Pendekar Rajawali Sakti eps 040 : Pemburu Kepala

SATU
RANGGA mengayunkan kakinya pelahan-lahan menyusuri jalan setapak yang melingkari Kaki Gunung Anjar. Siang ini udara cerah sekali. Langit tampak bersih, tanpa sedikit pun awan menggantung. Pantas saja sinar matahari begitu bebas menerobos permukaan bumi. Namun angin yang berhembus agak kencang, membuat terik sang surya siang ini agak berkurang. Rangga benar-benar menikmati kecerahan hari ini.

Pendekar Rajawali Sakti itu terus melangkah sambil sesekali menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Meskipun matahari bersinar terik, namun udara di sekitar Gunung Anjar cukup terasa sejuk. Bahkan cenderung dingin. Pemuda berbaju rompi putih itu menghentikan ayunan kakinya, ketika melihat seekor kelinci gemuk berbulu putih bersih. Mendadak saja perutnya berkeruyuk seperti minta diisi. Sejak pagi tadi Rangga memang belum menemukan sedikit makanan pun untuk mengganjal perutnya.

Pelahan Rangga membungkuk, lalu memungut sebutir kerikil. Lalu dengan tubuh masih terbungkuk, Pendekar Rajawali Sakti itu menjentikkan jarinya disertai pengerahan tenaga dalam sedikit. Kerikil yang dipungut tadi, seketika melesat cepat bagai kilat. Maka kelinci gemuk yang malang itu menggelepar begitu kepalanya tersambit oleh Rangga.
"Waow...!" Rangga bersorak kegirangan.

Bergegas pemuda berbaju rompi putih itu berlari menghampiri kelinci yang sudah tidak bernyawa lagi. Namun mendadak saja dia jadi tertegun, karena pada leher kelinci itu tertancap sebatang anak panah. Padahal tadi kelinci itu dilempar hanya dengan batu kerikil.

Belum sempat Rangga berpikir jauh, tiba-tiba saja terdengar suara bergemerisik dari arah depan. Sebentar kemudian muncul seorang gadis berwajah cantik sambil membawa sebuah busur dan sekantung anak panah pada punggungnya. Dia juga nampak terkejut melihat seorang pemuda berdiri dekat bangkai kelinci.

"Kau akan mencuri kelinciku, ya...?!" bentak gadis itu galak.

"Heh...?! Ini kelincimu...?" Rangga menunjuk kelinci berbulu putih yang masih tergeletak di depan kakinya.

"Apa matamu sudah buta, heh...?!" sentak gadis itu semakin berang. "Kau lihat...! Panahku menancap di lehernya, maka berarti kelinci ini milikku!"

Rangga menatap bangkai kelinci di depannya. Selain kepala kelinci itu berlubang akibat kena timpukan batu kerikil, juga di lehernya menancap sebatang anak panah hingga tembus. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berbicara lebih jauh lagi, terdengar derap langkah kaki kuda menuju tempat ini. Tak berapa lama kemudian, muncul lima orang penunggang kuda. Satu orang tampak masih muda, dan mungkin berusia sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan empat penunggang kuda lainnya sudah setengah baya. Mereka semua mengenakan pakaian cukup indah.

Belum juga ada yang membuka suara, dari arah yang sama muncul lagi sekitar tiga puluh orang berkuda bersama satu kereta kuda barang. Yang membuat Rangga semakin tidak bisa buka mulut, rombongan terakhir ini ternyata para prajurit dari sebuah kerajaan. Dari lambang yang dibawa, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, kalau mereka berasal dari Kerajaan Kedung Antal. Sebuah kerajaan yang cukup besar di wilayah Kulon ini

"Ada apa, Adik Ranti?" tanya pemuda yang sudah turun dari punggung kudanya. Dihampirinya gadis yang masih berdiri berkacak pinggang di depan Rangga.

"Ini...! Dia akan mengambil kelinci yang baru saja kupanah!" sahut gadis yang dipanggil dengan nama Ranti itu, seraya menuding Pendekar Rajawali Sakti. "Kakang Nadara, hukum saja dia karena berari mengakui hasil buruanku!"

Pemuda yang dipanggil Nadara itu menatap bangkai kelinci sebentar, kemudian beralih pada Rangga yang masih diam saja. Kakinya melangkah maju dua tindak mendekati, kemudian memungut bangkai kelinci itu. Dan kini kepalanya terangguk seraya menyunggingkan senyum.

"Kisanak. Boleh aku tahu, siapa namamu?" lembut dan ramah sekali nada suara Nadara.

"Rangga," sahut Rangga singkat

"Maafkan atas kekasaran adikku, Kisanak. Aku yakin, kelinci ini milikmu," tegas Raden Nadara seraya menyodorkan kelinci itu pada Rangga.

"Terima kasih. Tapi, Nisanak ini menginginkannya. Biarlah aku mencari kelinci lain," dengan halus sekali Rangga menolak.

Raden Nadara berpaling memandang adiknya yang memberengut tidak puas akan sikap Rangga. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu membalikkan tubuhnya dan melompat naik ke punggung kuda yang dibawa salah seorang berpakaian prajurit Seekor kuda putih yang gagah sekail Wajah Ranti masih memberengut tertekuk.dalam. Pandangannya begitu tajam menusuk langsung pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Adik Ranti, dia sudah memberikan kelinci ini padamu. Kau tidak ingin menerimanya?" lembut sekali nada suara Raden Nadara.

"Berikan saja padanya. Aku tidak butuh!" ketus sekali jawaban Ranti.

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali menyodorkan kelinci itu pada Rangga

"Terimalah. Adikku akan semakin marah jika kau tidak suka menerimanya. Maafkan dia, Kisanak," ujar Raden Nadara.

Sebentar Rangga menatap Ranti yang langsung mendengus sambil membuang muka, kemudian kembali memandang Raden Nadara yang masih menyodorkan kelinci itu.

"Baiklah. Tapi akan kuberi gantinya, nanti," kata Rangga menyerah.

Pendekar Rajawali Sakti itu menerima kelinci dari tangan Raden Nadara. Sedangkan pemuda itu menganggukkan kepalanya sedikit, lalu melompat naik ke punggung kudanya. Gerakannya sangat ringan dan indah, menandakan kalau kepandaiannya cukup tinggi.

Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu bergerak meninggalkan Lereng Gunung Anjar ini. Rangga masih berdiri mematung memandangi rombongan yang terus bergerak menuruni lereng. Dipandangi kelinci itu, lalu diangkat ke atas, hingga sejajar wajahnya. Bibirnya tersenyum dan kepalanya menggeleng beberapa kali. 

Rangga menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar suara ribut dari arah Selatan Kaki Gunung Anjar ini. Sebentar dipastikan suara-suara yang terdengar jelas itu. Dan ketika yakin kalau itu adalah suara pertarungan, dengan cepat rubuhnya melesat. Pendekar Rajawali Sakti berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.

Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebat menyelinap dari satu pohon ke pohon lainnya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah sampai di Kaki Gunung Anjar sebelah Selatan. Dan hatinya terkejut begitu melihat para prajurit Kerajaan Kedung Antal tengah bertarung sengit.

Namun yang membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi terperanjat adalah pertarungan itu dilakukan oleh para prajurit yang berpakaian sama. Ya.., sama-sama prajurit Kerajaan Kedung Antal juga! Pandangan Pendekar Rajawali Sakti langsung tertumbuk pada Ranti yang tengah bertarung sengit melawan sepuluh orang prajurit. Tidak jauh dari gadis itu, terlihat Raden Nadara yang juga tengah bertarung sengit melawan dua orang berpakaian gemerlap, seperti pakaian seorang panglima perang.

"Ada apa ini...? Kenapa mereka saling bertarung?" Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Namun pertanyaan itu belum bisa terjawab, karena Rangga melihat Ranti semakin terdesak. Bahkan tubuhnya kini menerima pukulan telak, sehingga membuatnya sempoyongan. Pada saat itu, salah seorang pengeroyoknya sudah mengibaskan sebilah pedang ke arah leher.

"Celaka...!" sentak Rangga mendesis. Tanpa berpikir panjang lagi. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat, dan segera mengirimkan satu pukulan keras ke arah orang yang hendak memenggal kepala Ranti. Pukulan Rangga tepat mengenai dada orang itu.

Deghk!

"Akh...!" orang itu memekik keras, dan seketika tubuhnya terpental jauh ke belakang.

Buru-buru Rangga menarik tangan Ranti, dan membawanya keluar dari arena pertarungan. Gadis itu nampak tersengal, akibat dadanya terkena satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi. Sebentar Rangga mengamati gadis itu. Ternyata pukulan yang diterima Ranti tidak terlalu berbahaya.

"Sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini," ujar Rangga.

"tidak! Aku harus membunuh keparat-keparat Itu!" sentak Ranti.

Langsung saja gadis itu melesat cepat, kembali terjun dalam kancah pertempuran. Sementara Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya bisa menyaksikan saja. Memang, dia tidak tahu, mana lawan dan mana kawan. Sebab mereka sama-sama mengenakan pakaian prajurit yang serupa.

Pendekar Rajawali Sakti itu memandang Raden Nadara. Ingatannya langsung tertuju pada peristiwa pagi tadi. Memang, pemuda itu bijaksana sekali waktu menyelesaikan pertikaiannya dengan Ranti. Kelembutan dan kebijakan Raden Nadara membuat Rangga jadi bersimpati, dan mengaguminya. Di samping itu, Raden Nadara juga bisa membedakan hasil panah adiknya dengan lemparan batu kerikil Rangga pada tubuh seekor kelinci. Dengan tepat bisa dipastikan kalau Rangga yang lebih dahulu mendapatkan kelinci itu.

Setelah mempertimbangkan masak-masak. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mengambil keputusan. Terlebih lagi saat melihat pemuda itu tampak terdesak oleh lawan-lawannya. Bahkan yang mengeroyok Ranti juga semakin bertambah banyak saja. Sedangkan hanya beberapa saja dari para prajurit yang masih berbaku hantam.

"Aku harus membantu mereka! Hiyaaa...!"

Bagaikan burung rajawali. Rangga melesat ke arah Raden Nadara. Dan seketika itu juga dilontarkan beberapa pukulan ke arah para pengeroyok pemuda itu. Jerit pekik melengking tinggi terdengar saling sahut, disusul berpentalannya beberapa tubuh. Saat itu juga Rangga melesat balik, langsung menuju tempat Ranti bertarung. Beberapa pukulan dilontarkan. Kembali jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar menyayat, disusul ambruknya beberapa tubuh yang mengeroyok Ranti.

Terjunnya Pendekar Rajawali Sakti dalam kancah pertarungan, membuat Raden Nadara dan Ranti jadi heran. Namun hal ini memberi kesempatan pada mereka untuk memperhebat serangan-serangannya. Dan lain halnya dengan yang diderita para prajurit itu. Mereka jadi kelabakan, karena Rangga bertarung dengan berpindah-pindah tempat. Gerakannya sungguh cepat luar biasa, dan tidak terduga sama sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang roboh terkena pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti

"Mundur...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.

Saat itu juga, para prajurit yang mengeroyok Raden Nadara dan Ranti berlompatan mundur. Tak lama kemudian, kembali terdengar teriakan memberi perintah. Cepat sekali para prajurit itu berlompatan pergi, dengan meninggalkan puluhan mayat bergelimpangan. Hanya sekitar lima belas prajurit saja yang masih tinggal, ditambah Raden Nadara, Ranti, dan empat orang laki-laki setengah baya.

Suasana yang semula gaduh dipenuhi suara jerit melengking dan denting suara senjata beradu, mendadak saja jadi sunyi senyap. Kini suasananya seperti berada di tengah-tengah kuburan saja layaknya. Mereka yang masih hidup, hanya bisa memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah duduk dengan enaknya di bawah sebatang pohon rindang. Dicabutnya sejumput batang rumput, dan diselipkan ke sudut bibirnya.

"Kakang...," Ranti menggamit ujung jari Raden Nadara. Gadis itu mengerdipkan sebelah matanya, menunjuk pada Rangga yang asyik duduk di bawah pohon.

Raden Nadara berpaling ke arah Pendekar Rajawali Saka itu. Dilangkahkan kakinya, diikuti Ranti dan empat orang laki-laki setengah baya ke arah Rangga. Mereka semua berdiri di depan Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan masa bodoh saja.

"Kelinci pemberianmu enak sekali, Nisanak. Terima kasih," ucap Rangga, ringan sekali suaranya

"Kisanak, kaukah yang tadi membantu kami?" langsung saja Raden Nadara memberi pertanyaan.

"Aku hanya sekedar membalas kebaikanmu saja," sahut Rangga enteng.

"Terima kasih, hanya saja aku menyesalkan karena jatuhnya banyak korban," pelan sekali nada suara Raden Nadara.

"Huh! Kakang selalu saja begitu. Sudah tahu mereka ingin membunuh kita!" dengus Ranti.

Rangga menatap gadis itu sejenak, kemudian berdiri.

"Tampaknya mereka juga para prajurit. Kenapa menyerang teman sendiri?" tanya Rangga ingin tahu.

"Mereka bukan prajurit, tapi manusia setan!" dengus Ranti menyerobot.

"Ranti...," Raden Nadara mengerdipkan matanya pada gadis itu

"Memang kenyataannya...? Aku tidak mau menutup-nutupi kebusukan! Toh, akhirnya akan tercium juga," sentak Ranti ketus.

"Tapi kau tidak boleh...."

"Dia telah menyelamatkan nyawa kita, Kakang. Apa salahnya jika kita memberitahu...."

"Ranti...!" bentak Raden Nadara cepat.

Ranti langsung diam. Wajahnya memberengut, kemudian membalikkan tubuhnya. Gadis itu berjalan cepat menghampiri kudanya yang tengah merumput di tepian sungai kecil yang airnya berubah merah, karena beberapa tubuh bersimbah darah tenggelam di sana.

"Maaf, adikku manja sekali. Tapi belum pernah dia cepat tersinggung begitu," ucap Raden Nadara.

"Tidak apa...," desah Rangga seraya mengangkat sedikit bahunya.

Raden Nadara tersenyum tipis, kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti lebih dekat lagi. "Aku ingin sedikit bicara denganmu. Boleh?" kata Raden Nadara.

Kembali Rangga mengangkat bahunya, lalu mengayunkan kakinya begitu Raden Nadara melangkah menjauhi empat orang laki-laki berusia setengah baya yang selalu mendampinginya. Keempat laki-laki itu kemudian memberi perintah pada sisa prajurit yang masih hidup untuk bersiap-siap. Dengan keadaan lesu dan kelelahan, mereka menyiapkan kuda yang tidak beraturan tempatnya. Juga, dikumpulkannya peralatan yang berserakan di antara mayat-mayat bergelimpangan.
***

"Aku tahu, kau bukan orang sembarangan. Kau pasti seorang pendekar. Saat ini kami memang membutuhkan seseorang yang bisa diandalkan," jelas Raden Nadara.

"Ah! Aku hanya orang biasa saja," Rangga merendah.

"Begini, Kisanak. Jika kau bersedia mengawalku sampai ke Kerajaan Karang Setra, aku janji akan memberimu hadiah dan kedudukan yang tinggi di istana," Raden Nadara langsung pada pokok pembicaraan.

Rangga jadi tertegun begitu mendengar Karang Setra disebut. Hatinya jadi bertanya-tanya sendiri. Ada sesuatu yang menarik hatinya, terlebih lagi tujuan mereka ke Kerajaan Karang Setra.

"Aku tidak memaksamu, Kisanak. Jika kau tidak bersedia pun tidak apa-apa. Kau boleh menentukan keputusan sendiri," sambung Raden Nadara.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa kau ke Karang Setra?" tanya Rangga tidak bisa menahan keingintahuannya.

"Maaf, Kisanak. Sayang sekali hal itu tidak boleh diberitahukan siapa saja. Aku membawa pesan khusus dari Ayahanda Prabu untuk disampaikan secara pribadi pada Gusti Prabu Rangga.... Hm, namamu persis sekali dengan Raja Karang Setra, Kisanak."

"Ah, hanya kebetulan saja," buru-buru Rangga menutupi rasa keterkejutannya.

"Yaaah.... nama memang bisa saja sama," desah Raden Nadara.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Hatinya bersyukur, karena tidak ada yang mengenali kalau sebenarnya dia sendirilah Raja Karang Setra. Memang dalam keadaan seperti ini, orang biasanya mengenalnya sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Seorang pendekar muda yang terlepas dari segala keterkaitannya dengan urusan Kerajaan Karang Setra.

Sedangkan Rangga sendiri memang jarang berada di istana. Dia lebih senang hidup di alam bebas, mengembara, berpetualang di dalam kerasnya rimba per-llatan. Baginya, lebih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di alam bebas, daripada di dalam istana sendiri. Memang tak ada yang bisa dilakukannya jika harus diam dalam lingkungan benteng istana.

Hanya saja, pengembaraan itu menuntutnya selalu jauh dari Karang Setra sendiri. Padahal dia ingin melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Tapi, kesempatan untuk selalu dekat dengan rakyat biasa, seperti terampas oleh berbagai macam petualangan yang tidak akan pernah berakhir sampai usia menggerogoti kehidupan.

"Bagaimana, Kisanak?" nada suara Raden Nadara seperti mendesak.

"Hm..., apakah prajurit-prajurit itu tidak cukup?" tanya Rangga belum bisa memutuskan.

"Sebenarnya cukup. Apalagi ada dua orang patih dan dua panglima menyertaiku. Tapi...," kata-kata Raden Nadara terputus, seperti ada sesuatu yang sangat dirahasiakan. "Ah, sudahlah. Tidak seharusnya aku banyak bicara padamu, Kisanak. Oh, ya. Terima kasih sekali lagi karena kau telah menolong kami."

Setelah berkata demikian, Raden Nadara membalikkan tubuhnya, dan berjalan menghampiri yang lain. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi, namun benaknya penuh digelayuti berbagai macam pertanyaan.

Raden Nadara melompat ke punggung kudanya yang dipegang salah seorang prajurit. Yang lain pun bergegas melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Sebentar pemuda itu memandang Rangga yang masih berdiri mengamari, kemudian menggebah kudanya. Dan rombongan yang jumlahnya sudah berkurang itu kemudian bergerak cepat, meninggalkan kepulan debu di angkasa.

Rangga masih berdiri mematung memandangi rombongan dari Kerajaan Kedung Antal yang semakin jauh meninggalkan tempat ini. Arah yang dituju memang jelas ke Selatan, dan itu menuju ke Kerajaan Karang Setra. Namun, paling tidak masih membutuhkan waktu dua pekan untuk sampai di sana dengan berkuda.

"Hm.... Pasti ada sesuatu di Kerajaan Kedung Antal, sehingga Prabu Raketu mengirim utusan ptibadi...," gumam Rangga pelahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengalihkan pandangannya ke arah Utara. Di balik Gunung Anjar ini, terletak Kerajaan Kedung AntaL. Sebuah kerajaan yang sangat besar, dan terkenal dengan ketangguhan angkatan perangnya. Sehingga, tidak sedikit kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya yang bernaung di bawah kerajaan itu. Bahkan banyak pula yang dengan sukarela menggabungkan diri.

Rangga jadi teringat ketika dinobatkan sebagai raja pertama di Karang Setra. Prabu Raketu adalah tamu undangan yang pertama kali datang, dan memberi restu serta hadiah yang sangat indah. Sebuah kereta kencana yang ditarik delapan ekor kuda putih. Kini, sepertinya Prabu Raketu sedang mendapatkan kesulitan, sehingga mengirimkan kedua anaknya untuk melakukan tugas khusus ke Karang Setra. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu belum tahu, apa maksud Raden Nadara dan Rata Ayu Ranti ke Karang Setra.

"Sebaiknya aku langsung saja ke Kedung Antal. Toh di istana ada Adi Danupaksi," Rangga mengambil keputusan.

Setelah memantapkan hatinya, Pendekar Rajawali . Sakti langsung berlari cepat meninggalkan Kaki Gunung Anjar ini. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sebentar saja Kaki Gunung Anjar sudah tertinggalkan. Namun mendadak saja, dia berhenti berlari. Pandangannya lurus ke arah Utara.

"Huh! Bodohnya aku ini...! Perlu lima hari untuk sampai ke sana jika dengan cara begini...!" dengus Rangga pada dirinya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Sunyi.... Tak ada seorang pun terlihat di sekitarnya. Hanya pepohonan dan padang Ilalang yang tampak. Rangga tersenyum, lalu menarik napas dalam-dalam. Kepalanya terdongak tegak, menatap langit, kemudian bersiul nyaring melengking tinggi dengan irama yang aneh terdengar di telinga.

"Suiiit...!"

Rangga masih berdiri tegak sambil mendongakkan kepala menatap langit. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan bersiul sekali lagi. Kepalanya tetap tegak memandangi langit yang cerah tanpa awan sedikit pun menggantung. Lama Juga menunggu, tapi akhirnya bibirnya tersenyum juga, saat melihat satu titik hitam di angkasa. Makin lama, titik kecil itu semakin membesar, dan terlihat jelas bentuknya. Tampak seekor burung rajawali berwarna keperakan melayang menuju ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Terbangnya cepat sekali bagaikan kilat saja layaknya.

"Khraaaghk...!"

"Rajawali, kesini...!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.

Burung rajawali raksasa itu menukik deras, lalu mendarat manis di depan Rangga. Dia berkaokan beberapa kali sambil mengembangkan sayapnya yang lebar. Bergegas Rangga menghampiri, lalu memeluk leher burung raksasa itu. Rangga memang selalu memeluk burung itu jika bertemu.

"Khraaaghk...!"

"Rajawali, tolong antarkan aku ke Kerajaan Kedung Antal. Tidak jauh, letaknya di balik Gunung Anjar ini," kata Rangga memberitahu.

"Khraghk!"

Rajawali Putih mengepakkan sayapnya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku tidak tahu, apa yang terjadi di sana, Rajawali Putih. Tapi, tampaknya gawat sekali," kata Rangga sepertinya mengetahui maksud burung rajawali raksasa itu.

Rajawali Putih menyorongkan kepalanya ke depan, lalu mematuk tanah tiga kali Rangga mengamati tingkah burung raksasa itu penuh perhatian.

"Iya, aku tahu. Tapi kalau keadaan terpaksa, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku perlu sekali bantuanmu, Rajawali. Mungkin kafi ini kau juga harus terjun langsung," ujar Rangga lagi.

"Khraghk...!"
***
DUA
"Khraghk...!"

Rajawali Putih melayang-layang di angkasa Kerajaan Kedung Antal. Sudah tiga kali burung raksasa itu memutari seluruh kota kerajaan itu, tapi Rangga yang berada di punggungnya belum juga memerintahkan turun. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip meneliti setiap sudut wilayah Kota Kerajaan Kedung Antal.

"Ke istana, Rajawali Tapi jangan terlalu rendah," pinta Rangga.

"Khraghk...!"

Rajawali Putih melesat cepat menuju bangunan istana yang tampak megah dikelilingi tembok tinggi dari batu tebal membentuk sebuah benteng. Burung raksasa itu memutari angkasa Istana Kedung Antal. Ketinggian terbangnya selalu dijaga agar tidak menarik perhatian orang yang berada di sekitar benteng istana itu.

Sementara Rangga yang berada di punggung burung raksasa itu, mengerahkan aji 'Tatar Netra' yang digabungkan dengan aji 'Mata Dewa'. Maksudnya, agar dapat melihat lebih jelas dari jarak yang sangat tinggi itu. Dengan menggabungkan kedua ajian itu, tidak ada masalah bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk dapat melihat jelas meskipun dalam jarak yang sangat jauh.

"Hm..., tidak ada yang mencurigakan disini Keadaannya cukup tenang, bahkan penjagaan pun tidak terlalu ketat. Sepertinya rakyat bebas keluar masuk tanpa ada pemeriksaan sama sekali," gumam Rangga perlahan.

Rangga menepuk leher burung raksasa itu. Rajawali Putih yang sudah bisa mengerti maksudnya, langsung saja terbang menjauh dari istana itu. Cepat sekali burung itu meluncur, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah berada di luar Kota Kerajaan Kedung Antal itu.

"Turun di sana, Rajawali!" seru Rangga seraya menunjuk sebuah danau.

"Khraghk...!"

Rajawali Putih menukik deras, kemudian manis sekali mendarat di tepi danau. Keadaan di danau kecil Ini sepi sekali. Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Rangga cepat melompat turun. Diedarkan pandangannya ke sekeliling sejenak, seakan-akan ingin memastikan kalau tidak ada seorang pun yang melihat.

"Kau boleh tinggalkan aku di sini, Rajawali. Aku yakin, ada sesuatu di kerajaan ini. Aku pasti akan memanggilmu lagi. Jangan terlalu jauh dari sini," kata Kangga seraya berpesan.

"Khraghk!"

Sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah melambung ke angkasa Rangga memandangi burung raksasa itu sampai lenyap di angkasa. Dia masih berdiri di tepi danau seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau di sekitar tempat ini ada seseorang yang memperhatikannya. Atau mungkin juga lebih dari satu orang. Belum juga Rangga memastikan lebih jauh, tiba-tiba saja....

Swing!
"Hap!"
Tap!

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya ketika melihat sebuah benda meluncur deras bagai kilat ke arahnya. Dan tahu-tahu, di jari tangannya sudah terjepit sebatang anak panah. Rangga belum juga sempat berpikir jauh, kembali sebatang anak panah meluncur deras, dan kali ini mengarah dada.

Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan tubuhnya ke kanan, lalu secepat itu pula melenting bagaikan seekor burung rajawali. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu melesat dan tahu-tahu sudah menembus segerumbul semak ilalang, tempat dua batang anak panah tadi berasal.

"Jangan...!"

"Heh...?!"

Rangga terkejut mendengar teriakan keras itu, ketika masuk ke dalam semak ilalang. Kepalan tangannya yang sudah terangkat, jadi terhenti. Kedua matanya terbeliak ketika melihat seorang gadis berwajah cantik tergeletak terjajar dan perutnya ditekan oleh lutut Pendekar Rajawali Sakti itu. Bergegas Rangga melompat bangkit

"Ranti...! Apa yang kau lakukan di sini...?" sentak Rangga terkejut begitu mengenali gadis itu.

"Huh!" gadis itu mendengus seraya bangkit berdiri

Ranti mengibaskan debu dan rerumputan kering yang mengotori bajunya. Dengan wajah memberengut kakinya melangkah keluar dari semak itu. Rangga mengikuti dengan benak bertanya-tanya. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti sangat terkejut melihat Ranti berada di tempat ini. Padahal setahunya, gadis itu bersama-sama Raden Nadara dan rombongannya.

"Kenapa berada di sini? Bukankah kau bersama-sama kakakmu...?" tanya Rangga langsung.

"Huh! Apa pedulimu?" dengus Ranti ketus.

"Jelas aku peduli, karena kau baru saja hampir membunuhku!" sentak Rangga sengit juga jadinya.

Ranti membalikkan tubuhnya. Matanya menatap tajam, langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Sesaat Rangga jadi terkesiap. Sungguh tajam tatapan gadis itu, seakan-akan hendak menembus jantung.

"Di mana kakakmu?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu!" sahut Ranti ketus.

Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar keheranan! Bagaimana mungkin gadis ini bisa sampai dalam waktu cepat? Sedangkan Rangga baru dua hari berada di wilayah Kerajaan Kedung Antal ini. Untuk mencapai wilayah kerajaan ini dari Kaki Gunung Anjar sebelah Selatan, dibutuhkan waktu paling tidak lima hari perjalanan berkuda. Sedangkan baru dua hari, Ranti sudah berada di sini. Dan entah sudah sejak kapan? gadis itu berada di sini.

"Kau pasti heran, bagaimana aku bisa sampai di tempat ini begitu cepat" kata Ranti seraya tersenyum tipis. "Memangnya kau saja yang bisa? Kau punya burung rajawali raksasa, tapi aku tidak. Itu berarti kau masih kalah bila dibandingkan denganku."

Rangga hanya mendengus saja. Memang sudah diduga kalau Ranti melihatnya tadi bersama Rajawali Putih. Namun dia masih belum mengerti, bagaimana gadis itu bisa sampai di sini. Bahkan sepertinya sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti itu akan berada di tempat ini.

"Untuk apa kau datang ke Kerajaan Kedung Antal ini?" tanya Ranti ketus. Begitu dingin sekali nada suaranya.

"Itu urusanku," sahut Rangga jadi ikut ketus juga.

"Kau masuk tanpa ijin, dengan cara menyelinap seperti maling. Kau bisa dihukum gantung, Kisanak," ancam Ranti tegas.

"Siapa yang akan menghukumku? Kau...?" tantang Rangga.

"Bukan aku. Tapi coba lihat sekelilingmu."

Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti begitu memandang sekelilingnya. Sungguh tidak disangka kalau di sekitarnya sudah banyak orang menunggu, dan semua telah siap melepaskan anak panah kearah sasaran. Mereka tinggal menunggu aba-aba

"Ha ha ha...! Ternyata aku lebih cerdik darimu, Kisanak," Ranti tertawa terbahak-bahak.

Rangga hanya mendesis kecil. Dalam hati, memang diakui kecerdikan gadis ini. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rasanya tidak ada lagi tempat untuk bisa keluar dari daerah ini. Setiap penjuru memang sudah terkepung rapat oleh orang berpakaian prajurit yang sudah siap dengan panah.

Mungkin Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menghadapi hujan panah. Tapi rasanya tidak yakin akan berhasil. Meskipun memiliki ilmu meringankan tubuh sempurna yang ditambah tingkatan kepandaian tinggi, dia tidak akan mungkin bisa selamanya menghindari serbuan panah dari segala penjuru.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Kisanak. Tidak ada gunanya melakukan perlawanan. Kau akan mati konyol di sini. Mereka adalah ahli senjata panah. Mereka prajurit pilihan yang sudah berpengalaman di medan tempur," kata Ranti penuh kemenangan.

"Kau keliru jika menganggap begitu, Ranti," desis Rangga dingin.

"Oh..., jadi kau ingin mencoba kemahiran mereka menggunakan panah? Baik! Rasakan akibat kekerasan kepalamu!"

Ranti langsung melompat mundur. Dan seketika itu juga ratusan anak panah meluncur berdesingan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Bukan main terkejutnya pemuda berbaju rompi putih itu, karena ternyata Ranti tidak main-main. Maka Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya, berlompatan sambil cepat mengibaskan tangannya.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Tidak terhitung lagi, berapa anak panah yang rontok terkena kibasan tangan Rangga yang bergerak cepat mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Juga tidak sedikit anak panah yang lewat begitu saja di sekitar tubuhnya. Namun panah-panah itu seperti tidak pernah habis, dan terus berdesingan bagaikar hujan.

Rangga memang masih sanggup mempertahankan diri dari serbuan anak panah ini. Tapi jika selamanya seperti ini, rasanya tidak akan mungkin mampu bertahan. Sedangkan panah-panah itu terus berdesingan di sekitar tubuhnya. Maka dengan cepat diputar tubuhnya seraya merapatkan tangan di depan dada. Lalu dengan cepat sekali tangannya merentang ke samping, dan tubuhnya semakin cepat berputar bagai gasing.

"Aji 'Bayu Bajra'. Yeaaah...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring melengking.

Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berhenti berputar. Kini kedua kakinya terpentang lebar dengan telapak tangan menyatu rapat di depan dada. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di sekitar danau kecil itu bertiup angin dahsyat, memperdengarkan suara menderu bagai topan.

Seketika panah-panah itu berhamburan sebelum mencapai tubuh pemuda berbaju rompi putih itu Tak lama berselang, terdengar teriakan-teriakan melengking tinggi. Sebentar kemudian terlihat tubuh-tubuh berpentalan ke udara, terhempas tiupan angin topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti.

Bahkan pohon-pohon dan bebatuan mulai beterbangan ke segala arah. Aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti memang sungguh dahsyat. Bahkan bumi bagaikan bergetar seperti terjadi gempa, dan permukaan air danau bergolang menimbulkan deburan keras bagai gelombang samudra.

"Yeaaah...!" kembali Rangga berteriak nyaring. Seketika dihentakkan tangannya ke samping, lalu dengan keras sekali ditepuk ke atas kepala. Saat itu juga, angin topan yang diciptakannya berhenti. Seluruh daerah di sekitar danau kecil ini porak-poranda, bagaikan baru saja diamuk ribuan gajah. Pohon-pohon bertumbangan, tercabut dari akarnya.

Tampak tubuh-tubuh berseragam prajurit bergelimpangan tak tentu arah. Bahkan beberapa ada yang terhimpit batang pohon, atau kepalanya remuk tertindih batu. Juga tidak sedikit yang bergelimpangan sambil merintih kesakitan. Sekitar tempat itu jadi dipenuhi suara rintihan kesakitan dari para prajurit yang terluka akibat terkena serbuan angin topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm...," Rangga bergumam kecil. Tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti itu langsung tertuju pada sosok gadis cantik yang masih berdiri tegak di tempatnya. Bahkan gadis itu menyunggingkan senyuman yang sinis sekali. Sepertinya dia tidak terpengaruh sama sekali pada aji 'Bayu Bajra' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Saka tadi.

"Mengagumkan.... Sungguh dahsyat ilmu yang kau miliki, Kisanak," puji Ranti.

"Terima kasih," sambut Rangga.

"Tapi sayang, ilmu yang kau miliki belum berarti apa-apa bagiku," kata Ranti lagi.

"Aku juga mengakui ketangguhanmu, Ranti. Tapi maaf, prajuritmu tidak bisa menguasai diri," Rangga menoleh.

"Meskipun mereka prajurit pilihan, tapi memang bukan tandinganmu."

"Mereka cukup tangguh dan mahir menggunakan senjata panah," Rangga mengakui.

Pendekar Rajawali Sakti itu memang kagum pada kemahiran para prajurit itu menggunakan senjata panah tadi. Hampir-hampir saja serangan panah tadi tidak sanggup dihadapinya. Memang dia menggunakan aji 'Bayu Bajra' itu karena terpaksa. Tak ada pilihan lain lagi, meskipun tahu akibatnya akan parah. Bukan saja bagi mereka, tapi juga pada lingkungan sekitarnya. Itu sebabnya Rangga jarang sekali menggunakan ajian yang satu ini, kalau tidak benar-benar terdesak,

"Sekarang kau harus berhadapan langsung dennganku, Kisanak. Bersiaplah...! Hiyaaat..!"

Cepat sekali gadis itu melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti sambil melontarkan empat pukulan beruntun sekaligus. Dan Rangga hanya mengegoskan tubuhnya menghindari serangan gadis itu. Namun sebelum bisa berbuat sesuatu, Ranti sudah kembali menyerangnya dengan dahsyat. Pukulan-pukulannya mengandung tenaga dalam tinggi. Dan setiap angin pukulannya menimbulkan hawa panas, di samping hempasan angin keras.

"Hap! Hap! Yeaaah...!"

Rangga langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang paling sering digunakan dalam satu pertarungan awal. Dengan jurus ini bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian lawannya. Memang jurus ini tidak dikhususkan untuk menyerang, tapi hanya untuk menghindari serangan lawan. Meskipun demikian, bisa juga digunakan untuk menyerang. Tapi hanya sesekali saja. Itu pun hanya serangan tipuan yang tidak berbahaya sama sekali.

Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang aneh sekali. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan karet, meliuk-liuk dengan gerakan lambat namun sukar ditembus pertahanannya. Bahkan kadang-kadang gerakannya seperti-ingin jatuh, persis seperti orang mabuk, kebanyakan minum arak. Beberapa kali serangan yang dilancarkan Ranti hampir mengenai sasaran, namun dengan manis sekali Rangga selalu dapat berkelit Tentu saja hal ini membuat Ranti jadi gusar.

"Setan...!" dengus Ranti sengit.

Gadis itu melompat mundur. Lima jurus sudah dihabiskan, tapi belum juga bisa menyentuh tubuh lawannya Bahkan menyentuh ujung rambutnya saja, tidak berhasil. Beberapa kali dia mendengus seraya menyemburkan ludah. Matanya memerah, menandakan telah menyimpan kemarahan yang amat sangat.

"Jangan harap bisa mempermainkan aku dengan Jurus kacangan itu, Kisanak!" dengus Ranti sengit.

"Asal tahu saja, aku tidak ada minat bertarung denganmu. Kau terlalu cantik untuk dilukai, Ranti," sengaja Rangga memanasi gadis itu.

"Phuih! Kau pikir aku suka dengan pujianmu?" dengus Ranti, memerah wajahnya.

"Tapi kau benar-benar cantik, rasanya aku...."

"Keparat...! Hiyaaa...!"

Ranti tak dapat lagi menahan kemarahannya. Wajahnya benar-benar memerah bagai kepiting rebus. Gadis itu langsung saja melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu. Membuat kata-kata Rangga terputus sebelum terselesaikan.

Serangan-serangan yang dilancarkan Ranti kali ini sungguh dahsyat luar biasa. Rupanya gadis itu mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya. Dan Rangga harus hati-hati menghadapinya. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mengambil resiko jika mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Pertarungan pun berjalan semakin sengit. Ranti mengeluarkan jurus-jurus andalan dahsyat dan berbahaya sekali. Sedikit saja kelengahan akan berakibat parah buat Rangga. Dan itu memang terjadi ketika Rangga baru saja terlepas dari serangan yang mengarah ke kepala. Tanpa diduga sama sekali, Ranti menyodok bagian dada. Gadis itu tidak menghiraukan lagi pertahanannya. Dan ini membuat Rangga terkejut setengah mati. Cepat Rangga mengebutkan tangannya.

Des!

"Hup...!"

Pendekar Rajawali Sakti itu melenting sejauh dua batang tombak ke belakang. Dua kali dia berjumpalitan di udara. Kedua kakinya berhasil mendarat manis sekali. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang gadis itu.

Sodokan tangan Ranti memang begitu keras, dan mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Rangga merasakan adanya getaran kuat pada telapak tangannya. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir jauh, tiba-tiba saja Ranti sudah kembali cepat menyerang.

"Hiyaaa...!"

Rangga terbeliak kaget. Serangan gadis itu sungguh cepat luar biasa. Padahal, dia sendiri belum sempurna menguasai pernapasannya. Dan sebelum bisa berbuat sesuatu, satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, kembali dilontarkan gadis itu.

Beghk!

"Aaakh...!" Rangga memekik keras melengking.

Pukulan yang bersarang di dada Pendekar Rajawali Sakti itu dahsyat sekali, sehingga membuat tubuhnya terpental jauh ke udara. Pada saat itu, Ranti sudah melentingkan tubuhnya mengejar dengan kecepatan kilat

"Hiyaaat...!"

Des!

Bughk!

Dua kali Ranti menyarangkan pukulan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sedang meluncur deras di udara. Hal ini membuat pemuda berbaju rompi putih Itu semakin tidak bisa menguasai keadaan tubuhnya. Dia semakin jauh terpental tanpa dapat manguasai diri iagi. Bahkan dengan deras sekali, tubuhnya meluncur turun ke bawah.

"Khraghk...!"

Wus!

Namun sebelum tubuh Rangga menghantam tanah, mendadak saja dari angkasa meluncur Rajawali Putih dengan kecepatan sangat tinggi. Cakar burung raksasa itu langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawati Sakti, dan membawanya melambung tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga Ranti yang kini sudah berpijak di tanah, jadi terlongong.

"Keparat...!" dengus Ranti menggeram. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke atas, memandang burung rajawali raksasa yang semakin jauh mengangkasa membawa Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya menghentak-hentak kesal. Dari bibirnya yang mungil, keluar gerutuan dan makian bercampur kemarahan.

"Suit...!" tiba-tiba saja Ranti bersiul nyaring. Sebentar kemudian, terdengar suara ringkik kuda. Kemudian disusul munculnya seekor kuda putih berkilat, bertubuh tinggi tegap, dengan otot-otot bersembulan. Kuda putih yang gagah itu, meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu sampai di depan Ranti.

"Hup!"

Ranti langsung melompat naik ke punggung kuda putih itu. Sungguh manis dan ringan sekali gerakannya.

"Hiyaaa...!"

Begitu Ranti menghentakkan tali kekang kuda, seketika itu juga kuda berbulu putih itu meringkik keras, lalu melesat cepat bagai kilat. Debu mengepul di udara saat kuda putih itu berpacu cepat meninggalkan tepian danau yang porak-poranda tak karuan lagi bentuknya.

"Hiya! Hiyaaa!"

Ranti terus menggebali kudanya semakin kencang dan semakin jauh meninggalkan tepian danau, Cepat sekali kuda putih itu berpacu. Dalam waktu tidak berapa lama, kuda putih itu sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Hanya gumpalan debu yang teriihat membumbung tinggi ke angkasa.
***
TIGA
"Ohhh...." Rangga menggeliatkan tubuhnya, sambil merintil lirih. Pelahan dibuka kelopak matanya. Pendeka Rajawali Sakti ingin bangkit, tapi seluruh tubuhnya seperti remuk, dan kepalanya terasa berputar saat mencoba mengangkat kepalanya. Setelah rasa pening mulai menghilang, pelahan-lahan tubuhnya digerakkan lalu duduk bersila.

"Uh...!" Rangga mengeluh. Rangga merasakan napasnya begitu sesak, dan seluruh rongga dadanya seperi remuk. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu memejamkan matanya. Pelahan-lahan ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan kuat-kuat. Beberapa kali dia melakukan hal yang sama, sampai rongga dadanya terasa longgar

"Aaahhh...," Rangga mendesah panjang sambi membuka matanya pelahan-lahan.

Pendekar Rajawali Sakti Itu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, untuk mengerahkan hawa murni. Kemudian ditariknya napas panjang, lalu pelahan-lahan dihembuskan melalui mulut. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada.

"Yaaah...!" Sambil berteriak nyaring, Rangga menghentakkan tangannya hingga merentang ke samping. Kemudian tangannya bergerak ke atas dan ke bawah pelahan, semakin lama semakin bertambah cepat. Sesaat kemudian. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat bangkit berdiri. Kembali dirapatkan tangannya turun sehingga sejajar tubuh.

"Huuuh...!" desah Rangga menghembuskan nafas panjang. Setelah melakukan beberapa gerakan disertai pengerahan hawa murni, Rangga merasakan tubuhnya kembali segar. Dan napasnya pun sudah kembali berjalan teratur. Namun, titik-titik keringat terlihat membanjiri seluruh wajah dan lehernya. Rupanya tadi dia berusaha sekuat daya untuk mengusir rasa sakit di dada.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Baru disadari kalau dirinya berada di dalam sebuah gua yang sangat besar dan lapang. Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah ke luar. Seketika hatinya tertegun begitu melihat Rajawali Putih mendekam di samping mulut gua ini.

"Khraghk!" Rajawali Putih mengepakkan sayapnya sambil berkaokan keras. Rupanya burung Itu ingin menyambut gembira kedatangan Rangga yang bisa putih kembali seperti sediakala. Rangga menghampiri burung rajawali raksasa itu. Langsung diulurkan tangannya, lalu dipeluknya leher burung raksasa itu.

"Terima kasih, Rajawali Putih," ucap Rangga] setengah berbisik.

"Kherrrkh...!" Rajawali Putih mengkirik lirih.

Rangga melepaskan pelukannya. Sebentar diperhatikannya burung raksasa itu, kemudian dialihkan pandangannya ke ujung jari kakinya. Tampak ada tiga butir batu kerikil yang tertata rapi. Kembali dipandangnya Rajawali Putih. Saat itu Rangga langsung tahu kalau dirinya sudah tiga hari berada di sini. Jadi, selama itu pula dia tidak sadarkan diri.

Rangga mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya, sehingga sampai tidak sadarkan diri begitu. Kini Pendekar Rajawali Sakti ingat kalau tiga hari yang lalu bertarung dengan Ranti, seorang gadis cantik putri bungsu Prabu Raketu. Rangga mengakui ketangguhan gadis itu. Tapi dia terlalu mengalah.

Namun ada sesuatu yang tidak bisa dimengerti Pendekar Rajawali Sakti itu, yakni mengapa Ranti menyerangnya. Bahkan ingin membunuhnya. Lagi pula ketika berpisah dengan rombongan gadis itu, jaraknya terlalu jauh. Dan rasanya tidak mungkin Ranti bisa datang secepat itu

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Terlalu banyak pertanyaan melintasi benaknya, namun tidak mudah dicari jawabannya. Penyelidikkan di Kerajaan Kedung Antal, terpaksa terputus gara-gara Ranti yang begitu bernafsu ingin mengalahkannya. Meskipun gadis itu tidak menyebut nama Rangga ataupun nama Pendekar Rajawali Sakti, tapi pemuda berbaju rompi putih itu sudah bisa menebak kalau Ranti sudah tahu banyak tentang dirinya.

"Rajawali, antarkan aku kembali ke Kerajaan Kedung Antal," pinta Rangga.

"Khraghk...!"

"Hup!"

Rangga langsung melompat naik ke punggung linriing rajawali raksasa itu. Sekali mengepakkan sayapnya, burung rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke angkasa. Rangga berpegangan erat pada leher burung rajawali raksasa itu. Ada rasa nyeri pada dadanya, Ketika Rajawali Putih melesat ke angkasa. Langsung disadari, kalau luka dalam di dadanya belum sembuh benar.

"Hhh! Tenaga dalam Ranti luar biasa sekali...!" keluh Rangga dalam hati. Sementara Rajawali Putih terus meluncur menuju Kerajaan Kedung Antal. Hanya sekali-sekali sayapnya mengepak, namun kecepatan terbangnya sungguh luar biasa.
***

Rangga mengayunkan kakinya melintasi jalan berdebu yang cukup lebar, membelah Kota Kerajaan Kedung Antal. Siang ini begitu terik, tapi tidak menghalangi kesibukan kota yang selalu ramai ini. Sepertinya jalan ini tidak pernah sepi. Pejalan kaki, penunggang kuda, maupun gerobak sapi, berbaur menjadi satu. Keramaian semakin terasa oleh teriakan-teriakan para pedagang yang berusaha menjaring pembeli.

Rangga menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon asam yang cukup rimbun daunnya. Di situ seorang penjual dawet tengah duduk terkantuk menunggu pembeli. Laki-laki tua penjual dawet itu langsung terbangun saat Rangga berada di sampingnya.

"Ingin minum dawet, Den...?" laki-laki tua itu menawarkan.

"Bolehlah. Buatkan satu," sahut Rangga.

Laki-laki tua penjual dawet itu tersenyum. Dengan cekatan sekali dilayaninya pembeli. Sedangkan Rangga asyik memperhatikan sebuah bangunan besar yang dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Itulah bangunan Istana Kedung Antal. Terlihat di sana hanya ada dua orang penjaga pintu gerbang benteng istana itu.

"Ini dawetnya, Den."

"Oh...!" Rangga tersentak kaget

Buru-buru diterimanya gelas berisi minuman dawet Gelas yang terbuat dari bambu lodong yang dihaluskan, dengan sedikit hiasan dari rotan. Sedikit Rangga menghirup minuman khas rakyat itu, tetap cukup terasa segar di tenggorokan.

"Tampaknya Raden baru saja menempuh perjalanan jauh," kata laki-laki tua penjual dawet itu.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.

"Pasti Raden juga bukan orang sini," tebak penjual itu lagi.

Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Tebakan laki-laki tua penjual dawet itu memang tepat sekali. Dan Rangga memuji kejelian mata laki-laki tua ini. Tapi keadaan tubuhnya yang kotor berdebu, memang membuat siapa saja pasti bisa menebak kalau dirinya baru saja melakukan perjalanan jauh.

"Kalau boleh Bapak tahu, ke mana tujuannya, den" kembali laki-laki tua itu bersuara.

"Ke istana itu," sahut Rangga seenaknya.

"Ke istana...?!" laki-laki tua itu nampak terkejut

"Kenapa Bapak terkejut?" tanya Rangga heran juga.

"Tidak apa-apa, Den," sahut laki-laki tua itu buru-buru. "Tapi untuk apa datang ke istana, Den?"

"Hanya sekedar melihat-lihat saja. Kabarnya Prabu Raketu orang yang bijaksana, sehingga selalu mengijinkan rakyatnya untuk bertemu kapan saja," kata Rangga beralasan.

"Memang benar. Den. Tapi itu dulu...," agak terputus nada suara laki-laki tua itu.

"Lho! Memangnya sekarang sudah berubah?" Rangga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Sebenarnya belum berubah sama sekali, Den. Masih banyak Juga rakyat yang datang ke sana. Tapi mereka yang datang, tidak bisa bertatap muka dengan Gusti Prabu lagi, sejak...," kembali ucapan laki-laki tua llu terputus.

Rangga menatap dalam-dalam bola mata tua yang cekung ke dalam itu. Dirasakan ada sesuatu yang tampaknya sangat dirahasiakan, terutama tentang Prabu Raketu.

"Ah! Tidak baik membicarakan seorang raja Den," kata laki-laki tua itu lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Sayang sekali. Padahal, jauh-jauh aku datang hanya ingin bertemu dan melihat saja wajah Prabu Raketu," desah Rangga memancing.

"Percuma saja, Den. Kemarin saja Bapak mencoba masuk. Tapi ditunggu sampai sore, Gusti Prabu tidak muncul juga. Malah Gusti Patih Karuni yang menemui dan memberitahukan kalau Gusti Prabu tidak bisa keluar," jelas laki-laki tua itu.

"Kenapa Prabu Raketu tidak ingin keluar?" tanya Rangga semakin ingin tahu.

"Entahlah, Den. Tapi menurut cerita yang Bapa dengar, Gusti Prabu sedang sakit," sahut laki-laki tu itu lagi.

"Sakit...?" gumam Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

Rangga kembali memandangi bangunan istana yang terlihat sangat megah Itu. Keterangan yang diperoleh dari penjual dawet ini sangat berharga sekali meskipun tidak lengkap dan belum tentu kebenarannya. Tapi keterangan dari seorang rakyat biasa, biasanya bisa dipercaya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan Rangga adalah, apakah memang benar Prabu Raketu sakit..? Kalau memang benar, lalu untuk apa kedua anaknya diutus untuk datang ke Karang Setra? Yang lebih mengherankan, mengapa rombongan utusan khusus itu diserang orang-orang berpakaian prajurit dari Kerajaan Kedung Antal ini juga?

Terialu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu, namun tak satu pun yang bisa dijawab. Rangga menyerahkan kembali gelas bambu yang sudah kosong. Laki-laki tua penjual dawet itu menawarkan lagi, tapi Rangga menolak. Segera dibayar minuman tadi, kemudian langsung pergi.

Rangga mengayunkan kakinya mendekati gerbang istana itu. Sengaja Pendekar Rajawali Sakti datang secara terang-terangan, karena ingin mengetahui tanggapan para prajurit dan pembesar istana dengan kedatangannya. Pemuda berbaju rompi putih itu berhenti berjalan setelah sampai di depan pintu gerbang. Se-orang prajurit penjaga menghampirinya, lalu memberi salam penghormatan selayaknya seorang prajurit

"Adakah yang bisa kami bantu?" ramah sekali prajurit itu menyapa.

"Boleh hamba bertemu Gusti Prabu?" pinta Rangga juga sopan.

"Sayang sekali, hari Ini Gusti Prabu tidak bisa ditemui," sahut prajurit itu memberitahu.

"Kenapa?" tanya Rangga.

"Gusti Prabu sedang melaksanakan Semadi Tapa Brata. Jadi, tidak ada seorang pun yang diijinkan menemuinya, sebelum semadinya selesai," sopan sekali prajurit itu menjelaskan.

"Ah, sayang sekali..." desah Rangga seperti menyesali. 'Tapi, bolehkah hamba melihat-lihat ke dalam istana?"

"Maaf, larangan resmi sudah dikeluarkan. Siapa pun tidak diperbolehkan melihat-lihat istana lagi," kembali prajurit itu menjelaskan dengan sopan.

"Oh...! Sejak kapan peraturan itu berlaku?" tanya Rangga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Dua hari yang lalu. Maaf. Kami hanya menjalankan tugas. Sebaiknya Kisanak kembali saja ke sini setelah peraturan itu dicabut"

"Baiklah. Terima kasih."

Rangga membalikkan tubuhnya, lalu berjalan meninggalkan gerbang istana itu. Prajurit yang memberi keterangan dengan sikap sopan tadi, kembali menempati posnya. Sementara Rangga terus berjalan semakin jauh.

"Aneh...?" gumam Rangga dalam hati. Rangga memang merasakan adanya sesuatu keanehan. Peraturan yang dibuat Patih Karuni, sehari. Setelah Pendekar Rajawali Sakti itu bertarung dengan Ranti dan para prajurit di tepi danau sebelah Selatan Kerajaan Kedung Antal ini. Rangga jadi bertanya-tanya, apakah peraturan itu ada hubungannya dengan pertarungannya dengan Ranti...?

"Aku harus mengetahui keanehan di sini!" berkata Rangga dalam hati. "Aku merasakan ada ketidakberesan dalam istana itu. Aku kenal betul Prabu Raketu. Rasanya tidak mungkin dia membuat peraturan seperti itu, meskipun sedang melakukan Semadi Tapa Brata atau melakukan Semadi Pati Agni. Kedua macam semadi itu memang tidak bisa diganggu, bahkan dikit gangguan saja akan membatalkan semadinya. Hm.... Patih Karuni.... Siapa dia?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Rangga mencoba mengingat-ingat, tapi rasanya memang nama Patih Karuni belum pernah didengarnya. Hampir seluruh pembesar Kerajaan Kedung Antal ini dikenalnya, tapi yang namanya Patih Karuni belum dikenalnya sama sekali. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti Itu belum pernah berjumpa seluruh pembesar kerajaan, tapi nama-namanya sebagian besar sudah ia ketahui.

"Hm.... Aku harus memulai dari menyelidiki keadaan di dalam istana itu lebih dahulu," kembali Rangga bicara dengan dirinya sendiri.
***

Malam sudah begitu larut menyelimuti seluruh permukaan bumi Kerajaan Kedung Antal. Malam ini benar-benar gelap, karena tak terlihat bulan atau satu bintang pun menggantung dilangit. Angin berhembus cukup kencang, menebarkan udara dingin menggigil-kan. Namun di beberapa sudut kota, keramaian masih terlihat Terutama pada kedai-kedai minum dan rumah-rumah penginapan.

Pada salah satu kamar penginapan, terlihat Rangga tengah berdiri di depan jendela! kamarnya yang dibuka lebar-lebar. Angin yang berhembus kencang, membuat rambut Pendekar Rajawali Sakti itu meriap melambai-lambai. Pandangannya lurus tak berkedip mengamati bangunan istana yang tidak seberapa jauh dari rumah penginapan ini.

"Hm..., sekarang saatnya," gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan.

Slap!

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu melesat keluar dari kamarnya. Cepat sekali gerakan pemuda berbaju rompi putih itu. Dalam waktu sebentar saja, Rangga sudah nangkring di atas atap sebuah rumah Lalu kembali tubuhnya melesat cepat ke atas atap rumah lainnya lagi.

Rangga berlompatan ringan dan cepat tanpa sedikit pun menimbulkan suara. Dia hinggap dari satu rumah ke rumah lainnya, hingga sampai di bagian belakang benteng Istana Kedung Antal itu. Sebentar diamati sekitarnya, lalu kepalanya mendongak mengukur tingginya tembok benteng di depannya.

"Hup!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara dengan gerakan ringan. Manis sekali kakinya hinggap di bagian atas tembok benteng. Rangga merunduk, menekuk lututnya hingga sampai menyentuh bagian aras tembok. Sebentar diamati keadaan dalam benteng Ini.

"Sepi...," gumam Rangga. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melesat dan berputaran tiga kali sebelum kedua kakinya menjejak tanah. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba saja sebatang tombak panjang meluncur deras kearahnya. Sesaat Rangga terkesiap, kemudian cepat-cepat menarik tubuhnya ke samping sedikit miring.

Tombak itu lewat sedikit di depan dadanya. Rangga langsung menarik tubuhnya kembali, dan cepat merunduk ketika sebatang tombak lainnya meluncur deras mengarah ke kepala. Namun belum juga menarik kepalanya tegak, mendadak saja dari balik pohon dan tombok bangunan istana, bermunculan prajurit yang bersenjata tombak dan pedang.

"Huh!" dengus Rangga keras.

Para prajurit yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu, langsung berlompatan cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Teriakan-teriakan pembangkit semangat pertempuran terdengar membahana. Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindar dari pertempuran ini. Para prajurit itu cepat sekali menyerang dari segala penjuru.

Tak ada pilihan lain lagi. Maka Rangga langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Satu jurus ampuh dari rangkaian lima jurus rajawali sakti. Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu. Gerakan kakinya sungguh lincah nan cepat luar biasa, diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk seraya melontarkan pukulan-pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah! Hiyaaa...!"

"Aaakh...!"

Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut Setiap kali Rangga melontarkan pukulan, satu dua orang terpental ambruk disertai jeritan panjang melengking tinggi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, lebih dari separuh jumlah prajurit itu bergelimpangan sambil merintih kesakitan. Memang sengaja Rangga tidak memberi pukulan mematikan dan hanya melumpuhkan perlawanan para prajurit itu.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuhnya udara sambil berteriak nyaring. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu berjumpalitan di udara, lalu melunct deras ke arah atap bangunan istana Namun belum juga sampai, sebuah bayangan merah tiba-tiba meluncur deras ke arahnya.

"Uts...!"

Buru-buru Rangga memutar tubuhnya, lalu meluruk cepat ke bawah. Terjangan bayangan merah lewat di atas kepalanya. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan kakinya di tanah bayangan merah itu sudah cepat kembali menerjai nya.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat-cepat Rangga melompat ke samping saml memutar tubuhnya, sehingga terjangan bayangan merah itu kembali luput dari sasaran. Rangga segera bersiap dengan kaki terpentang lebar ketika bayangan merah itu berbalik cepat, dan langsung meluruk menerjangnya. Sedikit pun Rangga tidak bergerak. Bahkan begitu bayangan merah itu dekat, dengan cepat sekali dihentakkan kedua tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempuraan.

"Yeaaah...!"

Hughk!

Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi. Suara jeritan pun terdengar menggelegar memecah kesunyian malam itu. Tampak bayangan merah itu terpental sejauh tiga tombak ke belakang. Sedangkan Rangga sendiri terdorong enam langkah, namun keseimbangan tubuhnya cepat-cepat dikuasai. Pendekar Rajawali Sakti kembali bersiap menerima serangan berikut Namun bayangan merah yang ternyata seorang perempuan tua berjubah merah itu hanya berdiri saja dengan pandangan mata tajam memerah.

Sebentar Rangga mengamari perempuan tua berjubah merah itu. Dia menebak kalau usia perempuan tua itu sudah mencapai tujuh puluh tahun lebih. Bahkan mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun, rambutnya yang sudah memutih seluruhnya, dibiarkan meriap tak teratur hingga hampir menutupi seluruh tubuhnya. Perempuan tua berjubah merah itu membawa sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya. Namun pada bagian ujung bawah, bentuknya runcing berkilat seperti emas.

"Ada perlu apa kau menyelinap di sini, Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya perempuan tua berjubah merah itu mendesis. Suaranya terdengar serak kering sekali.

"Aku ingin bertemu sahabatku di sini," sahut Rangga dingin, tapi juga agak terkejut karena pererj puan tua berjubah merah itu sudah mengetahui julukannya.

"Tidak ada sahabatmu di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, sebelum tubuhmu hancur tercincang!" ancam perempuan itu mengusir kasar.

"Hm..., siapa kau sebenarnya? Apakah kau sudah tahu kalau aku sahabat Prabu Raketu...?" desis Rangga tajam.

"Aku Dewi Merah Penghisap Darah. Aku tidak peduli meskipun kau sahabat Prabu Raketu. Aku disini bertugas menjaga keutuhan istana, jadi berhak mengusir siapa saja yang lancang masuk ke dalam istana tanpa ijin!" jawab perempuan tua itu tegas.

"Hm.,., siapa yang memberimu tugas seperti itu� tanya Rangga lagi.

"Kau terlalu banyak tanya, Pendekar Rajawali Sakti. Lihat sekelilingmu! Jika masih berkeras kepala aku tidak segan-segan menjatuhkan tangan kejam kepadamu!" bentak Dewi Merah Penghisap Darah geram

Rangga mengedarkan pandangannya ke sekiling. Kini di sekitarnya sudah mengepung puluhan prajurl yang sudah siap dengan senjata terhunus. Sebenarnya tidak terlalu sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menggempur para prajurit yang rata-rata tingkat kepandainnya masih rendah. Tapi dia tidak ingin melukai satu prajurit pun. Terlebih lagi sampai menghancurkan istana ini. Tampaknya Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi. Memang terlalu banyak yang harus dipertimbangkan.

"Baik, aku akan pergi. Tapi aku ingin bertemu Prabu Raketu dulu," kata Rangga memberi penawaran

"Bedebah! Rupanya kau memang benar-benar keras kepala, Pendekar Rajawali Sakti. Aku jadi ingin tahu, apakah kepalamu lebih keras dari batu cadas!" geram Dewi Merah Penghisap Darah.

"Kepalamu juga cukup keras rupanya, Nisanak!" balas Rangga dingin.

"Setan..! Hiyaaat..!"

Dewi Merah Penghisap Darah tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Cepat sekali perempuan tua itu melompat dan memberikan serangan dahsyat Tongkatnya dikibaskan ke arah beberapa bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan cepat pula, pemuda berbaju rompi putih itu berkelit menghindar, langsung diberikannya balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
***
EMPAT
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Dewi Merah Penghisap Darah, tidak bisa dihindarkan lagi. Sementara di sekitar halaman belakang Istana Kedung Antal, berkeliling para prajurit yang semakin banyak jumlahnya. Rupanya suara ribut pertarungan itu membuat seluruh penghuni istana terbangun, dan tumpah di halaman belakang istana

Mengetahui jumlah prajurit yang semakin banyaki Pendekar Rajawali Sakti itu jadi cemas juga. Tapi Rangga tidak mungkin lagi menyelamatkan diri begitu saja. Tak ada yang bisa dilakukan Rangga selain mengalahkan perempuan tua ini secepatnya, lalu meloloskan diri dari kepungan para prajurit itu. Memang akan ada korban dan kerusakan bangunan istana, tapi hanya itu yang bisa dipikirkan Rangga saat ini. Dan rasanya tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa!"

Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu meningkatkan tempo permainannya. Dikerahkannya Jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dikombinasikan, sehinga menghasilkan begitu banyak macam jurus yang sangat dahsyat.

Perubahan tempo pertarungan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat, membuat Dewi Merah Penghisap Darah itu jadi kelabakan juga. Beberapa kali tubuh tua itu hampir saja terkena kibasan tangan ataupun pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, namun masih bisa dihindari. Hingga suatu ketika....

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak menggelegar, Rangga melontarkan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah kepala Dewi Merah Penghisap Darah. Namun perempuan tua berjubah merah itu masih dapat menghindar dengan merundukkan kepalanya sedikit. Dan tanpa diduga sama sekali, tanpa menarik pukulannya, Rangga cepat mengibaskan kakinya seraya merubah jurus menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kibasan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu diikuti lesatan rubuhnya yang cepat bagai kilat

"Hiyaaa...!"

Deghk!

"Akh...!" Dewi Merah Penghisap Darah terpekik agak tertahan sedikit.

Perempuan tua berjubah merah itu tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan melakukan serangan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga tidak sempat lagi untuk menghindarinya. Tendangan kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu keras, dan tepat menghantam punggungnya.

Tak dapat dicegah lagi, tubuh perempuan tua berjubah merah itu terjajar, dan terhuyung-huyung kedepan beberapa langkah. Dan sebelum keseimbangaan tubuhnya sempat dikuasai, Rangga sudah kembali menyerang. Dilontarkannya satu pukulan menggeledek bertenaga dalam sangat tinggi, dan tepat menghantam dada perempuan tua berjubah merah itu.

"Akh...!" sekali lagi Dewi Merah Penghisap Darah memekik keras.

Pada saat perempuan tua berjubah merah itu terbanting ke tanah, secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di atasi atap bangunan istana

"Jangan biarkan dia lolos! Serang...! Bunuh keparat itu...! Kejar...!" teriak Dewi Merah Penghisap Darah sambil menggeliat bangkit berdiri.

Seketika itu juga, puluhan prajurit yang membawa panah, langsung melepaskan panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berada di atas atap bangunan istana. Puluhan anak panah berdesingan di sekitar tubuh Rangga sehingga membuatnya harus bergelimpangan di atap, menghindari serangan yang datang bagaikan hujan itu.

Dalam waktu yang bersamaan, beberapa prajurit! berpangkat tamtama dan punggawa, serta beberapa panglima sudah berlompatan ke atas atap. Hal ini membuat Rangga jadi menggeram. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri begitu serangan panah tidak terlihat lagi. Lalu dengan segera dihentakkan kedua tangannya seraya mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.

"Aji 'Bayu Bajra'...! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras menggelegar.

Pekikan-pekikan keras melengking tinggi, seketika terdengar begitu tiba-tiba saja bertiup angin badai yang sangat dahsyat. Mereka yang mencoba berlompatan naik ke atas atap, langsung berpelantingan jatuh ke bawah. Dan mereka yang masih berada di bawah, terpental sambil menjerit keras terhempas hembusan angln topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti.

Kesempatan yang baik dan sempit ini, tidak di-sia-siakan Rangga untuk cepat meninggalkan Istana Kedung Antal. Secepat ajiannya ditarik, secepat itu pula tubuhnya melesat pergi bagai kilat Sekejap saja, tubuh pemuda berbaju rompi putih itu sudah lenyap, menghilang di balik tembok benteng bangunan istana Ini.
***

Rangga menggeliatkan tubuhnya, menggelinjang bangun dari pembaringan. Suara ribut-ribut di luar penginapan, membuatnya terjaga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati jendela, lalu mengintip ke luar. Tampak beberapa prajurit dan dua orang punggawa berkuda berada di depan rumah penginapan ini.

"Barang siapa yang bisa menyerahkan kepala Pendekar Rajawali Sakti, Gusti Prabu Raketu akan memberi hadiah yang besar dan akan diangkat sebagai panglima perang untuk membawahi seribu angkatan perang prajurit pilihan...!"

"Keparat..!" geram Rangga saat mendengar baris pengumuman yang dibacakan salah seorang punggawa.

Tentu saja, pengumuman yang dibacakan lantang itu, dapat terdengar semua orang. Terlebih lagi, punggawa itu terus membacakan pengumuman sambil gerak mengelilingi seluruh Kota Kerajaan Kedung Antal ini.

Rangga menyandarkan tubuhnya ke dinding samping jendela kamar penginapan. Hatinya benar-benar geram mendengar pengumuman itu. Sudah pasti, pengumuman itu berlaku bagi semua orang. Dai ini berarti akan menarik perhatian kaum rimba persilatan yang gemar memburu kepala untuk mendapatkan hadiah besar serta jabatan tinggi. Para pemburu kepala akan berkeliaran. Dan yang pasti, mereka akan memburu kepala Pendekar Rajawali Sakti!

Rangga meraih pedang yang terletak di atas meja lalu dikenakannya di punggung Setelah merapikan diri, kakinya melangkah keluar dari kamar penginapannya. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan cepat menemui pemilik penginapan yang selalu ada di bagian depan rumah penginapan ini. Setelah membayar sewa kamarnya. Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan cepat meninggalkan rumah penginapan itu.

Sengaja Rangga memutar, mengambil jalan leway belakang, kemudian mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke dalam hutan yang membatasi Kota Kerajaan Kedung Antal ini dengan Gunung Anjar. Sempurna sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di tepi hutan.

Rangga menghentikan larinya setelah sampai di tepi sungai kecil yang membatasi hutan dengan kota-raja Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Terdengar gumamam kecil disertai dengusan napas berat agak tertahan. Pendengarannya yang tajam, langsung dapat mendengar tarikan beberapa napas di sekitarnya.

"Hiyaaa...!

"Yeaaah...!"

Belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu sempat berpikir jauh, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang bersenjata golok terhunus. Mereka berlompatan sambil berteriak-teriak mengacungkan goloknya. Kembali Rangga mendengus berat, lalu cepat-cepat menggeser kakinya ke kiri seraya memiringkan tubuh, menghindari tebasan sebuah golok.

"Hih...!"

Cepat sekali tangan Rangga mengibas, dan langsung mendarat di perut penyerangnya. Orang itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk. Dan sebelum disadari apa yang terjadi, kembali satu pukulan keras mendarat di wajahnya.

Des!

"Akh...!"

Orang itu terpental jauh ke belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Seketika darah mengucur deras dari rongga mulutnya. Hanya sebentar orang itu mampu berkutik, kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Kali ini Rangga memang benar-benar tidak memberi ampun lagi. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau mereka adalah pemburu kepala yang tentu sudah mendengar pengumuman dari punggawa kerajaan tadi. Herannya, pengumuman itu cepat sekali tersebar Padahal belum ada satu hari, tapi sekarang sudah ada enam orang bersenjata golok yang berusaha ingin memenggal kepalanya.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga cepat memutar tubuhnya, dan langsung melenting ke angkasa. Kemudian dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras sambil menggerakkan kakinya disertai kibasan tangan. Saat itu Rangga mengeluarkan gabungan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega*.

Hebat dan luar biasa sekali gabungan dua jurus yang memang sudah luar biasa dahsyatnya itu. Mereka yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti, tidak bisa berbuat apa-apa. Jeritan-jeritan melengking tinggi seketika terdengar menyayat saling susul. Kemudian tubuh-tubuh tak beryawa lagi langsung bergelimpangan di tanah. Hanya dalam satu gebrakan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil membuat enam orang pengeroyoknya tak mampu berkutik lagi.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang

Enam orang itu memang bukan lawan tanding pendekar muda berbaju rompi putih itu. Mereka ternyataa hanyalah para begal jalanan yang mencoba mencari keberuntungan dengan memburu hadiah yang dijanjikan pihak kerajaan. Hal seperti inilah yang sangat disesalkan Rangga. Pengumuman pemburuan kepala ini akan menimbulkan banyak masalah, terutama jatuhnya korban yang sia-sia.

"Aku tidak percaya kalau Prabu Raketu mengeluarkan pengumuman itu...," desah Rangga dalam hati. 
***

Pengumuman yang dikeluarkan Istana Kerajaan Kedung Antal, sangat menarik perhatian pemburu kelola dari kaum rimba persilatan. Dalam waktu beberapa hari saja, di setiap pelosok kerajaan itu terlihat tokoh rimba persilatan berkeliaran. Mereka bukan saja memburu kepala Pendekar Rajawali Sakti untuk mendapatkan hadiah besar dan pangkat tinggi, tapi juga membuat keonaran dengan merampok, saling bertarung menyabung nyawa, dan menyakitkan rakyat.

Keadaan di Kerajaan Kedung Antal seketika berubah total. Suasana yang biasanya nyaman dan damai, kini berubah jadi hangat diwarnai tumpahan darah 玡tiap saat. Rakyat pun jadi menderita. Mereka tidak lagi merasa tenang, meskipun berada di dalam rumahnya sediri. Namun keadaan seperti ini, tampaknya didiamkan saja oleh pihak istana. Bahkan tak ada seorang prajurit pun yang mencoba mengatasi. Para pembesar istana seperti tidak mau tahu. Bahkan sepertinya mendukung agar suasana kerajaan semakin bertambah parah.

Keadaan yang semakin tidak menentu itu membuat tokoh-tokoh beraliran putih semakin diliputi kekhawatiran. Kecemasan mereka memang beralasan, Karena kalau tidak segera diatasi, golongan hitam rimba persilatan akan semakin menjadi-jadi. Tidak sedikit para pendekar yang mencoba menghentikan, tapi ternyata tidak mampu menghadapi begitu banyak kaum rimba persilatan yang rata-rata memiliki kemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi, kalangan istana tak ada yang mendukung tindakan para pendekar. Hal seperti ini juga menjadikan Rangga sangat khawatir akan nasib Kerajaan Kedung Antal. Sedangkan dirinya sendiri semakin sukar mendekati istana itu.

"Khraghk...!"

"Tidak ada jalan masuk ke istana itu, Rajawali" kata Rangga yang saat itu berada di punggung Rajawali Putih.

Rangga mencoba masuk ke dalam lingkungan Istana Kedung Antal dengan menunggang burung rajawali raksasa. Tapi hatinya benar-benar kecewa karena istana itu dijaga ketat. Tak ada sedikit pun peluang untuk masuk ke sana. Sementara Rajawali Putih terus berputar-putar di atas bangunan istana itu dengan menjaga jarak ketinggian terbangnya

"Kau lihat sebelah Selatan sana, Rajawali?" Rangga menunjuk ke arah Selatan dari Kota Kerajaan Kedung Antal ini.

"Khraghk...!"

"Coba kita lihat ke sana," ajak Rangga. Rajawali raksasa itu tidak membantah, dan segera meluruk ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Di Kaki Gunung Anjar sebelah Selatan, terlihat debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Kepulan debu itu sangat menarik perhatian Rangga. Seketika diurungkan niatnya untuk menembus masuk ke dalam lingkungan Istana Kerajaan Kedung Antal.

"Cepat turun, Rajawali. Aku akan melompat begitu dekat!" seru Rangga.

Jelas sekali terlihat, kalau kepulan debu itu akibat pertarungan beberapa orang yang begitu sengit. Rajawali Putih menuruti permintaan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga langsung menukik deras ke arah pertarungan di Kaki Gunung Anjar itu. Cepat sekali burung raksasa itu menukik, sehingga sebentar saja sudah begitu dekat. Maka, saat itu Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih.

"Hiyaaa...!"

Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke angkasa, begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari tempat pertarungan. Dan Pendekar Rajawali Sakti terkejut sekali, karena orang-orang yang bertarung itu adalah Raden Nadara bersama para prajurit setia dua orang panglima dan dua orang patih.

Mereka bertarung sengit melawan orang-orang rimba persilatan. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat terjun ke dalam kancah pertempuran. Dua kali dilontarkan pukulan bertenaga dalam tinggi, maka dua orang langsung tergeletak roboh tak bernyawa lagi dengan kepala pecah. Rangga terus melancarkan pukulan-pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi

"Rangga...," desis Raden Nadara begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti mengamuk membantunya.

Raden Nadara langsung melompat cepat mendekati Rangga sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali. Terdengar jeritan melengking saling susul disertai ambruknya beberapa orang yang berlumuran darah terkena sabetan pedang Raden Nadara. Pemuda itu berhasil mendekati Rangga yang baru saja menjatuhkan tiga orang sekaligus.

"Apa yang terjadi, Raden?" tanya Rangga langsung sebelum Raden Nadara membuka suara.

"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja mereka menyerang," sahut Raden Nadara.

Mereka terus bergerak cepat menghajar lawan-lawannya.

"Mundur...!" tiba-tiba terdengar teriakan memerintah.

Seketika itu juga, orang-orang yang menyerang pasukan Raden Nadara berlompatan mundur. Sebentar saja mereka sudah menghilang di dalam hutan. Saat itu juga pertarungan terhenti. Hanya tinggal sekitar sembilan prajurit ditambah dua orang panglima dan dua orang patih yang masih hidup.

"Untung kau cepat datang, Rangga," ujar Raden Nadara.

"Kebetulan aku lewat di sini," sahut Rangga seraya mengedarkan pandangannya berkeliling.

Cukup banyak juga yang tewas. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi sembilan prajurit yang masih hidup serta dua orang panglima dan dua orang patih. Mereka kelihatan begitu lelah. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu beralih pada Raden Nadara..

"Aku tidak melihat adikmu. Raden. Di mana dia?" tanya Rangga jadi teringat Ranti.

"Ranti tinggal di Istana Karang Setra. Katanya dia saja yang menunggu Prabu Karang Setra," jelas Raden Nadara. "Katanya, Prabu Rangga sedang bepergian saat ini."

"Lalu, untuk apa kau kembali ke sini?" tanya Rangga lagi.

"Inilah yang membuatku sedih, Rangga. Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya," ada nada sedikit keluhan pada suara Raden Nadara.

"Sudah tiga kali ini kami diserang," celetuk salah seorang patih yang sudah berada dekat mereka. Patih itu mengenakan baju warna biru, dan namanya Patih Argabaya.

"Benar," sambung Panglima Kitin yang memegang sepasang tombak pendek.

"Padahal kami tidak tahu apa maksud penyerangan mereka. Mereka hanya menanyakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan katanya, pendekar itu akan di penggal kepalanya atas perintah Gusti Prabu Raketu," sambung Patih Kolana yang memakai baju putih ketat.

Rangga hanya diam saja mendengarkan keluhan-keluhan itu. Hatinya benar-benar geram, namun jadi prihatin juga. Memang sudah diduga, akibat pengumuman itu akan terjadi pertumpahan darah secara brutal. Para pemburu kepala itu tidak akan membeda-bedakan lagi antara kawan dan lawan. Mereka akan menyerang siapa saja jika mendengar keterangan kalau seseorang pernah berhubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti.
***
LIMA
Atas saran Rangga, sisa prajurit ditambah dua orang patih, dan dua orang penglima, menunggu saja di Lereng Gunung Anjar. Sedangkan dirinya sendiri bersama Raden Nadara hendak menyelidiki keadaan dalam istana. Tentu saja mereka tidak datang secara terang-terangan, karena sudah pasti hal itu tidak diinginkan sama sekali. Terlebih lagi keberadaan Pendekar Rajawali Sakti yang memang sedang ditunggu-tunggu kepalanya.

"Cukup ketat penjagaan di dalam istana ini, Raden," bisik Rangga.

"Iya," sahut Raden Nadara setengah mendesah.

Sejak matahari tenggelam tadi, mereka mengamati sekitar istana dari tempat yang cukup tersembunyi. Di sekitar benteng istana memang dijaga ketat oleh para prajurit bersenjata tombak dan pedang. Bahkan di bagian atas benteng, terlihat pasukan panah sudah siap dengan bidikannya. Mereka benar-benar seperti sedang menunggu musuh untuk berperang. Yang pasti, di dalam istana juga sudah siap.

"Aku tidak menyangka kalau Prabu Raketu sudah mengetahui akan adanya pemberontakan...," gumam Rangga pelahan, sepertinya bicara pada dirinya sendiri.

"Ya. Itu sebabnya Ayahanda Prabu mengutusku untuk meminta bantuan ke Karang Setra. Tapi sayang sekali, Raja Karang Setra tidak pernah ada di istana Sedangkan adiknya tidak bisa memutuskan begitu saja," jelas Raden Nadara setengah mengeluh.

"Raden, ada yang hendak kutanyakan. Tapi kuharap kau tidak tersinggung," kata Rangga lagi.

"Tanyakan saja, Rangga. Aku yakin, kau benar benar berada di pihakku. Kau seorang pendekar, dai tentunya akan berada di pihak yang benar," sahut Raden Nadara mantap.

"Terima kasih, tapi ini tentang adikmu."

Raden Nadara menatap dalam-dalam pemuda berbaju rompi putih di sampingnya. Sama sekali tidak disangka kalau Rangga akan bertanya seperti itu, yang ada hubungannya dengan adiknya. Tapi Raden Nadara belum ingin berpikir lebih jauh lagi. Apalagi berpikir buruk tentang maksud Rangga.

"Raden, apakah Rara Ayu Ranti selalu bersamamu selama ini?" tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti teringat dengan kemunculan Ranti yang menyerang dan ingin membunuhnya.

"Ranti tidak pernah jauh dariku. Apalagi selama perjalanan ke Karang Setra," sahut Raden Nadara.

Rangga mengerutkan keningnya.

"Ada apa. Rangga?" tanya Raden Nadara.

Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti menceritakan tentang pertemuan dan bentroknya dengan Ranti. Tampak jelas kalau Raden Nadara tidak percaya kalau Ranti bisa terpisah dengannya, dan bertarung dengan pemuda berbaju rompi putih ini.

Raden Nadara memang mengakui kalau adiknya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Tapi tidak mungkin Ia berada dalam dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan saat Rangga diserang Ranti, inilah saat yang sama pula Raden Nadara tengah berbincang dengan gadis itu di tempat lain. Tempat yang sangat jauh dan harus ditempuh dalam waktu lima hari perjalanan. Jadi hal itu benar-benar mustahil!

"Itulah yang membuatku tidak mengerti. Raden. Aku memang yakin kalau gadis yang menyerangku itu bukan Ranti," tegas Rangga pada akhir ceritanya.

Kedua pemuda itu sama-sama terdiam setelah satu sama lain menceritakan kebersamaannya dengan gadis yang bernama Ranti. Gadis yang bisa berada dalam dua tempat berbeda jauh dalam waktu bersamaan. Untuk beberapa saat, mereka jadi mengalihkan perhatiannya pada Istana Kedung Antal.

"Raden, apakah Ranti punya saudara kembar?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Setahuku..., tidak," sahut Raden Nadara seraya berpikir keras.

"Lho? Kau kan kakaknya. Tentu lebih tahu tentang Ranti daripada aku,"

Rangga agak kaget bercampur heran karena Raden Nadara sebagai kakak Ranti, tapi tidak tahu tentang adiknya sendiri.

"Tidak juga. Rangga," potong Raden Nadara cepat

"Tidak...?" Rangga mengerutkan alisnya. "Apa madsudmu, Raden?"

"Sebenarnya aku hanyalah anak angkat Ayahanda Prabu Raketu. Setahun setelah aku diangkat anak Ranti lahir dari Ibunda Permaisuri. Tapi malang Ibunda Permaisuri meninggal setelah melahirkan Ranti. Kemudian, kami hidup di bawah asuhan seorang emban. Waktu itu aku baru berusia sekitar tiga tahun, jadi tidak begitu tahu persis apa yang terjadi," Raden! Nadara mengakui.

"Kau tahu kalau kau anak angkat, Raden...?! tanya Rangga.

"Tentu. Ayahanda Prabu selalu mengatakan begitu agar aku tidak putus hubungan anak dengan orang tuaku sendiri. Dan aku memang dibebaskan untuk mengunjungi orang tua kandungku di Desa Aripat. Bahkan Ranti juga tahu kalau aku hanya kakak angkat saja. Tapi dia tidak ambil peduli, dan tetap menganggapku sebagai kakaknya sendiri. Itu sebabnya aku dan Ranti begitu akrab, karena kami saling menyayangi dan saling menyintai sebagai kakak dan adik"

"Dan selama ini, apakah ada orang yang mencoba mengusik kehidupanmu? Hm..., maksudku mencoba memisahkanmu dari kehidupan Ranti," ujar Rangga ingin tahu.

"Tidak."

Rangga terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Pandangannya kembali tertuju kearah bangunan istana yang masih terjaga ketat. Sekitar istana itu tampak sunyi senyap. Bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya bagai tak berpenghuni lagi. Itu sunyi, bahkan tak ada yang menyalakan pelita untuk penerangan. Kerajaan Kedung Antal ini benar-benar seperti kerajaan mati tak berpenghuni. "Kita kembali lagi saja besok, Raden," ajak Rangga

"Kenapa tidak sekarang saja?" tanya Raden Nadara

"Kurasa waktunya kurang tepat. Aku akan mencari jalan terbaik. Tapi mungkin pertumpahan darah tidak bisa terelakkan," Rangga mencoba menjelaskan.

"Ini memang sudah menjadi ajang pertempuran bersaudara, Rangga. Bahkan aku sendiri tidak segan-segan lagi membunuh saudaraku bila ternyata memang bergabung dengan para pengkhianat itu!" desis Raden Nadara.

"Ayolah, kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak ingin ada pemburu kepala yang melihat kita berada di sini."

"Baiklah, Aku percaya padamu, Rangga."
***

Rangga menahan ayunan langkah kakinya Seketika ditariknya tangan Raden Nadara agar berhenti berjalan. Pendengarannya yang tajam langsung dapat mendengar gemerisik langkah kaki beberapa orang tidak jauh dari tempat ini. Menghadapi keadaan seperti Ini, kewaspadaan memang perlu ditingkatkan. Terlebih lagi sekarang di mana-mana tersebar para pemburu kepala yang menginginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Ke atas pohon itu," bisik Rangga.

"Hup...!"

"Houp...!"

Raden Nadara yang juga sudah mendengar adanya langkah kaki yang semakin dekat itu, langsung saja melompat ke atas pohon mengikuti Rangga. Sebentar saja mereka sudah lenyap di balik kerimbunan daun pohon yang cukup tinggi itu.

Tidak lama berselang, muncul sekitar dua puluh orang kalangan rimba persilatan. Salah satu di antaranya, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat panjang berwarna keemasan yang bagian pangkalnya berbentuk bintang bersegi enam.

"Paman Patih Karuni...," desis Raden Nadara saat mengenali laki-laki berjubah merah muda yang membawa tongkat bintang segi enam itu.

"Patih Karuni....?" Rangga jadi menyipit matanya.

Pendekar Rajawali Sakti itu juga mengenali laki laki berjubah merah muda yang membawa tongkat bintang segi enam itu. Sebentar diamatinya laki-laki itu, kemudian beralih pada Raden Nadara. Rangga belum bisa berpikir tentang keterlibatan Patih Karuni di Kerajaan Kedung Antal ini. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri sebenarnya mengenal laki-laki tua bertongkat bintang itu dengan nama lain.

Dia adalah Ki Sakar, salah seorang pengikut Wira Permadi, adik tiri Rangga yang mencoba menguasai wilayah Karang Setra (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Api di Karang Setra). Laki-laki tua bertongkat bintang itu memang berhasil meloloskan diri di saat kekuasaan Wira Permadi runtuh.

"Huh! Mereka pasti mencoba masuk ke istana...!"

Terdengar Patih Karuni mendengus bernada kesal. "Benar, Gusti Patih. Sudah semua tempat dijelajahi, tapi yang ada cuma para prajurit kacangan ditambah dua orang patih dan dua panglima yang sok setia!" sambut orang yang berada di samping Patih Karuni. Orang itu masih kelihatan muda. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. Dia menyandang sebuah kapak besar yang digabung dengan mata tombak pada ujungnya. Meskipun wajahnya cukup tampan, tapi sorot matanya mencerminkan kekejaman.

"Biar mereka menemukan mayat-mayat temannya di sana, Gusti Patih," sambung orang lainnya lagi yang berjalan di samping kiri Patih Karuni.

Orang itu sudah setengah baya, namun bertubuh tegap dan kekar, meskipun rambutnya sudah berwarna dua. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya. Sementara itu, Rangga dan Raden Nadara yang mendengarkan semua percakapan dari atas pohon yang cukup tersembunyi, jadi menahan kemarahan. Sudah bisa ditebak kalau orang-orang itu baru saja membunuh habis pengikut setia Raden Nadara. Kini mereka benar-benar tinggal berdua menghadapi para pemberontak dengan jumlah prajurit yang ribuan orang banyaknya.

Tapi bukan banyaknya prajurit yang dipikirkan, tapi di belakang para pemberontak itu ada tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki kemampuan tinggi. Belum lagi para pemburu kepala yang sampai saat ini tentu masih berkeliaran akibat pengumuman yang dikeluarkan pihak istana atas nama Prabu Raketu.

"Pengkhianat...! Mereka semua harus mampus!'! geram Raden Nadara tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahannya.

"Hiyaaat...!"

Seketika itu juga, Raden Nadara langsung melompat turun dari atas pohon tempat persembunyiannya. Tindakan pemuda itu tentu saja membuat Rangga terkejut setengah mati. Memang tidak bisa dicegah lagi, karena Raden Nadara sudah meluruk turun dengari cepat sambil mencabut pedangnya.

"Awas...!" seru Patih Karuni begitu mendengari teriakan keras dari atas.

Seketika itu juga, Patih Karuni mengebutkanl tongkatnya ke atas, menyambut tebasan pedang Raden Nadara yang terarah kepadanya. Sedangkan yang lainnya langsung bedompatan menghindar.

Trang...!

Percikan bunga api langsung memijar ketika dua senjata beradu keras disertai dentingan yang memekakkan telinga. Tampak Raden Nadara melentingkan tubuhnya kembali ke udara, lalu berputaran dua kali sebelum menjejakkan kaki di tanah.

"Raden...!" tampak Patih Karuni terkejut begitu melihat Raden Nadara tahu-tahu sudah berdiri di depannya.

Patih Karuni mengegoskan kepalanya sedikit memandangi orang-orang yang menyertainya. Mereka semua serentak menganggukkan kepala, lalu menggeprakan kaki membentuk lingkaran mengepung Raden Nadara. Sedangkan pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada. Pandangan matanya begitu tajam merayapi orang-orang yang kini sudah mengepungnya.

"Raden sudah kembali, kenapa tidak langsung ke istana?" Patih Karuni mencoba ramah.

"Agar kau lebih mudah menggantungku, begitu...?!" dengus Raden Nadara ketus.

Patih Karuni mendesis mendengar jawaban Raden Nadara yang begitu ketus. Diliriknya orang-orangnya yang langsung menganggukkan kepala. Patih Karuni melangkah beberapa tindak mendekati pemuda itu.

"Jika Raden hendak ke istana, mari bersama-sama. Kebetulan kami semua juga hendak ke istana," ajak Patih Karuni,

"Kalian semua tidak akan pernah kembali ke istana lagi. Aku akan membawa kalian ke neraka!" dengus Raden Nadara semakin ketus.

"Kenapa Raden bicara begitu...?" Patih Karuni masih bersikap manis.

"Karena aku sudah tahu kebusukan hati kalian! Terutama kau, Paman Patih Karuni...!" Raden Nadara menunjuk laki-laki tua berjubah merah muda di depannya

"Hm..., rupanya Raden sudah mengetahui...," desis Patih Karuni, agak dingin nada suaranya

"Ya, dan kalian baru saja membantai pengawalkul"

Trak!

Patih Karuni menghentakkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga empat orang langsung melompat sambil mengibaskan senjatanya. Mereka semua memegang senjata golok berukuran cukup besar. Tebasan golok itu demikian kuat, sehingga menimbulkan angin menderu kencang.

"Hait...!"

Cepat sekali Raden Nadara mengegoskan tubuhnya ketika sebilah golok membabat ke arah pinggang. Dan saat itu juga dihentakkan tangan kirinya menyodok ke arah dada orang itu. Namun sebelum tangannya sampai, datang sebilah golok membabat ke arah sodokan Raden Nadara.

"Uts"

Cepat sekali Raden Nadara menarik pulang tangannya, sebelum golok besar seperti pemenggal kerbau itu membuntungj tangannya. Raden Nadara langsung melompat mundur. Namun belum juga kakinya sempurna menjejak tanah, datang lagi serangan dari arah samping kiri. Sebilah golok kembali mengibas bagai kilat mengarah ke kepalanya.

Bet!

"Setan...!" dengus Raden Nadara seraya menundukkan kepalanya, maka tebasan golok itu lewat sedikit di atas kepala.

Wukk! Wukk!

Dua kali Raden Nadara mengecutkan pedangnya begitu terlepas dari tebasan golok salah seorang penyerangnya. Namun tebasan yang mengarah dada orang yang berada di samping kiri, berhasil dipatahkan oleh orang yang berada di depan dengan mengadukan goloknya pada pedang Raden Nadara.

Senjata mereka sama-sama terpental balik. Dan Raden Nadara segera melompat mundur ketika dari arah kanan datang sodokan golok yang begitu cepat. Dan pada saat itu, kaki Raden Nadara terayun menyamping menghantam punggung orang itu. Ayunan yang cepat dan tidak terduga sama sekali itu, tak dapat dihindarkan lagi

Bughk...!

"Akh!" orang itu memekik tertahan.

Tubuhnya langsung terdorong ke depan, dan goloknya terhunus lurus. Sedangkan di depan ada seorang temannya yang hanya bisa terbeliak melihat ujung golok temannya meluruk deras ke arah dada. Dan kejadian berikutnya sungguh tidak terbayangkan sama sekali

Crab!

"Aaa...!" laki-laki bertubuh tegap berotot itu menjerit melengking tinggi ketika golok temannya sendiri menembus dadanya.

"Hah...?l" orang yang memegang golok terperanjat

Cepat-cepat ditarik goloknya keluar, dan seketika darah muncrat dari dada yang tertembus golok. Sebentar orang itu mampu berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar dengan dada mengucurkan darah segar.

Pada saat semua orang tengah terperangah terhadap peristiwa yang tidak terduga itu, Raden Nadara memanfaatkannya dengan baik. Dia langsung melompat cepat bagai kilat seraya mengebutkan pedangnya beberapa kati, disertai lontaran tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.

"Hiyaaat...!"
Bret!
Crab!
Des!

Seketika dua orang menggeletak setelah terkena sabetan pedang Raden Nadara, dan seorang lagi merintih lirih sambil mendekap dadanya. Dari mulut menyemburkan darah kental agak kehitaman.

"Setan...! Bunuh bocah keparat itu...!" seru Patih Karuni keras bernada marah.

Saat itu juga, orang-orang yang memang sejak tadi tinggal menunggu perintah saja, langsung berlompatan menyerang Raden Nadara. Mereka semua menghunus senjata yang berbentuk beraneka ragam. Sejenak Raden Nadara terperangah, namun dengan cepat memutar pedangnya sambil berlompatan dan meliukkan tubuhnya

Namun belum juga pertarungan tidak seimbang itu berlangsung lama, tiba-tiba dari atas pohon meluruk sebuah bayangan putih yang langsung cepat menyambar dan menghajar para pengeroyok Raden Nadara. Kemunculan bayangan putih itu sungguh mengejutkan, karena sebentar saja telah membuat empat orang tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala remuk bersimbah darah.

"Gusti Rangga...," desis Patih Karuni begitu mengenali pemuda berbaju rompi putih yang kini berdiri tegak di samping Raden Nadara.

"Perbuatan kotor apa lagi yang kau rencanakan di sini, Ki Sakar...?" dingin sekali nada suara Rangga Matanya menatap tajam laki-laki tua berjubah merah muda yang memegang tongkat berkepala bintang bersegi enam berwarna keemasan.

Patih Karuni bergerak mundur tiga langkah. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti itu ada di sini, dan masih mengenalinya. Laki-laki tua itu memang dulu bernama Ki Sakar, salah seorang yang berhasil lolos dari kejaran prajurit di Karang Setra.

"Kenapa bengong...? Dia itu Pendekar Rajawali Sakti! Kalian akan mendapat hadiah dan diangkat menjadi panglima jika berhasil memenggal kepalanya...!" seru Patih Karuni yang juga bernama Ki Sakar.

Mendengar teriakan laki-laki tua berjubah merah itu, orang-orang yang masih mengepung di tempat ini langsung saja tergugah semangat tempurnya. Apalagi setelah Patih Karuni memberitahu kalau pemuda berbaju rompi putih yang baru muncul itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, orang yang selama ini dijadikan buruan para pemburu kepala. Dan mereka sendiri adalah para pemburu kepala juga yang mengharapkan hadiah besar serta kedudukan tinggi menjadi penglima perang yang membawahi seribu prajurit. Suatu hadiah yang menggiurkan sekali.

"Hiyaaa!"

"Yeaaah...!"

Serentak mereka berlompatan menerjang Pendekar Rajawali Sakti, dan jadi melupakan Raden Nadara. Bahkan tidak mempedulikannya sama sekali. Mereka lebih tertarik untuk menghabisi Pendekar Rajawali Sakti daripada bertarung dengan Raden Nadara. Hal ini membuat Raden Nadara jadi geram bukan main, sehingga langsung saja bergerak membantu Rangga.

Pada saat itu, Patih Karuni bergegas kabur meninggalkan tempat Itu. Namun Rangga dapat mengetahuinya, namun tidak bisa mencegah kepergian laki-laki tua berjubah merah muda itu. Hal ini karena serangan-serangan yang datang padanya begitu gencar dan luar biasa dahsyatnya. Rangga memang sempat melihat kalau Raden Nadara yang membantunya, tidak mendapatkan perhatian sama sekali.

"Raden, cepat kejar pengkhianat itu!" seru Rangga

Raden Nadara yang langsung teringat Patih Karuni, masih sempat melihat bayangan laki-laki tua Itu berkelebat sebelum menghilang ditelan kegelapan malam. Merasa dirinya memang tidak mendapat perhatian, Raden Nadara langsung melesat keluar dari kancah pertempuran, dan tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Perhatian semua orang memang terpusat pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Kita akan bertemu lagi nanti, Rangga...!" seru Raden Nadara.

"Cepatlah, sebelum dia jauh...!" balas Rangga keras.

Raden Nadara langsung melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mengejar Patih Karuni yang melarikan diri sebagai seorang pengecut Sementara Rangga harus menghadapi orang-orang yang begitu tergiur dengan hadiah atas kepalanya. Mereka adalah pemburu-pemburu kepala berdarah dingin yang langsung silau dengan janji hadiah besar dan menggiurkan.

"Kalian manusia-manusia keparat! Jangan menyesal jika kukirim ke neraka!" desis Rangga menggeram.
***
ENAM
"Buka pintu...!" teriak Patih Karuni begitu sampai di depan pintu gerbang benteng istana.

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang, bergegas membuka pintu itu. Patih Karuni langsung menerobos masuk, tapi cepat berhenti dan membalikkan tubuh.

"Jangan biarkan siapa saja masuk, mengerti...?!" lantang sekali suara Patih Karuni.

"Mengerti, Gusti Patih," sahut kedua prajurit penjaga pintu itu bersamaan.

"Tutup lagi."

Patih Karuni kembali memutar tubuhnya, lalu bergegas berjalan cepat setelah pintu gerbang ditutup. Laki-laki tua itu berteriak-teriak memanggil kepala penjaga dan memerintahkan untuk memperkuat penjagaan di sekitar istana ini. Setelah itu dia langsung menerobos masuk ke dalam bangunan besar itu.

Ayunan langkahnya kembali terhenti setelah berada di bagian dalam ruangan depan. Di sana sudah menunggu empat orang, yang terdiri dari dua orang laki-laki berusia setengah baya dan dua orang wanita. Yang seorang masih muda dan cantik, sedangkan seorang lagi sudah berusia sekitar enam puluh tahun.

"Ada apa kau berteriak-teriak, Ki Sakar?" tanya wanita tua yang mengenakan baju warna hitam. DI pinggangnya melilit selembar selendang berwarna kuning gading yang pada bagian ujungnya terdapat untaian baja putih berbentuk jarum halus dan lemas,

"Raden Nadara.... Rupanya masih hidup! Sekarang dia bersama Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Patih Karuni. Sama sekali tidak dipedulikan saat wanita tua itu memanggil nama aslinya.

"Apa kau juga melihat ada Ranti bersamanya? tanya perempuan tua berbaju hitam itu lagi.

"Tidak," sahut Patih Karuni.

Perempuan tua itu melirik gadis muda yang berdiri di sampingnya.

"Kau kembali bekerja, Nini Calak. Kali ini kau tidak boleh gagal," perintah perempuan tua itu lagi.

Gadis cantik berbaju biru muda itu tersenyum.

"Jauhkan Raden Nadara dari sini, lalu kau harus melenyapkan untuk selamanya. Kau pasti tahu bagaimana caranya, Nini Calak. Lakukan sekarang juga sebelum bocah itu sampai ke sini," kata perempuan itu lagi.

"Jangan khawatir, Nyi Pari. Tapi aku tidak ingin ada yang mengusik pekerjaanku," sahut Nini Calak seraya mengerling.

"Ini bukan saatnya bersenang-senang, Ni Calak!" dengus perempuan tua yang dipanggil Nyi Pari Itu.

Ni Calak hanya tertawa saja. Suara tawanya begitu lepas dan terdengar merdu sekali. Diayunkan kakinya dengan langkah gemulai meninggalkan ruangan yang besar dan indah ini. Sedangkan Nyi Pari hanya mendengus saja melihat tingkah gadis itu. Namun dua orang yang berada di sampingnya hanya tersenyum-senyum saja. Mereka seperti menikmati lenggak-lenggok langkah Ni Calak yang begitu gemulai dan mempesona, membuat mata laki-laki mana pun tidak akan mampu berpaling bila menatapnya.

"Sagala, Parangrang. Kau ikut Ki Sakar. Lenyapkan Pendekar Rajawali Sakti malam ini juga," perintah Nyi Pari tegas.

"Baik, Nyi," sahut dua laki-laki setengah baya yang berada di samping perempuan tua berbaju hitam itu.

"Hm..., Apakah kalian melihat adikku?" taya Nyi Pari setengah bergumam.

"Tidak, Nyi," sahut Sagala seraya memandang Parangrang di sampingnya.

"Sudahlah. Sebaiknya, kalian cepat pergi. Ki Sakar, kau antarkan mereka ke tempat Pendekar Rajawali Sakti itu."

"Baik, Nyi," sahut Ki Sakar yang juga memakai nama Patih Karuni.

Tiga orang laki-laki itu bergegas melangkah keluar. Sedangkan Nyi Pari masih berdiri di tengah-tengah ruangan itu sampai tiga orang laki-laki itu tidak terlihat lagi di balik pintu. Nyi Pari membalikkan tubuhnya. Tapi baru saja hendak melangkah, muncul seorang perempuan tua lain yang mengenakan jubah warna merah, dan rambutnya memutih tak teratur. Tampaknya dia lebih tua dari Nyi Pari, tapi sebenarnya lebih muda.

"Dari mana saja kau, Dewi Merah?" tanya Nyi Pari.

Perempuan tua berjubah merah itu tidak menjawab, tapi malah menghenyakkan tubuhnya di sebuah kursi. Wajahnya nampak murung dengan pandangan mata kosong menatap lurus ke lantai. Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai.

"Kau ke penjara bawah tanah lagi...?" tebak Nyi Pari.

"Huh! Dia tetap keras kepala. Kalau tidak ingat bahwa aku pernah mengandung anaknya, sudah kuhancurkan batok kepalanya!" rungut Dewi Merah Penghisap Darah.

"Aku sudah peringatkan padamu, tidak akan mungkin dia akan mengakui. Kau tidak cantik lagi, Dewi Merah. Lihat! Tubuh dan wajahmu, kelihatan lebih tua dariku dua puluh tahun."

"Ini semua gara-gara laki-laki keparat itu! Aku sudah cukup banyak berkorban hingga rela menjadi tua sebelum waktunya. Ini hanya karena ingin membahagiakannya. Kulanggar semua pantangan untuk mempunyai anak. Sepertinya aku tidak lebih dari seonggok sampah busuk!" nada suara Dewi Merah Penghisap Darah masih terdengar geram.

"Itulah akibatnya jika kau tidak suka menuruti nasihatku, Dewi. Kau terlalu percaya pada rayuan manisnya."

"Huh! Seandainya anak yang kulahirkan laki-laki, mungkin tidak akan sepera ini jadinya. Malah aku masih bisa membendung ketuaan, paling tidak sampai Bga puluh tahun. Tapi kenapa aku harus melahirkan anak perempuan...? Kenapa fidak kubunuh saja anak itu sejak lahir...?"

"Kau tidak boleh menyesali anakmu, Dewi. Kau lihat, dia cukup berbakat dan pandai menyamar. Kepandaiannya tinggi dan selalu setia, meskipun tahu kalau ibunya berwajah buruk dan sudah tua. Kau patut bertangga memiliki Calak, Dewi."

"Yaaah..., aku memang bangga. Hanya saja rasa sakit hatiku belum tuntas kalau tidak membunuh semua keturunan si keparat Raketu!"

"Pasti, Dewi. Semua pasti terlaksana. Sekarang saja, mungkin anakmu sudah menghabisi nyawa Raden Nadara," Nyi Pari membesarkan hati adiknya.

"Heh...! Dia menemukan bocah setan itu...?!" Dewi Merah Penghisap Darah terperanjat, dan langsung bangkit berdiri.

"Ki Sakar diserang Pendekar Rajawali Sakti dan Raden Nadara. Sekarang anakmu sedang mengejar Raden Nadara. Sedangkan dua orang muridku serta Ki Sakar mengejar Pendekar Rajawali Sakti," jelas Nyi Pari.

"Tanpa prajurit...?"

"Untuk apa? Manusia-manusia tolol itu, toh sebentar lagi akan mati. Mereka tidak ada gunanya. Mereka akan patuh pada siapa saja yang terkuat Aku tidak pernah suka dengan para prajurit yang hanya memikirkan gentong nasi, tapi kerjanya tidak pernah becus!" dengus Nyi Pari.

"Aku akan pergi, Nyi," kata Dewi Merah Penghisap Darah.

"Ke mana?"

Dewi Merah Penghisap Darah tidak menyahut, bahkan langsung saja melesat pergi. Sekejap saja bayangannya sudah tidak terlihat lagi di ruangan ini. Nyi Pari hanya mendesah panjang dan mengangkat pundaknya. Dia sendiri kemudian meninggalkan ruangan besar dan indah itu. Suasana kembali menjadi sunyi senyap, tak terdengar lagi suara sedikit pun.
***

Sementara itu di tepi hutan Kaki Gunung Anjar, Rangga sudah menyelesaikan pertarungannya. Tak ada lagi lawan yang tersisa. Mereka semua tewas dengan tubuh beriumuran darah. Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat pergi mengejar Raden Nadara yang sedang mengejar Patih Karuni.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Maka dalam waktu sebentar saja, dia sudah begitu jauh meninggalkan arena pertarungan tadi. Rangga terus berlari cepat menembus kegelapan malam yang teramat pekat. Namun mendadak saja, Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan larinya.

"Raden...," panggil Rangga begitu melihat Raden Nadara tengah berbicara dengan seorang gadis berbaju biru muda.

Raden Nadara dan gadis itu berpaling, sementara Rangga bergegas menghampiri. Pendekar Rajawali Sakti itu agak terkejut juga, karena gadis itu ternyata Ranti, adik angkat Raden Nadara sendiri. Rangga jadi bingung juga, karena belum lama tadi, Raden Nadara mengatakan kalau Ranti menunggu di Istana Karang Setra. Tapi mengapa sekarang sudah ada di sini?

"Kebetulan kau datang, Rangga...," sambut Raden Nadara.

Rangga menatap dalam-dalam wajah Ranti. Dan gadis itu juga menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sejak pertama bertemu, Ranti memang sudah berselisih karena masalah kecil memperebutkan kelinci buruan. Tapi bukan karena sikap Ranti yang selalu membuat jarak permusuhan, namun akibat pengalaman Pendekar Rajawali Sakti itu sendiri yang masih belum bisa mengerti kalau ada dua Ranti di sini.

"Rangga, Ranti baru saja datang dari Karang Setra. Dia mengatakan, prajurit Karang Setra sebentar laki akan datang membantu merebut kembali Istana Kedung Antal," tutur Raden Nadara dengan wajah cerah.

Rangga hanya diam saja, dan sepertinya tidak mendengar kata-kata Raden Nadara. Tatapan matanya masih begitu tajam terarah langsung pada gadis berbaju biru itu.

"Ranti juga mengatakan kalau sudah bertemu Ayahanda Prabu, dan sekarang menunggu di suatu tempat yang aman dan rahasia," kata Raden Nadara lagi.

"Raden Nadara, bisa aku bicara sebentar berdua saja denganmu?" pinta Rangga, datar nada suaranya

"Ada apa, Rangga? Kau kelihatannya...."

Rangga tidak mempedulikan keberatan Raden Nadara, dan cepat menarik tangan pemuda itu. Dibawanya Raden Nadara menjauh dari Ranti. Sedangkan gadis itu menunggu saja dengan bibir mengulas senyuman tipis seperti mengejek Raden Nadara jadi kebingungan juga, tapi terpaksa mengikuti.

"Ada apa, Rangga...?" tanya Raden Nadara setelah cukup jauh dari Ranti jaraknya.

"Kau ingat tentang ceritaku, Raden...?" Rangga balik bertanya dengan suara datar dan agak dingin.

"Cerita yang mana...?" Raden Nadara tidak mengerti.

"Pertarunganku dengan Ranti."

"Rangga..., kau ja...."

"Aku belum selesai, Raden!" sentak Rangga cepat memutus.

Raden Nadara benar-benar tidak mengerti akan sikap Rangga yang begitu sungguh-sungguh. Sebentar dilayapinya wajah pendekar muda berbaju rompi putih itu, kemudian melirik pada Ranti yang masih sabar menunggu.

"Berapa hari dari Karang Setra ke sini?" tanya Rangga.

"Apa maksudmu bertanya seperti itu, Rangga?" nada suara Raden Nadara seperti tidak senang.

"Jawab saja pertanyaanku, Raden. Ini demi keselamatan nyawamu, juga keutuhan kerajaan ini."

"Tujuh hari," sahut Raden Nadara masih belum mengerti sikap Rangga.

"Kau mengatakan kalau Patih Argabaya dan Panglima Kitin menyusul setelah dua hari kau pergi, dan bertemu di sini setelah kau tiba dua hari pula di sini. Bukankah begitu?"

"Benar."

"Dan kau juga tanyakan tentang Ranti di sana, bukan?"

"Iya. Ranti masih ada, dan tetap ingin menunggu Gusti Prabu Karang Setra," sahut Raden Nadara semakin kebingungan. "Rangga.... Jangan membuatku bingung. Apa sebenarnya maksudmu ini...?"

"Aku hanya ingin agar kau bisa berpikir panjang dan tidak cepat terpedaya yang justru akan membuatmu menyesal seumur hidup," sahut Rangga kalem.

"Aku jadi bingung," Raden Nadara benar-benar tidak memahami maksud Rangga sebenarnya.

"Raden, baru dua hari kau berada di sini. Dan baru siang tadi kau bertemu Patih Argabaya dan Panglima Kirin. Apakah mungkin Ranti bisa berada di sini dalam satu hari? Apakah mungkin Ranti berada di dua tempat dalam waktu yang sama? Kau harus ingat pertarunganku dengannya. Malah kau sendiri yang mengatakan kalau pada saat itu adikmu ada bersamamu, jauh dari tempat ini."

Raden Nadara langsung terdiam membisu. Diliriknya Ranti yang masih menunggu cukup jauh jaraknya. Tidak mungkin gadis itu bisa mendengarkan percakapan ini, kecuali bila memiliki ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' seperti yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Kata-kata Rangga yang terakhir, membuat Raden Nadara jadi berpikir keras.

"Aku akan menguji apakah dia Ranti asli atau palsu. Aku harap kau diam saja, Raden," kata Rangga meminta.

"Baiklah. Tapi kalau ternyata dugaanmu salah, kau harus mencium kakinya," sahut Raden Nadara.

"Akan kulakukan kalau memang dia itu Ranti"

Mereka kemudian kembali menghampiri Ranti yang masih menunggu sabar. Tapi. wajah gadis itu langsung memberengut begitu matanya bertemu pandang dengan sorot mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Ranti, apa benar prajurit Karang Setra akan datang ke sini?" tanya Rangga langsung.

"Iya! Memangnya aku bohong...?" sahut Ranti ketus.

"Siapa yang memimpin?" tanya Rangga lagi.

"Mana aku tahu? Aku pergi lebih dahulu. Mereka menjanjikan akan mengirim pasukan secepatnya ke sini, dan langsung menggempur setelah mendapat perintah dari Kakang Nadara," sahut Ranti lagi.

"Mereka...? Memangnya siapa yang menjanjikan pengiriman prajurit itu?" tanya Rangga lagi tetap memancing.

"Pembesar-pembesar istana, dan...," suara Ranti terputus.

"Dan, siapa?" desak Rangga.

"Untuk apa sih kau ingin tahu? Ini urusan kerajaan, dan kau sendiri orang luar yang tidak perlu ikut campur?" sentak Ranti ketus.

"Ranti, Rangga sudah banyak membantu. Dia pedu tahu. Apa salahnya jika menjawab saja," desah Raden Nadara lembut

"Huh! Tentu saja Raja Karang Setra yang akan mengirim prajuritnya!" dengus Ranti memberengut

Mendengar jawaban itu, Rangga langsung tersenyum lebar.

"Kau bertemu dengannya?" tanya Rangga lagi.

"Untuk apa aku menunggu kalau tidak bertemu dengannya? Gusti Prabu sendiri yang bicara denganku, dan akan mengirimkan prajurit ke sini dalam waktu dekat. Makanya aku terus saja ke sini untuk memberi kabar," masih bernada ketus jawaban Ranti.

Dan senyum di bibir Rangga semakin melebar. Tentu saja sudah bisa dipastikan kalau gadis di depannya ini bukan Ranti yang sebenarnya. Buktinya jawaban yang diberikan hanya karangannya belaka. Untung saja Ranti tidak tahu siapa itu Raja Karang Setra. Bahkan jarang ada orang yang tahu tentang Raja Karang Setra, kecuali orang-orang tertentu saja.

"Baiklah, di mana Prabu Raketu menunggu sekarang?" tanya Rangga dengan bibir tersenyum terus.

"Ayahanda Prabu hanya ingin bertemu dengan Kakang Nadara. Bukan kau!" dengus Ranti lagi.

"Ranti, biarlah Rangga ikut bersama kita. Aku yang akan menjelaskan pada Ayahanda Prabu nanti," selak Raden Nadara.

"Tidak! Aku tidak ingin kena marah nanti!" sentak Ranti, bersikeras.

"Kalau begitu, aku akan memaksa ikut!" tegas Rangga

"Heh...?!" Ranti mendelik gusar.

"Kenapa kau tidak memperbolehkan aku ikut? Kau takut topengmu terbongkar? Kau takut kalau aku menggagalkan rencana busukmu? Siapa sebenarnya kau ini...?! dingin sekali nada suara Rangga.

"Rangga...!" sentak Raden Nadara terkejut

"Dia bukan Ranti, Raden. Aku tahu kalau dia tidak dari Karang Setra, dan tidak bertemu Raja Karang Setra. Bahkan tidak tahu, siapa Itu Raja Karang Setra!" jelas Rangga. "Perempuan ini akan membunuhmu di tempat yang sudah direncanakan, Raden."

Raden Nadara tampak kebingungan. Gadis itu, baik wajah maupun bentuk tubuhnya tidak jauh berbeda dengan Ranti. Bahkan suaranya pun mirip sekali. Tak ada perbedaannya sedikit pun juga. Sedangkan Rangga memastikan kalau gadis itu bukan Ranti, tapi orang lain yang menyamar.

"Kau memang selalu mencari gara-gara, pemuda setan!" geram Ranti sengit.

"Tidak ada gunanya terus-terusan bermain sandiwara di depanku, Nisanak. Siapa kau sebenarnya...?" sentak Rangga ketus.

"Kakang Nadara...! Dia sudah berani kurang ajar padaku...!" sentak Ranti, memerah wajahnya.

Sedangkan Raden Nadara kelihatan kebingungan, dan tidak mampu lagi menentukan sikap. Dipandanginya Ranti dan Rangga bergantian. Benar-benar membingungkan...!"

"Nisanak, sebaiknya lepaskan saja topengmu. Pasti wajahmu jelek sekali di balik topeng wajah Ranti," kata Rangga, semakin sinis nada suaranya.

"Keparat...!" geram Ranti memuncak amarahnya. Rangga hanya tersenyum saja. Seketika dijulurkan tangannya ke wajah gadis itu. Tapi cepat sekali Ranti menyentakkan tangannya. Tapi dengan cepat pula Rangga menarik tangannya, dan langsung memutar ke bawah. Kembali tangannya menyentak cepat ke wajah gadis Itu.

"Setan...!" geram Ranti sengit. Buru-buru ditarik kepalanya ke belakang, dari kakinya bergerak mundur dua tindak. Cepat sekali gadis itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti. Wut!
***
TUJUH
"Uts!" Buru-buru Rangga menarik perutnya ke belakang, sehingga tebasan ujung pedang Ranti hanya sedikit lewat di depan perutnya. Dan sebelum gadis itu bisa memutar arah pedangnya, dengan cepat sekali Rangga mengibaskan tangan kiri, menotok ke arah pergelang an tangan kanan gadis itu.

"lkh...!" Ranti terpekik tertahan.

Buru-buru ditarik tangannya, sehingga totokan Rangga tidak mengenai sasaran. 'Saat itu juga, Ranti melompat ke belakang sejauh dua batang tomba. Namun pada saat yang sama, Rangga sudah meles mengejar sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak mengibas dengan kecepatan tinggi.

Wuk! Bet!
"Oh...!"

Ranti terperanjat ketika pada kibasan tangan ya kedua, berhasil menyambar wajahnya. Gadis itu be putar, namun tubuhnya terhuyung. Pada saat keseimbangan tubuh Ranti belum terjaga, Rangga sudah melepaskan satu tendangan keras ke arah dada. Tendangan itu tak dapat dihindarkan lagi, sehingga tepat menghantam dada gadis itu.

"Akh...!" Ranti terpekik keras. Tubuh yang ramping itu terjajar ke belakang, dan jatuh terjerembab ke tanah. Rangga tidak ingin lagi memberi kesempatan pada gadis ini untuk bertindak lebih jauh. Dia sudah pernah kecolongan, dan tidak akan terulang untuk kedua kalinya, karena kini dia tahu kalau gadis ini bukan Ranti. Dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat memburu, dan menjejak leher gadis itu dengan telapak kakinya. Dan dengan gerakan yang cepat, tangannya menyambar ke arah wajah. Bret!

"Akh...!" lagi-lagi Ranti terpekik.

"Hih...!"

Rangga mencampakkan kulit tipis yang dijambretnya dari wajah gadis berbaju biru muda itu, kemudian melompat mundur. Tubuh Rangga agak membungkuk, memungut pedang yang terlepas dari genggaman gadis itu ketika tendangannya bersarang di dada yang membusung itu. Pendekar Rajawali Sakti menempelkan ujung pedang itu ke leher pemiliknya. Wajah gadis itu kini sudah berubah. Bukan lagi wajah Ranti, melainkan wajah seorang gadis lain yang bernama Nini Calak.

"Heh...?!" Raden Nadara yang baru saja mendekati, terkejut bukan main begitu melihat wajah gadis itu memang benar bukan wajah adiknya.

Raden Nadara memungut kulit tipis yang dicampakkan Rangga tadi Kulit tipis yang berbentuk wajah cantik yang sangat mirip wajah Ranti. Ternyata Nini Calak menggunakan topeng dari kulit binatang yang dibuat setipis mungkin, dan dibentuk agar mirip wajah Ranti. Gadis itu memang pandai membuat samaran, seperti yang dikatakan Nyi Pari.

"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Raden Nadara

"Huh!" Nini Calak hanya mendengus saja.

"Raden, aku yakin bukan dia biang keladinya. Tapi masih ada orang lain lagi di istana," tegas Rangga.

"Siapa pun biang keladinya, perempuan Ini harus menerima hukuman yang setimpal," tegas Raden Nadara.

"Itu urusanmu, Raden."

Rangga menjauhkan ujung pedang dari leher Nini Calak. Dibuangnya pedang itu, dan ditariknya tangan Nini Calak, sehingga gadis itu tersentak sampai bangkit berdiri.

"Kau bawa tali, Raden?" tanya Rangga tetap memegangi tangan gadis itu yang dipelintir ke belakang tubuhnya.

"Ada di kudaku," sahut Raden Nadara.

Sebelum Rangga meminta untuk mengambil, Raden Nadara sudah cepat melangkah menghampiri kudanya yang sedang merumput di bawah pohon. Diambilnya segulung tambang yang tersampir di pelana kudanya. Bergegas dihampiri Rangga kembali untuk menyerahkan tambang itu padanya. Cepat Rangga menerima, lalu mengikat tangan Nini Calak yang disatukan ke belakang tubuhnya. Kemudian dililitkan tambang itu ke tubuh dan leher. Kini Nini Calak benar-benar tidak punya daya lagi.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Rangga?" tanya Raden Nadara.

"Bawa dia ke istana," sahut Rangga.

"Gila...! Kau akan menyerahkan diri pada mereka...?!" sentak Raden Nadara terkejut

"Kita punya jaminan untuk tetap selamat, Raden. Aku yakin, mereka akan berpikir seribu kali untuk bertindak."

"Jika mereka tidak mempedulikan keselamatan gadis itu?"

"Untuk mencapai keberhasilan, perlu perjuangan berat, Raden. Darah tak akan ada artinya bila membuat bumi yang kita pijak menjadi harum," kata Rangga menjawab pertanyaan Raden Nadara dengan kata kiasan.

Raden Nadara tidak bersuara lagi. Sudah bisa dipahami maksud Pendekar Rajawali Sakti itu. Untuk mencapai keinginan, memang diperlukan suatu perjuangan berat dan panjang. Dan perjuangan itu sendiri membutuhkan suatu pengorbanan yang tidak kecil artinya.

Sebuah pondok kecil yang tidak berpenghuni lagi, menjadi tempat bagi Rangga dan Raden Nadara untuk menunggu siang. Mereka tentu saja tidak mungkin dapat tidur, karena harus menjaga seorang tawanan yang sangat berarti lagi berbahaya. Sedikit kelengahan saja akan memberikan kesempatan besar bagi Nini Calak untuk berusaha meloloskan diri.

Mereka memang tidak mungkin bergerak malam ini juga. Apalagi sudah terlalu lelah melakukan pertarungan yang seperti tidak ada habis-habisnya sejak siang tadi. Sementara malam masih terlalu panjang untuk ditunggu. Rangga meminta Raden Nadara untuk tidur, tapi pemuda itu menolak dan ingin tetap menunggu hingga fajar.

"Kenapa kita tidak membuat api agar tidak terlalu dingin, Rangga?" keluh Raden Nadara seraya bergidik mengusir rasa dingin yang menggigit tulang.

"Aku tidak ingin membuat perhatian. Mereka tentu sedang mencari kita, Raden," sahut Rangga.

"Hhh.... Aku benar-benar menyusahkanmu, Rangga. Maafkan," desah Raden Nadara.

"Kau hanya belum terbiasa hidup di alam bebas, Raden," hibur Rangga.

"Ya. Selama ini aku memang terbiasa hidup dalam lingkungan istana. Sebenarnya aku ingin mengembara mencari pengalaman, tapi Ayahanda Prabu tidak pernah mengijinkan. Katanya, banyak yang bisa dikerjakan dan diperoleh di dalam wilayah kerajaan," ungkap Raden Nadara kembali, dan terdengar nada keluhan.

"Jika kau mendekatkan diri pada rakyat, tentu banyak yang bisa diperoleh, Raden. Terlebih lagi, wilayah Kerajaan Kedung Antal ini begitu luas. Kau pasti akan bisa mendapatkan banyak pelajaran di sini. Yaaah..., kurasa kata-kata ayahmu benar juga. Tentu dia menginginkan agar kau menimba pengalaman lebih dahulu di dalam, sebelum melangkah lebih jauh lagi," kembali Rangga membesarkan hati pemuda itu.

"Kau bijaksana sekali, Rangga. Kau pasti sudah mengembara sejak muda belia. Aku jadi iri padamu," ucap Raden Nadara tanpa malu-malu lagi.

"Alamlah yang membuatku seperti ini, Raden," Rangga merendah. "Sebenarnya kehidupan seperti Radenlah yang selalu diidamkan banyak orang."

"Tapi aku merasa seperti terkungkung dalam sangkar emas, Rangga. Memang segalanya bisa kuperoleh dengan mudah, tapi apa yang diperoleh dan kunikmati, bukan dari hasil jerih payahku sendiri. Aku dihormati, bukan karena apa yang kulakukan, tapi karena apa yang kupakai dan kusandang. Yaaah..., penghormatan palsu...."

Rangga hanya tersenyum saja. Keluhan Raden Nadara memang pernah juga dirasakan saat dirinya berada di dalam Istana Karang Setra. Hanya bedanya. Rangga masih punya kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri, tanpa ada seorang pun yang bisa menentangnya. Sedangkan yang dialami Raden Nadara tidak sebebas yang dimilikinya. Ada benteng yang sukar ditembus mengelilingi kehidupan pemuda itu.

Tapi, nampaknya benteng itu semakin menipis saja saat ini. Peristiwa ini telah membuka jalan bagi Raden Nadara untuk memulai kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan di alam bebas, bagai burung yang bebas terbang ke mana saja dia suka. Namun masih ada keterbatasan pada diri Raden Nadara. Pemuda itu masih mempunyai tanggung jawab untuk mengembalikan dan memulihkan Kerajaan Kedung Antal seperti semula. Suatu tanggung jawab yang tidak kecil artinya, dan sangat besar manfaatnya. Di sinilah harus dibuktikan bahwa dirinya sudah mampu untuk hidup mandiri.

"Rangga, boleh tanya sesuatu padamu...?" pinta Raden Nadara setelah cukup lama berdiam diri.

"Silakan," sahut Rangga terbuka.

"Bagaimana kau bisa yakin kalau Ranti yang tadi palsu?" tanya Raden Nadara langsung mengalihkan pembicaraan.

"Dengan ini...," sahut Rangga seraya menunjuk

"Maksudmu...? Dengan perkiraan waktu?" tebak Raden Nadara.

"Salah satu di antaranya." 'Tapi, kenapa kau begitu yakin? Bahkan membuatnya marah."

"Dia melakukan kesalahan besar yang diyakininya benar. Padahal suatu keyakinan, tidak selamanya akan bisa menolong diri sendiri," sahut Rangga kalem.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga...?"

"Dia menelanjangi dirinya sendiri saat bercerita tentang Karang Setra, dan rajanya. Padahal dia tidak pernah mengenal seperti apa itu Raja Karang Setra. Dusta itulah yang membuatnya tidak bisa lagi menyembunyikan kedoknya," jelas Rangga.

"Bagaimana mungkin kau bisa tahu dia berdusta?" tanya Raden Nadara ingin tahu.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Rasanya memang tidak mungkin dijelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Dan hal ini akan tetap dijaga. Entah, sampai kapan nanti. Yang jelas, sedapat mungkin, kerahasiaan dirinya harus tetap terjaga rapi. Dan rupanya Raden Nadara juga termasuk laki-laki yang sukar untuk bisa cepat mengerti.

"Terus terang, aku sendiri tidak tahu kalau dia itu bukan Ranti. Bahkan sebenarnya aku tadi ingin marah ketika kau terus memojokkannya. Tapi, yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, mengapa aku begitu percaya padamu," ujar Raden Nadara lagi.

"Mungkin itu sebabnya, mengapa ayahmu tidak pernah mengijinkan kau mengembara, Raden. Kau masih terlalu polos, dan masih perlu banyak belajar tentang watak seseorang. Dunia persilatan itu ganas sekali. Penuh daya tipu dan kelicikan, di samping mengandalkan tingkatan kepandaian ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian. Namun, semua kekuatan itu tidak akan berguna jika tidak diimbangi akal pikiran yang cerdas dan cepat tanggap dalam menilai keadaan bagaimanapun macamnya," kembali Rangga memberi penjelasan tentang kehidupan.

"Ah! Semakin jauh aku mengenalmu, rasanya semakin kecil aku di matamu, Rangga. Aku. memang masih terlalu dangkal dalam hal apa pun juga."

"Tidak dalam segala hal, Raden. Dalam hal-hal tertentu, kau pasti punya kelebihan. Dan setiap manusia tidak ada yang sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelebihannya," kembali Rangga membesarkan hati pemuda itu.

"Terima kasih. Rangga. Tapi kali ini aku memang tidak ingin menutupi segala kekuranganku, dan ingin lebih banyak belajar darimu," tegas Raden Nadara.

"Raden bisa belajar pada siapa saja, dan di mana saja. Bukan hanya para petinggi, tapi juga rakyat biasa. Bahkan bisa pula belajar dari para pengemis, gelandangan, tukang kayu atau siapa saja yang hampir semua orang menganggapnya rendah. Padahal justru dari merekalah kita bisa belajar banyak tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Karena, mereka hidup dalam kepolosan dan apa adanya. Lain hal jika kau belajar dari orang-orang berada dan para petinggi. Mereka biasanya menutupi yang lemah, dan mengangkat yang kuat."

Raden Nadara mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua kata yang diucapkan Rangga benar-benar diresapi. Hatinya benar-benar kagum pada pemuda berbaju rompi putih itu. Setiap kata yang diucapkan, mengandung arti yang sangat dalam, dan yang akan membawa kebahagiaan hidup.

Tiga ekor kuda berjalan pelahan-lahan memasuki gerbang perbatasan Kota Kerajaan Kedung Antal. Saat itu, matahari baru saja menampakkan ujudnya di balik cakrawala sebelah Timur. Sinarnya yang kemerahan menyemburat indah, menyongsong pagi yang cerah ini. Sepanjang jalan yang dilalui, tampak sunyi senyap. Beberapa orang yang kebetulan berpapasan, langsung menyingkir dengan mimik wajah menyiratkan ketakutan yang amat sangat.

Tampak pula, kepala-kepala bersembulan keluar dari balik pintu dan jendela yang setengah tertutup. Sementara penunggang kuda yang terdiri dua orang pemuda yang mengapit seorang wanita muda dengan tubuh terikat tambang, terus mengendalikan kudanya agar jalan pelahan-lahan.

Mereka adalah Rangga, Raden Nadara dan seorang tawanan wanita yang bernama Ni Calak. Tiga orang itu terus bergerak menuju bangunan Istana Kerajaan Kedung Antal. Tidak seperti biasanya, jalan utama kerajaan ini begitu sunyi. Hanya terlihat beberapa orang yang berada di luar rumah. Namun sepanjang jalan yang di kanan kirinya berdiri rumah-rumah, tampak kepala-kepala bersembulan.

"Mereka seperti hidup di dalam neraka," desis Raden Nadara lirih.

"Mereka sudah cukup menderita. Kewajibanmu untuk mengembalikan mereka pada kehidupan yang damai," sahut Rangga.

"Ya..., aku akan membuat mereka bergembira. Dan sekarang saatnya yang tepat" tekad Raden Nadara.

"Heh...! Kalian cuma bermimpi!" dengus Ni Calak ketus bernada sangat sinis.

"Tidak seperti mimpimu yang buruk di dalam penjara nanti, Nisanak!" timpal Raden Nadara sengit

"Ha ha ha...! Sebentar lagi pasti kalian akan bermimpi di dalam neraka!"

Hampir saja Raden Nadara mencabut pedangnya, jika Rangga tidak segera mengerdipkan matanya. Dan mereka seketika menghentikan langkah kuda setelah tiba tidak jauh di depan pintu gerbang benteng istana. Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu terbeliak begitu melihat kedatangan Raden Nadara. Namun yang lebih membuat mereka terkejut lagi adalah adanya Ni Calak bersama Raden Nadara dalam keadaan tubuh terikat dan tangan juga terikat ke belakang.

Kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu seperti jadi serba salah. Bagaimanapun juga, mereka mengenal Raden Nadara dan gadis muda itu. Sikap dua prajurit itu, bisa dipahami Raden Nadara. Dan pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya. Dengan tangkah yang tegap dan pasti, dihampirinya kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu.

"Raden..," hampir bersamaan mereka membuka suara dengan tubuh bergetar.

"Apakah hanya kalian berdua yang menjaga sini?" tanya Raden Nadara.

"Be..., be..., benar, Raden," sahut salah seorang jadi tergagap.

"Kalian senang melakukan tugas dari orang yang bukan junjungan kalian?" tanya Raden Nadara lagi.

Kedua prajurit penjaga itu tidak bisa menjawab. Mereka langsung melirik Ni Calak, kemudian tertunduk dan kembali memandang Raden Nadara.

"Jika mengaku sebagai prajurit sejati, tunjukkan jiwa keprajuritan kalian. Tunjukkan bahwa kalian adalah prajurit yang taat dan setia pada junjungan. Pada Gusti Prabu Raketu," kata Raden Nadara lagi.

"Raden...."

Kedua prajurit itu menjatuhkan dirinya berlutut Mereka tidak lagi memandang wajah pemuda itu. Kepala mereka tertunduk dalam. Melihat sikap kedua prajurit itu, Ni Calak jadi mendesis geram. Sedangkan Raden Nadara tersenyum. Dengan sikap kedua prajurit ini, bisa disimpulkan kalau semua prajurit yang masih ada di dalam benteng istana, tentu mendapat tekanan dan keterpaksaan dalam batinnya. Mereka ingin memberontak, tapi tak kuasa menentang para pengkhianat kerajaan yang memiliki tingkat kepandaian tinggi di samping kejam. Mereka tidak segan-segan memenggal kepala prajurit yang mencoba membangkang.

"Ampunkan hamba. Raden. Hamba tetap setia pada Gusti Prabu Raketu," ucap salah seorang prajurit tanpa mengangkat kepalanya.

"Benar, Raden. Sebenarnya kami menunggu perintah dari Raden, karena kini kami tidak lagi mempunyai pemimpin," sambung prajurit satunya lagi.

"Bagus! Jika kalian masih tetap setia pada Prabu Raketu, ajak teman-teman kalian untuk menemuiku di tepi Hutan Kaki Gunung Anjar. Kita akan bersama-sama mengusir para pengkhianat itu dari bumi Kedung Antal ini!" tegas nada suara Raden Nadara.

"Akan hamba laksanakan, Raden," sahut kedua prajurit itu berbarengan.

Raden Nadara tersenyum senang. Dia berbalik dan menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, pemuda itu melompat naik ke punggung kudanya. "Ayo, Rangga. Kita kembali ke pondok," ajak Raden Nadara.

Rangga tidak membantah. Segera digebah kudanya sambil menuntun kuda yang ditunggangi Ni Calak. Mereka menggebah kudanya cepat, meninggalkan bagian depan istana itu. Kedua prajurit penjaga pintu gerbang, bangkit berdiri setelah suara langkah kaki kuda tidak terdengar lagi. Mereka sejenak memandang debu yang berkepul membumbung tinggi di kejauhan sana.

Kedua prajurit itu saling berpandangan, dan sama-sama berpaling menatap pintu gerbang yang tertutup rapat. Rupanya mereka kini jadi bimbang hatinya. Apalagi bila teringat beberapa temannya yang tewas terpenggal hanya sedikit saja melakukan kesalahan. Dan kini, mereka diminta untuk membawa teman-teman mereka kembali bergabung dengan Raden Nadara dan berkumpul di tepi Hutan Kaki Gunung Anjar.

"Bagaimana...?" tanya salah seorang prajurit yang berkumis, meminta pendapat temannya.

"Kau sendiri bagaimana?"

"Aku merasa, ini saat yang tepat untuk lepas dari cengkeraman manusia-manusia iblis itu."

"Kalau begitu, cepat kita hubungi yang lain. Terutama dari kelompok kita dulu."

"Ayolah, kita tinggalkan saja gerbang ini."
***
DELAPAN
Raden Nadara tersenyum memandangi para prajurit yang sudah berkumpul di lapangan rumput tepi Hutan Kaki Gunung Anjar ini. Meskipun tidak semua, tapi jumlah mereka sudah lebih dari separuh prajurit yang ada di Kerajaan Kedung Antal. Dan semuanya sudah menyatakan untuk tetap setia pada junjungan Prabu Raketu. Mereka juga bersumpah untuk mentaati perintah yang datang dari Raden Nadara.

Ternyata apa yang dikatakan Rangga semalam, memang terbukti kenyataannya. Para prajurit itu sebenarnya tidak ingin memberontak pada kerajaan. Mereka hanya menunggu seorang pimpinan, dan menunggu waktu untuk mengadakan perebutan kembali. Melihat kesiapan para prajurit itu. Raden Nadara tidak menunggu waktu lagi. Mereka segera diperintahkan untuk segera berangkat. Sebelumnya, ditunjuk dua puluh orang prajurit serta tiga orang punggawa untuk tetap berada di tempat ini menjaga Ni Calak.

Raden Nadara berkuda paling depan didampingi Pendekar Rajawali Sakti. Di belakangnya, tampak para panglima perang dan patih yang tetap setia, serta beberapa pembesar kerajaan yang memiliki ilmu olah keprajuritan. Lebih ke belakang, tampak para tamtama, punggawa, dan para prajurit. Barisan mereka begitu panjang dan terbagi dalam empat kelompok yang masing-masing dipimpin seorang panglima.

"Kau benar, Rangga. Ternyata mereka adalah prajurit setia. Aku benar-benar terharu terhadap kesetiaan mereka," ungkap Raden Nadara.

Rangga yang berkuda di samping pemuda itu, hanya tersenyum saja. Masalahnya, hal seperti ini pernah dialami juga. Itu sebabnya, mengapa dia begitu yakin kalau para prajurit itu sebenarnya masih setia pada Prabu Raketu, dan sebenarnya sedang menunggu seorang pemimpin.

"Rasanya aku tidak mungkin bisa membalas jasamu, Rangga," kata Raden Nadara lagi.

"Aku sudah senang jika Kerajaan Kedung Antal kembali utuh seperti semula," sahut Rangga merendah.

"Itu semua berkat jasamu, Rangga."

"Berkat pengabdianmu yang suci. Raden."

"Ah! Kau selalu saja membuatku melambung, Rangga. Aku khawatir akan menjadi besar kepala nanti,' desah Raden Nadara tersipu.

Mereka tidak bicara lagi. Dan rombongan yang berjumlah besar itu terus bergerak memasuki kota. Rakyat yang melihat para prajurit kerajaan dipimpin Raden Nadara, langsung menyambutnya dengan sorak-sorai dan gegap gempita. Mereka begitu gembira, karena akan kembali terbebas dari cengkeraman manusia iblis. Inilah hari yang ditunggu-tunggu sejak lama. Dan kegembiraan ini diungkapkan dengan menggabungkan diri ke dalam barisan.

Raden Nadara tidak bisa mencegah, dan hanya semakin terharu melihat kesetiaan rakyat Kedung Antal. Mereka rela menyabung nyawa, demi keutuhan Kerajaan Kedung Antal yang dicintai. Rombongan yang dipimpin Raden Nadara itu semakin mendekati Istana Kedung Antal. Dan semakin lama jumlah mereka semakin bertambah banyak, karena para pemuda dan laki-laki yang merasa tubuhnya masih kuat, langsung menggabungkan diri begitu mengetahui Raden Nadara yang memimpin pasukan prajurit ini.

"Perintahkan setiap kelompok menempati posisi," kata Raden Nadara begitu mereka berada di depan istana.

Salah seorang panglima yang berada di belakang Raden Nadara, langsung memberikan perintah itu. Maka pasukan yang sudah dibagi dalam empat kelompok itu, langsung menyebar menempati posisi yang sudah ditentukan.

"Bagaimana dengan rakyat, Rangga?" tanya Raden Nadara meminta pendapat

"Katakan pada para patih dan pembesar untuk bergabung bersama rakyat, dan mencegah rakyat bentrok langsung jika tidak terpaksa," sahut Rangga.

Raden Nadara tersenyum, lalu segera memberikan perintah pada seorang patih untuk mengatur rakyat agar tidak bentrok langsung jika tidak terpaksa. Setelah itu, Raden Nadara kembali menghampiri Rangga yang sudah turun dari kudanya. Raden Nadara juga turun dari kudanya, lalu berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.

"Tampaknya mereka sudah siap menyambut, Rangga," kata Raden Nadara.

"Benar," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati bagian atas benteng. Tampak jelas, kalau di sana sudah siap pasukan panah. Dan yang pasti, di dalam benteng istana ini juga sudah siap para prajurit yang lebih memilih membangkang daripada bergabung dengan Raden Nadara. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu juga melihat banyaknya orang yang tidak mengenakan seragam prajurit Dan itu sudah pasti dari kalangan rimba persilatan golongan hitam.

"Kau punya cara untuk mendobrak pintu gerbang, Rangga?" tanya Raden Nadara.

"Aku ingin kau yang melakukannya, Raden. Kau harus bisa memimpin. Ini kesempatan terbaikmu, Raden," sahut Rangga memberi kesempatan pada pemuda itu.

"Baiklah, akan kucoba semampuku."

"Cobalah. Kegagalan bukan berarti kehilangan segala-galanya. Dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan patut dicoba," kata Rangga memberi semangat.

Raden Nadara mengangguk dan tersenyum. Hatinya begitu mantap bersama Pendekar Rajawali Sakti. Dipanggilnya seorang panglima dan diperintahkan panglima itu bersama dua puluh prajurit untuk mencoba mendobrak gerbang benteng. Seorang panglima dan dua puluh orang prajurit berkuda, sudah siap di garis depan.

Mereka akan mencoba mendobrak pintu gerbang istana. Sedangkan Rangga sudah bisa menduga kalau hal ini pasti tidak akan berhasil. Bahkan akan membuat mereka menggeletak jadi mayat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin mencegah. Dia ingin memberi kesempatan agar Raden Nadara bisa belajar banyak dari peristiwa ini.

"Hiyaaa...!" panglima itu berteriak nyaring sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.

Seketika itu digebah kudanya, maka seketika juga dua puluh orang prajurit segera mengikuti menggebah kuda dengan cepat. Mereka semua menghunus pedang di atas kepala sambil berteriak-teriak keras membahana. Namun belum juga mereka bisa mencapai pintu gerbang benteng istana itu, dari atas berhamburan puluhan batang anak panah.

Jeritan-jeritan melengking langsung terdengar, diiringi berjatuhannya para prajurit yang mencoba mendekati pintu gerbang. Tampak panglima yang berkuda paling depan, dengan tangkas sekali memutar pedangnya di atas kepala. Namun usahanya tidak berjalan lama. Ketika sebatang anak panah menancap leher kudanya, dan membuatnya terpelanting, maka seketika perhatiannya langsung buyar. Sebelum bisa menguasai keadaan, beberapa batang anak panah menghunjam ke tubuhnya.

"Aaa...!"

Hujan panah itu langsung berhenti ketika tidak ada lagi yang hidup. Tampak panglima masih bisa bergerak, namun akhirnya diam tak berkutik. Ada enam batang panah yang memanggang tubuhnya, di samping dua puluh prajurit tergeletak bersama bangkai kuda.

"Oh..., apakah prajuritku harus dikorbankan lagi?" keluh Raden Nadara lirih.

Rangga memandangi pemuda itu. Raden Nadara memang masih hijau dalam pengalaman bertempur. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merasa iba juga. Dan disadari, kalau tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Raden Nadara. Sedangkan mereka tidak tahu, berapa banyak kekuatan di dalam benteng istana itu.

"Raden! Aku akan mendobrak pintu gerbang itu, dan secepatnya kau menyerbu masuk begitu pintu hancur," ujar Rangga.

"Rangga...!" Raden Nadara terkejut. Tapi pemuda itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena Rangga sudah berlari cepat mempergunakan Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Seketika itu juga, dari atas benteng berhamburan puluhan anak panah menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Namun Rangga terus berlari cepat sambil sesekali berpelantingan di udara. Tampaknya mereka yang menghujani anak panah, jadi kebingungan juga, karena Rangga semakin dekat dengan pintu gerbang istana. Dan....

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring.

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke arah pintu gerbang. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap yang terakhir. Kedua tangannya jadi berwarna merah bagai terbakar. Dan begitu kedua kakinya berpijak pada tanah di depan pintu, seketika itu kedua tangannya dihentakkan.

"Yeaaah...!"

Glarrr!

Ledakan keras terjadi bersamaan dengan hancurnya pintu gerbang itu. Sungguh luar biasa daya pukulan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Pintu dari kayu jati yang tebal itu hancur berkeping-keping. Saat itu juga, Rangga langsung melompat menerobos masuk ke dalam.

"Serang...!" teriak Raden Nadara 'langsung memberi perintah.

"Serbuuu...!"

Suara-suara teriakan terdengar gegap gempita, diiringi berhamburannya para prajurit Mereka langsung mengikuti Raden Nadara yang menunggang kuda menerobos masuk ke dalam benteng istana yang pintunya sudah hancur berkeping-keping. Mereka terus menerobos maju, meskipun hujan anak panah seperti tidak berhenti. Teriakan-teriakan membahana, kini bercampur jerit dan pekik melengking tinggi menyayat hati. Tubuh-tubuh bersimbah darah kembali bergelimpangan terpanggang panah.

Sementara itu. Rangga yang sudah berhasil berada di dalam lingkungan pagar benteng, langsung melesat ke atas. Langsung dihajarnya orang-orang di atas benteng, yang menghujani panah terhadap para prajurit Raden Nadara. Jeritan-jeritan melengking tinggi, kembali terdengar disusul berjatuhannya tubuh-tubuh dari atas benteng.

Rangga mengobrak-abrik pasukan panah itu, sehingga membuat para prajurit yang dipimpin Raden Nadara semakin leluasa menerobos masuk ke dalam. Namun, seketika mereka disambut para prajurit pembangkang yang dibantu orang-orang persilatan. Pertempuran di halaman depan istana itu pun tidak bisa terelakkan lagi. 

Jeritan melengking kematian dan teriakan pertempuran bercampur menjadi satu, ditingkahi denting senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah mulai bertumbangan membasahi tanah. Korban memang tidak mungkin terelakkan dalam setiap pertempuran di manapun juga.

"Hiyaaa...!" Rangga yang selesai membereskan pasukan panah di atas benteng, langsung meluncur deras ke bawah. Bahkan langsung menuju ke bagian belakang pertahanan lawan. Seketika itu juga, Rangga melontarkan beberapa pukulan dahsyat sambil berjumpalitan, diimbangai gerakan tubuh yang lincah dan cepat luar biasa. Setiap pukulannya selalu menimbul kan korban yang tak bisa bangkit berdiri lagi. Mereka langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah.

"Hiyaaa...!"

Rangga langsung melesat begitu melihat seorang perempuan tua tengah mengamuk membantai para prajurit yang mengeroyoknya. Tongkatnya berkelebatan cepat menyebarkan maut bagi siapa saja yang mencoba mendekati.

"Menyingkir kalian semua...!" seru Rangga menggelegar.

Mereka yang tengah bertarung dengan perempuan tua berjubah merah, langsung berlompatan mundur. Pada saat itu, Rangga langsung mendarat tepat sekita lima langkah di depan perempuan tua berjubah merah itu.

"Pendekar Rajawali Sakti...."

"Akulah lawanmu, Dewi Merah Penghisap Darah!" dengus Rangga dingin.

"Phuih! Mampus kau. Hiyaaat...!"

Dewi Merah Penghisap Darah, langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun Rangga cepat menghindari serangan dahsyat itu. Bahkan langsung membalasnya dengan tidak kalah dahsyatnya.

Sementara pertarungan lain masih terus berlangsung sengit. Tampak Raden Nadara kini tengah bertarung melawan Patih Karuni yang sebenarnya bernama Ki Sakar. Raden Nadara tampaknya bertarung penuh semangat. Setiap serangannya sangat berbahaya, sehingga membuat Patih Karuni jadi kerepotan juga menghadapinya. Sehingga pada satu saat...

"Modar...!" teriak Raden Nadara.

Seketika itu juga dikibaskan pedangnya ke arah kaki. Namun Patih Karuni dengan cepat melompat menghindar. Tapi tanpa diduga sama sekali, Raden Nadara melentingkan tubuhnya ke atas sambil cepat menarik pedangnya. Seketika langsung dikirimkan satu pukulan lurus dengan tangan kiri. Pukulan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, tak dapat dihindari lagi, telak mendarat di dada Patih Karuni.

Bughk!

"Aaakh...!" Patih Karuni menjerit melengking tinggi.

Pada saat tubuh Patih Karuni terjajar ke belakang, dengan cepat sekali Raden Nadara melentingkan tubuhnya seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher.

"Yeaaah...!"
Cras!

"Aaa...!" Patih Karuni menjerit melengking tinggi.

Darah langsung menyembur keluar dari lehernya yang hampir buntung tertebas pedang Raden Nadara. Tubuh laki-laki itu ambruk menggelepar di tanah. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak bernyawa lagi. Raden Nadara sebentar memandangi sekitarnya, kemudian melompat begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tengah mengamuk membantai para prajurit.

"Hiyaaa...!"

Laki-laki setengah baya itu ternyata murid Nyi Pari yang bernama Sagala. Dia begitu terkejut begitu tiba-tiba Raden Nadara melompat menyerangnya. Sagala langsung berkelit sambil mengibaskan senjatanya. Kembali Raden Nadara terlibat dalam kancah pertarungan sengit. Sengaja Raden Nadara memilih lawan bukan dari para prajurit yang membangkang. Maksudnya, dia ingin mengurangi kekuatan lawan yang dibantu orang-orang rimba persilatan.

Sementara itu, Rangga masih bertarung ketat melawan Dewi Merah Penghisap Darah. Tapi tampaknya perempuan tua berjubah merah itu sudah semakin terdesak. Terlebih lagi, sekarang Rangga sudah mencabut senjata pusakanya yang memancarkan cahaya biru berkilauan.

"Yeaaah...!" Rangga berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu, dikibaskan pedangnya kearah dada Dewi Merah Pengisap Darah. Saat ini keadaan Dewi Merah Pengisapo Darah tidak memungkinkan untuk berkelit. Maka dengan cepat dihentakkan tongkatnya menangkis pedang yang memancarkan sinar biru berkilau itu.

Trak!

"Akh...!" Dewi Merah Penghisap Darah terkejut setengah mati.

Tongkat kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian, dan perempuan tua itu sendiri terpental ke belakang. Memang, tenaga dalamnya jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat tubuh perempuan tua itu terjajar ke belakang, cepat sekali Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek.

"Yeaaah...!"

Des!

"Aaakh...!" lagi-lagi Dewi Merah Penghisap Darah menjerit melengking tinggi.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna itu, tepat menghantam dadanya. Dan sebelum Dewi Merah Penghisap Darah bisa menguasai keadaan, Rangga sudah mengibaskan pedangnya ke arah leher. Dan perempuan tua berjubah merah itu hanya mampu terbeliak. Rasanya memang, tidak ada kesempatan lagi untuk berkelit Sehingga....

Cras!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi, mengantarkan kematian Dewi Merah Penghisap Darah. Perempuan tua berjubah merah itu langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas lehernya, dan hampir membuat buntung kepalanya. Darah seketika mengucur deras dari leher yang menganga lebar.

"Yeaaah...."

"Heh...?!"

Beghk!

Rangga terkejut ketika tiba-tiba dari arah belakang melesat sebuah bayangan hitam. Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, terasa satu hantaman keras mendarat di punggungnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terjerembab ke tanah. Namun dia cepat bergulingan begitu melihat sebuah benda panjang berwarna kuning gading meluncur deras ke arahnya.

Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika benda kuning gading itu menghantam tanah di samping Rangga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat bangkit, tepat saat benda kuning panjang itu tertarik kembali. Kini di depan Rangga berdiri seorang lagi perempuan tua berbaju hitam sambil mengibas-ngibaskan selendang berwarna kuning gading yang merupakan senjatanya.

"Berani kau membunuh adikku...! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!" teriak perempuan tua itu yang ternyata adalah Nyi Pari.

Perempuan tua berbaju hitam itu langsung melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Selendang yang berujung untaian logam berbentuk jarum itu meliuk-liuk menyambar ke arah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Serangan ini membuat Rangga jadi kerepotan sesaat Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti teringat kalau pernah bertarung melawan seseorang yang juga menggunakan senjata selendang, dengan cepat keadaan bisa dikuasai.

Bahkan ketika selendang itu meluncur ke arah kepala, Rangga tidak bergeming sedikit pun juga. Dan begitu selendang itu dekat, dengan cepat ditarik kepalanya ke samping. Lalu bagaikan kilat, dikibaskan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Yeaaah...."

Bet!

Reeet!

"Hah...!" Nyi Pari terperanjat bukan main begitu melihat selendangnya terpotong jadi dua bagian. Dan sebelum rasa keterkejutannya lenyap, Rangga sudah melompat secepat kilat menerjang sambil mengibaskan pedangnya tiga kali berturut-turut Buru-buru Nyi Pari meliukkan tubuhnya sambil melompat ke belakang. Namun sungguh tidak diduga sama sekali, saat tubuhnya ditarik ke belakang, tiba-tiba Rangga melesat lurus dengan pedang tertuju lurus ke arah dadanya.

"Hiyaaa...!"

"Hak..!"

Crab!

"Aaa...!"

Nyi Pari benar-benar tidak kuasa lagi menghindar. Matanya terbeliak dan mulutnya ternganga memperdengarkan suara jeritan melengking tinggi menyayat. Pedang Pendekar Rajawali Sakti langsung menembus dadanya hingga ke punggung. Cepat Rangga menarik pedangnya, maka darah langsung menyembur deras dari dada yang berlubang.

Sebentar Nyi Pari masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung dan ambruk ke tanah, tak bernyawa lagi. Rangga berdiri tegak memandangi tubuh berlumuran darah tak bernyawa lagi. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, karena tidak lagi mendengar suara pertempuran. Tapi yang terdengar kini malah sorak-sorai para prajurit Raden Nadara yang telah mencapai kemenangan gemilang.

Rangga mengedarkan pandangannya mencari Raden Nadara, dan menemukan pemuda itu tengah berdiri diujung tangga istana bersama seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Meskipun tubuhnya kotor dan compang-camping, namun Rangga dapat mengenali kalau laki-laki itu adalah Prabu Raketu.

"Rangga...!" panggil Raden Nadara.

Rangga yang baru saja hendak pergi, jadi mengurungkan niatnya. Sebentar dipandangi Raden Nadara yang berdiri di samping Prabu Raketu. Pelahan diayunkan kakinya menghampiri. Satu persatu kakinya menaiki undakan istana yang berjumlah lima belas buah.

"Dewata Yang Agung.... Kau...," desah Prabu Raketu terperanjat begitu Rangga sudah dekat di depannya.

Tanpa dapat dibendung lagi, laki-laki itu langsung menghambur memeluk Rangga. Hal ini membuat Raden Nadara jadi terlongong tidak mengerti. Hati pemuda itu semakin heran melihat mata ayahandanya merembang berkaca-kaca. Pelahan Rangga melepaskan pelukan Prabu Raketu, kemudian mengajaknya masuk ke dalam.

"Jangan katakan tentang diriku pada Raden Nadara," kata Rangga berbisik. Begitu dekat di telinga Prabu Raketu, dan suaranya juga pelan sekali sehingga Raden Nadara tidak bisa mendengarkannya.

"Kenapa...?" tanya Prabu Raketu.

"Rahasia," sahut Rangga.

"Kenapa harus dirahasiakan?!"

"Sudahlah, aku juga tidak ingin tahu apa yang terjadi di sini."

"Baiklah, kalau itu keinginanmu."

"Anggap saja kita sudah pernah kenal satu sama lain sebagai sesama pendekar."

Prabu Raketu tertawa terbahak-bahak.

"Ada apa, Ayah?" tanya Raden Nadara.

"Tidak ada apa-apa, hanya senang saja bertemu sahabat lama," sahut Prabu Raketu.

"Jadi..?!" suara Raden Nadara terputus.

"Sahabat sesama pendekar dulu," kata Prabu Raketu langsung tertawa terbahak-bahak.

Rangga hanya tersenyum saja. Sedangkan Raden Nadara belum bisa mengerti. Dipandanginya Rangga dan ayahnya bergantian, namun tidak juga diketahuinya persahabatan itu. Dan lagi, selama ini Rangga tidak pernah mengatakannya. Raden Nadara bertekad harus mengetahui, tapi harus menunggu saat yang tepat.

Tapi saat yang dinanti tidak juga kunjung datang, karena Pendekar Rajawali Sakti cepat pergi. Sedangkan Prabu Raketu tidak bersedia menjelaskan apa-apa. Kerahasiaan Rangga tetap terjaga. Dan, sampai saat ini Raden Nadara tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Rangga itu.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar