Pendekar Rajawali Sakti eps 146 : Bunuh Pendekar Rajawali Sakti

SATU
SUATU pagi Desa Tandes, para penduduk maupun pendatang kelihatan hilir-mudik. Hari ini di setiap sudut desa ini kelihatan ramai. Seperti biasa, saat akhir pekan sekarang ini, digunakan para pedagang untuk berjual beli. Tidak hanya dilakukan oleh penduduk desa ini saja, tapi juga dari desa desa di sekitarnya. Bahkan biasanya dari kerajaan yang lain pun suka berdatangan.

Dan biasanya para pedagang atau pembeli yang berdatangan dari tempat yang jauh, membawa keun-tungan pula bagi pemilik kedai makan serta pemilik rumah penginapan. Sebab biasanya, mereka jauh-jauh hari telah menunggu hari pasar ini. Di samping itu, tidak kurang pula yang berdatangan sekadar untuk melancong.

Di antara lalu lalang orang yang tengah mengadu nasib, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih. Dengan tenang kudanya dikendalikan sambil memandang kesekeliling tempat. Pemuda berwajah tampan dan berambut panjang ini tidak lain dari Rangga yang dikalangan rimba persilatan dikenal sebagai si Pendekar Rajawali Sakti.

Matanya tidak lepas memandangi seorang laki-laki berusia lanjut berpakaian penuh tambalan. Pada punggung orang tua itu tampak sebuah keranjang berisi penuh kayu bakar. Tubuhnya agak kurus. Rambutnya yang sebagian telah memutih, kelihatan awut-awutan tidak terurus. Wajahnya sesekali berkerut menahan lelah. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya.

"Kek, lebih baik istirahat saja dulu," pinta seorang gadis belia di sebelah orang tua itu.

"Ah! Bagaimana mungkin bisa istirahat? Kita harus menjual kayu bakar ini secukupnya untuk ditukar beras. Kalau tidak, kita tidak akan makan hari ini," desah kakek berpakaian tambalan.

"Tapi, kakek kelihatan lelah sekali," ujar gadis belia yang berpakaian kumal itu dengan wajah tampak khawatir.

Orang tua itu menghela napas panjang. Kemudian dibetulkannya letak keranjangnya. Namun saat itu juga, tubuhnya tersungkur persis di hadapan kuda tunggangan Rangga yang bernama Dewa Bayu.

"Kakek! Kau tidak apa-apa?!" seru gadis itu cemas. Langsung dia memburu si kakek, setelah meletakkan seikat kayu bakar yang tadi dijinjingnya.

Sementara Rangga melompat turun dari kudanya. Segera dipapahnya orang tua itu. "Kisanak, kau tidak apa-apa?"

"Oh! Aku..., aku tidak apa-apa," keluh orang tua ini, terduduk lesu dengan napas memburu.

"Kemana tujuan kalian?" Tanya Rangga pada gadis itu.

"Kami hendak menjual kayu bakar ini. Sebab, persediaan beras dirumah sudah habis."

"Hm," Rangga segera merogoh kantong dibalik pinggangnya. Lalu dikeluarkannya beberapa keping uang perak dan segera diangsurkan pada gadis itu.

"Hari ini biarlah kalian tidak usah menjualnya. Terimalah pemberianku ini. Dan, belikanlah beras untuk keperluan kalian."

Gadis itu terdiam seraya memandang Rangga. Kemudian kepalanya berpaling pada kakeknya. "Maaf, kami tidak biasa menerima pemberian tanpa imbalan apa pun. Kakek selalu mengajarkan begitu," tolak gadis itu, halus.

Sementara orang tua itu kembali berusaha mengangkat keranjang berisi kayu bakar. Namun, kembali kepalanya terduduk lesu. Tenaganya seperti terkuras habis.

"Kisanak, sekarang begini saja. Bukankah kalian hendak menjual kayu bakar ini?" Orang tua itu mengangguk lemah. "Nah! Terimalah uang ini Biar kubeli kayu bakar kalian."

Orang tua itu memandangnya seraya tersenyum kecil. "Kau hendak membeli kayu bakar kami?" Tanya orang tua itu meyakinkan. Rangga mengangguk. "Tapi, harganya tidak begitu mahal, Kisanak. Kami tetap tidak bisa menerima kebaikanmu," tolak kakek itu

"Kalau begitu, berapa harga kayu bakar kalian semua?"

"Hanya dua setengah kepeng," sebut orang tua itu.

"Nah, terimalah!" ujar Rangga seraya mengurangi jumlah uang yang disodorkannya, sehingga sesuai jumlah yang disebutkan orang tua itu.

Keduanya tidak segera menerima pembayaran itu, tapi saling berpandang sejenak. Kemudian tatapan mereka beralih kepada Rangga.

"Ayo, ambillah. Bukankah aku akan membeli kayu bakar kalian? Kenapa kalian ragu? Apakah tidak jadi menjualnya?" Tanya Rangga, sambil tersenyum.

"Kisanak, kulihat kau bukan penduduk sini. Dan melihat pakaianmu yang penuh debu serta kudamu yang kelelahan, tentu kau telah melakukan perjalanan cukup jauh. Dan, pastilah kau seorang pengembara. Lalu, apa gunanya kayu bakar itu untukmu?" Tanya orang tua itu, dengan wajah heran.

Rangga tersenyum.

"Untuk apa kayu bakar ini sebenarnya dibeli orang? Tentu untuk digunakan sebagai pembakar, bukan? Nah, Kisanak. Ternyata kau cukup jeli juga. Aku memang seorang pengembara. Tapi, pengembara yang malas. Sebab bila kemalaman di tengah jalan dan aku membutuhkan api, maka aku malah mencarinya. Makanya, aku membelinya dari orang-orang seperti kalian sebagai persediaan," sahut Pendekar Rajawali Sakti memberi alasan.

Orang tua itu tersenyum. Dan tidak punya kata-kata lagi untuk menolak, "Nah, Sarti. Bagaimana menurutmu? Bukankah kita tidak bisa menolaknya?" Tanya orang tua itu.

Gadis yang dipanggil Sarti tersenyum seraya menundukkan kepala. "Itu terserah kakek saja."

Setelah membayar harga kayu bakar itu, Rangga menaikkannya kepunggung kuda. Sementara orang tua dan gadis ini berdiri di dekatnya.

"Kisanak, apakah tujuanmu ke desa ini atau ketempat lain?" Tanya orang tua itu.

"Hm, sebenarnya aku tidak punya tujuan tetap. Hanya mengikuti langkah kaki saja."

"Kau membawa-bawa pedang. Pastilah seorang pendekar ternama,"

Rangga tersenyum. "Pedang ini sekadar melindungi diri dari orang orang yang hendak menganiaya ku, Kisanak. Dan aku sendiri bukanlah seorang pendekar ternama," sahut Rangga merendah.

"Namaku, Ki Gandi. Dan ini, cucuku Sarti Bolehkah kami tahu namamu, Nak?"

"Namaku, Rangga."

"Rangga? Hm. Sebuah nama yang bagus. Bila kau tidak punya tujuan dan tidak terburu-buru, sudikah mampir kegubuk kami? Aku telah terbiasa menghormati orang-orang yang berbuat baik padaku."

"Eh, Aku."

"Ayolah, Kakang Rangga. Kami akan sangat dihormati kalau kau sudi mampir sekadar melepaskan dahaga," ajak Sarti, sedikit mendesak. Rangga berpikir sejenak. "Rumah kami tidak jauh dari sini," lanjut gadis itu.

"Baiklah."

"Terima kasih, Kakang Rangga. Dan kalau tidak keberatan, biarlah Kakek dan Kakang pergi dahulu. Maka, aku akan membeli beras lebih dahulu," kata gadis itu tanpa meminta persetujuan si pemuda dan terus berlalu kepasar terdekat.

"Mari, Rangga!" ajak Ki Gandi.

Pendekar Rajawali Sakti mengikuti langkah Ki Gandi seraya membimbing kudanya.

***

Apa yang dikatakan Ki Gandi memang benar. Rumah mereka tidak jauh dari desa itu. Rangga tersenyum dan dalam hari sedikit merasa kasihan melihat kehidupan mereka. Apa yang dikatakan orang tua itu sebagai gubuk, ternyata bukanlah ucapan merendah belaka. Sebab apa Kenyataannya, tempat tinggal mereka demikian sederhana.

Beberapa bagian dinding kamar kelihatan bolong bolong. Begitu juga bagian atapnya. Sementara perabotan di dalamnya pun amat memprihatinkan. Gubuk terlalu kecil ini hanya memiliki dua buah dipan reot, serta sebuah lemari kayu berukuran kecil yang sudah keropos. Bagian belakang terlihat dapur yang amat sederhana. Begitu juga peralatan memasaknya.

"Beginilah keadaan kami. Harap maklum adanya. Silakan duduk," kata orang tua itu, seraya mengajak Rangga duduk di dipan.

"Apakah kalian hanya tinggal berdua?" Tanya Rangga.

"Orang tua Sarti telah meninggal dunia sejak dia berusia setahun. Sejak itu, akulah yang merawatnya sampai sekarang," jelas Ki Gandi seraya menyediakan dua cangkir minuman pada pemuda itu.

"Silakan diminum, Rangga. Apa adanya sekedar pelepas dahaga. Maaf, kami tidak bisa menyediakan makanan ala kadarnya."

"Ah, tidak apa." Rangga meraih segelas cangkir yang disodorkan kepadanya, lalu menenggaknya hingga tinggal setengah.

Ki Gandi tersenyum. "Bagaimana? Segar, bukan?"

"Ah! Setelah melakukan perjalanan panjang, tentu saja amat menyegarkan meski hanya mendapat air putih."

"Nah! Untuk air, kami tidak kekurangan. Kau boleh tambah lagi," kata orang tua itu, langsung mengisi cangkir Rangga sampai penuh. "Oh, ya. Rangga, aku hendak ke kamarku dulu. Aku ingin istirahat. Kau istirahatlah dulu di sini, sekalian menunggu Sarti dari pasar."

"Silakan, Ki," sahut Rangga.

Ki Gandi beranjak dari dipan. Dengan langkah perlahan, dia memasuki kamarnya. Sementara, Rangga melepas pedangnya, dan mulai merebahkan diri. Entah kenapa, begitu tubuhnya rebah, Rangga merasakan matanya mengantuk sekali. Dan samar-samar, hidungnya mulai mengendus bau wewangian bunga-bungaan. Belum sempat Rangga menduga apa yang membuat kepala dan tubuhnya terasa berat, tahu-tahu dia sudah tak ingat apa-apa lagi. Entah tertidur entah pingsan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya seorang gadis cantik, begitu memasuki gubuk sangat sederhana milik Ki Gandi.

"Dia terlelap seperti bayi kekenyangan. Ha ha ha...! Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu bertahan dari sirep 'Pelumpuh Sukma'. Apa lagi terhadap seorang bocah bau kencur yang menamakan diri Pendekar Rajawali Sakti ini! Hua ha ha...!" kata orang tua yang tak lain Ki Gandi tertawa kegirangan.

"Lalu kapan dia akan melaksanakan tugasnya?" Tanya gadis itu.

"He he he...! Sabarlah, Sarti. Dia harus ku isi dulu dengan berbagai macam perintah. Sehingga, dia mengerti apa yang akan dikerjakannya," jelas Ki Gandi.

"Apakah yakin berhasil?" Tanya gadis yang tak lain Sarti itu lagi.

"He? Kau meragukan kemampuanku?!" Bola mata orang tua itu mendelik garang. Sarti tersenyum.

"Apakah ada orang lain yang menyamai kehebatan si Tongkat Sihir Dewa Api?" kata Sarti, seperti bertanya pada diri sendiri.

"Nah, bagus! Sekarang bawa dia ketempat kita!"

"Baik, Ki!" Sarti segera mengangkat sosok pemuda yang memang Rangga. Dalam keadaan tak sadarkan diri setelah terkena aji sirep 'Pelumpuh Sukma', pemuda itu dibawa ke belakang gubuk ini. Dan disana telah menunggu sebuah kereta kuda. Sarti segera memasukkan Pendekar Rajawali Sakti ke dalam kereta kuda itu.

Sementara Ki Gandi yang ternyata berjuluk Tongkat Sihir Dewa Api berusaha menaiki kuda Rangga. Namun Dewa Bayu meringkik keras. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Sedangkan kaki belakangnya menendang-nendang orang tua itu, ketika mencoba memaksa.

"Kuda keparat!" maki Tongkat Sihir Dewa Api geram.

"Lebih baik jangan dipaksa, Ki. Kita ikat saja dia dibelakang kereta. Dengan mengendus bau majikannya, dia tidak akan berontak," kata Sarti memberi usul.

"Hm, mungkin kau benar. Kadang-kadang hewan lebih pintar dan waspada ketimbang majikannya," sahut orang tua itu seraya mengikat tali kekang hewan itu di belakang kereta kuda. Apa yang dikatakan gadis itu memang benar. Kuda hitam itu kini tidak berontak lagi, dan menurut saja mengikuti ketika kereta kuda didepannya mulai bergerak.

***

Entah berapa lamanya Pendekar Rajawali Sakti terbaring. Namun ketika terjaga, kepalanya masih terasa sakit bukan main. Tubuhnya masih lemah seperti tidak bertulang.

"Oh.... Di mana aku?" keluh Rangga tertahan seraya memandang kesekeliling.

Sekeliling ruangan itu gelap, seperti berkabut Rangga duduk bersila ketika pandangannya terbentur sepasang cahaya kecil yang bersilau tajam, laksana mata seekor kucing di kegelapan.

"Si..., siapa kau?" Tanya Rangga.

"Aku adalah majikanmu," sahut sosok yang memiliki mata berkilatan itu.

"Majikanku?" Tanya Rangga lagi, tercenung. Pandangan matanya seperti tidak ingin berpaling.

"Tahukah kau, siapa dirimu?"

"Diriku?" Wajah pemuda itu kembali tampak bingung.

"Namamu Rangga. Dan, julukanmu Pendekar Rajawali Sakti," kata sosok itu.

"Rangga? Pendekar Rajawali Sakti...?"

"Ya. Tahukah kau, siapa sebenarnya hal yang lebih penting?"

Kembali terdengar orang itu bertanya. Nada suaranya lirih, mendayu. Terasa datar tanpa tekanan, serta bergaung-gaung di dalam ruangan ini. Pendekar Rajawali Sakti terdiam memperhatikan dengan wajah bingung. Dan memang, sejak terkena aji sirep Pelumpuh Sukma Rangga seperti kehilangan kesadaran. Bahkan dia tidak tahu, siapa dirinya yang sebenarnya.

"Kau adalah budakku!"

"Budakmu?"

"Ya. Dan sebagai seorang budak, kau wajib mengikuti segala perintahku!" tandas sosok itu, penuh tekanan.

"Begitukah?"

"Ya. Dan kau wajib menghormatiku. Maka, berilah hormat pada majikanmu!" perintah suara itu. Kali ini nadanya terdengar agak keras.

Pemuda itu bangkit berdiri, kemudian menundukkan tubuhnya.

"Ha ha ha...! Bagus! Kini, siapkah kau menerima perintah-perintahku?"

"Perintah apakah itu?"

"Kau harus membunuh orang-orang yang kuinginkan."

"Membunuh? Siapa yang harus kubunuh?"

Sosok itu bangkit dari duduknya. Kemudian berjalan ke satu ruangan. "Ikuti aku!" ujar Tongkat Sihir Dewa Api.

Rangga mengikuti dengan patuh. Ruangan yang mereka masuki tidak terlalu besar. Dan di dalamnya tidak terdapat apa-apa, selain kumpulan patung manusia yang terbuat dari kayu.

"Tahukah kau, patung-patung siapa semua ini?"

Pemuda itu memperhatikan dengan seksama. Keningnya berkerut berusaha mengenali. Kemudian, kepalanya menggeleng lemah.

"Bagus! Perhatikan patung yang berada di sebelah kiri. Nah, orang ini yang pertama harus kau lenyapkan."

"Orang ini? Dimana aku bisa menemuinya?" tunjuk Rangga meyakinkan.

"Kau nanti akan ditemani seorang kawanmu."

"Siapa?"

"Nanti kau akan mengenalinya," kata Tongkat Sihir Dewa Api seraya bertepuk tangan sekali.

Tak lama masuk seorang gadis belia berwajah cantik memakai baju merah muda. Rambutnya yang panjang, dikuncir agak ke atas. Dan dipunggungnya tersandang sebilah pedang. Rangga memperhatikan gadis itu dengan seksama. Sepertinya, dia mengenalnya. Namun, tidak tahu entah di mana.

"Namanya Sarti. Dia yang akan menemanimu dan memberitahukan, apa yang harus kau lakukan Kau pun harus tunduk pada perintahnya!"

"Sarti?"

"Sarti! Katakan padanya, bahwa dia harus patuh pada perintahmu!"

Gadis yang memang Sarti itu mengulurkan tangan seraya tersenyum memandang Rangga. Ketika berjabatan tangan, sepasang matanya seperti menghujam dalam ke sanubari pemuda ini.

"Rangga. Tahukah bahwa kau harus patuh padaku? Ingat! Kau harus patuh pada segala perintahku!" "

"Aku harus patuh pada perintahmu." Pendekar Rajawali Sakti mengulang kata-kata Sarti.

"Bagus, Rangga! Kau cepat mengerti dengan segala perintah majikanmu. Ha ha ha...!" timpal Tongkat Sihir Dewa Api seraya tertawa lebar.

Rangga hanya memandang sayu pada Tongkat Sihir Dewa Api dan Sarti secara bergantian.

"Nah, kau ingat baik-baik wajah semua patung yang ada dalam ruangan ini. Perhatikan baik-baik! Mereka semua harus mati di tanganmu!" tunjuk Ki Gandi alias Tongkat Sihir Dewa Api.

Rangga memperhatikan seksama. Lalu, dimasukkannya wajah patung-patung itu ke dalam ingatannya.

"Di mana mereka harus kutemui?"

"Sarti akan memberitahukannya padamu."

"Kenapa mereka harus kubunuh?"

"Kalau kau tidak membunuh mereka, maka kau sendiri yang akan dibunuh."

"Mereka hendak membunuhku?" Tanya pemuda itu, dengan wajah bodoh.

"Betul. Maka kau harus membunuh mereka terlebih dulu!" Pemuda itu mengangguk. "Dan ingat lagi."

Rangga mengalihkan pandang dan memandang Tongkat Sihir Dewa Api.

"Siapa pun yang coba menghalangi niatmu, maka mereka adalah musuhmu!"

"Musuhku?"

"Ya. Berarti mereka menginginkan kematianmu!"

***
DUA
"Hyaaat!"

Sebuah suara seperti suatu pertarungan, terdengar menggelegar membelah angkasa yang masih tertutup kabut di pagi yang indah ini. Teriakan itu datangnya dari seorang pemuda bertubuh tegap. Setelah berdiri berhadapan beberapa saat, tubuhnya mencelat kearah laki-laki tua dengan ikat kepala warna merah. Kepalan tangan kanannya menyodok ke arah dada kiri orang tua berambut pendek yang telah memutih itu.

"Hup!" Namun, orang tua itu cepat menekuk pergelangan tangan kirinya untuk menangkis. Dan ketika kepalan tangan kiri pemuda itu hendak menghantam muka, tangan kanannya segera menangkis.

Plak!

Bersamaan dengan itu, kaki kanan orang tua itu terangkat dengan tubuh sedikit membungkuk. Keliha-tannya, dia hendak menahan tendangan yang dilancarkan pemuda lawannya. Tapi mendadak saja, jurusnya dirubah. Bahkan cepat sekali sikut tangan kanannya bergeser sedikit ke bawah menghantam dada pemuda itu.

Duk!

"Akh!" Pemuda itu mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri akibat terhantam sodokan sikut.

"Awasss!" teriak orang tua itu.

Belum sempat pemuda itu bersiaga, tiba-tiba orang tua itu cepat berputar. Bahkan langsung mengirimkan satu tendangan keras yang tertuju ke pinggang.

Begkh!

"Ugkh!" Tubuh pemuda itu terjerembab mencium tanah, dan langsung mengeluh kesakitan.

"Nah! Itulah akibatnya kalau tidak waspada," ujar orang tua itu sambil memandangi lawannya disertai senyum-senyum kecil.

Rupanya, mereka bukannya bertarung, tapi sekadar berlatih di sebuah halaman padepokan. Tampak mengelilingi mereka beberapa murid yang nantinya akan mendapat giliran.

"Aduh...! Pinggangku sakit sekali. Eyang terlalu keras menendangku," keluh pemuda itu berusaha bangkit sambil bersungut-sungut.

"Bila musuh yang sesungguhnya, tentu tak akan membiarkan mu dalam keadaan begitu! Kau akan segera dihabisinya, Wongso! Dan tentu saja, pukulan serta hantamannya lebih keras daripada yang kulakukan tadi," tandas orang tua itu.

"Tapi, Eyang kan bisa memukul perlahan-lahan," keluh pemuda yang dipanggil Wongso.

"Sudah! Sudah...! Aku tidak mau dengar alasanmu. Ayo, ambil golokmu! Jangan membuat malu Padepokan Mega Mendung, Wongso! Aku, Pindih Daksa, tak suka ditertawakan padepokan-padepokan lain, hanya karena nyalimu sekeras tempe!"

"Eh, golok? Golok, Eyang...?" Tanya pemuda itu sedikit takut.

"Iya! Apa telingamu tuli, he?!" hardik orang tua bernama Pindih Daksa, Ketua Padepokan Mega Mendung ini.

"Eh! Ti..., tidak, Eyang!" sahut Wongso, tergagap.

"Nah! Tunggu apa lagi? Ayo, lekas ambil!"

"Ba..., baik, Eyang!" sahut Wongso seraya menerima sebilah golok yang diangsurkan seorang murid lain. Lalu dia kembali berhadapan dengan orang tua itu dengan wajah takut-takut.

"Kenapa kau, Wongso?!" Tanya Eyang Pindih Daksa.

"Eh! Tidak apa-apa, Eyang."

"Kalau begitu, berdiri yang tegak dan mantap. Lalu, buat kuda-kuda kokoh. Baru setelah itu, serang aku dengan senjatamu!" perintah si orang tua.

Wongso menuruti apa yang dikatakan orang tua itu, meski hatinya amat takut dan sedikit ngeri. Namun baru saja Wongso membuat kuda-kuda, seorang murid yang bertugas menjaga pintu gerbang datang memberitahukan pada Eyang Pindih Daksa. Dia memberitahu kalau ada dua orang tamu menunggu di depan pintu gerbang.

Eyang Pindih Daksa segera berpaling. Dan tampaklah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dan seorang gadis berbaju merah muda. Mereka kini mendatangi orang tua itu dari arah pintu gerbang. Kemudian mereka berhenti di hadapannya pada jarak lima langkah.

"Adakah sesuatu yang bisa kubantu pada kalian?" Tanya Eyang Pindih Daksa dengan suara halus sambil tersenyum kecil.

"Kaukah yang bernama Pindih Daksa, Ketua Padepokan Mega Mendung ini?" Tanya gadis merah jambu itu meyakinkan.

"Betul, akulah orangnya. Siapakah kalian berdua? Dan, ada keperluan apa mencariku?" sahut Eyang Pindih Daksa balik bertanya dengan nada halus.

Sementara murid-murid Padepokan Mega Mendung sejak tadi sudah memperlihatkan sikap tidak senangnya. Karena, sikap gadis itu terlihat congkak dan menganggap rendah. Apalagi ketika menyebutkan nama guru mereka begitu saja. Padahal melihat wajahnya, usia gadis itu masih amat belia. Sekitar enam atau tujuh belas tahun.

Gadis itu tersenyum sinis. "Ingatkah peristiwa pada sebelas tahun lalu di Lembah Panca Satya?" Tanya gadis itu.

"Hm.... Bagaimana mungkin aku melupakan peristiwa itu? Tapi, apa hubungan kalian dengan Ki Netra Buana?" Tanya Eyang Pindih Daksa mulai sedikit mengerti tujuan sepasang anak muda itu ke sini.

"Kedatangan kami menagih kekalahan Ki Netra Buana dengan kepalamu!" Desis gadis itu sinis tanpa basa-basi lagi.

Mendengar itu Eyang Pindih Daksa tersenyum. "Sudah kuduga. Tapi kenapa bukan dia sendiri yang datang? Hm.... Orang itu memang tidak pernah insaf dan sadar atas perbuatan jahatnya. Kini, apa lagi yang akan direncanakannya? Apakah dengan mengirim kalian maka persoalannya akan selesai?"

"Tidak usah banyak mulut! Lebih baik, bersiaplah menghadapi kematianmu!"

Mendengar kata-kata gadis ini, semua murid Eyang Pindih Daksa segera bersiaga, mengepung kedua orang itu dengan wajah tidak senang. Eyang Pindih Daksa mengangkat sebelah tangan, sebagai isyarat agar muridnya tidak keburu nafsu dan bertindak ceroboh. Dipandanginya kedua orang muda itu sambil tersenyum dan berusaha bersikap tenang.

"Nisanak dan Kisanak, lebih baik kalian kembali. Dan, katakan pada Ki Netra Buana, segala niat buruknya harap segera dihentikan. Kalau tidak, maka semua tokoh persilatan yang dulu memberi pelajaran padanya, tidak akan memaafkannya lagi!"

"Hi hi hi...! Kau kira semudah itu, he?! Mulai hari ini nasib kalian telah ditentukan. Dan, kaulah orang pertama yang akan mendapat kehormatan untuk dipancung. Kau lihat, siapa pemuda di sampingku ini? Dia telah berpihak pada Ki Netra Buana. Bahkan siap mengorbankan nyawa untuk mencabut nyawa kalian semua."

"Eyang! Untuk apa ditunda-tunda lagi? Jelas kedua orang ini ingin mengacau. Serahkan saja pada kami, biar mereka tahu adat!" Desis salah seorang murid Eyang Pindih Daksa dengan amarah seperti tidak bisa ditahan lagi.

"Sabarlah, Darmaji. Kita harus memberi kesempatan pada mereka berdua untuk menyadari kekeliruannya," ujar Eyang Pindih Daksa.

"Hei, Orang Tua! Tidak ada gunanya berharap seperti itu. Lebih baik, serahkan kepalamu. Dan kami akan mengampuni semua jiwa murid-muridmu!"

"Nisanak! Kenapa kau begitu terburu nafsu? Di antara kita tidak ada persoalan apa-apa, bukan? Kalaupun kau murid atau cucunya, maka harus mengerti dulu duduk persoalannya sebelum bertindak. Sadarkah, siapa yang kau bela itu?"

"Tidak usah mencoba menerangkan karena tidak ada gunanya sama sekali!" sentak gadis itu kemudian berpaling pada pemuda di sebelahnya. "Rangga! Orang ini bagianmu! Dia bukan saja musuh majikanmu, tapi juga musuhmu. Kau lihat di sekeliling mu? Mereka siap akan membunuh kita. Dan kalau tidak mendahului, maka kita akan binasa di tangan mereka."

Mendengar kata-kata gadis itu maka wajah pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti langsung berubah garang. Matanya memandang tajam pada Eyang Pindih Daksa. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia melompat menyerang. Sungguh suatu tindakan aneh, di mana seharusnya Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar berjiwa bersih kini seperti terselimuti hawa membunuh.

"Yeaaa!"

"He, sial!" Eyang Pindih Daksa mengumpat kesal seraya menghindar dari serangan Rangga. Tapi gerakan pemuda itu cepat sekali. Sehingga, membuat Ketua Padepokan Mega Mendung terkesiap. Dan tiba-tiba saja, sabetan kaki Pendekar Rajawali Sakti menyambar kearah pinggang.

Eyang Pindih Daksa mencelat ke atas. Namun pemuda itu cepat mengejar. Dan meski orang tua itu berjumpalitan ke belakang, Rangga terus mencecarnya. Eyang Pindih Daksa berusaha menangkis kepalan kiri Rangga.

Plak!

Namun tiba-tiba saja, tendangan kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menghantam ke dada tanpa diduganya sama sekali. Begitu cepat tendangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Eyang Pindih Daksa tak mampu menghindarinya. Dan....

Begkh!

"Aaakh...!" Orang tua itu terhuyung-huyung disertai keluh kesakitan.

"Eyaaang!"

Beberapa murid Padepokan Mega Mendung langsung menghampiri dengan wajah cemas. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikan keadaan lawan yang tubuhnya sudah berkelebat melepaskan serangan.

"Hiyaaa!"

"Kurang ajar!"

Tiga orang murid padepokan ini langsung menggeram. Mereka bermaksud memapaki serangan pemuda itu sekaligus menghajarnya. Melihat tiga lawan menyerang, Rangga mengalihkan perhatian. Sambil sedikit membungkuk untuk menghindari serangan, tubuhnya berputar. Dan tiba-tiba saja kepalan dan tendangannya menghantam ketiga lawan dengan telak.

Plak! Duk!

"Aaa!" Murid-murid Eyang Pindih Daksa kontan memekik setinggi langit. Tubuh mereka terjungkal disertai muntahan darah segar.

"Astaga! Eyang! Mereka tewas dengan dada remuk!" seru seorang murid ketika melihat keadaan ketiga kawannya.

Eyang Pindih Daksa buru-buru menghampiri. Dan dia segera memeriksa ketiga muridnya yang tewas dengan keadaan yang menyedihkan. Perlahan-lahan tubuhnya bangkit dan memandang kedua anak muda itu dengan wajah kelam.

Sementara, seluruh murid Padepokan Mega Mendung telah mencabut senjata masing-masing dan mengurung keduanya dengan ketat. Wajah-wajah mereka penuh amarah. Sikap mereka bagai air bah yang siap menjebol bendungan, bila sekali saja guru padepokan ini memberi perintah.

"Kalian memang sama kejamnya dengan Ki Netra Buana. Dan aku tidak bisa membiarkannya begitu saja...!" desis Ketua Padepokan Mega Mendung itu.

"Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu malu. Kau kira dirimu siapa berani bicara seperti itu? Tidak tahukah kau, siapa pemuda yang tengah berhadapan denganmu?" ejek gadis itu dengan tawa sinis.

"Huh! Meski kalian dedemit sekalipun, jangan harap bisa membuatku gentar!"

"Hi hi hi...! Ketahuilah, pemuda ini adalah Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Setelah mengetahui siapa dia, apakah kau dan murid-muridmu berani bertingkah?"

"Pendekar Rajawali Sakti? Mustahil!" desis orang tua itu dengan wajah tidak percaya.

"Hm.... Kau boleh tidak percaya. Tapi, perhatikan baik-baik. Apakah sebelumnya kau pernah melihat atau mendengar tentang si Pendekar Rajawali Sakti? Nah pemuda inilah sesungguhnya Pendekar Rajawali Sakti."

Eyang Pindih Daksa memperhatikan dengan seksama. Dia memang pernah mendengar nama dan ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi yang diketahuinya, Pendekar Rajawali Sakti tidak gampang memberi bantuan, apalagi terhadap orang yang bermaksud buruk. Tapi kini? Setahunya, Pendekar Rajawali Sakti adalah tokoh persilatan golongan putih. Bahkan dia sempat menduga kalau pemuda ini sekadar meniru-niru penampilan si Pendekar Rajawali Sakti. Namun mengingat ciri-cirinya, dia tidak habis pikir. Terutama, pedang yang tersampir di punggung pemuda itu.

"Mustahil! Padepokan kami tidak ada urusan yang membawa kepada perselisihan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kau pasti penipu! Kalian hendak mengecoh kami dengan membawa-bawa nama Pendekar Rajawali Sakti. Hm.... Mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti yang asli akan bertemu kalian. Dan saat itu, baru kalian tahu bagai-mana rasanya mencatut nama orang lain!"

"Hi hi hi...! Kau boleh percaya atau tidak, itu terserahmu. Tapi bukan berarti kau dan murid-muridmu

bakal selamat. Kalian semua akan mampus di tangannya!" sahut gadis itu seraya tertawa nyaring. "Ayo, Kakang Rangga! Tunggu apa lagi? Habisi mereka semua!"

Tanpa basa-basi seperti tadi, Pendekar Rajawali Sakti kembali melompat menyerang. "Hiyaaa!"

"Persetan! Kau Pendekar Rajawali Sakti gadungan! Aku akan mengadu jiwa denganmu. Anak-anak, ringkus gadis liar itu!" teriak Eyang Pindih Daksa, memberi perintah pada murid-muridnya. Dia sendiri kemudian mencelat memapak serangan Rangga dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Plak! Wut!

Ketua Padepokan Mega Mendung mengeluh tertahan ketika coba menangkis sodokan yang dilancarkan Rangga. Dan sambil menundukkan kepala menghindari tendangan, dengan cepat dan tidak terduga sama sekali, Eyang Pindih Daksa mencabut goloknya dan memapas kaki Rangga.

"Hiiih!"

"Uts!" Pemuda itu menarik pulang tendangannya. Kemudian tubuhnya berputar dua kali seraya menghantam bagian perut Namun, Eyang Pindih Daksa tidak kalah gesit. Dengan geram goloknya dikibaskan kearah batok kepala lawannya. Gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti ternyata tipuan belaka. Sebab tiba-tiba saja, tubuhnya mencelat ke samping. Langsung dihantamnya pinggang orang tua itu dengan satu tendangan keras. Karena untuk menghindar tak mungkin, maka Eyang Pindih Daksa segera menangkis.

Plak!

Terjadi benturan hebat, yang membuat tulang lengan Eyang Pindih Daksa terasa mau patah. Dan belum lagi rasa sakitnya hilang, cepat sekali kaki pemuda itu menghantam rahangnya.

Dugkh!

"Ukh!" Orang tua itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang. Sementara pemuda itu telah mengejarnya dengan serangan susulan. Sepertinya, dia tidak akan membiarkan orang tua itu untuk bernapas barang sekejap.

Sring!

"Heh?!" Bukan main terkejutnya Eyang Pindih Daksa ketika melihat pemuda itu mencabut pedangnya. "Astaga!

Jadi dia benar-benar Pendekar rajawali Sakti. Pedang pusaka itu benar-benar miliknya! Apa yang telah terjadi sehingga dia berpihak pada si Netra Buana?" keluh orang tua itu dengan wajah terkesiap.

"Eyang, awaaas...!"

Beberapa orang murid Padepokan Mega Mendung yang melihat kejadian itu terkejut. Mereka langsung melompat hendak melindungi gurunya yang sedang lengah. Tapi....

Bruesss!

"Aaa!" Tiga orang memekik setinggi langit dan terjungkal roboh bermandikan darah, tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan.

"Astaga!" Melihat kejadian ini, murid-murid lain yang bertarung dengan gadis itu jadi terkejut. Namun mereka akhirnya menjadi makanan empuk lawannya.

Sing!

"Mampuslah kalian semua...! Yeaaa!"

Bret!

Jerit berkumandang kembali menyusul, bersama tewasnya beberapa murid yang lain. Eyang Pindih Daksa jadi trenyuh. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Pendekar Rajawali Sakti telah menyerangnya lebih hebat lagi.

"Ayo, pergilah kalian dari sini! Selamatkan diri kalian! Pemuda ini adalah Pendekar Rajawali Sakti. Entah, apa yang menyebabkannya berbuat segila ini. Tapi, kalian tidak akan unggul menghadapinya!" teriak orang tua itu pada murid-muridnya.

"Tidak, Eyang! Kami akan tetap di sini bersama mu!" teriak beberapa orang muridnya dengan sikap gagah.

Namun murid-murid yang berjiwa pengecut, sudah langsung mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Apalagi, ketika melihat kawan-kawannya berjatuhan satu persatu dalam keadaan mengenaskan. Siapa saja yang dekat dengan gadis berbaju merah muda itu, akan tewas disambar ujung pedangnya.

Dan hal yang lebih gila lagi adalah, kedahsyatan pedang di tangan Pendekar Raja wali Sakti. Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya, meski dalam tiga gerakan. Semua yang berusaha menolong gurunya, bisa dipastikan tewas tersambar pedang pemuda itu.

"Hiyaaa!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram dan mengamuk hebat. Pedangnya menebas dua orang yang kembali mencoba menghalangi niatnya, hendak mengejar Eyang Pindih Daksa. Kemudian tubuhnya melompat ringan dan langsung membabatkan pedangnya dengan dahsyat

Tras! Wuk!

Eyang Pindih Daksa terkesiap, segera mencoba menangkis. Namun, goloknya putus dibabat pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika tubuhnya segera bergulingan menghindari hantaman yang menyusul secepat kilat.

"Hiiih!"

Crab!

"Aaa...!"

***
TIGA
Pindih Daksa terpekik nyaring ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menghujam jantungnya. Rangga menarik pedangnya dengan keras, dengan wajah berkerut geram. Eyang Pindih Daksa tewas, karena tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat tubuhnya bergulingan tadi. Rangga telah membayanginya dari atas, seperti tidak memberi ruang gerak lagi padanya.

"Eyaaang?!"

Beberapa murid padepokan ini terkesiap. Mereka langsung memburu tubuh gurunya yang berlumuran darah.

"Bagus, Kakang Rangga! Nah! Kecoa-kecoa ini biar menjadi bagianku!" puji gadis berbaju merah muda itu.

"Yeaaa!"

Pedang gadis itu berkelebat bagaikan kilat. Sebagian lawan-lawannya berhasil menangkis.

Trang! Bret!

"Aaa!"

Namun empat orang tewas seketika dengan perut koyak dirobek pedang gadis berbaju merah muda ini.

"Keparat! Kalian harus membayar kematian guru kami, yeaaa!"

Murid-murid Eyang Pindih Daksa yang tersisa, seketika mengamuk dahsyat. Di hati mereka hanya ada amarah meluap untuk membalas kematian gurunya. Namun kedua lawan yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Maka mereka hanya mengantar nyawa secara percuma.

Rangga dan gadis berbaju merah muda itu tidak memberi ampun. Pedang mereka terus mencari korban dengan ganas. Pekik kematian saling susul terdengar, ditingkahi ambruknya tubuh-tubuh dalam keadaan mengenaskan. Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun dari mereka yang tersisa. Kecuali, beberapa murid yang tadi sempat melarikan diri.

Trek!

Kedua anak muda itu menyarungkan pedang dengan mata memandang mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Huh! Can penyakit saja! Mereka kira bisa menghalangi kita berdua!" dengus gadis itu dingin.

"Sekarang ke mana tujuan kita, Sarti?" Tanya Rangga.

"Kita akan segera mencari yang lainnya, sesuai perintah Ki Netra Buana," sahut gadis berbaju merah muda yang memang Sarti.

"Kalau begitu buat apa buang-buang waktu? Ayo, kita tinggalkan tempat ini untuk mencari mereka. Lebih cepat selesai, maka akan lebih baik," ujar Rangga.

"Dan lebih cepat pula kita bersenang-senang!" timpal Sarti sambil tertawa kecil. "Bukankah begitu, Kakang?"

Pemuda itu tidak menyahut, dan hanya tersenyum kecil. Tanpa malu-malu, Sarti menggandeng lengan pemuda itu. Dan mereka segera melenggang dari ha-laman padepokan ini. Tapi baru beberapa langkah berjalan....

"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini?!"

Mendadak terdengar seruan seseorang di pintu gerbang Padepokan Mega Mendung, ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan berlumur darah. Dia adalah laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun Rambutnya panjang digelung ke atas. Tubuhnya tidak begitu besar, namun otot-ototnya menonjol. Seketika wajahnya berpaling pada Rangga dan Sarti dengan sorot mata garang.

"Pasti kalian yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini! He, jangan harap bisa meninggalkan tempat ini sebelum membayar kematian mereka!" dengus laki-laki itu geram.

"Siapa kau?!" bentak Sarti.

"Aku Saduki, putra Eyang Pindih Daksa."

"Hm.... Kebetulan sekali kau berada di sini. Mencabut pohon harus sampai keakar-akarnya. Heh!

Orang tua itu mampus di tangan kami. Lalu kau mau apa?!" sahut Sarti berkacak pinggang sambil tersenyum mengejek

"Keparat! Kalian akan bayar hutang nyawa ini...!" dengus Saduki langsung mencabut golok di pinggang, segera dia melompat menerjang Sarti.

"Hup!"

Sring!

Gadis itu melompat sambil mencabut pedang. Saduki terus menyerangnya dengan kalap.

Tring!

"Hiiih!"

Sarti langsung memapak dengan senjatanya. Kemudian pedangnya terus membabat ke arah leher. Laki-laki itu terkejut, namun cepat mengegos ke kiri. Kaki kanan gadis itu membabat dadanya. Untung saja Saduki segera melompat ke belakang. Namun Sarti tidak memberi kesempatan. Langsung dikejarnya laki-laki itu dengan gerakan ringan mengandung tenaga dalam tinggi.

"Yeaaa!"

Dengan tubuh berputaran indah, pedang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tapi Saduki cepat memapaknya.

Trang!

Satu benturan yang mengandung tenaga dalam tinggi terjadi. Dan ini membuat laki-laki itu bergetar tubuhnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Sarti.

"Hiiih!"

Gadis itu cepat membabatkan pedangnya Dan....

Crasss!

"Aaa!" Terdengar pekikan tertahan. Tampak Saduki roboh dengan pinggang robek tersambar senjata mendelik lebar.

"Huh!"

Trek!

Sarti mendengus dingin seraya menyarungkan kembali pedangnya. "Mari, Kakang. Kita tinggalkan tempat ini. Masih banyak yang harus dikerjakan!" ujar gadis itu seraya menggamit lengan Rangga.

Rangga yang sejak tadi diam saja memperhatikan pertarungan, menurut saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

***

Di sebuah pinggiran sungai, tampak dua sosok dengan penuh perhatian tengah menunggui kailnya disambar ikan. Yang seorang berbaju hitam. Dia duduk dengan mata tidak berkedip. Sesekali tangannya menggaruk rambut dikepala yang kusut masai seperti tidak pernah dibersihkan beberapa bulan. Berkali-kali dia menggerutu kesal ketika melihat kawannya yang sebentar-sebentar menarik kail, dan memperoleh ikan cukup banyak. Sedang dia, sejak pagi tadi belum juga mendapatkan seekor ikan pun.

"He he he...! Nasibmu sedang apes, Dulaksa. Coba lihat! Aku dapat lagi!" seru laki-laki yang berbaju merah sambil terkekeh girang menarik kailnya. Seekor ikan sebesar telapak tangan tampak menggelepar diujung kail.

"Jangan sombong kau, Dulaksi! Boleh jadi hari ini nasibmu mujur. Tapi, ikan-ikan yang kau peroleh semuanya kecil-kecil. Kau lihat nanti. Meski hanya mendapat seekor, tapi paling besar!"

"He he he...! Ikan sebesar apa yang terdampar dimuara ini. Dulaksa? Kau boleh bermimpi sampai otakmu pikun!" ejek laki-laki yang dipanggil Dulaksi.

"Sudah! Tutup mulutmu...!" bentak laki-laki bernama Dulaksa kesal. Sementara, Dulaksi masih terkekeh kecil dengan nada mengejek. Tapi Dulaksa tidak mempedulikannya.

Tiba-tiba tali kail Dulaksa terasa disentak. Dia berdiri dan siap menarik Wajahnya tampak girang.

"Ha ha ha...! Kau lihat? Pasti ikan besar yang menarik kailku. Ha ha ha...! Sekarang kau boleh tertawa sepuasmu!" seru Dulaksa kegirangan.

Wajahnya tampak bersemangat dan buru-buru menarik kailnya. Namun wajah Dulaksa kembali kesal sambil menggerutu tidak habis-habisnya. Ternyata yang menyangkut di mata kailnya bukan ikan besar, tapi sepotong kayu sebesar betis.

"Setan!" maki Dulaksa geram seraya melempar kayu itu dengan kesal.

Melihat itu, tawa Dulaksi semakin terpingkal-pingkal saja. "Ha ha ha...! Itukah ikan besar yang kau kata-kan? Kenapa kau buang? Itu perolehan mu yang seharusnya disimpan!" ejek Dulaksi.

"Sudah! Sudah, hentikan ocehanmu. Kau kira lucu, he?!" geram Dulaksa kesal.

Dulaksi masih terkekeh seraya melempar kailnya kembali ke sungai, setelah tadi seekor ikan terlepas karena kaget saat Dulaksa melempar kayu. Sebenarnya kedua orang ini bukanlah nelayan biasa. Kehidupan mereka tidak hanya sekadar memancing. Melihat sebuah tongkat besi yang berujung melengkung tajam seperti clurit di punggung mereka, agaknya dunia persilatan akan segera mengenal. Dan mereka memang dua orang saudara kembar. Dan siapa pun tahu tidak ada orang lain yang tinggal di sekitar muara sungai ini, selain dua orang itu yang berjuluk si Kembar Muara Gamping.

Si Kembar Muara Gamping yang berusia sekitar empat puluh tahun ini dikenal sebagai tokoh persilatan yang disegani. Kepandaian mereka cukup hebat, dan jarang ada tandingannya. Apa-bila keduanya maju bersama menghadapi lawan, maka akan sukar dikalahkan. Sebab, mereka memiliki gerakan kompak yang saling sambung menyambung bagai aliran sungai.

Selama sepuluh tahun belakangan ini, si Kembar Muara Gamping jarang muncul di dunia persilatan. Banyak yang mengira kalau mereka sedang mempela-jari sebuah ilmu sakti yang amat langka. Agaknya, hal itu memang tidak terlalu salah. Sebelum guru mereka meninggal dunia, sempat mewariskan sebuah kitab ilmu silat yang merupakan ciptaannya sendiri.

Dan selama ini amat dirahasiakannya. Jurus-jurus ciptaan guru mereka ini memang dirahasiakan, sebab bila sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan lainnya, akan menimbulkan malapetaka. Memang, siapa pun tahu kalau Ki Sapu Jagad yang menjadi guru kedua saudara kembar itu, terkenal sebagai tokoh sakti berkepandaian amat tinggi. Seorang tokoh yang disegani semua kalangan persilatan. Dan bila peninggalannya tersebar ke dunia luar, maka akan banyak tokoh berduyun-duyun ke sini untuk memiliki kitab pusaka itu.

Namun setelah kitab ini berada di tangan, mereka tetap merahasiakan dan mempelajarinya secara diam-diam. Sehingga meski semua kalangan persilatan menduga kalau mereka sedang mempelajari suatu ilmu sakti, namun tidak ada seorang pun yang bisa membuktikannya. Itulah sebabnya, kenapa keduanya jarang muncul di dunia luar.

"Hm.... Matahari telah tergelincir kebarat! Sudah waktunya kita makan siang...," ajak Dulaksi sambil membenahi alat-alat pancingnya.

"Kau sajalah! Aku belum mendapat bagian...," sahut Dulaksa lesu.

"Alaaah! Kenapa kau malu-malu? Ikan perolehanku ini cukup untuk kita berdua. Sudahlah.... Nanti sore kita mancing lagi. Siapa tahu, nanti malah kau yang mujur!" bujuk Dulaksi seraya menghampiri.

Dulaksa masih tetap diam, dan berharap kailnya mengena. Sementara Dulaksi duduk di samping seraya menepuk-nepuk bahunya dan tersenyum kecil.

"Ayolah. Kau tidak pernah pelit padaku, maka kenapa aku musti pelit padamu? Ikan perolehanku ini lebih dari cukup untuk kita berdua. Perutku terlalu kecil untuk menghabiskannya sendiri. Bagaimana kalau kita gulai? Atau, barangkali kita goreng? Kau suka ikan goreng, kan?! Atau..., yang sederhana saja! Kita bakar...!" bujuk Dulaksi kembali.

Dulaksa memandang sejenak pada saudaranya, kemudian mengangguk sambil menghela napas panjang dan membereskan kailnya. "Yaaah! Mungkin kau benar. Hari ini nasibku apes. Kalau memang kau mau berbagi, apa lagi yang bisa kujawab," desah Dulaksa.

"Ha ha ha...! Begitu lebih baik Nah, akan kita apakan ikan-ikan ini?"

"Lebih baik dipanggang saja. Aku masih punya persediaan dua guci arak. Makan ikan panggang sangat nikmat sambil minum arak"

"He, usul yang baik! Ayo...!"

"Kenapa tidak kalian saja yang dipanggang, sehingga kami bisa menikmatinya?"

"Heh?!"

Si Kembar Muara Gamping terkesiap ketika seseorang menimpali kata-kata mereka. Ketika berbalik, Dulaksa dan Dulaksi melihat seorang gadis berbaju merah berwajah cantik membawa pedang di punggungnya. Dia didampingi seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih dan membawa pedang dipunggungnya.

Dulaksa dan Dulaksi tersenyum melihat kehadiran mereka. "Aduhai, Anak-anak Manis. Apakah kalian hendak ikut berpesta makan ikan bakar bersama kami? Masih ada bagian untuk kalian berdua!" seru Dulaksi.

"Kedatangan kami bukan hendak berpesta ikan bakar," sahut gadis itu sambil tersenyum sinis.

"Lalu?"

"Ingin berpesta dengan kepala kalian!" jawab gadis itu dengan nada dingin.

"Dengan kepala kami?" Dulaksi terkesiap. Dulaksi memandang wajah saudaranya. Kemudian mereka bersama-sama memandang kedua anak muda itu, lalu terkekeh-kekeh.

"Kau dengar, Dulaksi? Mereka hendak bermain-main dengan kepala kita?!" kata Dulaksa.

"Ya! Aku dengar. Dan ini amat menggelikan! He he he...!"

"Tutup mulut kalian!" hardik gadis itu garang.

"Kami membawa pesan dari Ki Netra Buana. Beliau mengatakan, ajal kalian telah sampai hari ini!"

"Heh?!"

Seketika si Kembar Muara Gamping terkejut dan terdiam. Bukan oleh bentakan gadis itu, melainkan nama seseorang yang diucapkannya.

"Netra Buana? Hm.... Rupanya jahanam itu belum juga kapok, he?!" dengus Dulaksa geram.

"Bagus. Kalian telah sadar. Kini, terimalah kematian!" dengus gadis itu geram seraya berpaling pada pemuda di sebelahnya. "Kakang Rangga, salah seorang menjadi bagianmu. Sedang aku yang satunya. Jangan beri ampun mereka." Setelah berkata begitu, gadis yang tak lain Sarti langsung melompat menyerang.

"Bocah kurang ajar! Dia kira bisa seenaknya membuktikan ocehan gilanya. Huh! Kalian akan mendapat pelajaran pahit dari kami!" desis Dulaksa kalap, langsung memapak serangan gadis itu.

Sementara itu, pemuda yang memang Rangga sudah mengikuti apa yang diperintahkan sakti. Langsung diserangnya lawan yang seorang lagi.

"Dulaksi, jangan beri hati lawanmu! Bocah-bocah edan ini harus diberi pelajaran!" teriak Dulaksa.

"Jangan khawatir Dulaksa! Mereka akan tahu siapa kita!" desis Dulaksi.

Ucapan si Kembar Muara Gamping terdengar bernada sombong. Hal itu memang tidak mengherankan. Sebab di mata mereka, kedua anak muda itu bukanlah tokoh hebat. Dugaan mereka, dengan beberapa kali gebrakan, keduanya pasti bisa ditaklukkan. Namun bukan main geramnya si Kembar Muara Gamping ketika merasakan kalau kedua lawannya mampu menghindar dari tekanan jurus-jurus serangan. Bahkan bisa membalas dengan sengit. Terutama, yang dialami Dulaksi.

"Setan!"

Berkali-kali Dulaksi memaki ketika tangannya berbenturan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Terasa isi tulangnya nyeri dan sampai ke jantung. Pemuda ini memiliki tenaga dalam hebat, dan tidak berada di bawahnya. Bahkan bisa jadi beberapa tingkat diatasnya!

Thak! Wut!

"Sial!"

Dulaksi berusaha menghantam dada Rangga dengan satu tendangan tidak terduga. Namun dengan gesit pemuda itu berkelebat ke bawah, dan balas menghantam perutnya. Cepat-cepat Dulaksi menarik kakinya, dan langsung ditekuk. Ini dilakukan sebagai tameng terhadap pukulan yang meluncur keperut.

Begitu habis memapak, Dulaksi terus melompat ke belakang. Namun Rangga terus mengejarnya dengan serangan susulan. Cepat-cepat Dulaksi mencabut senjata. Langsung dibabatnya kaki pemuda itu yang hendak menghantam punggungnya. Di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti lebih dulu menekuk kakinya menghindari tebasan senjata Dulaksi. Kemudian tubuhnya berputar dan balas menyambar setelah mencabut pedangnya.

"Heh?!"

Dulaksi terkesiap kaget, ketika melihat pancaran cahaya biru dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Untuk sesaat wajahnya terkesima, sehingga mengurangi kewaspadaan. Padahal, saat itu senjata Rangga berkelebat bagai cahaya kilat menyambarnya. Dan....

Bruesss!

"Aaa...!"

Dulaksi kontan terpekik Tubuhnya nyaris terbelah dua ketika senjata Pendekar Rajawali Sakti bukan saja membuat putus tombak di tangannya, tapi juga merobek tulang rusuknya.

"Dulaksi...!"

Dulaksa yang saat itu tengah mendesak lawan habis-habisan, terkejut melihat nasib saudaranya yang bergelimang darah. Bahkan sudah tidak berkutik lagi begitu tersungkur ketanah.

"Kubunuh kau, Keparat! Kurobek tubuhmu seperti apa yang telah kau lakukan terhadap saudaraku!

Yeaaa...!"

Dengan teriakan menggelegar, Dulaksa melompat meninggalkan lawannya. Langsung diterjangnya Rangga sambil mengayunkan tombaknya.

Wut! Wuk!

"Hiiih!"

Ujung tombak Dulaksa yang berbentuk clurit, menyambar pinggang. Namun pemuda itu melompat ringan ke atas. Dan tubuhnya segera berjumpalitan kesamping, saat senjata lawan hendak menebas lehernya. Dulaksa tidak mau memberi kesempatan. Senjatanya kembali menyambar kepinggang, sebelum kaki pemuda itu menyentuh tanah.

Sementara Rangga sama sekali tidak melihat ancaman dari serangan satu dari si Kembar Muara Gamping. Pedangnya terus berkelebat memapak senjata Dulaksa hingga putus. Tapi saat itu juga, Dulaksa menghentakkan kedua tangannya. Maka seketika mendesir cahaya panas dari telapak tangannya. Langsung menghantam kearah Pendekar Rajawali Sakti.

Pukulan itu terasa dan terlihat aneh, melesat ribuan pasir-pasir halus yang bergerak saling susul-menyusul kearah Rangga.

"Kakang Rangga, awas! Dia mempergunakan pukulan mautnya...!" teriak Sarti memperingatkan.

Rangga membentak nyaring. Tubuhnya langsung mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali. Kemudian tangan kirinya menghentak kedepan. Maka seketika dari telapak tangan kirinya melesat selarik cahaya merah menghantam Dulaksa.

Pyarrr!

Werrr!

Pukulan Dulaksa kontan buyar, ketika berbenturan dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Namun dia terus bertahan ketika pemuda itu telah mencelat menyerangnya. Dulaksa menyadari, kalau pukulannya ditarik, maka pukulan pemuda itu langsung akan menghantamnya. Namun dengan bertahan seperti ini, pemuda yang ternyata memiliki tenaga dalam lebih kuat darinya, masih mampu mengadakan serangan.

Orang tua itu bingung setengah mati, memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. Dan belum lagi dia menemukannya, pedang Rangga telah berkelebat. Dulaksa terkesiap. Cepat dia menjatuhkan diri, untuk mengelak. Tapi bersamaan dengan itu, Rangga telah melepaskan pukulan jarak jauh. Sehingga....

Des!

"Aaa...!" Dulaksa terpekik. Tubuhnya kontan terjerembab, seperti diseret seekor kuda liar sejauh beberapa tombak. Tubuhnya remuk dan rusak hebat, sehingga sulit dikenali. Tampak darah berceceran ke mana-mana. Dan nyawanya pun melayang sebelum tubuhnya berhenti bergulingan!

"Bagus, Kakang! Hari ini tugas kita telah selesai, Sebaiknya, kita cepat kembali dan beristirahat!" seru Sarti girang seraya menghampiri Rangga.

Rangga segera menyarungkan pedang. Dan dia diam saja, ketika Sarti menggamit lengannya dan mengajaknya berlalu dari situ.

***
EMPAT
Satu sosok bertubuh ramping tengah menghela kudanya perlahan-lahan memasuki halaman sebuah rumah. Sosok yang kira-kira berusia sekitar enam puluhan itu langsung turun dari kudanya, begitu dari dalam rumah terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh keluar diikuti dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.

"Sudah siapkah kau, Pintur Gumelar?" Tanya wanita tua itu.

"Hm.... Sekarang juga aku siap, Nyai Koneng!" Sahut orang tua itu seraya melompat ke punggung kuda yang memang telah disediakan didepan rumah.

"Nah, kalau begitu mari kita berangkat sekarang!" Ujar wanita yang dipanggil Nyai Koneng, seraya.menaiki kudanya kembali.

"Sebentar, Nyai Koneng!" Tahan orang tua bernama Pintur Gumelar, ketika Nyai Koneng akan menggebah kudanya. Wajah laki-laki setengah baya itu kemudian berpaling pada dua orang yang tadi mengikutinya.

"Kalian jaga tempat ini baik-baik. Dan, ingat pesanku tadi!" tandas Ki Pintur Gumelar.

"Kami akan selalu mengingatnya, Den...!" Sahut keduanya serempak dengan wajah tertunduk.

"Sudah. Hapus semua kesedihan kalian. Aku pergi tidak lama. Doakan aku kembali selamat!"

Keduanya kembali mengangguk. Ki Pintur Gumelar segera menggebah kudanya. Dan bersama Nyai Koneng, dia menjalankan kudanya pelan-pelan.

"Hm.... Kedua abdi mu itu tampaknya sangat setia, sehingga mengkhawatirkan keselamatanmu," gumam wanita tua berbaju serba kuning dengan sepasang pedang bergagang perak yang terselip di pinggang itu. Nada suaranya datar tanpa memalingkan muka, saat mereka telah berjalan berdampingan.

"Ya...," sahut Ki Pintur Gumelar singkat.

Nyai Koneng melirik, kemudian tersenyum kecil. "Kenapa? Kelihatannya hatimu susah. Apakah kau takut?" Tanya Nyai Koneng.

Ki Pintur Gumelar balas memandangnya dengan wajah heran. "Benarkah apa yang kau katakan?" Ki Pintur Gumelar balik bertanya.

"Apa? Soal kematian Eyang Pindih Daksa...?"

Laki-laki setengah baya itu terdiam sesaat. "Soal Pendekar Rajawali Sakti.... Benarkah dia yang berbuat?" tanya Ki Pintur Gumelar.

"Kenapa? Apakah kau tidak percaya dengan apa yang telah disampaikan anak buahku?" kata Nyai Koneng, penuh tekanan.

"Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Selama ini, kudengar si Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar aliran lurus. Rasanya tidak mungkin dia berbuat seperti itu," desah Ki Pintur Gumelar.

"Murid Eyang Pindih Daksa yang mengadukan hal ini padaku. Guru mereka yakin kalau pemuda yang dihadapinya adalah Pendekar Rajawali Sakti yang asli. Apakah itu tidak cukup bukti?" jelas Nyai Koneng.

"Apakah Eyang Pindih Daksa telah memeriksa secara benar?"

"Apakah dengan bukti sebilah pedang bergagang kepala burung yang memancarkan sinar biru berkilau tidak cukup. Dalam dunia persilatan, hanya seorang pendekar yang memilikinya. Ya, si Pendekar Rajawali Sakti itu Jadi mana mungkin salah? Bahkan aku sendiri pernah melihat bocah itu!" rungut Nyai Koneng.

"Apakah tidak mungkin ada orang yang memakai namanya untuk menjatuhkan pendekar itu?"

"Hm, rasa-rasanya kau ragu dengan apa yang kukatakan. Tahukah kau, apa yang dilakukannya belakangan ini?"

Ki Pintur Gumelar menggeleng lemah. "Dia telah membunuh si Kembar Muara Gamping, serta beberapa tokoh lainnya! Dan tahukah kau, bagaimana kelakuannya saat ini? Siapa pun orangnya yang tidak disukainya, maka bisa dipastikan binasa ditangannya. Pemuda itu telah sinting dan sifatnya bejad. Dia mulai diburu banyak orang. Dan, tidak sedikit yang menginginkan kematiannya. Jumlah itu akan bertambah terus bila perbuatannya tidak dicegah!" Jelas Nyai Koneng dengan perasaan geram.

"Tapi, bagaimana itu bisa terjadi padanya? Apa yang menyebabkannya berbuat seliar itu?" Tanya Ki Pintur Gumelar.

"Mungkin juga karena wanita!" Cibir Nyai Koneng sinis.

"Wanita?" Tanya Ki Pintur Gumelar tidak mengerti.

"Belakangan ini dia selalu bersama seorang wanita belia berwajah cantik. Dan bocah itu kelihatannya patuh betul dengan segala perintahnya."

"Dari mana kau ketahui semua ini?"

"Kau kira, untuk apa aku punya banyak murid? Mereka ku sebar untuk mencari tahu sepak terjang bocah itu, setelah aku mendapat laporan dari murid-murid Pindih Daksa."

Ki Pintur Gumelar menghela napas panjang "Aneh.... Sungguh sangat aneh..," desah laki-laki setengah baya itu.

"Jangan persoalkan aneh atau tidak. Bocah itu jelas berbahaya. Dia menjadi kaki tangan si Netra Buana, Maka cepat atau lambat, dia akan memburu kita. Maka sebelum menemui kita, bocah itu harus dihajar adat dulu agar tidak besar kepala!" Dengus Nyai Koneng.

"Nyai Koneng, ku ingatkan padamu. Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan. Telah puluhan tokoh sesat berkepandaian tinggi yang binasa ditangannya."

"Lalu, apa hubungannya? Apakah kau takut? Kemudian kita membiarkan saja dia berbuat semaunya, termasuk menggorok leher kita sendiri?!" sahut wanita itu dengan nada geram dan wajah kesal.

"Ingatkah kau ketika sebelas tahun lalu kita menjatuhkan si Netra Buana? Dibutuhkan banyak orang untuk menjatuhkannya. Dan kepandaian Pendekar Rajawali Sakti bisa disamakan dengan si Netra Buana. Maka kita berdua, belumlah cukup untuk memberi pelajaran pada pemuda itu," jelas Ki Pintur Gumelar bernada khawatir.

Nyai Koneng memandang sinis setelah mendengar kata-kata Ki Pintur Gumelar. "Huh! Tidak kusangka bahwa kau kini hanyalah seorang pengecut! Menyesal aku telah mengajakmu. Baiklah. Kau boleh tidak ikut. Jangan kira aku takut menghadapi pemuda itu seorang diri!" Setelah berkata demikian, Nyai Koneng menggebah kudanya dengan kencang.

"Nyai Koneng, tunggu! Bukan begitu maksudku!" teriak Ki Pintur Gumelar berusaha mengejar wanita itu.

Tapi, Nyai Koneng sama sekali tidak mau mengindahkannya. Wanita tua itu terus saja menggebah kencang kudanya. Ki Pintur Gumelar yang tahu betul watak wanita itu hanya menghela napas. Dia tidak melanjutkan pengejarannya. Percuma saja. Sekali wanita itu telah membuat keputusan, maka tidak ada seorang pun yang boleh membantah. Kini, perlahan-lahan Ki Pintur Gumelar memutar haluan dan menggebah kudanya perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula.

***

Matahari baru saja muncul di uruk timur, namun semua murid Padepokan Tapak Merah telah bangun dan mengerjakan tugas yang dibebankan seperti biasa. Beberapa orang berkebun. Yang lainnya mengisi kolam air berukuran besar. Lalu, ada yang mencari kayu bakar, membersihkan halaman padepokan ini yang begitu luas, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Termasuk, untuk urusan masak memasak. Tidak seperti padepokan silat pada umumnya. Padepokan Tapak Merah hanya diperuntukkan bagi para wanita saja. Ketuanya yang merangkap guru besar, bernama Nyai Darmi Putri. Dia adalah seorang tokoh persilatan ternama yang terkenal berjuluk si Bayangan Merah.

Nyai Darmi Putri sendirilah yang mendirikan padepokan ini sebelas tahun lalu. Dan dia menetapkan cita-citanya untuk hanya menerima murid-murid dari kaum wanita. Dan seperti biasa pula, setelah mengerjakan tugas masing-masing, murid-murid padepokan ini mulai berlatih di bawah bimbingan beberapa murid utama.

Namun sebelum mereka membentuk baris-baris untuk memulai latihan, salah seorang memberitahu akan kedatangan dua orang tamu. Di ambang pintu gerbang memang telah berdiri seorang gadis belia berwajah cantik memakai baju merah muda. Dia didampingi seorang pemuda tampan berambut panjang berbaju rompi putih. Keduanya sama-sama membawa pedang yang tersandang di punggung.

"Kisanak... Siapakah kalian? Dan, ada keperluan apa berkunjung ke padepokan kami?" Tanya seorang murid utama yang bernama Kembang Mayang.

Beberapa orang murid yang lain, tersenyum-senyum. Sikap mereka tampak genit saat melirik pemuda berbaju rompi putih ini.

"Namaku Sarti. Dan, pemuda ini kekasihku, Pendekar Rajawali Sakti. Kami ingin bertemu gurumu!" sahut gadis berbaju merah muda yang tak Iain Sarti

"Oh, benarkah?!" Tanya Kembang Mayang seraya memperhatikan pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan seksama.

"Heh?! Apa kau kira aku berdusta?" Dengus Sarti mulai gusar.

"Bukan. Maksudku, apakah Kisanak ini adalah Pendekar Rajawali Sakti yang telah kesohor itu? Ah! Suatu kehormatan bagi kami karena mendapat kunjungannya. Guru kami tentu akan senang halt menerimanya!" Kata Kembang Mayang dengan wajah cerah.

"Maka dari itu, cepat panggil gurumu!" dengus Sarti sinis.

Dalam hati, Kembang Mayang begitu gembira akan kedatangan seorang pendekar yang selama ini namanya amat dikenal dalam dunia persilatan. Dan bi-la dia sudi datang ke tempat ini, tentu hendak menjalin persaudaraan dengan gurunya. Sebab Nyai Darmi Putri sendiri adalah seorang tokoh golongan lurus seperti pemuda ini. Tidak dirasakan olehnya sikap Sarti yang begitu sinis. Dan gadis itu langsung menyuruh seorang murid untuk memanggil guru mereka.

"Pendekar Rajawali Sakti. Dan kau, Ni Sarti Silakan masuk ke dalam. Sebentar lagi guru kami akan menemui kalian berdua."

"Tidak perlu. Kedatangan kami bukan untuk beramah-tamah dengannya!"

"Tidak beramah-tamah? Apa maksudnya?" Wajah Kembang Mayang tampak bingung.

"Tentu kau sedang bergurau, bukan?" Tanya gadis itu berusaha meyakinkan sambil tersenyum.

"Tidak usah banyak bicara! Dan aku tidak sedang bergurau!" Dengus Sarti tandas.

Mendengar ucapan gadis itu, membuat Kembang Mayang tidak habis pikir. Dia menduga, gadis ini berwatak sombong dan merendahkan lawan bicaranya. Tapi kenapa Pendekar Rajawali Sakti mendiamkannya saja? Apakah berarti sama sekali tidak mempedulikan sikap kekasihnya? Atau barangkali malah menyetujui sikap angkuhnya?

"Lalu, apa maksud kedatangan kalian yang sebenarnya?" Tanya Kembang Mayang ragu.

Sebenarnya gadis ini mulai sedikit ragu kalau Sarti dan Pendekar Rajawali Sakti bermaksud buruk Karena selama ini siapa yang tidak mengenal Pendekar Rajawali Sakti yang merupakan seorang pendekar aliran lurus. Dan rasanya, di antara mereka tidak pernah terjadi perselisihan. Dan tidak habis pikir, kenapa sikap gadis berbaju merah muda ini sangat tidak bersahabat.

"Kembang Mayang, menepilah. Aku tahu maksud mereka yang sebenarnya," sahut suara dari belakang, sebelum Sarti sempat menjawab.

Kembang Mayang berbalik, kemudian menjura hormat. Demikian juga murid-murid yang lain. Seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun lebih memakai baju hitam berjubah merah, berjalan pelan mendekati kedua tamunya.

"Guru...."

"Sudahlah. Biarkan mereka menjadi urusanku," sahut wanita tua yang tidak lain Nyai Darmi Putri.

Ketua Padepokan Tapak Merah kemudian memandang Sarti dan Rangga bergantian. "Hm, cepat sekali kalian tiba di tempatku ini. Jadi benarkah berita yang kudengar?" Sapa Nyai Darmi Putri halus.

"Berita apa yang kau dengar?" Tanya Sarti.

"Pendekar Rajawali Sakti bersekutu dengan iblis sesat yang menamakan dirinya Netra Buana?"

"Apa?!"

Kembang Mayang terkejut. Langsung ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dan gurunya bergantian. Rasanya sulit dipercaya. Apalagi, gadis ini tahu betul, siapa Ki Netra Buana. Gurunya sering bercerita mengenai tokoh sesat itu. Mungkin Pendekar Rajawali Sak-ti bersekutu dengannya? Tapi, tadi gurunya berkata dengan suara meyakinkan. Dan agaknya, bukan dia saja yang terkejut. Tapi juga murid-murid lain yang mengenal siapa sesungguhnya Ki Netra Buana.

"Hi hi hi...! Bagus! Agaknya tidak sulit lagi kami menjelaskan tujuan!" sahut Sarti sambil ketawa nyaring.

Nyai Darmi Putri memandang tajam kepada pemuda berbaju rompi putih itu. "Benarkah begitu, Pendekar Rajawali Sakti?"

"Aku ditugaskan membunuhmu!" sahut pemuda itu tandas.

Wanita tua ini tersenyum kecil. Semua muridnya yang tadi tertarik pada pemuda itu, kini terkejut dan merasa marah karena mendengar sendiri ucapan yang keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.

"Nah! Kau dengar sendiri kata-katanya, bukan?"

Nyai Darmi Putri tidak mempedulikan ucapan sinis gadis itu. Dan dia tetap memandang pemuda itu dengan tajam.

"Kenapa? Di antara kita tidak ada saling permusuhan. Lalu, apa sebabnya kau menjadi kaki tangan si Netra Buana? Apakah kau telah termakan bujuk rayunya? Atau, barangkali kau sama sekali tidak mengenalnya? Atau mungkin, matamu buta disilaukan oleh gadis ini?" kata Nyai Darmi Putri tajam.

"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Percuma kau mengoceh membujuknya! Dia hanya menurut pada kata-kataku!" hardik Sarti garang Gadis itu langsung menoleh pada Rangga. "Kakang, musuh ada di hadapanmu! Apa lagi yang kau tunggu? Bunuh dia sebelum kau terbunuh olehnya!" Begitu Sarti selesai berucap, secepat itu pula Rangga mencelat menyerang Nyai Darmi Putri.

"Hiyaaa!"

"Hup!" Wanita tua itu cepat mencelat ke atas. Dan tubuhnya terus berputar ke samping, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu betul, lawan yang sedang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan. Bahkan dia sendiri tidak yakin, apakah mampu mengatasi pemuda ini.

"Kembang Mayang! Bawa kawan-kawanmu, dan ringkus gadis sombong itu!" teriak Nyai Darmi Putri memberi perintah.

"Baik, Guru!" sahut gadis itu seraya mengajak murid-murid utama lainnya untuk meringkus Sarti.

"Hi hi hi...! Kalian kira semudah itu menangkap ku? Ayo, majulah. Siapa yang ingin binasa lebih dulu, silakan!" teriak Sarti sambil tertawa nyaring seraya mencabut pedang.

Sring!

"Yeaaa!"

Tujuh orang murid utama Padepokan Tapak Merah serentak bergerak menyerang Sarti. Tiga orang diantaranya menghindar dari serangan gadis itu, sementara empat orang menyerang dari samping kiri dan kanan. Padepokan Tapak Merah terkenal karena ilmu pedangnya. Namun, mereka juga mahir menggunakan senjata sejenis tambang untuk meringkus lawan.

Dan agaknya, hal itulah yang saat ini hendak dilakukan. Sarti begitu jumawa dan merasa yakin akan kemampuan yang dimilikinya untuk menjatuhkan dan sekaligus membunuh lawan-lawannya. Namun akhirnya, dia tersentak sendiri. Sebab serangan ketujuh lawannya tidaklah enteng seperti yang diduga. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mendesaknya.

"Heaaat!" Dengan nekat gadis itu mencelat keatas untuk menghindari kepungan ketujuh lawannya.

Set! Rrrt!

Sarti memaki ketika seutas tambang melesat cepat menggulung pergelangan kakinya. Dia hendak memapas tambang itu, namun seutas tambang lainnya telah melibat pinggangnya. Tubuh gadis itu tersentak deras ke bawah, ketika lawan menariknya dengan keras.

"Setan...!" maki Sarti kembali ketika tubuhnya terjerembab keras.

"Jangan coba-coba bangkit kalau kau masih ingin hidup!" desis Kembang Mayang seraya menuding ujung pedangnya, persis di leher lawan. Sementara yang lainnya berbuat sama mengurung gadis itu dengan pedang terhunus.

"Buang pedangmu!" bentak seorang murid dengan nada jengkel.

Sarti terpaksa menurut, meski hatinya menggerutu geram. "Huh! Percuma saja kalian mengalahkanku. Guru mu akan binasa ditangan Pendekar Rajawali Sakti!"

"Begitu?" cibir Kembang Mayang, sinis, "Mungkin guru kami akan tewas. Tapi, kau akan menyusul sekejap kemudian kalau kau tidak menghentikan pemuda itu!"

Kembang Mayang langsung menekan ujung pedangnya lebih kuat, membuat Sarti tergagap. Di sadari kalau lawan tidak main-main dengan ancamannya. Sepasang matanya terbelalak, dan mukanya mulai pucat.

"Cepat perintahkan dia untuk menghentikan serangannya. Atau, kau akan mampus lebih dulu!" sentak Kembang Mayang geram, ketika melihat gurunya mulai terdesak hebat oleh serangan si Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang Rangga, hentikan seranganmu! Hentikan...!" teriak Sarti.

"Huh!" dengus Rangga sinis. Sekilas dipandangnya gadis itu. Kemudian seperti tak mempedulikannya, dia terus menyerang Nyai Darmi Putri.

"Kakang, kau harus mendengar kata-kataku! Hentikan seranganmu...!" teriak Sarti lebih keras.

Kali ini kata-kata gadis itu mengena. Pendekar Rajawali Sakti segera menghentikan serangan, dan memandang gadis itu yang kini terikat dan dipegangi dua orang murid padepokan ini.

"Kenapa aku harus menghentikan serangan? Apakah kau hendak menghalangi tugasku?" Tanya pemuda itu, datar.

"Tidakkah kau lihat keadaanku? Bila kau teruskan, maka mereka akan membunuhku. Kakang, kau harus turuti kata-kataku!"

Rangga terdiam dengan sikap serba salah.

"Lepaskan aku! Bukankah sudah ku turuti kehendak kalian?!" Teriak Sarti sengit

Nyai Darmi Putri tersenyum, seraya menghampiri gadis itu. Dan dia berpaling sejenak pada muridnya. "Kembang Mayang, tindakanmu sungguh tepat..."

"Terima kasih, Guru."

"Wanita busuk! Apa lagi yang kau tunggu..! Lepaskan aku...!" hardik Sarti, geram.

"Apakah kau kira kami begitu bodoh melepaskanmu? Begitu lepas, maka kau akan melanjutkan niatmu. Kalian akan ku hukum, setelah aku memerintahkan pemuda itu untuk diikat!" sahut Nyai Darmi Putri.

"Mengikatnya? Hi hi hi...! Apakah kau kira mudah?" cibir Sarti, sinis.

鈥淭entu saja atas perintahmu. Kulihat, dia begitu patuh padamu. Maka, kau pasti bisa mengatakannya. Kalau tidak, jangan harap kau akan lolos dari tangan kami! Ancam Kembang Mayang.

"Perempuan licik!" Umpat Sarti geram.

Nyai Darmi Putri tertawa kecil "Itu masih baik ketimbang kami membunuh kalian di sini. Nah, tidak usah banyak bicara! Lekas perintahkan dia agar jangan melawan, saat murid muridku mengikatnya!"

Sambil bersungut-sungut kesal, saat memerintahkan agar pemuda itu tidak melawan, saat dua orang murid padepokan ini hendak mengikatnya

"Sarti, apa yang kau lakukan? Kau menyalahi aturan," kata Rangga dengan wajah heran.

"Aku tidak punya pilihan, Kakang Rangga. Turuti saja keinginan mereka...," sahut gadis itu lesu.

Maka meski dalam hati tidak setuju, tapi Rangga tidak dapat berbuat apa-apa. Dia diam saja ketika mereka mengikatnya kuat-kuat. Saat itu, mendadak dari arah pintu gerbang terdengar derap langkah kuda menuju ke arah mereka.

Semua murid berpaling. Dan Nyai Darmi Putri terkesiap ketika menyadari bahwa mereka telah lengah. Karena meski hanya sekejap, kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sarti. Gadis itu cepat menyentakkan diri. Dan dalam keadaan terikat, tubuhnya bergulingan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang Rangga, sudah saatnya kau bertindak! Bunuh mereka semua!" teriak Sarti.

***
LIMA
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap, namun cepat bertindak. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang telah mencapai tingkat kesempurnaan, tambang yang mengikat kedua tangan dan kaki disentaknya.

"Yeaaa!"

Tes!

"Kakang Rangga, bebaskan aku!" teriak Sarti, putus asa. Dia berusaha melepaskan diri, namun tidak juga mampu. Tambang yang digunakan untuk mengikat mereka berdua, memang bukan dari jenis biasa. Tambang itu terbuat dari jalinan sebuah kulit pohon yang amat langka.

Meskipun hanya sebesar jari, namun kealotannya sangat hebat Jika Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam tinggi, belum tentu tambang yang mengikatnya putus. Hal itu terbukti pada Sarti. Gadis ini memiliki tenaga dalam cukup hebat. Namun begitu, dia tidak mampu memutuskan tali yang mengikat kedua tangan dan kakinya.

"Yeaaa!" Nyai Darmi Putri melompat hendak menggagalkan niat Rangga yang akan menolong Sarti Namun, serangkum angin kencang laksana badai topan menyambar ke arahnya.

Werrr!

"Uhhh, gila...!" Wanita itu mendesis kaget. Dan dia cepat mencelat kesamping, menghindari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Rangga. Sehingga, pemuda itu dengan leluasa membuka ikatan Sarti.

"Huh! Sekarang kau rasakan balasan kami!" dengus gadis itu seraya bangkit dan memungut pedangnya. Namun sebelum Sarti bergerak menyerang, penunggang kuda yang tadi mengalihkan perhatian mereka, telah melompat dari tunggangannya.

"Hm, bagus! Ternyata dugaanku tidak salah Akhirnya kujumpai juga kalian di sini!" dengus penunggang kuda yang ternyata seorang wanita tua.

"Nyai Koneng! Apakah kau tidak punya tata krama? Tiba-tiba saja kau muncul dan menggagalkan segala apa yang telah terjadi," tegur Nyai Darmi Putri, bernada sedikit kurang senang.

Orang yang baru muncul memang Nyai Koneng. Setelah berpisah dengan Ki Pintur Gumelar, dia sengaja datang ke Padepokan Tapak Merah. Dia memang menduga, bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan datang ke sini. Hal itu tidak heran, mengingat berita yang didengarnya, bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan membunuh mereka yang sepuluh tahun lalu telah menjatuhkan Ki Netra Buana. Dan, Nyai Darmi Putri adalah seorang di antaranya.

"Apa maksudmu? Kedatanganku ke sini untuk membantumu menghajar kedua bocah kurang ajar ini!" sahut Nyai Koneng gusar.

鈥淭ahukah kau, bahwa sebelum kedatanganmu, kami telah meringkus mereka? Dan kini, kau malah mengacaukan segalanya!" rungut Nyai Darmi Putri.

"Meringkus mereka katamu? Untuk apa? Mereka harus dibunuh setelah apa yang mereka lakukan terhadap sahabat-sahabat kita!" sahut Nyai Koneng.

Nyai Darmi Putri bermaksud menyahut kembali. Namun Nyai Koneng yang memang adatnya keras, sudah langsung memotong.

"Sudahlah! Kalau memang kau tidak senang, biar aku yang akan menghajar mereka!"

"Tapi, Nyai Koneng."

Wanita berbaju serba kuning itu tidak mempedulikan ocehan Nyai Darmi Putri. Dan dia langsung melompat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaat!"

Melihat lawan menyerangnya, Rangga tidak tinggal diam dan langsung menyamburnya. Pertarungan tidak dapat dihindari lagi. Nyai Koneng menyerang penuh semangat, karena hatinya diliputi kemarahan. Sedangkan pemuda itu agaknya mengikuti irama serangan lawan. Melihat wanita tua itu begitu bernafsu untuk membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti merasa dirinya terancam. Sehingga, dia melawan dengan sengit.

Sementara itu, Nyai Darmi Putri tidak punya pilihan. Kalau dia membantu Nyai Koneng, maka wanita itu akan marah karena merasa tersinggung. Seolah-olah, Nyai Koneng merasa direndahkan karena tak mampu menundukkan. Maka, ketua padepokan itu menyuruh murid-muridnya kembali meringkus Sarti.

Tapi, kali ini Sarti cukup cerdik. Disadari kalau tidak akan unggul menghadapi lawan-lawannya gadis itu bergerak mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Kau harus menghadapi mereka juga! Lihat, mereka hendak membunuhku, dan juga akan membunuhmu!" teriak Sarti.

Rangga cepat menghantam murid-murid Nyai Darmi Putri dengan satu pukulan jarak jauh. "Heaaa!"

"Awaaas...!" teriak Kembang Mayang pada kawan-kawannya, seraya melompat menghindar.

"Yeaaa!" Nyai Koneng mempergunakan kesempatan itu untuk menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Namun Rangga agaknya telah memperhitungkannya. Tubuhnya cepat berkelit gesit sambil membungkuk. Lalu dibalasnya serangan itu dengan hantaman pukulan jarak jauh dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.

"Hiiih!" Selarik cahaya merah menyambar Nyai Koneng, begitu Rangga menghentakkan tangan kanannya kedepan. Wanita itu terkejut. Segera dia mencelat kesamping sambil mencabut sepasang pedang bergagang perak.

Sring!

Begitu berhasil menghindari cahaya merah itu, Nyai Koneng langsung meluruk menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa!"

Si Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak mengurungkan niat membunuh, melihat apa yang hendak dilakukan wanita itu. Tanpa membuang waktu, pedang pusakanya dicabut. Langsung dipapaknya kelebatan pedang Nyai Koneng.

Tras!

"Heh?!" Nyai Koneng terkejut bukan main. Ternyata serangannya berakibat parah. Akibatnya sungguh fatal, pedangnya terbabat putus. Kalau saja tubuhnya tak langsung mencelat kesamping, niscaya ujung pedang Rangga akan merobek dadanya.

"Heaaa!" Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Dan dia sudah terus mengejar dengan kecepatan sulit diikuti pandangan mata biasa. Meski Nyai Koneng menghantam dengan pukulan jarak jauh bertenaga penuh, namun dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuh menghindarinya. Malah tubuhnya terus meluruk dengan kelebatan pedangnya yang amat dahsyat.

Nyai Koneng terdesak, tidak bisa menghindarkan diri dari serangan Rangga yang bertubi-tubi. Dan jalan terakhir adalah memapaki senjata Pendekar Rajawali Sakti dengan pedangnya yang tinggal satu. Dan....

Tras!

Seperti bisa diperhitungkan, pedang bergagang perak itu putus dibabat senjata Pendekar Rajawali Sakti. Nyai Koneng bermaksud menjatuhkan diri, untuk menghindari sambaran pedang Rangga. Namun saat itu juga, satu tendangan keras menghantam kearah perut.

DukK!

"Aaakh...!" Nyai Koneng melenguh tertahan. Dan belum lagi wanita itu sempat bersiaga, tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat bagaikan kilat, sehingga tidak mampu dihindarinya. Sehingga...

Cras!

Nyai Koneng bahkan tidak sempat berteriak ketika kepalanya menggelinding!

"Heh!" Semua yang melihat kejadian itu berseru kaget.

"Sadis! Biadab!" maki Nyai Darmi Putri dengan wajah merah menahan amarah.

"Kakang! Tidak usah banyak bicara lagi Habisi mereka semua!" teriak Sarti memberi perintah disertai senyum liciknya.

Rangga langsung melompat menyerang Nyai Darmi Putri beserta murid-muridnya. "Heaaat..!"

Dhesss!

"Aaa...!"

Tiga orang murid Padepokan Tapak Merah memekik setinggi langit, langsung terjungkal bersimbah darah ketika mencoba memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pedang di tangan pemuda itu agaknya tidak mengenal ampun. Sehingga, membabat siapa saja yang mendekatinya. Hal ini menimbulkan rasa resah di antara murid-murid itu.

Meski Nyai Darmi Putri berusaha menahan serangan pemuda itu, tetap saja sepak terjangnya tidak dapat dihalangi. Dan kali ini, mereka tidak bisa mengulangi siasat seperti tadi. Sebab, Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan pada murid-murid Padepokan Tapak Merah untuk meringkus Sarti. Nyatanya pemuda itu selalu melindunginya dari serangan.

"Kembang Mayang! Bawa yang lainnya menyingkir! Percuma saja kalian menahan mereka Ayo, bawa mereka menyingkir. Biar ku tahan pemuda ini!" teriak Nyai Darmi Putri memperingatkan murid-muridnya.

"Tidak, Guru! Kami akan tetap bersamamu sampai tetes darah yang penghabisan!"

"Jangan membantah, Bodoh! Ayo, masih banyak yang harus kalian lakukan. Cepat pergi kataku! Cepaaat...!" bentak wanita itu geram, seraya mencabut pedang dan memperhebat serangan. Kembang Mayang untuk sesaat menjadi ragu.

Namun, Sarti tidak memberi kesempatan dan sudah langsung menerjangnya. "Kalian kira bisa lolos begitu saja? Terimalah kematianmu. Yeaaa!"

"Hup!" Kembang Mayang melompat menghindar. Kemudian, dia balas menyerang bersama kawan-kawannya.

"Kembang Mayang! Jangan hiraukan dia! Pergilah kalian secepatnya dari sini!" teriak Nyai Darmi Putri.

Baru saja wanita itu menyelesaikan kata-katanya Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang Nyai Darmi Putri terkejut, dan nyaris kepalanya menggelinding. Untung dia cepat menjatuhkan diri. Namun, pemuda itu tidak memberi hati. Bahkan langsung mengayunkan satu tendangan keras.

Duk!

"Aaakh!" Nyai Darmi Putri menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan darah segar menyembur dari mulut. Pada saat itu juga, pedang ditangan Rangga menyambar pinggangnya.

Cras!

"Aaakh!" Wanita tua itu memekik tertahan. Dan tubuhnya langsung bersimbah darah dengan pinggang nyaris putus!

"Guru...!" Kembang Mayang terkejut melihat kejadian itu. Sehingga, dia melupakan Sarti. Kembang Mayang langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan amarah meluap.

"Jahanam keparat, kubunuh kau! Yeaaa...!"

Melihat itu, Sarti tidak tinggal diam. Dan pedangnya cepat berkelebat mengejar. Kembang Mayang terkesiap. Dan meski kakinya mampu ditekuk untuk menghindari tebasan, namun pedang Sarti langsung berbalik dengan gerakan meliuk menyambar pinggangnya.

Cras!

"Aaa...!" Gadis itu terpekik, dan roboh bermandikan darah.

"Heh?!" Murid-murid Padepokan Tapak Merah yang lain terkejut melihat kejadian itu. Mereka bermaksud menuntut balas, namun teringat pesan guru mereka. Maka dengan segera, mereka berkelebat meninggalkan tempat itu secara bersamaan.

"Hi hi hi...! Ayo, larilah sekencang-kencangnya selagi kalian masih mampu! Hi hi hi...! Pengecut pengecut hina! Kalian tidak ada gunanya hidup, setelah guru kalian mampus!" Teriak Sarti sambil tertawa nyaring dan membiarkan saja mereka yang kabur dari tempat ini. Lalu setelah tidak ada yang tersisa, Sarti segera mengajak Rangga untuk meninggalkan tempat itu.

***

Sosok tubuh mengendalikan kudanya pelan-pelan, dengan wajah tertunduk lesu. Udara yang panas menyengat, seperti tidak dirasakan olehnya Lebih kurang dua puluh tombak di depannya, terdapat sebuah pintu gerbang yang terbuat dari barisan kayu jati sebesar betis kaki orang dewasa, setinggi satu tombak. Diatasnya terdapat sebilah papan panjang dua kali rentangan orang dewasa bertuliskan Padepokan Kalong Wetan. Perlahan sosok itu turun dari kudanya, setelah tiba di muka pintu gerbang.

"Sampurasun...," ucap sosok itu, memberi salam.

"Siapa gerangan Kisanak? Dan, hendak bertemu siapa?" Tanya satu suara dari dalam setelah membalas salam hormat orang itu.

"Aku Ki Pintur Gumelar, hendak bertemu gurumu, Ki Polong."

Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Dan dua orang murid padepokan yang menjaga pintu gerbang menyilakannya masuk. Seorang dari mereka segera membawakan kudanya ke istal. Orang tua yang ternyata Ki Pintur Gumelar itu menunggu barang sesaat di beranda depan, sebelum muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun memakai baju loreng. Kepalanya hanya sedikit ditumbuhi rambut yang telah memutih. Tubuhnya agak pendek, dengan perut besar serta memakai baju loreng. Wajahnya tampak cerah menyambut tamunya.

"Sahabatku Ki Pintur Gumelar! Ah! Angin apakah gerangan yang membawamu ke tempatku ini? Ayo, silakan masuk ke dalam!" sambut laki-laki berbaju loreng itu.

Mereka berpelukan sesaat. Kemudian Ki Pintur Gumelar mengikuti langkah laki-laki tua itu ke dalam. Dan kini mereka sampai di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun memiliki jendela banyak dan terbuka lebar. Sehingga, udara sejuk terasa menerpa kulit.

"Ki Polong, apakah kedatanganku mengganggumu...?" Tanya Ki Pintur Gumelar.

"Mengganggu? Ah, sama sekali tidak! Bahkan aku merasa senang mendapat kunjungan seorang sahabat lama sepertimu. Nah, silakan dinikmati hidangan yang kusediakan. Lalu, ceritakanlah kabarmu sekarang?" sahut laki-laki berbaju loreng yang bernama Ki Polong.

Ki Pintur Gumelar meneguk minuman yang disediakan. Lalu ditariknya napas panjang. Kemudian perlahan-lahan diceritakannya kunjungannya ke sini.

"Astaga! Jadi benar berita yang kudengar itu?!" Wajah Ki Polong tampak terkejut ketika Ki Pintur Gumelar selesai bercerita.

"Begitulah, Sobat. Dua hari lalu, Nyai Koneng mengajakku untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Namun, dia salah menduga. Bahkan aku dituduh pengecut. Dan...." Wajah Ki Pintur Gumelar tampak lesu sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Ada apa, Sobat?"

"Kemarin, kudengar dia tewas secara menyedihkan."

"Astaga? Betulkah itu?"

Ki Pintur Gumelar mengangguk. "Juga Nyai Darmi Putri...," lanjut Ki Pintur Gumelar semakin lesu.

Kali ini, Ki Polong tidak bisa menyembunyikan amarahnya mendengar berita yang dibawa kawannya. Kedua tangannya terkepal, dan wajahnya berkerut sambil mendengus tajam.

"Kurang ajar! Anak itu agaknya tidak bisa didiamkan begitu saja. Kita harus menuntut balas atas kematian mereka!" Desis Ki Polong geram.

"Kita tidak bisa bertindak gegabah, Sobat! Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan!" desah Ki Pintur Gumelar.

"Maksudmu?"

Ki Pintur Gumelar menarik napas panjang sebelum menjawab. "Dua orang murid Nyai Darmi Putri datang ketempatku. Mereka menceritakan kejadian ini. Mestinya, mereka telah berhasil meringkus si Pendekar Rajawali Sakti dengan tipu muslihat. Namun, Nyai Koneng muncul dan menggagalkan semuanya. Waktu yang singkat sekali, dipergunakan Pendekar Rajawali Sakti sebaik-baiknya. Dan berhasil melepaskan ikatan tambang dari Padepokan Tapak Merah yang terkenal alot dengan sangat mudah. Lalu dia mengobrak-abrik mereka, sehingga Nyai Koneng terbunuh dengan kepala putus. Sedang Nyai Darmi Putri dengan pinggang nyaris putus."

"Biadab...!" maki Ki Polong geram.

"Tenanglah, Sobat. Kita tidak bisa bersikap sembrono. Aku telah memperingatkan, namun Nyai Koneng terlalu keras kepala. Kukatakan padanya bahwa kepandaian Pendekar Rajawali Sakti amat hebat. Dan kita bukanlah lawan sepadan baginya."

"Lalu, bagaimana rencanamu?"

"Kita harus bersama-sama meringkusnya Kemudian memberi hukuman setimpal baginya!" jelas Ki Pintur Gumelar tandas.

"Bersama-sama siapa, jika sebagian besar kawan-kawan kita telah binasa?"

"Kau lupa, Sobat? Kita masih mempunyai tiga orang kawan yang memiliki kepandaian hebat. Mereka memiliki kepandaian dua tingkat diatas kita. Jika mereka bersatu dengan kita serta yang lain, apa yang bisa diperbuat Pendekar Rajawali Sakti? Kita pasti berhasil meringkusnya!"

"Ya, ya, aku ingat. Bukankah yang kau maksudkan adalah Ki Walang Ijo alias si Belalang Sakti, dan Ki Gempar Persada alias si Tangan Geledek, serta Nyai Kami yang berjuluk si Sabit Perak?"

"Benar sekali, Sobat!"

"Tapi apakah mereka mau? Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Dan kudengar, mereka kini menjauhi dunia ramai dan hidup sebagai pertapa?" Tanya Ki Polong ragu.

"Percayalah, Sobat. Mereka pasti mau!"

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"Bagaimana tidak? Mereka akan mendengar kekejaman yang dilakukan si Pendekar Rajawali Sakti. Lalu mereka menyadari bahwa kepandaian sepuluh orang seperti kita, belum tentu bisa menandingi pemuda itu. Apakah itu tidak cukup menjadi alasan untuk membantu kita? Lagi pula, bukan hanya kita yang meminta," kata Ki Pintur Gumelar menjelaskan.

"Maksudmu?"

"Pendekar Rajawali Sakti agaknya bukan hanya ingin membalas kita yang dulu pernah menjatuhkan si Netra Buana, tapi lebih dari itu. Dia bisa dipergunakan si Netra Buana untuk membunuh para tokoh silat golongan lurus yang lain. Dia ancaman bagi mereka. Dan itu, akan kita beritahukan pada tokoh-tokoh silat lainnya.

"Hm, aku mengerti. Dengan begitu, Pendekar Rajawali Sakti akan terjepit dan menjadi incaran setiap tokoh-tokoh persilatan."

"Ki Polong. Sebenarnya, aku tidak tega melakukan hal ini padanya. Pendekar Rajawali Sakti adalah tokoh ternama. Dan selama ini, sepak terjangnya selalu di jalan lurus. Tapi entah apa sebabnya, kini dia berubah. Dan jelas, itu merupakan ancaman bagi tokoh-tokoh silat golongan lurus. Kita tidak punya pilihan lain. Dan barangkali pun tidak punya kesempatan baginya untuk menjelaskan duduk persoalan. Aku telah banyak mendengar bahwa sebagian tokoh silat, amat membencinya. Dan mereka telah mendengung-dengungkan pada yang lain untuk bersatu, guna menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti."

"Akhir kehidupan menggiriskan dari seorang pendekar yang begitu termashur dan disegani semua kalangan," gumam Ki Polong.

"Yaaah! Kedengarannya memang begitu. Tapi telah kukatakan tadi, bahwa kita tidak punya pilihan lain."

Mereka terdiam beberapa saat, seperti mem-bayangkan apa yang akan terjadi pada Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya nasibnya telah ditentukan. Bila semua tokoh persilatan golongan lurus yang selama ini amat dihormati, lalu berniat hendak membunuhnya, siapa yang mampu menahan amukan mereka?"

***
ENAM
Seorang gadis cantik berbaju biru duduk tenang di pojok sebuah kedai diDesa Sampit. Sesekali mulutnya mengunyah makanan didepan mejanya. Wajahnya tampak murung. Dan meski perhatiannya kelihatan terpusat pada makanannya, sesungguhnya telinganya sedang dipasang lebar-lebar mendengar semua percakapan orang-orang di kedai ini. Dan itu semakin membuat hatinya resah bercampur sedih. Bahkan tidak percaya dan terasa amat menyakitkan!

"Rasanya sulit dipercaya kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai melakukan perbuatan biadab itu!" kata seorang laki-laki gemuk bermuka bundar. Dia duduk tidak jauh dari meja gadis itu. Sejak tadi mulutnya terlihat tidak henti-hentinya mengunyah. Sementara pandangannya secara seksama tertuju pada dua orang kawannya.

"He, apa yang kau tahu, Bodong?! Kerjamu hanya makan dan tidur!" ejek kawannya yang bertubuh ceking. Dia memakai ikat kepala berbunga-bunga. Didesa ini laki-laki berusia sekitar dua puluh enam tahun ini dikenal bernama Sumanta.

Mendengar ejekan Sumanta, kawan mereka yang seorang lagi tampak sedikit tersenyum. Sejak tadi, wajah orang itu amat menggebu-gebu menceritakan berita yang belakangan ini amat menghebohkan. Yaitu, Pendekar Rajawali Sakti yang mengadakan pembunuhan di mana-mana secara biadab.

"Dasar si Bodong...!"

"Kalian berdua hanya bisa mengejek. Aku bersungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengerti. Kenapa Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang sering memerangi kejahatan, kok malah membunuh tokoh-tokoh silat golongan lurus?" sahut si Bodong sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya kelihatan bingung.

"Kenapa musti heran. Segala sesuatu di dunia ini bisa berubah ya, Min?" sahut Sumanta.

"Iya! Apalagi, kalau telah terpengaruh harta atau wanita."

"Jadi, kalian mengira Pendekar Rajawali Sakti terpengaruh harta atau wanita, sehingga mau berbuat sekeji itu?" Tanya si Bodong lagi, dengan wajah semakin bodoh.

"Yaaah, mungkin dua-duanya," sahut laki-laki yang bernama Samin tidak acuh.

Si Bodong terdiam, memikirkan kata-kata Samin. Sementara itu, dari pintu kedai berdiri seorang laki-laki kurus bermata cekung. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang pangkalnya terdapat sebuah rantai besi sepanjang lima jengkal. Diujung rantai besi, tergantung tiga bilah pisau. Bajunya lusuh.

Bahkan mirip gembel. Tubuhnya bau, sehingga membuat sebagian pengunjung yang tidak tahan oleh aroma itu segera menutup hidungnya. Namun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu sama sekali tidak mempedulikan pandangan seluruh orang yang berada di kedai ini. Dengan tenang, dia mengambil tempat agak di tengah. Lalu pandangannya beredar ke sekeliling ruangan, sehingga bertumpu agak lama pada gadis berbaju biru itu.

"Eh, Kisanak akan pesan apa?" Tanya seorang pelayan menghampiri laki-laki mirip gembel itu dengan wajah takut-takut.

Laki-laki ini melirik sekilas dengan tatapan tajam. Dan si pelayan yang sejak tadi memang sudah ngeri melihat wajah pengunjungnya yang berkesan menggiriskan, sudah semakin bergidik saja bulu kuduknya.

"Makanan apa saja yang kalian miliki...?" Tanya laki-laki itu dengan suara serak

Si pelayan menyebutnya satu persatu dengan suara sedikit gemetar.

"Hm.... Ternyata makanan di kedai ini kurang lengkap," sahut laki-laki itu setengah bergumam.

"Kisanak! Kedai kami merupakan yang terbesar dan terlengkap hidangannya di seluruh kadipaten ini. Karena, kami ingin memberi kepuasan pada pengunjung. Bila ada sesuatu yang kau sukai, boleh katakan. Dan, kami akan berusaha menghidangkannya."

"Hm.... Kalau begitu, tolong sediakan daging segar Pendekar Rajawali Sakti serta seguci besar darahnya!" sahut laki-laki itu bernada dingin.

Si pelayan tersedak dan wajahnya tampak kaget.

"Kenapa? Apakah kau tidak mampu menyediakannya? Bukankah kau katakan tadi, kedai ini berusaha memberi kepuasan pada pengunjung? Atau, barangkali aku sendiri yang harus menyediakannya?" Tanya laki-laki itu dengan senyum mengejek.

"Kisanak.... Permintaanmu tidak lumrah. Mana mungkin kami bisa menyediakannya?"

"Kalau begitu, sediakan yang lainnya."

"Apakah gerangan yang Kisanak inginkan?"

"Kalau kau tidak bisa menyediakan daging segar Pendekar Rajawali Sakti, maka kau boleh menyediakan kekasihnya sebagai pengganti!"

Kembali wajah si pelayan semakin bingung tidak mengerti. Dan semua pengunjung yang dan pertama memandang aneh pada laki-laki ini, sema kin tertarik saja.

"Kisanak...!"

"Hm.... Kau tidak perlu repot-repot Kalau memang tidak mampu menyediakannya, setidaknya kau telah cukup membantu. Sebab, dia berada diruangan kedaimu ini."

Kata-kata si pelayan terhenti ketika laki-laki itu langsung memotongnya. "Eh, apa maksudmu, Kisanak?"

"Maksudku kekasih si Pendekar Rajawali Sakti ada dalam ruangan kedai ini. Dan, biarlah aku yang akan menangkapnya. Lalu, setelah itu kau masaklah buatku."

Baru saja kata-kata itu selesai, mendadak mencelat sebuah cangkir ke arah gadis berbaju biru yang sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan laki-laki itu.

Namun mendapat serangan mendadak seperti itu, terkejut juga hati gadis itu. Tubuhnya cepat sedikit bergeser, sehingga cangkir itu hancur berantakan membentur tembok. Sementara tubuh laki-laki kumal itu telah mencelat kearahnya sambil menghantamkan telapak tangan kanannya.

"Hiiih!" Namun, gadis itu telah lebih dulu melompat, menghindar.

Bruak!

"Setan buduk!"

Meja serta kursi tempat gadis berbaju biru tadi berada, hancur berantakan. Sementara laki-laki berbaju gembel itu sama sekali tidak mempedulikan. Dan dia sudah langsung mengayunkan tongkat menyerang gadis berbaju biru sambil terkekeh-kekeh.

"He he he...! Tidak bertemu Pendekar Rajawali Sakti kekasihmu, maka kau pun bisa kujadikan tumbal. Berhati-hatilah kau. Sebab, bukan aku saja yang hendak mencincangmu. Tapi semua tokoh persilatan pun ingin berebut membunuhmu!"

Gadis berbaju biru yang tidak lain Pandan Wangi alias si Kipas Maut, cepat mencelat untuk menghindari keributan yang mulai terjadi di dalam kedai. Bersamaan dengan itu, beberapa tokoh persilatan yang tadi berada di kedai, ikut keluar di belakang laki-laki berbaju kumal itu. Bahkan mereka sudah mengepung Pandan Wangi dengan sikap bermusuhan.

"Si Kelelawar Buduk! Jangan serakah kau! Aku pun punya kepentingan dengannya!" teriak seorang laki-laki bertubuh kekar pada lelaki berbaju gembel itu. Cambang bauk tebal tampak menghiasi wajahnya.

"Ha ha ha...! Kau dengar itu, Kipas Maut? Betul kataku, bukan?" Ujar laki-laki yang sesungguhnya dikenal sebagai si Kelelawar Buduk

"Kipas Maut! Kau harus tunjukkan pada kami, dimana Pendekar Rajawali Sakti?!" teriak seorang yang lain dengan wajah garang.

"Huh! Kalian salah alamat! Kalau memang kalian berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti, seharusnya cari sendirilah. Aku tidak tahu menahu di mana dia berada!" sentak Pandan Wangi.

"Ha ha ha...! Mustahil kau tidak tahu di mana dia berada. Jangan coba-coba membohongi kami!" sahut satu suara gusar.

"Sebaiknya katakan saja, di mana dia berada. Maka kau bisa lepas dari tanggung jawab atas perbua-tan biadab yang telah dilakukannya!" timpal si Kelelawar Buduk.

"Kalian boleh percaya atau tidak Yang jelas, aku tidak tahu di mana dia berada saat ini. Kemunculanku pun untuk mencarinya!"

"Hm, kasihan sekali," desah si Kelelawar Buduk sambil tertawa sinis.

Namun paras wajah si Kelelawar Buduk cepat berubah bengis. "Tapi jangan harap kami bisa percaya begitu saja! Kau harus memberitahukannya! Atau, kau yang akan menggantikannya untuk menerima pembalasan kami!" lanjut si Kelelawar Buduk.

"Si Kelelawar Buduk! Selamanya aku tidak pernah gentar terhadap orang-orang sepertimu! Kalau kau memaksa, maka aku terpaksa membela diri!" sahut Pandan Wangi, tegas.

"Bagus! Nah, kau boleh terima kematianmu!" Si Kelelawar Buduk langsung mencelat menyerang Pandan Wangi dengan mengibaskan tongkatnya. Namun, tokoh-tokoh silat lainnya agaknya tidak mau ketinggalan. Dengan dipenuhi amarah dan rasa dendam, lima orang dari mereka langsung ikut menyerang si Kipas Maut.

"Si Kelelawar Buduk! Jangan serakah kau! Bukan hanya kau yang punya urusan dengannya!" Teriak seseorang.

Si Kelelawar Buduk agaknya tidak begitu mempedulikannya, apakah mereka mau mengeroyok Pandan Wangi atau tidak. Dia tetap menyerang gadis itu dengan hebat.

"Setan alas!" maki Pandan Wangi dengan wajah geram. Gadis itu cepat melompat ke belakang, lalu membuat beberapa kali putaran. Dan langsung kedua senjata andalannya dicabut.

Sret!

"Majulah kalian semua kalau hendak memaksaku!" desis si Kipas Maut dengan isi dada dipenuhi amarah.

Kejadian ini bukan sekali atau dua kali ditemui Pandan Wangi dalam waktu belakangan ini. Sehingga, tidak membuatnya kaget. Dan dengan tenang, dia berusaha menahan serangan-serangan lawan. Berita buruk yang didengarnya tentang Pendekar Rajawali Sakti terasa amat menyakitkan.

Semula, Pandan Wangi menganggap bahwa itu sekadar berita burung dari orang-orang yang tidak menyukai kekasihnya. Dugaannya, berita itu tidak akan bertahan lama dan akhirnya hilang begitu saja. Namun, ternyata dari hari ke hari, malah semakin santer. Bahkan membuatnya terpaksa harus menyelidiki sendiri kebenarannya. Dan hatinya semakin perih ketika mengetahui Kenyataan kalau berita yang didengarnya hampir benar.

Semua orang menuduh begitu. Dalam hatinya, gadis itu masih tetap tidak percaya kalau Rangga tega berbuat telengas. Itulah sebabnya, dia berusaha mencarinya. Dan hal ini yang membuatnya sedikit banyak sering menemui kesulitan dari tokoh-tokoh persilatan yang mengetahui kalau dirinya memiliki hubungan dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, pertarungan berlangsung seru dan alot. Enam orang pengeroyok Pandan Wangi berusaha meringkusnya dengan menyerang sangat gencar. Namun berkat kelincahan serta kepandaian yang dimiliki si Kipas Maut, agaknya tidak begitu mudah bagi mereka untuk meringkusnya dalam waktu singkat.

Pandan Wangi bukannya tidak menyadari keadaannya yang terjepit. Meski saat ini masih mampu bertahan, namun gadis itu sendiri tidak yakin berapa lama mampu bertahan. Kalau hal ini berlangsung beberapa jurus lagi, bukan tidak mungkin dia bisa dijatuhkan.

Berpikir begitu, si Kipas Maut berusaha mencari kesempatan untuk kabur. Dan ketika kesempatan itu diperoleh, tubuhnya langsung digenjot dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi. Sebentar saja tubuhnya telah melesat cepat, kabur dari tempat ini.

"Setan betina! Kau kira bisa kabur seenaknya? Huh! Kemana pun kau pergi, tidak akan selamat dariku!" teriak si Kelelawar Buduk seraya terus mengejarnya diikuti yang lainnya.

Pandan Wangi memiliki ilmu meringankan tubuh sudah cukup tinggi. Namun si Kelelawar Buduk pun ternyata tidak kalah hebat. Dan dia mampu menyusul gadis itu pada jarak cukup dekat di belakangnya. Namun begitu, Pandan Wangi tidak ingin berhenti. Dia terus berlari kencang kearah selatan. Lima orang pengejarnya yang lain kehilangan jejak ketika telah terpaut beberapa puluh tombak.

Setelah menyadari bahwa mereka tidak mampu mengejar dan menghilang entah ke mana, Pandan Wangi menghentikan larinya. Ditunggunya si Kelelawar Buduk di bawah sebatang pohon rindang.

"Ha ha ha...! Akhirnya kau menyerah juga, he?!" Kata si Kelelawar Buduk, begitu tiba di depan Pandan Wangi.

"Huh! Kau kira begitu? Aku justru menunggu kesempatan seperti ini. Hanya kita berdua di sini. Dan dengan begitu aku leluasa merobek mulutmu yang sombong!" dengus Pandan Wangi berkacak pinggang.

"Ha ha ha...! Mulutmu memang sudah terkenal gegabah, Kipas Maut. Tapi berhadapan denganku, kau harus tahu diri!"

"Chuih, tutup mulutmu! Kau boleh buktikan kata-katamu!" sindir gadis itu, seraya melompat menyerang laki-laki itu dengan kedua senjata terhunus.

Srak!

"Yeaaa!" Si Kelelawar Buduk tidak kalah sigap. Tongkatnya cepat dikibaskan, menyapu serangan senjata Pandan Wangi. Begitu pedangnya membentur tongkat si Kelelawar Buduk, gadis itu menundukkan kepala.

Sementara senjata di tangan kirinya yang berupa sebuah kipas baja yang selama ini membuat namanya terkenal, menyambar kearah dada dengan kecepatan sulit diikuti mata. Si Kelelawar Buduk terkejut dan melompat ke belakang.

"Uhhh...!"

"Hiiih!" Pandan Wangi terns melompat, kini dengan sabetan pedangnya. Si Kelelawar Buduk tidak tinggal diam. Langsung ditangkisnya serangan itu dengan tongkatnya. Cepat sekali tongkatnya berbalik, sehingga tiga bilah pisau yang berada di ujung rantai, mencelat menyambar tiga titik kematian ditubuh Pandan Wangi.

Wut! Trak!

Pandan Wangi cepat meliukkan tubuh se hingga, sebilah pisau yang menyambar pinggang luput dari sasaran. Sementara sebuah lagi yang menyambar kearah jantung, kena ditangkis kipas-nya. Sedangkan pisau terakhir dihantam pedangnya, yang terus melibat kerantai. Gadis itu bermaksud membetotnya.

Trang!

"Heh?!" Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk. Sebilah pisaunya rontok dipapas senjata gadis itu. Bahkan kipas maut Pandan Wangi cepat menyambar ke arah leher dan nyaris merobek kulitnya, untung saja dia mencelat kebelakang dengan membuat beberapa kali gerakan jungkir balik

"Betina liar! Agaknya hebat juga kepandaianmu, he?!" dengus si Kelelawar Buduk.

"Itu belum seberapa. Kau akan melihat lebih dari itu, setelah kedua tangan dan kakimu kubuat putus!" cibir Pandan Wangi kembali melompat menyerang.

"He he he...! Kau kira semudah itu? Coba tahan pukulanku ini!" si Kelelawar Buduk menyodokkan telapak tangan kanannya kemuka. Dan bersamaan dengan itu, melesat sekelebatan cahaya ungu menyambar Pandan Wangi.

"Uts, sial!"

Sebuah pohon hancur berantakan terkena hantaman pukulan si Kelelawar Buduk Dan kalau Pandan Wangi tidak merunduk, nasibnya sama seperti pohon itu. Pandan Wangi memaki geram dengan hati mangkel. Dan disertai kemarahan meluap dia kembali menyerang laki-laki itu dengan kekuatan penuh.

"Heaaa...!"

Si Kelelawar Buduk terkesiap. Pedang di tangan gadis itu seperti memancarkan percik-percik bunga api dalam kelebatan yang sulit diikuti pandangan mata. Kemudian pedang itu mendekat bagai kilat, dan mengurungnya dari segala arah.

"Setan!" Si Kelelawar Buduk seraya melompat kesana kemari dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Tongkatnya berusaha menangkis senjata Pandan Wangi. Kali ini terlihat bahwa si Kipas Maut berusaha menghindar dari benturan kedua senjata. Dan dia hanya mengelak, lalu menyerang secara tidak terduga. Kalaupun kedua senjata mereka beradu, agaknya hal itu hanya membuat si Kelelawar Buduk repot saja.

Trak! Bet!

"Uhhh...!"

Tongkat si Kelelawar Buduk baru saja menangkis. Namun Pedang Naga Geni milik si Kipas Maut bergerak cepat ke pangkal lengan. Karuan saja, dia cepat-cepat menarik lengannya. Tubuhnya langsung bergerak ke samping, dengan kepala menunduk ketika pedang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tubuhnya terus mencelat ke belakang, ketika ujung kipas Pandan Wangi menyambar kearah dada. Tapi si Kipas Maut tidak menyia-nyiakan kesempatan pada jarak dekat itu. Sambil berbalik mengejar, ujung kaki kirinya menghantam kearah pinggang belakang si Kelelawar Buduk.

Duk!

"Aduuuh...!" Si Kelelawar Buduk mengeluh kesakitan, dan nyaris terjerembab. Untung saja dia bisa menguasai diri. Namun Pandan Wangi tidak memberi kesempatan padanya barang sekejap. Satu sodokan maut cepat dilepaskannya ke arah dada. si Kelelawar Buduk mengibaskan tongkat dengan untung-untungan, karena keadaannya belum siaga betul. Di luar dugaan, gadis itu bergerak ke samping bawah. Lalu tiba-tiba saja kipas di tangannya menyambar ke arah perut.

Bret!

"Aaakh!" Si Kelelawar Buduk menjerit kesakitan, lebih keras ketimbang tadi. Telapak kirinya langsung mendekap perut yang terluka parah dan terus mengucurkan darah. Wajahnya berkerut menahan sakit bercampur dendam.

"Hm.... Itulah pelajaran pahit yang kujanjikan padamu...!" Dengus Pandan Wangi dengan mata memandang tajam si Kelelawar Buduk.

"Sial! Huh! Kau kira dengan begini, sudah mengalahkanku? Phuih! Jangan harap!"

"Siapa yang inginkan kekalahanmu? Dengan caramu ini, aku malah ingin membunuhmu!" sahut gadis itu dingin.

"Majulah! Kau akan dapat balasan yang setimpal...!" dengus si Kelelawar Buduk mengancam.

"Chuih! Orang sepertimu memang tidak patut dikasihani. Kau boleh mampus sekarang juga!"

Pandan Wangi mulai geram dan naik pitam. Namun sebelum dia melompat menyerang, mendadak muncul dua sosok tubuh akan melewati mereka. Pandan Wangi terkesiap dan si Kelelawar Buduk pun terkejut begitu melihat seorang gadis belia berwajah cantik berbaju merah muda. Dia membawa pedang dipunggungnya. Tapi bukan gadis itu yang menarik perhatiannya. Melainkan, pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjalan di sebelahnya. Dia tidak bisa menahan gembira. Dan dengan wajah cerah, Pandan Wangi berlari kecil menghampiri.

"Kakang Rangga...!"

Pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga terkesiap dan menoleh. Demikian juga gadis berbaju merah muda itu. Bedanya, pemuda itu memandang Pandan Wangi dengan aneh dan asing, seperti baru pertama kali bertemu. Sedang gadis di sebelahnya sudah langsung bertindak, langsung melompat menghalangi Pandan Wangi.

"Perempuan rendah! Enyahlah kau...!"

Mendengar itu Pandan Wangi terkejut. Kontan langkahnya dihentikan. Dia seperti menyadari kalau gadis berbaju merah muda ini dekat dengan pemuda itu. Padahal dalam kegembiraan hatinya, gadis yang tak lain Sarti itu seolah-olah tidak terlihat dalam pandangannya. Wajahnya tampak bingung bercampur marah. Matanya bergantian memandang mereka berdua.

"Siapa kau...?!" Bentak Pandan Wangi kesal.

***
TUJUH
Dibentak begitu, bukan membuat Sarti kaget atau takut. Dia malah tersenyum mengejek sambil berkacak pinggang. "Heh! Apakah kau tidak tahu malu? Pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor. Dan aku adalah kekasihnya. Nah, tidak usah cari penyakit!"

"Hm, begitu?" Sahut Pandan Wangi tidak kalah sinis. "Coba kau tanya padanya, siapa aku ini."

"Untuk apa aku musti tanya-tanya segala? Dia tidak berbohong. Kalau dia pernah kenal denganmu sebelumnya, maka sudah pasti tidak memandangmu seperti orang asing!" Balas gadis berbaju merah muda itu dengan sengit.

Mendengar pembicaraan mereka berdua, pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti semakin bingung dengan wajah bodoh. "Sarti, apa yang terjadi?" Tanya Rangga.

"Kakang Rangga, gadis ini berkata kalau kau pernah mengenalnya. Betulkah itu?" Tanya Sarti seraya menggamit lengan pemuda itu dengan nada manja.

Bukan main jengkelnya Pandan Wangi melihat sikap gadis itu. Matanya melotot garang, lalu sambil berkacak pinggang telunjuknya menuding pemuda itu. "Kakang Rangga, jadi benar apa yang kudengar selama ini? Tiba-tiba saja kau menjadi manusia bejad?! Kini, mulai aneh dan mencoba untuk tidak mengingatku. Bagus betul perbuatanmu?"

Rangga memandang Pandan Wangi dengan mata seperti tidak berkedip. Namun, raut wajahnya tetap saja bingung dengan dahi berkerut seperti berpikir keras. Di mana dia pernah mengenal gadis itu?

"Nisanak... si... siapakah kau sebenarnya? Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya...?" Tanya Rangga, seperti tak mengenali Pandan Wangi.

Bukan main terkesiapnya Pandan Wangi mendengar sahutan Rangga. Dia memandang dengan wajah tidak percaya. Sementara, Sarti tersenyum mengejek.

"Kau dengar? Dia tidak mengenalmu. Lebih baik, lekas enyah dari mukaku sebelum aku naik darah. Kau akan celaka, Nisanak. Apalagi bila berani mengaku kalau kau adalah kekasihnya!"

Namun, Pandan Wangi tidak menghiraukan kata-kata gadis itu. Kakinya lantas melangkah lebih dekat untuk meyakinkan pemuda itu.

"Kakang! Aku Pandan Wangi. Tidak ingatkah kau padaku? Atau kau benar-benar telah kepincut gadis ini? Katakanlah, Kakang. Aku rela mendengarnya meski menyakitkan. Kau tidak seperti yang kukenal.

Apakah gadis ini begitu hebat mempengaruhimu sehingga kau sampai berbuat telengas? Jawablah, Kakang. Ada apa semua ini? Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalku?" cecar Pandan Wangi.

"Eh! Aku..., aku." Rangga tampak bingung. Hatinya seperti bergoncang ketika mendengar kata-kata gadis itu. Pancaran matanya menusuk tajam, dan berusaha keras mengetahui siapa gadis berbaju biru ini. Seolah olah, hatinya begitu dekat dengan gadis itu. Namun, dia tidak tahu kapan dan di mana pernah bertemu. Melihat gelagat itu, bukan main kesalnya Sarti. Digamitnya lengan pemuda itu.

"Kakang Rangga, jangan dengarkan ocehannya! Gadis ini coba mempengaruhi mu. Dan jangan-jangan, dia malah hendak menjebakmu. Lebih baik bereskan saja dia!" bentak Sarti.

"Aku..., aku...," kata Rangga tergagap.

"Apalagi yang kau tunggu? Ayo, bunuh dia! Dia berusaha menipu dan membuatmu lengah. Baru setelah itu, dia akan membunuhmu. Dia adalah musuhmu, Kakang. Ayo, lekas bunuh dia!" hardik Sarti memerintah.

"Sarti... Aku tidak bisa membunuhnya."

"Tolol! Kau harus mengikuti apa kataku. Ayo, bunuh dia...!" ulang gadis itu, membentak keras.

Kali ini tidak seperti sebelumnya, Rangga diam saja. Wajahnya tampak bimbang, dan sama sekali tidak beringsut dari tempatnya.

鈥淗uh! Kalau begitu, biar kubereskan dia. Agar tidak menjadi penghalang!" dengus Sarti. Segera gadis itu melompat mencabut pedangnya dan menyerang Pandan Wangi.

Sring!

"Kau telah kuperingatkan, namun keras kepala. Maka kini kau boleh mampus di tanganku!" desis Sarti.

"Huh!" dengus Pandan Wangi, sinis.

Perasaan kesal serta sedih di hati gadis itu berbaur menjadi satu. Dan melihat Sarti menyerangnya, dia seperti menemukan tempat untuk melampiaskannya. Maka dengan cepat, Pandan Wangi mencabut kipasnya untuk meladeni serangan.

Pertarungan kedua gadis itu tidak dapat dielakkan lagi. Rangga diam saja memperhatikan dengan wajah makin bingung. Sementara, si Kelelawar Buduk yang sejak kehadiran si Pendekar Rajawali Sakti ditempat ini, lebih banyak diam sambil memperhatikan perkembangan.

Niat si Kelelawar Buduk yang semula untuk menghajar si Pendekar Rajawali Sakti, kini berubah setelah dilukai Pandan Wangi. Selama ini yang diketahuinya, kepandaian si Kipas Maut berada di bawah si Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja dia dapat dikalahkan gadis itu, mana mungkin punya harapan untuk menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti?

Apalagi dalam keadaan terluka seperti saat ini. Lebih dari itu, hatinya sedikit trenyuh melihat apa yang terjadi di depan matanya Si Kelelawar Buduk sudah sering melihat bahwa si Kipas Maut adalah kekasih si Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka suka mengembara bersama-sama.

Dan dia juga bisa menilai, bahwa Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pemuda mata ke ranjang, sehingga mudah kepincut gadis lain. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan betul-betul sulit mengingat di mana pernah mengenal Pandan Wangi. Hal itu membuatnya menjadi aneh dan menimbulkan tanda tanya besar.

Sementara itu pertarungan antara Pandan Wangi dan Sarti semakin seru. Sarti menyerang dengan kalap. Namun sejauh ini, dia belum mampu menundukkan Pandan Wangi. Bahkan perlahan-lahan, terlihat dia mulai terdesak hebat oleh serangan balasan yang dilancarkan si Kipas Maut Apalagi, Pandan Wangi memang sedang kalap. Dan di samping itu, kepandaiannya sangat tinggi. Sehingga ketika Pandan Wangi mulai mengerahkan jurus-jurus mautnya, Sarti dibuat tidak berkutik. Gadis itu hanya mampu melompat menghindar kesana kemari.

"Hiiih!" Kipas Maut di tangan Pandan Wangi menyambar kearah perut, ketika baru saja menangkis. Sarti terkejut Dan dia cepat mengelak dengan melompat ke belakang. Masih terasa desir angin tajam dari senjata Pandan Wangi, sehingga membuat jantungnya berdetak kencang. Apalagi ketika mengetahui kalau gerakan Pandan Wangi cepat bukan main. Baru saja Sarti mendaratkan kakinya di tanah, Pandan Wangi sudah berkelebat cepat, dengan kaki terangkat Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss!

"Aaakh!" Sarti menjerit keras. Tubuhnya kontan terbanting saat dadanya terhantam tendangan keras.

"Huh! Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Pandan Wangi dengan amarah meluap, siap melompat menerjang Sarti. Tapi...

Werrr!

"Heh?!" Pandan Wangi terkesiap. Mendadak saja, serangkum angin kencang menghalangi niatnya. Dan ketika mengetahui kalau penyerangnya adalah Pendekar Rajawali Sakti, gadis itu semakin terkejut saja.

"Kakang! Apa yang kau lakukan? Kau membela gadis ini? Apakah dia telah menjadi gendakmu?" Dengus Pandan Wangi, terkejut setengah mati.

"Eh! Bukan maksudku begitu. Tapi..., kau hendak membunuhnya," sahut Rangga merasa bersalah.

"Kakang Rangga! Kau lihat, gadis ini hendak membunuhku. Ayo, lekas kau hajar dia! Bunuh dia sebelum melukaimu!" Hardik Sarti geram.

"Sarti! Tujuan kita bukan di sini. Lebih baik, kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan saja dia."

"Huh! Seenakmu saja bicara! Tidakkah kau lihat dia berusaha membunuhku? Ayo, hajar dia! Bunuh gadis tidak tahu diri ini!" Bentak Sarti garang.

Rangga sama sekali tidak bergerak. Wajahnya semakin bingung saja dengan pikiran bercabang-cabang. Ada niat di hatinya untuk menuruti perintah Sarti. Namun di sisi lain, hatinya tidak menyetujui. Karena dia merasakan sesuatu yang amat dekat dengan gadis berbaju biru ini. Hal inilah yang membuatnya kesal. Maka tanpa mempedulikan keduanya, Pendekar Rajawali Sakti langsung berbalik dan berkelebat dari tempat ini.

"Kakang, kemana kau?! He, tunggu! Tunggu...!" teriak Sarti, langsung mengejar dari belakang.

Sementara, Pandan Wangi mematung dengan hati kosong. Pandangan matanya sayu. Kelopak matanya terasa hangat dan paras ketika bola matanya berair. Gadis itu tidak kuat menahan perasaan hatinya yang tidak menentu. Dan dia hanya bisa mematung tanpa berbuat apa pun.

"Kakang Rangga, kenapa kau...?" keluh si Kipas Maut, kecil setengah bergumam. Lama gadis itu mematung sampai si Kelelawar Buduk mendekati.

"Memang menyakitkan sekali. Tapi, hal itu agaknya terjadi dengan tidak wajar," tegur si Kelelawar Buduk, turut merasakan apa yang dirasakan gadis itu.

"Apa maksudmu?" Tanya Pandan Wangi, sambil menyeka air mata. Disadari kalau si Kelelawar Buduk masih ada di tempat ini.

"Kekasihmu itu.... Pandangan matanya tidak bisa menipu. Dia dipengaruhi sesuatu," jelas si Kelelawar Buduk.

"Gadis itukah maksudmu?"

"Dengan tingkat kepandaiannya seperti itu, mana mungkin dia mampu menguasai kekasihmu."

"Lalu?"

"Seseorang yang begitu hebat tentunya."

"Siapa orang itu?"

"Hm.... Aku tidak bisa menduga secara pasti. Orang-orang yang terbunuh olehnya, mempunyai sangkut-paut dengan si Netra Buana. Dan berita yang kudengar adalah, Pendekar Rajawali Sakti menuntut balas atas kekalahan si Netra Buana sebelas tahun lalu oleh tokoh-tokoh yang telah dan akan dibunuhnya," jelas si Kelelawar Buduk lagi.

"Netra Buana? Di mana bisa kutemui orang itu?"

Si Kelelawar Buduk tersenyum kecil. "Tidak mudah menemukannya. Sebab, tidak ada seorang pun yang tahu dimana dia berada. Kalaupun bertemu dengannya, apa yang bisa kau lakukan? Memaksanya untuk mengobati Pendekar Rajawali Sakti? Hm... Tidak mungkin, Nisanak. Dan kepandaiannya belum tentu bisa diimbangi, meski oleh si Pendekar Rajawali Sakti sekalipun."

"Huh! Aku tidak peduli meski kepandaiannya laksana dewa! Dia harus menjelaskan apa yang telah diperbuatnya terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Kalau benar dia mempengaruhinya, maka harus mengembalikannya seperti semula!" Sentak Pandan Wangi garang.

"Hm.... Kurasa itu belum perlu. Kalaupun niatmu hendak menolong kekasihmu, maka kau harus pergi ke Padepokan Kalong Wetan."

鈥淧adepokan Kalong Wetan? Ada apa di sana?"

"Ketua padepokan itu adalah saudara seperguruanku yang tertua. Dan dia salah seorang yang dulu pernah menjatuhkan si Netra Buana. Setelah yang lainnya tewas atau sulit ditemui, maka pilihan Pendekar Rajawali Sakti pasti jatuh padanya. Dia pasti kesana!" jelas si Kelelawar Buduk yakin.

"Percuma saja. Kakang Rangga akan...."

"Nisanak! Kekasihmu dalam bahaya. Tiga orang tokoh sakti kawan Ki Polong yang menjadi Ketua Padepokan Kalong Wetan, telah menantinya disana. Dan kudengar, lebih dari tiga belas pendekar telah menantinya pula. Pendekar Rajawali Sakti memang tokoh hebat. Namun kecil kemungkinan bisa lolos. Mereka marah dan penuh dendam. Dan sudah pasti, mereka akan membunuhnya. Di sinilah kesempatanmu untuk menolongnya," jelas si Kelelawar Buduk.

Pandan Wangi terdiam. Kemudian kepalanya mengangguk kecil, membenarkan kata-kata laki-laki itu. Tapi kemudian dipandangnya si Kelelawar Buduk sambil tersenyum kecil.

"Hm.... Aku tidak kenal baik denganmu. Dan barusan pun, kau hendak membunuhku. Lalu, Ki Polong itu adalah saudaramu. Untuk apa kau katakan semua ini, kalau bukan untuk menjebakku? Huh! Jangan coba-coba mengelabui ku!" Desis gadis itu sengit

"Nisanak! Aku memang bukan orang baik. Tapi, aku bisa membedakan mana yang benar dan buruk. Kulihat, sikap si Pendekar Rajawali Sakti tidak semestinya. Dan itu membuatku percaya kalau dia tengah dipengaruhi seseorang. Aku menyesal telah menuduhnya. Juga, menyesal telah berlaku kasar padamu. Dan untuk menebusnya, maka kuberitahu keadaan yang membahayakan kekasihmu. Kalau kau tidak percaya, itu hakmu. Aku tidak peduli kau mau menolongnya atau tidak. Selamat tinggal, Nisanak!" sahut si Kelelawar Buduk, langsung berkelebat dari tempat ini.

Pandan Wangi tercenung. Meski tidak yakin, namun hari kecilnya mengatakan kalau si Kelelawar Buduk berkata jujur. Dia sedikit bimbang, namun kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat ini. Yang dituju adalah arah selatan. Arah yang ditempuhnya jelas menuju ke wilayah Padepokan Kalong Wetan!

Bila melihat dari luar, suasana di Padepokan Kalong Wetan tampak sepi. Hanya ada beberapa murid yang beristirahat melepas lelah. Pintu gerbang sedikit terbuka. Dan dari situ, orang luar bisa melihat bangunan utama padepokan yang bertingkat tiga, serta barak-barak yang berbaris rapi mengelilingi, membentuk setengah lingkaran yang kesemuanya menghadap pintu gerbang utama.

Seluruh bangunan dan halaman depan yang luas, dipagar deretan kayu jati berukuran besar dan tinggi. Keadaan seperti ini sudah biasa. Murid-murid telah selesai mengerjakan tugas siang hari. Dan mereka diperbolehkan istirahat, selama beberapa waktu. Dan menjelang sore, mereka berlatih kembali.

Dari jauh, terlihat dua orang menghampiri padepokan itu. Seorang gadis belia berwajah cantik berbaju merah muda dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Mereka tidak lain Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti dan Sarti.

Seorang murid yang menjaga pintu gerbang tersenyum kecil, manakala mereka telah berada di ambang pintu. "Kisanak berdua, ada keperluan apakah sehingga dengan bersusah payah kalian mendekati Bukit Gembang dan mendatangi padepokan kami?" Tanya penjaga pintu gerbang dengan nada ramah.

"Aku ingin bertemu guru kalian," sahut Sarti.

"Oh! Beliau ada di dalam. Silakan masuk."

"Hm...." Gadis itu mendengus sinis seraya melangkah kedalam, diikuti oleh Rangga.

"Maaf, Bolehkah aku tahu, siapa gerangan Kisanak berdua? Agar guruku bisa tahu siapa gerangan tamu-tamunya?" Tanya murid itu lagi, saat mereka telah berada di tengah-tengah halaman depan.

"Cerewet! Suruh saja dia keluar!" sentak Sarti kesal.

"Eh! Baiklah kalau begitu. Silakan menunggu diberanda depan."

"Tidak perlu!"

Murid padepokan itu kedalam, sementara Rangga dan Sarti berdiri tegak sambil memperhatikan kesekeliling tempat. Dan pertama-tama yang diperhatikan adalah pintu gerbang yang ditutup.

Sarti mendengus sinis, manakala tujuh orang telah berjaga di pintu gerbang depan. Kemudian satu persatu, terlihat murid-murid padepokan ini keluar dari barak masing-masing. Mereka langsung berdiri mengelilingi sisi pagar, membentuk setengah lingkaran. Lalu lebih dari tiga puluh murid Iain melompat ke atas pagar, membawa senjata panah serta jala.

"Hm, bagus. Agaknya mereka telah bersiap menyambut kita," dengus Sarti melihat gelagat itu.

Rangga terdiam. Namun, pandangan matanya terus waspada memperhatikan ke sekelilingnya. Kini kedua anak muda itu telah terkepung oleh seluruh murid padepokan ini. Dan agaknya, jumlah murid yang banyak itu tidak hanya berasal dari padepokan ini belaka. Tapi, juga dari beberapa padepokan lain.

Sebab, jumlah mereka terus bertambah. Dan masing-masing, siap dengan senjata berbeda. Tidak kurang dari seratus orang telah mengepung Rangga dan Sarti dengan rapat. Sarti mulai tertegun. Dan nyalinya sedikit ciut, melihat jumlah lawan-lawan mereka yang terus bertambah.

"Kakang! Aku mencium gejala yang kurang baik," kata gadis itu khawatir.

"Tenanglah."

"Oh! Bagaimana aku bisa tenang? Jumlah mereka terus bertambah. Tempat ini telah menjadi lautan manusia. Dan kita terkurung di tengah-tengahnya."

"Kenapa? Apakah kau takut?"

"Siapa yang mampu keluar dari kepungan ini? Meski seorang yang memiliki kepandaian hebat, belum tentu bisa keluar dengan selamat"

Rangga tidak menjawab lagi. Dan meski nyalinya terus menciut, namun melihat sikap si Pendekar Rajawali Sakti tetap tenang, hatinya sedikit terhibur.

Seorang laki-laki tampak keluar dari pintu depan bangunan utama padepokan ini. Perutnya gendut dan kepalanya ditumbuhi sedikit rambut. Orang ini tidak lain dari Ki Polong, Ketua Padepokan Kalong Wetan.

Berada di sebelah kirinya adalah dua orang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun. Yang berpakaian hijau, bernama Ki Walang Ijo. Dia bergelar si Belalang Sakti. Di sampingnya, adalah seorang tokoh tua lain yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan karena kehebatan ilmu silatnya. Namanya, Ki Gempar Persada atau dikenal sebagai si Tangan Geledek.

Sedang di sebelahnya lagi, adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun. Tangannya memegang sebatang tongkat pendek dari rotan. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai si Sabit Perak, sebenarnya, nama aslinya adalah Nyai Karni. Senjata khasnya adalah sebuah sabit berwarna keperakan yang terselip di pinggangnya.

Sementara di sebelah kanan Ki Polong tampak seorang laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Pintu Gumelar. Sedangkan di belakang mereka, terlihat tidak kurang dari lima belas tokoh persilatan ternama.

"Hm.... Pendekar Rajawali Sakti sungguh tepat kedatanganmu di sini. Nah! Apakah kau hendak memulainya sekarang?" sapa Ki Polong sambil tersenyum kecil.

"Kaukah yang bernama Ki Polong?" Tanya Rangga.

"Benar, akulah orangnya."

"Bagus! Kau harus mati di tanganku!" Desis pemuda itu. Tanpa basa-basi, Rangga langsung melompat menyerang Ki Polong. Orang tua itu tidak tinggal diam. Dengan satu isyarat tangan, maka regu pemanah langsung menghujani pemuda itu dengan puluhan anak panah.

Pendekar Rajawali Sakti cepat membuat gerakan salto yang indah untuk menghindari hujan anak panah itu. Dan begitu mendarat, kedua kakinya langsung dipentang lebar. Kedua tangannya cepat terangkut ke atas kepala, lalu bergerak ke pinggang. Dan... "Aji Bayu Bajra!"

***
DELAPAN
Maka bersamaan teriakan Rangga, melesat beberapa buah jala yang terbuat dari bahan yang alot. Tapi saat itu juga bertiup angin kencang laksana badai topan, menerbangkan jala-jala yang akan meringkus Rangga dan Sarti. Dan baru saja serangan melalui jala-jala itu gagal, kembali melesat puluhan batang anak panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Sarti.

"Hup! Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melompat kesana kemari menghindarinya dengan gerakan gesit. Dengan tingkat kepandaian yang telah tinggi, mudah bagi Rangga untuk menghindarinya. Tapi tidak bagi gadis berkepandaian tanggung seperti Sarti. Maka....

Crab!

"Aaakh...!" Sarti menjerit keras. Tiga batang anak panah menancap dibetis, paha kiri dan punggungnya.

"Sarti...?!" Rangga terkejut, buru-buru hendak memburu gadis itu. Namun saat itu juga, sepuluh orang tokoh persilatan yang berada di belakang Ki Polong bergerak menyerangnya. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mengurungkan niatnya, langsung meladeni mereka. Sedangkan Sarti yang terluka parah, kena diringkus murid-murid padepokan ini.

"Pendekar Rajawali Sakti, kau lihat! Kawanmu telah kena ringkus! Maka sebaiknya menyerahlah!" teriak Ki Polong memperingatkan.

Pendekar Rajawali Sakti mundur dua langkah dengan wajah bingung.

"Tidak, Kakang! Jangan menyerah. Kau harus membunuh mereka semua! Bunuh mereka semua. Dan, jangan pedulikan aku...!" Teriak gadis itu lantang.

Wajah si Pendekar Rajawali Sakti tampak berubah geram seraya memandang ke arah lawan lawannya. Lalu dengan bengis Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya.

Sring!

"Siapa yang ingin mati lebih dulu, majulah kalian!" Desis Pendekar Rajawali Sakti garang. Tantangan Rangga langsung disambut tiga orang tokoh tua yang berada di samping Ki Polong.

鈥淧endekar Rajawali Sakti, kami terima tantanganmu! Yeaaa...!" teriak Ki Walang Ijo, sambil mencabut pedang pusaka yang terselip di pinggangnya

Ki Gempar Persada pun tidak kalah gesit. Tongkat baja yang tadi tersembunyi di balik biru dicabutnya. Tongkat sepanjang lima jengkal itu sesungguhnya bukan senjata biasa, tapi sebuah warangka pedang tipis yang terbuat dari bahan amat kuat. Sementara itu, Nyai Kami dengan sabit peraknya yang membuat namanya tersohor sampai ke delapan penjuru angin, tak mau ketinggalan.

Bukan tanpa sebab mereka langsung mencabut senjata. Tapi karena tahu kalau senjata Pendekar Rajawali Sakti memiliki pamor hebat. Batang pedang yang memancarkan cahaya kebiruan, sudah cukup membuktikan kalau bukan saja pedang itu yang hebat. Tapi juga tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sangat tinggi.

"Heaaa...!"

Trang!

Benturan hebat terjadi, menimbulkan percikan bunga api ke segala arah. Rangga melompat ke atas. Pedangnya dikibaskan, hendak memancing ketiga kepala lawannya. Namun sekali lagi, ketiga orang tua itu dengan gesit mengelak dan memapak senjatanya.

Trang!

"Uhhh...!" Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung kebelakang. Benturan senjata yang berisi tenaga dalam kuat, sempat membuatnya sempoyongan kebelakang. Masing-masing lawan memiliki tenaga dalam kuat. Sehingga bila digabung menjadi satu dan menyerang bersamaan, akan terciptalah tenaga amat dahsyat. Hal itulah yang dirasakan si Pendekar Rajawali Sakti.

Namun, pemuda itu tidak kalah cerdik Satu-satunya jalan untuk menjatuhkan lawan-lawannya adalah memisahkan dan membuyarkan kerjasama serangan mereka. Namun ketika hal itu coba dilakukan, ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Bukan saja karena ketiganya amat kompak, tetapi juga gangguan yang sengaja diciptakan murid-murid Padepokan Kalong Wetan.

Ketika Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan senjata, maka itu dipandang amat berbahaya. Sehingga, beberapa orang tokoh persilatan lain yang akan menghadapi pemuda itu langsung digantikan ketiga tokoh utama ini. Sedangkan, mereka menyingkir membuat arena cukup luas dan berjaga-jaga si segala sudut agar Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa kabur. Sementara itu, barisan pemanah sesekali melepaskan anak panah untuk mengacaukan serangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan melepaskan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali untuk membuyarkan pertahanan ketiga lawannya. Namun ketiga tokoh tua itu langsung menggabungkan tenaga, guna memapaki pukulan.

Jderrr!

"Aaakh!" Pendekar Rajawali Sakti memekik keras. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun begitu, dia masih mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya. Sepasang matanya tampak nyalang, memandang ketiga lawannya. Meski dadanya terasa sakit akibat hantaman pukulan yang kuat luar biasa, namun tidak dirasakannya. Bahkan bersiaga kembali untuk mengadakan serangan berikutnya.

Set! Set...!

Kali ini datang serangan anak-anak panah yang meluruk deras ke arah Rangga.

"Huh!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram. Langsung pusakanya dikibaskan untuk menghalau puluhan anak panah yang mengurungnya.

"Yeaaa...!"

"Uhhh...!"

Baru saja hujan anak panah berhasil dihalau, maka saat itu juga serangan ketiga tokoh tua itu telah cepat datang. Pendekar Rajawali Sakti tercekat Kelebatan pedang Ki Walang Ijo berhasil ditangkisnya. Sementara tongkat Ki Gempar Persada berhasil dielakkan sambil menundukkan kepala. Kemudian tubuhnya mencelat kesamping, untuk menangkis senjata Nyai Kami. Tapi kali ini Ki Walang Ijo telah mengirim serangan susulan. Dan bersamaan dengan itu, datang serangan Ki Gempar Persada melalui satu tendangan keras.

Wuuut! Bet!

Rangga cepat menjatuhkan diri dan bergulingan, sehingga kedua serangan luput dari sasaran. Namun, Nyai Kami agaknya mengambil kesempatan emas itu. Senjatanya cepat disambarkan kepunggung Rangga.

Cras!

"Aaakh!" Kembali Pendekar Rajawali Sakti menjerit keras. Punggungnya kontan robek dan mengucurkan darah. Dengan sebisanya dia melompat kebelakang. Tapi, ketiga tokoh tua itu tidak mengejar. Karena saat itu juga, menderu hujan anak panah menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Set! Set!

"Hiiih!"

Tras!

Kembali Rangga mengibaskan pedang sambil bergerak gesit menghindari hujan anak panah itu. Namun, luka dalam yang diderita, serta rasa nyeri dipunggung, membuat gerakannya terganggu. Dan....

Crab! Crab!

"Aaakh!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan begitu pinggang kirinya tertancap anak panah. Sementara sebatang anak panah lainnya menancap dibetis kanan.

"Hiiih!" Sambil berkerut menahan rasa sakit, Rangga mencabut kedua batang anak panah itu. Darah mengucur deras dari kedua lukanya. Namun dengan tegar, Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil memandang ketiga tokoh lawannya dengan sorot mata tajam.

"Huh! Kalian kira mudah menjatuhkan aku dengan cara seperti ini?!"

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tidak perlu sombong. Kematianmu hanya soal waktu. Tidak ada yang bisa kau lakukan saat ini. Kini, kami tahu bagaimana harus menaklukkan mu," sahut Ki Walang Ijo tenang.

Apa yang dikatakan Ki Walang Ijo memang benar. Cara mereka menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, kalau diperhatikan secara teliti, memang berbeda seperti biasanya. Mereka lebih mengutamakan kekompakan penyerangan, dan tidak pernah berusaha saling menonjolkan diri dalam menjatuhkan si Pendekar Rajawali Sakti. Sebab, hal itu hanya akan merusak pertahanan mereka. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti tiba, itu memang telah disepakati bersama. Bila salah seorang di antara mereka ada yang ceroboh dan bernafsu, maka pertahanan akan rusak. Maka, bisa diperkirakan korban akan banyak, meskipun akhirnya si Pendekar Rajawali Sakti masih bisa diringkus.

Ketiga tokoh tua itu juga tidak begitu diburu nafsu dalam menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya, meski melihat ada peluang. Dan kalau diperhatikan seksama, justru mereka tidak memulai suatu serangan. Melainkan, menunggu pemuda itu untuk menyerang lebih dulu. Mereka terus memberi kesempatan, jika pemuda itu terlihat mulai keteter.

"Ketahuilah, Pendekar Rajawali Sakti. Di atas langit masih ada langit Begitu juga dengan kehebatan. Tidak ada sesuatu yang hebat di kolong jagad ini. Jika mereka berbuat kejahatan dan menyebar malapetaka, maka mereka akan hancur dengan sendirinya," timpal Ki Gempar Persada.

"Sayang sekali. Seorang pendekar hebat yang namanya selalu disamakan dengan malaikat kebenaran, bisa berbuat telengas. Apa yang kau tuju dan apa yang kau inginkan? Apakah kau terperosok dalam kekayaan atau wanita? Huh! Segalanya sudah terlambat Kini kau akan mengalami hukuman seumur hidupmu!" Desis Nyai Kami.

"Huh! Apa pun yang kalian ocehkan, jangan harap akan menyurutkan niatku! Kalian harus mati!" Ujar pemuda itu menggeram.

Kemudian terlihat Pendekar Rajawali Sakti memusatkan pikiran dengan batang pedang melintang kewajah sampai dada. Kemudian tubuhnya berputar cepat bagai gasing. Dan....

"Hiyaaa!" Tubuh Rangga mencelat ringan bagaikan kilat menyambar ketiga lawan. Agaknya, pemuda itu tengah mengerahkan jurus Pedang Pemecah Sukma pada tingkat tertinggi untuk membuyarkan pertahanan lawan.

"Awas! Jangan sampai terpecah! Ingat! Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh berpencar!" teriak Ki Walang Ijo, memperingatkan kedua kawannya.

Trang!

"Heaaa!" Pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar kearah Ki Walang Ijo sambil menghindari kedua senjata Nyai Kami dan Ki Gempar Persada. Serangan Rangga terpusat pada orang tua itu. Dan ketika melihat Ki Walang Ijo mulai terdesak, mendadak dia merubah serangan. Dan kali ini, sasarannya pada Nyai Kami.

Wanita itu menjadi kaget, sungguh tidak disangka kalau dirinya akan diserang secara bertubi-tubi. Bahkan lehernya nyaris putus dibabat pedang pemuda itu, kalau saja tidak mencelat jauh ke belakang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya.

Apa yang dilakukan Rangga memang suatu gebrakan hebat. Serangannya dipusatkan pada satu orang, tanpa melupakan untuk menghindari serangan kedua lawannya. Lalu ketika lawan mulai terdesak, tiba-tiba lawan yang lain diserang. Begitu seterusnya, tanpa beraturan.

Sehingga, ketiga lawannya menjadi bingung. Dan mereka takut-takut untuk balas menyerang, karena tidak tahu siapa berikutnya yang akan diserang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan pemuda itu masih terlihat gesit. Dan salah sedikit saja mengelak, maka ujung pedangnya akan menyambar tanpa ampun. Sehingga, terlihat dalam beberapa jurus saja, ketiganya mulai keteter.

"Munduuur...!" teriak Ki Walang Ijo memberi perintah pada kedua kawannya.

Dengan gerakan gesit, ketiga tokoh tua itu mencelat bersamaan ke belakang untuk mengatur jarak, sekaligus memberi kesempatan pada barisan pemanah untuk melepaskan anak panahnya.

"Seraaang!" teriak Ki Polong memberi perintah.

"Yeaaa!"

Set! Set!

Trak! Tras!

"Kurang ajar!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram hebat, seraya menghindari hujan anak panah.

"Aaa...!" Pendekar Rajawali Sakti menjerit keras. Tubuhnya langsung tersungkur ketika beberapa batang anak panah menancap di tubuhnya. Pada saat itu juga, ketiga tokoh tua yang menjadi lawannya telah mencelat dan siap menghabisinya.

"Yeaaa...!"

"Kebakaran...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan beberapa orang ketika terlihat kobaran api tiba-tiba saja menyala dan menjalar cepat, membakar barak-barak tempat tinggal para murid. Dan api pun menjalar cepat kebangunan utama.

Semua orang yang berada di tempat itu terkejut. Dan yang lainnya langsung bergerak hendak memadamkan api, meski belum ada perintah dari Ki Polong. Sementara yang lain sibuk mengamankan barang-barangnya.

Set!

Pada saat itu sekelebat benda-benda tajam menyambar ke arah Ki Walang Ijo, Ki Gempar Persada dan Nyai Kami. Dengan kalang kabut ketiga tokoh tua itu berusaha menghindarinya dengan bergulingan ditanah. Sesosok bayangan itu menyerang dengan hebat. Dan baru saja mereka bangkit bayangan itu telah lenyap bersama tubuh si Pendekar Rajawali Sakti! Maka kekagetan mereka pun semakin bertambah.

"Kurang ajar! Siapa yang melakukan perbuatan ini?!" desis Ki Walang Ijo geram.

Dua orang teman Ki Walang Ijo segera melompat keluar dari halaman padepokan. Dan mereka melihat dari kejauhan, seseorang berlari kencang ke barat sambil membopong tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa orang itu?" Tanya Ki Walang Ijo, ketika kedua kawannya telah melompat kedekatnya.

鈥淓ntahlah. Dia telah berlari jauh. Percuma bila kita mengejarnya," sahut Ki Gempar Persada.

"Kepandaiannya tidak terlalu hebat. Namun, dia cukup cerdik untuk membuat kekacauan," timpal Nyai Kami.

Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar serta yang lain mendekati ketiga tokoh itu. "Bagaimana...?" Tanya Ki Polong.

"Seseorang telah menyelamatkan Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Walang Ijo.

"Siapa? Apakah Kisanak bertiga mengetahuinya?"

"Entahlah.... Kami tidak sempat memperhatikan."

"Apakah si Netra Buana sendiri yang menyelamatkannya?" kata Ki Pintur Gumelar, seperti bertanya pada diri sendiri.

"Mungkin saja," sahut Nyai Kami.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Ki Polong.

"Bila si Netra Buana yang menyelamatkannya, maka bencana ini belum berakhir. Sewaktu-waktu, dia akan muncul kembali dan membuat bencana yang lebih hebat," gumam Ki Pintur Gumelar.

"Hm, kenapa musti khawatir? Kita segera menyelesaikannya," sahut Ki Walang Ijo.

"Bagaimana caranya, Ki?" tanya Ki Polong

"Gadis yang bersama si Pendekar Rajawali Sakti itu kuncinya. Dia harus membawa kita pada si Netra Buana. Bagaimanapun caranya!"

"Betul! Kali ini si Netra Buana jangan lagi diberi ampun. Orang itu harus binasa!" desis Ki Gempar Persada geram.

"Kapan kita melakukannya?" Tanya Ki Pintur Gumelar.

"Jangan terburu nafsu, Ki Pintur. Kita selesaikan dulu urusan disini. Kemudian, kita susun rencana yang matang," sahut Ki Walang Ijo.

"Betul. Kini ada baiknya kita bantu mereka memadamkam api," timpal Ki Gempar Persada, seraya mengajak yang lainnya bubar.

Siapakah yang menyelamatkan Pendekar Rajawali Sakti? Apakah Pendekar Rajawali Sakti akan menjadi ancaman kembali, bila si Netra Buana yang menyelamatkannya?

Di manakah si Netra Buana itu. Siapa dia sesungguhnya? Akankah aji sirep Pelumpuh Sukma yang merasuki jiwa dan pikiran Pendekar Rajawali Sakti akan lenyap? Bagaimana Rangga menyelesaikan persoalan ini? Untuk jawabannya, silakan baca episode berikutnya: TONGKAT SIHIR DEWA API
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar