini, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat. Menjelang sore, Pendekar Rajawali Sakti tiba di kaki Gunung Karacak. Di situ terdapat hamparan rumput luas di atas sebuah lembah yang cukup permai. Dan tak jauh dari situ terdapat pula sebuah anak sungai yang mengalir dari perut gunung. Airnya jernih dan kelihatan segar. Rangga mengajak gadis itu untuk beristirahat sebentar. Rangga duduk bersandar di bawah pohon. Dia menghela napas panjang.

"Malini, ada satu hal perlu kubicarakan padamu...," kata Rangga menarik napas, sambil memandang sekilas.

Malini mengangkat kepalanya, menatap Rang­ga.

"Kau tak perlu mengikutiku terus. Kau berhak menentukan jalan hidupmu," lanjut Rangga.

Malini kembali tertunduk, diam seribu bahasa.

"Aku tak bermaksud mengusirmu. Tapi kalau terus mengikutiku, maka kau juga yang akan susah. Hidupku banyak petualangan, dan sering menyerempet bahaya. Tidak selamanya aku bisa melindungimu. Dan yang paling penting, akan sulit bagi laki-laki mendekatimu, karena dikira kau adalah kekasihku...." Kata-kata terakhir yang diucapkan Rangga pelan dan hati-hati.

"Apakah..., apakah Kakang Rangga tak menghendaki kehadiranku lagi?" tanya Malini, tersendat.

"Bukankah sudah kukatakan? Bukan itu soalnya! Ini demi masa depanmu sendiri. Apakah kau ingin bersamaku terus tanpa tujuan jelas? Apa kata orang-orang nanti? Dan..., mungkin yang terpen­ting...."

Rangga tak melanjutkan bicara. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi itu membuat Malini mendongak dan memandangnya penasaran.

"Kenapa, Kakang? Apa yang amat memberatkan...?" desak gadis itu.

"Aku tak ingin kekasihku mengira aku menyeleweng...," sahut Rangga berat.

"Tapi bukankah kita tak melakukan apa-apa?" kilah Malini

"Benar. Namun dia tak tahu. Dan biasanya tak mau tahu," papar Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku akan jelaskan padanya!"

"Dia tak akan mengerti."

"Aku akan terangkan bahwa aku tak bermak­sud merebut Kakang dari sisinya!"

Rangga menghela napas. Malini memandangnya putus asa. Lalu tubuh­nya disandarkan pada batu besar di belakangnya dengan kepala tertunduk.

"Aku tak tahu ke mana harus pergi. Datang ke tanah Jawa ini pun dibawa ibuku ketika berusia li­ma tahun dari Benggala di tanah India. Kami ber­maksud mencari ayah yang pergi bertahun-tahun dan tak pernah kembali. Sampai di sini, kami te­lantar. Untunglah ada Adipati Sangkaran. Dia memungut kami dan mengawini ibuku. Namun, ibuku tak lama hidup didera penderitaan. Adipati Sang­karan itu manusia bejat tukang kawin. Ibuku meninggal setahun setelah menikah dengannya...."

Malini menghentikan ceritanya sebentar. Rang­ga bisa melihat air mata menitik dari kedua kelopak matanya.

"Sejak itu aku diasuh dayang-dayang di kadipaten, karena Adipati Sangkaran masih menganggapku sebagai anaknya. Namun menjelang dewasa, aku mulai takut berdekatan dengannya. Setiap kali berdekatan, matanya memandangku penuh nafsu. Bahkan sering mencuri-curi kesempatan untuk masuk ke kamarku...," lanjut gadis ini, memelas.

Air mata gadis itu menetes semakin deras. Dan Rangga merasa ikut terhanyut. Perasaan kesal di hati karena diikuti terus oleh Malini, kini berganti rasa iba. Dia tak bermaksud mengusik. Dibiarkannya saja gadis itu menumpahkan isi hatinya.

"Aku menyuruh beberapa dayang-dayang un­tuk menemaniku tidur. Namun suatu hari yang kutakutkan datang juga. Adipati Sangkaran memberi perintah pada semua dayang untuk pergi ke suatu tempat. Maka dengan leluasa, dia masuk ke kamar dan memaksaku untuk melakukan perbuatan tak senonoh. Aku menolak dan berusaha menyadarkannya. Namun sia-sia saja. Dia memaksaku de­ngan kekerasan, sampai aku tak berdaya melindungi kehormatanku...!"

Isak tangis Malini semakin kencang seiring air matanya yang bercucuran deras. "Dan hal itu ternyata tidak sekali. Namun dilakukannya berulang-ulang setiap kali ada kesem­patan, sampai aku mengandung bayinya. Adipati Sangkaran pura-pura marah di depan orang-orang, lalu menyuruh seseorang menggugurkan kandungan ku...," rintih Malini. "Setelah itu dia menyuruhku untuk menjadi penari istana yang bertujuan untuk membunuhmu...." Yang terdengar saat itu cuma isak tangis, diiringi alunan lembut dari angin yang bertiup sepoi-sepoi.

"Maaf, aku tak tahu cerita itu...," ucap Rangga.

Malini diam membisu. Isak tangisnya telah berhenti. Tinggal sekali-sekali. "Adipati keparat itu mestinya mendapat ganjaran berat atas segala perbuatan terkutuknya!" dengus Rangga. "Suatu saat kalau bertemu de­ngannya, tidak akan kubiarkan dia hidup sebelum mendapat hukuman darimu!"

"Terima kasih atas perhatianmu, Kakang...," sahut Malini. "Benarkah kau akan mencari dan membalaskan sakit hatiku padanya?"

"Tenangkahlah hatimu. Doakan saja agar aku berhasil membawanya padamu. Dan setelah itu, kau boleh tentukan hukuman apa yang bakal dijatuhkan padanya..."

"Terima kasih, Kakang...!"

"Ada hal yang tidak ku mengerti. Setelah mengetahui kebejatannya, mengapa kau tidak lekas-lekas pergi dari tempat itu?"

"Tidak Tidak bisa...," sahut Malini lirih setelah diam sejenak. "Sejak kecil, ibu selalu mengajarkan kalau mesti balas budi terhadap orang yang berbuat baik terhadap kita. Itulah yang dinamakan jalan hidup dan selalu melekat kuat di hatiku. Aku dibesarkan oleh Adipati Sangkaran. Dan kini kuanggap segalanya telah impas. Dia telah merenggut sesuatu yang amat dibanggakan gadis sepertiku...."

"Aku turut prihatin...," desah Rangga.

"Apakah..., apakah kau tak merasa jijik padaku setelah mendengar ceritaku, Kakang?" tanya Malini tiba-tiba.

"Itu adalah penderitaan umat manusia. Dan segalanya telah digariskan. Jadi, tidak semestinya aku merasa jijik. Aku prihatin dan ikut berduka terhadapmu. Sekaligus, geram terhadap manusia bernama Sangkaran itu...."

Malini terdiam Entah dia percaya atau tidak dengan kata-kata Rangga. Tapi sesudah itu Rangga tampak bangkit berdiri.

"Hari hampir malam. Kita harus cari tempat istirahat..."

Dan Malini mengikuti tanpa banyak bicara. Malini tak membantah ketika Rangga mengajaknya mendaki lereng Gunung Karacak. Udara semakin bertambah dingin. Dan tubuh gadis ini mulai gemetar. Siang tadi dia tak sempat makan. Tak heran kalau perutnya mulai keroncongan.

Rangga terus membawa gadis itu ke suatu tem­pat yang agak luas di lereng gunung ini. Pada suatu tempat, mereka berhenti. Dan pemuda itu mendo­ngak ke atas. Kelihatan langit mulai gelap. Burung-burung pun beterbangan kembali ke sarang masing-masing. Sementara kelelawar dan binatang malam lainnya keluar dari sarang untuk mencari makan.

"Setelah nanti aku bersuit, berpegangan pada tanganku yang kuat!" perintah Rangga.

"Kakang! Kau..., kau mau apa?" tanya Malini heran.

"Ada sesuatu yang mungkin mengejutkanmu. Tapi itu pun kalau dia mau turun...."

Rangga tak mempedulikan ketidakmengertian gadis ini. Pendekar Rajawali Sakti sudah memasukkan ujung jarinya ke dalam mulut. Lalu....

"Suiiittt...!"

Suara suitan Pendekar Rajawali Sakti terdengar nyaring, melengking tinggi karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Terus menembus ang­kasa, bergema ke mana-mana. Pandangan Rangga menerawang jauh. Mata­nya dipertajam untuk melihat-lihat sesuatu.

"Suiiittt...!" Rangga kembali bersuit nyaring. Sampai-sampai Malini menutup telinganya rapat-rapat, karena jantungnya berdetak lebih kencang. Bahkan tubuh­nya gemetar panas dingin mendengar suitan itu. Teringat perintah Rangga, Malini memegang tangan Rangga kuat-kuat.

Pendekar Rajawali Sakti menunggu beberapa saat sampai terlihat setitik hitam di angkasa luas. Titik hitam itu terlihat samar. Namun kelihatan kalau titik hitam itu menukik turun dan semakin besar. Pada batas pandangan manusia akan terlihat kalau titik hitam tadi menjadi sebuah bentuk yang bersayap lebar. Seekor rajawali raksasa!

Rajawali raksasa itu berputar-putar di angkasa pada jarak tertentu, kemudian membubung lagi ke angkasa. Padahal Rangga sudah memanggilnya turun.

"Ada apa, Rajawali Putih? Apakah dia tak mau turun karena kehadiran Malini?!" desis Rangga menatap rajawali raksasa yang tak lain Rajawali Putih.

Kebingungan pemuda itu agaknya tak lama, karena berikutnya mulai mendapat jawaban ketika mendengar....

"Suiitt...!" Terdengar suitan dari arah lain di tempat ini.

"Suitan siapa itu? Jangan-jangan...." Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti men­dapat jawaban atas kekhawatirannya, terlihat raja­wali raksasa di atas sana menukik turun.

Siuutt!

"Rajawali Putih! Lekas pergi! Pergiii...! teriak Rangga dengan suara menggelegar.

Suara yang dikerahkan lewat penyaluran tena­ga dalam kuat itu sempat menggoyahkan terbang Rajawali Putih. Dia berhenti, dan sayapnya terkepak mengangkat tubuhnya naik. Tapi saat itu ju­ga...

"Suiittt..." Kembali terdengar suitan keras.

"Rajawali, lekas pergi! Ayo, pergi...! Jangan hiraukan suara itu!" bentak Rangga sambil melompat dan mendekati arah suitan tadi.

Namun suitan tadi menggema dahsyat, membuat Rangga geram. Lebih geram lagi ketika melihat rajawali raksasa itu menukik turun ke satu tempat tanpa bisa dicegahnya. Pendekar Rajawali Sakti berlari kencang, tak mempedulikan Malini yang sejak tadi mengkeret ketakutan. Tujuannya cuma satu. Ke tempat raja­wali raksasa itu turun.

"Kurang ajar! Itukah orang asing yang diceritakan Ki Demong?!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu Rangga melihat seorang lelaki kurus berkulit hitam memakai sorban putih. Hidungnya bagai paruh betet dengan sepasang mata celong. Bertelanjang dada, serta memakai celana pendek yang dibuat dari sehelai kain putih panjang dikebat demikian rupa.

Tidak jauh dari tempat orang itu berdiri, terlihat Rajawali Putih bertengger di atas batu. Sementara laki-laki bertubuh kurus itu mendekat sambil tertawa mengekeh.

"Hi hi hi...! Akhirnya kau menyerah juga padaku setelah selama ini kita main kucing-kucingan!" kata laki-laki yang tak lain Penyihir Sakti Dari Benggala.

Rajawali Putih tampak memandang makhluk di depannya dengan sorot mata tajam. Kedua sayap­nya hendak di kepakkan. Namun tenaganya seperti lenyap untuk mengangkat tubuhnya ke atas.

"Hi hi hi...! Kau hendak melarikan diri dariku? Tidak mungkin! Tak seekor makhluk pun yang bisa lolos setelah terpengaruh sihir ku. Meskipun kau hewan luar biasa, tapi tetap seekor hewan. Dan hewan tak mungkin membantah perintahku! Hi hi hi...!"

"Grkhhh...!" Bulu-bulu di sekujur tubuh Rajawali Putih bergetar tanda pemberontakan. Namun tak ada yang bisa dilakukannya lebih dari itu. Sementara, Banghadur Gupta mulai melambai-lambaikan ta­ngan ke depannya.

"Aku Banghadur Gupta! Raja dari raja sihir yang memerintahkanmu tunduk padaku! Tundu­uuk...!" bentak Penyihir Sakti Dari Benggala de­ngan suara garang

"Kisanak! Kau salah memilih sasaran! Rajawali ini bukan milikmu!"

"Hei?!" Terdengar suara dari arah lain, membuat Bang­hadur Gupta tersentak.

***
DELAPAN
Banghadur Gupta terkesiap melihat seorang pemuda tampan memakai rompi putih tengah tegak berdiri di atas sebuah baru yang terletak di ketinggian. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung.

"Hi hi hi...! Apa katamu, Bocah? Kau ingin menyerakahi buruanku?!" leceh Banghadur Gupta.

"Rajawali itu bukan milikmu! Lepaskan dia!" bentak pemuda itu.

"Lepaskan?! Hi hi hi...! Gila! Susah payah aku mengakalinya, tiba-tiba datang bocah tolol menyu­ruh lepaskan! Hi hi hi...! Bocah! Jangan campuri urusan orang. Pergilah kau sebelum aku naik darah! Biasanya aku tak pernah mengampuni orang. Tapi kali ini hatiku sedang senang. Pergilah sebelum aku berubah pikiran!"

"Lepaskan rajawali itu, maka aku tidak akan mengusikmu!" gertak pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

"Bah! Setan alas! Ternyata otakmu degil juga! Rupanya perlu memberi pelajaran padamu, he?! Selesai kata-katanya, seketika Banghadur Gup­ta menghentakkan sebelah telapak tangannya yang terkembang ke depan.

Wuusss...!

Seketika melesat cahaya kuning menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas.

"Hup!" Rangga melompat ke samping, namun aneh! Cahaya kuning itu berbelok mengikutinya. Begitu juga ketika Rangga mencelat ke atas. Ke mana saja Rangga bergerak menghindar, cahaya itu terus mengikutinya.

"Sial! Hup...!" Rangga bersalto ke belakang beberapa kali untuk membuat jarak.

"Ha ha ha,..! Kau kira bisa melarikan diri? Cahaya itu akan mengejar ke mana pun kau pergi. Meski ke akhirat sekali pun!" teriak Banghadur Gupta sambil tertawa keras.

Begitu menjejak tanah, Rangga memasang kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya cepat digosok-gosok, lalu diletakkan di sisi pinggang. Begitu sinar kuning itu mendekat, cepat kedua tangannya menghentak ke depan.

"Aji Guntur Geni...! Heaaa...!" Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat cahaya merah, memapak cahaya ku­ning yang menyerangnya.

Blarrr!

"Uhh, kurang ajar!" Banghadur Gupta murka seraya melompat ke belakang ketika terdengar ledakan. saat sinar kuningnya terpapak. Kali ini Penyihir Sakti Dari Beng­gala meluruk tajam, melepaskan hantaman.

Siuuttt!

Namun sambil memutar tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan tangannya.

Wuuutt!

"Sial...! Sambil memaki, Banghadur Gupta melompat seraya menjatuhkan diri. Dan Rangga tak memberi kesempatan. Langsung dicecarnya laki-laki itu. Gila! Brengsek...!" Banghadur Gupta terus memaki sambil menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Suiiittt...!" Sambil menghindar, tiba-tiba saja Penyihir Sak­ti Dari Benggala bersuit nyaring.

Seketika terjadi keanehan. Rajawali Putih yang. sejak tadi diam memperhatikan, mulai menggetarkan bulu-bulunya. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti, sudah meng­hentikan serangannya.

"Ayo! Kau kuberi kesempatan padamu mengabdi padaku! Serang dia...!" teriak Banghadur Gup­ta.

"Kriegkh...!"

Rangga tersentak, melihat Rajawali Putih menggetarkan bulu-bulunya semakin kencang. Dan perintah Banghadur Gupta pun belum terlihat hasilnya.

"Serang dia...! Kau berada di bawah perintahku! Ayo, serang dia...!" bentak Penyihir Sakti Dari Benggala sekali lagi.

"Rajawali! Jangan dengarkan kata-katanya! Pergilah selagi masih ada kesempatan! Jangan dengar kata-katanya...!" teriak Rangga.

"He he he...! Kau kira dia akan menurut padamu?" leceh Banghadur Gupta.

"Kau tidak berhak menguasainya, Kisanak!"

"Hi hi hi...! Aku Banghadur Gupta! Raja penyihir yang amat sakti. Apa pun yang kuinginkan akan tercapai. Tidak akan kubiarkan bocah sepertimu menggagalkannya!"

"Kau boleh berbuat apa saja. Tapi menguasai burung ini jangan harap bisa! Aku akan menghalanginya!"

"Kau tak cukup kuat untuk menghalangiku, Nak..!" ejek Banghadur Gupta. Begitu selesai kata-katanya, Raja Penyihir Dari Benggala bersiul beberapa kali. Dan....

Wherrr...!

"Hei, apa ini?!" desis Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti benar-benar heran saat telinganya mendengar banyak sekali suara berkelebat dari berbagai arah. Tubuhnya cepat berputar, mencoba melihat apa yang terjadi.

"Astaga...! Sihirkah ini?!" desis Rangga kaget.

Di sekitar Pendekar Rajawali Sakti kini dipenuhi belalang dari berbagai macam bentuk, kalajengking, kelabang berbisa, dan segala jenis binatang yang ada di gunung ini. Serentak mereka menyerang pe­muda itu.

Wuut!

"Uhh...! Sialan...!" Rangga kerepotan mengibaskan tangannya ke sana kemari. Beberapa ekor belalang dan burung berpentalan terbabat tangannya. Namun karena jumlah mereka ratusan, maka sulit baginya untuk menghalau semua serangan. Tubuhnya mulai sakit-sakit dipatuk hewan-hewan itu. Masih untung tu­buhnya kebal racun. Kalau tidak, dia akan mati kejang sejak tadi.

"Nih! Ku tambahkan kalau masih kurang!" seru Banghadur Gupta seraya melambaikan sebelah ta­ngan.

Seketika dari segala penjuru keluar berbagai macam hewan. Semua itu sebenarnya hanya sihirnya belaka untuk merepotkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....., memang Rangga sedikit termakan! Dalam keadaan kacau-kacau seperti sekarang, pikiran Pendekar Rajawali Sakti tidak terpusat ke satu masalah. Hewan-hewan sihir ciptaan Bangha­dur Gupta membuatnya harus bekerja lebih keras untuk menghindar. Padahal serangan segala hewan itu hanya tipuan belaka.

Sementara Banghadur Gupta tertawa-tawa. Betul-betul menikmati pemandangan itu. "Hi hi hi..,! Ingin kulihat sampai di mana tenagamu. Apa kau mampu menghadapi mereka semua? Ayo, kerahkan seluruh tenagamu sampai kau mati lemas! Hi hi hi...!" teriak Penyihir Sakti Dari Benggala.

"Hiyaaa...!" Rangga menggeram marah. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur untuk mencari tempat kosong. Begitu menjejak tanah, kedua tangannya menghentak ke arah Banghadur Gupta. "Aji Bayu Bajra! Heaaa...!" bentak Rangga nyaring.

Wuerrr...!

Dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti seketika menderu angin dahsyat laksana badai topan. Tujuan utamanya sudah jelas, pengaruh sihir Banghadur Gupta!

"Eits! Kunyuk buduk! Hebat juga kau, ya!" umpat Banghadur Gupta seraya berkelit ke bela­kang.

"Hiyaaa...!" Rangga kembali menghentakkan kedua ta­ngannya, membuat Penyihir Sakti Dari Benggala pontang-panting. Pada saat yang sama, hewan-hewan itu terus menyerangnya.

"Hi hi hi...! Ayo kuras kemampuanmu!" ejek laki-laki dari India itu, masih sempat-sempatnya mengejek.

Selesai berkata begitu, Banghadur Gupta ber­suit nyaring. "Suiittt..!"

Saat itu juga satu persatu hewan-hewan yang tadi mengerubuti Rangga kembali ke tempat masing-masing. Kini mereka berdua saling berhadapan. Bang­hadur Gupta berada di samping Rajawali Putih sam­bil tersenyum-senyum.

"Kau akan berkelahi dengannya!" tunjuk Bang­hadur Gupta, membuat Rangga terkesiap. "Ketika kau tengah kerepotan menghadapi anak buahku, aku telah berhasil menguasainya. Kini kau akan melihat sendiri kehebatannya!" Setelah berkata begitu, Banghadur Gupta menoleh pada Rajawali Putih tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo, serang dia! Perlihatkan padaku kehebatanmu! Serang dia!" perintah Penyihir Sakti Dari Benggala.


Wuutt...!

Sekali kepak, Rajawali Putih melesat cepat. Kedua kaki kokoh ini hendak menyambar Rangga.

"Uts...!" Bukan main kagetnya Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan itu. Buru-buru dia menjatuhkan diri, sehingga tubuhnya luput dari cengkeraman. Begitu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti masih terpana melihat Rajawali Putih terpengaruh oleh daya sihir. Sebelum keterpanaannya lenyap, Raja­wali Putih telah menukik deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Rajawali, hentikan! Hentikaaan...!" bentak Rangga garang.

Suara Pendekar Rajawali Sakti bergema nya­ring disertai pengerahan tenaga dalam kuat. Bahkan Banghadur Gupta pun sampai kaget. Sementara itu Rajawali Putih yang menukik, mendadak membelok ke angkasa. Dia berputar-putar seperti kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa.

"Rajawali! Kau adalah orangtua keduaku...! Tidak mungkin kau menyerangku! Jangan biarkan orang lain mempengaruhimu!" lanjut Rangga.

Tapi Banghadur Gupta pun tidak tinggal diam melihat keadaan itu. Dia memandang tajam ke arah Rajawali Putih. "Ayo, serang dia! Seraaang...! Kau ada di bawah pengaruhku! Serang dan habisi dia...!" teriak Banghadur Gupta.

"Kreaaagkh...!" Rajawali Putih mengeluarkan suara memekakkan telinga, dan masih berputar-putar kebingungan.

"Ayo, serang dia...!"

"Tidak! Kau tidak bisa menyerangku! Kau adalah jiwaku, Rajawali Putih,. Meskipun aku mati, mestinya kau tidak menyerah. Apalagi saat ini aku tidak menyerah. Kau tak boleh kalah, Rajawali Putih! Dengar kata-kataku! Kau tak boleh tunduk padanya!" teriak Rangga, disertai pengerahan tenaga batin yang kuat.

"Kreaaagkh...!" Rajawali Putih mendadak menjerit. panjang melengking, sebelum Banghadur Gupta berteriak mempengaruhinya. Lengkingannya tajam, menggetarkan sukma. Bahkan lengkingan itu seperti khusus ditujukan pada Banghadur Gupta sampai-sampai tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua tangan mendekap telinga.

"Kreaaagkh...!" Rajawali. Putih kembali berteriak melengking. Dan secepat kilat tubuhnya. meluncur turun. Seketika disambarnya tubuh Banghadur Gupta. Rupanya ikatan batin dengan Rangga, membuat Rajawali Putih tersadar dan bebas dari pengaruh sihir Pe­nyihir Sakti Dari Benggala.

Tap!

Banghadur Gupta terkesiap sungguh tak di sangka kalau burung itu bisa membebaskan diri dari pengaruh sihirnya. Dia berusaha menghindar. Na­mun kedua cakar hewan itu lebih cepat mencengkeram tubuhnya kemudian membawanya terbang ke angkasa.

Aaa,... Grr..., tolong...! Turunkan aku! Turunkan aku binatang tolol! Turunkan...!" teriak Bang­hadur Gupta, geram.

Namun bukannya turun, Rajawali Putih malah membawa tubuhnya terbang semakin tinggi ke atas.

"To..., tolong...! Toloong..." teriak Banghadur Gupta dengan tubuh gemetar ketakutan.

Penyihir Sakti Dari Benggala makin pucat ketika melihat puncak gunung di bawah menjadi se­makin kecil. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti bagaikan menjadi titik kecil. Meski memiliki ilmu meringankan tubuh kelas tinggi, tidak nantinya bakal selamat bila dilempar dari ketinggian sekarang.

"Hei, turunkan aku! Tolong turunkan aku!"

Saran Banghadur Gupta tidak lagi garang se­perti tadi, meski masih menyimpan keangkuhan. Namun Rajawali Putih seperti tak mempedulikan. Dia terus melesat pada ketinggian yang membuat Banghadur Gupta lemas tak berdaya karena kehilangan semangat hidup. Dalam ketinggian seperti sekarang, kalau tubuhnya dilepaskan, maka tak ada kesempatan lagi untuk hidup.

Sementara itu Rangga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan sahabatnya. "Rajawali Putih tengah mengamuk! Dia tentu akan menghabisi orang asing itu karena telah coba mempengaruhinya..." gumam Rangga, pelan.

"Tolong.... Tolong selamatkan dia...."

"Hei?! Rangga cepat menoleh ketika terdengar suara dari belakangnya. "Malini? Aduh, maaf! Aku sampai melupakanmu. Kenapa kau? Habis menangis lagi?" Rangga buru-buru menghampiri.

Tampak pipi sosok yang ternyata Malini masih basah oleh air mata. Gadis ini tadi memang segera mengikuti Rangga, setelah ditinggal dalam keadaan ketakut­an. Dan dia cepat bersembunyi, ketika melihat Rangga bertarung dengan hewan-hewan yang dikendalikan seorang laki-laki setengah baya.

"Kakang Rangga, tolonglah. Kau tak boleh membiarkannya mati. Tolong, Kakang Rangga! Ja­ngan biarkan dia mati!" ratap Malini, membuat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut.

"Malini, apa maksudmu? Dia hendak mempe­ngaruhi sahabatku. Dan sekarang burung itu marah, lalu akan balas dendam. Apa maksudmu? Kau kasihan padanya?" tanya Rangga.

"Lebih dari itu...," keluh Malini.

"Apa...?"

"Dia..., dia ayahku..." sahut Malini sambil menunduk. Suaranya terdengar lirih. "Tadi aku sempat memperhatikannya di tempat persembunyian...."

"Kau yakin? Waktu itu kau masih kecil. Dan...."

"Ciri-ciri ayahku masih tetap kuingat, Kakang!" potong gadis itu. "Ayahku memang ahli sihir. Dan yang terpenting..., dia menyebutkan namanya. Kalau tak salah, Banghadur Gupta...."

Rangga tak tahu mesti berkata apa. Dia menghela napas, lalu mendongak ke atas. Lalu.... "Suiittt...!"

Suitan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kuat seperti menggema, menembus angkasa dan sampai ke telinga Rajawali Putih. Saat itu juga terlihat Rajawali Putih menukik turun dengan deras sekali. Banghadur Gupta yang setengah sadar sampai-sampai menutupkan mata karena ngeri. Tahu-tahu...

Bruk!

Pada jarak dua tombak, tubuh Banghadur Gupta dilemparkan begitu saja ke dekat Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memberi isyarat dan Ra­jawali Putih kembali melesat ke angkasa.

"Oh..!, oh...!" Banghadur Gupta menarik napas panjang. Lega. Lalu kepalanya mendongak ketika melihat se­orang gadis tegak berdiri di depannya. Perlahan-lahan dia bangkit dengan wajah terkesima.

"Mayang Putih?! Kaukah itu? Astaga! Apakah aku tidak bermimpi?!" Banghadur Gupta mengucek-ngucek matanya beberapa saat. Namun gadis di depannya masih ju­ga terlihat. "Tidak! Tidak mungkin! Ini pasti sihir! Kau bu­kan Mayang Putih istriku!" teriak Penyihir Sakti Dari Benggala sambil mundur beberapa langkah.

"Syukurlah.... Jadi kau masih mengenali Ibu...," desah Malini.

"Apa katamu? Ibu?" tukas Banghadur Gupta.

"Mayang Putih adalah ibuku. Dan ayahku ada­lah, Banghadur Gupta," jelas Malini seraya menggigit bibir menahan agar air matanya tidak tumpah.

"Kau.... kau Malini? Kau Malini?!" Banghadur Gupta meyakinkan.

"Benar, Ayah. Aku Malini, putrimu yang kau tinggalkan waktu berusia sekitar lima tahun..." sahut Malini.

"Malini, Anakku...!" jerit Banghadur Gupta.

Saat itu juga, anak-dan ayah tenggelam dalam keharuan. Dan bagai ada besi semberani yang berbeda kutub, mereka saling berpelukan. Isak tangis Malini kontan meledak. Sementara penyesalan Banghadur Gupta menjelma dalam air mata yang meleleh membasahi pipi.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tak bermaksud menyia-nyiakan kalian..." ucap Penyihir Sakti Dari Benggala.

Malini diam tak menjawab. Bahkan ketika mereka usai melepaskan kerinduan masing-masing.

"Wajahmu mirip sekali dengan ibumu, Ke ma­na dia sekarang?" tanya laki-laki kurus itu seraya mengangkat dagu putrinya.

Malini diam tak menjawab. Hanya air matanya yang tak berhenti meleleh. Banghadur Gupta mengusapnya dengan wajah kasih.

"Menangislah kalau memang itu baik bagimu. Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Dan setelah itu, kau harus cerita banyak. Juga, antarkan aku pada ibumu," pinta Banghadur Gupta mengajak gadis itu menuruni lereng.

"Sebentar...!" Malini berhenti. Kepalanya cepat menoleh ke belakang. Matanya mencari-cari sesuatu, namun tak ditemukannya.

"Pemuda itu?" Malini mengangguk. "Dia kekasihmu?"

Malini tak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Namun tak ada yang bisa dikerjakannya, selain menuruni lereng gunung ini. Karena, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat meninggalkan mereka berdua.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar