Pendekar Rajawali Sakti eps 143 : Iblis Tangan Tujuh

SATU
GUNUNG PANJAR berdiri tegak dengan puncaknya yang seperti ingin menggapai langit. Dari kejauhan tampak asap keluar dari lubang kepundan, langsung mengepul tinggi ke udara. Sementara matahari siang ini bersinar terik, seperti hendak memanggang daerah yang sunyi. Sinarnya terus menerobos sampai ke lembah-lembah berlumpur yang ditumbuhi pohon pohon pinus.

Daerah sekitar Gunung Panjar yang sangat sunyi, memang terkesan angker. Apalagi pada saat-saat tertentu terdengar suara menggemuruh di dalam tanah. Seakan ada makhluk raksasa yang tengah menggeliat di dalamnya. Daerah ini memang merupakan sebuah teka-teki yang belum terungkapkan. Sehingga, tidak seorang pun yang berani melintasinya.

Tapi, rupanya keangkeran Gunung Panjar tidak berlaku bagi tiga laki-laki penunggang kuda berpakaian merah darah dan bersenjata pedang. Kuda mereka terus digebah, melewati sela-sela hutan pinus yang tumbuh subur di sekitarnya. Melihat cara menggebah kuda kudanya tampaknya mereka memang tergesa-gesa. Sampai akhirnya, mereka berhenti di suatu tempat. Dua orang lainnya yang berkuda di belakang, memperhatikan laki laki berbadan tinggi tegap yang berada di depan.

"DI sinikah tempatnya?" Tanya laki-laki tinggi tegap pada dua orang yang baru menjajari di samping kudanya.

"Memang di sinilah tempatnya, Kakang Yudistira!" sahut laki laki bertubuh kurus.

Laki laki tinggi tegap yang dipanggil Yudistira terdiam sejenak. Matanya yang tajam berkilat-kilat berselimut kejantanan, memandang ke puncak Gunung Panjar yang terus menunjukkan keangkerannya.

"Rasanya iblis itu tidak mungkin bersembunyi di sekitar sini, Somali," duga laki laki satunya, yang bertubuh gemuk.

"Belasan murid Partai Tengkorak Darah raib di tempat ini, Kakang Gerdatama. Belum lagi tokoh-tokoh persilatan dari aliran hitam dan putih. Apakah bukti-bukti itu belum cukup kuat, kalau sebenarnya iblis terkutuk itu masih hidup hingga sampai saat ini?" tegas laki-laki kurus yang dipanggil Somali.

"Hm." Laki-laki yang dipanggil Gerdatama menggumam tidak jelas. "Apa yang kau katakan memang sudah kudengar. Tapi menurutku, iblis itu sering berpindah-pindah tempat. Terbukti tindakannya selalu di berbagai tempat."

"Aku mendukung pendapat Gerdatama," tandas Yudistira sependapat. "Tapi walau demikian, tidak ada salahnya jika tetap bersikap waspada mulai dari sekarang!"

Kedua orang yang memang adik seperguruan Yudistira ini sama-sama mengangguk setuju. Gerdatama sekali lagi mengarahkan matanya pada Gunung Panjar yang tetap sunyi-sunyi saja, tanpa terlihat tanda-tanda mencurigakan.

"Manusia iblis! Aku yakin kau berada di sekitar sini. Tujukkanlah rupamu yang sangat menjijikkan itu!"

Tiba-tiba saja Yudistira berteriak keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tak penuh. Namun demikian suaranya sudah sangat menyakitkan gendang-gendang telinga. Bahkan suara itu terus menelusup ke lembah-Iembah yang terdalam. Setelah berlalunya suara Yudistira, maka suasana di sekitarnya kembali diliputi kesunyian mencekam.

Entah sudah berapa lama keadaan seperti itu berlalu. Dan saat-saat berikutnya, perlahan-lahan terdengar suara menggemuruh, bagaikan gempa bumi. Malah disusul pula oleh suara auman seperti singa. Suara yang ditimbulkan bukan saja membuat wajah tokoh-tokoh yang berasal dari Partai Tengkorak Darah menjadi terkejut, tapi juga semakin meningkatkan kewaspadaan.

"Dia datang, Kakang!" desis Somali.

"Ya.... Berhati-hatilah!" tegas Yudistira.

Baru saja kata-kata Yudistira selesai, mendadak.

"Herrrrrr...!" Tiba-bba saja, tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Batu-batu yang terdapat tidak jauh dari depan, berpentalan keseluruh penjuru. Gerakan-gerakan dari dalam tanah yang sangat mengejutkan ini, tidak berhenti sampai di situ saja. Diawali terkuaknya sebuah lubang yang menganga, tiba-tiba dari dalamnya menyembul tangan yang sangat banyak berukuran raksasa. Begitu mengerikan, ketika menggapai-gapai ke segala arah seakan mencari jalan keluar. Tak lama, munculah sebuah kepala berbentuk singa, kemudian bagian-bagian tubuh lainnya.

Dan... Kemudian dengan satu lompatan berat, sosok bertubuh raksasa berwujud sangat mengerikan telah berdiri legak dengan angkemya, di depan tokoh-tokoh dari Partai Tengkorak Darah.

"Dialah manusia setengah singa, Kakang!" bisik Somali.

Sementara kedua orang saudara seperguruan laki-laki kurus ini memperhatikan wujud makhluk setengah manusia dan setengah singa bertangan tujuh ini, dengan mulut menganga. Mereka benar-benar tercenung, seperti tersihir.

"Grauuung...!" Terdengar suara menggeram marah. Jelas suara yang terdengar bukan suara manusia, tapi suara singa yang dilanda kemarahan.

Siiing! Siiing!

Gerdatama dan Somali langsung mencabut pedang dari warangka. Sementara itu kuda tunggangan mereka mulai, meringkik sambil mengangkat-angkat kaki depannya dengan gelisah.

"Manusia setengah iblis!" bentak Yudisbra yang dikenal sangat pemberani. "Aku yakin, kau dapat bicara. Sekarang kuperingatkan padamu, menyerahlah!"

"Hraaah...! Aku memang dapat bicara! Sayang, kalian terlalu angkuh untuk dapat mengakui keberadaanku, sebagaimana manusia biasa!" dengus laki-laki raksasa setengah manusia dan bertangan tujuh itu. Matanya berkilat-kilat tajam, memandang tiga orang dari Partai Tengkorak Darah.

Ketiga tokoh ini langsung tertawa-tawa pada saat mendengar ucapan laki-laki setengah manusia itu. Setelah tawa mereka terhenti, Gerdatama langsung melompat dari punggung kudanya.

"Kau bukan manusia. Wujudmu tidak lebih baik daripada iblis. Dan tahukah kau, apa yang akan kami lakukan padamu?" kata Gerdatama dengan senyum mengejek. Tangannya menuding, menyiratkan kebencian.

"Keangkuhan kalian harus ditebus dengan nyawa!" desis laki-laki mengerikan bertangan tujuh itu.

Kemudian tanpa berkata-kata lagi laki-laki berwajah singa ini, mengibaskan dua buah tangannya ke depan. Bukan main cepatnya gerakan tangan-tangan berkuku runcing itu. Bahkan seketika itu juga, menyambar agin kencang bercampur hawa panas menyengat ke arah Somali dan Yudistira yang masih duduk di atas kudanya.

Seketika kedua laki-laki ini melentang tinggi dari punggung kudanya. Begitu keras angin sambaran pukulan itu, hingga baju mereka yang berwarna merah darah sampai berlabar kibar. Sementara tiga ekor kuda tunggangan mereka langsung lari terbirit-birit, meninggalkan majikannya.

"Gunung Panjar adalah kuburan manusia-manusia picik yang memusuhiku. Kalian nanti pun akan merasakannya! Grauuung...!" dengus manusia setengah singa ini.

Laki-laki setengah manusia ini kembali mengibaskan tangan tangannya yang berjumlah tujuh buah. Menghadapi serangan yang tidak dapat terduga, tentu saja Yudistira dan saudara seperguruannya menjadi kelabakan juga. Tapi sebagai tokoh kelas tinggi di Partai Tengkorak Darah, mereka sudah cukup berpengalaman luas dalam menghadapi keadaan yang sangat sulit sekali pun.

Maka hanya dalam waktu singkat, pertempuran seru di lereng Gunung Panjar tak dapat dielakkan lagi. Yudistira bersama dua orang saudaranya yang mengerahkan jurus pedang andalan 'Mengusir Mendung Menghalau Hujan', terus bergerak mencecar laki-laki setengah singa. Tapi untuk mendesak manusia setengah singa ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Jangankan untuk mendesak, sedangkan untuk menghindari serangan balasan saja sudah terlalu sulit. Manusia setengah singa bertubuh tinggi besar ini memiliki jangkauan tangan yang sangat panjang. Bahkan gerakan tubuhnya lincah bukan main. Malah serangan-serangan balasannya begitu cepat, tertuju ke bagian bagian tubuh lawan yang mematikan.

"Hiyaaa...!"

Ketiga laki-laki dari Partai Tengkorak Darah ini sangat penasaran bukan main, karena serangan-sera-ngannya selahi kandas di tengah jalan. Dan sekarang, disertai teriakan membahana mereka merubah jurus-jurus silatnya. Jika semula mereka memainkan pedang dengan gerakan biasa, maka kini dengan gerakan sangat cepat luar biasa. Bahkan Yudistira mulai mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf tinggi.

Kini manusia setengah singa itu mendapat perlawanan dari segala penjuru. Malah sudah beberapa kali pedang ditangan Yudistira menghantam bagian punggungnya.

Crakkk!

"Heh?!" Yudistira terpekik kaget. Pedang pusaka di tangannya sama sekali tidak dapat menembus kulit tubuh manusia setengah singa. Padahal pedangnya dibabatkan dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya. Kenyataan ini sebenarnya sudah membuka mata Yudistira, kalau manusia setengah singa yang dihadapinya kebal terhadap senjata.

"Tusuk perutnya!" teriak Gerdatama, sambil bergulingan. Nyaris saja ia terinjak kaki manusia raksasa itu.

Somali yang mendengar aba-aba itu langsung bergerak ke samping kiri. Tapi, mata manusia setengah singa yang tajam rupanya melihat gerakannya. Sehingga tangannya cepat digerakkan ke arah pedang yang menderu ke arahnya. Sedangkan tangan yang lain menangkis serangan Gerdatama dan Yudistira.

Crakkk! Crakkk!

Terlihat percikan bunga api ke segala arah begitu senjata ketiga tokoh dari Partai Tengkorak Darah ini menghantam pergelangan tangan manusia setengah singa. Sebaliknya, pada saat yang sama, manusia setengah singa itu berhasil menendang perut Somali yang lowong.

"Desss! Aaakh...!"

Tubuh Somali terbanting keras di tanah. Perutnya terasa bagaikan hancur diaduk-aduk. Dia berusaha bangkit tapi ambruk lagi. Dari bibirnya tampak mengalir darah kental. Agaknya laki-laki kurus itu menderita luka dalam yang cukup parah.

Melihat kejadian yang tak disangka-sangka ini, Gerdatama dan Yudistira terkejut bukan main. Belum hilang rasa kaget mereka, kaki manusia setengah singa telah menginjak dada Somali.

Krakkk!

"Aaa...!" Disertai jeritan panjang, mulut Somali menyemburkan darah. Matanya langsung melotot dengan lidah terjulur keluar. Salah satu tokoh dari Partai Tengkorak Darah itu menemui ajalnya.

"Somali!" teriak Yudistira dan Gerdatama hampir bersamaan.

Bukan main gusarnya mereka melihat kejadian yang memilukan ini. Mereka ingin mendekati mayat adik seperguruannya, tapi gerakan mereka terhalang oleh tangan tangan raksasa manusia setengah singa. Sehingga tidak ada pilihan lain lagi, kecuali menggempur manusia setengah singa dengan segenap ilmu olah kanuragan yang dimiliki.

"Hiyaaa...!" Gerdatama berteriak nyaring. Tidak tanggung-tanggung lagi langsung saja jurus terhebat yang dimilikinya dikerahkan. Sehingga, pertarungan pun semakin menghebat. Gerakan kaki dan tangannya lincah bukan main, dalam melakukan tendangan telak ke arah bagian punggung manusia setengah singa. Sementara Yudistira sendiri telah mengerahkan jurus 'Membelah Mega'.

"Hraaakh...!" Manusia setengah singa itu menggerung marah. Terlebih-lebih setelah tendangan Gerdatama menghantam punggungnya. Seketika manusia setengah singa memutar tubuhnya sambil mengelebatkan tangannya yang berjumlah tujuh buah kearah Gerdatama. Sedangkan kakinya melakukan tendangan kilat ke arah Yudistira.

Buk!

"Aaakh...!" Seketika itu juga Yudistira jatuh terguling-guling di tanah. Hidung dan bibirnya mengeluarkan darah segar. Laki-laki itu merasa ada salah satu tulang iganya yang remuk. Napasnya mendadak terasa sesak.

Melihat ini manusia setengah singa segera menerjang Yudistira yang belum bisa bangkit berdiri. Dia memang bermaksud menghabisinya. Tapi pada saat itu, Gerda-tama melihat saudara seperguruannya yang dalam keadaan terancam. Maka tanpa bicara apa-apa, dia melompat tinggi melepaskan pukulan maut.

"Hiaaa...! Werrr...!"

Seketika itu juga angin kencang menderu. Terlihat sinar merah membara melesat dari telapak tangan Gerdatama yang terhentak. Melihat datangnya serangan hawa panas ini, manusia setengah singa yang dapat menembus perut bumi ini langsung mengibaskan tangannya ke arah Gerdatama. Sementara, tangan yang lain tetap terarah pada Yudistira yang belum bisa berbuat apa-apa akibat luka dalamnya.

Glarrr!

Seketika terjadi ledakan sangat kuat ketika dua pukulan jarak jauh beradu. Namun Gerdatama terpelanting roboh. Dari mulutnya menyembur darah segar. Secepatnya dia bangkit berdiri, tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Yudistira. Begitu menoleh, tampak Yudistira sudah tercabik-cabik oleh tangan-tangan manusia raksasa berkepala singa itu.

"Grakkk! Grauuung...!"

Bukan main tajamnya kuku-kuku manusia setengah singa itu. Sehingga dalam waktu singkat, tubuh Yudistira sudah tidak berbentuk lagi.

Laki-laki bertangan tujuh itu mencampakkan mayat Yudistira ke arah Gerdatama. Namun dengan cepat Gerdatama mengelak. Lalu sambil menggerung penuh kemarahan, dihujaninya laki-laki setengah singa itu dengan pukulan pukulan jarak jauhnya.

Sayang, serangan-serangan gencar yang dilakukan Gerdatama selalu kandas di tengah jalan. Tak hanya berhasil dihindari, tapi juga dipapak oleh manusia setengah singa. Bahkan di lain saat terpaksa serangan-serangan ganas lawannya dihindari.

"Huuup...!" Gerdatama melompat ke samping kiri sambil membabatkan pedang kearah kaki lawan yang sangat besar.

"Grauuung!"

Laki-laki setengah singa itu menggeram marah sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Kemudian dua tangannya menyambar ke samping kiri. Gerakan manusia setengah singa cepat bukan main. Sehingga angin begitu terasa menyambar kebagian tubuh Gerdatama. Dan sesaat setelah itu, jemari tangan berkuku tajam manusia setengah singa telah menghujam didada Gerdatama.

Crakkk!

Tokoh Partai Tengkorak Darah ini, meskipun tubuhnya telah tertembus kuku-kuku tajam, masih mampu membabatkan pedang pusakanya kearah pergelangan tangan lawannya.

Crakkk!

Bunga api langsung memijar pada saat pedang ditangan Gerdatama membentur tangan manusia setengah singa. Namun sungguh di luar dugaan ternyata tangan itu seperti tidak mengalami apa-apa. Jelas, manusia raksasa setengah singa itu memiliki kekebalan tubuh luar biasa.

"Aaa...!" Malah Gerdatama yang kini menjerit-jerit. Dadanya yang ditembusi kuku-kuku runcing, semakin koyak. Tubuhnya langsung roboh dan menggelepar dan terus berkelojotan, sampai akhirnya terdiam. Mati. Darah semakin banyak menggenangi tubuhnya.

Manusia setengah singa itu mendengus. Lalu ditendangnya mayat Gerdatama begitu saja. Dan mendadak manusia setengah singa diam mematung, seakan ada sesuatu yang dipikirkan.

"Ayah, ibu...!" rintih laki-laki bertangan tujuh, dengan kepala tertunduk. "Aku tidak tahu, bagaimana nasib kalian! Kehadiranku hanya membuat ayah dan ibu menderita dan menanggung malu. Bahkan banyak orang lain yang memusuhimu. Mestinya dulu aku tidak usah dilahirkan..! Satria Pemali tidak ingin membuat kalian semua menderita. Tapi, awas! Siapa saja yang berani menyakiti ayah dan ibu, akan mendapat ganjaran setimpal!"

Mata manusia raksasa setengah singa yang bernama Satria Pemali berkilat-kilat aneh. Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dia menjejak tanah dibawah. Seketika terdengar suara menggemuruh disertai berhamburannya batu-batu gunung.

Di bawah kaki Satna Pemali, kjni terdapat sebuah lubang yang cukup besar Laki-laki raksasa bertangan tujuh, berkepala singa itu kemudian memasuki lubang dalam itu. Dan begitu tubuhnya menghilang, lubang itu menutup kembali.

***

Seorang pemuda berompi putih tampak tengah menggebah kuda hitamnya dengan kecepatan laksana kilat. Sesekali terdengar suara ringkikan keras, disusul tenakan penunggangnya.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Dan kuda hitam itu pun semakin melesat, laksana kilat. Debu beterbangan menutupi jalanan yang dilewati. Sementara penunggang kuda berompi putih itu sesekali menyempatkan menoleh ke belakang.

Tidak terlihat apa pun di belakangnya, kecuali terdengarnya derap langkah kuda dalam jumlah cukup banyak. Rupanya penunggang kuda yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini sudah mendengar derap kaki kuda yang mengikutinya. Tapi sampai sejauh ini, para penunggang kuda di belakang sana masih belum mampu menyusulnya.

"Hm. Aku heran, sejak tadi mereka terus mengikutiku. Sebenarnya apa yang mereka inginkan, sehingga mengejarku," kata batin Rangga dalam hati.

Sambil terus memacu kuda hitamnya, Rangga berusaha mencari akal untuk menjebak orang-orang tidak dikenal yang mengejarnya. Sampai ke mudian, tiba-tiba laju kudanya dihentikan.

"Hieeeh...!" Dewa Bayu meringkik keras, seakan tidak senang dengan sikap majikannya. Tapi, Rangga lantas menepuk-nepuk punggung kuda itu.

"Tidak perlu kecewa. Kita harus bersembunyi untuk menjebak mereka yang terus mengejar!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Dengan tergesa-gesa, Rangga membelokkan kudanya kesemak-semak belukar yang terdapat di samping kiri jalan yang dilalui. Lalu dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat pada salah satu dahan pohon yang terdapat di atas jalan. Dia segera sembunyi, sambil menunggu orang-orang yang mengejarnya.

Sementara itu derap langkah langkah kuda semakin lama semakin terdengar jelas. Sebentar saja, Rangga sudah dapat melihat lima orang penunggang kuda bergerak kearahnya. Yang keseluruhannya berpakaian serba hitam dan bersenjata pedang.

Hanya sekali lirik, Pendekar Rajawali Sakti sudah dapat memastikan kalau kelima penunggang kuda itu tampaknya berasal dari sebuah perguruan silat. Walaupun demikian, Pendekar Rajawali Sakti ini tetap membiarkan orang-orang itu bergerak melewatinya.

"Kita kehilangan jejak!" teriak salah seorang yang berkumis dan bercambang lebat.

Serentak empat orang lainnya langsung menghentikan laju kuda masing masing sambil memperhatikan keadaan di sekeliling dengan tatapan curiga.

"Mustahil dia dapat menghilang seperti setan!" desis seorang laki laki berperawakan paling tegap.

"Tapi kita memang harus mengakui kalau kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan," timpal yang lain.

"Pokoknya, kalian harus menemukan orang itu secepatnya. Siapa tahu dia mata-mata dari Partai Tengkorak Darah! Guru kita pasti tidak ingin melihat korban kembali berjatuhan!" tegas laki-laki berkumis itu seakan mengingatkan. "Ayo cari...!" Seketika itu juga empat orang lainnya segera melompat dari atas punggung kudanya. Dalam waktu singkat, mereka sudah berpencar. Belum juga mereka menemukan apa yang ditemukan tiba-tiba...

"Aaakh...!" Mendadak terdengar seruan tertahan, yang disusul oleh ambruknya salah seorang. Bahkan sekujur tangan dan kaki orang itu sangat sulit digerakkan. Untuk bicara saja, dia tidak mampu.

"Kirana!" desis salah seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang berada demikian dekat dengan laki-laki bernama Kirana. Dia langsung berteriak memanggil kawan-kawannya yang lain. Tanpa disadari lelaki berpakaian hitam itu, kembali terlihat benda kecil berwarna hitam melesat dari kerimbunan pohon. Lalu....

Tuk!

"Akh..!" Disertai keluhan samar, laki-laki itu jatuh terduduk tak jauh dari kawannya yang bernama Kirana.

"Kirana! Turangga! Apa yang terjadi pada kalian!" desis laki-laki berkumis dan bercambang bauk, begitu berada di depan dua laki-laki yang sudah tak berdaya. Jangankan bicara, nampaknya kedua laki-laki itu sudah sulit untuk menggerakkan tangannya. "Pasti seseorang telah menotok urat gerak kawanku-kawanku!"

Setelah membebaskan totokan pada kawan-kawannya, mata laki-laki berkumis itu dengan liar memperhatikan sekelilingnya. Namun tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Apalagi, melihat penunggang kuda yang mereka kejar tadi.

"Siapa pun yang bersembunyi, kami harap sudi memperlihatkan diri!" teriak laki-laki yang sebenarnya bernama Karta dengan gusar bukan main. Sesaat suasana berubah hening. Bahkan angin pun seakan enggan bertiup. "Kami tahu, siapa kau Kisanak. Kau berada di sekitar sini. Cepat tunjukkan diri. Jika Kisanak bukan dari Partai Tengkorak Darah, kami pasti suka memberi maaf!"

Karta memperhatikan pohon pohon di sekitarnya lebih tinggi lagi. Sampai kemudian, matanya melihat sesuatu bergerak-gerak dari sebuah pohon berdaun lebat. Namun belum sempat Karta bicara lebih lanjut, tiba-tiba saja dari atas pohon itu berkelebat sosok bayangan putih.

***
DUA
Tidak sampai sekedipan mata, telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan bersenjata pedang di depan mereka. Karta memperhatikan pemuda berompi putih ini dengan seksama. Namun, sepertinya dia belum pernah mengenal pemuda ini.

"Siapakah, Kisanak?" Tanya Karta. Rangga tersenyum tipis. Diperhatikannya laki-laki bertampang angker itu.

"Semestinya aku yang bertanya, mengapa kalian mengejarku...?" desis Rangga.

"Kami hanya menjalankan tugas. Sekarang, mengakulah. Apakah kau berasal dari Partai Tengkorak Darah?" Tanya Karta, tidak kalah sengit.

Rangga terdiam dengan kening berkerut. Agaknya otaknya tengah mengingat-ingat sesuatu. Tadi, sepanjang jalan yang dilalui, Pendekar Rajawali Sakti melihat keganjilan-keganjilan. Ketika melintasi sebuah desa, Pendekar Rajawali Sakti melihat kesunyian di sana. Dugaannya, pasti ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Hal ini diperkuat lagi oleh kehadiran lima laki laki berpakaian serba hitam ini.

"Mengapa kalian curiga, kalau aku dari Partai Tengkorak Darah? Apakah pentingnya bagi kalian?" Tanya Rangga sambil memandang tajam pada laki-laki di depannya.

Tanggapan yang terlihat benar benar di luar dugaan Pendekar Rajawali Sakti ini. Empat orang lainnya langsung mengepung Rangga dari segala penjuru. Bahkan tanpa segan-segan lagi, mereka langsung mencabut pedang dari warangka.

"Kalau memang benar kau dari Partai Tengkorak Darah, jelas sudah kalau kau adalah mata mata yang sengaja mengintai Padepokan Kencana Ungu. Kau harus kami tangkap!" dengus Karta. Dia bersiap-siap melakukan serangan kearah Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti ini cepat-cepat mengangkat tangannya.

"Tahan, Kisanak semua! Perbuatan yang paling keji adalah menuduh orang lain tanpa bukti. Dan lagi, yang dituduh justru tidak tahu menahu tentang masalah yang dibicarakan!" tegas Rangga.

"Hm... Dalam suasana yang sangat gentang seperti sekarang ini, sudah cukup alasan untuk meringkus orang asing yang berkeliaran di daerah kami," tandas Karta. Tidak lama kemudian, laki laki berkumis itu memberi isyarat pada anak buahnya untuk meringkus pemuda berompi putih ini.

"Hiyaaa..!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, empat orang anak buah Karta dengan pedang terhunus langsung menyerang gencar pada Rangga.

"Tunggu!" cegah Rangga, langsung berkelit dengan liukan tubuhnya menghindari serangan-serangan yang sangat berbahaya.

Tapi mana mau orang-orang yang ternyata dari Padepokan Kencana Ungu ini mendengar peringatan Rangga. Malah mereka semakin mempergencar serangan-serangan. Dan pemuda berompi putih ini akhirnya menyadari kalau orang-orang yang mengeroyoknya memang benar-benar sulit diajak berpikir dingin. Dan merasa tidak ada pilihan lain lagi, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menghadapi serangan mereka.

"Baiklah. Kalau kalian menghendaki kekerasan. Aku pun dapat bersikap keras pada kalian!" dengus Rangga.

Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dalam gebrakan pertama saja, gerakan-gerakan Rangga terlihat cepatnya bukan main. Bahkan sambil menghindari serangan-serangan pedang, Pendekar Rajawali Sakti juga mulai melancarkan serangan balasan berupa tendangan-tendangan gencar ke arah perut dan kaki lawannya. Sehingga sering lawan-lawannya terkecoh dalam menghadapi serangan baliknya.

"Jangan beri kesempatan padanya untuk meloloskan diri!" teriak Karta yang sejak tadi masih belum juga mampu mendesak.

Sing! Sing! Pedang dari orang-orang Padepokan Kencana Ungu menderu-deru, sehingga menimbulkan suara mencuit nyaring. Di lain kesempatan, mereka juga melakukan tendangan menyilang secara bersamaan. Tapi Rangga cepat memapak serangan itu dengan jemari tangannya yang terkembang.

Plak! Duk...!

"Ukh...!" Keempat orang itu terpekik kaget, dengan tubuh terhuyung-huyung. Kaki mereka yang membentur tangan Rangga terasa bagaikan membentur tembok baja saja. Sehingga, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.

Kini semakin terbukalah mata mereka, bahwa sebenarnya lawan yang dihadapi sangat tangguh. Tapi untuk mengakui kehebatan lawan ini, mereka jelas-jelas tidak memiliki keberanian. Di sisi lain, mereka memang hanya seorang murid yang harus selalu mematuhi setiap perintah guru mereka.

"Masih ada kesempatan bagi kalian untuk menghindari kesalahpahaman ini. Sekarang, simpanlah senjata kalian!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.

"Boleh jadi dia memiliki ilmu olah kanuragan lebih tinggi dari kita. Tapi, apa pun yang terjadi, kita harus dapat meringkusnya!" tegas Karta, berusaha memberi semangat.

Dan ternyata, apa yang dikatakan Karta membawa pengaruh yang sangat besar pada kawan-kawannya. Terbukti, mereka segera membangun serangan-serangan baru disertai pengerahan segenap kepandaian.

"Kalian benar-benar mencari urusan denganku. Terserahlah...!" desis Rangga. "Hiyaaa...!"

Di luar dugaan tiba-tiba saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara dengan gerakan cepat dan sulit diikuti mata. Sementara orang-orang dari Padepokan Kencana Ungu berusaha terus mengejar dengan serangan-serangan senjata yang semakin menghebat. Tapi, tusukan maupun babatan pedang mereka masih kalah cepat, bila dibanding gerakan lincah Pendekar Rajawali Sakti, yang tengah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'.

Tidak pelak lagi, keadaan kini benar-benar berbalik. Dalam waktu singkat, permainan pedang murid-murid Padepokan Kencana Ungu seakan tidak mampu berkembang lebih jauh. Bahkan berulang kali serangan-serangan gencar yang dilakukan selalu mencapai sasaran-sasaran kosong. Kenyataan ini, tentu saja membuat Karta yang menjadi pemimpin menjadi gusar.

"Haiiit!" Kali ini, Karta tak mau tinggal diam. Dia langsung ikut menyerang dengan sambaran pedangnya ke bagian kaki Rangga. Namun tubuh pemuda ini langsung melesat ke udara. Setelah berputaran, tubuhnya langsung meluruk sambil melepaskan tendangan beruntun pada bagian kepala lawan lawannya.

Duk! Buk!

Dua orang murid Padepokan Kencana Ungu langsung jatuh terjengkang. Tubuh mereka menggelepar disertai teriakan menyayat hati. Dari bagian telinga, hidung, dan mulut menyembur darah segar. Agaknya tulang kepala mereka rengat.

Dan belum lagi hilang rasa terkejut Karta, tahu-tahu pemuda berompi putih ini telah melesat ke arahnya. Bersamaan itu pula, ditangkapnya pergelangan tangan Karta yang memegang senjata.

Karta berusaha meronta sambil melepaskan tendangan ke bagian selangkangan Rangga. Namun dengan gerakan manis, Rangga berhasil menghindarinya. Bahkan langsung memutar pergelangan tangan laki-laki bertampang kasar itu, hingga menjerit-jerit kesakitan.

Melihat kenyataan ini, dua orang Padepokan Kencana Ungu yang sempat luput dari tendangan Rangga, bermaksud menolong kakak seperguruannya dengan cara menyerang dan belakang.

"Jangan kalian lakukan! Atau terpaksa tangan kawanmu ini kupatahkan!" ancam Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin memperkuat genggaman tangannya, sehingga membuat Karta semakin bertambah menderita saja.

"Lepaskan.... Lepaskan, aukh...!" Karta berteriak-teriak penuh permohonan. Dia berusaha meronta, tapi semakin kuat membebaskan diri, maka semakin bertambah sakitlah tangannya yang terputar ke belakang itu.

"Kau harus mengatakan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga memusuhiku!" desis Rangga, tanpa melepas tangan Karta yang terus meringis-ringis kesakitan.

"Lep..., lepaskan dulu. Perbuatanmu dapat membuat tanganku patah, Kisanak!" rintih laki-laki berkumis tebal itu penuh permohonan.

Rangga tidak langsung melepaskan tangan murid kepercayaan Padepokan Kencana Ungu. Tapi, hanya sedikit mengendorkannya saja.

"Cepat katakan, apa yang terjadi!" bentak Rangga dengan sikap semakin tidak sabar saja.

"Dan, perintahkan juga kawan-kawanmu untuk memasukkan senjatanya. Jika tidak, jangan harap kalian dapat kembali ke Padepokan Kencana Ungu dengan selamat!"

Karta segera memberi isyarat pada kedua orang kawannya yang tampak ragu mendengar perintah Rangga ini.

"Tetapi, Kakang...!" Salah seorang masih merasa ragu-ragu.

"Buang kataku! Ini perintah...!" bentak laki-laki berkumis tebal ini, gusar.

Setelah melihat kesungguhan dalam ucapan Karta, barulah mereka membuang senjata. Itu pun tidak jauh dari tempat berdiri.

"Nah! Sekarang, bicaralah!" ujar pemuda berompi pubh itu. Segera cekalan pada Karta dilepaskan.

Sementara, Karta segera mengibaskan tangannya yang terasa nyeri dan sakit bukan main. "Apakah kisanak benar-benar bukan berasal dari Partai Tengkorak Darah?" Tanya laki-laki itu. seakan ingin memasbkan.

"Aku sama sekali tidak kenal dengan para iblis dari Partai Tengkorak Darah," tegas Pendekar Rajawali Sakti.

Karta terdiam agak lama. Tampaknya, dia berusaha bersikap setenang mungkin dalam menghadapi pemuda yang ternyata memiliki ilmu olah kanuragan sangat tinggi ini. Setelah memperhatikan kesungguhan Rangga. Rasanya tidak ada alasan lagi baginya untuk curiga.

"Kisanak! Siapakah kau ini? Aku belum pernah melihatmu berkeliaran di sini sebelumnya."

"Kau mencurigaiku?" Tanya Rangga, penuh selidik.

"Oh! Ten..., tentu saja tidak!" sahut Karta tergagap.

"Baiklah... Untuk tidak membuatmu curiga, aku berasal dari Karang Setra! Namaku Rangga...!" jelas pemuda berompi putih ini, terus terang.

"Hm... Tunggu, Kisanak! Apakah Kisanak, Pendekar Rajawali Sakti!" tebak Karta setelah mengingat-ingat sebuah nama. Dia kelihatan sangat hati-hati dalam melontarkan dugaannya.

"Hanya julukan kosong belaka," sahut Rangga merendah. Namun jawaban itu justru membuat sikap Karta dan dua kawannya yang tersisa kontan berubah. Seketika mereka menjura hormat.

"Tak perlu bersikap demikian, Kisanak. Sudahlah. Sekarang, coba jelaskan, mengapa kalian kelihatan begitu membenci orang-orang Partai Tengkorak Darah?" Tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami bukan saja membenci tapi juga mendendam. Yang jelas, dendam Padepokan Kencana Ungu dan Padepokan Belibis Putih sudah setinggi gunung dan sedalam lautan!" tegas Karta. Napasnya agak tersengal pada saat mengutarakan segala sesuatu yang diketahuinya. Sementara, Rangga semakin tertarik untuk mendengarnya.

"Katakanlah, mengapa kalian bersikap demikian!"

Karta memperhatikan kawan kawannya Tampaknya, mereka sama-sama mengangguk. Sehingga laki-laki berkumis itu dengan leluasa menceritakan segala sesuatu yang diketahui.

"Sembilan tahun yang lalu..," tutur Karta sambil menelan ludah dan menarik napas pendek. "Putri Ketua Padepokan Belibis Putih yang bernama Mustika, melahirkan seorang bayi sangat aneh...!"

"Aneh? Bagaimanakah yang kau maksudkan?" potong Rangga, tidak sabar.

"Karena bayi itu tidak sebagaimana lazimnya. Dalam arti, bayi yang dilahirkan istri Ketua Padepokan Belibis Putih itu, berwujud setengah manusia dan setengah singa. Bahkan memiliki tujuh tangan."

Dahi Pendekar Rajawali Sakti ini langsung berkerut dalam. Belum pernah telinganya mendengar ada kejadian aneh yang diceritakan Karta. "Apa hubungannya Padepokan Belibis Putih dengan Padepokan Kencana Ungu?" desah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ketua Padepokan Kencana Ungu merupakan adik kandung Ketua Padepokan Belibis Putih...!" jelas murid Padepokan Kencana Ungu ini.

"Lalu, mengapa kalian memusuhi Partai Tengkorak Darah!"

Karta terdiam sejenak. "Sebenarnya bukan kami yang memusuhi orang-orang dari Partai Tengkorak Darah. Tapi, merekalah yang membuat perkara," jelas Karta.

Laki laki itu terdiam lagi, tarikan-tarikan napasnya semakin bdak teratur saja. "Ketika istri Gatama melahirkan, orang-orang Partai Tengkorak Darah mengumumkan pada tokoh-tokoh rimba persilatan, bahwa bayi aneh itu kelak hanya akan membawa malapetaka saja. Dan ternyata golongan putih dan hitam percaya dengan cerita itu. Sehingga, putra Gatama diculik dan di bunuh di suatu tempat. Istri Ketua Padepokan Belibis Putih tentu saja sangat tertekan mengalami kenyataan ini. Maka di satu purnama kemudian, beliau mati gantung diri. Pendekar Rajawali Sakti, penderitaan yang dialami Padepokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu tidak sampai di sini saja. Sejak itu rimba persilatan mulai mengucilkan keberadaan kami. Selain itu orang-orang Partai Tengkorak Darah juga mulai menghasut perguruan lainnya, dengan mengatakan kalau sebenarnya Padepokan Belibis Putih telah dikutuk Yang Maha Kuasa!" tutur Karta.

Bukan main terkejut Rangga mendengar penjelasan Karta ini. Sehingga berulangkali kepalanya menggeleng seakan tidak percaya. "Yang tidak habis kumengerti, mengapa orang-orang Partai Tengkorak Darah bisa mengambil kesimpulan sampai sejauh itu?" Tanya Pendekar Rajawali Sakti kemudian.

"Kami tidak tahu, Tuan Pendekar...!"

"Rangga! Panggil saja aku dengan nama itu," ujar pemuda berompi putih ini, dengan suara lebih lunak.

"Benar, Pendekar Rajawali Sakti... eh, Rangga. Aku sendiri kurang tahu. Akhir-akhir ini, fitnahan yang dilontarkan semakin gencar dengan kemunculan makhluk mengerikan di Gunung Panjar." jelas Karta.

"Makhluk mengerikan yang bagaimanakah maksudmu?" Tanya Rangga dengan kening semakin berkerut dalam.

Karta lagi lagi memperhatikan suasana di sekelilingnya. Seakan, dia ingin memastikan kalau segala sesuatunya dalam keadaan aman. "Akhir-akhir ini, orang dari Partai Tengkorak Darah banyak yang menjadi korban di Gunung Panjar. Menurut mereka putra Gatama bangkit dari perut bumi. Dan kini, siap mengadakan pembalasan besar-besaran."

"Bukankah orang-orang Partai Tengkorak Darah telah membunuhnya? Bagaimana mereka beranggapan kalau makhluk raksasa yang menyerang mereka adalah putra Ketua Padepokan Belibis Putih?" Tanya Rangga, jadi tak mengerti.

"Tidak tahulah, Rangga. Keadaan sekarang memang benar-benar semakin kacau saja. Setiap orang saling curiga mencurigai. Tidak jarang, orang dari Partai Tengkorak Darah melakukan penculikan di sini. Itulah sebabnya, kami merasa perlu bersikap waspada ketika melihatmu muncul di wilayah ini."

"Menurutmu apakah mungkin manusia setengah singa itu masih hidup hingga sampai saat ini, Karta?"

"Tidak seorang pun yang tahu. Terkecuali, orang-orang Partai Tengkorak Darah," sahut laki-laki itu dengan suara nyaris tidak terdengar.

Rangga terdiam lagi. Meskipun sudah menangkap arah pembicaraan Karta, tapi hatinya masih ragu. Apa-kah benar manusia setengah singa itu masih hidup? Atau, hanya sepak terjang orang-orang dan Partai Tengkorak Darah saja untuk mengacau dunia persilatan?

"Rangga! Kupikir, jika kau ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya, sebaiknya datang ke Padepokan Belibis Putih! Gatama pasti suka menjelaskannya," usul Karta.

"Hm. Sebenarnya aku sendiri ingin mengadakan perjalanan jauh ke suatu tempat. Tapi, tak apalah. Mungkin ada baiknya jika aku mendengar langsung segala yang kau katakan pada orang yang bersangkutan."

Begitu selesai kata-katanya, Rangga memandang ke satu arah. Lalu Pendekar Rajawali Sakti ini bersuit nyaring. Tak lama dari semak-semak belukar, terdengar ringkik suara kuat yang disertai kemunculan seekor kuda berbulu hitam.

"Mendekatlah kemari, Dewa Bayu. Mereka ini hanya salah paham belaka!" ujar pemuda berompi putih ini.

Seketika itu juga kuda berbulu hitam mengkilat itu mendekati Rangga. Dan tidak lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke punggung kudanya. Setelah berpamitan pada murid-murid Padepokan Kencana Ungu Rangga segera menggebah kudanya menuju Padepokan Belibis Putih.

Sementara Karta dan dua orang kawannya saling berpandangan. Sama sekali mereka tidak menyangka kalau orang yang dihadapi ternyata seorang pendekar ternama.

"Hihhh...!" Karta menggidikkan bahunya. Lalu, dia segera menghampiri kedua mayat saudara seperguruannya untuk diurus. Dan mereka pun kembali ke Padepokan Kencana Ungu.

***
TIGA
Sebenarnya, Partai Tengkorak Darah adalah tempat berkumpulnya tokoh aliran hitam. Partai ini dipimpin seorang wanita bernama Sarpakenaka, atau lebih dikenal dengan julukan 'Bidadari Tangan Api', yang berkepandaian sangat tinggi. Padahal, usianya baru sekitar dua puluh delapan tahun! Namun jarang ada tokoh persilatan yang berani bertindak gegabah pada wanita cantik itu.

Anggota Partai Tengkorak Darah ini cukup besar jumlahnya. Bahkan rata-rata berkepandaian tinggi. Tidak heran bila di daerah selatan ini, Partai Tengkorak Darah memiliki pengaruh cukup luas.

Ada dua padepokan silat yang tidak pernah tunduk pada Partai Tengkorak Darah, yakni Padepokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu.

Ini merupakan hari ketiga, setelah kepergian tiga orang kepercayaan 'Bidadari Tangan Api'. Namun sampai saat ini belum ada kabar sedikit pun dari mereka. Sehingga pagi-pagi sekali Sarpakenaka mengumpulkan enam pembantunya yang terdiri dari tokoh sesat angkatan tua.

Di dalam sebuah mangan yang agak mirip balai pertemuan, para pembantu yang berasal dari orang taklukan Sarpakenaka telah berkumpul, duduk membentuk sebuah lingkaran.

"Pertama-tama kuucapkan terima kasih atas kehadiran kalian di balairung pertemuan ini!"

Terdengar suara begitu lembut dan merdu. Sehingga semua yang hadir di situ jadi tidak bisa membedakan siapa perempuan yang dihadapi sekarang ini. Padahal Sarpakenaka adalahh pimpinan mereka.

"Tahukah kalian, mengapa aku memanggil kemari?" Tanya perempuan berpakaian tipis itu, sungguh-sungguh.

Suasana di dalam ruangan pertemuan seketika berubah hening. Namun tidak lama kemudian, seorang laki-laki berambut putih, berkumis dan bercambang putih menengadahkan wajahnya. Ditatapnya Sarpakenaka dengan sorot mata penuh hati-hati.

"Menurut hemat hamba, bila ketua memanggil kami tentu ada urusan penting yang akan dibicarakan."

"Tepat, Banu Keling!" kata Sarpakenaka. "Apa yang ingin kubicarakan dengan kalian bukan saja penting. Tapi, boleh dikatakan teramat penting demi masa depan Partai Tengkorak Darah!"

"Kami semua siap mendengarnya, Ketua!" sahut keenam laki-laki bertampang kasar yang hadir di ruangan ini hampir bersamaan.

Bidadari Tangan Api menarik napas lega. "Seperti yang telah sama-sama diketahui, kawan-kawan kalian yang terdiri Yudistira, Somali, dan Gerdatama telah kuperintahkan untuk menyelidiki Gunung Panjar. Tapi yang membuatku heran, hingga sampai hah ini mereka belum kembali. Padahal, seharusnya sudah kembali ke sini dua hari yang lewat!" Terasa jelas sekali ada kekhawatiran terkandung dalam suara Ketua Partai Tengkorak Darah ini.

"Menurut hamba, sudah sering terjadi hal-hal seperti ini, Ketua," sahut seorang laki-laki berbadan kekar dan bertelanjang dada.

Perhatian Sarpakenaka kini beralih pada laki-laki bersenjata gada itu. "Coba teruskan, Paman Faksi!" perintah perempuan itu penuh perhatian.

Faksi Jaladara langsung menghaturkan sembah. "Seingat hamba, banyak utusan kita yang menyelidiki di Gunung Panjar tidak kembali. Terlebih-lebih, beberapa waktu yang lalu."

"Hm. Memang! Tapi, Yudistira, Somali, dan Gerdatama berkepandaian tinggi. Mereka lebih hebat daripada para pendahulu-pendahulunya. Aku merasa khawatir, kalau-kalau manusia iblis itu benar-benar ada!" tandas Ketua Partai Tengkorak Darah tanpa sungkan-sungkan.

"Ketua, bolehkah hamba bicara?" Tanya seorang laki laki berpakaian tambal-tambalan dan bersenjata tong-kat butut. Bila dibandingkan yang lain-lainnya, maka laki-laki ini berusia paling tua.

"Silakan, Kakek Praba! Menurutku, kakeklah yang tahu banyak tentang ihwal kerurunan Ketua Padepokan Belibis Putih yang keras kepala itu...!" sahut Sarpakenaka. Nada bicaranya jelas jelas menyimpan kebencian.

Laki-laki berpakaian tambal-tambalan ini terdiam agak lama. Seakan dia berusaha mengingat-ingat kejadian belasan tahun yang lalu. "Waktu almarhum ayah dan ibumu menculik putra terkutuk Gatama, aku turut serta. Kami telah membunuh bayi bertangan tujuh itu di lereng Gunung Panjar. Bahkan ayah ibumu mempergunakan senjata pusaka. Kami kemudian meninggalkan mayat bayi itu, setelah memastikan kematiannya. Seminggu kemudian, ayahmu meninggal. Menyusul ibumu dengan penyakit yang tidak jelas. Menurut hemat hamba, rasanya mustahil bila bayi setengah singa itu dapat bertahan hidup dengan tubuh dipenuhi luka mengerikan. Lagi pula, peristiwa itu sudah lama terjadi. Jika pun dia masih mampu bertahan hidup, tentu binatang-binatang buas telah memangsanya!" jelas Kakek Praba, penuh keyakinan.

Raut wajah perempuan cantik menggiurkan itu berubah muram. Rasanya terasa janggal jika ayah dan ibunya meninggal secara mendadak seperti itu. Bahkan tanpa sebab-sebab jelas. Apakah benar anak Ketua Padepokan Belibis Putih membawa bencana sebagaimana yang pernah dikatakan seorang peramal yang mereka hubungi...?

Rasanya melihat apa yang terjadi memang masuk akal, bila dihubungkan dengan kenyataan. Kematian ayah dan ibunya sudah merupakan sesuatu bukti. Belum lagi, bencana kelaparan yang menimpa para penduduk di wilayah kekuasaan mereka. Apa yang terjadi juga merupakan pertanda buruk. Mengingat semua ini, Sarpakenaka merasakan sesak pada dadanya. Maka ditariknya napas dalam dalam, sehingga membuat buah dadanya yang membusung bergerak turun naik.

"Bagaimana menurutmu, Banu Keling!" Tanya Ketua Partai Tengkorak Darah, sambil melirik pada laki-laki yang duduk di sebelah kirinya.

Banu Keling menghaturkan sembah. "Menurut hamba, Yudistira dan dua saudara seperguruannya sekarang sudah tidak dapat diselamatkan lagi," duga laki-laki tua ini.

"Bagaimana kau dapat berpendapat demikian?" selidik Sarpakenaka. Matanya yang liar, menyorot tajam pada Banu Keling yang terus menundukkan kepala.

"Begini, Ketua. Jika manusia setengah singa itu masih hidup hingga sekarang ini, tentu akan mengadakan perhitungan terhadap orang-orang kita.?

Ketua Partai Tengkorak Darah menganggukkan kepala. Tapi kemudian ada yang terasa mengganjal dalam otaknya. "Menurutmu, mungkinkah putra iblis itu dapat mengenali lawan-lawannya? Sedangkan saat itu saja, dia masih berupa bayi merah yang tidak dapat membedakan apa-apa?" Tanya Sarpakenaka pada akhirnya.

"Maaf, Ketua. Menurut hamba, jika memang benar putra Ketua Padepokan Belibis Putih yang kami bunuh dapat bertahan hidup, mungkin dia dapat menggunakan naluri hewannya untuk mengenali lawan-lawan yang telah membuatnya celaka!" sahut Kakek Praba.

"Hm, begitu!" desis Faksi Jaladara yang duduk di samping kakek berpakaian tambal-tambalan ini. Tanpa sadar, bulu kuduknya meremang berdiri.

Suasana di dalam balairung pertemuan berubah menjadi hening. Masing masing orang tenggelam dalam pikirannya.

"Keadaan ini dapat membahayakan keselamatan kita semua, andai sepak terjang iblis bertangan tujuh itu terus dibiarkan," gumam Sarpakenaka seperti ditujukan pada diri sendiri. "Apakah kalian mempunyai pendapat?"

"Menurut pendapat hamba...!" kata Faksi Jaladara, namun langsung terdiam. Sepertinya dia sedang mencari kata-kata yang tepat.

"Teruskan, Paman Faksi!" perintah Ketua Partai Tengkorak Darah penuh minat.

"Menurut hamba, ada baiknya jika kita menyelidiki ulang ke Gunung Panjar. Sedangkan yang lain segera melakukan penyelidikan ke Padepokan Kencana Ungu atau Padepokan Belibis Putih. Paksa salah seorang dari mereka untuk mengatakan, apakah manusia terkutuk itu pernah kembali, masih hidup atau bagaimana. Jika memang tidak mau mengatakannya, lebih baik bunuh saja!"

"Sebuah usul yang sangat baik," dukung Kakek Praba.

"Aku kurang sependapat!" selak Banu Keling, tiba-tiba saja.

Semua mata kini tertuju pada Banu Keling dengan pandangan heran.

"Coba jelaskan alasanmu, Banu Keling!" desak Sarpakenaka, tidak sabar.

"Mengenai penyelidikan ke Gunung Panjar, aku sependapat. Dalam arti, untuk memastikan apakah benar manusia raksasa itu berada disana. Juga, sekaligus untuk melihat Yudistira dan saudara-saudara seperguruannya, apakah masih hidup atau tidak..!"

"Katakanlah cepat! Jangan bertele-tele!" dengus perempuan jelita itu mulai gusar.

"Begini, Ketua. Jika kita menyerang Padepokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu, kemungkinan besar akan menghadapi kesulitan...? Gatama dan Lirenda juga berkepandaian tinggi. Selain itu, murid-muridnya juga cukup banyak. Bukan tidak mungkin, mereka akan melakukan perlawanan sengit. Apalagi, mengingat anak mereka satu-satunya telah mati. Demikian pula istri Gatama yang sampai bunuh diri karena ulah kita," jelas Banu Keling panjang lebar.

Semua orang yang berada di dalam ruangan itu sama-sama mengangguk. Sedangkan Sarpakenaka terdiam dengan alis berkerut. Tapi tak lama, tiba-tiba saja Ketua Partai Tengkorak Darah ini tertawa lepas. Tokoh-tokoh yang ikut ambil bagian dalam rapat itu hanya terbengong, sekaligus heran melihat ulah ketua mereka.

"Tidak kusangka! Ternyata kalian telah berubah sepengecut itu!" hardik Sarpakenaka sesaat, setelah tawanya mereda. "Apa yang kalian takutkan? Menjatuhkan padepokan mana pun yang tidak mau bergabung, sudah merupakan tujuan dan cita-cita utama kita sejak dulu. Apa susahnya membasmi Padepokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu?"

"Kami sama sekali tidak pernah takut dengan apa yang bakal terjadi, Ketua. Tapi hamba pikir, ada baiknya kita mendahulukan mana yang paling penting dikenakan," sahut Kakek Praba, dengan perasaan ciut.

"Menurutmu, mana yang pantas kita kerjakan terlebih dulu, Kek?" Tanya perempuan itu, sedikit lunak.

"Menurut hamba lebih baik kita tumpas dulu dua padepokan yang selama ini membangkang. Setelah itu, baru kita hadapi si iblis bertangan tujuh. Bagaimana?"

"Tidak!" tegas Ketua Partai Tengkorak Darah. "Tekadku sudah bulat, untuk mengerjakannya secara bersama-sama!"

"Maksud ketua?" Tanya Faksi Jaladara. Wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa terkejut.

"Aku punya tugas untuk kalian." Perempuan berpakaian tipis ini menarik napasnya sejenak. Dadanya yang membusung bergerak naik turun, sehingga membuat berdebar jantung yang melihat. "Pertama aku mengutus Banu Keling bersama sepuluh anggota pilihan, untuk meneliti ke Gunung Panjar. Sedangkan Paman Faksi Jaladara memimpin tiga puluh orang-orang pilihan untuk menyerbu ke Padepokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu. Bagaimana? Apakah kalian setuju?" Tanya Ketua Partai Tengkorak Darah sekadar berbasa basi.

Kenyataannya mereka memang dihadapkan pada pilihan sulit. Bagaimanapun, apa yang dikatakan ketua mereka sulit dibantah. Sarpakenaka selalu bersikap keras dalam pendirian. Sehingga, mau tidak mau, mereka hanya dapat menurut.

"Baiklah... Kalau ketua sudah memutuskan demikian, apa boleh buat. Maka kami akan berusaha melaksanakannya dengan baik!" desah Faksi Jaladara setelah beberapa saat.

"Bagus!" sambut perempuan itu dengan wajah berubah berseri-seri.

"Kapan kami dapat melaksanakannya, Ketua?" Tanya Banu Keling.

"Besok. Setelah fajar, kalian sudah harus memulai. Dan, ingat! Jika ada hambatan besar yang menghadang perjalanan, bisa tidak bisa salah satu harus memberi laporan padaku secepatnya. Mengerti?!"

"Mengerti, Ketua," sahut tokoh-tokoh yang hadir hampir bersamaan.

"Nah! Sekarang, pertemuan ini kuanggap selesai. Kalian sudah dapat mempersiapkan segala sesuatunya mulai hari ini!" tegas Sarpakenaka.

Tidak lama setelah itu, perempuan cantik ini meninggalkan ruangan pertemuan. Satu demi satu tokoh-tokoh yang hadir di dalam ruangan itu mulai meninggalkan tempat. Sampai kemudian, suasana dalam ruangan berubah sunyi kembali.

***

Seekor kuda berbulu hitam ditunggangi pemuda berompi putih, menghentikan larinya tepat di depan sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi berbagai jenis pohon buah-buahan. Namun baru saja pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu melompat dari kudanya, dari atas pohon-pohon yang terdapat disekitarnya berlompatan sosok tubuh berpakaian putih. Begitu menjejak tanah mereka langsung mengepung Rangga.

"Eit, tunggu...!" cegah pemuda berompi putih ini, pada saat sosok-sosok berpakaian putih itu mencabut senjatanya yang berupa tombak bermata ganda.

"Jelaskan, siapa Kisanak. Dan, apa tujuanmu datang kemari!" dengus salah seorang, curiga.

Pada hakekatnya Rangga memang tidak ingin bertele-tele.

"Aku Rangga. Seorang murid Padepokan Kencana Ungu menyarankan, agar aku dapat bertemu Ketua Padepokan Belibis Putih. Bukankah ini padepokan yang kumaksudkan?"

"Suruh dia masuk, Permadi!" Tiba-tiba sebuah suara serak dan berat terdengar sebelum orang yang mencegat Rangga yang bernama Permadi itu menjawab.

Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji kepandaian orang yang baru saja mengirimkan suara jarak jauh itu. Karena begitu menoleh ke arah suara Rangga tidak melihat seorang pun, kecuali para murid Padepokan Belibis Putih. Jelas, orang itu juga telah memiliki ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' sehingga kehadirannya bisa diketahui.

Kemudian Permadi memberi isyarat pada Rangga, untuk mengikutinya. Sementara salah seorang murid Padepokan Belibis Putih menuntun kuda milik Rangga untuk ditambatkan di bawah pohon teduh. Rangga lantas diajak memasuki sebuah ruangan yang cukup besar, untuk penerimaan tamu.

"Tunggu di sini sebentar. Guru kami pasti segera menemuimu!" jelas Permadi.

Tak lama kemudian, Permadi segera berlalu dari ruangan itu. Dalam kesendiriannya, Rangga menyempatkan diri melihat suasana didalam ruangan yang sejuk. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya, terkecuali jenis-jenis senjata yang dipajang dalam ruangan ini. Lalu sebuah patung terbuat dari batu, berbentuk Burung Belibis Putih. Mungkin, inilah lambang kebesaran padepokan yang kini sudah tidak dipakai secara resmi.

"Hem...!" Mendadak terdengar seseorang terbatuk, membuat Rangga tersentak dan langsung memandang ke satu arah. Dalam cahaya yang agak remang-remang, Pendekar Rajawali Sakti melihat seorang laki-laki berbadan jangkung terbungkus pakaian serba putih. Orang berikat kepala putih itu berjalan menghampiri Rangga. Matanya yang tampak cekung, berkilat-kilat tajam memandang Pendekar Rajawali Sakti.

Pemuda berompi putih ini segera mengangguk hormat. Tidak lama kemudian, laki-laki berwajah kusut ini telah duduk tidak jauh di depan Rangga, sambil terus memperhatikan. Seakan ingin meyakinkan, siapa tamu yang dihadapinya.

"Siapakah, Kisanak?" Tanya laki-laki tua yang memang Ketua Padepokan Belibis Putih, tanpa menunjukkan keramahtamahan sedikit pun juga.

"Namaku Rangga, Paman...!" jawab pemuda itu memperkenalkan diri.

***
EMPAT
Kening Ketua Padepokan Belibis Putih ini langsung berkerut dalam. Kembali diperhatikan pemuda itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Pandangan matanya yang tajam kemudian terhenti pada pedang bergagang kepala burung yang tergantung di punggung Rangga. Lalu, dia pun menarik napas lega.

"Rangga! Hm.... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan?" tebak laki-laki berbadan jangkung itu.

Rangga tentu saja tersentak kaget. Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki di hadapannya mengenalinya. "Bagaimana Paman tahu?" Tanya Rangga, penasaran.

Laki-laki berumur sekitar lima puluh tahun ini tersenyum kecut. Wajahnya yang agak pucat, tidak menunjukkan gairah sama sekali. "Sering kudengar tentang sepak terjangmu dalam membela kebenaran, Rangga. Pakaian dan pedang yang kau bawa, itulah ciri-ciri yang selalu kudengar tentangmu," jelas laki-laki ini.

"Paman Gatama," sebut Rangga kemudian.

Sekarang laki-laki itu malah yang terjekut. "Bagaimana kau mengenal namaku, Rangga?" Tanya laki-laki bernama Gatama penuh selidik.

"Salah seorang murid Padepokan Kencana Ungu yang mengatakannya padaku, agar aku menemui Paman."

"Hm, begitu...," desah Gatama tidak bersemangat. "Lalu, apa yang ingin kau ketahui dariku?"

"Maaf, Paman. Sebenamya aku tidak ingin mencampuri segala sesuatu yang terjadi disini. Tapi menurut pendapatku, apa yang dilakukan orang-orang Partai Tengkorak Darah terhadap dua padepokan bersau-dara, benar-benar sangat keterlaluan,"kata Rangga.

Sepasang mata Gatama yang tak memiliki cahaya kehidupan ini agak terbelalak. Namun sebentar saja sikapnya sudah berubah seperti biasa kembali. Tampak jelas kalau laki-laki berpakaian serba putih ini sedang mengalami tekanan jiwa yang berlanjut-lanjut.

"Dunia ini memang penuh segala tipu daya dan keangkaramurkaan. Sudah lama aku berusaha menguburkan penstiwa yang pahit ini. Dan rasanya tidak ada gunanya aku menceritakan segala sesuatu yang terjadi di Padepokan Belibis Putih ini."

"Maaf, Paman. Bukannya aku ingin mengungkap kesedihan hati Paman. Tapi jika Paman bersikap masa bodoh bagaimana nasib murid-murid padepokan ini?"

"Aku memang bersikap sedkit tidak peduli setelah kepergian istriku yang sudah berlangsung sejak lama! Tapi mereka merupakan murid-murid yang sangat tahu diri," tegas Gatama tanpa semangat.

Sekarang jelaslah sudah bagi Rangga, bahwa laki-laki yang duduk di hadapannya ini benar-benar tidak peduli dengan suasana di sekelilingnya. Hal ini sangat berbahaya. Terlebih-lebih, Rangga sudah mendengar dari murid Padepokan Kencana Ungu mengenai penyerangan Partai Tengkorak Darah untuk membasmi kedua padepokan itu.

"Paman! Jika merenungi kepergian istri Paman, walau hingga seratus tahun lagi, yang sudah mati pasti tidak akan pernah kembali. Sedangkan kita yang hidup, harus menjalani sebagaimana layaknya!" kata Rangga, tanpa maksud menggurui.

Mata laki-laki tua yang selalu tampak meredup itu, sekarang terbuka lebih lebar. Gatama memperhatikan Rangga agak lama. Entah, apa yang dipikirkan Ketua Padepokan Belibis Putih ini.

"Apa yang kau maksudkan, Rangga?" Tanya Gatama agak meninggi nada suaranya.

"Maaf, Paman. Aku hanya bicara tentang kemungkinan orang-orang dari Partai Tengkorak Darah melakukan serangan kesini."

"Bagaimana kau tahu?"

"Menurut murid Padepokan Kencana Ungu, Partai Tengkorak Darah akhir-akhir ini sering mengirim mata-mata. Selain itu, mereka juga telah kehilangan beberapa orang penting di Gunung Panjar!"

"Apa?!" desis Gatama, tersentak kaget. "Mereka kembali ke Gunung Panjar?"

"Benar, Paman," tegas Rangga. "Kabarnya, orang-orang kepercayaan mereka tidak kembali setelah melakukan penyelidikan."

Di luar dugaan, Gatama tiba-tiba tersenyum sinis. Tidak jelas, ditujukan pada siapa. "Sejak dulu mereka memang tidak pernah berhasil membunuh putraku yang tidak memiliki salah apa-apa. Mereka menyebut 'putraku' dengan sebutan iblis. Padahal, merekalah yang iblis," tandas Gatama, berapi-api.

"Paman! Apakah benar putra Paman masih hidup?" Tanya pemuda berompi putih itu, tiba-tiba.

Seketika tawa Gatama terhenti. "Kenyataan yang sebenarnya aku tidak tahu, Rangga! Mereka meramalkan kalau kelahiran anakku yang aneh hanya akan membawa melapetaka di kemudian hari. Itulah sebabnya, orang-orang Partai Tengkorak Darah menculik sekaligus membunuhnya!" geram Gatama, sambil mengepalkan tangannya.

Rangga kembali terdiam. Rupanya duduk persoalan yang sebenarnya tentang anaknya sendiri. Ketua Padepokan Belibis Putih ini tidak tahu sama sekali Dan sungguh mengherankan jika berita yang demikian gencar tentang anaknya, laki-laki bertubuh jangkung ini berusaha tidak mencari tahu. Ataukah Gatama memang sengaja merahasiakan keberadaan anaknya?

"Paman Gatama. Tahukah kalau anak Paman sekarang sedang dicari-cari oleh orang-orang Partai Tengkorak Darah?" Tanya Rangga, lebih lanjut

Namun laki-laki berkumis tipis ini hanya menggeleng.

"Paman tidak berusaha mencarinya?" desak Rangga.

"Mencari anakku merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Kalau raksasa setengah singa itu memang anakku, tentu cepat atau lambat akan mencari orang tuanya," kilah Gatama.

"Paman tidak merasa khawatir bila dia terluka di tangan orang Partai Tengkorak Darah?" desak Rangga lagi.

Gatama menyeringai kecut. Tampak jelas pada saat itu jiwanya semakin tertekan. "Apa yang kutakutkan?" sahut Gatama, seakan bertanya pada diri sendiri. "Suatu hari, aku mendapat wangsit tentang kesaktian yang dimilikinya. Dia tidak memiliki guru, dan tidak belajar llmu olah kanuragan. Kesaktiannya datang dari langit! Kau mungkin tidak percaya. Tapi, aku merasa yakin orang-orang Partai Tengkorak" Darah tidak akan mampu mengalahkannya."

"Mengagumkan sekali, Paman," desah Rangga. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti mulai ragu akan kebenaran cerita Gatama. Dia berpikir, jangan-jangan laki-laki ini sekarang telah sinting.

"Rangga!" Suara Gatama menyentakkan Rangga dari lamunannya. Pemuda berompi pubh ini kemudian memandang seksama pada Ketua Padepokan Belibis Putih.

"Aku merasa sudah sangat tua, Rangga. Aku ingin minta tolong padamu...," ucap Gatama agak ragu.

"Katakan saja, Paman. Jika sanggup melakukannya, aku pasti akan menolongmu!" tegas Rangga.

"Begini. Jika suatu saat kau bertemu anakku yang bernama Satria Pemali, tolong katakan padanya kalau lbunya telah tiada. Dan satu lagi..., jika orang-orang Partai Tengkorak Darah menyerang kemari, tolong bantulah aku. Sekarang ini, aku merasa kekuatan yang kumiliki semakin menurun. Dan sebenarnya, aku sedang menderita sakit!" desah laki-laki itu sambil mengurut-urut dadanya.

Pernyataan Gatama tentu saja sangat mengejutkan Rangga Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki itu menderita tekanan batin demikian parah! Bahkan membuatnya teramat menderita.

"Paman! Bolehkan aku memeriksa keadaan Paman?" Tanya Rangga, menawarkan diri.

"Tidak usah repot-repot. Aku bukan sedang menderita luka dalam akibat pukulan seseorang. Penyakit ini, aku sendiri yang membuatnya. Tanpa kusadari."

Rangga merasa tidak ada gunanya membujuk Gatama. Laki-laki ini termasuk sangat keras kepala dalam pendirian.

***

Sebelas rombongan berkuda dengan pakaian serba merah, tampak melewati lembah dan bukit bukit Kasmara. Melihat dari pakaian, jelas mereka adalah dari Partai Tengkorak Darah. Sedangkan yang berkuda paling depan, tak lain dari Banu Keling yang memang diperintahkan Sarpakenaka untuk memimpin. Dari daerah ini Gunung Panjar sudah terlihat jelas. Kepulan asapnya membubung tinggi dan sesekali memperlihatkan lidah api, seakan ingin menggapai langit.

Di daerah tandus dan tidak bertuan ini, rombongan berkuda pimpinan Banu Keling terpaksa mengurangi kecepatan kudanya. Sesekali terdengar ringkikan kuda yang ditunggangi. Namun di lain saat, suasana terasa sunyi mencekam. Hanya angin gersang yang terasa membelai dan menyapu keringat mereka yang meleleh dipipi. Banu Keling dengan anak panah di pinggang serta busur di punggungnya terus memimpin rombongannya tanpa mengenal rasa gentar sedikit pun.

"Tidak lama lagi kita sampai di lereng Gunung Panjar!" kata Banu Keling, tiba-tiba memecah keheningan suasana. "Kuharap kalian memeriksa kembali perlengkapan kalian!"

"Segala sesuatunya telah kami persiapkan, Kakang!" sahut sepuluh orang anak buah Banu Keling sambil terus menggebah kuda.

Setelah mereka melewati bukit-bukit Kasmara, tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja terlihat ada sesuatu yang bergerak-gerak tidak jauh di depan. Tidak lama setelah itu, batu-batu di depan mereka pun beterbangan ke segala penjuru.

Banu Keling dan kawan-kawannya terkejut setengah mati. Terlebih, beberapa batu ada yang melesat ke arah mereka. Untung orang-orang yang menyertai Banu Keling memiliki kepandaian lumayan. Sehingga dengan cepat mereka dapat menghindari serangan-serangan tidak terduga ini.

"Bersiagalah, Kalian!" Sekali lagi Banu Keling berteriak memperingatkan.

Belum lagi hilang gema suara laki-laki bertampang angker ini, mendadak angin kencang menderu kearah mereka. Pasir-pasir beterbangan. Bahkan suasana disekeliling mereka seketika berubah gelap. Lalu dalam kegelapan yang tercipta akibat hembusan angin, batu-batu di depan mereka kembali melesat menghantam kaki-kaki kuda.

Binatang-binatang malang itu kontan bergelimpangan roboh. Bahkan dua orang yang berada di sam-ping Banu Keling juga tenungkal roboh, dengan kepala remuk terhantam batu.

"Licik! Pengecut...!" maki Banu Keling.

Seketika laki-laki bercambang ini menghantamkan kedua tangannya ke arah datangnya angin kencang tadi. Seketika terlihat cahaya kuning kemerahan melesat dari telapak tangannya, yang kemudian menghantam sesuatu yang bergerak-gerak bagaikan tangan di depannya.

Glarrr!

Terdengar suara benturan yang sangat dahsyat. Namun mendadak saja sinar kuning yang melesat dari telapak tangan Banu Keling, kembali berbalik ke arah tuannya. Cepat bagai kilat Banu Keling melompat dari punggung kuda, diikuti delapan orang lainnya.

"Uhk.... Sialan...!" rutuk Banu Keling.

Pukulan jarak jauh yang sempat berbalik. itu menghantam batu sebesar kerbau, yang tenetak satu tombak di samping Banu Keling. Sampai hancur berkeping-keping.

Banu Keling dan kawan-kawannya terbelalak takjub. Dalam hati, laki-laki ini merasa heran sendiri. Bagaimana mungkin pukulan yang berbalik itu dapat mengandung tenaga dalam berlipat ganda?

Belum lagi hihng rasa terkejut di hati Banu Keling dan kawan-kawannya, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar, disusul munculnya sosok tubuh berkepala singa dari dalam tanah!

"Mayat dari kubur!" teriak salah seorang.

"Manusia setengah singa," desis yang lain sambil memperhatikan sosok raksasa yang muncul kepermukaan tanah itu, penuh ketidakpercayaan.

Siapkan senjata kalian!" teriak Banu Keling, segera dapat menguasai keadaan.

Tanpa bicara apa-apa lagi, anak buah Banu Keling segera menarik busurnya. Sementara itu, tawa sosok yang tak lain manusia setengah singa yang muncul dari dalam bumi telah berhenti.

"Aku mendengar langkah kuda kalian dalam keadaan tergesa-gesa. Untuk apa kalian berkeliaran di daerah pembuangan ini?" Tanya laki-laki berbadan raksasa ini, sambil memperhatikan Banu Keling dan kawan-kawannya dengan sorot mata merah membara.

"Siapa kau!" Tanya Banu Keling tanpa menghiraukan pertanyaan laki laki setengah singa.

"Hraaa... Aku Satria Pemali!" dengus manusia raksasa setengah singa ini tidak senang.

Banu Keling tiba tiba saja tertawa lebar. Baginya sudah sangat jelas kalau Satria Pemali tidak lain anak Ketua Padepokan Belibis Putih yang pernah disingkirkan Ketua Partai Tengkorak Darah dua puluh tahun yang silam. Berarti, pembunuhan yang dilakukan sesepuh Partai Tengkorak Darah tidak mendatangkan harapan sebagaimana yang diinginkan. Hal ini diperkuat lagi dengan kenyataan kalau manusia raksasa itu telah berdiri dihadapannya.

"Hm... kau rupanya anak Gatama, Ketua Padepokan Belibis Putih yang keras kepala itu," desis Banu Keling tanpa sungkan-sungkan lagi. Sungguhpun, Banu Keling harus mengakui kalau manusia setengah singa ini sempat membuat nyalinya ciut.

"Kau anak iblis, bukan anak manusia. Dan aku yakin, ayah ibumu juga keturunan iblis?" ejek laki-laki bertampang kasar ini sengaja memanas manasi.

Tapi sungguh aneh! Di luar dugaan, Satria Pemali tidak terpengaruh sama sekali dengan ucapan Banu Keling. "Apakah kalian datang dari Partai Tengkorak Darah?" Tanya manusia setengah singa dengan suara serak dan besar bagai guntur.

Banu Keling tersenyum mengejek. Sementara delapan orang anak buahnya telah merentang busur, siap-siap melepaskan anak panah. "Kalau benar kau mau apa, Anak Iblis?!" dengus Banu Keling.

"Grauuung!"

Terdengar suara teriakan menggelegar, yang tidak ubahnya bagai auman marah menggetarkan. Belum hilang gema suara auman tersebut, Satria Pemali sudah kembali menatap ke arah mereka.

"Sejak dulu naluriku mengatakan kalau orang orang Partai Tengkorak Darah bermaksud membunuhku. Mereka menyebarkan fitnah, bahkan mengucilkan orang tuaku. Alam roh barusan mengatakan, kalau arwah ibuku tidak tenang di alam baka sana, sebelum aku dapat melenyapkan semua orang-orang Partai Tengkorak Darah!"

"Sebagaimana orang tuamu, kau pun tidak mungkin punya kemampuan menghancurkan Partai Tengkorak Darah!" desis Banu Keling dengan angkuh.

"Hraaa.... Grauuung...!"

Manusia setengah singa itu menggerakkan tujuh tangannya ke segenap penjuru. Maka tiba-tiba saja angin bertiup kencang, sehingga membuat Banu Keling terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk tetap bertahan pada tempatnya.

"Banyak kawanmu yang tidak dapat kembali ke Partai Tengkorak Darah dengan selamat! Sekarang, kalian pun akan mengalami nasib serupa!" tegas Satna Pemali.

"Bicaramu kelewat takabur, Iblis Terkutuk. Kau tidak mungkin dapat lolos dari panah-panah beracun kami!" tantang Banu Keling.

"Bicaralah sesukamu. Jika kalian semua sudah menjadi mayat, aku tidak sudi lagi menunggu di sini. Akan ku obrak-abrik Partai Tengkorak Darah sampai tidak bersisa lagi," tegas manusia setengah singa itu sambil memandang nyalang pada lawan lawannya.

"Panah...!" teriak Banu Keling tak mau kalah, langsung memberi aba-aba.

Seketika itu juga puluhan batang anak panah melesat ke arah Satria Pemali. Sambil menggeram marah, laki-laki setengah singa ini menggerakkan tangannya ke segala penjuru. Dan tahu tahu saja anak-anak panah itu sudah berada dalam genggaman tangan Satria Pemali.

Banu Keling dan anak buahnya terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangka kalau lawan dapat melakukan gerakan secepat itu.

"Panah terus!" Banu Keling kembali berteriak memberi aba-aba pada anak buahnya. Tidak dapat dikendalikan lagi, anak-anak panah itu terus berhamburan menghujani tubuh Satria Pemah. Tapi untuk kesekian kali, Banu Keling dan kawan-kawannya dibuat tercengang. Panah-panah yang dilepaskan mereka sama sekali tidak mampu menembus kulit laki-laki setengah singa itu.

Dan kini ganti, Satria Pemali yang menerjang mereka dengan sambaran sambaran tangannya yang menimbulkan angin bersiuran. Banu Keling terpaksa mencabut pedang bermata ganda yang terselip di pinggang. Maka begitu senjata itu menderu dengan kecepatan sulit diikuti mata, maka terlihat kalau senjata itu ditangan Banu Keling berubah menjadi banyak.

Satria Pemali sempat terkesiap, namun keadaan seperti itu tidak berlangsung lama. Karena pada kesempatan lain, tubuhnya sudah menerjang Banu Keling dengan tendangan-tendangan.

Batu-batu disekitar pertempuran, beterbangan ke segala penjuru terhantam kaki Satria Pemali. Namun sampai sejauh itu, lawannya masih mampu menghindari serangan manusia setengah singa ini dengan gerakan cukup lincah.

Sementara dari bagian-bagian lain, sesekali anak buah Banu Keling melepaskan anak-anak panahnya. Mendapat serangan yang demikian gencar dan cukup berbahaya, Satria Pemali tidak menjadi gentar. Tangan-tangan yang lain bergerak cepat, menangkap atau menangkis serangan anak panah yang dilepaskan anak buah Banu Keling. Sedangkan tangan yang lain bergerak lincah, menyambar serjap lawan yang berusaha mendekati.

"Mampuslah! Hiyaaa..!" Dari arah samping, Banu Keling melompat ke udara Selanjutnya sambil melepaskan pukulan menggeledek kearah lawan, senjatanya ditusukkan ke bagian dada Satria Pemali.

Dengan cepat manusia setengah singa ini me ngibaskan tangannya memapaki pukulan jarak jauh yang dilepaskan Banu Keling. Sedangkan tangan yang lain, menyambut serangan pedang yang menderu ke bagian perutnya.

Trak!

Glarrr...!

Terjadi ledakan yang sangat dahsyat. Banu Keling jatuh terguling guling sejauh tjga tombak. Dari bibir-nya, tampak meleleh darah kental. Jelas, laki-laki bertampang kasar ini menderita luka dalam. Sementara itu, Satria Pemali masih tetap berdiri tegak di tempatnya sambil tersenyum sinis.

***
LIMA
"Nanti kau akan tahu kalau aku benar-benar menginginkan nyawamu!" dengus Satria Pemali.

Begitu selesai kata katanya manusia setengah singa ini tiba-tiba kembali menerjang. Kali ini bukan Banu Keling saja yang menjadi sasaran, tapi juga kawan-kawannya yang terdiri dari pemanah-pemanah pilihan.

"Hraaa! Grauuung...!"

Tangan-tangan manusia setengah singa yang berkuku runcing dan berjumlah cukup banyak ini menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya dengan dahsyat. Pada satu kesempatan, manusia setengah singa berhasil meraih salah seorang anak buah Banu Keling.

"Akh...!"

Dengan dipenuhi nafsu amarah, Satria Pemali langsung mencabik-cabik anak buah Banu Keling. Terdengar suara tulang berpatahan, disertai lolong kematian yang demikian memilukan. Darah kental, membasahi bumi. Namun, Itu tak membuat semangat mereka surut.

"Dia tidak mempan senjata, Ketua!" teriak anak buah Banu Keling mulai bingung.

"Pergunakan senjata apa saja!" teriak Banu Keling, berusaha memberi semangat anak buahnya.

Tapi apa yang diucapkan Banu Keling tampaknya akan sia-sia. Karena selain manusia setengah singa itu kebal terhadap senjata tajam, juga tampaknya nyali mereka berubah menciut. Malah beberapa di antara mereka malah hanya dapat bergerak menjauh, menghindari serangan Satria Pemali yang semakin menggila.

"Bangsat! Manusia iblis ini rasanya sangat sulit kujatuhkan. Apa akalku sekarang? Aku tidak mungkin dapat mengalahkannya tanpa mengetahui, di mana letak titik kelemahannya. Tapi jika aku menghindar, rasanya percuma jika kembali ke Partai Tengkorak Darah! Salah seorang harus pulang. Mungkin ketua dapat bersikap sedikit lunak padaku," pikir Banu Keling.

Pada saat Banu Keling berpikir, mendadak datang serangan kaki manusia setengah singa. Namun dengan cepat Banu Keling menjatuhkan diri dan langsung ber-guling kesamping. Ujung pedangnya langsung ditusukkan kebagian telapak kaki, ketika manusia setengah singa terus mengejarnya.

Sementara pada saat bersamaan, tiga orang anak buah Banu Keling membabat tangan manusia setengah singa. Sedangkan tiga orang lainnya melompat sambil melakukan tusukan ke bagian rusuk kiri dan rusuk sebelah kanan.

Terpaksa Satria Pemali menghentikan cecarannya pada Banu Keling. Sebagai gantinya, sekarang tubuhnya berbalik dan menyerang anak buah Banu Keling dengan ayunan tangan bergerak ke segala arah. Orang-orang Banu Keling kontan terpepet setengah mati. Apalagi mengingat tangan raksasa yang menyambar ke arah mereka seakan berubah menjadi banyak.

"Hiyaaa...!" Tubuh Satria Pemali melesat ke depan kemudian menghantamkan tanjunya ke lima penjuru.

Brak! Buk..!

"Aaakh. .!"

Disertai teriakan melengking tinggi, lima orang anak buah Banu Keling jatuh terpelantang di tanah dengan dada melesak ke dalam dihantam tinju Satria Pemali. Bahkan dua di antaranya ada yang hancur kepalanya. Semuanya bergeletakan roboh, tanpa mampu bangkit lagi.

Melihat kenyataan ini, semakin bertambah ciutlah nyali Banu Keling. Apalagi mengingat hanya tinggal dirinya sendiri, bersama salah satu anak buahnya. Maka, tanpa membuang buang waktu lagi, secara diam-diam dia melarikan diri, ketika Satria Pemali lengah.

Pada saat Satria Pemali menyadari apa yang terjadi, Banu Keling telah jauh meninggalkan pertempuran. "Keparat! Dia meloloskan diri!" dengus laki-laki setengah singa ini.

Dan kini kepala Satria Pemali berpaling ke arah anak buah Banu Keling yang tinggal satu-satunya ini. "Ha ha ha...! Sekarang hanya tinggal kau saja yang berada di sini. Maka, terimalah kematianmu!"

Satria Pemali tiba-tiba saja mengangkat sebongkah batu sebesar kerbau di sampingnya. Batu itu kemudian dilemparkannya kearah anak buah Banu Keling, dengan kecepatan dahsyat.

Laki-laki berpakaian hitam ini berusaha berkelit menghindar, namun gerakannya kalah cepat. Tidak pelak lagi, batu itu menimpanya. Tidak terdengar suara lolongan kecuali suara hancurnya tulang belulang tertimpa batu.

Manusia setengah singa ini menarik napas panjang. Dipandanginya mayat mayat yang bergelimpangan yang terdapat di sekelilingnya.

"Aku tidak mungkin terus bertahan di sini. Satu-satunya jalan adalah datang kemarkas orang-orang Partai Tengkorak Darah, sebelum mereka menyerang kemari," gumam manusia setengah singa bertangan tujuh itu.

Tidak lama setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Satria Pemali merijejakkan kakinya ketanah. Seketika terdengar suara menggemuruh, dan tanan dibawahnya menguak lebar. Satria Pemali segera melompat ke dalamnya Begitu tubuhnya menghi-lang, lubang itu menutup kembali. Dan dibawah permukaan tanah langsung terlihat gerakan gerakan sangat aneh. Seakan, ada sesuatu yang berjalan cepat dibawahnya.

***

Dewa Bayu sengaja dibiarkan merumput, sementara Pendekar Rajawali Sakti sendiri duduk bersender di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Entah mengapa, tiba-tiba saja Rangga menjadi bimbang. Pendekar Rajawali Sakti jadi heran melihat sikap Ketua Padepokan Belibis Putih yang sepertinya berusaha merahasiakan sesuatu dibalik semua peristiwa yang pernah diceritakan.

"Rasanya sangat aneh setelah terpisah selama belasan tahun, Paman Gatama tidak merasa rindu pada anak satu-satunya. Terlepas apakah anaknya sempurna atau tidak. Bahkan sikapnya terkesan acuh, terkecuali terhadap almarhum istrinya," gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menarik napas pendek "Kini aku pun dilanda keragu-raguan. Apakah aku harus pergi ke Partai Tengkorak Darah, Gunung Panjar, atau malah datang ke Padepokan Kencana Ungu Tapi...!"

Rangga tiba-tiba saja menghentikan ucapannya. Sekejap, tadi seperti mendengar derap langkah kuda menuju kearah jalan, tidak jauh di depannya. Seketika dikerahkannya llmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.

"Rasanya kuda-kuda itu berlari tergesa-gesa. Ada baiknya jika aku menunggu kedatangan mereka," desis pemuda berompi putih ini, diliputi rasa keingintahuan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mendongak. Lalu.. "Huuup...!"

Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, lalu mendaratkan kedua kakinya disalah satu cabang pohon itu. Begitu indah gerakannya, Rangga segera menjulurkan kepaa sambil memperhatikan sesuatu yang mencurigatan di depan sana. Namun hingga sejauh itu, matanya belum melihat apa-apa.

Lama-kelamaan suara langkah kuda semakin mendekat. Hingga akhimya, terlihatlah belasan penunggang kuda bergerak cepat kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Nampaknya mereka akan menuju ke Padepokan Belibis Putih! Aku harus mencegahnya!" duga pemuda berompi putih ini.

Kemudian Rangga melompat turun dari cabang pohon begitu para penunggang kuda telah dekat. Kedua kakinya mendarat diatas jalan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. "Berhenti!" perintah Rangga dengan sikap berwibawa, begitu kakinya menyentuh tanah.

Serentak rombongan berkuda itu menghentikan laju kudanya. Seketika kuda-kuda itu berhenti sambil meringkik keras, dan mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Salah seorang di antara mereka yang berbadan kekar dan memegang gada besar berwarna kuning keemasan, langsung memperhatikan Rangga dengan sorot mata tidak senang, setelah berhasil menguasai kudanya.

"Apakah kalian orang-orang dari Partai Tengkorak Darah?!" Tanya Pendekar Rajawali Sakti sebelum rombongan berkuda itu sempat mengajukan pertanyaan.

"Huh! Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa begitu berani menghalangi perjalanan kami?" dengus pimpinan rombongan yang tidak lain Faksi Jaladara.

"Aku yang bertanya lebih dulu, Kisanak!" sergah Rangga.

Merah padam wajah Faksi Jaladara mendapat jawaban seperti itu. Bahkan rombongan yang berada di belakang tampaknya sudah tidak sabar, dan ingin segera turun tangan. Tapi laki-laki berpakaian serba merah ini segera mencegahnya.

"Kami tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaanmu, Bocah! Sekarang menyingkirlah, sebelum kuda kami menginjak remuk tubuhmu!" hardik Faksi Jaladara dengan sikap tidak sabar.

"Kalau demikian, aku pun tidak akan menyingkir dari jalan ini!" balas Rangga.

"Kau sengaja mencari persoalan dengan kami. Bocah!" teriak Faksi Jaladara "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari kami?"

"Terus terang aku hanya membutuhkan jawaban dari pertanyaanku tadi!" sahut Rangga.

"Anak muda! Kau memang benar ingin berurusan dengan Partai Tengkorak Darah!" ancam Faksi Jaladara sambil melotot. Tanpa disadari laki-laki kekar itu telah menjawab pertanyaan Rangga.

"Kalau demikian, berarti Kisanak bermaksud pergi ke Padepokan Belibis Pubh?" tebak Rangga.

"Hm... Kau terlalu banyak ingin tahu tentang persoalan yang akan kami kenakan. Lalu apa maumu?"

Senyum Rengga semakin melebar. "Aku ingin kalian membatalkan niat kalian. Jika tidak...!"

"Jika tidak kau mau apa?!" potong Faksi Jaladara semakin bertambah berang.

"Aku pasti akan menghentakan kalian!" tegas Rangga.

Memerah wajah Faksi Jaladara seketika. Segera anak buahnya diberi isyarat untuk segera menyerang pemuda berompi pubh ini. Maka empat orang anak buah Faksi Jaladara langsung melompat dari punggung kudanya. Dengan gada di tangan, mereka langsung menerjang Rangga dari empat penjuru.

Rangga cepat menggeser kakinya ke samping, meng-hindari serangan gada anak buah Faksi Jaladara yang terus menderu-deru tiada henti. Tubuhnya terus meliuk-liuk, mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

"Hiyaaa...!" Tubuh Rangga tiba-tiba melesat ke udara setinggi dua tombak. Begitu berada diudara tangannya dihantamkan kearah empat orang lawan. Tiba-tiba saja melesat cahaya merah dari telapak tangannya yang terbuka. Memang, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tingkat menengah. Tapi akibatnya..

"Aaakh...!"

***
ENAM
Terdengar jeritan empat anak buah Faksi Jaladara hampir berbarengan. Tubuh mereka kontan terpelanting roboh. Salah seorang bahkan menghantam pohon di belakangnya, hingga roboh seketika.

Faksi Jaladara yang menyaksikan semua ini jadi terkesima. Sama sekali tidak disangka kalau pemuda berompi putih ini memiliki kepandaian mengagumkan. Sekali lagi, diberinya isyarat pada anak buahnya.

Maka, kali ini seluruh orang anak buah Faksi Jaladara berhamburan dari atas kudanya. Mereka secara serentak mencecar dengan sambaran-sambaran gada yang terus menderu mengincar bagian-bagian yang mematikan, begitu Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.

Namun dengan mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' kembali, Rangga berusaha menghindari serangan-serangan yang datang secara beruntun. Tubuhnya terkadang meliuk, dan tak jarang terhuyung seperti akan jatuh. Mirip orang mabuk arak.

Di lain saat, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tendangan ke arah dada salah seorang lawannya. Tapi dengan gesit anak buah Faksi Jaladara itu berhasil menghindari. Dan ternyata itu hanya gerak tipu Rangga. Karena begitu orang itu mengegos ke kiri, Pendekar Rajawali Sakti cepat melepaskan tendangan kilat berputar mengarah bagian kemaluan.

Buk!

Tubuh orang itu kontan terpelanting roboh di tanah tanpa sempat berteriak Dia berkelojotan sekejap, dengan darah terus mengalir dari sela-sela selakangannya. Tidak lama kemudian, terdiam untuk selama-lamanya.

Melihat kenyataan ini tentu saja kawan-kawannya yang lain menjadi sangat marah. Sehingga, mereka semakin melipatgandakan serangan.

Wut!

"Ihhh...!" Salah satu gada yang dihantamkan anak buah Faksi Jaladara hampir saja menghantam dada Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat mengegoskan badannya.

"Hup...!" Sekali lagi, Rangga melompat ke belakang, sambil menghantamkan tangan kanannya ke samping. Kemudian disusul tendangan beruntun ke arah kaki lawan-lawannya.

Duk! Buk!

"Aaarkh...!" Tiga orang anak buah Faksi Jaladara langsung tersungkur roboh dengan tulang kaki remuk. Untuk yang kesekian kalinya, pimpinan mereka dibuat tercengang. Beberapa kali anak buahnya dapat dilumpuhkan oleh pemuda berompi putih ini hanya dalam beberapa gebrakan saja. Sungguh kenyataan yang sulit dipercaya. Terlebih-lebih, bila mengingat kalau anak buahnya memiliki kepandaian lumayan.

"Bunuh dia! Jangan beri kesempatan untuk meloloskan diri!" teriak Faksi Jaladara, gusar.

Mendapat aba-aba dan atasannya semangat orang-orang Partai Tengkorak Darah bangkit lagi Kini serangan yang dilakukan berubah semakin cepat.

Pemuda berompi pubh ini mengeluh dalam hati, karena harus menjatuhkan tangan pada mereka. Tapi itu terpaksa dilakukan mengingat kebandelan mereka. Pada satu kesempatan tubuh Rangga melesat ke udara dengan gerakan cepat bukan main. Begitu berada di udara Pendekar Rajawali Sakb segera merubah jurusnya menjadi jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya langsung berubah merah menyala. Dan seketika itu pula, kedua tangannya menghentak ke arah lawan-lawannya. Maka dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat seberkas sinar merah laksana bara. Disertai suara menderu.

Melihat kenyataan yang tak disangka-sangka ini, anak buah Faksi Jaladara langsung memutar gada di tangan membentuk perisai diri. Tapi apa yang dilakukan tampaknya benar-benar terlambat. Ternyata sinar merah bara yang melesat dari telapak tangan Rangga lebih cepat mencapai sasaran.

Blar!

"Aaakh...!" Terdengar jerit dan pekik kematian, mewarnai pertempuran. Tujuh orang anak buah Faksi Jaladara langsung ambruk di tanah dengan tubuh hangus dan sangat sulit dikenali.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat kembali ditanah setelah melakukan putaran beberapa kali.

"Keparat! Kau benar-benar tangguh, Bocah Iblis!' teriak Faksi Jaladara dari atas punggung kudanya.

Laki-laki kekar itu segera melesat dari punggung kudanya, sambil melepaskan pukulan beracun yang dikenal dengan nama 'Racun Kala Biru' Maka dari telapak tangan Faksi Jaladara melesat cahaya berwarna biru menyala disertai deru angin tajam.

Pemuda berompi putih yang telah memperhitungkan segala kemungkinan, melihat datangnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan lawan. Maka dengan cepat tangannya kembali dikibaskan.

Wusss!

Untuk yang kedua kali, dan telapak tangan Rangga melesat cahaya merah bara, membuat suasana di sekitarnya berubah menjadi panas menyengat. Tidak lama kemudian, terdengar ledakan yang sangat dahsyat pada saat dua buah kekuatan itu saling bertemu.

Glarrr!

Faksi Jaladara kontan terpelanting roboh. Dadanya seketika terasa bagaikan remuk. Sedangkan Rangga hanya bergetar saja tubuhnya. Jelas, tenaga dalam Rangga jauh lebih unggul dibandingkan lawannya.

Namun bukan main hebat daya tahan yang dimiliki laki-laki kekar itu. Karena tidak lama setelah itu, dia sudah bangkit berdiri.

"Phuih...!" Faksi Jaladara meludahkan darah yang meleleh dibibirnya. Matanya yang memerah memandang tajam pada Rangga dengan penuh kebencian. "Bocah! Sebutkan namamu, agar aku tidak mati penasaran!" dengus Faksi Jaladara sambil mencabut gada pusaka yang terselip di pinggangnya.

"Aku Rangga...!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, sambil tersenyum tipis.

"Rangga...?" desis Faksi Jaladara. Dan mendadak saja, wajahnya berubah pucat. "Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?!"

"Begitulah orang-orang menyebutku!" sahut Rangga terus terang.

Tanpa diduga-duga, Faksi Jaladara tertawa terbahak-bahak. Setelah tawanya terhenti, kembali matanya menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku telah mendengar kehebatanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Kepalang basah! Aku harus melenyapkanmu dari kolong langit ini. Hiyaaa..!"

Ucapan Faksi Jaladara segera dibuktikan dengan lesatan tubuhnya sambil menghantamkan gada di tangan ke bagian kepala Rangga.

Pemuda berompi putih ini sempat terkesima. Terlebih-lebih setelah merasakan sambaran angin gada yang menyengat kulit. Menyadari senjata lawan benar-benar sangat berbahaya, maka seketika itu juga...

Sriiing!

Tanpa menunggu lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika, berpendarlah cahaya biru menyilaukan mata dari pedangnya. Dan begitu serangan sudah demikian dekat, Pendekar Rajawali Sakti segera menghantamkan pedangnya.

Trasss!

"Heh?!"

Terdengar suara benturan keras disertai bunga api berpijar ke segala arah. Diluar dugaan gada ditangan Faksi Jaladara terbabat putus menjadi dua bagian, sehingga membuatnya kaget setengah mati. Belum sempat Faksi Jaladara menghilangkan kekagetannya, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah menderu ke arah perutnya. Dan....

Jres!

"Aaakh...!" Faksi Jaladara terbelalak menyambut ajal. Darah langsung menyembur dari bagian perutnya yang robek memanjang. Laki-laki itu terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya Tidak lama, tubuhnya terhempas. Mati dengan mata mendelik.

Rangga hanya menggumam tidak jelas. Kembali dimasukkannya pedang ke dalam warangka. Lalu, dihampirinya Dewa Bayu. Setelah melompat naik, Pendekar Rajawali Sakti memacu kudanya menuju Padepokan Kencana Ungu.

"Sungguh mengecewakan! Kau pergi keGunung Panjar dengan belasan anak buahmu, tapi kini kau pulang tanpa membawa hasil. Bahkan semua anak buahmu terbunuh! Memalukan, Banu Keling!"

Suara itu berasal dari sebuah ruangan pertemuan di dalam bangunan Partai Tengkorak Darah, sebuah suara merdu namun mengandung kebengisan seorang wanita cantik yang tak lain Sarpakenaka.

Laki-laki yang dipanggil Banu Keling sejak tadi hanya mampu menundukkan kepala. dengan segenap rasa bersalahnya. Kini dia menjura hormat pada Sarpakenaka yang duduk diam di singgasana.

"Maafkan aku, Ketua," desah Banu Keling penuh permohonan. "Bukan dengan sengaja hamba meninggalkan mereka. Manusia iblis itu ternyata memang masih hidup. Bahkan kesaktian dan kekebalannya luar biasa. Sampai-sampai anak panah dan senjata kami tidak mampu menembus kulitnya. Anak buahku semua tewas. Dan kupikir, aku tidak mungkin menang menghadapinya, tanpa mengetahui titik kelemahannya."

"Mengapa kau tidak sekalian mati saja bersama anak buahmu, Banu Keling?! dengus Sarpakenaka, dengan wajah berubah merah padam.

Banu Keling terdiam. Kepalanya kembali ditundukkan semakin dalam. Dia merasa percuma membantah kata-kata ketuanya. Salah-salah, Sarpakenaka malah membunuhnya.

"Maafkan aku, Ketua!" ujar Kakek Praba. Laki-laki tua itu juga turut hadir di ruangan ini bersama seorang ahli sihir yang juga masih merupakan anggota Partai Tengkorak Darah. "Bukan aku bermaksud membela Banu Keling." Laki-laki tua ini terdiam sejenak sambil menghembuskan napasnya "Seperti yang pernah dikatakan adik Liku Jadra, jika ternyata memang benar keturunan Gatama dapat bertahan hidup, maka dia akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Kita harus maklum, mengapa Banu Keling tidak dapat membunuhnya. Pertama selain wujudnya yang sangat besar, anak iblis itu juga kebal terhadap berbagai senjata. Dan sekarang, satu-satunya jalan yang harus kita tempuh adalah mencari titik kelemahan manusia setengah singa itu," jelas Kakek Praba.

Sarpakenaka yang berjuluk Bidadari Tangan Api terdiam. Sedangkan Banu Keling diam-diam merasa berterima kasih atas pembelaan sesepuh Partai Tengkorak Darah itu. Cukup disadari, betapa beratnya hukuman yang harus dijalaninya. Terlebih-lebih mengingat kegagalan tugas yang diberikan padanya. Kini dalam hati, dia hanya mampu berharap agar ketuanya mau mendengar apa yang dikatakan Kakek Praba.

Sementara itu Sarpakenaka masih tetap diam di atas singgasananya. Sesekali keningnya berkerut dalam. Kemudian kepala berpaling pada Liku Jadra, seorang laki-laki berambut putih, usianya lebih muda dari Kakek Praba.

"Paman Jadra!" desah Sarpakenaka.

"Ada apa, Ketua?" Tanya laki-laki itu sambil menghaturkan sembah.

"Sudah cukup banyak orang kita yang terbunuh di tangan iblis berkepala singa itu. Mereka semua berkorban demi kejayaan Partai Tengkorak Darah. Namun, tidak demikian halnya Banu Keling yang pengecut ini. Maka dia harus menjalani hukuman pancung!"

Semua orang yang berada di dalam ruangan pertemuan itu tampak terkejut. Terlebih-lebih, Banu Keling. Wajahnya seketika berubah sepucat kertas.

"Ketua! Tidak dapatkah ketua memaafkan dosa-dosa hamba?" desis laki-laki bertampang kasar ini, penuh permohonan.

"Banu Keling! Tidak ingatkah kau pada peraturan yang berlaku di Partai Tengkorak Darah?" dengus Bidadari Tangan Api, tersenyum sinis.

"Ak..., aku ingat semuanya, Ketua!" tegas Banu Keling semakin ketakutan. Kini kepalanya menoleh pada Kakek Praba, seakan mohon perlindungan.

"Bagus kalau kau selalu ingat, Banu Keling!"

"Ketua. Jika Ketua memberi kesempatan padaku untuk bicara, aku punya pendapat." Liku Jadra yang hanya terdiam sejak tadi, sekarang buka bicara.

"Apa pendapatmu, Paman? Coba katakan!" ujar Sarpakenaka tidak sabar.

"Begini, Ketua. Kami semua tahu, Banu Keling melarikan diri dari pertempuran melawan iblis itu. Tapi jika ketua menghukum Banu Keling, itu sama artinya kita semakin banyak kekurangan anggota. Yang kukhawatirkan, jika sewaktu-waktu manusia iblis itu datang kemari, maka semakin bertambah sulitlah keadaan kita...!"

Ucapan Liku Jadra ini tiba-tiba terhenti, pada saat terdengar suara ketukan keras pada daun pintu. Belum sempat Sarpakenaka berkata apa-apa, seorang laki-laki berbadan kurus menghambur ke arah mereka Dia langsung memberi hormat.

"Maafkan hamba .., ket... ketua...!" kata laki-laki itu, tersendat-sendat.

"Jangan bicara bertele-tele di depanku Katakan, kabar apa yang ingin kau sampaikan!" dengus Sarpakenaka tidak sabar.

"Begini, Ketua. Pimpinan rombongan bersama kwan-kawan yang lain gagal melaksanakan tugas...!" lapor anggota Partai Tengkorak Darah itu dengan wajah pucat ketakutan.

Seketika orang-orang yang berada didalam ruangan ini tersentak kaget. Sarpakenaka bahkan sampai terlonjak dari tempat duduknya. Tubuhnya bergetar, menandakan kalau sedang berusaha mengendalikan kemarahannya.

"Apakah kalian telah sampai ke Padepokan Belibis Putih?" Tanya perempuan berwajah cantik itu dengan tatapan menyelidik.

"Kami hampir sampai di Padepokan Belibis Putih, pada saat pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti menghadang perjalanan kami!" jelas laki-laki yang ternyata anak buah Faksi Jaladara, yang sempat melarikan diri.

Mereka yang sedang berkumpul di ruangan pertemuan itu langsung terperangah. Terlebih-lebih, Kakek Praba dan Liku Jadra. Sedangkan Bidadari Tangan Api tampak terdiam.

"Jadi kalian bentrok dengan pemuda itu, Soka?" Tanya Kakek Praba yang rupanya telah mengerti banyak tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Benar. Bahkan junjungan Faksi Jaladara tewas di tangannya," jelas laki-laki bemama Soka itu.

"Bagaimana kawan-kawanmu?" Tanya Sarpakenaka semakin gusar.

"Hanya dua orang saja yang berhasil meloloskan diri dan melaporkan kemari," ujar Soka penuh penyesalan.

"Hm." Sarpakenaka menggumam tidak jelas. Menurutnya, kepandaian Faksi Jaladara sangat tinggi. Senjata gadanya juga merupakan senjata yang sangat ampuh dan telah banyak menewaskan tokoh-tokoh pembangkang yang tidak bersedia tunduk pada Partai Tengkorak Darah. Tapi kali ini Faksi Jaladara dapat dijatuhkan oleh seorang pemuda yang benuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tidak dapat dibayangkan, betapa tangguhnya pemuda yang telah membunuh Faksi Jaladara dan anak buahnya.

"Kakek Praba!" sebut Bidadari Tangan Api, mendesah.

"Sendika, Ketua?" sahut laki-laki itu sambil menghaturkan sembah.

"Apakah Kakek tahu tentang pemuda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?"

"Berhadapan secara langsung memang belum pernah Tapi, hamba pernah mendengar sepak terangnya. Kalau tidak salah, namanya Rangga. Sebenarnya, dia adalah Raja Karang Setra. Sebuah daerah yang sangat jauh dari sini. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti lebih suka mengembara. Kepandaiannya sangat sulit dicari tandingan. Kalau memang benar pemuda itu yang menghambat orang-orang kita, sama artinya kita menghadapi dua masalah besar."

"Masalah besar bagaimana, Kek..?"

"Masalah pertama, kita berhadapan dengan iblis bertangan tujuh. Sedangkan masalah kedua, mungkin kita juga harus menghadapi pemuda itu...," jelas Kakek Praba. Ada nada cemas dalam ucapannya.

"Menurutmu apakah pemuda itu adalah jago bayaran yang berpihak pada Gatama? Tanya perempuan itu curiga.

Laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan itu menggeleng "Dia bukan jago bayaran. Tapi kabar yang kudengar, dia adalah seorang pendekar yang berpihak pada kebenaran."

"Kalau demikian, tentu dia sudah bertemu Ketua Padepokan Belibis Putih. Sehingga, kemudian menghadang perjalanan rombongan Paman Faksi Jaladara," tebak Sarpakenaka geram bukan main.

Tidak seorang pun yang berani menyimpulkan apa yang dikatakan oleh Ketua Partai Tengkorak Darah dengan gegabah. Liku Jadra yang merupakan ahli ramal saja, hanya mampu menundukkan kepala. Hanya Kakek Praba saja yang dapat bersikap lebih berani.

"Pendapat Ketua kukira memang ada benarnya," ujar kakek tua itu mendukung. "Jika tidak, mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti menghadang orang-orang kita tanpa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya."

Bidadari Tangan Api terdiam lagi. Semakin masuk akal saja apa yang dijelaskan sesepuh Partai Tengkorak Darah itu. Wanita cantik ini memang pantas mengakui kecerdasan laki-laki yang selalu melindungi sejak kecil. Hanya dengan kakek inilah, dia selalu memecahkan persoalan-persoalan yang sangat berat. Tidak heran, jika terhadap Kakek Praba, Sarpakenaka tidak pernah bersikap kasar.

"Rasanya persoalan yang kita hadapi semakin berat, Kek!" tanpa sadar Sarpakenaka mengeluh.

"Dengan jumlah orang-orang tangguh seperti kita yang semakin menipis, alangkah baiknya jika Ketua berkenan mengampuni Banu Keling."

"Hamba sependapat dengan usul Kakang Praba!" ujar Liku Jadra, mendukung.

Ketua Partai Tengkorak Darah tidak langsung menjawab. Kini dia memikirkan sekaligus mempertimbangkan segala apa yang dikatakan kedua tokoh tadi. "Siapa yang dapat menjamin kalau laki-laki pengecut ini tdak melarikan diri saat menghadapi pertempuran?!" Tanya Sarpakenaka.

"Hamba, Ketua!" sahut Liku Jadra menyanggupi. "Jika dia sampai berkhianat, maka aku akan menyihirnya menjadi batu."

"Ak.., aku bersumpah tidak akan mengkhianati Partai Tengkorak Darah hingga titik darah penghabisan!" sergah Banu Keling cepat.

"Bicaramu memang kelihatan dapat dipercaya. Tapi, awas! Jika sewaktu-wakru kau tidak menunjukkan rasa kesetiaanmu, maka jangan harap akan bebas dari hukuman mati"

Banu Keling mengangguk setuju. Ruangan pertemuan terasa sepi. Masing-masing orang kelihatan sibuk dengan pikirannya.

"Aku punya satu permintaan yang harus Paman Liku kerjakan!" kata Sarpakenaka, memecah kesunyian.

"Permintaan apa itu, Ketua. Hamba pasti akan melaksanakannya jika mampu," jawab Liku Jadra, mantap.

"Begini! Aku ingin agar Paman mencari tahu, di mana titik kelemahan iblis bertangan tujuh!" jelas Sarpakenaka.

"Mengenai itu, akan segera hamba laksanakan sekarang juga." Liku Jadra menyanggupi, sambil tersenyum.

"Bagus!" ujar Sarpakenaka.

Tidak lama kemudian Liku Jadra mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat dari dalam sakunya. Benda bulat bagaikan intan itu diletakkannya di atas permadani tidak jauh di depannya. Lalu, Liku Jadra menundukkan kepala. Bibirnya tampak berkemak-kemik membacakan sebuah mantera yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya.

Tidak lama, benda bulat mirip intan itu bergetar hebat. Lalu, terlihat kabut tipis berwama merah menyelimuti. Dan kabut itu semakin menebal. Namun sebagian diantaranya menebar kesegenap penjuru ruangan. Sekejap kemudian, kabut itu menghilang. Kini, Liku Jadra membuka matanya lebar-lebar.

"Lihat!" desis Liku Jadra penuh takjub.

Kakek Praba mendekat dan memandang kearah intan didepan Liku Jadra. Di sana, terlihat sebuah telapak kaki berukuran besar yang mengalirkan darah. Namun Kakek Praba masih belum mengerti artinya.

Sementara, Liku Jadra sendiri kembali memejamkan matanya. Bibirnya berkemak-kemik sebentar, lalu diraihnya intan bulat itu dan dimasukkannya ke tempat semula.

"Apakah arti dari semua yang kulihat tadi, Liku?" Tanya Kakek Praba merasa tidak sabar.

"Cepat jelaskan Paman, Liku...!" Sarpakenaka juga ikut mendesak.

Liku Jadra menarik napas panjang. "Menurut penglihatanku, manusia iblis itu memiliki titik kelemahan yang terletak di bawah telapak kakinya...!"

"Apa!" sentak Sarpakenaka dengan wajah berubah cerah kembali. "Maksudmu, jika kita berhasil melukai telapak kakinya, maka kita pasti dapat melukai bagian tubuh lainnya?"

"Tepat! Hanya dengan cara itulah kita baru dapat membunuhnya Jika tidak jangan harap kita dapat menyentuhnya!"

"Hah... Suatu pekerjaan yang tidak mudah," desah Kakek Praba.

"Memang benar," timpal Liku Jadra. "Tapi hanya itulah satu-satunya cara menghancurkan manusia iblis itu."

"Apa yang dikatakan Paman Liku, benar. Kita hanya memiliki satu cara untuk menghancurkannya. Tapi aku yakin jika kita bersatu padu dalam menghadapinya, pasti dapat berhasil," tegas Bidadari Tangan Api penuh semangat.

"Baiklah. Aku setuju. Kini tinggal menentukan, kapan kita kembali berangkat ke Gunung Panjar!"

"Kita harus mencari waktu terbaik dalam melakukan perjalanan nanti, Praba," desah Liku Jadra sambil berpikir.

"Apakah besok pagi!" kata Sarpakenaka. Ditatapnya Liku Jadra yang masih terus terdiam dengan kening berkerut.

"Bagaimana, Liku?" Entah mengapa, mendadak saja wajah Liku Jadra berubah memucat. Kenyataan ini tentu saja membuat yang lain menjadi heran.

"Ada apa, Paman?"

"Kita tidak perlu berangkat ke Gunung Panjar. karena menusia iblis itu kini sedang bergerak kemari. "

"Apa...!" desis Sarpakenaka. "Siapkan semua orang kita untuk menyambut kedatangannya, Banu Keling!"

Laki-laki bertampang kasar ini tidak perlu bertanya tanya lagi. Segera dia meninggalkan ruangan pertemuan. Sampai di luar istana, Banu Keling melihat puluhan anggota Partai Tengkorak Darah tengah tertegun-tegun merasakan sesuatu yang terasa ganjil. Dan Banu Keling juga merasakan apa yang mungkin dirasakan puluhan anggota Partai Tengkorak Darah yang terus terlongong.

"Hm. Bumi bergetar bagai dilanda gempa. Pastilah ini semua karena ulah manusia iblis itu!" kata Banu Keling dalam hati.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Banu Keling segera mengumpulkan anggota Partai Tengkorak Darah. Baik mereka yang sedang melakukan ronda, maupun yang sedang beristirahat dibarak panjang bagian belakang.

Apa yang dikhawatirkan Banu Keling memang beralasan. Terlebih-lebih, dia sendiri pernah merasakan tanda tanda kehadiran manusia bertangan tujuh yang bernama Satria Pemali.

Malam ini bulan bersinar pucat, dan bersembunyi di balik mega-mega. Angin pun enggan bertiup. Jauh di luar benteng Partai Tengkorak Darah, tampak sesuatu yang sangat besar bergerak cepat di bawah tanah. Gerakan itu kemudian disusul jerit ketakutan penduduk desa sekitarnya yang masih berada di bawah wilayah Partai Tengkorak Darah. Kemudian api pun berkobar di mana-mana. Kesunyian malam segera dikoyakkan oleh teriakan serta pekik kesakitan. Rumah-rumah bertumbangan. Tidak terhitung, berapa banyak yang tersungkur ke dalam lubang yang dilalui Satria Pemali.

***
TUJUH
Sementara itu jeritan penduduk masih terdengar di mana-mana. Sedangkan manusia setengah singa itu telah berhasil memasuki benteng Partai Tengkorak Darah. Kemunculannya yang tiba-tiba di halaman depan Istana Partai Tengkorak Darah, membuat gempar semua anggota yang telah bersiap-siap menyambut kehadirannya.

"Hraaagh... Grauuung...!" Laki-laki bertangan tujuh ini menggeram penuh kemarahan.

"Bunuh dia!" teriak Bidadari Tangan Api yang memang sudah berkumpul di tempat itu bersama Kakek Praba, Liku Jadra, dan Banu Keling.

Seiring teriakan Sarpakenaka, maka seluruh anak buahnya bergerak cepat mengepung Satria Pemali.

"Serbu...!"

Gelombang serangan yang dilakukan anak buah Sarpakenaka seakan sudah tdak terbendung lagi. Mereka mengeroyok manusia setengah singa ini dari segala penjuru. Seketika terdengar suara denting berbagai jenis senjata menghantam tubuh raksasa Satria Pemali.

Namun sebagaimana yang dialami Banu Keling dan kawan-kawannya beberapa waktu yang lalu, maka kali ini pun senjata-senjata itu seakan tidak memiliki arti apa-apa. Bahkan dari pihak anggota Partai Tengkorak Darah sendiri mulai terdengar jeritan-jeritan memilukan. Banyak di antara mereka yang terinjak-injak atau tewas terobek-robek tangan Satria Pemali. Hanya dalam waktu yang singkat, anak buah Sarpakenaka yang berjumlah puluhan orang dibuat tidak berkutik.

Melihat kenyataan ini, Bidadari Tangan Api menjadi sangat marah. Kemudian segera diberinya isyarat pada Banu Keling dan Liku Jadra untuk segera turun tangan.

"Hm... Inikah jago-jago dari Partai Tengkorak Darah yang telah membuat ibuku sengsara!" teriak Satria Pemali marah.

"Manusia iblis!" desis Liku Jadra. "Kali ini kau tidak akan lolos dari kematian. Aku telah tahu di mana letak titil kelemahanmu!"

"Lakukanlah, jika kau benar-benar mampu!" dengus laki-laki bertangan tujuh ini.

Sing!

Pedang pusaka di tangan Banu Keling langsung menderu kebagian kaki Satria Pemali. Sedangkan Liku Jadra segera mencabut tongkat mautnya yang berujung intan berkilau kilau menyilaukan mata.

Secara bersamaan Liku Jadra dan Banu Keling menyerang Satri Pemali. Dan laki-laki raksasa itu mendengus sambil menghindari serangan tongkat di tangan Liku Jadra. Tampaknya, manusia setengah singa agak ciut nyalinya melihat kilauan ujung tongkat di tangan Liku Jadra daripada pedang di tangan Banu Keling.

"Ha ha ha...! Mampuslah kau...!" teriak Liku Jadra sambil terus mengebutkan ujung tongkatnya ke arah dada serta pinggang lawannya.

Sedangkan Banu Keling secara terus-menerus mengarahkan pedangnya ke bagian kaki. Dia berharap, suatu saat Satria Pemali mengangkat kakinya. Sehingga, akan ada kesempatan untuk menusuk bagian yang merupakan pusat kelemahan manusia raksasa ini.

Tapi, nampaknya Satria Pemali juga tahu gelagat. Dia tetap bertahan pada kedudukannya. Sementara, tangannya terus menyambar kearah Banu Keling dan Liku Jadra.

"Keparat! Dia benar-benar mengetahui rencana kita!" desis Sarpakenaka yang berdiri tegak di samping Kakek Praba.

"Tenang, Ketua. Dia tidak mungkin bertahan terus seperti itu," hibur laki-laki tua itu, berusaha menyabarkan Sarpakenaka.

"Hiyaaa...!"

Trang! Trang!

Serangan gencar Banu Keling dan Liku Jadra memang cepat bukan main. Tapi sebagaimana pertama tadi, kali ini pun senjata mereka tidak mampu menembus kekebalan tubuh yang dimiliki Satria Pemali. Malah sebaliknya, laki-laki setengah singa ini balas menyerang dengan tujuh tangannya.

Wusss!

"Ihhh...!" Banu Keling mundur beberapa tindak. Nyaris wajahnya terhantam kuku-kuku tajam yang terkembang itu. Namun serangan yang dilakukan Satria Pemali tidak berhenti sampai di situ. Dia terus mendesak Banu Keling, sambil berusaha membunuhnya secepat mungkin.

"Hait...!" Banu Keling membabatkan pedangnya kearah tangan manusia setengah singa yang terulur. Tapi...

Trang!

Tubuh Banu Keling kontan bergetar. Tangannya terasa sakit bukan main. Pedangnya tidak ubahnya bagai membentur batu karang saja. Pada saat yang sama. Liku Jadra bantu menyerang dengan tongkatnya.

Buk!

"Ugkh...!" Satria Pemali terhuyung-huyung. Pinggangnya yang terhantam senjata tongkat terasa sakit bukan main. Ini merupakan suatu tanda kalau tongkat Liku Jadra jauh lebih berbahaya bila dibandingkan senjata-senjata yang lain.

"Jangan beri kesempatan pada manusia iblis itu untuk berbuat banyak!" teriak Sarpakenaka.

"Hraaa...!" Satria Pemali berteriak keras, lalu melompat ke depan sejauh tiga tombak. Dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram leher Liku Jadra yang baru saja berbalik setelah menghantamkan tongkatnya. Kemudian, laki-laki bertangan tujuh itu memutar kepala Liku Jadra.

Krak!

"Aaakh...!" Liku Jadra menjerit setinggi langit. Tubuhnya langsung terkapar, tanpa mampu bangkit lagi. Melihat kenyataan ini, Banu Keling dengan segenap kemarahannya melesat kearah Satria Pemali sambil menusukkan pedangnya.

Crak!

Sebagaimana tadi, Satria Pemali sedikit pun tidak bergeming. Malah tiga tangannya dikibaskan kearah belakang.

Brak!

Kibasan tangan itu kontan menghantam remuk dada Banu Keling. Laki-laki bertampang kasar ini langsung jatuh terpelanting sejauh tiga tombak. Dia berusaha bangkit berdiri, namun dari mulut dan hidungnya menyembur darah segar.

"Keparat!" desis Sarpakenaka dan Kakek Praba.

Kedua orang itu kemudian langsung melompat kedepan. Sarpakenaka mencabut kipas berwama merah darah. Sebuah senjata maut yang menjadi andalannya. Sedangkan Kakek Praba melintangkan tongkatnya didepan dada.

Sedangkan Satria Pemali kini memperhatikan kedua orang ini silih berganti. "Kaukah yang menjadi Ketua Partai Tengkorak Darah?" desis manusia setengah singa ini.

"Tidak salah...! Akulah orangnya!" sahut Sarpakenaka penuh kebencian.

"Sayang! Manusia secantik kau, tapi memiliki hati sangat kejam! Kelompok kalian telah membuat susah kedua orang tuaku. Sekarang, kalian akan merasakan pembalasan setimpal!"

"Huh! Bangsat! Sejak dulu kau memang diramalkan hanya akan membuat malapetaka saja. Itulah sebabnya, kau pantas disebut iblis!" sentak Bidadari Tangan Api geram bukan main.

"Sebenarnya, kalianlah yang menjadi pangkal dari semua persoalan ini. Mengapa sekarang berusaha memungkirinya?" balas Satria Pemali.

Apa yang dikatakan Satria Pemali ini tentu saja membuat wajah Sarpakenaka benjbah merah padam. Kemudian tanpa bicara lagi, segera diberinya isyarat pada Kakek Praba.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Secara bersamaan, kedua orang itu menerjang Satria Pemali dengan jurus-jurus 'Tengkorak Darah' yang menjadi andalan. Sebaliknya, Satria Pemali pun tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya jurus 'Seribu Tangan Garti', yang selama ini tidak pernah dipergunakannya, jika tidak menghadapi lawan tangguh.

Seketika itu juga, tujuh tangan Satria Pemali bergerak cepat membendung sebap serangan lawan-lawannya yang seakan tidak ada habis-habisnya. Anehnya, dimata kedua lawan tangan Satria Pemali seakan berubah menjadi ribuan. Ini merupakan pertarungan yang dahsyat yang pernah dialami Satria Pemali.

"Hih...!" Sarpakenaka mengibaskan kipasnya ke bagian-bagian yang sangat mematikan. Dilain saat kipasnya diputar dengan gerakan lincah dan mengandung tenaga dalam tinggi.

"Huuup...!" Sarpakenaka melompat sambil menghantamkan kipasnya ke bagian bahu Satria Pemali.

Prak!

"Uakh...!" Ujung kipas pusaka di tangan Sarpakenaka kontan retak menjadi beberapa bagian. Perempuan itu sendiri bahkan sampai terhuyung mundur.

Tapi, Satria Pemali tampaknya juga menderita luka pada bagian bahunya. Manusia setengah singa ini terhuyung huyung. Darah mengucur deras membasahi tubuhnya yang telanjang.

"Dia sudah terluka, Kek! Mari kita cincang manusia iblis ini!" teriak Sarpakenaka penuh kemenangan.

Satria Pemali kini meraung setinggi langit. Kedua tangannya dilintangkan ke depan dada. Sementara tangan yang lain bergerak cepat melakukan serangan-serangan gencar. Tanpa disadari, dia mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Lalu sambil memutar tubuhnya, dilepasnya pukulan jarak jauh.

Seketika itu juga, selarik sinar berwama merah melesat ke arah Sarpakenaka. Namun perempuan ini dengan gerakan lincah luar biasa, segera menghindari pukulan jarak jauh yang menimbulkan suara menggemuruh. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan laki-laki bertangan tujuh itu gagal mencapai sasarannya. Sinar merah yang terus melesat itu menghantam singgasana, yang merupakan lambang kebesaran Partai Tengkorak Darah. Api pun berkobar dimana-mana.

Sementara Kakek Praba yang sempat melihat kelalaian Satria Pemali, segera menyusup dan menusukkan ujung tongkatnya kebagian telapak kaki manusia setengah singa ini. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....

Crasss!

"Aaakh....!" Terdengar jeritan Satria Pemali. Laki-laki bertangan tujuh itu kontan ambruk di tanah. Ujung tongkat milik Kakek Praba menembus telapak kakinya.

Melihat kenyatan ini, walaupun semula sangat marah melihat singgasananya terbakar terhantam pukulan Satria Pemali, namun Sarpakenaka malah tertawa menggelegar.

"Hi hi hi...! Akhirnya kau takluk juga dibawah tokoh-tokoh Partai Tengkorak Darah, Manusia Iblis!" desis Sarpakenaka penuh kemenangan.

Tampaknya, Satria Pemali sudah tidak dapat mendengar apa yang dikatakan lawannya. Rasa sakit di bawah telapak kakinya, membuat tubuhnya langsung berguling-gulingan, menabrak apa saja yang terdapat disekelilingnya. Sehingga, halaman bangunan yang terbakar menjadi porak poranda.

"Kita harus membunuhnya secepat mungkin, Ketua!" kata Kakek Praba yang telah berdiri di samping Sarpa-kenaka.

"Benar!" sahut perempuan itu sambil memandangi Satria Pemali yang terus berguling-guling.

Kemudian sambil menggeram dahsyat, Sarpakenaka merangkapkan kedua tangannya di atas kepala. Segera tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian telapak tangan yang menyatu. Tidak lama kemudian, asap tipis menyelimuti tangan yang tampak bergetar. Lalu perubahan pun terjadi. Telapak tangan yang saling menyatu, berubah warnanya menjadi merah laksana bara. Tidak dapat disangkal lagi, itulah pukulan 'Bidadari Tangan Api', salah satu pukulan dahsyat yang menjadi andalan Sarpakenaka.

Melihat apa yang dilakukan lawannya, Satria Pemali tentu saja menjadi sangat kaget. Sambil tertatih-tatih, dia bangkit berdiri.

Bersamaan dengan itu, Sarpakenaka telah melepaskan pukulan mautnya. Maka selarik sinar laksana bara melesat ke arah Satria Pemali. Agaknya, sampai di sinilah akhir hidup laki-laki bertangan tujuh. Tapi...

"Heh?!" Mendadak saja, dari arah yang berlawanan meluruk sinar merah juga namun lebih hebat kecepatannya dibandingkan pukulan Sarpakenaka. Sehingga....

Glar! Glar!

Dia kali rasa terkejutnya, Sarpakenaka kontan memekik. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung. Sedangkan pukulan yang dilepaskannya buyar dan gagal mencapai sasaran. Perempuan itu cepat melakukan putaran, sebelum mendarat manis di tanah. Dan begitu memandang ke arah Satria Pemali, tahu-tahu di situ berdiri seorang pemuda berompi putih.

"Aku, Rangga. Sengaja aku datang membantumu, atas perintah Ketua Padepokan Kencana Ungu! Sekarang, menepilah! Aku akan menghadapi orang-orang Partai Tengkorak Darah ini!" bisik Rangga.

Satria Pemali yang memang dalam keadaan terluka hanya mampu menuruti perintah Rangga. Segera dia menyingkir dari tempat pertempuran.

"Heit! Mau kemana kau, Manusia Iblis!" teriak Sarpakenaka bermaksud mencegah.

"Sekarang aku yang mewakilinya, Nisanak," desis Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghadang.

"Heh...!" Perempuan itu terkejut bukan main saat merasakan adanya satu dorongan yang sangat kuat. Dia tertegun ditempatnya, sambil memandangi pemuda tampan yang berdiri tegak didepannya.

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...?" Tanya Sarpakenaka sambil memperhatikan Rangga.

"Begitulah orang memanggilku," sahut Rangga, kalem.

"Sayang, kau berada di pihak yang salah."

"Aku telah mengetahui segala-galanya. Satria Pemali tidak bersalah. Dan sesungguhnya, orang orang Partai Tengkorak Darah lah yang menjadi penyebab semua persoalan ini," sahut Rangga, enteng.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang kami hadapi ini, Kisanak. Lebih baik tak usah ikut campur!" potong Kakek Praba, tidak sabar.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum mencibir. "Mustahil aku tidak tahu persoalan dua puluh tahun yang lalu. Di kala seorang anak terlahir tidak sebagaimana kodratnya, lalu kalian memfitnahnya sebagai penyebab malapetaka kelak dikemudian hari! Bukankah kalian yang mempunyai peranan sangat penting, sehingga orang-orang persilatan membenci Padepokan Kencana Ungu dan Padepokan Belibis Putih?!"

"Ketua! Mulut bocah ini sungguh sangat berbisa!" desis Kakek Praba. Begitu habis kata-katanya, Kakek Praba mengayunkan tongkatnya kebagian dada Rangga.

"Uts...!" Meskipun serangan itu tdak terduga sama sekali, namun dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti dapat mengelakkannya. Bahkan tanpa banyak basa-basi lagi, segera dikerahkannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Maka sekejap saja tubuhnya sudah bergerak lincah meliuk-liuk.

Kakek Praba hanya tertegun. Dia sempat bingung atas gerakan yang dilakukan pemuda itu. Pada saat tongkat di tangan laki-laki itu menderu, Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya satu langkah, maka serangan Kakek Praba luput dan menghantam sasaran kosong.

Belum sempat Kakek Praba menyerang kembali, Pendekar Rajawali Sakti sudah melenting ke atas. Dan jurusnya dirubah menjadi 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'. Tubuhnya langsung meluruk melepaskan tendangan ke arah kepala Kakek Praba.

Bukan main terkejutnya kakek itu, melihat perubahan jurus lawannya. Bahkan ketika dengan cepatnya kaki Pendekar Rajawali Sakti menuju kearahnya, dia tak bisa berbuat apa-apa. Dan...

Prak!

"Aaakh...!" Laki-laki berambut putih ini kontan berteriak kesakitan. Tubuhnya jatuh terguling-guling dengan kepala pecah mengeluarkan darah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi Mati!

"Kurang ajar! Kau harus mampus ditanganku!" teriak Sarpakenaka melihat kematian Kakek Praba. Dengan kipas terkembang, Bidadari Tangan Api menghantam dada Rangga. Namun pemuda ini cepat menghindar sambil melompat mundur sejauh dua tombak. Anehnya, pada saat Rangga menjejakkan kakinya, Sarpakenaka telah berada di depannya.

Wusss!

Mendadak Rangga melihat sinar merah dari tangan wanita ini berkelebat Maka tangannya cepat dikibaskan, menyambut serangan.

Glarrr...!

"Ugkh...!" Rangga terhuyung-huyung setelah memapak pukulan jarak dekat Bidadari Tangan Api. Bahkan tangannya terasa nyeri bukan main. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menguasai keadaan, serangan kipas ditangan Sarpakenaka terus mengejarnya. Maka dengan cepat Rangga mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali' Seketika itu juga, tubuhnya berputaran mengelilingi lawannya. Dalam pandangan Sarpakenaka, tubuh pemuda itu seakan menjadi banyak. Sehingga, menyulitkan diri untuk menentukan sasaran yang sebenamya.

Belum sempat Bidadari Tangan Api menduga ilmu apa yang dikeluarkan lawannya, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat ke arahnya dengan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa!"

Buk!

Tanpa ampun lagi, tubuh Ketua Partai Tengkorak Darah ini jatuh terpelanting. Dari mulutnya menyembur darah kental, begitu dadanya terhantam tangan Rangga. Tampak jelas kalau perempuan itu menderita luka dalam yang tidak ringan. Sarpakenaka cepat bangkit, kemudian duduk bersila. Matanya terpejam rapat.

Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau lawan sedang mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalamnya. Sebagai seorang ksatria, Pendekar Rajawali Sakti tak mau menyerang lawan yang belum siap. Maka ditunggunya Bidadari Tangan Api sambil bersiap-siap mengeluarkan jurus baru.

"Hup...!" Kini Sarpakenaka bangkit berdiri. Matanya yang berubah kemerah-merahan memandang penuh rasa kebencian pada Rangga.

"Kau telah membunuh orang-orangku. Maka tidak ada jalan terbaik bagimu, kecuali ke neraka!" dengus perempuan itu.

Tidak lama kemudian Bidadari Tangan Api melemparkan kipas mautnya kearah Rangga. Tanpa diduga-duga, kipas itu dapat berputar-putar menyambar ke arah bagian leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pemuda ini dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tanggi, cepat melompat keudara. Dan masih dalam gerakan diudara pedangnya dicabut.

Sring!

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengeluarkan sinar biru berkilau itu langsung diputarnya membentuk perisai diri. Sementara, Rangga telah mendaratkan kedua kakinya dengan gerakan mengagumkan.

Sing! Sing! Brak!

"Heh?!" Rangga berhasil menghancurkan kipas yang dapat melayang dengan sendirinya. Sarpakenaka tampak sempat terkejut. Tapi dengan cepat kedua tangannya segera dirangkapkan di atas kepala, setelah seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Dan kini kedua belah tangannya telah berubah merah laksana bara.

"Hup! Hiyaaa...!" Perempuan itu melompat kedepan sambil menghentakkan kedua tangannya kearah Rangga. Seketika terdengar suara angin menderu-deru menyertai melesatnya sinar merah laksana bara dari telapak tangan perempuan itu.

Melihat gelagat yang dapat mengancam keselamatan jiwanya, Rangga segera memutar pedang ditangannya. Sementara itu pukulan jarak jauh yang dilepaskan Sarpakenaka terus meluncur, dan menghantam perisai-perisai yang dibuat pemuda berompi putih ini dari pedangnya.

Glarrr! Glarrr!

Terdengar dua kali ledakan dahsyat berturut turut. Bumi terasa bagai dilanda gempa. Sementara Rangga jatuh berguling-guling dengan pedang masih tergenggam ditangan. Sedangkan Sarpakenaka jatuh terpelanting. Darah tampak semakin banyak meleleh dan bibirnya yang merah merekah. Ini merupakan suatu tanda kalau luka dalam yang diderita perempuan itu semakin bertambah parah. Namun, bukan main hebat daya tahan tubuhnya. Karena tidak lama setelah itu, dia sudah bangkit berdiri.

Untuk yang kesekian kalinya, Bidadari Tangan Api merangkapkan kedua belah tangannya kembali. Kali ini, tubuhnya bergetar hebat. Tampaknya dia memang sengaja mengadu jiwa dengan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau benar-benar ingin mencari mati, Perempuan Iblis...!" desis Rangga. Segera Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedangnya didepan dada. Sementara itu, Ketua Partai Tengkorak Darah hanya menyeringai dalam kebencian yang mendalam.

"Shaaa...!" Bersama teriakannya, Sarpakenaka melesat kedepan. Tangannya yang terkembang membentuk cakar, terarah pada dada dan leher Rangga.

Pemuda berompi pubh ini sempat terkesiap, namun segera menyadari apa yang akan dilakukan lawannya. Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke udara. Maka serangan mematikan yang dilakukan Sarpakenaka luput.

Dan dengan gerakan cepat, tubuh wanita itu berbalik lalu melesat keudara pula. Rangga merasa keadaannya benar-benar dalam keadaan tidak menguntungkan. Tapi, dia masih mempunyai kesempatan berbalik, sekaligus membabatkan pedangnya ke dada.

Sarpakenaka tentu saja tidak sempat memperhitungkan semua ini. Hawa amarah telah menguasai diri, sehingga sudah tidak dapat mengendalikan jurus silatnya dengan baik. Dan dia hanya terperangah melihat berkelebatnya sinar biru kearah dadanya. Dan...

Crakkk!

"Aaakh...!" Darah kontan menyembur dari luka memanjang didada Sarpakenaka. Tubuhnya jatuh ke bumi dengan mata melotot, seakan tidak percaya dengan apa yang dialami. Kemudian wanita itu mendekap luka di dada yang terus mengucurkan darah, sambil menggelepar-gelepar. Tidak lama, tubuhnya terdiam. Mati!

Rangga menarik napas panjang. Kemudian dimasukkannya senjata pusaka itu kedalam warangka. Kepalanya kemudian menoleh kearah Satria Pemali. Namun, laki-laki raksasa bertangan tujuh itu tidak terlihat lagi. Dengan penasaran, di dekatinya tempat yang diduduki manusia setengah singa tersebut. Dan Rangga kemudian tertegun, pada saat samar-samar mendengar suara dari kejauhan sana.

"Aku tidak dapat menunggumu, Pendekar Perkasa. Aku begitu rindu ingin bertemu orang tuaku. Terima kasih atas pertolonganmu...!" suara yang dikeluarkan dari jarak jauh itu kemudian melenyap bersama hembusan angin malam.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rangga segera bergegas menghampiri Dewa Bayu Lalu dia cepat melompat dan menggebah kudanya mengejar Satria Pemali.

***
DELAPAN
Tidak sebagaimana biasanya, halaman Padepokan Kencana Ungu malam terasa sunyi mencekam. Tidak seorang murid pun yang terlihat di Sana. Sejak sore tadi, Lirenda telah memerintahkan murid-muridnya untuk mengosongkan sementara tempat ini. Walaupun mereka memang benar-benar tidak tahu, apa tujuan ketua mereka.

Halaman rumah yang cukup luas itu diterangi beberapa buah pelita yang terpasang di setiap sudut Langit gelap, diwarnai mega. Bintang-bintang bahkan tidak terlihat sama sekali.

Sementara itu di halaman yang luas ini terlihat seorang laki-laki yang entah sejak kapan datangnya, telah berdiri tegak Pakaiannya serba putih. Matanya memandang kearah pintu depan. Kemudian pintu itu segera terbuka setelah laki-laki berpakaian serba pubh ini bersiul sebanyak tiga kali.

Dari pintu yang terbuka, muncul seorang laki-laki berusia lebih muda berpakaian serba ungu. Laki-laki ini selalu menundukkan kepala. Wajahnya tampak muram, seakan ada sesuatu yang sedang membebani pikiran. Dia terus menuruni tangga, lalu melangkah gontai ke arah tengah tengah halaman.

Kini laki-laki berpakaian serba pubh dan laki-laki berpakaian serba ungu itu saling berhadapan. Wajah yang sama-sama tertunduk kemudian saling tegak. Sorot mata mereka begitu dingin. Laki-laki berpakaian ungu itu menjura hormat pada orang yang berdiri didepannya.

"Mengapa Kakang tentukan pilihan seperti ini?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir laki-laki berpakaian serba ungu. Sedangkan laki-laki berpakaian serba putih yang tidak lain Ketua Padepokan Belibis Putih ini mendengus tidak senang.

"Dua puluh tahun aku berusaha menyembuhkan luka hati yang pernah kau cabik-cabik, Lirenda. Sekian lama, luka yang kuderita tidak pernah kunjung sembuh," kata laki-laki bemama Gatama dengan suara tertahan.

"Dua puluh tahun pula aku berusaha menebus dosa, Kakang! Apakah kau tidak pernah mau memberi maaf padaku?" ujar Lirenda penuh penyesalan.

"Kata maaf tidak pernah mengembalikan orang yang sudah mati, Lirenda. Dan kata maaf tidak pernah mengembalikan kutuk yang pernah berlaku pada keturunanmu yang tidak sah!" dengus Gatama, dengan wajah berubah mengelam.

"Aku dan Mustika saat itu benar-benar khilaf, Kakang. Semestinya, hal yang sangat dikutuk dewata tidak akan pernah terjadi kalau saja...!"

"Ternyata kau dan Mustika menjalin cinta, walaupun tahu kalau Mustika merupakan istriku yang sah, bukan?" potong Gatama sambil tersenyum tipis "Kau tidak tahu kalau antara aku dan Mustika pernah mengangkat sumpah. Bahwa jika ada salah satu diantara kami serong, maka keturunanlah yang akan menjadi korbannya! Pedang Singa Murka di tanganku ini yang menjadi saksinya, Lirenda. Tahukah kau bahwa anak yang terlahir dari rahim Mustika kemudian berwujud setengah singa dan setengah manusia?!"

"Maafkanlah aku, Kakang," desah Lirenda sambil menggenggam erat pedang pusakanya.

Wajah Gatama tiba-tiba saja berubah meredup. Tubuhnya bergetar hebat. Ini merupakan suatu tanda kalau sedang berusaha meredam kemurkaan yang berkobar didalam sanubarinya. "Sebagai saudara, aku telah sangat lama memaafkan kau, Adikku! Tapi kau dan aku sudah termakan sumpah. Bahwa, malam ini kita harus mengadu jiwa agar sikap ksatria tidak memudar di mata dewata yang agung. Bersiap-siaplah, Lirenda!" desis Gatama memperingatkan.

"Kakang! Tidak bisakah...!"

"Jangan banyak bicara. Marilah kita bertarung secara ksatria, Lirenda. Hiyaaa...!"

Tidak disangka-sangka laki-laki berpakaian serba putih itu langsung menerjang kearah adiknya. Segera dibukanya jurus 'Belibis Putih Mengembangkan Sayap'. Lirenda sadar betul, betapa hebatnya jurus yang dimainkan saudaranya. Sehingga dari sini saja dia sudah dapat mengetahui kalau Gatama bermaksud membunuhnya. Maka tidak ada pilihan lain lagi, kecuali dia melompat mundur. Dan langsung digelarnya jurus 'Rusa Beranjangan Menyongsong Badai'.

"Hiyaaa!"

"Uhhh...!" Tidak kalah dahsyatnya Lirenda memapak setiap serangan yang datang. Sesekali dilepaskannya tendangan-tendangan yang menakjubkan. Tapi dilain saat tubuhnya bergerak menghindari serangan-serangan balasan yang dilakukan Gatama. Tidak dapat disangkal lagi, pertempuran dua bersaudara ini semakin lama semakin bertambah seru.

Tanpa disadari, sejak tadi ada sepasang mata terus mengawasi pertarungan. Tidak jarang mata yang memerah laksana bara ini mengerja-ngerjap. Menangis! Tapi air mata yang mengalir menuruni kedua belah pipinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, tidak sebanding dengan penderitaan hati yang sedang dirasakannya. Segala apa yang dikatakan kedua tokoh padepokan itu terasa mencabik-cabik sanubarinya.

Sama sekali sosok yang menyaksikan pertarungan tidak menyangka, kalau keadaannya yang tidak wajar itu karena termakan sumpah ayahnya. Ini benar-benar diluar dugaan! Seorang anak yang tidak wajar terlahir karena akibat hubungan gelap antara ibu dan pamannya.

"Sungguh aku merupakan manusia yang tidak berguna," jerit sosok manusia setengah singa yang tak lain Satria Pemali dalam hati. "Tidak dapat kusangkal, mengapa orang-orang Partai Tengkorak Darah selalu memusuhiku. Dan tidak kusangkal pula, mengapa aku disebut 'iblis', karena kelahiranku pun atas dasar perbuatan iblis. Hhh.... Aku benar-benar manusia tidak berguna! Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus membunuh mereka? Rasanya sangat tidak mungkin. Aku tidak mau menanggung dosa-dosa mereka dikemudian hari. Sebaiknya, aku akan lihat kelanjutan pertempuran mereka."

Sementara itu pertempuran yang terjadi antara Gatama melawan Lirenda semakin bertambah seru. Keduanya sama sama mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Bahkan Lirenda sendiri sekarang telah mengerahkan jurus yang paling hebat.

"Hiyaaa...!"

"Manjangan Kencana Menggila'...!" teriak Lirenda. Tubuh laki-laki itu kemudian berputar-putar dan bergetar hebat. Sementara kedua tangan terangkap di depan dada. Kedua tangannya kini telah berubah berwarna kuning keemasan. Udara di sekitar pertempuran bahkan berubah dingin membekukan.

Melihat apa yang dilakukan Lirenda, Gatama pun tidak tinggal diam. Segera kedua tangannya dihentakkan di atas tanah. Dan tiba-tiba, dia menggerung dahsyat. Gatama kemudian mengangkat sebelah kakinya tinggi-tinggi. Lalu, kedua tangannya yang telah berubah memutih laksana kapas, dihentakkan ke depan begitu pukulan maut yang dilepaskan Lirenda datang.

Selarik sinar kuning keemasan dan sinar putih menyilaukan kini melesat dari tangan masing masing pihak. Terdengar suara angin menggemuruh menyertai melesatnya kedua sinar itu. Maka benturan yang membahana pun tidak dapat dihindari lagi.

Glarrr! Glarrr!

Tampak dua sosok tubuh itu sama sama terhempas. Debu dan pasir saling beterbangan. Baik Gatama dan Lirenda, segera bangkit berdiri walau pun tertatih-tatih. Dari mulut masing masing tampak menyembur darah segar.

"Lebih baik kita hentikan pertarungan ini, Kakang!" ujar Lirenda memperingatkan. Disekanya darah yang meleleh membasahi bajunya.

Tapi, Gatama menggelengkan kepala keras-keras. "Kalau kita ingin mati mulia dan secara ksatria pula, maka cara satu-satunya hanya dengan jalan ini! Aku pernah bersumpah untuk seorang anak yang tidak berdosa. Dan sekarang, aku tidak akan mengingkari sumpah yang pernah kuucapkan didepan almarhum istriku!" desis Gatama, tetap bersiteguh pada pendiriannya. "Mari kita lanjutkan! Hiyaaa...!" Sambil berteriak nyaring, Gatama melepaskan pukulan mautnya.

"Hap!" Tidak mau kalah, Lirenda juga melepaskan pukulan mautnya. Sinar kuning seketika melesat dari telapak tangannya, terus menderu dan saling bersambutan dengan pukulan Gatama.

Untuk yang kedua kalinya, terjadi ledakan menggelegar. Tanah di sekitar pertempuran pun bergetar hebat. Namun sebelum pukulan jarak jauh itu saling bertemu, baik Gatama maupun Lirenda sudah melesat keudara. Sehingga, akibat benturan kedua tenaga dalam tadi hanya membuat sesak dada mereka.

Lirenda menyeringai kecut. Sedangkan Gatama hanya tersenyum tipis. Tampak jelas, sebenarnya keduanya sama-sama menderita luka dalam yang tidak ringan. Dan Gatama untuk yang kesekian kalinya, mulai bersiap-siap membangun serangan kembali. Dengan kaki agak ditekuk ke depan dan tangan melintang di depan dada, laki-laki ini mulai melakukan gerakan-gerakan sangat aneh.

Sadarlah Lirenda kalau saat itu saudaranya ini telah bersiap-siap mengerahkan jurus Tarian Belibis Putih'. Tanpa sadar, Lirenda melompat mundur sejauh tiga langkah. Sesaat setelah itu, dia mulai merubah gerakan-gerakan silatnya.

"Hap! Hiaaat!"

Keduanya tiba-tiba saja melesat ke depan. Tidak lama, mereka sudah terlibat saling serang dengan hebatnya. Tubuh mereka terus berkelebat, semakin lama semakin cepat. Sehingga yang terlihat hanya tinggal bayang-bayang saja.

"Ukh!"

Terdengar pekik keras. Kedua-duanya tampak terhuyung-huyung. Wajah Lirenda bembah pucat. Demikian juga Gatama. Rupanya satu sama lain berhasil menyarangkan pukulan.

Lirenda bemsaha mengatur jalan napasnya yang tersengal-sengal. Dan matanya memandang perih pada saudara kandungnya. Bukan karena takut, tapi karena berpikir jauh. Masalahnya, jika pertempuran itu diteruskan, salah seorang diantara mereka pasti ada yang tewas!

"Kakang! Kumohon hentikanlah pertarungan ini!" pinta Lirenda dengan suara sangat memelas.

"Daripada hidup menanggung malu lebih baik mati berkalang tanah!" dengus Gatama.

Di luar dugaan, tiba-tiba saja Gatama mencabut pedang andalannya yang sejak tadi terus tersimpan dalam warangka di tangan kiri. Maka seketika itu juga memancar sinar putih kemilau menyilaukan.

Lirenda terkejut bukan main. Biasanya, Pusaka Singa Murka bila telah dicabut dan warangka tidak akan kembali kedalam warangka sebelum mengisap darah.

"Kakang...!" pekik Lirenda. "Jangan main-main dengan senjata itu, Kakang...!"

Wajah Gatama yang mengelam, menyeringai sinis. "Tidak lihatkah kau apa yang kulakukan ini? Aku sadar betul bila senjata di tanganku sudah kucabut, maka itulah keputusan yang harus dipenuhi, Lirenda! Sekarang, tunggu apa lagi? Cabutlah Pedang Branjangan yang kau pegang itu?" Perintah Gatama tidak main-main.

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Lirenda. Maka pedangnya segera dicabut. Senjata itu kemudian diputar laksana baling-baling. Dan dalam waktu singkat, mereka sudah saling serang kembali.

Sementara itu dari kejauhan sana, terdengar derap langkah kuda, yang semakin lama semakin dekat. Tidak begitu lama, terlihatlah seorang penunggang kuda berpakaian rompi wama puth. Kuda itu berhenti tidak jauh dari depan halaman Padepokan Kencana Ungu. Dan pemuda penunggang kuda itu tampak tersentak kaget, begitu melihat orang-orang yang dikenalnya telah terlibat pertempuran sengit.

Dengan cepat, pemuda berompi putih itu melompat dari punggung kudanya dengan maksud melerai. Namun tiba-tiba, dari kegelapan Satria Pemali muncul dan langsung menghadangnya.

"Kau!" desis pemuda yang tak lain Rangga merasa heran bercampur kaget.

"Ya! Kuucapkan terimakasih atas pertolonganmu, Kisanak!"

"Ah! Sudahlah. Lupakan itu. Sekarang, aku akan melerai mereka!" tegas Rangga.

Satria Pemali langsung menggelengkan kepala. "Biarlah mereka bertarung sampai salah satu ada yang binasa, Kisanak!"

Pendekar Rajawali Sakti tentu saja sangat terkejut, mendengar ucapan Satria Pemali. "Heh?! Ada apa dengan kau ini? Bukankah kau sendiri ingin bertemu mereka? Lantas, mengapa sekarang malah kau biarkan mereka bertarung mati-matian? Tanya Rangga merasa bdak mengerti sama sekali

"Mereka bertarung karena terikat sumpah dua puluh tahun yang lalu. Dalam arti, mereka sama sama ingin mengembalikan harga diri!" tandas laki-laki bertangan tujuh itu dengan perasaan sedih.

"Maksudmu?!"

Satria Pemali menarik napas panjang. "Aku merasa malu untuk mengatakannya. Terkecuali, kau berjanji untuk tidak mencampuri persoalan yang sangat pribadi ini!"

Rangga terdiam. Sedikit banyak, Pendekar Rajawali Sakti mulai mengerti apa yang dimaksudkan manusia setengah singa ini. Tapi untuk tidak mencampuri pertumpahan darah yang terjadi di depan matanya, rasanya sangat sulit sekali. Rangga mengenal baik kedua tokoh yang sedang terlibat pertempuran itu. Ataukah mereka merahasiakan sesuatu terhadap Rangga?

"Baiklah. Keteranganmu sangat tergantung pada penting tidaknya aku mencegah mereka," desah Rangga.

"Tahukah kau, Kisanak? Bahwa, sebenarnya aku merupakan orang yang tidak pantas lahir di dunia ini?" Tanya Satria Pemali.

"Apa...?" Rangga tersentak kaget dan memandang heran pada Satria Pemali. "Maksudmu...?"

"Lihatlah orang-orang yang sedang bertempur itu! Mereka melakukan semua itu, karena aku. Aku terlahir didunia ini, karena hasil hubungan gelap antara ibuku dan laki-laki yang pantas kupanggil paman. Ketika ibu mengandung, ayahku yang bernama Gatama itu mengutuk. Jika bayi didalam kandungannya bukan titisannya, maka aku akan terlahir seperti sekarang ini," jelas Satria Pemali dengan mata berkaca-kaca.

"Oh! Aku ikut prihatin atas apa yang terjadi dengan nasibmu. Tapi haruskah kita membiarkan mereka saling bunuh sesama saudaranya sendiri...?" Tanya Rangga, merasa serba salah.

"Itu yang mereka kehendaki, Rangga! Mereka melakukan semua itu hanyalah karena sumpah yang sudah telanjur Tidak seorang pun yang boleh menggagalkan sumpah yang telah diikrarkan!"

"Bagaimana kau tahu?"

"Sejak tadi aku berada disini, dan mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan jelas."

"Oh...!" Rangga mengeluh. Dalam hati Pendekar Rajawali Sakti semakin merasa prihatin melihat nasib yang dialami manusia setengah singa ini.

"Ada baiknya, kalau aku menjelaskan semua ini pada mereka! Itulah yang kurasakan pada saat aku pertama sampai disini tadi, Rangga. Tapi kurasa hal itu hanya sia-sia saja."

"Tidak! Tidak ada yang sia-sia...!" desis Rangga.

"Tunggulah kau di sini, Sobat. Aku akan melerai mereka!" Tanpa menunggu jawaban laki-laki bertangan tujuh itu, Pendekar Rajawali Sakti segera melesat ke tengah-tengah pertempuran.

Pada saat yang sama, Gatama maupun Lirenda sama-sama membabatkan pedang mereka kearah lawannya. Dan tiba-tiba dari arah lain, berkelebat sinar biru terang benderang memotong ditengah jalan.

Tring! Trang!

Lirenda terdorong mundur sejauh tiga tombak. Sedangkan Gatama juga sempat terhuyung-huyung. Melihat kemunculan Rangga dengan pedang di tangan, sadarlah kedua tokoh itu. Kalau Pendekar Rajawali Sakti telah menggagalkan tusukan pedang mereka.

"Rangga!" desis Gatama sambil menyeringai menahan sakit.

Memang patut diakui, betapa sangat menyedihkan keadaan kedua orang ini. Tubuh mereka dipenuhi luka-luka yang sangat mengerikan. Sementara, darah membasahi pakaian yang sudah tidak tentu wujudnya.

"Bertarung dengan saudara sendiri demi memenuhi sumpah yang tidak ada gunanya, hanyalah pekerjaan sia-sia. Lebih baik, Paman berdua tidak usah meneruskannya!"

"Aku juga telah mengajukan permintaan yang sama, Rangga. Tapi kakangku ini tidak mau mengindahkannya," ujar Lirenda yang juga menderita luka-luka yang sangat parah.

"Satria sejati adalah yang suka menepati janji, Rangga. Sumpah yang telah terucap harus dilaksanakan. Terlebih-lebih, menyangkut seorang anak yang harus memikul dosa-dosa orang tuanya!" dengus Gatama tidak senang.

"Apakah kalian tidak dapat membiarkan kejadian yang telah berlalu itu, Paman?"

"Mana, bisa! Wujud anak korban sumpah itu juga tidak akan pernah berubah. Aku sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi sumpah ksatria, tidak dapat menjilat ludah yang telah kubuang di tanah!"

"Tapi, Satria Pemali berpesan padaku agar kalian saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang pernah terjadi belasan tahun yang lalu!" jelas Rangga.

Baik Gatama maupun Lirenda sama-sama terdiam. Mereka kini saling berpandangan.

"Benarkah apa yang kau katakan itu, Rangga?" Tanya Lirenda dengan mata berkaca-kaca.

"Aku tidak berbohong. Sekarang, sudilah kalian saling bermaaf-maafan...!"

"Baiklah kalau itu yang diinginkannya!" kata Lirenda. Segera dia mendekati Gatama. Sehingga sesaat kemudian kedua laki-laki yang sudah tertuka parah itu saling berhadap-hadapan. Tapi di luar dugaan Rangga, laksana kilat mereka saling melempar senjata masing-masing kearah lawannya. Hingga menembus ke tubuh satu sama lain.

"Paman!" desis Rangga terkejut bukan main. Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengejar kearah mereka. Pada saat itu, baik Lirenda maupun Gatama sudah jatuh terhempas dengan dada tertembus mata pedang.

"Ah! Mereka benar-benar manusia ksatria, bukan!" desis Satria Pemali yang juga sudah menghampiri mayat kedua tokoh bersaudara ini.

"Tidak kusangka akan berakhir seperti ini...!" desah Rangga, pelan.

"Mereka lebih baik mati daripada malu menemuiku!" timpal Satria Pemali dengan mata berkaca-kaca.

"Marilah kita kuburkan mereka," ajak Rangga.

Malam pun semakin bertambah larut Dan sunyi semakin bertambah mencekam, mengiringi usaha Rangga dan Satria Pemali dalam menguburkan dua saudara itu.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar