Postingan

SATU
PAGI-PAGI sekali, di saat orang masih terbuai oleh mimpinya, tampak seorang pemuda sedang memacu kudanya dengan cepat bagaikan angin. Pemuda tampan penunggang kuda itu, mengenakan baju rompi warna putih, dan bersenjata sebilah pedang yang gagangnya mirip kepala burung.

Kuda hitam itu menghentikan langkahnya ketika sampai di depan pintu gerbang Kadipaten Karang Setra. Tampak dua orang penjaga yang berseragam prajurit segera menghadangnya. Sementara itu si penunggang kuda yang tak lain adalah Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti, masih tetap duduk di atas punggung kudanya.

"Ke mana tujuanmu, Kisanak?" tanya salah seorang prajurit penjaga itu.

"Ke Kadipaten Karang Setra," sahut Rangga kalem.

"Ada urusan apa Kisanak ke sana?"

"Sekedar singgah di rumah sanak keluarga."

"Kau sendiri dari mana asalnya?"

"Aku adalah seorang pengembara yang tidak menentu tempat dan tujuannya," sahut Rangga merendah.

Kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu terus mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Kemudian salah seorang melangkah mendekati. Dia seperti sedang menaksir-naksir kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Kepalanya tampak terangguk-angguk sambil mengelilingi kuda itu. Sementara Rangga sendiri hanya mengawasi dari sudut ekor matanya.

"Kudamu begitu bagus. Kenapa tidak kau ikutkan dalam lomba?" kata prajurit itu setelah puas mengamati kuda milik Rangga.

"Maaf, kudaku bukan untuk lomba," sahut Rangga masih tetap ramah dan sopan.

"Sayang sekali..., seandainya aku yang memiliki kuda ini, pasti sudah mendaftar. Hadiahnya sangat besar. Apa lagi jika yang punya juga memiliki kepandaian tinggi. Bisa diangkat jadi panglima perang oleh Gusti Adipati!"

Sejenak Rangga mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia mendengar sebuah kadipaten memiliki angkatan perang. Dan saat ini adipatinya tengah mencari seorang panglima perang dengan jalan mengadakan lomba pacu kuda dan olah kanuragan. Siapakah yang menjadi adipati di Karang Setra sekarang? 

Dan untuk apa pula dia membutuhkan angkatan perang? Begitu besarkah perubahan yang telah terjadi di Kadipaten Karang Setra? Berbagai macam pertanyaan menggelayuti pikiran Rangga. Dia makin penasaran dengan keadaan tanah kelahirannya ini.

"Bolehkah aku masuk, Tuan Prajurit?" Rangga memohon.

"Silakan, pintu selalu terbuka untuk siapa saja," sahut prajurit itu seraya menggeser tubuhnya ke samping.

"Terima kasih," ucap Rangga. "Hes... hes!"

Kuda hitam itu pun kembali berjalan. Kali ini langkahnya pelan-pelan. Rangga mengangguk pada penjaga yang masih tetap berdiri di tempatnya. Ia memang sengaja mengendalikan kudanya dengan pelan-pelan. Dia ingin menikmati kembali keindahan tanah kelahirannya setelah dua puluh tahun tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di sini.

Kini Rangga jadi teringat kembali ke masa-masa kecilnya. Masa-masa yang indah di mana dia masih berkumpul dengan ayah dan ibunya di istana kadipaten. Tapi sekarang dia datang sebagai pengembara yang kebetulan lewat di Kadipaten Karang Setra ini.

Dua puluh tahun.... Keadaan di Kadipaten Karang Setra ini belum begitu jauh berubah. Rasanya Rangga seperti baru beberapa hari saja tidak melihatnya. Bedanya sekarang tidak ada lagi orang-orang yang membungkukkan badan saat dia lewat. Semua tetap sibuk dengan pekerjaan dan kesibukannya masing-masing.

Beberapa saat kemudian. Rangga menghentikan langkah kudanya di depan sebuah bangunan besar yang terbuat dari kayu. Sejenak dia mengamati tak nampak perubahan sedikit pun. Semuanya masih tetap seperti dua puluh tahun yang lalu Bangunan itu adalah sebuah rumah makan sekaligus juga sebagai tempat untuk menginap bagi para pelancong. Dulu Rangga sering datang ke sini bersama ayahnya. Dia kenai betul dengan pemilik bangunan itu

Pelan-pelan Pendekar Rajawali Sakti itu turun dari kudanya. Tampak seorang anak laki-laki kecil segera datang menghampiri. Kemudian sambit tersenyum, Rangga menyerahkan tali kekang kudanya pada anak itu.

"Beri dia makan yang cukup," kata Rangga.

"Baik, Tuan," sahut anak itu. Dia segera berlalu sambit menuntun kuda Dewa Bayu.

Sejenak Rangga memandangi kepergiannya, kemudian dia berbalik dan melangkah ke dalam. Tidak begitu banyak orang yang ada di ruangan yang luas dan penuh dengan meja dan kursi itu. Dia segera disambut oleh seorang laki-laki tua yang menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk. Sejenak Rangga mengerutkan keningnya. Sepertinya dia pernah kenal dengan laki-laki tua itu, tapi.... Ah!

"Silakan duduk, Tuan. Masih banyak tempat yang kosong," sambut laki-laki tua itu ramah.

"Hm...," Rangga tersenyum dan melangkah menuju meja yang ada di pojok dekat jendela.

"Mau pesan apa, Tuan?" tanya laki-laki tua itu tetap ramah.

"Hm, tolong sediakan sepiring nasi merah dengan ikan mas bakar serta satu mangkuk sup tulang muda," pesan Rangga.

Laki-laki tua itu tampak bengong mendengar pesanan Rangga. Beberapa saat dia hanya berdiri terpaku. Sepertinya dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Tentu saja sikap laki-laki tua itu membuat Rangga jadi keheranan. Kemudian laki-laki tua itu menggeser kakinya mendekati Rangga

"Maaf, Tuan. Kami tidak menyediakan makanan yang Tuan pesan," kata laki-laki tua itu setengah berbisik. Sepertinya dia takut kalau perkataannya sampai terdengar orang lain.

Kening Rangga tampak semakin dalam berkerut

"Pesan yang lainnya saja, Tuan," laki-laki tua itu menawarkan.

"Tidak," sahut Rangga.
"Tapi.... "

Rangga tidak menjawab. Dia segera berdiri dan melangkah ke luar. Sementara laki-laki tua itu bergegas mengikuti dan menghentikan langkah Pendekar Rajawali Sakti di ambang pintu.

"Maaf..., maaf, Tuan."

"Hm...," Rangga hanya bergumam.

Lalu Pendekar Rajawali Sakti itu terus mengayunkan langkahnya ke luar. Tampak seorang bocah laki-laki yang tadi membawa kuda hitamnya mendekati seraya menuntun kuda. Setelah Rangga memberinya sekeping uang perak, kemudian dia segera melompat naik ke punggung kudanya. Seketika itu juga kuda hitam itu langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu.


***

Ada apa? Kenapa dia tidak jadi pesan makanan?" seorang perempuan tua mendekati laki-laki tua itu

"Aneh... !?"

"Ki Lintuk...!" terdengar suara dari dalam kedai.

Laki-laki tua itu bergegas masuk kembali ke dalam kedai. Dia menghampiri seorang tamu yang duduk di dekat jendela, di mana tadi Rangga duduk di sebelahnya. Laki-laki tua yang biasa dipanggil dengan Ki Lintuk itu membungkuk hormat pada tamunya. Laki-laki yang umurnya sebaya dengannya itu mengenakan baju dari sutra halus merah muda.

"Ada apa, Gusti Singo Lodoya?" tanya Ki Lintuk.

"Siapa anak muda itu?" tanya Singo Lodoya.

"Mungkin pengembara yang kehabisan uang, Gusti," sahut Ki Lintuk.

"Hm...," Singo Lodoya bergumam tidak jelas

"Ada yang kurang, Gusti?"
''Tidak! "

Sesaat kemudian, Singo Lodoya segera bangkit dari duduknya dan segera pergi dari kedai itu. Sementara Ki Lintuk hanya memandanginya dengan geleng-geleng kepala. Dia tahu siapa sebenarnya Singo Lodoya itu. Seorang pengawal khusus kepercayaan Adipati Karang Setra Tingkat kepandaiannya sangat tinggi, sulit dicari tandingannya. Dan meskipun hanya sebagai pengawal khusus, tapi tindakannya kadang-kadang bisa melebihi dari adipati sendiri.

Kemudian Ki Lintuk bergegas melangkah ke bagian belakang kedai. Di sana tampak istrinya tengah sibuk menanak nasi. Perempuan tua yang tadi berada di ambang pintu itu sedikit mengangkat kepalanya

"Rasanya aku seperti mimpi saja, Nyi..., ,. kata Ki Lintuk seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Ada apa? Kok seperti orang bingung...?" Nyi Lintuk memandangi raut wajah suaminya.

"Benar-benar aneh.... Mustahil!" Ki Lintuk masih bicara seperti orang linglung saja. Dia lalu menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu dekat istrinya.

"Kamu ini kenapa, Ki? Apanya yang aneh?" Nyi Lintuk semakin tidak mengerti

"Anak muda itu, dia...," Ki Lintuk tidak jadi meneruskan kata-katanya. Dia seperti ragu-ragu untuk mengeluarkannya.

"Ada apa dengan anak muda itu?"
"Pesanannya, sungguh aneh!"

Nyi Lintuk makin penasaran. Dia pun segera menggeser duduknya untuk lebih mendekati suaminya

"Kau tahu, Nyi. Anak muda itu memesan makanan yang sama persis dengan makanan kesukaan Gusti Adipati yang dulu," kata Ki Lintuk setengah berbisik.

"Maksudmu, Gusti Adipati Arya Permadi yang telah hilang dua puluh tahun lalu bersama putranya?"

Nyi Lintuk ingin menegaskan.

"Cuma putranya yang hilang," ralat Ki Lintuk.

"Iya..., iya. Lalu kenapa memangnya?"

"Anak muda itu memesan makanan yang sama persis seperti ketika Gusti Adipati Arya Permadi masih hidup dan sering datang ke sini," kata Ki Lintuk.

Nyi Lintuk buru-buru mendekap mulutnya sendiri yang mau berteriak kaget. Selama dua puluh tahun belakangan ini, belum pernah ada seorang pun yang memesan makanan seperti itu. Adipati Karang Setra yang sekarang telah melarang untuk menyediakan makanan-makanan kesukaan adipati yang lama. Sepertinya adipati yang sekarang ingin menghilangkan semua citra yang telah dilakukan dan disukai oleh pendahulunya.

Satu demi satu, semua yang ada hubungannya dengan Adipati Arya Permadi dihilangkan, sampai yang sekecil-kecilnya. Tidak ada yang tahu, kenapa Adipati Karang Setra yang sekarang berbuat begitu. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu sebabnya, termasuk Ki Lintuk ini yang menjadi sahabat Adipati Arya Permadi, dan kedainya sering dikunjungi.

"Saat ini, Rasanya aku seperti baru saja berhadapan dengan Gusti Adipati Arya Permadi, Nyi," kata Ki Lintuk pelan.

"Ya..., wajahnya juga mirip," desah Nyi Lintuk seperti baru menyadari.

Beberapa saat lamanya, suami-istri itu terdiam mereka seolah-olah tengah larut mengenang kembali junjungannya yang telah tiada.

***

Rangga tampak sedang melihat-lihat keadaan kota Kadipaten Karang Setra sampai di tengah-tengah pasar. Siang itu keadaan pasar sangat ramai, mungkin hari ini adalah hari pasaran, sehingga banyak orang yang datang untuk berbagai macam keperluan. Di beberapa tempat juga terlihat macam-macam hiburan rakyat.

Rangga mengendalikan kudanya dengan pelan-pelan. Nampaknya dia ingin mengingat kembali masa kecilnya. Namun tidak banyak yang mampu dia ingat. Saat itu dia baru berumur sekitar lima tahun.

Yang membuat Rangga heran, sejak tadi dia tidak melihat seekor pun burung kenari yang diperdagangkan. Juga dia tidak melihat seorang pun yang mengenakan baju berwarna biru. Semua yang ada seperti kedai dan warung kelontong serta barang-barang yang lain, tidak satu pun yang berwarna biru.

Beberapa saat kemudian, Rangga turun dari punggung kudanya begitu sampai di depan tempat penjaja burung. Tampak bermacam-macam burung yang diperdagangkan Seorang laki-laki setengah baya bergegas menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk. Dia menggunakan pakaian yang berwarna kuning dan nampak longgar.

"Silakan, Tuan. Ada macam-macam burung yang dijual di sini. Semua bagus-bagus. Silakan Tuan pilih. " sambutnya ramah.

"Hm, aku ingin mencari burung kenari. Ada?" tanya Rangga.

Laki-laki setengah baya itu nampak memucat wajahnya mendengar permintaan Rangga. Sikapnya pun jadi salah tingkah dan gugup. Sepertinya dia tengah menghadapi seorang raja besar yang agung. Tentu saja sikap orang tersebut tertangkap oleh mata Rangga

"Ada. Pak?" tanya Rangga tidak memberikan kesan keheranannya.

"Oh! Maaf.... maaf. Tuan. Burung yang Tuan inginkan tidak dijual di sini." sahutnya tergagap.

"Hm..., bukankah burung tersebut mudah didapat. dan banyak di sekitar sini?"

"Tapi, Tuan. Kami tidak menyediakannya." Rangga semakin dibuat penasaran. Dia benar-benar tidak mengerti, sejak menginjakkan kaki di Kadipaten Karang Setra ini, sudah banyak ditemui berbagai keanehan dan kejanggalan. Semua yang ditanyakan dan diinginkannya tidak bisa terpenuhi, bahkan setiap orang yang dimintai keterangan selalu menampakkan ketakutan. Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini?

Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Rangga segera melangkah pergi sambil menuntun kuda hitamnya. Sementara penjaja burung itu hanya memandanginya dengan wajah pucat dan tubuh yang gemetaran.

"Oh!" mendadak dia tersentak ketika pundaknya ditepuk dan belakang.

Laki-laki setengah baya itu langsung menoleh dan membungkukkan badan begitu mengetahui siapa yang ada di hadapannya. Tampak seorang laki-laki yang berpakaian halus dan berwajah bengis sedang menatapnya dengan tajam. Laki-laki itu adalah orang yang tadi berada di kedai Ki Lintuk, seorang pengawal khusus Adipati Karang Setra yang bernama Singo Lodoya.

"Apa yang dia cari, Ki Bayan," tanya Singo Lodoya. Suaranya terdengar besar dan berat.

"Burung kenari, Gusti," sahut Ki Bayan tanpa mengangkat mukanya.

"Lalu, kau bilang apa?"

"Hamba bilang, bahwa hamba tidak menyediakan burung itu, Gusti."

"Bagus! Dan kau memang dilarang menjual burung kenari. Ingat, sekali saja kau melanggar, pancung hukumannya! "

"Hamba mengerti, Gusti," sahut Ki Bayan seraya mengangguk-angguk

Singo Lodoya pun segera berlalu. Arahnya jelas bahwa dia mengikuti ke mana tadi Rangga pergi. Sementara Ki Bayan hanya bisa memandanginya dengan pikiran yang dipenuhi oleh berbagai macam tanda tanya. Selama dua puluh tahun terakhir ini tidak seorang pun yang menanyakan burung kenari. Dan baru kali ini ada seorang pemuda yang menginginkannya.

"Bayan Sudira...!" tiba-tiba terdengar suara memanggilnya.

"Oh! Kakang Lintuk."

Buru-buru Bayan Sudira menghampiri seseorang yang telah memanggilnya itu. Dia langsung mengajak laki-laki tua pemilik kedai itu masuk ke dalam warung burungnya.

"Aku lihat pemuda itu tadi datang ke sini " kata Ki Lintuk.

"Maksud, Kakang.... Pemuda yang membawa kuda hitam?" Bayan Sudira ingin memastikan

"Benar "

"Hhh...," Bayan Sudira menarik napas panjang.

"Ada apa?" tanya Ki Lintuk menduga-duga. Jelas sekali bahwa dia penasaran.

"Dia mencari burung kenari," sahut Bayan Sudira pelan.

"Sudah kuduga....," desah Ki Lintuk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. .

Sejenak Bayan Sudira menatap laki-laki tua pemilik kedai itu. Dia makin bertambah bingung dengan kejadian yang baru dialaminya.

"Dia tadi juga datang ke kedaiku, dan memesan makanan yang aneh. Aku sendiri tidak tahu, siapa dia sebenarnya. Aneh..., benar-benar aneh!" kening Ki Lintuk berkerut dalam.

"Dia memesan makanan...?" Bayan Sudira tidak melanjutkan pertanyaannya.

"Ya " sahut Ki Lintuk bisa mengerti.

"Lalu?"

"Aku tidak bisa menyediakannya. Di sana juga ada Gusti Singo Lodoya, jadi aku tidak sempat untuk menanyakannya. "

"Aneh.... Siapa sebenarnya dia ya...?" gumam Bayan Sudira seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Di sepanjang jalan, aku tadi juga mendengar dari teman-teman kita, bahwa pemuda itu menanyakan yang aneh-aneh. Dia selalu mencari sesuatu yang tidak mungkin kita sediakan. Aku benar-benar tidak mengerti...," kata Ki Lintuk lagi

"Kakang, bagaimana kalau nanti malam kita kumpulkan teman-teman. Aku merasa bahwa kedatangan pemuda itu ada artinya. Apalagi sebentar lagi akan diadakan pertandingdn di istana kadipaten. Perayaan tahunan untuk menghormati kebesaran Adipati Wira Permadi," kata Bayan Sudira mengusulkan.

"Aku rasa perlu juga, Adik Bayan Sudira. Sebaiknya kau hubungi teman-teman secepatnya. Dan bilang, bahwa pertemuan akan diadakan selepas senja di rumahku."

"Aku laksanakan, Kakang!"

***

Matahari baru saja menghilang di ufuk Barat. Sementara kegelapan segera datang dan menyelimuti mayapada. Di rumah Ki Lintuk yang berada di belakang kedai tampak sudah dipenuhi oleh beberapa orang laki-laki setengah baya. Mereka semua duduk di lantai yang beralaskan tikar pandan, dan di ruangan yang cukup luas. Tampak beberapa pelita menerangi ruangan itu.

Di hadapan mereka Ki Lintuk duduk berdampingan dengan Bayan Sudira. Rata-rata wajah-wajah para undangan itu sudah berkeriput dengan hiasan rambut putih di kepala. Mereka semua sudah mengerti maksud dari pertemuan itu. Yakni membahas tentang kedatangan seorang pemuda yang tidak dikenal dan aneh.

"Aku yakin, bahwa saudara-saudara sekalian tahu maksud dari undangan ini," kata Ki Lintuk memulai pembicaraannya.

Semua kepala yang berjumlah delapan orang itu segera terangguk-angguk Mereka menunggu kelanjutan kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu.

"Siang tadi, aku dan Adik Bayan Sudira serta tentunya saudara-saudara semua kedatangan seorang pemuda yang aneh. Nah! Maksud dari pertemuan ini adalah untuk membicarakan hal tersebut, lanjut Ki Lintuk.

Belum ada seorang pun yang membuka suara. Semuanya masih diam dengan kepala tertunduk dan kening yang berkerut. Mereka semua memang kedatangan pemuda tersebut. Dan mereka tidak tahu, siapa sebenarnya pemuda itu.

"Kalian tahu, bahwa aku selalu membicarakan setiap persoalan pada istriku. Dan hari ini istriku memberikan dugaan yang sangat mengejutkan....

"Apa itu, Ki Lintuk?" tanya Bayan Sudira seraya memandang laki-laki di sampingnya.

"Katanya pemuda itu mirip dengan Gusti Adipati Arya Permadi," sahut Ki Lintuk dengan suara agak bergetar.

Sebentar saja suara-suara bergumam sudah terdengar bagai tawon digebah sarangnya. Mereka semua terkejut dengan kata-kata Ki Lintuk barusan. Secara jujur, semua memang sudah menduga ke situ, tapi tidak punya keberanian untuk mengemukakannya.

"Semua yang dia minta juga merupakan kesenangan dari Gusti Adipati Arya Permadi. Dua puluh tahun lamanya kita tidak pernah mendengar lagi permintaan-permintaan seperti itu, dan sekarang muncul seorang pemuda yang..., Ki Lintuk tidak jadi melanjutkan kata-katanya.

Sementara semua kepala segera terangkat naik ketika mendengar suara derap langkah kaki kuda yang semakin mendekat. Mereka yang berada di dalam ruangan itu serentak menoleh ke jendela. Tampak di luar sana seorang pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih sudah berdiri di samping kuda hitam tunggangannya. Pemuda itu berdiri tegak di tengah-tengah halaman kedai.

"Kakang...," Bayan Sudira segera mencekal tangan Ki Lintuk yang hendak bangun dari duduknya.

"Mungkin dia memerlukan kamar penginapan," kata Ki Lintuk seraya melepaskan pegangan tangan Bayan Sudira.

Ki Lintuk lalu mengayunkan langkahnya ke luar. Dia sengaja lewat pintu samping, tapi sempat berpesan pada teman-temannya untuk tidak menampakkan diri. Pemilik kedai dan rumah penginapan itu menghampiri pemuda yang ternyata adalah Rangga.

"Silakan, Tuan. Apakah Tuan membutuhkan kamar untuk bermalam?" sambut Ki Lintuk dengan ramah.

"Ya," sahut Rangga.

"Silakan, biar pembantuku nanti yang mengurus kuda Tuan, "

Rangga lalu menambatkan kudanya pada tambatan kuda yang ada di depan kedai. Kemudian dia segera mengikuti langkah Ki Lintuk yang berjalan menuju bagian samping kedai. Rangga sempat melirik bagian depan rumah di belakang kedai makan itu. Tampak beberapa bayangan terlihat. Dan beberapa kepala tersembul dari jendela.

Rangga tidak mempedulikan, dia terus saja mengikuti langkah Ki Lintuk. Beberapa saat kemudian mereka memasuki sebuah bangunan yang cukup besar.

Ki Lintuk menunjukkan beberapa kamar yang berjajar rapi di sepanjang lorong.

"Aku minta yang di ujung sana," kata Rangga sambil menunjuk sebuah kamar yang menghadap ke arah taman.

Ki Lintuk tampak tersentak dengan permintaan Rangga itu.

"Kenapa? Sudah ada orangnya?" tanya Rangga tidak menampakkan keheranannya.

"Tidak. Tidak, Tuan. Silakan," sahut Ki Lintuk dengan tergagap.

"Mungkin aku akan beberapa hari nginap di sini. Dan ini sebagai pembayaran muka," kata Rangga seraya menyerahkan sekantung uang ke tangan Ki Lintuk.

Kemudian Rangga melangkah masuk ke kamar yang diinginkannya. Sementara Ki Lintuk bergegas ke luar dari rumah penginapannya setelah pintu kamar tertutup. Dia langsung menuju rumahnya dan duduk dengan lemas dikelilingi oleh teman-temannya.

"Ada apa?" tanya beberapa orang hampir bersamaan.

"Dia.. ., dia...," Ki Lintuk tersekat suaranya.

"Kenapa dia, Kakang?" tanya Bayan Sudira menunjukkan kecemasan.

"Dia memilih kamar yang dulu biasa ditempati Gusti Adipati Arya Permadi."

"Apa...?! "

***
DUA
Rangga mengurungkan niatnya untuk membaringkan tubuhnya ke pembaringan. Dia mendengar pintu kamar penginapannya ada yang mengetuk dari luar. Kemudian dengan rasa malas dia melangkah ke pintu. Tampak Ki Lintuk sudah berdiri di sana. Dengan ramah Rangga mempersilakannya untuk masuk. Laki-laki tua itu tampak membawa sebuah guci arak dan dua gelas yang terbuat dari perunggu di atas baki.

Rangga membiarkan saja ketika laki-laki tua itu meletakkan baki di atas meja. Ki Lintuk sempat melirik pada sebilah pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung di pembaringan. Kemudian dia berbalik dan tetap berdiri menghadap Rangga yang sudah duk di kursi dekat pintu.

"Boleh aku bertanya sesuatu, Tuan?" pinta Ki Lintuk sopan.

"Silakan, " sahut Rangga seraya meminta Ki Lintuk duduk.

Ki Lintuk pun segera duduk di dekat meja yang membelakangi jendela kamar.

"Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?" tanya Rangga.

"Setiap tamu yang akan menginap di sini, biasanya memberitahu nama. Tadi aku lupa untuk menanyakannya," sahut Ki Lintuk

"Namaku Rangga, Ki. Aku hanya seorang kelana yang tidak tentu arah dan tujuannya. Dan aku datang ke sini hanya untuk singgah sebentar," sahut Rangga memperkenalkan diri.

"Tidak ada yang dicari?" tanya Ki Lintuk setengah menyelidik.

"Rasanya tidak," sahut Rangga menggeleng lemah.

Sejenak Ki Lintuk terdiam. Kepalanya tampak terangguk-angguk dengan kening yang berkerenyut.

"Ada apa, Ki? Apakah ada sesuatu yang mencurigakan pada diriku?" tanya Rangga merasa tidak enak.

"Oh, tidak. Tidak, T uan. Hanya...."

"Hanya apa, Ki?"

"Nama Tuan jadi mengingatkan saya pada seseorang. "

Seketika jantung Rangga berdetak kencang. Dia sendiri tidak tahu, perasaan apa yang ada di dalam dirinya. Pandangannya agak tajam menembus bola mata laki-laki tua yang duduk tepat di depannya.

"Namamu mirip dengan putra Gusti Adipati Karang Setra yang hilang dua puluh tahun lalu," kata Ki Lintuk pelan seperti bergumam pada dirinya sendiri.

Kini dada Rangga semakin keras saja berdebar. Sedangkan Ki Lintuk tampak mengamatinya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sepertinya dia ingin meyakinkan dirinya, bahwa Rangga bukanlah seperti orang kebanyakan. Kulitnya putih bersih, sedangkan tubuhnya tinggi dan kekar, wajahnya juga tampan. Pendek kata Rangga lebih pantas kalau menjadi seorang putra raja atau bangsawan, bukan seorang pengembara yang berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain.

"Kalau saja putra Gusti Adipati masih hidup, pasti sudah sebesar dan setampan Tuan. Namanya juga Rangga, lengkapnya Rangga Pati Permadi. Dua puluh tahun yang lalu beliau mendapat musibah di kaki Bukit Cubung dekat Lembah Bangkai. Seluruh keluarga, punggawa dan pengawal tewas. Hanya Gusti Rangga yang selamat, tapi dia hilang dan sampai sekarang tidak tentu rimbanya, " kata Ki Lintuk menceritakan tanpa diminta.

Sementara Rangga makin menjadi-jadi getaran jantungnya. Pikirannya jadi tidak menentu. Ingin rasanya dia mengatakan, bahwa dirinyalah putra adipati itu! Tapi mulutnya seperti terkunci. Kini semua peristiwa itu kembali terlintas dalam benaknya. Sebuah kejadian yang mengerikan dan tak mungkin terlupakan sepanjang hidupnya.

Kedatangannya ke Kadipaten Karang Setra ini sebenarnya tidak disengaja. Langkah pengembaraannya saja yang telah membawanya sampai ke sini. Namun sejak siang tadi dia sudah merasakan berbagai macam kejanggalan. Dan semuanya itu telah menjadikan beban pikirannya sampai kini. Sejenak Rangga tertegun ketika matanya memandang ke luar lewat Jendela. Tampak di depan sana berdiri seseorang yang menghadap kamarnya.

"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga.

"Orang...? Siapa.. .?" Ki Lintuk segera memalingkan mukanya ke arah Rangga memandang

Tepat pada saat itu, orang yang tadi berdiri dibawah pohon langsung lenyap. Rangga segera bangkit dan melangkah ke jendela. Kemudian dia melayangkan pandangannya ke luar. Namun hanya kegelapan yang tampak. Pendekar Rajawali Sakti itu pun segera membalikkan tubuhnya menghadap Ki Lintuk yang sudah berdiri di sampingnya.

"Tampaknya tidak ada siapa-siapa...," kata Ki Lintuk pelan.

"Mungkin hanya bayanganku saja, Ki," sahut Rangga berusaha menenangkan diri.

"Sudah larut malam, aku permisi dulu, pamit Ki Lintuk.

Rangga tidak mencegah lagi. Dia membiarkan saja laki-laki pemilik penginapan ini ke luar dan kamarnya: Sejenak Rangga menutup pintu kamarnya sambil menarik napas panjang. Dia yakin kalau di bawah pohon itu tadi ada seseorang yang berdiri sambil memandang ke kamarnya.

Kini pikiran Rangga beralih pada Ki Lintuk. Kedatangannya ke kamar ini tentu bukan hanya untuk membawakan arak. Pasti ada sesuatu yang hendak diketahui, atau.... Ah! Rangga segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak ingin cepat-cepat membuat dugaan-dugaan. Meskipun sepanjang Siang tadi dia mendapatkan beberapa keanehan dan kejanggalan tapi semuanya berusaha disimpannya dalam hati.

"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang telah terjadi di tanah kelahiranku ini," gumam Rangga dalam hati.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan pandangannya ke luar melalui jendela. Kemudian ia mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara untuk mencoba mengetahui keadaan sekelilingnya. Kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Tapi sampai lama dia berbuat begitu, tidak mendengar satu suara pun yang mencurigakan.

"Siapa sebenarnya orang itu? Apa maksudnya mengintaiku?" tanya Rangga dalam hati.

***

Pagi-pagi sekali Rangga sudah bangun. Setelah merapikan diri sebentar, dia segera ke luar kamar. Langkahnya tegap menyusuri lorong-lorong rumah penginapan yang besar itu. Di depan pintu keluar dia berpapasan dengan Ki Lintuk. Laki-laki tua itu tampak menganggukkan kepalanya. Sedangkan Rangga pun membalasnya dengan anggukan pula

Setelah berbasa-basi sebentar, Rangga kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini dia sengaja tidak membawa kuda. Pendekar Rajawali Sakti itu bermaksud ingin mengetahui lebih banyak tentang tanah kelahirannya. Di samping ingin tahu, kalau-kalau di Kadipaten Karang Setra ini terdapat sanak keluarganya yang masih hidup.

"Hm... ada apa orang banyak berkumpul di depan pintu gerbang istana kadipaten"?" tanya Rangga dalam hati ketika dia melihat sekumpulan orang yang tidak jauh di hadapannya.

Didorong rasa penasarannya Pendekar Rajawali Sakti itu segera menghampiri tempat itu. Tampak pintu gerbang istana kadipaten tertutup rapat. Ada sekitar empat orang penjaga di depan pintu. Satu orang lagi duduk menghadapi meja.

"Ada apa di sini, Pak?" tanya Rangga pada seorang laki-laki setengah baya yang berada di sampingnya. "

"Pendaftaran untuk pertandingan, sahut laki-laki tua itu singkat.

"Pertandingan apa?" tanya Rangga penasaran

"Ketangkasan macam-macam. Gusti Adipati sedang memilih panglima perang dengan mengadakan perlombaan ketangkasan. Yang dipilih, diutamakan yang memiliki kuda dan ilmu olah kanuragan. Nanti siapa yang paling unggul, akan diangkat menjadi panglima perang.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali melangkah dan meninggalkan kerumunan orang banyak itu. Namun baru beberapa saat dia melangkah, keningnya mendadak berkerenyut ketika melihat seorang sedang berdiri di bawah pohon sambil memandang ke arahnya. Dan tiba-tiba. saja....

"Heh!" Rangga tersentak ketika menyadari bahwa orang itu telah menghilang dari pandangannya.

Untung saja matanya yang tajam dan sudah terlatih baik itu, dapat melihat 璳e mana arah kelebatan orang itu Maka tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera melesat cepat dan mengejar. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam waktu singkat saja tubuhnya sudah hilang dari pandangan.

Dengan sekuat tenaga Rangga mengempos tenaganya. Matanya tidak berkedip memandang ke arah bayangan yang berkelebatan cepat di depannya. Mendadak Pendekar Rajawali Sakti itu tampak berkerenyut keningnya. Telinganya yang tajam mendengar suara desiran angin halus dari arah belakang. Tampak sebuah bayangan lagi bergerak cepat mengikutinya dan belakang.

"Ugh! Apa maksud semua ini? Kenapa ada dua orang yang mengintaiku? Apakah ini bukan jebakan...?" Rangga bergelut sendiri dengan hatinya.

Maka dengan mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Rangga segera melentingkan tubuhnya ke atas, kemudian menyembunyikan diri di kerimbunan pepohonan yang tinggi. Sedangkan matanya terus mengamati dua bayangan yang kini saling berkejaran. Tampak orang yang berada di depan langsung menerobos celah bebatuan dan menghilang di sana. Sedangkan yang seorang lagi tampak kebingungan. Dia berdiri tepat di bawah Rangga bersembunyi.

"Hm..., dia adalah laki-laki yang kemarin kutemui di kedai Ki Lintuk,'" gumam Rangga dalam hati.

Memang benar, laki-laki yang mengejar Pendekar Rajawali Sakti itu adalah Singo Lodoya. Seorang pengawal khusus kadipaten yang sangat berpengaruh dan paling dekat dengan Adipati Karang Setra. Boleh dikatakan, Singo Lodoya adalah tangan kanan adipati.

"Edan! Keparat...! Ke mana perginya?" umpat Singo Lodoya sambit celingukan mencari-cari.

Sementara Rangga yang berada tepat di atasnya terus memperhatikan gerak-geriknya. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar sempurna sekali. Tidak sembarang orang bisa mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkannya. Dan kalau Singo Lodoya sampai tidak mengetahui, itu menandakan bahwa tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Di atas pohon, Rangga tampak tersenyum memperhatikan Singo Lodoya bersungut-sungut sambil berlalu pergi.

Kini perhatian Rangga beralih pada bebatuan yang berserakan dan membukit tidak jauh di hadapannya. Tampak bibirnya yang tipis semakin lebar tersenyum saat melihat sebentuk tubuh ramping yang mengenakan baju merah muda sedang berlindung di balik sebuah batu besar. Dilihat dari pakaian dan rambutnya yang panjang terkepang, sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang perempuan. Kemudian pandangan Rangga kembali beralih pada Singo Lodoya yang sudah jauh meninggalkan tempat itu. Dari tempatnya, hanya titik hijau saja yang terlihat

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya. Setelah tiga kali dia bersalto di udara, lalu dengan ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah yang berbatu di belakang orang yang berlindung di balik batu besar itu.

"Ehm-ehm!" Rangga mendehem.

"Oh!" seketika orang itu tersentak. Dia langsung memutar tubuhnya berbalik.

Rangga sendiri tampak kaget juga ketika melihat siapa orang yang kini ada di depannya. Tampak seorang wanita yang berwajah cantik dan kulit putih mulus sedang menatapnya dengan terheran-heran

"Siapa kau? Kenapa mengikutiku?" tanya Rangga.

"Aku Retna Nawangsih," sahut wanita itu segera mengenalkan diri.

"Kenapa mengikutiku?" tanya Rangga lagi

"Aku hanya ingin tahu dari mana kau peroleh kuda hitam itu?"

Tentu saja Rangga tersentak kaget. Dia sama sekali tidak mengerti dengan jawaban wanita yang mengaku bernama Retna Nawangsih itu.

"Kenapa kau tanyakan hal itu," tanya Rangga.

"Kuda itu bukan kuda sembarangan. Aku tahu siapa pemiliknya yang syah."

Rangga semakin diliputi kebingungan. Dia mendapatkan kuda itu dan seorang anak laki-laki di Desa Watu Ampar. Dan menurut penuturannya, kuda itu adalah milik kakaknya. Rangga sendiri tidak tahu, siapa nama kakak anak itu. Apakah wanita ini kakaknya Kajar? Seorang anak kecil yang sudah pandai dalam ilmu pengobatan. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Asmara Maut).

"Kuda itu memang bukan milikku, aku hanya meminjamnya dari seseorang," Rangga mengakui terus terang. "Apakah kau kakaknya Kajar?"

"Kajar...? Aku tidak kenal dengan nama itu"

"Lho...! Lantas, dari mana kau tahu perihal kuda itu?" Rangga jadi bertambah heran.

"Dari guruku. Dan aku ditugaskan untuk membawa kuda itu pada guru untuk diperiksa keasliannya "

"Siapa nama gurumu?"

"Bibi Guru Dewi Purmita Beliau melihatmu saat kau memasuki pintu gerbang kadipaten. Dan aku ditugaskan untuk menyelidikimu serta membawa kuda itu kepadanya," sahut Retna Nawangsih juga terus terang.

"Memangnya ada apa dengan kudaku?" tanya Rangga masih kebingungan.

"Jangan tanya padaku. Kalau kau bukan pencuri kuda, sebaiknya ikut saja denganku untuk menemui Bibi Guru Dewi Purmita. Hm..., di mana sekarang kudamu?"

"Di istal penginapan."

"Sebaiknya cepat kau ambil kuda itu sebelum keduluan Singo Lodoya atau siapa saja yang sudah mengetahuinya. "

"Heh! Kau tidak sedang mempermainkan aku, kan?"

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Tadi Singo Lodoya juga mengejarmu, aku khawatir dia mengambil kesempatan untuk membawa kabur kuda itu!"

Rangga baru mau membuka mulut, tetapi tidak jadi karena Retna Nawangsih telah melesat cepat dan kembali ke arah Kadipaten Karang Setra. Mau tidak mau Rangga segera mengikuti. Kini makin bertumpuk saja beban pikiran yang memenuhi benak Pendekar Rajawali Sakti itu. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terjawab. Padahal baru kemarin dia datang ke kadipaten ini, tapi semua yang ditemuinya telah membuat kepalanya terasa mau pecah.

***

Ki Lintuk tampak berlari-lari ke luar dari dalam kedai ketika melihat Rangga datang bersama seorang gadis cantik. Napas Ki Lintuk agak tersengal. Dia membungkukkan badan beberapa kali di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tentu saja hal itu membuat Rangga jadi terbengong-bengong keheranan.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.

"Maafkan, Tuan. Ampunilah saya, Tuan...," kata Ki Lintuk tetap membungkuk.

"Lho, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba minta maaf segala? "

"Para pembantu hamba tidak bisa berbuat apa-apa, Tuan. Kuda itu mengamuk dan lari dari kandang. Maafkan kelalaianku, Tuan."

Rangga jadi terdiam seketika. Dia hanya bisa memandang pada Ki Lintuk dengan berbagai macam perasaan. Untuk beberapa lamanya mereka hanya saling berdiam diri

"Kenapa kuda itu sampai mengamuk, Ki?" tanya Retna Nawangsih.

"Ada orang yang berusaha mengambilnya. Seorang pembantuku sampai tewas karena berusaha mencegah orang itu," sahut Ki Lintuk

"Siapa orang itu?" kejar Rangga.

"Saya tidak tahu, dia langsung lari mengejar kudamu, Tuan."

"Ke mana larinya?

"Ke sana,! Ki Lintuk menunjuk ke arah Utara.

"Ayo kita kejar. barangkali dia belum begitu jauh, " ajak Retna Nawangsih.

Maka tanpa banyak bicara lagi, Rangga dan Retina Nawangsih segera melesat cepat ke arah yang ditunjuk oleh Ki Lintuk. Dalam sekejap mata saja bayangan ke dua orang itu sudah lenyap dan pandangan. Sementara Ki Lintuk masih saja berdiri memandang ke arah mereka pergi. Dia sampai tidak menyadari kalau ada seseorang yang ke luar dari dalam kedai dan menghampirinya.

"Oh, Gusti Singo Lodaya," Ki Lintuk kaget. Buru-buru dia membungkuk memberi hormat.

"Bagus! Kau telah membantu pemerintah kadipaten. Gusti Adipati Wira Permadi pasti berkenan memberi hadiah padamu," kata Singo Lodoya.

"Terima kasih, Gusti. Tapi rasanya hamba tidak patut untuk menerimanya. Hamba...."

"Tidak perlu banyak alasan, Ki Lintuk. Besok akan ada utusan yang datang membawa hadiah untukmu. Dan yang terpenting sekarang ini, kau harus bisa menyelidiki siapa dia sebenarnya. Kalau dia hanya seorang pencuri kuda, biar para prajuritku yang membereskannya! Tapi kalau dugaan Gusti Adipati Wira Permadi benar, maka dia harus berhadapan dengan pengawal-pengawal khusus Gusti Adipati."

"Oh, Gusti.... Jadi..., jadi Gusti Adipati sudah tahu... ?" bergetar seluruh tubuh Ki Lintuk.

"Bukan hanya tahu, tapi juga memerintahkan padaku untuk menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu. Dan kau harus membantu kelancaran tugasku. Bersikaplah yang wajar, dan jangan melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bisa membuatnya curiga."

"Hamba akan laksanakan, Gusti...."

Setelah Singo Lodoya menepuk pundak laki-laki tua itu beberapa kali kemudian dia mengambil dua pundi uang dan balik sabuk pinggangnya."

"Hadiah khusus dariku jangan ditolak! kata Singo Lodoya sambil menyerahkan kedua pundi itu.

"Terima kasih, Gusti," ucap Ki Lintuk seraya membungkuk beberapa kali.

"Ha ha ha...!" tiba-tiba Singo Lodoya tertawa keras.

Ki Lintuk masih saja membungkukkan badannya sampai Singo Lodoya jauh meninggalkannya. Suara tawa pengawal khusus Adipati Karang Setra itu masih terus terdengar dan menggema keras. Tak lama kemudian, Ki Lintuk mengamati dua pundi uang yang ada di tangannya. Mendadak wajahnya berubah merah, dan terdengar suara geraman halus dengan rahang bergemeletuk.

"Huh! Aku tidak butuh hadiahmu. Hih!"

Ki Lintuk segera melemparkan dua pundi itu jauh-jauh. Sungguh di luar dugaan, dua pundi uang itu melayang deras dan jauh melewati beberapa rumah penduduk. Kedua benda itu terus meluncur deras menuju Hutan Wiliyang yang jadi perbatasan bagian Selatan Kadipaten Karang Setra.

Pundi-pundi uang itu langsung lenyap oleh lebatnya hutan. Ki Lintuk masih saja berdiri tegak sambil memandang ke arah Selatan. Tampak gerahamnya terus bergemeletukan, dan wajahnya merah membara. Sedang otot-ototnya bersembulan ke luar, pertanda bahwa dia sedang menahan sesuatu yang sulit untuk dikendalikan lagi.

"Keparat. . . ! "

***

Di halaman samping istana kadipaten tampak Singo Lodaya berjalan berdampingan dengan seorang laki-laki muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Laki-laki muda itu mengenakan pakaian indah yang terbuat dari bahan sutra halus dan bersulamkan benang-benang emas. Tampak beberapa prajurit yang bersenjata tombak dan pedang berbaris rapi dengan sikap penuh hormat.

"Silakan, Gusti Adipati, " kata Singo Lodoya mempersilakan laki-laki muda itu masuk ke dalam istal

"Aku ingin kuda itu segera dikeluarkan saja, kata pemuda itu.

Lalu Singo Lodoya pun segera memerintahkan pada seorang prajurit untuk mengeluarkan kuda yang diambil dari istal Ki Lintuk dengan cara licik. Prajurit yang diperintah itu segera masuk ke dalam istal dan tidak lama kemudian dia sudah ke luar lagi sambil menuntun seekor kuda hitam. Jelas sekali kalau kuda hitam itu adalah milik Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagaimana. Gusti Adipati Wira Permadi?" dengan bangga wajah Singo Lodoya segera mempersilakan pemuda yang ternyata Adipati Karang Setra untuk memeriksa kuda hitam itu.

Sejenak Adipati Karang Setra hanya berdiri sambil mengamati kuda itu. Kemudian kepalanya menoleh pada seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah kuning gading dan berkepala gundul. Sedangkan kumis dan janggutnya tampak lebat hingga menutupi mulutnya yang tipis. Matanya merah tajam, dan di tangannya selalu tergenggam untaian batu mutiara yang berbentuk kalung.

"Memang mirip sekali dengan kuda tunggangan Gusti Adipati Arya Permadi, Gusti," kata laki-laki berpakaian pendeta itu berpendapat.

"Kuda bisa saja sama, Paman Pendeta. Aku ingin kepastian, apakah kuda ini benar-benar kuda Dewa Bayu...," dengus Adipati Wira Permadi.

"Ada satu tanda yang tidak dimiliki oleh kuda-kuda lain di mana pun juga. Tanda itu berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran yang ada di tengahnya. Tanda itu berada di bagian kanan dari paha belakang," kata pendeta yang bernama Pendeta Gurusinga itu.

"Benar, Gusti Adipati," sergah seorang lagi yang memiliki tubuh gemuk dan pendek bagai bola. Kepalanya yang kecil, botak di tengah-tengahnya. Laki-laki cebol itu dikenal dengan sebutan Si Cebol Tangan Baja. "Kuda Dewa Bayu tidak ada bandingannya di dunia ini. Dia bisa berlari secepat angin. Kaki-kakinya yang kuat bagai baja, bisa menghancurkan batu sebesar kerbau. Kuda Dewa Bayu adalah tunggangan Dewa yang dipersembahkan kepada Gusti Adipati Arya Permadi, Ayahanda Gusti sendiri. Jadi Gusti Adipati sudah sepantasnya menjadi pewaris utama kuda Dewa Bayu ini."

"Hm.... Singo Lodoya Coba periksa kuda itu, apakah benar ada tanda yang disebutkan oleh Paman Pendeta Gurusinga!" perintah Adipati Wira Permadi.

"Hamba, Gusti."

Singo Lodoya pun segera memeriksa bagian paha kaki belakang sebelah kanan dari kuda hitam itu. Mendadak matanya membeliak lebar, lalu tubuhnya bergetar hebat bagaikan tersengat ribuan lebah berbisa. Sedetik kemudian, tiba-tiba muncul seberkas cahaya keemasan yang memancar dari tanda itu.

"Akh!" Singo Lodoya terpekik tertahan. Tubuhnya mental beberapa batang tombak ke belakang.

Kejadian itu sangat singkat, hingga menggegerkan semua orang yang ada di halaman samping istana kadipaten itu. Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, mendadak kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

"Awas, Gusti...!" teriak Pendeta Gurusinga.

Secepat kilat pendeta kurus itu melompat dan menerkam Adipati Wira Permadi. Kontan saja mereka jatuh bergulingan di tanah Dan tepat pada saat itu, kaki kuda hitam itu menjejak tanah di mana adipati tadi berdiri. Semua mulut orang yang menyaksikan tampak ternganga lebar. Tanah bekas injakan kaki kuda itu langsung berlubang besar dan dalam.

"Jangan...!" seru Pendeta Gurusinga ketika melihat para prajurit sudah mengepung kuda hitam itu dengan senjata terhunus. "Menyingkirlah kalian semua! "

"Luar biasa...," desah Adipati Wira Permadi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara kuda hitam itu tampak mendengus-dengus sambil menghentak-hentakkan kaki depannya. Pelan-pelan Pendeta Gurusinga mendekati kuda itu. Kemudian tangannya menjulur untuk mengambil tali kekangnya. Aneh...! Kuda hitam itu langsung diam setelah pendeta itu berhasil memegang tali kekangnya. Pendeta Gurusinga segera membawanya kembali masuk ke dalam istal. Tidak lama kemudian dia sudah muncullagi dengan bibir tersenyum-senyum.

"Kuda itu memang kuda Dewa Bayu," kata Pendeta Gurusinga seperti bergumam.

"Ya, sungguh luar biasa, " desah Adipati Wira Permadi kagum.

"Beruntung sekali kalau Gusti Adipati bisa menguasainya" sambung Si Cebol Tangan Baja.

"Harus! Aku harus bisa menguasainya.

***
TIGA
Rangga tampak sedang duduk merenung di dalam kamar penginapannya. Saat itu malam sudah larut menyelimuti permukaan bumi Kadipaten Karang Setra. Peristiwa-peristiwa yang dialaminya sejak dia datang ke kadipaten ini, membuatnya jadi semakin tidak mengerti. Pendekar Rajawali Sakti itu sangat menyesal dengan hilangnya kuda hitam tunggangannya. Sementara arah yang ditunjuk oleh Ki Lintuk juga dirasakan kurang benar. Seharian dia telah mencari kudanya di tempat yang ditunjuk oleh Ki Lintuk. Tapi sampai sore tidak juga ditemukan

"Aku tidak percaya kalau Ki Lintuk sampai mendustaiku, bisik Rangga dalam hati. "Tapi..., rasanya tidak mungkin kalau seorang pencuri kuda sampai masuk ke dalam wilayah yang berlembah dan berbukit batu itu. Hm...."

Rangga segera mengangkat kepalanya saat pintu kamar diketuk dari luar. Sejenak dia berpikir lalu dipandanginya pintu kamarnya yang masih tertutup rapat itu.

"Masuk!" seru Rangga.

Kemudian pintu terkuak perlahan-lahan. Dan muncullah seorang perempuan tua dengan sikap yang penuh hormat dan agak takut-takut. Rangga segera bangkit dan mempersilakannya untuk masuk. Perempuan tua itu pun segera melangkah masuk setelah menutup kembali pintu kamar. Dia kemudian duduk di kursi yang ada di dekat pintu.

"Ada perlu denganku, Nyi Lintuk?" tanya Rangga sopan.

"Aku..., aku hanya ingin minta maaf," sahut Nyi Lintuk pelan dan bergetar suaranya.

"Minta maaf? Rasanya kau tidak pernah berbuat kesalahan padaku."

"Benar, Tuan. Tapi suamiku...."

"Kenapa suamimu?" kening Rangga berkerut dalam.

"Suamiku tertekan, Tuan. Dan dia terpaksa melakukannya. "

"Aku tidak mengerti maksudmu, Nyi. Coba jelaskan lebih terang lagi."

"Suamiku telah berdusta padamu tadi siang, Tuan. Maafkanlah dia. Semua itu dilakukannya dengan terpaksa karena diancam..., suara Nyi Lintuk terputus. Tampak air matanya mulai mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput.

Sejenak Rangga terdiam. f)ia sudah mengerti arah pembicaraan perempuan tua itu. Dia memang sudah merasa kalau Ki Lintuk mungkin mendustainya dengan menunjukkan arah yang salah. Juga tidak ada pencuri kuda, dan tak ada seorang pun pembantunya yang tewas karena mempertahankan kuda hitam itu. Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam.

"Siapa yang telah mengancam suamimu?" tanya Rangga.

"Singo Lodoya," sahut Nyi Lintuk pelan dan bergetar.

"Siapa dia?"

"Orang kepercayaan Gusti Adipati Wira Permadi."

Rangga tersentak mendengar nama adipati di Karang Setra ini. Apakah dia tidak salah mendengar, bahwa Adipati Karang Setra yang sekarang bernama Wira Permadi? Rangga tidak mengerti, kenapa nama belakangnya bisa sama. Setahunya, putra Adipati Karang Setra hanya satu, yaitu dirinya sendiri. T api. . . .

Rangga tidak jadi melanjutkan jalan pikirannya. Pada saat itu mendadak telinganya mendengar suara halus di atas atap.

"Hup!"

Sekali genjot saja, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluncur deras ke atas. Tampak mulut Nyi Lintuk ternganga menyaksikan atap kamar itu jebol bersamaan dengan meluncurnya Rangga ke luar dari atap!

"Hey! Siapa kau...?" seru Rangga begitu kakinya mendarat di atas atap.

Saat itu juga satu bayangan tersebut berkelebat cepat turun ke bawah. Rangga tidak membuang-buang waktu lagi, dengan cepat dia meluncur ke bawah dan mengejar bayangan itu. Tapi belum juga kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba secercah cahaya berwarna keperakan meluncur deras ke arahnya.

"Uts! "

Rangga segera melentingkan tubuhnya kembali dan berputaran beberapa kali di udara. Untunglah dia dapat menghindari serbuan senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh bayangan itu. Matanya yang tajam masih sempat melihat bayangan itu berkelebat cepat dan menyelinap dari rumah yang satu ke rumah lainnya yang padat di sepanjang jalan utama kadipaten ini.

"Huh! Sial.!" dengus Rangga.

Kini bayangan itu sudah lenyap dan tak berbekas lagi. Tidak mungkin baginya untuk mengejar lagi. Senjata-senjata rahasia yang dilepaskan membuatnya sedikit repot. Dan Rangga hanya bisa berdiri tegak sambit mengamati keadaan sekitarnya yang gelap gulita. Tak tampak seorang pun di sekitar tempat itu.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menoleh ketika mendengar suara langkah-langkah kaki menghampirinya.

Tampak Ki Lintuk dan istrinya serta Retno Nawangsih sedang berjalan cepat menghampirinya. Di belakang mereka juga berjalan tiga orang lagi. Rangga tidak kenal dengan tiga orang itu. Tapi sepertinya dia pernah melihat mereka.

"Ada apa, Tuan?" tanya Ki Lintuk setelah dekat:

"Tidak ada apa-apa. Mungkin cuma mau mencuri di kamarku saja," sahut Rangga menenangkan.

Namun pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu tajam pada Ki Lintuk. Sedang yang ditatapnya hanya menundukkan kepalanya saja. Mungkin orang tua itu merasa kalau dia punya kesalahan pada pemuda itu.

Beberapa saat kemudian Rangga mengayunkan langkahnya kembali menuju rumah penginapan. Sementara Ki Lintuk, Nyi Lintuk, Retna Nawangsih dan tiga orang lainnya bergegas mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti itu. Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian menyelimuti seluruh persada bumi Kadipaten Karang Setra.

***

Rangga bisa memaklumi keadaan Ki Lintuk sehingga dia terpaksa membohongi Rangga siang tadi. Semua itu dilakukan Ki Lintuk untuk keselamatan putranya. Putra satu-satunya itu kini meringkuk di dalam penjara kadipaten dengan tuduhan telah merencanakan makar pada adipati.

Sebenarnya bukan hanya putra Ki Lintuk saja yang ditahan dengan tuduhan makar, tapi juga puluhan pemuda yang dicurigai telah berkomplot dengannya. Dan kini Rangga sudah tahu kalau kudanya dicuri dengan cara yang licik oleh Singo Lodoya. Hanya dia tidak bisa menduga maksud dari perbuatan Singo Lodoya itu. Sedangkan Ki Lintuk sendiri hanya bisa menduga, bahwa kuda itu akan dipakai Adipati Wira Permadi dalam pertandingan tahunan yang akan diadakan untuk mencari seorang panglima perang.

"Rasanya tidak mungkin kalau Adipati Wira Permadi menyuruh menculik kudaku hanya untuk dipakai dalam pertandingan pacu," kata Rangga bergumam.

"Mereka sudah tahu kalau kuda itu bukanlah kuda biasa, tapi kuda tunggangan dewa yang dipersembahkan pada Gusti Arya Permadi karena jasanya yang telah menyelamatkan kehancuran di Gunung Kahyangan," kata Ki Lintuk

Rangga menatap tajam pada laki-laki tua itu. Pandangannya kemudian beralih pada Nyi Lintuk, Retna Nawangsih dan tiga orang lainnya yang sudah berada di ruangan depan rumah milik Ki Lintuk. Rangga benar-benar tidak tahu kalau kuda hitam itu adalah milik ayahnya, dan ini berarti hanya dialah satu-satunya yang berhak untuk mewarisi kuda itu.

"Kuda itu hanya bisa diperintah oleh Gusti Adipati Arya Permadi dan keturunannya yang syah, dan orang-orang yang berhati mulia serta disenangi oleh kuda Dewa Bayu itu. Tapi sayang Gusti Rangga..., "

Ki Lintuk tidak melanjutkan lagi kata-katanya. Tampak semua mata memandang pada Rangga dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Lebih-lebih Ki Lintuk yang telah menduga, bahwa pemuda itu adalah putra adipati yang telah hilang dua puluh tahun yang lalu. Dugaan itu datang pertama kali dari Nyi Lintuk ketika Rangga memesan makanan yang dirasakan aneh, juga pada Bayan Sudira di mana Rangga juga menanyakan burung yang dilarang dijual oleh adipati yang sekarang. Hal serupa itu dialami juga oleh Batara Yoga yang sehari-hari kerjanya sebagai penjual kain.

Dugaan mereka semakin kuat setelah mengetahui bahwa nama pemuda itu sama dengan nama putra adipati yang hilang. Perawakan Rangga yang tidak seperti orang kebanyakan makin menambah tebal keyakinan mereka. Dan hal itu sangat disadari oleh Pendekar Rajawali Sakti, tapi dia tidak ingin dirinya yang sebenarnya diketahui dengan cepat. Keadaan dan beberapa peristiwa yang telah dialaminya sejak datang ke kadipaten ini membuatnya untuk lebih berhati-hati.

"Namamu sangat mirip sekali dengan putra Gusti Adipati Arya Permadi," gumam Bayan Sudira.

"Mungkin hanya kebetulan saja, Paman. Banyak nama yang sama di dunia ini," sanggah Rangga.

"Ah...! Gusti Rangga cilik dulu juga memanggilku begitu!" sentak Bayan Sudira terperangah.

Rangga sendiri kontan melongo. Dia telah keterlepasan bicara. Dan seketika itu juga dia bisa mengenali wajah Bayan Sudira, juga Batara Yoga dan Rakatala. Merekalah yang dulu telah memberikan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan Rangga memang selalu memanggilnya dengan sebutan Paman. Waktu dua puluh tahun bukanlah sebentar. Apalagi pada waktu itu Rangga masih berusia sekitar lima tahun. Tidak heran kalau semula dia tidak mengenali lagi siapa orang-orang yang kini ada di hadapannya.

"Maaf, tidak seharusnya aku memanggil begitu," kata Rangga buru-buru.

"Tidak mengapa, Anak Muda. Memang seharusnya kau menyebutku begitu," sahut Bayan Sudira tersenyum.

"Dan sebaiknya kau juga memanggil kami dengan sebutan itu," sambung Batara Yoga.

"Aku seperti melihat momonganku kembali dalam dirimu, Anak Muda," kata Rakatala seolah bergumam. Sejak tadi dia selalu memperhatikan wajah Rangga. "Sejak pertama aku bertemu denganmu, perasaan itu sudah ada di hatiku. Mungkin yang lain juga merasakan hal yang sama. "

"Ya, seandainya Gusti Rangga masih hidup, tentu akan setampan dan segagahmu, " sambung Bayan Sudira.

"Kami semua selalu berharap dan berdoa agar Gusti Rangga masih hidup dan bisa berkumpul lagi bersama kami, menjadi pemimpin dan junjungan kami di masa-masa yang akan datang," kata Ki Lintuk menambahkan.

"Rasanya tidak mungkin. Seorang anak yang berumur lima tahun menghilang selama dua puluh tahun tanpa ketahuan jejaknya, lebih-lebih di Bukit Cubung yang terkenal angker..., " sergah Rangga mencoba memancing perasaan mereka semua.

"Kenapa tidak mungkin? Tuhan maha mengetahui dan maha bijaksana. Apa yang tidak mungkin bagi manusia, sangat mungkin bagi-Nya," sahut Bayan Sudira seperti mengingatkan.

"Apakah kalian sudah mencoba untuk mencarinya?" selidik Rangga.

"Sejak kami mendapat berita bahwa rombongan Gusti Adipati dibegal, kami semua langsung berusaha untuk mencari. Namun usaha kami tersebut sia-sia belaka, yang kami temukan hanya berupa mayat-mayat para prajurit serta mayat Gusti Adipati dan istrinya. Dan kami tidak menemukan jejak sedikit pun tentang keberadaan Gusti Rangga Bahkan sampai saat ini kami selalu menyebar telik sandi untuk mencari berita tentang junjungan kami itu," Batara Yoga menerangkan.

"Sudah ada tanda-tanda?" tanya Rangga lagi

"Sampai saat ini belum, dan kami menduga bahwa Gusti Rangga telah terlempar ke dalam jurang Lembah Bangkai. Itulah yang sangat kami takutkan," sahut Ki Lintuk

"Kenapa?"

"Selama ini tak seorang pun yang bisa ke luar dalam keadaan hidup bila sudah sampai terjerumus ke dalam jurang itu," sahut Ki Lintuk lagi.

"Aku tahu di mana Lembah Bangkai," gumam Rangga tanpa sadar.

"Kau tahu...?!" Ki Lintuk terkejut.

"Oh, iya. Iya, Ki. Aku kan seorang pengembara, tentu sudah menjelajahi sampai ke pelosok mayapada ini," suara Rangga agak tergagap

Semua orang yang ada di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan Rangga memang tepat dan dapat diterima. Hanya Bayan Sudira dan Rakatala yang kelihatannya lain. Kedua laki-laki setengah baya itu selalu memandang tajam penuh selidik pada Rangga. Sepertinya mereka telah menemukan sesuatu dari diri Pendekar Rajawali Sakti ini.

***

Rasa tidak puas yang makin mendalam pada diri Bayan Sudira dan Rakatala, membuat kedua orang. itu mendatangi kamar Rangga pada keesokan harinya. Dan Rangga pun segera menerima mereka dengan tangan terbuka dan senyum mengembang di bibir.

"Apakah ada sesuatu yang begitu penting sehingga Paman berdua mengunjungiku pagi-pagi begini?" Tanya Rangga sopan

"Benar, Anak Muda," sahut Bayan Sudira.

"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

"Terus terang, kami berdua telah merasakan bahwa kau menyembunyikan sesuatu," kata Rakatala langsung.

"Oh...!" Rangga kaget mendengarnya.

"Aku tahu kalau kau adalah seorang pendekar, bolehkah aku tahu nama julukanmu?" tanya Bayan Sudira.

"Apakah hal itu perlu?" Rangga balik bertanya.

"Aku juga pernah menjadi pengembara sepertimu. Dan nama julukanku adalah Pendekar Jari Maut. Kini aku sudah tinggalkan dunia kependekaran dan mengabdi penuh pada Gusti Adipati Arya Permadi, karena beliau telah menyelamatkan nyawaku dari keganasan si Setan Racun Hitam," kata Bayan Sudira lagi.

"Nama julukan bagi seorang pendekar pengembara memang sangat diperlukan, dan tampaknya hal itu sudah menjadi semacam keharusan bagi orang yang berkecimpung di dalam dunia persilatan. Aku tidak percaya kalau kau tidak memilikinya," sambung Rakatala.

"Kau punya nama julukan, bukan?" desak Bayan Sudira

"Ya," desah Rangga terpojok

"Apa nama julukanmu?"

"Pendekar Rajawali Sakti."

"Pendekar Rajawali Sakti...," hampir bersamaan Bayan Sudira dan Rakatala menggumamkan nama itu.

Beberapa saat keheningan melanda kamar penginapan ini. Rangga tidak mengerti, kenapa kedua orang itu ingin sekali mengetahui tentang pribadi dirinya. Kini Rangga jadi khawatir, kalau-kalau dirinya yang sebenarnya dapat diketahui dengan cepat. Dia memang sudah merencanakan untuk mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya, tapi harus menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu. Dan saat ini Rangga merasakan belum waktunya untuk membuka diri.

"Ada apa, Paman?" tanya Rangga mau tahu.

"Oh, tidak. Tidak ada apa-apa. Maaf kalau kami telah mengganggumu pagi-pagi begini," sahut Bayan Sudira.

Sesaat kemudian Bayan Sudira mencolek lengan Rakatala, lalu mereka pun segera meninggalkan kamar penginapan itu. Sementara Rangga terus memandangi mereka dengan kepala yang dipenuhi oleh berbagai macam pikiran. Sikap kedua orang itu sungguh aneh menurutnya.

Belum berapa lama Bayan Sudira dan Rakatala meninggalkan kamar itu, kini muncul lagi Retna Nawangsih. Pintu kamar yang tidak tertutup membuat gadis itu langsung masuk ke kamar Sedangkan Rangga masih tetap saja duduk di kursi yang membelakangi jendela.

"Aku lihat tadi Paman Bayan Sudira dan Paman Rakatala keluar dan sini," kata Retna Nawangsih seraya menghempaskan tubuhnya di kursi di depan Rangga.

"Ya," sahut Rangga singkat.

"Ada apa mereka menemuimu pagi-pagi begini'?"

"Entahlah, mereka sepertinya mencurigaiku."

"Curiga...? Aku tidak mengerti maksudmu "

Rangga tidak segera menjawab. Dia malah bangkit dari duduknya dan melangkah pelan ke pintu. Sedangkan Retna Nawangsih pun bergegas bangkit dan ikut ke luar dari kamar. Setelah menutup kembali pintu kamar penginapannya, mereka kemudian berjalan pelan-pelan menyusuri lorong rumah penginapan itu.

"Mau ke mana kau, Kakang?" tanya Retna Nawangsih saat mereka sudah berada di luar dari rumah penginapan.

"Kakang... ?!" Rangga bengong mendengar Retna Nawangsih menyebutnya Kakang.

"Maaf kalau kau keberatan," kata Retna Nawangsih buru-buru. "Aku memang selalu memanggil begitu pada orang yang lebih tua dariku."

"Oh, tidak. Sama sekali tidak."

Dan mereka terus mengayunkan kaki menyusuri jalan utama Kadipaten Karang Setra ini. Tak ada yang memulai bicara lagi sampai mereka berada jauh meninggalkan rumah penginapan Ki Lintuk.

"Retna, bolehkah aku bertanya padamu?" Rangga kembali membuka suara.

"Boleh," sahut Retna Nawangsih.

"Terus terang, sampai saat ini aku belum bisa mengerti dengan keteranganmu tentang kuda hitamku," kata Rangga hati-hati

"Bukankah aku sudah menjelaskan semua itu padamu?"

"Belum semuanya."

"Apa lagi yang harus aku katakan? Aku ditugaskan oleh guruku untuk membawa kuda hitam itu, karena.... "

"Karena apa?"

"Seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Lintuk, bahwa kuda hitam itu bukanlah seekor kuda sembarangan. Tapi untuk kebenarannya memang harus diperiksa dulu. Dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengetahui keasliannya," Retna Nawangsih kembali menjelaskan.

"Kalau ternyata kuda itu memang kuda Dewa Bayu, lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga mau tahu.

"Menyerahkannya pada ahli warisnya yang syah.

"Kau tahu siapa?"
"Aku tahu."
"Siapa?"
"Gusti Rangga Pati Permadi."

"Ha ha ha...!" Rangga langsung tertawa tergelak-gelak mendengarnya. Entah kenapa, dia jadi tergelitik tenggorokannya mendengar jawaban gadis itu.

"Kenapa kau tertawa?" rungut Retna Nawangsih merasa kurang senang.

"Aku berani bertaruh, bahwa umurmu pasti belum genap dua puluh tahun. Mana mungkin kau bisa mengetahui pewaris tunggal kuda Dewa Bayu? Lagi pula aku pun yakin, bahwa kau tidak pernah bertemu dengan Rangga Pati Permadi. Iya, kan?" kembali Rangga tertawa terbahak-bahak.

Merah padam muka Retna Nawangsih jadinya. Kata-kata Rangga barusan memang tidak bisa dipungkiri lagi. Dia memang baru berusia sembilan belas tahun. Dan dia belum pernah sekali pun bertemu dengan Rangga Pati Permadi. Apalagi dengan Gusti Adipati Arya Permadi, ayahnya!

Namun kalau gadis itu menyerah begitu saja, bukan Retna Nawangsih namanya! Tanpa ragu-ragu lagi dia segera mengambil sebuah dinding yang berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya.

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti langsung terbeliak matanya. Dan tanpa disadarinya, Rangga pun merogoh saku yang menempel pada ikat pinggangnya. Tapi dia keburu sadar kembali dan tidak jadi mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

"Dari mana kau peroleh cincin itu?" tanya Rangga.

"Kau tertarik?" Retna Nawangsih sengaja menggoda. Dia lalu mengenakan dinding itu di jari manisnya.

"Jawab dulu pertanyaanku, dari mana kau dapatkan cincin itu?" desak Rangga gemas.

"Jelaskan dulu juga, dari mana kau peroleh kuda Dewa Bayu itu? Baru aku akan menjelaskan tentang cincin ini," balas Retna Nawangsih tenang.

"Sial!" rungut Rangga
"Bagaimana, setuju?"

Rangga tidak segera menjawab. Dia tampak menimbang-nimbang dulu tawaran Retna Nawangsih itu. Masalahnya, kalaupun dia mengatakan yang sebenarnya, pasti gadis itu pun tentu tidak akan mau percaya begitu saja. Tapi kalau dia membuka diri siapa dirinya sebenarnya.... Ah! itu sih nanti dulu Dia tidak ingin dirinya diketahui dengan cepat. Tapi....

"Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kau juga harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya pada siapa pun juga. Tidak pada Ki Lintuk, Paman Bayan Sudira, Paman Rakatala, atau pada siapa saja!" Rangga mengajukan syarat. "Juga pada pemilik cincin itu, bagaimana?"

"Kenapa mesti pakai syarat segala?" Retna Nawangsih keberatan.

"Kalau tidak mau, ya sudah!"

Tampak Retna Nawangsih berpikir sebentar. Tak lama kemudian dia pun mengangguk dan tersenyum. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis itu segera mencabut sebilah pisau dari balik ikat pinggangnya. Pisau kecil berwarna keperakan.

Tentu saja Rangga terkejut ketika tiba-tiba Retna Nawangsih menggoreskan pisau itu ke telapak tangannya. Darah langsung merembes ke luar dari luka gores yang tidak begitu dalam dan lebar. Setelah itu Retna Nawangsih memberikan pisau itu pada Rangga. Dan dengan ragu-ragu, Pendekar Rajawali Sakti itu menerimanya.

"Penyatuan darah akan membuat perjanjian kita semakin kuat," kata Retna Nawangsih.

Pagi-lagi Rangga dibuat terkejut. Suatu perjanjian dengan disertai penyatuan darah memang sudah menjadi tradisi dari keluarga bangsawan Kadipaten Karang Setra. Dan dia jadi ingat ketika ayahnya mengadakan perjanjian dengan paman Bayan Sudira.

Waktu itu Paman Bayan Sudira berjanji akan selalu setia pada Pengabdiannya Dan bukan itu saja, Rangga pun sudah sering menyaksikan upacara perjanjian dengan penyatuan darah para bangsawan kadipaten. Kemudian dengan kepala yang masih diliputi oleh berbagai macam pertanyaan, Rangga pun segera menggoreskan ujung pisau itu ke telapak tangannya. Seketika itu juga darah mengucur dari luka gores itu.

Sejenak Rangga mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sementara Retna Nawangsih juga segera melakukan hal yang sama. Maka kedua telapak tangan itu pun langsung menyatu rapat.

Tepat pada saat itu, tiba-tiba kilat menyambar-nyambar dengan suaranya yang menggelegar dan memekakkan telinga. Aneh! Pada saat itu juga darah yang ke luar dari telapak tangan mereka langsung berhenti. Kemudian mereka segera melepaskan telapak tangan masing-masing. Sejenak Rangga mengamati telapak tangannya yang kini terdapat goresan biru kehitaman. Dan tampaknya goresan itu tidak akan hilang seumur hidup, dan akan menjadi tanda bahwa dia telah mengikat suatu perjanjian dengan seorang gadis yang mengaku bernama Retna Nawangsih. Seorang gadis yang baru dikenalnya beberapa saat, dan bertingkah laku aneh penuh tanda tanya.

***
EMPAT
"Sebelum kita saling membuka diri, ada sesuatu yang ingin kuketahui darimu," kata Rangga.

''Tentang apa?" tanya Retna Nawangsih.

"Kau tadi bilang, bahwa kau tahu persis tentang keluarga Adipati Karang Setra. Apa kau bisa menunjukkan sesuatu agar aku dapat percaya?"

"Semua putra-putra Gusti Adipati Arya Permadi dibekali dengan seuntai kalung yang bentuknya sama dengan cincin ini," sahut Retna Nawangsih sambil menunjukkan cincin di jari manisnya.

"Ada berapa orang putra dari adipati itu?" pandang Rangga.

"Persisnya aku tidak tahu, tapi putra syah hanya satu yaitu Kanda Rangga Pati Permadi."

"Kau selalu menyebut-nyebut Rangga dengan panggilan Kanda," dengus Rangga.

"Maaf, Bibi Guru Dewi Purmita memang membiasakan aku untuk menyebutnya begitu."

Rangga terdiam sesaat. Masih banyak yang belum dia ketahui tentang. gadis ini, juga gurunya yang seringkali disebut-sebut. Kini Rangga sudah bisa menebak bahwa guru Retna Nawangsih pasti tahu banyak tentang keluarga adipati. Tapi siapa sebenarnya Dewi Purmita itu...? Pertanyaan itulah yang selalu mengganggu benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Retna, apakah kau tahu tanda lain yang ada pada putra Adipati Karang Setra?" tanya Rangga lagi.

''Ya,'' sahut Retna Nawangsih. "Pada punggung Adipati Arya permadi ada gambar segitiga dengan beberapa lingkaran di tengah-tengahnya. Gambar itu bentuknya kecil dan hampir menyerupai andeng-andeng. Dan tanda itu adalah merupakan anugerah dari dewa untuk adipati, dan akan menurun pada putranya. "

"Kalau begitu, adipati yang sekarang ini punya tanda seperti itu?"

"Tidak! " .
"Lho, kenapa?"

"Gusti Wira Permadi hanyalah putra dari selir, jadi tidak memiliki tanda itu pada punggungnya. Soalnya hanya keturunan yang syah saja yang mempunyai tanda itu. Dan aku tidak tahu pasti, berapa putra adipati dari selir-selirnya. Yang aku tahu, hanya satu putra yang syah."

Rangga tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang bukan hal yang aneh kalau seorang adipati mempunyai banyak selir di samping istri yang syah. Begitu juga dengan kebanyakan raja-raja. Jadi tidak heran kalau banyak putra keturunannya. Tapi menurut tata krama, hanya putra yang syah saja yang berhak untuk menggantikan kedudukannya

"Kalau kau mau lebih jelas tentang keluarga adipati, sebaiknya tanyakan saja pada guruku, atau pada Ki Lintuk, Paman Bayan Sudira atau yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang setia pada Gusti Adipati Arya Permadi. Dan mereka mengundurkan diri dari pemerintahan saat adik tiri dari Gusti Arya Permadi mengangkat dirinya sebagai adipati ketika berita tentang musibah di Bukit Cubung tersiar. Tapi kini kedudukannya sudah digantikan oleh Arya Permadi yang berhasil menggulingkannya. Namun keadaan bukannya bertambah baik, malah sebaliknya bertambah buruk," lanjut Retna Nawangsih.

"Di mana gurumu tinggal?" tanya Rangga.
"Di Gunung Batur Kuring."
Kembali Rangga menganggukkan kepalanya.

"Rasanya aku sudah cukup banyak membuka diri. Dan sekarang giliranmu, Kakang," kata Retna Nawangsih menagih.

Rangga tampak tersenyum. Sejenak dia hanya berdiam diri. Kemudian dia mulai menceritakan perihal dirinya yang sebenarnya. Sementara Retna Nawangsih hampir tidak percaya dengan keterangan Rangga. Dia memang sudah menduga sebelumnya, tapi belum sampai untuk mengutarakannya. Kini dia buru-buru berlutut dan memberi hormat begitu mengetahui bahwa Rangga adalah putra tunggal dari Adipati Karang Setra yang hilang dua puluh tahun yang lalu di Bukit Cubung.

Dan Retna Nawangsih bertambah yakin setelah Rangga memperlihatkan kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya, juga di punggungnya bergambar sama dengan kalung itu. Sementara Rangga yang tidak ingin dirinya dianggap lebih dari manusia kebanyakan, segera membangunkan Retna Nawangsih.

"Maafkan hamba, Gusti. Sikap hamba tidak pantas selama ini," kata Retna Nawangsih masih tertunduk.

"Sudahlah, kau tidak perlu bersikap sungkan begitu. Ingatlah akan janji kita! Kau harus bersikap wajar dan jangan membocorkan rahasia ini pada siapa pun juga," kata Rangga mengingatkan.

"Hamba berjanji, Gusti."

"Ah, sebaiknya kau tetap saja memanggilku Kakang," jengah juga Rangga dengan sikap gadis ini.

"Hamba, Gusti."

"Retna, maukah kau mengantarkan aku untuk menemui gurumu?" pinta Rangga.

"Dengan senang hati, Gusti."

"Wah..., wah! Kalau kau tetap saja memanggilku dengan sebutan itu, bisa celaka nanti!" gurau Rangga.

"Maaf. Hamba..., eh aku...," Retna Nawangsih tiba-tiba jadi gugup.

"Sudahlah, Retna. Sebaiknya kita segera berangkat sekarang menuju Gunung Batur Kuring untuk menemui gurumu," ajak Rangga sedikit tidak sabar.

Retna Nawangsih hanya mengangguk saja. Kini dia jadi rikuh sendiri setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Tapi kali ini tujuannya sudah pasti, yaitu ke Gunung Batur Kuring!

***

Rangga tampak sedikit terkejut ketika sampai di puncak Gunung Batur Kuring. Di puncak gunung itu terdapat suatu bangunan besar yang dikelilingi dengan beberapa bangunan kecil. Dan yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu makin keheranan, di sini banyak remaja-remaja baik laki-laki maupun perempuan yang giat berlatih ilmu olah kanuragan.

Dan keterkejutannya semakin bertambah-tambah saat dia melihat bahwa di sini juga ada Paman Bayan Sudira, Batara Yoga dan Rakatala. Mereka tampak tengah melatih puluhan orang yang berlatih ilmu olah kanuragan. Sedangkan Retna Nawangsih segera mengajaknya untuk memasuki sebuah rumah yang paling besar.

"Guru. . . ! "

Tampak seorang perempuan setengah baya yang tengah berdiri di depan Jendela, segera berbalik ketika mendengar suara panggilan Retna Nawangsih. Gadis itu pun segera berlutut memberi hormat. Sedangkan Rangga hanya membungkukkan badannya sedikit. Sementara perempuan setengah baya itu hanya menganggukkan kepalanya.

"Silakan duduk, aku memang tengah menunggu kedatanganmu," kata Dewi Purmita.

"Terima kasih." ucap Rangga sopan

Rangga pun segera mengambil tempat di kursi yang menghadap langsung ke pintu ruangan depan. Sedangkan Dewi Purmita duduk di kursi dekat jendela. Sementara Retna Nawangsih segera mohon diri. Dan gadis itu selnpat melirik pada Rangga sebelum meninggalkan ruangan itu Dalam beberapa saat kesunyian masih menyelimuti mereka berdua. Rangga tampak kikuk mendapat tatapan mata yang penuh selidik dari perempuan setengah baya itu.

"Sayang sekali kau datang tidak membawa. serta kuda itu " kata Dewi Purmita memecah kesunyian.

"Mungkin kau sudah tahu bahwa kudaku hilang diculik orang," sahut Rangga.

''Ya, Kakang Bayan Sudira memang sudah menceritakan semuanya padaku," sahut Dewi Purmita.

"Kenapa kau begitu tertarik dengan kuda itu? tanya Rangga menyelidik.

"Semua orang juga pasti tertarik untuk memilikinya. Tapi sampai saat ini belum ada seorang pun yang mampu mengendalikannya. Terus terang, aku merasa sedikit heran ketika melihatmu mengendarai kuda Dewa Bayu di pintu gerbang kadipaten." .

"Dan kau telah menugaskan muridmu yang cantik untuk membujukku menyerahkan kuda itu," potong Rangga cepat. ".

"Bukan membujuk, tapi merampas, ralat Dewi Purmita.

"Oh...!" kening Rangga berkerenyut dalam.

"Memang kasar kedengarannya, tapi hal itu terpaksa harus dilakukan. Asal kau tahu saja, kuda Dewa Bayu adalah milik seseorang yang paling aku sayangi di dunia ini. Tapi sayang, dia begitu cepat dipanggil oleh Sang Pencipta. Dan harapanku satu-satunya Juga pupus. Aku semakin dimakan usia, dan aku merasa khawatir tidak akan bisa lagi melihat keponakanku satu-satunya Sedangkan warisan yang tertinggal juga sudah lepas lagi. Sebenarnya aku berhak menuntutmu untuk bertanggung jawab atas hilangnya kuda Dewa Bayu itu hingga sampai jatuh ke tangan orang yang tidak berhak!" suara Dewi Purmita bernada gusar.

Rangga jadi terdiam. Ada rasa pilu yang terselip di hatinya setelah mendengar kata-kata Dewi Purmita barusan. Namun dengan sekuat tenaga dia masih terus berusaha untuk tetap merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Sampai kini satu-satunya orang yang sudah tahu tentang dirinya yang sebenarnya hanyalah Retna Nawangsih, dan Rangga percaya penuh bahwa gadis itu bisa memegang kuat akan janjinya.

"Sebentar lagi akan diadakan perayaan tahunan kadipaten. Dan dengan kuda Dewa Bayu tersebut, anak durhaka itu pasti akan semakin kuat. Hal ini tidak boleh sampai terjadi! Bagaimanapun juga kuda Dewa Bayu itu harus segera berada di tangan orang yang berhak!" lanjut Dewi Purmita.

"Siapa orang yang berhak atas kuda itu?" tanya Rangga memancing.

"Putra Kanda Arya Permadi."

"Bukankah dia sudah hilang dua puluh tahun lalu?"

"Benar. Tapi aku tidak pernah putus asa untuk terus mencarinya. Kadipaten Karang Setra harus kembali pada ahli warisnya yang syah! Pihak kerajaan sudah mengumumkan, kalau Rangga masih hidup dan kembali lagi dalam keadaan sehat, maka Kadibaten Karang Setra boleh memisahkan diri dan menjadi sebuah kerajaan! Hal itulah yang diinginkan oleh anak durhaka Wira Permadi.. Dan dia tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai ambisinya itu. Aku sangat khawatir, dengan adaannya kuda Dewa Bayu di tangannya, cita-cita buruknya akan dapat terlaksana."

"Apa sebenarnya kehebatan dari kuda Dewa Bayu itu?" pancing Rangga.

"Barang siapa yang mampu mengendalikan kuda Dewa Bayu akan memiliki kekuatan yang berlipat ganda. Hal itu dikarenakan, bahwa kuda itu memiliki daya kekuatan yang bisa merasuk ke dalam diri penunggangnya. Dan tak ada satu senjata pun yang dapat melukai tubuh kuda itu atau pun penunggangnya. Kau tahu, bahwa kuda itu tadinya adalah tunggangan para dewa!" Dewi Purmita menjelaskan.

"Hebat sekali...," gumam Rangga sambil menggelengkan kepalanya.

"Rangga, aku ingin bertanya padamu, kata Dewi Purmita kemudian

"Silakan, dengan senang hati aku akan menjawabnya. "

"Dari mana kau memperoleh kuda Dewa Bayu itu?" tanya Dewi Purmita

"Aku menemukannya di hutan," sahut Rangga sekenanya.

"Ilmu apa yang telah kau gunakan untuk menjinakkannya? Kau tahu kuda Dewa Bayu tidak akan bisa jinak selain oleh keturunan yang syah dan Arya Permadi atau orang yang pernah memiliki hubungan batin dengannya serta orang yang benar-benar disukainya. Kuda Dewa Bayu juga bisa membedakan seseorang.

"Aku tidak menggunakan ilmu apa-apa. Kuda itu datang menghampiriku dengan sendirinya. Dia begitu jinak namun perkasa, aku sangat suka dan sayang padanya. "

"Hm...," Dewi Purmita mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sepertinya dia sedang menyelidik dan mencari tahu kebenaran setiap jawaban Rangga.

"Namamu sama persis dengan keponakanku. Dan seandainya dia masih hidup pasti...," gumaman Dewi Purmita terhenti

Rangga hanya diam saja. Kini dia merasakan bahwa detak jantungnya semakin bertambah cepat. Sudah beberapa kali Dewi Purmita menyebut Rangga sebagai keponakannya. Siapa sebenarnya perempuan setengah baya itu? Rasanya Rangga memang pernah mengenal wajahnya, tapi dia tidak tahu di mana dan kapan bertemunya. Otaknya terus berputar untuk mencoba mengingat-ingat.

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Dewi Purmita tegas dan tajam.

Tentu saja Rangga tersentak mendengar pertanyaan itu Dia sampai tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu. Sungguh mati, dia tidak mengerti maksud pandangan yang tajam dan perempuan setengah baya itu. Sampai beberapa saat lamanya Rangga masih terdiam. Dia kebingungan untuk mencari jawaban yang tepat tanpa harus membuka rahasia dirinya sendiri.

"Namaku Rangga sedangkan nama julukanku adalah Pendekar Rajawali Sakti. Pasti Paman Bayan Sudira sudah menceritakan hal ini padamu," jawab Rangga setelah lama berpikir.

"Nama panjangmu?" desak Dewi Purmita.

"Tidak ada."

"Aku menangkap ada kebohongan di matamu, Anak Muda," dingin suara Dewi Purmita.

Lagi-lagi Rangga merasa terdesak. Suara Dewi Purmita dan tatapan matanya seperti mengingatkannya pada seseorang yang pernah dekat dengannya. Tapi Rangga tidak bisa untuk mengingatnya dengan jelas. Terlalu sulit untuk mengetahui dengan pasti, siapa sebenarnya Dewi Purmita. Perasaan yang sama juga menyelimuti perempuan setengah baya itu. Dia merasa kesulitan untuk mendesak Rangga supaya berkata jujur.

***

Dua hari Rangga berada di Puncak Gunung Batur Kuring. Dan dalam waktu yang singkat itu, dia sudah tahu banyak tentang keadaan di Kadipaten Karang Setra yang sekarang dikuasai oleh orang-orang serakah dan tamak. Dia juga sudah tahu, ternyata di puncak gunung ini para abdi setia dari mendiang Adipati Arya Permadi sedang menyusun kekuatan untuk menggulingkan adipati yang sekarang. Seorang adipati yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh golongan hitam.

Untunglah selama dua hari itu Rangga masih tetap mampu merahasiakan siapa dirinya yang sebenarnya. Sedangkan Retna Nawangsih juga memegang kuat akan janjinya. Tapi ada sesuatu yang membuat Rangga tidak bisa mengerti, yakni dengan kelakuan adik tirinya yang sekarang menjadi adipati di Karang Setra. Ternyata dia telah membuat seluruh rakyat kadipaten jadi sengsara.

Hari ini Rangga sudah bersiap-siap hendak meninggalkan Puncak Gunung Batur Kuring. Setelah merapikan diri dan berpamitan pada Dewi Purmita, Pendekar Rajawali Sakti itu pun segera meninggalkan tempat itu. T api belum lagi dia jauh berjalan, Bayan Sudira, Batara Yoga dan Rakatala tiba-tiba menghampirinya.

"Kau jadi juga berangkat hari ini, Anak Muda?" tanya Bayan Sudira.

"Iya," sahut Rangga mantap.

"Kami mengharapkan sekali akan bantuanmu dalam perjuangan ini," kata Satara Yoga.

"Setiap saat aku pasti bersedia untuk membantu. Tapi aku tidak mau ikut campur dalam urusan pribadi keluarga adipati. Aku hanya akan menghadapi orang-orang rimba persilatan yang berada di belakang Adipati Wira Permadi."

"Aku mengerti, dan.... terima kasih." sahut Bayan Sudira.

"Cara seorang pendekar memerangi kezaliman memang tidak sama dengan cara yang kami tempuh. Silakan jika kau ingin melanjutkan perjalanan," kata Rakatala mempersilakan.

"Terima kasih, mudah-mudahan kita semua bisa bertemu lagi dalam suasana yang lain," sambung Rangga.

"Silakan Anak Muda."

Setelah Rangga menganggukkan kepalanya sedikit dia kemudian kembali melangkah dan melanjutkan perjalanannya. Beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar lebih cepat sampai di kota kadipaten.

Rasanya dia berjalan biasa saja, tapi yang terlihat hanyalah bayangannya yang berkelebatan dan menyeruak pepohonan yang ada di sepanjang lereng Gunung Batur Kuring.

"Heh. . . !"

Tiba-tiba Rangga menghentikan langkahnya. Tampak di depannya sudah berdiri Retna Nawangsih. Dan kelihatannya gadis itu memang sengaja menunggunya di kaki Gunung Batur Kuring ini. Rangga pun segera menghampirinya dengan kening sedikit berkerut.

"Apakah aku mengganggu perjalananmu, Kakang?" Retna Nawangsih membuka suara lebih dulu.

"Ada perlu apa kau menungguku?" tanya Rangga langsung.

"Aku ingin ikut serta bersamamu, Kakang," sahut Retna Nawangsih.

"Retna kau sangat dibutuhkan oleh mereka Aku yakin, kalau niatmu itu tidak diketahui oleh gurumu," Rangga sulit menolak.

"Bibi Guru Dewi Purmita sudah tahu Kakang."

"Ohh...!" '

"Beliau mengijinkan aku untuk ikut dalam perjalananmu."

Kini Rangga tidak bisa lagi menolak. Dia hanya mengangkat pundaknya saja, lalu kembali meneruskan langkahnya menuju ke perbatasan kadipaten Karang Setra dengan Gunung Batur Kuring ini. Sementara Retna Nawangsih mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Di atas sana matahari tampak bersinar terik. Sedangkan langit pun kelihatan cerah tanpa ada sedikit pun awan hitam yang menggantung.

Kedai Ki Lintuk suasananya tidak begitu ramai seperti biasanya. Dari tadi Ki Lintuk dan istrinya banyak menganggur karena tamu-tamu yang datang tidak banyak. Tampak suami istri itu tengah duduk di bagian belakang kedai sambil berbincang-bincang ringan. Pembicaraan mereka bermula dari keadaan anak mereka yang sampai saat ini masih meringkuk di dalam tahanan kadipaten. Dan Ki Lintuk tidak bisa berbuat apa-apa, karena Singo Lodoya selalu mengancam akan menggantung anaknya jika terlihat adanya gerakan lagi untuk memberontak.

Tapi lama kelamaan pembicaraan mereka meluas. Kini pembicaraan mereka sampai kepada seorang pendekar muda yang namanya sama persis dengan nama junjungan mereka dulu. Sedangkan sikap, cara bicara dan segala yang diinginkan membuat kedua orang tua itu selalu teringat dengan adipati yang dulu. Rangga memang sangat mirip dengan ayahnya, sepertinya mendiang Adipati Arya Permadi menyusup ke dalam diri anaknya itu.

"Aku yakin, Nyi. Pemuda itu adalah Gusti Rangga yang hilang dua puluh tahun yang lalu," kata Ki Lintuk.

''Yang merasakan itu kan aku duluan, Ki, Nyi Lintuk tidak mau kalah

"Iya..., iya," Ki Lintuk mengalah.

"Dua hari ini dia tidak kelihatan. Kau tahu, di mana dia, Ki?" tanya Nyi Lintuk.

"Mana aku tahu, Nyi. Dia itu kan seorang pendekar kelana. Jadi tidak mungkin menetap terlalu lama pada suatu tempat."

"Apakah dia tidak kabur, Ki?"

"Kabur juga tidak apa-apa, Nyi Dia sudah bayar semuanya. Bahkan pembayarannya melebihi untuk satu purnama."

"Aneh, ya...?" gumam Nyi Lintuk

"Apanya yang aneh?"

"Iya, dia memberikan uang lebih untuk satu purnama. Apa kau tidak merasakan adanya keanehan, Ki? Aku yakin, pasti ada sesuatu yang dicarinya di sini. Oh, Tuhan.... Mudah-mudahan saja pemuda itu benar-benar junjunganku, Gusti Rangga Pati Permadi...

"Kalau memang benar dia itu adalah Gusti Rangga, si pewaris tunggal kadipaten ini bisa terjadi perang saudara nanti, kata Ki Lintuk setengah bergumam.

"Perang saudara bagaimana?"

"Aku tahu betul siapa Gusti Arya Permadi Beliau selirnya banyak, dan yang sekarang jadi adipati adalah salah satu putranya dan selir. Wira Permadi memang gila! Lebih-lebih pamannya si Cebol Tangan Baja...! Huh, rasanya aku sudah tidak sabar lagi...!"

"Hush! Jangan bicara keras-keras, nanti ada yang dengar bisa celaka kita!" sentak Nyi Lintuk ketakutan.

"Kalau saja Gusti Rangga masih hidup, aku pasti mau bergabung dengan teman-teman untuk mengangkat senjata dan menggulingkan adipati bejat itu!" Ki Lintuk tidak peduli.

"Kau sudah tua, Ki. Mana mungkin mampu memanggul senjata lagi? Ingat, Ki. Anak kita belum ketahuan nasibnya..., kau ingin kehilangan satu-satunya anak kita?"

"Huh! Aku tidak percaya kalau anak kita masih hidup. Coba kau lihat kenyataannya, hampir semua teman-teman Patungga dihukum pancung! Bodoh! Aku benar-benar bodoh, mau saja dijadikan boneka oleh orang-orang bejat!" Ki Lintuk jadi bersungut-sungut tidak karuan.

"Sudah, Ki. Sudah.... Nanti ada yang dengar...!" Nyi Lintuk jadi semakin cemas.

"Biar! Biar semua orang tahu kebejatan mereka!" Ki Lintuk malah memperkeras suaranya.

"Ki...! "

"Semua telah kudengar, pengkhianat!" tiba-tiba terdengar suara keras.

Suami istri itu segera menoleh ke arah suara itu. Tampak Nyi Lintuk langsung memucat wajahnya begitu melihat Singo Lodoya tiba-tiba sudah. berdiri di ambang pintu kedai. Kini seluruh tubuh wanita tua itu bergetar, sedangkan Ki Lintuk kelihatan lebih tenang. Tampak matanya malah tajam menatap Singo Lodoya.

***
LIMA
"Orang tua yang tidak tahu diuntung! Ternyata kecurigaanku selama ini benar-benar terbukti...!" sentak Singo Lodoya sambil tersenyum sinis.

Tampak Ki Lintuk diam saja. Namun matanya tetap tajam menatap lurus ke bola mata Singo Lodoya. Sedangkan Nyi Lintuk sudah mengkeret dan berlindung di balik lemari.

"Gusti Adipati Wira Permadi sudah begitu bermurah hati padamu. Huh! Anak dan bapak sama saja, pengkhianat!" dengus Singo Lodoya

Ki Lintuk masih tetap diam

"Tidak kusangka, ternyata hatimu begitu kotor...!"

"Tapi tidak lebih kotor dari hatimu, Singo Lodoya!" balas Ki Lintuk tak kalah tajam.

"Kurang ajar,geram Singo Lodoya.

Dan dengan cepat sekali tangan Singo Lodoya melayang hendak menyampok kepala Ki Lintuk. Namun hanya dengan merunduk sedikit saja, Ki Lintuk berhasil menghindari sampokan tangan Singo Lodoya. Bahkan tanpa diduga sama sekali sikutnya bergerak dan menghantam iga orang kepercayaan adipati itu.

"Hugh!'' Singo Lodoya mengeluh pendek

Masih dengan tubuhnya yang membungkuk Ki Lintuk segera melayangkan sebuah pukulan yang keras ke bagian rahang Singo Lodoya. Dan tidak ampun lagi, tubuh Singo Lodoya langsung terpental ke belakang dan menabrak meja kursi hingga patah berantakan. Sementara orang-orang yang tadi ada di kedai itu, langsung berlarian ke luar untuk menyelamatkan diri.

"Grrr...! Bedebah!" geram Singo Lodoya seraya bangkit dengan cepat.

Sret! Singo Lodoya langsung mencabut senjatanya yang berupa golok hitam dan bergerigi pada salah satu sisinya. Sedangkan Ki Lintuk segera bergerak mundur dua tindak begitu melihat lawannya mengeluarkan senjatanya. Kemudian dengan senjata golok hitam bergerigi itu, Singo Lodoya menyerang bagaikan malaikat maut yang siap untuk mencabut nyawanya. Dia terus menggereng bagaikan singa lapar yang melihat daging segar.

Sementara itu Nyi Lintuk mencoba lari dari ruangan itu lewat pintu belakang kedai Tapi baru saja dia melewati pintu, tiba-tiba Singo Lodoya mengebutkan tangan kirinya ke arah Nyi Lintuk.

"Akh!" Nyi Lintuk langsung terpekik tertahan.

Sebuah pisau kecil yang dilemparkan Singo Lodoya tepat menancap di dada perempuan tua itu. Seketika itu juga Nyi Lintuk ambruk ke tanah!

"Keparat! Kejam...!" geram Ki Lintuk melihat istrinya ambruk seketika.

"Ha ha ha...!" Singo Lodoya tertawa terbahak-bahak. "Itulah upahnya bagi seorang pengkhianat!"

"Phuih! Kubunuh kau, keparat...!"

Ki Lintuk tidak lagi menghiraukan siapa orang yang sedang dihadapinya Dia tahu kalau Singo Lodoya memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atasnya. T api menyaksikan istrinya tewas, Ki Lintuk tidak bisa menahan amarahnya lagi. Saat itu juga dia langsung melentingkan tubuhnya ke atas sambil berteriak nyaring dan menerjang Singo Lodoya.

Dan pertarungan sengit di dalam kedai itu tidak bisa terhindarkan lagi. Tampak serangan-serangan Ki Lintuk benar-benar cepat dan berbahaya. Sementara meja, kursi dan barang-barang lainnya sudah porak-poranda terkena terjangan dan babatan golok dari kedua orang itu.

"Huh! Ternyata tua bangka ini punya simpanan juga!" dengus Singo Lodoya dalam hati

Tampak Ki Lintuk bertarung dengan dipenuhi oleh hawa marah. Dia tidak lagi mengindahkan pertahanan dirinya. Dia terus menyerang dengan membabi buta sambil mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Kesemrawutan serangan-serangan Ki Lintuk itu dimanfaatkan oleh Singo Lodoya dengan tepat. Pada satu saat, ketika Ki Lintuk sedang menyarangkan pukulannya ke arah kepala Singo Lodoya, orang kepercayaan adipati itu langsung merundukkan kepalanya, dan dengan kecepatan kilat dia segera memutar tubuhnya sambil melayangkan kaki kanannya ke arah perut Ki Lintuk.

"Hugh!" Ki Lintuk mengeluh tertahan begitu merasakan nyeri pada perutnya.

Dan pada saat tubuh Ki Lintuk itu membungkuk menahan sepakan kaki lawannya, tiba-tiba Singa Lodoya sudah menghantamkan pukulan mautnya ke kepala laki-laki tua itu. Untunglah dengan cepat Ki Lintuk berhasil mengelakkannya. Tapi tanpa diduga sama sekali, pukulan Singo Lodoya telah berubah arah. Dan....

Buk!
"Akh!"

Ki Lintuk langsung terjerembab ke belakang. Tampak dadanya memar dan berwarna biru kemerahan kena hantaman telak Singo Lodoya Sedangkan dan sudut bibirnya mengucur darah kental berwarna kehitaman. Kini Singo Lodoya tidak memberi kesempatan lagi. Dia segera melompat cepat seraya mengayunkan golok hitam bergeriginya ke arah dada Ki Lintuk.

Sungguh di luar dugaan, pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan memapak serangan Singo Lodoya.

Tring!
"Heh! "

Tentu saja Singo Lodoya terkejut bukan main! Buru-buru dia melompat mundur dua tombak. Kini tangan kanannya dirasanya seperti terserang jutaan semut. Pedih dan panas. Tampak kedua matanya membeliak lebar, begitu melihat Ki Lintuk sudah berada di pundak seorang pemuda tampan.

"Kurang ajar...!" geram Singa Lodoya.

***

"Memalukan, menganiaya orang tua yang sudah tidak berdaya!" dengus Rangga sambil menurunkan tubuh Ki Lintuk dari pondongannya.

"Anak muda, aku peringatkan kau! Jangan campuri urusanku!" bentak Singo Lodoya.

"Aku tidak akan mencampuri urusanmu kalau kau tidak menganiaya orang tua!" sahut Rangga dingin.

"Alasan! Kau memang mau cari mampus di sini!" geram Singo Lodoya.

"Ki, sebaiknya segera selamatkan istrimu. Dia belum tewas, mungkin masih bisa diselamatkan," kata Rangga tidak mempedulikan umpatan Singo Lodoya.

"Hiya..., hiya!"

Singo Lodoya langsung mengebutkan tangan kirinya ketika Ki Lintuk bergerak menghampiri istrinya yang menggeletak di tanah. Tentu saja Rangga terkesiap melihat dua berkas cahaya keperakan meluncur deras ke arah Ki Lintuk.

"Hup!"

Bagaikan seekor burung rajawali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu segera melenting bagai kilat ke arah dua sinar keperakan itu. Dua kali Rangga memutar di udara untuk menangkap senjata itu. Dan begitu kakinya mendarat kembali di tanah, tampak di tangannya sudah tergenggam dua bilah pisau perak yang dilepaskan oleh Singo Lodoya.

"Licik...!" dengus Rangga menggeram.

"Hati-hati, Rangga," Ki Lintuk memperingatkan.

"Cepatlah kau bawa istrimu ke luar. Retna Nawangsih sudah menunggu," perintah Rangga.

Kini Ki Lintuk tidak membuang-buang waktu lagi, dia segera membopong tubuh istrinya, dan melangkah cepat ke luar dari kedai T api rupanya Singo Lodoya tidak mau membiarkan begitu saja, maka ketika kaki Ki Lintuk hampir mencapai pintu ke luar, seketika itu juga dia melentingkan tubuhnya dengan ujung golok yang mengarah punggung Ki Lintuk.

"Awas, Ki...!" seru Rangga tersentak.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat. Dan tangannya sempat menyambar beberapa keping kayu yang berserakan di kedai itu. Maka dengan mengerahkan tenaga dalam yang sempurna. Rangga langsung melemparkan potongan-potongan kayu itu ke arah Singo Lodoya.

"Uts! "

Singo Lodoya terpaksa mengurungkan niatnya hendak membokong Ki Lintuk. Dia jadi sibuk menghindari kayu-kayu yang dilemparkan oleh Rangga dengan cepat dan beruntun. Sementara itu Ki Lintuk tampak sudah berhasil ke luar dari kedai Di luar sana tampak Retna Nawangsih sudah menunggunya di atas kereta kuda.

"Kurang ajar! Kau benar-benar cari mampus, Bocah Edan!" geram Singo Lodoya sengit.

"Aku muak melihat kecuranganmu, Singo Lodoya!" balas Rangga tidak kalah dinginnya.

"Phuih! Kau harus mampus, Bocah!"

Singo Lodoya tidak lagi mempedulikan Ki Lintuk dan istrinya. Kini dia langsung menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya! Sementara Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya ke atas menjebol atap. Dan Singo Lodoya pun segera mengikutinya dengan cepat. Sesaat kemudian tampak pertarungan langsung terjadi di atas atap.

Saat itu Ki Lintuk sudah berada di atas kereta kuda. Sebuah kereta yang selalu siap di depan kedai. Ki Lintuk biasa menggunakan kereta kuda itu untuk segala keperluannya. Tampak Retna Nawangsih juga sudah siap dengan tali kekang di tangan. Sejenak dia mengamati Rangga yang sedang bertarung di atas atap melawan Singo Lodoya.

"Ki...," terdengar suara lemah yang lirih.

"Oh, Nyi...." Ki Lintuk yang tengah memperhatikan pertarungan di atas atap itu langsung menoleh ke arah istrinya.

"Aku..., aku sudah tahu kalau anak kita sudah dihukum pancung,. Ki...," lemah suara Nyi Lintuk.

Tampak Retna Nawangsih juga mengalihkan perhatiannya pada perempuan tua itu.

"Aku.... Aku merasa tidak kuat lagi, Ki.... Oh! Dengarkan pesanku, jangan turuti hawa nafsumu Bagaimanapun juga Gusti Wira Permadi adalah junjungan kita. Ki... aku... Akh...!"

"Nyi..! Nyi...!"

Ki Lintuk menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. Tapi Nyi Lintuk sudah terkulai lemas tak bernyawa lagi. Darah yang ke luar dari lukanya terlalu banyak. Dan pisau yang menembus dadanya langsung menusuk ke jantung. Kini Ki Lintuk hanya bisa memeluk tubuh istrinya dengan air mata berderai membasahi pipinya yang sudah keriput. Sementara Retna Nawangsih tampak hanya menggigit bibirnya untuk menahan air matanya. Gadis itu jadi teringat ketika kedua orang tuanya tewas dibunuh oleh orang-orangnya Wira Permadi.

Sementara itu pertarungan antara Rangga dan Singo Lodoya masih berlangsung dengan sengit. Kini pertarungan itu tidak lagi berlangsung di atas atap, tapi sudah di depan kedai Ki Lintuk. Entah sudah berapa jurus yang mereka kerahkan. Tapi belum ada juga yang kelihatan terdesak.

"Retna! Cepat bawa Ki Lintuk dan istrinya pergi, nanti aku menyusul!" seru Rangga.

"Baik, Kakang...!" sahut Retna Nawangsih tersentak. "Hus, hus! Hiya...!"

Begitu tali kekang kuda itu dihentak dengan kuat, kuda coklat itu segera berlari kencang membawa kereta. Rangga sempat melirik kepergian kereta kuda itu.

"Setan belang! Monyet buntung! Kau benar-benar mempermainkanku, Bocah Edan!" dengus Singo Lodoya geram.

Rangga memang melayani Singo Lodoya dengan setengah hati. Dia sengaja mengulur-ulur waktu untuk memberi kesempatan pada Retnd Nawangsih untuk pergi jauh membawa Ki Lintuk dan istrinya. Dan saat kereta kuda tersebut sudah tidak kelihatan lagi, Rangga langsung melompat meninggalkan Singo Lodoya.

"Hey! Mau lari ke mana kau, Bocah!?" seru Singo Lodoya geram.

"Maaf, belum saatnya kita bertarung!" sahut Rangga.

Singo Lodoya pun segera melompat mengejar, tapi pada saat itu juga bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lenyap dari pandangan. Dan Singo Lodoya hanya bisa mengumpat dan memaki-maki habis-habisan.

***

Rangga mencoba untuk tidak larut dalam suasana duka di Puncak Gunung Batur Kuring. Maka setelah upacara penguburan Nyi Lintuk, dia segera meninggalkan puncak gunung itu. Tujuannya sudah jelas, dia ingin mengambil kembali kuda hitam Dewa Bayu yang sempat dicuri oleh Singo Lodoya untuk dipersembahkan pada Adipati Karang Setra.

Untuk kedua kalinya Retna Nawangsih mencegat Pendekar Rajawali Sakti di batas Kaki Gunung Batur Kuring. Dan untuk kedua kalinya pula Rangga tidak mampu untuk menolak keinginan Retna Nawangsih. Bahkan kali ini bukan hanya Retna Nawangsih yang ikut, tapi juga Jaladara, seorang putra tunggal dari Bayan Sudira.

Rangga sebenarnya enggan diikuti, tapi dia tidak ingin mengecewakan kedua anak muda itu yang bersikeras ingin mengembalikan Karang Setra pada masa jayanya dulu. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu juga tidak menyangsikan kalau Retna Nawangsih dan Jaladara telah memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.

"Sebenarnya aku tidak ingin kalian ikut serta menempuh bahaya," kata Rangga sambi! terus melangkah menuju Kadipaten Karang Setra.

"Kau tidak akan tahu seluk-beluk istana kadipaten, Pendekar Rajawali Sakti. Maka dari itu Ayah menugaskan aku untuk mendampingimu," kata Jaladara.

"Tapi kalian harus hati-hati. Terutama pada Singo Lodoya, dia sangat tangguh!" pesan Rangga memperingatkan.

"Tapi masih ada yang lebih tangguh lagi daripada Singo Lodoya," celetuk Retna Nawangsih

"0h..., siapa dia?" Rangga tertegun.

"Pendeta Gurusinga, Si Cebol Tangan Baja," sahut Retna Nawangsih menjelaskan.

"Dan yang paling penting adalah Pendeta Pohaji. Dia seorang pendekar yang sulit dicari tandingannya. Bahkan Bibi Dewi Purmita saja belum tentu bisa menandinginya," selak Jaladara.

Rangga tampak semakin dalam mengerutkan keningnya. Dia tidak menduga sama sekali kalau Wira Permadi ternyata dikelilingi oleh tokoh -tokoh sakti. Pendeta Pohaji adalah orang yang paling disegani sejak masa Kadipatan Karang Setra diperintah oleh Adipati Arya Permadi dua puluh tahun yang lalu Dan Rangga sudah mendengar tentang kehebatan pendeta itu dari Dewi Purmita.

Meskipun Rangga agak lupa dengan wajah pendeta itu. Tapi sedikit banyak dia masih bisa ingat. Pendeta Pohaji adalah salah seorang kepercayaan ayahnya. Rangga tidak menyangka kalau pendeta itu memihak Wira Permadi. Demikian pula dengan Dewi Purmita, Bayan Sudira. Rakatala dan bekas abdi setia almarhum Adipati Arya Permadi lainnya. Mereka semua tidak mengerti kenapa Pendeta Pohaji sampai berpihak pada Wira Permadi.

"Kalian yakin kalau Pendeta Pohaji berpihak pada Wira Permadi?" tanya Rangga.

"Entahlah," desah Retna Nawangsih.

''Tapi kenyataannya memang begitu," sambung Jaladara.

"Hm..., selama aku berada di Kadipaten Karang Setra ini, hanya nama Singo Lodoya saja yang kudengar. Belum pernah sekali pun aku mendengar nama Pendeta Pohaji, kecuali oleh Dewi Purmita," kata Rangga setengah bergumam.

Terus terang, aku sendiri juga heran. Kenapa setiap kali ada perayaan tahunan, Pendeta Pohaji tidak pernah muncul?" kata Jaladara lagi.

"Kau kenal dengan Pendeta Pohaji?" tanya Rangga.

"Waktu aku berusia sepuluh tahun, sebelum terjadi musibah yang menimpa Gusti Adipati Arya Permadi, aku sering dilatih dasar-dasar ilmu olah kanuragan olehnya. Aku kenal betul siapa Pendeta Pohaji, dia adalah seorang yang arif dan bijaksana. Memang rasanya tidak mungkin kalau dia sampai berpihak pada orang-orang durhaka seperti Gusti Wira Permadi!" sahut Jaladara sedikit emosi.

"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.

"Kalau aku sih belum pernah melihat orangnya, tapi sering mendengar cerita tentang pendeta itu," Retna Nawangsih mengakui.

Rangga masih tetap diam membisu. Pikirannya terus berputar keras, mencerna setiap keterangan yang diperolehnya tentang keadaan Kadipaten Karang Setra setelah kematian ayahnya. Dan dari semua yang didapat, memang tidak semua abdi setia mendiang Adipati Arya Permadi mengundurkan diri. Dan tidak sedikit pula yang kemudian melarikan diri ke luar dari kadipaten.

Bahkan banyak juga yang tewas di ujung pedang algojo, karena menentang orang-orang yang pernah ada hubungan persaudaraan dengan mendiang adipati. Terutama para selir yang memiliki anak. Mereka berlomba-lomba adu kekuatan untuk mencalonkan anaknya menggantikan kedudukan sebagai adipati. Dan yang beruntung adalah Wira Permadi, karena dia memiliki paman dan bibi dari ibunya yang memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.

Baru tiga tahun Wira Permadi menduduki jabatan sebagai adipati, tapi sepak terjangnya benar-benar sudah terasa, Di sekeliling Wira Permadi berdiri tokoh sakti yang berwatak kejam, licik dan serakah! Tidak heran kalau kemudian rakyatlah yang menjadi korban keserakahan mereka.

Rangga masih saja berdiam diri dengan otak yang berputar keras. Di sepanjang perjalanan hanya Retna Nawangsih dan Jaladara yang bicara. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak mendengarkan percakapan mereka. Dan setiap kali ditanya, jawabannya hanya gumaman dan dengusan pelan.

Dan pada saat mereka akan melewati pintu gerbang yang tidak dijaga. Rangga segera memerintahkan pada Retna Nawangsih dan Jaladara untuk berhenti. Tiba-tiba telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dapat mendengar suara halus yang mencurigakan Dan belum sempat Rangga bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba...

Zing, zing...!

"Awas...!" seru Rangga.

***

Puluhan anak panah tampak bertebaran bagai hujan meluruk ke arah Rangga, Retna Nawangsih dan Jaladara Ketiga orang muda itu segera bergerak dengan cara sendiri-sendiri.

Rangga yang menyadari keadaan tidak menguntungkan ini, segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. "Hiaaat...!" teriak Rangga melengking.

Dan ia segera melentingkan tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil menyampok anak-anak panah yang mengarah pada dirinya. Dan di sekitar tempat itu terciptalah angin keras menderu-deru yang membuat anak-anak panah yang datang bagai hujan itu, bertaburan tak tentu arah sebelum mengenai tubuh Rangga. Retna Nawangsih dan Jaladara yang melihat 璱tu langsung melompat ke belakang Rangga. Sedangkan beberapa tubuh tampak bergeletakan di tanah disertai dengan jeritan yang menyayat karena anak-anak panah yang meluncur ke segala arah itu berbalik kembali ke penyerangnya!

"Hebat...!" desah Jaladdra kagum.

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang menggelegar dan memekakkan telinga. Jelas sekali kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Sejenak Rangga menghentikan gerakannya. Dan bersamaan dengan itu, muncullah seorang laki-laki yang berkepala gundul dan mengenakan jubah bagai pendeta. Dia berdiri di atas sebongkah batu besar. Sesaat kemudian muncul juga puluhan orang yang mengenakan seragam prajurit kadipaten. Mereka langsung mengepung dari segala arah.

"Pendeta Gurusinga...," gumam Jaladara yang mengenali laki-laki gundul dan berjubah seperti pendeta itu.

"Hati-hati, tampaknya, mereka tidak bermaksud baik," kata Rangga berbisik.

Tampak Rangga memandang tajam pada Singo Lodoya yang berdiri di samping Pendeta Gurusinga. Rupanya Singo Lodoya tidak puas, dan mengadukan pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti pada Pendeta Gurusinga.

"Yang mana orangnya, Singo Lodoya?" tanya Pendeta Gurusinga.

"Itu, Paman Pendeta yang pakai baju rompi putih," tunjuk Singo Lodoya

"Kau tidak salah?"

"Tidak! Kenapa memangnya?"

"Jelas kalau kau tidak bisa menandinginya. Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti. Apa kau tidak melihat pedang yang ada dipunggungnya? Tidak ada seorang pendekar pun yang memiliki pedang seperti itu selain Pendekar Rajawali Sakti."

"Dari mana kau tahu, Paman Pendeta?" tanya Singo Lodoya.

"Semua tokoh rimba persilatan pasti tahu."

Singo Lodoya terdiam. Dia memang pernah mendengar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dia belum pernah bertemu langsung dengan orangnya. Tidak disangka kalau dia sempat bertarung dengan pendekar ternama saat ini. Pantas saja kalau pendekar itu melayaninya tidak sungguh-sungguh.

"Kau masih penasaran, Singo Lodoya?" tanya Pendeta Gurusinga.

"Siapapun dia, aku tidak akan puas kalau belum mengoyak dadanya!" jawab Singo Lodoya mantap.

"Bagus! Kau hadapi dia, biar yang dua lagi bagian para prajurit."

"Lihat saja nanti , aku akan persembahkan kepalanya untukmu, Paman Pendeta!"

Seketika itu juga Singo Lodoya langsung melompat ke arah Rangga. Indah sekali gerakannya, ringan, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung mencabut senjata andalannya yang berupa golok hitam dengan satu sisi bergerigi.

"Sekarang kau tidak bisa kabur lagi, Bocah!" kata Singo Lodoya garang.

"Hm...," Rangga hanya tersenyum saja.

Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Singo Lodoya. Namun demikian, dia tidak mau menganggapnya enteng. Dia tahu bahwa orang-orang rimba persilatan dari golongan hitam tidak pernah berlaku jujur dalam pertarungan. Sejenak Rangga menggeser kakinya ke kanan. Sementara matanya yang tajam terus mengawasi gerak-gerik Singo Lodoya yang sudah mulai membuka jurus-jurus andalannya.

"Tahan seranganku! Hiyaaa...!" seru Singo Lodoya.

Secepat kilat, Singo Lodoya langsung menyerang dengan jurus-jurus andalannya yang dahsyat, terutama dengan golok hitamnya! Sedangkan Rangga segera melayaninya dengan berkelit ke kiri dan ke kanan tanpa menggeser kakinya setapak pun.

Pada saat itu, Pendeta Gurusinga juga segera memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menyerang Retna Nawangsih dan Jaladara. Tak pelak lagi, pertarungan terbuka langsung terjadi dengan sengitnya.

Tampak Retna Nawangsih dan Jaladara segera mencabut pedangnya untuk menghadapi mereka. Sementara Rangga masih terus melayani Singo Lodoya tanpa menggeser posisi kakinya. Hal itu tentu saja membuat Singo Lodoya jadi semakin berang. Dia merasa diremehkan!

"Sombong! Cabut senjatamu, keparat!" bentak Singo Lodoya menggeram sengit.

"Tanpa senjata pun aku mampu menghadapimu, Singo Edan!" ejek Rangga sengit.

"Monyet buduk...! Terimalah jurus 'Golok Maut' andalanku! "

Dan kali ini serangan Singo Lodoya benar-benar luar biasa. Sampai-sampai Rangga berlompatan ke sana kemari menghindarinya. Tebasan golok hitam Singo Lodoya terus mengepung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit pun dia tidak memberi kesempatan pada lawannya untuk mengambil napas.

"Huh! Kalau begini terus, bisa mati konyol!" dengus Rangga. "Orang ini tidak bisa diremehkan!"

Rangga yang semula tidak bermaksud melukai atau membunuh Singo Lodoya, jadi hilang kesabarannya melihat Singo Lodoya begitu bernafsu ingin membunuhnya. Dan saat itu juga Rangga segera mengubah jurusnya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'

"Heh! "

Betapa terkejutnya Singo Lodoya begitu melihat kedua tangan Rangga tiba-tiba berubah menjadi merah membara bagai terbakar. Dan belum lagi hilang rasa kagetnya itu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke arah golok hitam yang bergerigi itu

"Uts! "

Buru-buru Singo Lodoya menarik kembali senjatanya. Tapi gerakannya kalah cepat. Ujung goloknya berhasil disentil oleh ujung jari Pendekar Rajawali Sakti.

Trak! Seketika itu juga Singo Lodoya terperanjat setengah mati. Tampak ujung goloknya sudah terpotong kena sentilan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pada saat Singo Lodoya kehilangan kontrol diri, secepat kilat Rangga menerjang sambil melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi Sedangkan Singo Lodoya tidak sempat lagi untuk mengelak. Kini dadanya menjadi sasaran empuk pukulan yang beruntun itu.

Tak sedikit pun terdengar suara dan mulut Singo Lodoya. Tubuhnya langsung terpental deras dan membentur batu. Sementara dadanya remuk dan terbakar. Seketika itu juga Singo Lodoya tewas!

"Kakang...!" tiba-tiba Retna Nawangsih memekik tertahan.

"Retna. ..!" Rangga tersentak kaget.

***
ENAM
Rangga tersentak kaget ketika melihat Pendeta Gurusinga meluncur deras dan menyambar tubuh Retna Nawangsih. Gadis itu tidak menyangka sama sekali karena tengah sibuk menghadapi keroyokan puluhan prajurit. Gerakan Pendeta Gurusinga benar-benar luar biasa cepatnya, sehingga Retna Nawangsih tidak sempat melakukan apa-apa. Tahu-tahu kini dia sudah terpondong di pundak.

"Licik! Lepaskan dia...!" bentak Rangga gusar

"Ha ha ha...! Jemput dia di istana, Pendekar Rajawali Sakti...!"

Baru saja Rangga mau mengejar, puluhan prajurit sudah mengepung dan menerjangnya. Rangga yang menjadi gusar karena menghadapi kelicikan pendeta murtad itu, langsung dia tumpahkan pada prajurit-prajurit kadipaten itu. Dia mengamuk dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang amat dahsyat. Setiap prajurit kadipaten yang mencoba mendekat, langsung tewas hanya dengan sekali pukulan!

"Suit...!"

Tiba-tiba saja terdengar siulan nyaring, dan seketika itu juga para prajurit Kadipaten Karang Setra yang masih hidup berlompatan kabur.

"Jangan dikejar!" cegah Rangga ketika melihat Jaladara hendak mengejar.

Jaladara terpaksa mengurungkan niatnya. Dia memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya di punggung. Tampak dadanya bergerak turun naik, dan napasnya tersengal. Sementara keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuhnya.

"Sebaiknya kau segera kembali ke Gunung Batur Kuring, Jaladara," kata Rangga menyarankan.

"Bagaimana dengan Adik Retna?" Jaladara mengkhawatirkan Retna Nawangsih yang dibawa kabur oleh Pendeta Gurusinga.

"Biar aku yang membebaskannya," sahut Rangga tegas.

Sejenak Jaladara mengamati Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia sudah melihat sendiri kehebatan Rangga, tapi untuk menyusup ke dalam istana kadipaten...?

Rasanya sama saja dengan menyerahkan nyawa! Istana kadipaten itu dijaga ketat oleh ratusan prajurit, belum lagi tokoh-tokoh rimba persilatan yang berada di sekeliling Adipati Wira Permadi.

Jaladara bukannya menyangsikan kemampuan Pendekar Rajawali Sakti, tapi ada sesuatu yang terselip di hatinya dan sulit untuk diungkapkan. Perasaan itu sudah ada sejak pertama kali dia melihatnya di Gunung Batur Kuring. Setiap kali Jaladara memandang mata Rangga, dia merasakan melihat temannya waktu kecil, di mana mereka selalu berlatih bersama-sama dalam ilmu olah kanuragan.

"Kenapa kau memandangku seperti itu, Jaladara?" tegur Rangga merasa risih.

"Oh, tidak.... Tidak apa-apa, " Jaladara jadi gugup.

"Sebaiknya kau cepat kembali ke Gunung Batur Kuring. Katakan semua yang telah terjadi di sini," kata Rangga lagi.

"Kenapa kita tidak sama-sama saja membebaskan Adik Retna?" Jaladara menolak halus

"Dewi Purmita dan yang lainnya harus tahu kejadian ini. Percayalah, aku berjanji akan membawa kembali Retna Nawangsih," Rangga tersenyum penuh arti.

"Aku percaya pada kemampuanmu, tapi...."

"Sudahlah, kita harus bergerak cepat sebelum terjadi sesuatu pada Retna Nawangsih. Kau tidak ingin kehilangan dia, kan?"

Wajah Jaladara langsung memerah mendengar kata-kata penuh sindiran itu. Lebih-lebih melihat senyum Rangga yang sulit untuk diartikan. Dalam hatinya, Jaladara memang menyukai Retna Nawangsih, tapi dia tidak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya itu. Dia benar -benar tidak menyangka kalau Rangga bisa mengetahuinya begitu cepat. Apakah karena sikapnya yang terlalu menyolok mengkhawatirkan keadaan Retna Nawangsih? Atau mungkin juga Rngga selalu memperhatikannya kalau dia memandang gadis itu. Entahlah, yang jelas Jaladara sulit untuk menyembunyikan perasaannya itu.

"Rangga.... "

Rangga tidak jadi berbalik. Dia kembali menatap Jaladara yang jadi kikuk dengan wajah bersemu merah dadu.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Hati-hati...," hanya itu yang mampu terucapkan dari mulut Jaladara.

Kembali Rangga tersenyum dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Kemudian dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sejenak Jaladara masih berdiri sambil memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu. Kemudian dia pun segera berlalu dengan mengerahkan ilmu lari cepat menuju Gunung Batur Kuring.

***

Retna Nawangsih langsung tersuruk jatuh ketika Pendeta Gurusinga mendorongnya masuk ke kamar khusus Adipati Karang Setra. Tampak Adipati Wira Permadi dan seorang wanita setengah baya, duduk di kursi besar berukir. Wanita itu adalah bekas selir mendiang Adipati Arya Permadi yang bernama Ratih Komala. Sedangkan di depdn mereka duduk bersila para punggawa kadipaten.

"Retna Nawangsih..., rupanya kau masih hidup." gumam Ratih Komala.

"Tuhan belum berkenan mencabut nyawaku!" dengus Retna Nawangsih sambil berusaha bangkit. Sejenak dia tersentak ketika merasakan bahwa seluruh tubuhnya sulit untuk digerakkan. Retna Nawangsih segera sadar bahwa Pendeta Gurusinga telah menotok jalan darahnya.

Retna Nawangsih langsung tersuruk jatuh ketika Pendeta Gurusinga mendorongnya masuk ke kamar khusus Adipati Karang Setra.

"Retna Nawangsih..., rupanya kau masih hidup!" gumam Ratih Komala heran melihat perempuan yang saat ini ternyata belum mati juga!

"Wira! Kau pernah bilang bahwa dia sudah tewas. Tapi buktinya masih hidup!" Ratih Komala memandang putranya.

"Aku memang telah membunuhnya, Bu. Waktu itu ia jatuh ke jurang yang dalam setelah pedangku berhasil merobek jantungnya," sahut Wira Permadi juga kaget melihat Retna Nawangsih masih hidup.

"Ampun, Gusti Ayu. Hamba menemukannya bersama-sama dengan putra Bayan Sudira dan Pendekar Rajawali Sakti," selak Pendeta Gurusinga.

"Mereka memang berencana untuk memberontak, Gusti Ayu," sambung si Cebol Tangan Baja, salah seorang tokoh hitam yang berpihak pada Adipati Wira Permadi.

"Memberontak...? Ha ha ha...!" tiba-tiba Wira Permadi tertawa terbahak-bahak.

"Tidak ada yang lucu, Wira!" dengus Ratih Komala.

"Maaf, Bu," Wira Permadi segera menghentikan tawanya.

"Pendekar Rajawali Sakti...," Ratih Komala menggumamkan nama itu beberapa kali.

Tampak semua mata tertuju pada perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

"Apa kau tidak salah lihat, Pendeta Gurusinga?" tanya Ratih Komala ingin ketegasan.

"Tidak, Gusti Ayu. Bahkan Singo Lodoya sempat bertarung dengannya. Tapi.... "

"Kenapa?" desak Wira Permadi.

"Singo Lodoya tewas."

"Kurang ajar!" Wira Permadi menggeram marah.

"Tenang, Anakku," Ratih Komala menenangkan putranya.

"Tidak, Bu. Orang yang telah membunuh Singo Lodoya juga harus mampus!" dengus Wira Permadi

"Kau tidak akan mampu menghadapinya, Wira. Aku pernah mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., rupanya dia ada di sini dan membantu para pemberontak itu. Pendekar Rajawali Sakti.... "

"Ibu, ijinkanlah aku untuk membalas kematian Singo Lodoya," pinta Wira Permadi.

"Sudah kukatakan, kau bukan tandingannya, Wira!" sentak Ratih Komala

"Tapi.... "

"Kau mau membantah kata-kataku, Wira?"

Wira Permadi langsung diam. Dia memang seorang adipati di Karang Setra ini, tapi menghadapi ibunya, belum pernah sekali pun Wira Permadi berani membantah kata-katanya.

"Kakang, cari Pendekar Rajawali Sakti dan bunuh dia. Aku ingin kepalanya!" perintah Ratih Komala pada si Cebol Tangan Baja.

"Hamba laksanakan, Gusti Ayu," sahut si Cebol Tangan Baja seraya membungkuk memberi hormat

"Laksanakan, segera!"

Si Cebol Tangan Baja pun bergegas ke luar dan kamar khusus itu. Sementara Ratih Komala kembali menatap Retna Nawangsih yang masih menggeletak tengkurap di lantai tanpa daya. Kemudian dia berjalan pelan menghampiri gadis itu.

"Aku akan menjadikanmu sebagai umpan, Retna Nawangsih, " kata Ratih Komala dengan senyum merekah.

"Pengecut!" dengus Retna Nawangsih geram.

"Paman Pendeta! Masukkan dia ke dalam kurungan!" perintah Ratih Komala.

"Hamba laksanakan, Gusti Ayu."

"Tunggu!" cegah Wira Permadi ketika Pendeta Gurusinga mau mengangkat tubuh Retna Nawangsih.

Sejenak Pendeta Gurusinga mengurungkan niatnya. Sedangkan Wira Permadi segera bangkit dari duduknya dan melangkah menghampiri.

"Biarkan dia berada di sini dulu, aku ingin mengorek keterangan tentang pemberontak-pemberontak keparat itu!" kata Wira Permadi.

Pendeta Gurusinga menoleh pada Ratih Komala. Tampak perempuan setengah baya itu hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian Pendeta Gurusinga segera membungkuk memberi hormat, dan berlalu meninggalkan kamar khusus itu.

"Bisa Ibu tinggalkan aku sebentar?" pinta Wira Permadi.

"Wira, dia adalah tawanan yang sangat berharga. Aku tidak suka kalau kau memperlakukannya seperti tawanan lain," kata Ratih Komala mengerti maksud anaknya ini.

"Percayalah, Bu."

Ratih Komala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bisa membaca keinginan Wira Permadi dari sorot matanya. Sejenak perempuan setengah baya itu memandang Retna Nawangsih. Dalam hatinya dia mengakui kalau gadis itu sungguh cantik. Tidak heran kalau putranya tertarik, dan kebiasaan buruknya timbul seketika.

"Baiklah, Wira. Tapi aku tidak mau tahu kalau kau perlakukan dia sama dengan tawanan wanita lainnya," kata Ratih Komala menyerah.

"Kalaupun itu terjadi, aku yang akan bertanggung jawab, Bu," sahut Wira Permadi tersenyum penuh arti.

Ratih Komala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya mendesah panjang. Kemudian dia melangkah meninggalkan kamar khusus ini. Sedangkan Wira Permadi segera bergegas mengunci pintu. Sejenak dia memandangi tubuh Retna Nawangsih yang tergolek di lantai tanpa daya. Jakunnya tampak turun naik, sedangkan bola matanya liar merayap tubuh ramping itu. Beberapa kali Wira Permadi menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokkan yang mendadak kering.

***

Pelan-pelan Wira Permadi mengangkat tubuh Retna Nawangsih. Kemudian dia segera membawanya ke pembaringan besar yang ada di tengah-tengah ruangan khusus ini. Retna Nawangsih mendesis geram melihat sinar mata yang liar begitu dekat berada di atasnya.

"Kau dengar apa yang dicemaskan oleh ibuku, Retna?" suara Wira Permadi agak tersengal menahan sesuatu yang menggelora di dalam dadanya.

"Huh!" Retna Nawangsih hanya mendengus saja.

"Aku bisa melakukan apa saja padamu, tapi itu tidak akan terjadi kalau kau mau menunjukkan di mana letak sarang gerombolan pemberontak itu, " Wira Permadi menawarkan pilihan.

"Aku tawananmu, kau boleh melakukan apa saja. Tapi jangan harap kau akan tahu tempat teman-temanku!" jawab Retna Nawangsih ketus.

"Ah..., kau tambah cantik saja kalau cemberut begitu," desah Wira Permadi.

Retna Nawangsih segera memalingkan mukanya ketika tangan Wira Permadi mulai menjalar di wajahnya Kalau saja dirinya tidak dalam keadaan tertotok jalan darahnya, pasti sudah dia penggal tangan kurang ajar itu. Dan gadis itu makin bergidik saat merasakan jari-jari tangan Wira Permadi mulai menjalari dadanya.

"Chuih! "

Retna Nawangsih langsung menyemburkan ludahnya begitu Wira Permadi merunduk hendak menciuminya. Ludah kental yang disemburkan dengan kuat itu tampak menemplok di Wajah Adipati Karang Setra itu.

"Kurang ajar...!" geram Wira Permadi sengit.

Plak!

"Auh!"

Merah padam seluruh wajah Retna Nawangsih begitu tangan Wira Permadi mendarat di pipinya. Kemudian Wira Permadi segera melompat naik ke pembaringan Dan dengan pahanya dia mengempit pinggang ramping gadis itu. Lalu dengan berang dia menggerakkan tangannya, dan....

Bret!

"Ah...!" Retna Nawangsih langsung memekik kaget.

Wira Pennadi merobek baju bagian dada gadis itu dengan kasar. Kedua matanya langsung membeliak lebar begitu melihat dua bukit kembar yang putih mulus mengembung terbuka lebar. Kini Retna Nawangsih benar-benar merasa geram dan terhina dengan perlakuan tersebut. T api dia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Seluruh aliran jalan darahnya masih tertotok. Hanya hatinya saja yang mampu merutuk mencaci maki.

"Aku akan membuatmu bertekuk lutut, Perempuan Liar!" geram Wira Permadi mendengus.

"Ih...! Au...!" Retna Nawangsih tetap hanya mampu memekik.

Lalu dengan kasar dan liar Wira Permadi menggumuli tubuh gadis itu. Sementara Retna Nawangsih hanya bisa memekik dan mengumpat dengan kepala menggeleng ke kanan dan ke kiri, menghindari sergapan ciuman-ciuman liar pemuda itu pada wajahnya.

Bret!

"Akh!"

Lagi-Iagi Retna Nawangsih memekik tertahan ketika pakaian bagian bawahnya dikoyak dengan paksa. Seketika sepasang paha yang putih mulus tampak menyembul ke luar. Dan tanpa disadarinya, setitik air bening menggulir dari sudut matanya. Kini mata Retna Nawangsih terpejam rapat-rapat. Dia tidak sanggup lagi untuk membayangkan kalau sampai terjadi....

"He he he..., memang sebaiknya kau diam, Manis " Wira Permadi terkekeh penuh kemenangan.

Retna Nawangsih terus merintih dalam hati. Diam-diam dia berusaha menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Dia berusaha untuk melepaskan pengaruh totokan Pendeta Gurusinga pada jalan darahnya. Retna Nawangsih sadar kalau totokan itu sulit untuk dihilangkan. Tapi keinginan untuk terlepas dan kebuasan Wira Permadi, membuatnya memaksakan diri mengerahkan hawa murni.

Perlahan-lahan Retna Nawangsih merasakan kehangatan mulai menjalari tubuhnya. Sementara Wira Permadi sudah tidak bisa lagi mengendalikan diri. Napasnya sudah memburu penuh nafsu. Dia tidak sadar kalau diamnya gadis itu bukannya pasrah, tapi sedang berusaha melepaskan diri dan pengaruh totokan.

"Hup, hih!"

"Heh...!"

Kontan saja Wira Permadi tersentak kaget ketika tubuhnya terlontar ke atas. Rupanya Retna Nawangsih telah berhasil membebaskan diri dan pengaruh totokan pada jalan darahnya. Begitu dia terlepas dari rangkulan Wira Permadi, buru-buru gadis itu meraih kain dan membelitkan ke tubuhnya yang hampir polos. Lalu bergegas dia melompat turun dari pembaringan.

"Setan alas!" geram Wira Permadi yang terjatuh akibat lontaran tenaga Retna Nawangsih. Tubuhnya yang tegap telah menghantam meja hingga hancur berantakan.

Tentu saja suara ribut-ribut di dalam kamar khusus itu membuat Pendeta Gurusinga dan Ratih Komala datang. Dan mereka langsung tersentak begitu melihat Retna Nawangsih berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan.

Belum sempat Retna Nawangsih menyadari kedatangan kedua orang itu, mendadak Pendeta Gurusinga menyentakkan tangan kanannya. Tampak dua buah benda kecil meluncur deras ke arahnya.

"Akh!" Retna Nawangsih memekik tertahan begitu dua benda kecil yang ternyata jarum pembius itu menembus punggungnya.

Seketika itu juga Retna Nawangsih ambruk ke lantai. Sementara Pendeta Gurusinga bergegas menghampiri dan mengeluarkan kembali jarum pembiusnya dari punggung gadis itu. Sejenak dia memandangi, kemudian beralih menatap Wira Permadi yang sudah telanjang dada.

"Sudah aku katakan, jangan samakan dia dengan tawanan yang lain!" bentak Ratih Komala gusar. "Bawa dia ke penjara!"

"Baik, Gusti Ayu, " sahut Pendeta Gurusinga seraya mengangkat tubuh Retna Nawangsih yang pingsan.

Ratih Komala segera menutup pintu kamar kembali setelah Pendeta Gurusinga ke luar sambil membawa tubuh Retna Nawangsih. Dia berdiri saja membelakangi pintu dan menatap putranya yang sedang mengenakan pakaiannya kembali

"Bikin malu saja!" dengus Rdtih Komala

"Maafkan saya, Bu," hanya itu yang mampu diucapkan oleh Wira Permadi. Tapi raut wajah dan sorot matanya tidak mencerminkan rasa penyesalan. Yang ada justru rasa penasaran dan dendam.

"Ah, sudahlah! Sekarang kau minta maaf, besok atau lusa pasti kau ulangi lagi!"

Wira Permadi cuma meringis saja. Kemudian dia membantingkan tubuhnya di pembaringan. Dalam hatinya dia masih tetap penasaran jika belum dapat menaklukkan gadis cantik itu. Tubuhnya begitu indah dan menggairahkan. Kini dia menulikan telinga, dan tidak mau lagi mendengar nasihat-nasihat dan peringatan ibunya. Yang ada dalam hati dan pikirannya hanyalah kemolekan dan keindahan tubuh Retna Nawangsih.

***

"Oh...!"

"Kau sudah sadar rupanya, Anak Manis."

"Heh!" Retna Nawangsih tersentak kaget begitu sadar dari pingsannya.

Retna Nawangsih segera mengedarkan pandangannya berkeliling. Tampak ruangan itu sangat kecil dan semua dindingnya terbuat dan batu dan sudah berlumut tebal. Udaranya juga lembab, sedangkan dari atapnya menitik air. Pelan-pelan gadis itu menggeser duduknya dan merapat ke dinding. Dia sadar bahwa di ruangan yang sempit ini ada orang lain. Tampak seorang tua yang tubuhnya kurus kering dengan pakaian kotor dan compang-camping Sedangkan rambutnya panjang dan hampir menutupi wajahnya.

"Jangan takut, Anak Manis. Kau pingsan cukup lama. Aku Pendeta Pohaji. Hampir sepuluh tahun aku mendekam di balik dinding batu ini," laki-laki tua kumal itu memperkenalkan diri.

"Pendeta Pohaji... ?" Retna Nawangsih mengerutkan keningnya.

Gadis itu segera memandangi laki-laki tua yang mengaku dirinya Pendeta Pohaji itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan pendeta itu selama hidupnya, tapi dia sudah sering mendengar namanya, juga riwayat hidupnya

"Siapa namamu, Anak Manis? Kenapa mereka sampai memasukkanmu ke sini?" tanya Pendeta Pohaji.

"Aku Retna Nawangsih. Aku ditangkap mereka karena ingin memberontak...," Retna Nawangsih pun segera menceritakan semuanya yang telah terjadi. Sementara Pendeta Pohaji terangguk-angguk mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Bibirnya tampak menyunggingkan senyum, dan bola matanya berbinar-binar. Sedangkan wajahnya yang kotor jadi kelihatan cerah kembali.

"Jadi, Gusti Dewi Purmita masih hidup? Juga Lintuk, Bayan Sudira...?" tanya Pendeta Pohaji ingin meyakinkan.

"Benar, bahkan mereka sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menggulingkan manusia-manusia durhaka itu!" sahut Retna Nawangsih agak emosi.

"Oh..., Tuhan, rupanya kau mendengar juga doaku...," desah Pendeta Pohaji.

"Paman Pendeta," kenapa mereka sampai mengurungmu di sini begitu lama?" tanya Retna Nawangsih.

"Nasibku memang tidak seberuntung yang lain. Tapi aku tidak menyesal," Pendeta Pohaji seperti bicara sendiri.

"Paman Pendeta kan seorang pendekar yang sakti, kenapa tidak mencoba untuk melarikan diri? Rasanya tidak sulit bagi Paman untuk menjebol dinding batu ini," kata Retna Nawangsih.

"Tidak, Anakku. Kalau aku melarikan diri, itu namanya aku menentang kehendak Tuhan Aku yakin suatu saat kelak, mereka akan hancur, dan aku bisa ke luar dari sini tanpa menentang kodrat yang telah ditetapkanNya," sahut Pendeta Pohaji.

"Kalau aku ingin berusaha ke luar, apakah Paman akan mencegah?"

Pendeta Pohaji hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Meskipun Retna Nawangsih tidak menceritakan tentang dirinya, tapi dia sudah tahu kalau gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Tapi tampaknya belum cukup untuk bisa menjebol dinding batu ini.

Retna Nawangsih yang sudah bersiap-siap mengeluarkan ajiannya untuk menjebol dinding batu ruangan sempit itu, segera mengurungkan niatnya begitu melihat Pendeta Pohaji tersenyum-senyum. Sejenak dia membetulkan kain yang membelit tubuhnya, kemudian menggeser duduknya mendekati laki-laki tua itu.

"Kenapa tidak jadi?" tanya Pendeta Pohaji.

"Tidak. Paman benar, aku tidak boleh menentang garis yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Aku yakin, pasti nanti akan ada orang yang datang membebaskan kita," sahut Retna Nawangsih.

"Ah..., Tuhan, berkatilah anakku ini," gumam Pendeta Pohaji.

Retna Nawangsih baru mau membuka mulutnya, tapi mendadak saja dia merasakan perutnya mual, dan dadanya Jadi sesak. Kemudian tanpa dapat dicegah lagi dia memuntahkan cairan merah kental dari mulutnya. Seketika itu juga tubuhnya terasa dingin dan menggigil.

"Anakku, kau terluka?" tanya Pendeta Pohaji cemas.

"Aku tidak tahu, Paman Pendeta," sahut Retna Nawangsih lirih

"Apa yang kau rasakan?"

"Perutku mual dan..., dadaku sesak."

Sejenak Pendeta Pohaji meraba perut gadis itu, kemudian dia mendekatkan telinganya ke dada Retna Nawangsih. Sementara gadis itu hanya memejamkan mata saja. Dia baru membuka matanya kembali setelah pundaknya ditepuk dengan lembut.

"Kau telah terkena jarum pembius Pendeta Murtad Gurusinga. Kelihatannya memang tidak berbahaya tapi kalau kau mengerahkan tenaga dalam dan hawa murni maka racun yang merasuk ke dalam darahmu akan bekerja," kata Pendeta Pohaji.

"Maksud Paman Pendeta, Jarum Pembius Racun Perak?" Retna Nawangsih menebak.

"Benar. "

"Oh...," Retna Nawangsih mendesah lirih.

"Tidak perlu cemas, anakku. Aku akan mencoba untuk mengeluarkan racun itu dan tubuhmu. Meskipun racun itu sangat berbahaya dan bisa membunuh dengan cara perlahan-lahan," Pendeta Pohaji menenangkan gadis itu.

"Aku akan mati, Paman Pendeta. Racun itu sangat berbahaya sekali. Mungkin aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari," lemas seluruh tubuh Retna Nawangsih.

"Kau lupa siapa aku, Anakku?"

Retna Nawangsih tersentak. Dia baru ingat kalau racun dari Jarum Pembius Racun Perak milik Pendeta Gurusinga memang sulit dihilangkan, tapi Pendeta Pohaji bisa melenyapkan pengaruh racun itu. Ya..., memang hanya Pendeta Pohaji yang sanggup untuk mengeluarkan racun itu dari tubuh seseorang. Dan Retna Nawangsih tahu hal itu, karena gurunya, Dewi Purmita pernah menceritakan padanya.

"Aku akan berusaha mengeluarkan racun itu dari dalam tubuhmu. Tapi kau tidak boleh mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam selama sehari semalam penuh. Sebab sekali saja kau mencoba, akibatnya akan fatal bagi dirimu sendiri!"

"Oh, terima kasih, Paman Pendeta," ucap Retna Nawangsih gembira.

"Sekarang buka bagian atas penutup tubuhmu," perintah Pendeta Pohaji.

"Oh!" Retna Nawangsih tampak terlongong.

"Duduk bersila membelakangiku!" sambung Pendeta Pohaji tidak menghiraukan keterkejutan gadis itu.

Sejenak Retna Nawangsih masih ragu, tapi dia kemudian memutar tubuhnya membelakangi pendeta itu. Dan dengan perlahan-lahan dia melepaskan kain yang membelit tubuhnya, lalu menurunkannya sampai ke pinggang. Kemudian Retna Nawangsih menutup bagian dadanya dengan kedua tangannya. Sedangkan matanya langsung terpejam ketika merasakan sepasang telapak tangan yang dingin telah menyentuh kulit bagian punggungnya.

"Kosongkan jiwamu, dan jangan melakukan gerakan apa pun!" perintah Pendeta Pohaji.

"Baik, Paman," sahut Retna Nawangsih.

Gadis itu pun kembali memejamkan matanya rapat-rapat. Dia mulai mengosongkan jiwa dengan bersemadi untuk mendekatkan jiwa dan raga pada sang pencipta. Sementara Pendeta Pohaji mulai bergetar tubuhnya. Tampak keringat mulai menitik di kening.

Beberapa saat kemudian tampak asap tipis mengepul dan sela-sela jari kurus keriput yang menempel dipunggung putih mulus. Saat itu, seluruh tubuh Retna Nawangsih juga berkeringat. Dan ketika tubuh gadis itu menggeletar, buru-buru Pendeta Pohaji menarik kernbali tangannya. Saat itu juga Retna Nawangsih ambruk tidak sadarkan diri.

"Ah..., untung belum terlalu lama racun itu mengendap," desah Pendeta Pohaji bersyukur.

Kemudian laki-laki tua yang kurus kering dan kumal itu segera menutupi tubuh Retna Nawangsih Sejenak dia memandangi lalu menggeser duduknya menjauh. Pendeta itu kembali melakukan semadi.

***
TUJUH
Malam sudah begitu larut menyelimuti keadaan di sekitar Kadipaten Karang Setra. Sementara kesunyian telah melanda seluruh pelosok kadipaten itu. Di atas sana langit tampak menghitam tanpa kehadiran bintang dan bulan yang biasa menghiasi. Angin malam pun terasa dingin membuat semua orang lebih senang tinggal di dalam rumah. Hanya sesekali masih tampak para peronda yang berkeliling menjaga keamanan.

Pada saat itu tampak sebuah bayangan putih yang berkelebat cepat memutari tembok istana kadipaten. Bayangan putih itu berhenti di bawah pohon yang rindang dan besar di samping sebelah Utara tembok benteng. Dilihat dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelaslah kalau dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.

"Sepi, tidak seperti biasanya...," gumam Rangga dalam hati.

Keadaan di sekitar istana kadipaten yang sepi itu membuat Pendekar Rajawali Sakti lebih waspada. Dia menduga, kalau keadaan seperti ini memang disengaja. Sejenak dia mengawasi keadaan sekitarnya, lalu....

"Hup!" .

Bagai kapas tertiup angin, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara dan hinggap dengan indah di atas tembok istana kadipaten itu. Nampak Rangga segera menekuk lututnya begitu menyentuh dinding tembok yang dipijaknya. Kembali matanya mengamati sekitar lingkungan istana itu dengan tajam.

Kemudian Rangga kembali melentingkan tubuhnya dan turun dari atas tembok yang tebal dan tinggi itu. Dan begitu kakinya menyentuh tanah. dia pun langsung melenting tinggi ke atas atap. Kini Rangga kembali ingat sedikit-sedikit suasana dan keadaan lingkungan istana kadipaten ini hal itu memungkinkan dia bergerak leluasa dan hati-hati.

"Hm..., hanya ada dua orang penjaga di depan pintu penjara," gumam Rangga dalam hati.

Maka dengan satu gerakan yang manis, Rangga melesat ke arah dua penjaga itu Dan sebelum mereka sempat menyadari, Rangga segera menotok jalan darahnya tanpa melukai sedikit pun Kemudian dia buru-buru membuka pintu penjara itu, dan melangkah masuk.

Penjara itu terdiri dari sebuah lorong yang menuju dalam tanah. Kini Pendekar Rajawali Sakti itu mulai memeriksa setiap kamar tahanan yang berdinding batu tebal dan kokoh. Udara di dalam penjara ini begitu lembab, dan semua dindingnya tampak sudah berlumut tebal.

Sudah semua kamar tahanan dia periksa. tapi tidak satu pun yang berisi Retna Nawangsih. Kemudian Rangga menatap satu pintu yang letaknya paling ujung. Dan perlahan-lahan dia mendekati pintu yang terkunci dengan rantai baja itu.

"Hsss. T' Rangga segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan rantai baja itu.

Bunyi berderit sedikit terdengar ketika pintu yang sudah putus rantainya itu dibuka perlahan-lahan. Sejenak Rangga tertegun begitu melihat Retna Nawangsih sedang duduk bersila didampingi oleh seorang laki-laki tua yang bertubuh kurus kering dan kumal.

"Retna...," panggil Rangga pelan.

Retna Nawangsih membuka matanya.

"Kakang...!" seru Retna Nawangsih terkejut. Dia gembira melihat Rangga tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar tahanan ini.

Retna Nawangsih langsung melompat dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia sampai tidak sadar kalau tubuhnya hanya terbungkus dengan kain saja. Sesaat kemudian Rangga melepaskan pelukan gadis itu dan memegang pergelangan tangannya.

"Ayo kita ke luar dari sini," ajak Rangga.

"Kakang...," Retna Nawangsih mencegah Rangga yang sudah mau ke luar. Matanya melirik pada laki-laki tua yang duduk di ruangan itu.

Rangga pun ikut menoleh pada laki-laki tua yang tetap duduk bersila dengan mata tertutup.

"Pergilah kalian, biarkan aku tetap di sini," kata Pendeta Pohaji tanpa menggerakkan mulutnya.

"Paman, bukankah ini yang dinamakan kehendak Tuhan? Kakang Rangga akan membebaskan kita," kata Retna Nawangsih berusaha membujuk.

"Rangga... ?!" Pendeta Pohaji langsung membuka matanya begitu mendengar nama Rangga.

Sejenak Rangga jadi tertegun melihat laki-laki tua itu memandangnya dengan penuh selidik. Kemudian dengan perlahan-lahan Pendeta Pohaji bangkit dari semadinya. Dan dengan tertatih-tatih dia menghampiri. Pandangannya tetap tajam ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Pendeta Pohaji.

"Rangga" sahut Rangga singkat.

"Sebenarnya aku belum yakin..., tapi.... Baiklah aku akan ikut dengan kalian asal kau mau berjanji untukku, Anak Muda," kata Pendeta Pohaji.

"Janji apa?" tanya Rdngga.

"Katakan siapa dirimu yang sebenarnya setelah kita sampai di luar."

"Baiklah!" sahut Rangga tanpa pikir panjang lagi Rangga pun segera menarik tangan Retna Nawangsih. Sementara Pendeta Pohaji mengikutinya dari belakang. Matanya tidak berkedip memandangi Rangga yang berjalan cepat di depannya sambil menuntun Retna Nawangsih.

"Ah...!" Pendeta Pohaji mendesah panjang. Dia seperti sedang berbantahan dengan batinnya sendiri.

***

Baru saja Rangga menginjakkan kakinya di luar pintu penjara, tiba-tiba sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Maka secepat kilat Rangga menarik tangan Retna Nawangsih ke belakang. Dan dengan tangkas dia menggerakkan tangannya untuk menangkap tombak itu. Kemudian dengan sekuat tenaga dia melemparkan kembali ke arah datangnya tombak itu

"Aaa...!" langsung terdengar jeritan menyayat, disusul dengan ambruknya sesosok tubuh prajurit dari gerumbul semak.

Dan pada saat itu juga dari tempat-tempat tersembunyi, tiba-tiba muncul puluhan prajurit dengan senjata terhunus di tangan. Tampak Pendeta Gurusinga dan si Cebol Tangan Baja ada di antara mereka. Sejak tadi Rangga memang sudah menduga kalau suasana sepi itu disengaja untuk memancing dirinya.

"Retna, cepat bawa orang tua itu pergi. Nanti aku segera menyusul," kata Rangga berbisik.

"Kakang.... "

"Jangan pikirkan aku!" sentak Rangga.

Kakang, kuda Dewa Bayu akan segera datang kalau kau memanggilnya dengan siulan melengking disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi nadanya harus kecil dan panjang," kata Retna Nawangsih mengingatkan sebelum dia mengajak Pendeta Pohaji pergi.

"Retna, hati-hati. Awas...!"

Rangga langsung melompat ketika sebatang tombak meluncur ke arah Retna Nawangsih. Dan dengan tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil menangkap tombak itu dan kembali melemparkannya pada pemiliknya dengan cepat. Kontan saja suara jeritan melengking terdengar lagi.

"Serang! Jangan biarkan mereka lolos!" seru Pendeta Gurusinga keras.

Seketika itu juga para prajurit yang sudah mengepung langsung berlompatan hendak menyerang. Dan Rangga tidak punya pilihan lain, dia harus menghadapipuluhan para prajurit itu. Kini dia tidak mau tanggung-tanggung lagi, segera dia mencabut pedang Rajawali Sakti dari warangkanya.

Cring!

Saat itu juga para prajurit yang sudah berlompatan hendak menyerang, segera mundur teratur begitu melihat pedang di tangan Rangga mengeluarkan cahaya biru berkilauan. Sementara itu Retna Nawangsih sudah jauh berlari dan hampir mencapai tembok belakang istana kadipaten ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera mengebutkan pedang pusakanya ke depan. Tiba-tiba terdengar suara menderu yang dahsyat dan menggetarkan jantung.

"Majulah kalian semua kalau ingin kukirim ke neraka!" gertak Rangga.

"Kenapa kalian jadi bengong semua? Ayo, serang...!" bentak Pendeta Gurusinga setelah hilang dari rasa terkejutnya begitu melihat pedang bercahaya itu.

Mendengar bentakan keras memerintah itu, para prajurit yang sudah gentar hatinya segera berlompatan kembali menyerang. Tepat pada saat itu Retna Nawangsih sudah berhasil melompati tembok belakang bersama Pendeta Pohaji.

"Suiiit...! "

Mendadak Rangga bersiul nyaring melengking dengan nada kecil dan panjang. Sebentar kemudian, terdengar suara ringkik kuda, disusul dengan terdengarnya derap kaki kuda yang mendekat. Sesaat saja sudah tampak seekor kuda hitam sedang berlari kencang menghampiri Rangga. Sementara para prajurit yang sudah kembali mengepung, langsung kocar-kacir menyelamatkan diri dari amukan kuda hitam Dewa Bayu itu.

Sedangkan Pendeta Murtad Gurusinga dan si Cebol Tangan Baja dibuat jadi kalang-kabut. Mereka hanya bisa berteriak-teriak memerintahkan pada para prajurit untuk kembali menyerang. Tapi pada saat itu Rangga sudah melompat ke punggung kuda, dan langsung menggebahnya.

"Hiya...! Hiya...!" teriak Rangga sambil menepuk-nepuk leher kuda hitam itu.

Kuda Dewa Bayu pun langsung melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Dan Rangga sengaja melarikan kudanya itu melewati pintu gerbang belakang istana kadipaten ini.

"Kejar, cepat! Jangan biarkan keparat itu lolos!" teriak Pendeta Gurusinga gusar.

Dan prajurit-prajurit yang sudah gentar itu terpaksa berlarian. Sebagian sempat mengambil kuda dan langsung mengejar Rangga. Sementara Pendeta Gurusinga juga ikut mengejar Rangga dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sedangkan si Cebol Tangan Baja langsung melompat ke arah Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji berlari.

"Hiya...! Hiya...!" Rangga terus memacu kuda itu mendekati pintu gerbang belakang istana kadipaten. Tampak dia memutar-mutarkan pedangnya di atas kepala, dan....

Glam...!

Suara ledakan keras langsung terdengar bersamaan dengan hancurnya pintu gerbang belakang istana kadipaten itu. Sedangkan kuda Dewa Bayu itu langsung menerobos pintu yang sudah hancur berkeping-keping. Tampak para prajurit yang tengah mengejar dengan kuda, jadi melongo! Mereka kehilangan jejak begitu Rangga sudah ke luar dari lingkungan istana itu. Sementara itu kuda Dewa Bayu terus berlari bagaikan angin.

"Bodoh! Kalian semua bodoh!" Pendeta Gurusinga memaki habis-habisan.

Tepat pada saat itu Wira Permadi dan Ratih Komala ke luar dari gedung istana. Dan mereka langsung tersentak begitu melihat pintu gerbang belakang Istana kadipaten itu sudah hancur berkeping-keping. Kini puluhan prajurit sudah memenuhi halaman depan istana itu. Pendeta Gurusinga segera menghampiri Adipati Karang Setra itu.

"Ada apa, Paman Pendeta? Aku mendengar suara ribut-ribut, tanya Wira Permadi.

"Ampun, Gusti Adipati. Tawanan kita lolos," lapor Pendeta Gurusinga.

"Apa... ?!" Wira Permadi kaget setengah mati.

"Pendekar Rajawali Sakti yang telah membebaskannya, dia juga telah berhasil membawa lari kuda Dewa Bayu."

"Kurang ajar! Cari sampai dapat, bunuh mereka!" geram Wira Permadi.

"Baik, Gusti," sahut Pendeta Gurusinga.

Pendeta Gurusinga pun segera memerintahkan para prajurit untuk mencari Rangga, Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji. Sedangkan Wira Permadi bergegas masuk kembali ke istana diikuti oleh ibunya Tampak sekali kalau Wira Permadi begitu gusar dan marah mendengar kejadian itu

***

Rangga segera menghentikan lari kudanya begitu melihat Retna Nawangsih melambaikan tangannya. Tampak gadis itu berada di dalam salah satu sebuah kamar rumah penginapan Ki Lintuk.

"Hitam, bawa mereka menjauhi tempat ini," kata Rangga pada kuda hitamnya.

Kuda itu meringkik, seolah mengerti dengan kata-kata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu pun segera melompat cepat menuju kamar yang jendelanya terbuka. Sejenak kuda hitam itu meringkik keras, lalu berlari cepat meninggalkan rumah penginapan itu.

Tepat pada saat itu tubuh Rangga sudah masuk ke dalam kamar penginapan itu, serombongan prajurit berkuda yang dipimpin oleh Pendeta Gurusinga lewat mengejar kuda hitam itu.

Sejenak Rangga mengamati rombongan prajurit itu dari balik jendela. Dan dia segera menarik napas lega setelah para prajurit yang mengejarnya berlalu.

Sesaat kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya dan memandang Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji yang duduk di kursi. Laki-laki tua kurus itu sudah berganti pakaian. Memang tampak kebesaran, karena dia tidak mengenakan pakaiannya sendiri.

"Untung kau cepat datang, Kakang...," kata Retna Nawangsih bersyukur.

"Mereka tidak menyakitimu kan, Retna?" tanya Rangga. Retna Nawangsih hanya menggeleng saja. Tapi wajahnya menyemburat merah. Dia ingat perlakuan tidak senonoh dari Wira Permadi. Gadis itu bertekat tidak mau menceritakannya pada siapa pun. Namun hatinya masih terbalut oleh dendam yang tidak akan terpuaskan kalau belum membunuh adipati yang cabul itu.

"Anak muda...," panggil Pendeta Pohaji.

Rangga segera mengalihkan pandangannya pada laki-laki tua kurus kering itu. Kemudian dia menghampirinya dengan menyeret kursi ke depannya. Sedangkan Retna Nawangsih mengambil tempat di tepi pembaringan.

"Batinku merasakan bahwa kau bukan orang lain lagi bagiku. Katakan sejujurnya, siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Pendeta Pohaji langsung memojokkan.

Rangga tidak langsung menjawab. Sejenak dia menoleh ke arah Retna Nawangsih. Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya saja, seolah mengerti arti tatapan pendekar itu.

"Aku hanya seorang pengembara saja, Paman Pendeta," jawab Rangga setelah berpikir sejenak.

"Nada suaramu tidak berkata jujur, Anak Muda," Pendeta Pohaji tidak percaya.

"Kakang...," Retna Nawangsih tidak melanjutkan ucapannya.

"Kalau aku tidak salah dengar tadi, Retna Nawangsih memberitahumu untuk memanggil kuda Dewa Bayu. Hm..., yang aku tahu, hanya mendiang Gusti Adipati saja yang bisa memanggilnya. Meskipun orang lain bisa saja menirukan suara siulan itu, tapi nadanya tidak akan bisa sama. Dan kau.... Ah! Terlalu muluk rasanya kalau aku menyangka kau adalah Gusti Rangga Pati Pennadi, putra adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu," Pendeta Pohaji seperti bergumam.

Rangga langsung terpaku diam. Rasanya memang sulit untuk berdusta mengenai siapa dirinya sebenarnya pada laki-laki tua ini. Perasaannya sungguh tajam. Dia bertindak dan berbicara berdasarkan hati, bukan menuruti pikiran duniawi. Penyatuan jiwanya pada Sang Pencipta sudah hampir mencapai titik kesempurnaan.

"Paman Pendeta, apakah Paman bisa percaya bahwa seorang anak yang berumur lima tahun bisa hidup sendiri di dalam rimba yang ganas?" Rangga mencoba untuk memancing buah pikiran laki-laki tua itu

"Jika Yang Maha Pengasih menghendaki, semua itu bisa saja terjadi," sahut Pendeta Pohaji bijaksana.

"Jika anak itu sudah dewasa dan sekarang berada di hadapanmu, apakah kau juga akan percaya?"

"Kenapa tidak? Dan aku memang yakin kalau suatu saat junjunganku pasti akan datang kembali padaku. "

"Paman...!"

Rangga tidak dapat lagi menguasai dirinya. Dia langsung berlutut dan mencium lutut Pendeta Pohaji. Sementara laki-laki tua itu hanya tersenyum dengan kepala terangguk-angguk. Dan tanpa disadarinya, setitik air bening menggulir dari sudut matanya. Sedangkan Retna Nawangsih pun tidak mampu lagi untuk membendung air matanya. Sebuah pertemuan yang benar-benar mengharukan. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam, larut dalam keharuan.

Sementara malam terus merayap semakin larut Titik-titik air hujan mulai turun membasahi bumi.

"He he he....!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh dari luar penginapan itu.

Tentu saja Rangga dan Retna Nawangsih tersentak kaget! Sedangkan Pendeta Pohaji tetap kelihatan tenang. Dia hanya memiringkan sedikit kepalanya ke kanan. Sementara suara tawa yang semula terdengar hanya kekehan biasa, lama-kelamaan berubah menjadi terbahak-bahak.

"Oh!" keluh Retna Nawangsih sambil menekap telinganya rapat -rapat.

"Kemarikan tanganmu, Retna!" seru Pendeta Pohaji.

Retna Nawangsih segera mendekati Pendeta itu. Dan dia membiarkan saja ketika tangannya digenggam. Suara tawa yang hampir memecahkan gendang telinga itu, terus menggema. Jelas kalau suara itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.

"Paman, Retna..., tetap di sini!" seru Rangga.

"Hiyaaa...!"

Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah meluncur ke luar dari jendela yang terbuka. Dan seketika itu juga suara tawa yang menggema itu langsung terhenti Retna Nawangsih bergegas berlari mendekati jendela. Sedangkan Pendeta Pohaji juga ikut bangkit melangkah ke jendela.

***

"He he he...!"

"Hm...," Rangga mengamati seorang laki-laki gemuk yang bertubuh cebol itu. Tingginya tidak lebih dan sebatas dada orang dewasa.

"He he he..., jangan bermimpi dulu untuk bisa 1olos dari tanganku, Bocah," kata si Cebol Tangan Baja terus terkekeh.

"Kau pasti si Cebol Tangan Baja, cecunguknya Wira Permadi," gumam Rangga. Kini dia tahu satu per satu orang-orang yang ada di sekeliling Wira Permadi. Dewi Purmita dan yang lainnya telah menceritakan kepadanya.

"Tepat!" sahut si Cebol Tangan Baja. "Untuk itu, lebih baik kau menyerah saja, Bocah. Aku malas menurunkan tangan padamu."

"Tidak semudah yang kau kira, Kakek Cebol!" sejenak si Cebol Tangan Baja melirik ke arah jendela di mana Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji memperhatikan dari sana. Dan tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba tubuhnya yang bulat bagai bola itu, melenting ke atas ke arah jendela.

"Hup! "

Rangga pun segera menggenjot tubuhnya ke atas, lalu dengan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia segera mengibaskan tangannya ke arah perut buncit laki-laki cebol itu. Tapi dengan manis sekali si Cebol Tangan Baja berhasil menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Si Cebol Tangan Baja terus meluruk turun dan mendarat dengan indah di tanah. Sesaat kemudian Rangga pun segera turun dari atas. Kini mereka kembali berhadapan dengan jarak tidak lebih dari dua batang tombak. Laki-laki cebol itu kembali terkekeh seperti anak kecil yang kesenangan diberi hadiah mainan.

"Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., kali ini omongan si Pendeta Edan itu patut dipercaya," kata si Cebol Tangan Baja setengah bergumam.

Rangga masih tetap diam. Dalam satu gerakan saja, dia sudah bisa mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki manusia cebol itu. Dan Rangga tidak ingin memandang dengan sebelah mata padanya

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Kita akan bertarung sampai ada yang mampus!" tantang si Cebol Tangan Baja.

"Sebenarnya aku tidak pernah punya urusan denganmu, Kakek Cebol. Tapi kalau kau menantang atas nama dunia kependekaran. aku layani!" sahut Rangga masih bisa menghormati laki-laki tua cebol itu

"He he he.... Aku kagum dengan sikapmu. Pendekar Rajawali Sakti," kata si Cebol Tangan Baja sambil menjura hormat.

"Terima kasih." Rangga pun membalas penghormatan itu dengan menjura pula

" Nah! Bersiaplah! Hiyaaa...!

"Hih! "

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan si Cebol Tangan Baja sudah berlangsung seru. Kedua tokoh Sakti itu tidak lagi main-main, mereka langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing.

Tampak Rangga sudah mengerahkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Pertarungan itu berlangsung dengan cepat, sehingga yang tampak hanyalah dua bayangan yang berkelebatan saling serang.

Sementara itu dari jarak yang cukup jauh, Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan seksama. Tampak sekali kalau Retna Nawangsih begitu mencemaskan keadaan Rangga. Dia sudah sering mendengar cerita tentang si Cebol Tangan Baja. Ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya sangat tinggi, sulit dicari tandingannya!

"Ah!" Retna Nawangsih terpekik ketika melihat tubuh Rangga terpental kena sodokan tangan si Cebol Tangan Baja.

"He he he...," si Cebol Tangan baja terkekeh melihat lawannya terjajar di tanah itu.

"Huh!" Rangga mendengus sambil menyeka darah yang ke luar dari mulutnya dengan punggung tangan. Buru-buru dia bangkit kembali.

"Aku akui kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Selama ini belum ada seorang pun yang mampu menandingiku dalam tiga puluh jurus, tapi kau sudah melayaniku sampai empat puluh jurus," kembali si Cebol Tangan Baja terkekeh kesenangan.

"Kau juga hebat, Kakek Cebol," balas Rangga setelah bisa berdiri tegak.

"Bagaimana? Apakah bisa diteruskan atau kau menyerah saja?" si Cebol Tangan Baja menawarkan.

"Pantang bagiku untuk menyerah, Kakek Cebol!" sahut Rangga.

"He he he...!" si Cebol Tangan Baja terkekeh. "Bersiaplah, hiyaaa...!"

Laki-laki tua cebol itu kembali melentingkan tubuhnya mengirimkan pukulan mautnya secara beruntun. Kali ini Rangga menghadapinya dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Tampak si Cebol Tangan Baja sedikit keheranan, karena serangannya selalu luput dari sasaran. Sementara gerakan-gerakan tubuh serta kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu liar dan lincah bagai belut. Bahkan kini Rangga sudah berada di atas angin. Beberapa kali si Cebol Tangan Baja dibuat berjumpalitan untuk menghindari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'

"Tahan!" bentak Rangga tiba-tiba.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu meliuk-liukkan tubuhnya, dan tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya tiba-tiba menyodok tepat ke arah dada si Cebol Tangan Baja yang lowong.

Dug!

"Akh!" si Cebol Tangan Baja langsung memekik tertahan. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang

Kemudian laki-laki tua cebol lalu langsung bersiap kembali. Sejenak tangannya bergerak cepat mengeluarkan senjata yang sejak tadi tersimpan di balik bajunya.

Tring...!

Dua buah senjata semacam tongkat pendek dengan ujungnya yang lancip dan bengkok sudah tergenggam di tangannya. Senjata itu mirip dengan mata kail raksasa.

"Cabut senjatamu, Bocah! Kita akan bertarung sampai mati!" geram si Cebol Tangan Baja.

"Hm...," Rangga hanya menggumam tidak jelas.

"Jangan salahkan aku kalau kau mati tanpa senjata!"

Setelah berkata begitu, si Cebol Tangan Baja langsung melompat dan menerjang. Senjata kembar berbentuk mata kail raksasa itu berkelebatan cepat menimbulkan suara angin menggemuruh. Belum lagi asap hitam yang mengepul dan dua senjata itu membuat mata pedih dan napas sesak.

"Hhh! Senjata anehnya terlalu berbahaya Aku tidak boleh menganggapnya enteng!" gumam Rangga dalam hati.

Sret! Cring...!

***
DELAPAN
Cahaya biru langsung memancar terang dan menyilaukan mata saat pedang pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya. Si Cebol Tangan Baja tersentak kaget Buru-buru dia melompat mundur. Tampak sepasang bola matanya membeliak lebar, seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Kenapa kau mundur, Kakek Cebol? Kau takut...?" ejek Rangga.

"Phuih! Biar kau panggil gurumu sekalian ke sini, aku tidak akan mundur!" dengus si Cebol Tangan Baja tersinggung.

"Jangan bawa-bawa nama guruku!" bentak Rangga geram.

Rangga memang tidak senang jika lawannya menyebut-nyebut nama gurunya. Hal itu dianggapnya sebagai penghinaan. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

"Hiyaaa... ! "

Dengan satu teriakan melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat menerjang si Cebol Tangan Baja. Sementara pedang yang bersinar biru itu berkelebat cepat mengarah ke leher. Sedangkan si Cebol Tangan Baja segera mengangkat satu senjatanya sambil menarik kepalanya ke belakang.

Tring! Dua senjata saling beradu.

Si Cebol Tangan Baja tergetar tangannya ketika senjatanya beradu dengan pedang Rangga. Dia terkejut sekali karena senjatanya kini buntung jadi dua. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Buru-buru laki-laki tua cebol itu membuang dirinya ke samping, lalu bergulingan bagai bola. Dan Rangga mencecarnya dengan babatan-babatan pedangnya. Sedangkan tubuh cebol itu terus bergelindingan menghindari tebasan-tebasan pedang yang begitu cepat dan mengancam nyawanya.

Tring!

Lagi-lagi si Cebol Tangan Baja terperangah ketika dia memapak serangan pedang yang beruntun itu. Lalu dengan kesal dia membuang senjatanya yang buntung terpapas. Kini tampak laki-laki tua cebol itu hendak mengeluarkan ajian pamungkasnya.

"Hm..., kau ingin mengadu kesaktian rupanya," dengus Rangga bergumam.

"Tahan aji 'Sapujagat' ku, Bocah!" sentak si Cebol Tangan Baja geram.

Seketika itu juga kedua tangan manusia cebol itu mengeluarkan api yang berkobar-kobar dan menyambar ke arah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti juga segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian yang sangat diandalkan Rangga.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.

Secepat kilat dia menggosok pedang Rajawali Sakti dengan telapak tangan kiri, seketika itu juga cahaya biru tampak bergulung menggumpal di ujung pedang. Dan pada saat api yang ke luar dari tangan manusia cebol itu meluncur ke arahnya, Rangga langsung mengarahkan ujung pedang ke lawannya.

Kontan saja satu ledakan keras terjadi. Bersamaan dengan itu tubuh si Cebol Tangan Baja langsung terpental beberapa tombak ke belakang. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap kokoh berdiri pada kedua kakinya. Sementara itu cahaya biru dari pedang pusaka itu terus bergulung dan meluncur cepat ke arah tubuh manusia cebol itu.

"Aaakh...!" jeritan melengking terdengar dan mulut si Cebol Tangan Baja.

Tampak tubuh manusia cebol itu menggeliat-geliat terselubung cahaya biru. Dan Rangga segera memasukkan kembali pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya setelah tubuh lawannya tidak bergerak-gerak lagi. Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak sambil memandang tubuh manusia cebol yang perlahan-lahan berubah lumer jadi tepung.

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang melihat tubuh lawannya sudah berubah jadi tepung.

"Kakang....!"

Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sedang berlari-lari menghampirinya. Dan di belakang gadis itu Pendeta Pohaji berjalan cepat mengikuti.

Sementara itu malam telah berganti pagi. Di ufuk Timur tampak cahaya merah jingga menyemburat dan menerobos celah dedaunan Tanpa terasa, semalaman penuh Pendekar Rajawali Sakti telah bertarung melawan si Cebol T angan Baja.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Retna Nawangsih bernada cemas, namun gembira melihat Rangga dapat mengalahkan satu lawan tangguh.

"Tidak," sahut Rangga sembari tersenyum.

"Aku mendengar serombongan berkuda tengah menuju ke sini," kata Pendeta Pohaji seperti bergumam untuk dirinya sendiri.

Rangga segera menengadahkan kepalanya. Telinganya yang tajam langsung mendengar derap kaki kuda yang sangat banyak jumlahnya. Semakin lama suara langkah kaki kuda itu semakin jelas terdengar.

Dan dari arah Timur tampak debu mengepul di udara. Sedikit demi sedikit mulai terlihat umbul-umbul yang bergerak cepat dibawa oleh para penunggang kuda

"Ah, api sudah tersulut di Karang Setra...," desah Pendeta Pohaji.

Sejenak Retna Nawangsih dan Rangga saling berpandangan. Memang benar gumaman pendeta itu. Karang Setra sebentar lagi akan berkobar. Bara yang telah lama terpendam di dalam sekam, sudah mulai menggeliat dan menyemburkan api yang akan menghanguskan seluruh kadipaten ini.

***

Rombongan berkuda itu ternyata orang-orang yang ingin memberontak pada kepemimpinan Adipati Wira Permadi. Mereka dipimpin langsung oleh Dewi Purmita dan para abdi setia mendiang Adipati Arya Permadi. Kini pagi yang semula tenang dan damai, langsung berubah jadi hiruk-pikuk.

"Paman Pendeta Pohaji...!" Dewi Purmita seperti tidak percaya begitu melihat Pendeta Pohaji ada bersama-sama dengan Retna Nawangsih dan Pendekar Rajawali Sakti. "Aku tidak menduga kalau bisa melihatmu lagi, Paman," kata Dewi Purmita terharu.

"Semua ini berkat lindungan Yang Maha Kuasa, Anakku Purmita," sahut Pendeta Pohaji. Sebentar pendeta itu memandangi orang-orang yang berjumlah ratusan di belakang Dewi Purmita.

Mereka semua mengendarai kuda dengan membawa senjata berbagai macam tampaknya mereka memang sudah siap untuk bertempur.

"Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Pendeta Pohaji.

"Sudah saatnya bagi kami untuk mengembalikan Karang Setra pada masa jayanya, Paman Pendeta," jawab Dewi Purmita.

"Peperangan bukan jalan satu-satunya, Anakku Purmita."

"Rasanya sudah tidak ada jalan lain, Paman. Mereka bukan manusia, tapi binatang yang harus dimusnahkan!"

Pendeta Pohaji hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia tidak bisa lagi mencegah pertumpahan darah yang bakal terjadi di kadipaten ini Sementara itu Bayan Sudira, Ki Lintuk dan beberapa bekas pembesar kadipaten sudah mengatur para prajurit setia dan para pemuda yang tergabung dalam satu komando sudah siap untuk mengepung benteng istana kadipaten.

Sementara itu suasana di benteng kadipaten tampak sepi seperti tidak terjaga, tapi dari balik tembok yang tinggi di atas, bersembulan kepala-kepala manusia dengan senjata terhunus Rupanya para prajurit yang memihak pada Wira Permadi sudah siap mempertahankan istana itu.

Tampak beberapa puluh prajurit di bawah pimpinan Rakatala sudah bergerak dan berusaha menembus pintu gerbang yang tebal dan kokoh. Tapi belum lagi mereka sampai, tiba-tiba ribuan anak panah langsung menghujani mereka. Kontan saja pekik jerit kematian menggema menyayat hati. Sesaat kemudian tubuh-tubuh langsung bergelimpangan tertembus anak pannah.

"Mundur...!" teriak Dewi Purmita terkejut.

Hujan anak panah segera berhenti bersamaan dengan mundurnya sisa prajurit yang masih hidup. Dewi Purmita langsung memanggil Rakatala.

"Kau telah melanggar aturanku, Rakatala!" dengus Dewi Purmita.

"Ampunkan hamba, Gusti Dewi. Hamba hanya ingin mencoba menembus benteng," jawab Rakatala membungkuk hormat.

"Ceroboh! "
"Ampun, Gusti Dewi."

"Dengar kalian semua, tidak ada seorang pun yang boleh melakukan tindakan tanpa perintahku!" lantang suara Dewi Purmita.

Saat itu Rangga yang berdiri tidak jauh dari Retna Nawangsih, mencolek lengan gadis itu. Sejenak Retna Nawangsih menoleh, kemudian dia mengikuti Rangga yang melangkah menjauhi Dewi Purmita dan para pengikut setia kadipaten.

"Ada apa?" tanya Retna Nawangsih setelah cukup jauh dari orang-orang itu.

"Rasanya akan sia-sia saja kalau tidak menembus pintu gerbang itu," kata Rangga tidak berkedip memandang pintu gerbang yang tertutup rapat.

"Sulit, Kakang. Lihat saja, puluhan prajurit sudah jadi korban akibat kecerobohan Paman Rakatala."

"Aku akan mencobanya, " suara Rangga terdengar bergumam. "Kakang...!" Retna Nawangsih tersentak kaget

Rangga tidak menoleh sedikit pun. Dia terus menatap lurus ke arah pintu gerbang benteng istana itu. Kemudian perlahan-lahan kakinya melangkah.

"Kakang...!" Retna Nawangsih mengejar.

Gadis itu segera menyambar tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan menyentakkannya dengan kuat.

Rangga terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menatap tajam pada gadis di sebelahnya itu. Kejadian itu tidak luput dan perhatian Dewi Purmita, Pendeta Pohaji dan yang lainnya.

"Kakang, apa yang akan kau lakukan?" suara Retna Nawangsih bernada cemas.

"Menghancurkan pintu gerbang benteng itu," sahut Rangga kalem.

"Edan! Apa kau sudah buta? Lihat, mereka menjaganya dengan ketat!"

"Minggirlah, Retna."
"Tidak, Kakang!"

"Minggir kataku!" suara Rangga terdengar keras dan membentak.

"Kau..., kau memerintahku...?" Retna Nawangsih seakan baru tersadar kalau Pendekar Rajawali Sakti itu adalah pewaris tunggal Kadipaten Karang Setra.

"Ya!" sahut Rangga tegas.

Retna Nawangsih pun segera melangkah mundur. Sejenak Rangga menatapnya, kemudian mengalihkan pandangannya ke pintu gerbang. Dan langkahnya kembali terayun perlahan-lahan mendekati pintu gerbang itu. Kemudian dia berhenti setelah jaraknya tinggal sepuluh batang tombak lagi. Tampak di atas benteng, pasukan panah kadipaten sudah siap membidik ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu batang tombak lagi Rangga melangkah, pasti akan dihujani dengan anak-anak panah.

"Suiiit...! "

Dua kali Rangga bersiul nyaring melengking dengan nada yang berbeda. Beberapa saat kemudian, terdengar derap kaki kuda berlari cepat. Dan muncullah seekor kuda hitam yang langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lama berselang, semua kepala yang ada di sekitar tembok benteng, maupun yang ada di dalam benteng istana itu menengadahkan kepalanya. Tampak di angkasa seekor burung rajawali raksasa melayang-layang mengitari istana kadipaten.

"Rajawali, kacaukan mereka yang ada di dalam tembok!" seru Rangga lantang.

"Kraaaghk! "

"Hup! "

Rangga langsung melompat ke atas punggung kuda Dewa Bayu, lalu dengan cepat dia mencabut pedang pusaka Rajawali Sakti. Seketika itu juga cahaya biru memancar begitu pedang pusaka itu ke luar dari warangkanya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!" teriaknya lantang.

***

Tepat ketika burung rajawali raksasa menukik ke dalam benteng istana, Rangga menggebah kudanya dengan cepat. Dan bersamaan dengan itu, dia terus mengibaskan pedangnya ke depan. Sementara cahaya biru yang menggumpal di ujung pedang langsung meluncur deras dan menghantam pintu gerbang yang kokoh dan tebal itu.

Seketika itu juga suara ledakan dahsyat terdengar begitu cahaya biru menghantam pintu gerbang. Pada saat itu juga, pintu gerbang yang kokoh itu hancur berkeping-keping Dan dengan cepat bagaikan kilat, Rangga langsung menerobos masuk bersama kuda Dewa Bayu. Pada saat yang sama, burung rajawali raksasa telah membuat sibuk orang-orang di dalam benteng itu.

"Serbu... !" terdengar teriakan melengking dari luar benteng.

Sesaat kemudian pekik dan teriakan-teriakan peperangan terdengar bergemuruh. Tampak para prajurit yang dipimpin langsung oleh Dewi Purmita segera berhamburan menyerbu pintu benteng istana kadipaten yang sudah jebol. Hujan panah tidak dihiraukan lagi. Sebentar saja tubuh-tubuh bergelimpangan tertembus anak panah ataupun tombak.

"Rajawali, habiskan mereka yang ada di atas!" seru Rangga keras.

"Khraghk! "

Burung rajawali raksasa itu segera melayang naik dan memporak-porandakan pasukan panah yang ada di atas tembok istana kadipaten. Tentu saja para prajurit itu jadi kalang-kabut. Tidak sedikit yang terjungkal kena kibasan sayap burung rajawali raksasa itu.

Sementara itu Rangga terus mengamuk di atas kuda Dewa Bayu dengan pedang Rajawali Sakti di tangan. Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat pencabut nyawa, tak seorang pun yang bisa menyentuhnya. Dan setiap kibasan pedangnya selalu meminta korban nyawa.

"Kakang...!" seru Retna Nawangsih tiba-tiba.

Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sedang kewalahan menghadapi seorang laki-laki tua yang berpakaian pendeta. Maka tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera melompat dari kudanya sambil berteriak nyaring.

Kalau saja Pendeta Gurusinga tidak merunduk, pasti lehernya sudah buntung ditebas pedang Rajawali Sakti Kini pendeta itu jadi terpecah perhatiannya dengan kedatangan Rangga yang langsung menyerangnya.

"Retna, kau bantu yang lain!" perintah Rangga.

"Baik, Kakang!" sahut Retna Nawangsih yang menyadari tidak akan sanggup menghadapi Pendeta Gurusinga.

"Aku lawanmu, Pendeta Murtad!" seru Rangga geram.

"Phuih!" Pendeta Gurusinga menyemburkan ludahnya.

Rangga yang sudah tidak bisa lagi menguasai amarahnya, langsung mengerahkan aji pamungkasnya, yaitu aji 'Cakra Buana Sukma'. Sedangkan Pendeta Gurusinga itu juga tidak mau kalah, dia pun segera mengerahkan ajian andalannya yang dibanggakan.

Tapi belum lagi mereka sempat bentrok mengadu kesaktian, mendadak muncul Pendeta Pohaji. Kedatangannya yang begitu tiba-tiba dan cepat, membuat orang tua kurus itu sudah berdiri di tengah-tengah. Dia menghadap pada pendeta murtad itu.

"Sebaiknya segera cari Wira Permadi, Gusti," kata Pendeta Pohaji yang sudah mengetahui diri Rangga yang sebenarnya.

"Paman...," Rangga ingin membantah.

"Biar aku yang menghadapi pendeta murtad ini,"

"Baiklah!" Rangga segera menarik kembali ajiannya, dan memasukkan pedang pusakanya kembali ke dalam warangkanya. Tapi belum juga Rangga sempat meninggalkan tempat itu. Pendeta-pendeta yang berlawanan alirannya itu sudah saling mengadu kesaktian.

Dan Rangga tidak sempat lagi untuk menyaksikan, karena dia melihat Dewi Purmita dan Retna Nawangsih tengah menghadapi lawan utamanya. Tampak Dewi Purmita menghadapi Ratih Komala, sedangkan Retna Nawangsih menghadapi Wira Permadi. Sementara itu pertarungan antar prajurit di dalam lingkungan benteng istana juga terus berlangsung dengan sengit Sejenak Rangga menengadahkan kepalanya ke atas. Tampak burung rajawali raksasa hanya melayang-layang saja di udara.

"Akh!"

Pendekar Rajawali Sakti tersentak mendengar pekikan tertahan dari Retna Nawangsih. Tampak gadis itu terjajar ke belakang dan menabrak dinding bangunan utama istana. Dan pada saat itu Wira Permadi sudah melompat dengan pedang terhunus yang mengarah dada Retna Nawangsih.

"Hup! "

Rangga segera melentingkan tubuhnya. Dan hinggap di depan Retna Nawangsih. Secepat kilat dia merapatkan kedua telapak tangannya di saat ujung pedang Wira Permadi tinggal beberapa helai rambut lagi membelah dada Retna Nawangsih

"Hih!" Wira Permadi berusaha mencabut pedangnya dari jepitan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Wira, sadarlah. Perintahkan pada para prajuritmu untuk segera menghentikan perlawanan! Aku janji akan mengampuni semuanya dan melupakannya!" perintah Rangga berusaha menyadarkan Wira Permadi.

Namun belum sempat Wira Permadi menjawab, terdengar jeritan melengking tinggi menyayat hati. Tampak Dewi Purmita telah menyelesaikan pertarungannya dengan Ratih Komala. Pedang Dewi Purmita menembus dalam di dada ibu kandung Wira Permadi.

"Ibu...!" jerit Wira Permadi.

Seketika Rangga terlengah, dan kesempatan itu tidak disia-siakan Wira Permadi. Secepat kilat dia menarik pedangnya, dan langsung memutarkan senjatanya, sehingga....

"Akh!" Rangga memekik tertahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu tidak sempat lagi untuk berkelit Ujung pedang Wira Permadi telah merobek bahu kirinya. Tampak darah segera mengucur deras dari luka yang cukup dalam dan lebar itu.

"Kakang... !" Retna Nawangsih terkejut. "Keparat! Kubunuh kau...!"

Retna Nawangsih langsung menerjang sambil mengarahkan pedangnya ke dada Wira Permadi, namun dengan manis sekali Wira Permadi mengelakkannya! Dan dengan cepat sekali tangannya melayang dan menghantam punggung Retna Nawangsih, sehingga membuat gadis itu terjerembab mencium tanah.

Dan bersamaan dengan Wira Permadi yang hendak mengibaskan pedangnya ke arah Retna Nawangsih, Rangga buru-buru mengambil sebilah pedang yang tergeletak di dekat kakinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat dan memapak tebasan pedang Wira Permadi.

Tring!

Sejenak Wira Permadi terlonjak ke belakang. Tampak bibirnya meringis karena merasakan pegal dan nyeri pada lengannya. Dan belum lagi dia sempat untuk berbuat sesuatu, dengan cepat Rangga menempelkan ujung pedang yang dipungutnya tadi ke tenggorokan Wira Permadi.

"Berhenti...!" terdengar teriakan keras menggelegar.

Rangga sempat melirik pada arah datangnya suara. Ternyata suara keras dan bertenaga dalam tinggi itu datang dari Pendeta Pohaji yang telah berhasil mengalahkan lawannya, Pendeta Murtad Gurusinga.

Seketika itu juga pertarungan berhenti. Tampak para prajurit Wira Permadi yang melihat junjungannya sudah tidak berdaya, langsung membuang senjata mereka.

"Dengar kalian semua! Yang Maha Kuasa telah mengirim kembali junjungan kita yang hilang selama dua puluh tahun. Kini Gusti Rangga Pati Permadi telah berada di tengah-tengah kita," keras dan bergema suara Pendeta Pohaji.

Semua mata yang ada di sekitar tempat itu langsung menatap pada Rangga. Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kelengahan yang hanya sekejap itu dimanfaatkan oleh Wira Permadi untuk kabur, tapi Retna Nawangsih yang tidak pernah lepas mengawasinya dengan cepat melemparkan pedangnya....

"Retna, jangan...!" seru Rangga terkejut.
Tapi terlambat...
"Aaa...!" Wira Permadi menjerit melengking.

Tampak Adipati Karang Setra yang tidak syah itu terjungkal dengan punggung tertembus pedang sampai ke dada. Seketika itu juga Rangga langsung berlari menghampirinya. Perlahan-lahan dia mengangkat tubuh adik tirinya itu.

"Wira...," tersendat suara Rangga.

"Ka..., akh...!"

"Wira...!" jerit Rangga sambil menggoyang-goyangkan tubuh Wira Permadi yang sudah lemas dan tak bernyawa lagi.

Rangga langsung memeluk tubuh adik tirinya itu dengan erat. Bagaimanapun juga dia sangat menyesalkan kematian Wira Permadi, satu-satunya saudaranya yang dia temui selama dua puluh tahun ini. Suasana jadi hening seketika. Semua yang ada diliputi keharuan.

Beberapa saat kemudian Rangga mengangkat kepalanya dan memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Lalu dia berdiri sambil mengangkat tubuh adik tirinya itu. Perlahan-lahan kakinya melangkah menuju ke dalam istana kadipaten. Sementara itu Pendeta Pohaji, Dewi Purmita, Bayan Sudira, Ki Lintuk dan Retna Nawangsih mengikutinya tanpa berbicara sedikit pun. Tampak sekali kalau Retna Nawangsih murung seolah menyesali tindakannya itu.

Perlahan-lahan Rangga membaringkan tubuh Wira Permadi di balai-balai yang ada di tengah-tengah ruangan depan istana yang luas. Sebentar dia memandangi tubuh yang terbujur kaku itu, lalu mencabut pedang yang menancap di punggungnya.

"Gusti. . . ! "

Rangga segera menoleh begitu mendengar suara dari sampingnya. Pandangannya sayu menatap Pendeta Pohaji.

"Kami semua menunggu perintah, Gusti," kata Pendeta Pohaji.

Sejenak Rangga menarik napas panjang. "Pulihkan keadaan, dan siapkan upacara pemakaman untuk Adi Wira Permadi dan Ibu Ratih Komala," kata Rangga pelan.

"Hamba laksanakan, Gusti, " sahut Pendeta Pohaji seraya membungkuk memberi hormat.

Kemudian Pendeta Pohaji segera mengajak Bayan Sudira dan yang lainnya untuk meninggalkan tempat ini. Kini yang ada di ruangan itu hanya Dewi Purmita, Retna Nawangsih dan Rangga sendiri. Sejenak Rangga memandang perempuan tua adik misan mendiang ibunya itu.

"Jangan larut dalam kesedihan. Kau harus segera mempersiapkan diri untuk penobatan menjadi raja di Karang Setra ini," kata Dewi Purmita mengingatkan.

"Tidak secepat itu," sahut Rangga pelan.

"Ya, tentu saja setelah keadaan bisa terkendali, sambil menunggu kedatangan utusan khusus dari kerajaan," lanjut Dewi Purmita.

Rangga diam saja. Dan perlahan-lahan dia melangkah ke luar dari ruangan depan istana itu. Retna Nawangsih segera mengikuti.

"Gusti...," pelan suara Retna Nawangsih.

Rangga menghentikan langkahnya di depan pintu.

"Maafkan, hamba telah berbuat lancang," kata Retna Nawangsih menyesal.

"Kau tidak salah, Retna. Mungkin memang sudah takdirnya," sahut Rangga mendesah Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik menghadap gadis cantik itu.

"Retna, aku harus pergi," kata Rangga dengan suara berat.

"Kemana?" tanya Retna Nawangsih kaget.

"Rasanya aku belum bisa meninggalkan duniaku. Dunia pendekar yang penuh dengan tantangan," sahut Rangga pelan.

"Tapi, Karang Setra membutuhkan seorang pemimpin, Gusti. Dan hanya Gusti-lah yang diharapkan. Lagi pula, Gusti Prabu sudah jatuh kata akan menganugerahkan Kadipaten Karang Setra menjadi sebuah kerajaan jika Gusti kembali. Gusti akan menjadi raja di Karang Setra ini."

"Benar, Anakku Rangga."

Rangga dan Retna Nawangsih menoleh. Tampak Dewi Purmita sudah ada di dekat mereka kembali.

"Akulah satu-satunya keluarga dari ibumu yang masih hidup. Dan aku tahu benar semua keturunan Kanda Arya Permadi. Kini hanya kau satu-satunya orang yang berhak untuk menjadi raja di sini." lanjut Dewi Purmita.

Rangga tidak menjawab. Memang berat untuk menentukan pilihan ini. Sebenarnya hatinya belum bisa untuk menerima, tapi dia juga tidak bisa menolak begitu saja. Di benaknya merasakan, bahwa tugasnya sebagai pendekar belum selesai.

Lama juga Rangga menimbang-nimbang. Kemudian dia kembali melangkah ke luar. Di sana tampak burung Rajawali Sakti dan kuda Dewa Bayu berdiri bersisian di tengah-tengah halaman depan istana ini.

Kesibukan juga sedang terjadi, para prajurit yang masih hidup tengah mengumpulkan mayat-mayat dan para prajurit yang terluka.

"Mungkin aku bersedia untuk menjadi raja, tapi aku tidak bisa meninggalkan duniaku sebagai seorang pendekar pembela kebenaran," kata Rangga seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Tidak sedikit Raja yang berjiwa pendekar, Anakku," kata Dewi Purmita seraya tersenyum senang.

Rangga tidak menyahuti, dia kembali melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti, dan mendekati burung rajawali raksasa. Beberapa saat lamanya dia berbicara dengan burung itu. Entah apa yang dibicarakannya. Dan tidak lama kemudian tampak burung itu mengepakkan sayapnya dan segera meninggalkan istana Karang Setra.

"Kakang.... "

Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sudah berdiri di sampingnya. "Ada apa?"

"Boleh aku memanggilmu begitu?"

"Tentu saja."

"Boleh juga kalau aku ikut dalam pengembaraanmu nanti?"

"Kalau gurumu mengizinkan."

"Oh! Terima kasih, Kakang."

Kalau saja di sekitar mereka tidak banyak orang, pasti Retna Nawangsih sudah memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi kini Retna Nawangsih hanya bisa memandang saja dengan sejuta rasa. Dan Rangga pun segera membalasnya dengan memberikan senyuman yang tidak mudah untuk diartikan oleh gadis itu.

"Raja..." desah Rangga dalam hati. "Bisakah aku jadi raja?"

TAMAT

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar