Pendekar Rajawali Sakti eps 033 : Manusia Beracun

SATU
SEEKOR kuda hitam muncul dari gumpalan kabut tebal. Sementara itu, dari angkasa menukik deras seekor burung rajawali berbulu putih keperakan. Burung raksasa itu berputar-putar di atas kepala seorang pemuda berwajah tampan yang rambutnya agak panjang tergelung ke atas. Pakaian yang dikenakannya adalah rompi putih. Dia menunggang kuda hitam yang berpacu cepat menembus kabut tebal.

Pada saat yang sama, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah dan langsung menyambar pemuda di punggung kuda hitam itu. Sambaran yang begitu cepat, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Satu jeritan keras melengking terdengar menyayat mengiringi tubuh pemuda itu yang terlontar ke angkasa.

Seketika rajawali putih berusaha mengejarnya. Namun belum sempat mencapai pemuda itu, mendadak dari angkasa meluncur seekor rajawali lain berwarna hitam pekat. Burung rajawali hitam itu mencelat bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.

"Rangga...!"

"Pandan…, Pandan, bangun…!"

"Oh!"

Malam begitu pekat. Langit tampak menghitam kelam tertutup awan tebal. Malam ini angin seperti enggan berhembus. Sedikit pun tak ada gerakan pada dedaunan di belakang bangunan besar dan indah. Di tengah-tengah sebuah taman, nampak duduk seorang wanita muda cantik mengenakan baju biru ketat. Bentuk tubuhnya yang ramping dan indah membayang di balik baju birunya.

Gadis itu tidak beranjak dari tempat duduk sejak sang surya tenggelam tadi. Pandangannya lurus kosong ke depan. Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang menghampiri. Seorang gadis yang mengenakan baju hijau muda tengah melangkah pelahan-lahan.

"Pandan..."

"Oh!" wanita berbaju biru itu terkejut saat merasakan tepukan halus di pundaknya.

Wajahnya berpaling dan tersenyum melihat ada gadis lain di belakangnya. Digeser duduknya sedikit untuk memberi tempat.

"Sudah larut. Kau belum tidur juga?" lembut sekali suara wanita berbaju hijau muda itu seraya duduk di samping wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi.

"Dik Cempaka. Kau sendiri sedang apa di sini?" Pandan Wangi malah balik bertanya.

"Memperhatikanmu, Kak," jawab Cempaka seenaknya.

Pandan Wangi tersenyum getir sambil menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Sedangkan Cempaka memandangi raut wajah Pandan Wangi yang kelihatan gundah. Meskipun bibirnya menyunggingkan senyum, tapi terasa kalau amat dipaksakan.

"Sudah seminggu ini Kak Pandan kelihatan gundah dan suka menyendiri. Bahkan setiap malam berteriak-teriak, tapi tidak pernah menceritakan kenapa?" terdengar serius kata-kata Cempaka.

Pandan Wangi tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Pelahan gadis berbaju biru muda itu bangkit berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Pelan sekali kakinya terayun mendekati sebuah kolam yang dihiasi batu-batu karang tersusun, membentuk sebuah bukit kecil.

Gadis itu memetik selembar daun dan melemparkannya ke dalam kolam. Tampak air kolam yang menghitam itu bergolak. Ternyata beberapa ekor ikan bermunculan berebut daun yang dilemparkan Pandan Wangi. Sementara Cempaka masih tetap duduk di kursi taman yang terbuat dari rotan. Dia hanya memperhatikan saja tanpa berkedip. Sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar diketahui artinya.

"Kak Pandan rindu pada Kakang Rangga...?" tebak Cempaka ragu-ragu.

Pandan Wangi tersentak kaget. Dibalikkan tubuhnya dan ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Tapi itu hanya sesaat saja, kemudian kembali dipalingkan mukanya, memandang ke arah lain. Sebenarnya Pandan Wangi tidak ingin Cempaka mengetahui perubahan wajahnya yang tiba-tiba. Tapi rupanya Cempaka sudah mengetahui keterkejutan Pandan Wangi saat nama Rangga disebut. Wajah gadis itu juga berubah memerah dengan bola mata berputar.

"Memang telah lama Kakang Rangga belum kembali. Yaaah... sejak kau hidup lagi," ujar Cempaka agak mendesah suaranya.

Pandan Wangi hanya diam saja. Memang sudah cukup lama dia tidak lagi melihat Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan lagi sudah lama juga dirinya tinggal di Istana Karang Setra ini sejak hidup kembali dari kematian semu (Untuk lebih jelas, baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah Bangkitnya Pandan Wangi).

Dan Pandan sendiri tidak membantah kalau hatinya memang merindukan kehadiran Rangga di sisinya. Tapi yang membuat Pendan Wangi gundah dalam satu pekan ini, bukan karena hanya merindukan Pendekar Rajawali Sakti saja. Ada sesuatu yang mengganggu benak dan hatinya, dan hanya dia sendiri yang tahu.

"Kalau saja aku tahu, di mana Kakang Rangga sekarang berada..." gumam Cempaka setengah mendesah, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Cempaka, rasanya sudah cukup lama aku berada di sini..." ujar Pandan Wangi seraya melangkah menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.

"Tapi jangan katakan kalau kau akan pergi, Kak Pandan," tebak Cempaka langsung.

Pandan Wangi tersenyum, dan kembali duduk di samping Cempaka. "Kau tahu siapa aku, bukan? Aku senang berada di sini, tapi rasanya seperti seekor burung di dalam sangkar emas. Sejak lahir aku sudah terbiasa hidup di alam terbuka, menjelajah alam dan hidup penuh kekerasan," Pandan Wangi seperti merindukan kehidupannya yang dulu.

"Tapi, Kak. Kakang Rangga sudah berpesan agar kau tidak pergi ke mana-mana sampai dia kembali," tegas Cempaka.

"Itulah kehidupan seorang pendekar, Cempaka. Meskipun sudah menjadi raja, tapi tidak akan bisa tinggal selamanya di dalam istana. Begitu juga diriku. Aku lahir sudah ditakdirkan untuk menjadi pendekar wanita yang selalu hidup bebas di alam luas. Bukan takdirku untuk mengurung diri di dalam benteng istana. Kau tentu mengerti, karena kau juga...."

"Belum, Kak," potong Cempaka. "Aku tidak sempat mengecap kehidupan sepertimu. Aku keluar dari padepokan, lalu langsung tinggal di sini. Terus terang, sebenarnya aku juga ingin sekali mengembara, mencari pengalaman hidup merambah ganasnya rimba persilatan. Aku merasa apa yang kumiliki belum mendapatkan tantangan yang berarti."

Pandan Wangi tersenyum, lalu kembali bangkit berdiri dari duduknya. Pelahan-lahan diayunkan kakinya melangkah meninggalkan taman belakang Istana Karang Setra ini. Cempaka juga ikut berdiri dan berjalan mengikuti di belakang gadis itu. Sementara malam terus merayap semakin larut.

***

Pagi-pagi sekali Pandan Wangi sudah menyiapkan kudanya di istal yang terletak di samping kanan bangunan istana. Gadis itu tersenyum melihat Cempaka datang menghampirl bersama Danupaksi.

"Kau jadi pergi juga, Kak Pandan?" tanya Danupaksi yang sudah mengetahui rencana Pandan Wangi untuk kembali mengembara menjelajah rimba persilatan dari Cempaka.

"Rasanya jadi," sahut Pandan Wangi, kembali menyiapkan kudanya yang sempat terhenti sebentar.

"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan. Melarang pun tidak bisa," ujar Danupaksi. Pandan Wangi kembali menghentikan pekerjaannya memasang pelana kuda. Dipandangi kakak beradik lain ibu ini, yang juga adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Memang berat meninggalkan orang-orang yang telah begitu baik padanya. Tapi Pandan sudah tidak bisa menahan diri lagi.

"Sebenarnya aku ingin juga ikut bersamamu, Kak. Tapi..." Cempaka tidak melanjutkan ucapannya. Diliriknya Danupaksi yang berada di sampingnya.

"Bukannya melarangmu, tapi aku hanya tidak ingin disalahkan. Mengertilah, Cempaka. Tugas kita di sini masih banyak dan tidak kalah pentingnya," tegas Danupaksi.

Cempaka hanya diam saja. Sedangkan Pandan Wangi tersenyum melihat wajah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit memberengut. Semalaman gadis itu berbicara dengan Cempaka di dalam kamar tidur. Mereka saling terbuka dan mengemukakan seluruh isi hati yang terpendam tanpa ada yang dirahasiakan. Dan Pandan Wangi bisa mengerti keinginan Cempaka untuk mencari pengalaman di luar benteng istana ini, tapi juga tidak ingin mengajak Cempaka dalam pengembaraannya kali ini. Karena disadarinya kalau Cempaka memiliki kewajiban yang sangat berat di Kerajaan Karang Setra ini.

Pandan Wangi kembali meneruskan pekerjaannya memasang pelana pada kuda putih pemberian Rangga. Begitu selesai memasang pelana berwana merah dengan hiasan sulaman benang emas, tubuhnya melompat naik. Sedangkan Cempaka dan Danupaksi masih berdiri di sampingnya.

"Aku berharap, kita bertemu lagi kelak," ucap Pandan Wangi.

"Selamat jalan, Kak Pandan," ucap Cempaka.

"Berhati-hatilah, semoga kau bertemu Kakang Rangga," sambung Danupaksi.

"Ada yang akan kau titipkan, Adik Danupaksi?" tanya Pandan Wangi.

"Ada. Tapi hanya ini," Danupaksi menyerahkan selongsong bambu yang digosok halus. Kedua ujungnya tertutup rapat. Pandan Wangi menerima dan menyelipkannya di balik lipatan bajunya.

"Sampaikan itu pada Kakang Rangga," kata Danupaksi.

"Tidak ada lagi?"

"Tidak," sahut Danupaksi dan Cempaka hampir bersamaan.

"Kalau begitu, sebaiknya aku segera pergi."

Pandan Wangi menggebah kuda putih yang gagah dan berotot itu. Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan istal, langsung menuju depan. Tanpa mengendurkan kecepatan larinya, kuda itu melintasi halaman depan istana yang sangat luas. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu gerbang, dan Pandan Wangi terus menggebah kuda melewatinya.

Hampir semua orang di Kota Kerajaan Karang Setra itu mengetahui dan mengenal kalau Pandan Wangi adalah calon permaisuri. Semua orang yang berada di jalan, membungkukkan badannya saat melihat gadis itu melintas diatas kuda putih yang tinggi tegap dan sangat gagah. Namun Pandan Wangi terus saja menggebah cepat, sehingga lari kuda itu bagaikan terbang saja! Debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda putih yang dipacu bagai dikejar setan itu.

Sementara itu, di depan istal, Danupaksi dan Cempaka masih berdiri di sana. Meskipun Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, tapi mereka masih memandang ke arah kepergian gadis itu. Danupaksi mengayunkan kakinya pelahan-lahan setelah menarik napas panjang. Cempaka mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.

"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa terhadap Kak Pandan," desah Cempaka seperti bicara pada diri sendiri.

"Kenapa kau bicara begitu, Cempaka?" Tanya Danupaksi.

"Aku memang tidak sempat mengatakannya padamu, tapi rasanya tidak penting," sahut Cempaka.

Danupaksi menghentikan langkahnya. Ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Diyakini kalau gadis ini menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan kepergian Pandan Wangi. Tapi Danupaksi tidak ingin menduga terlebih dahulu.

"Satu pekan ini Kak Pandan kelihatan gundah, dan senang menyendiri sambil melamun. Setiap malam aku selalu membangunkannya, karena dia selalu bermimpi. Bahkan selalu menjerit-jerit dan menyebut-nyebut nama Kakang Rangga. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada diri Kakang Rangga," Cempaka tak bisa menyembunyikan lagi. Diungkapkan keresahan hatinya yang selama ini selalu dipendam sendiri.

"Kau pernah menanyakan hal itu pada Kak Pandan?" tanya Danupaksi jadi ikut gelisah.

"Pernah, bahkan beberapa kali. Tapi Kak Pandan tak pernah bersedia mengatakan tentang mimpinya," sahut Cempaka.

Danupaksi terdiam.

"Aku jadi khawatir, Danupaksi," tersirat kecemasan di wajah Cempaka.

"Seharusnya kau katakan itu sebelumnya, Cempaka," desah Danupaksi menyesalkan.

"Maaf," hanya itu yang bisa diucapkan Cempaka.

"Hhh...! Sekarang Kak Pandan sudah pergi, dan tak jelas ke mana tujuannya..." desah Danupaksi pelahan.

"Apa tidak sebaiknya kita menyusul saja, Danupaksi?" usul Cempaka.

Danupaksi kembali terdiam. Kembali diayun kakinya melangkah perlahan-lahan. Kepalanya tertunduk dalam dengan kening berkerut, pertanda tengah berpikir keras. Memang selama beberapa hari ini, ia selalu memergoki Pandan Wangi menyendiri di taman belakang. Bahkan terkadang mengunci diri dalam kamarnya hampir satu harian.

Selama ini Danupaksi hanya menganggap kalau Pandan Wangi mungkin rindu hendak bertemu Rangga. Tidak ada terlintas di benaknya kalau kekasih kakak tirinya itu memiliki ganjalan akibat mimpi-mimpi yang selalu datang menghantui setiap malam. Memang tidak ada yang tahu apa yang terjadi dalam mimpi Pandan Wangi.

Tapi Danupaksi sudah bisa menduga kalau mimpi yang dialami Pandan Wangi merupakan pertanda. Dan pemuda itu tidak bisa menduga, karena tidak pernah tahu tentang mimpi itu. Sedangkan Cempaka sendiri juga tidak mengetahuinya. Pandan Wangi selalu mengelak untuk menceritakan perihal mimpi-mimpinya yang datang hampir setiap malam dalam satu pekan ini.

***

"Tidaaak...!"

Danupaksi terjaga dari tidurnya ketika tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Pemuda itu melompat bangun dari pembaringannya. Jeritan itu hanya terdengar sekali, dan sekarang berganti suara isak tangis. Bergegas Danupaksi keluar dari kamarnya, lalu menuju arah datangnya suara tangisan itu. Sebentar Danupaksi tercenung ketika tiba di depan pintu kamar Cempaka. Masih terdengar suara isak tangisan, dan datangnya dari dalam kamar di depannya. Agak ragu-ragu juga, tapi akhirnya Danupaksi memberanikan diri mengetuk pintu kamar adik tirinya itu.

"Cempaka..." panggil Danupaksi sambil mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat. Tidak ada sahutan. Danupaksi mencoba membuka pintu yang tidak terkunci. Segera didorongnya pelahan-lahan. Keadaan dalam kamar tidak begitu terang, hanya sebuah pelita kecil yang menyala redup tak sanggup menerangi seluruh kamar yang luas ini. Tampak di atas pembaringan, sesosok tubuh ramping tergolek gelisah. Memang suara tangisan itu datang dari sana.

"Cempaka...," Danupaksi terkejut juga begitu dekat. Ternyata Cempaka menangis di dalam tidurnya. Danupaksi duduk di tepi pembaringan, lalu tangannya menyentuh pundak gadis itu. Tapi mendadak saja...

"Tidak! Jangaaan...!" Cempaka tiba-tiba saja menjerit keras.

Danupaksi terkejut, langsung mengangkat tangannya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cempaka menyentakkan tangannya, hingga menghantam perut pemuda itu. "Hughk!" Danupaksi mengeluh pendek. Pemuda itu sampai terjatuh ke lantai, tapi bergegas berdiri, tepat saat Cempaka bangun dengan mendadak. Gadis itu nampak tersengal, dan keringat bercucuran di sekitar wajah dan lehernya. Perlahan Danupaksi menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan lagi.

"Cempaka…" panggil Danupaksi pelan seraya menyentuh punggung tangan adik tirinya ini.

"Oh ...!" Cempaka tersentak kaget, langsung menoleh dan menatap Danupaksi. Cempaka tiba-tiba saja memeluk Danupaksi dan menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Danupaksi jadi keheranan, tapi dibiarkan saja adik tirinya itu menangis. Memang tidak ada yang bisa dilakukan, selain membiarkan gadis itu menangis di dalam pelukannya.

"Cempaka…" pelan suara Danupaksi setelah cukup lama Cempaka menangis memeluknya. Pelahan-lahan Cempaka melepaskan pelukannya. Buru-buru diseka air mata dengan punggung tangannya. Beberapa kali gadis itu menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak. Sedangkan Danupaksi membiarkan saja, menunggu sabar.

"Ada apa, Cempaka? Kau bermimpi?" tanya Danupaksi lembut. Cempaka masih belum bisa menjawab. Hanya anggukan kepalanya saja untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. "Masih terlalu malam, tidurlah lagi," ujar Danupaksi seraya bangkit berdiri.

"Danupaksi..." selak Cempaka seraya memegang tangan pemuda itu.

Terpaksa Danupaksi duduk lagi di tepi pembaringan. Sesaat mereka hanya terdiam saling tatap. Danupaksi belum ingin membuka suara, membiarkan Cempaka lebih tenang dulu.

"Kau percaya arti sebuah mimpi, Danupaksi?" tanya Cempaka begitu pelan dan lirih suaranya.

Danupaksi tidak segera menjawab, tapi malah memandangi saja raut wajah gadis itu. Hatinya mulai merasa tidak tenang karena teringat akan kata-kata Cempaka siang tadi. Kepergian Pandan Wangi dari istana ini juga diakibatkan sering mendapat mimpi. Dan sekarang Cempaka juga mendapat mimpi yang membuat gadis itu bagai kerasukan setan.

"Mimpi hanya bunga tidur Cempaka," Danupaksi mencoba menghibur.

"Tapi..." suara Cempaka terputus.

"Masih terlalu malam. Tidurlah kembali," bujuk Danupaksi seraya merebahkan tubuh gadis itu. Danupaksi hendak meninggalkan kamar ini, tapi Cempaka memegangi tangan pemuda itu. Terpaksa Danupaksi tetap duduk di tepi pembaringan, sedangkan Cempaka sudah rebah kembali. Malam memang masih terlalu larut, dan suasana pun begitu sunyi. Sesekali terdengar detak langkah kaki penjaga yang bertugas malam ini.

"Kau tidur di sini, Kakang," pinta Cempaka.

"Jangan gila, ah!" sentak Danupaksi terkejut

"Malam ini saja..." rengek Cempaka memohon.

"Jangan bersikap seperti anak kecil, Cempaka. Kita berada dalam lingkungan istana. Tidak baik kalau aku keluar pagi-pagi dari kamarmu."

"Tapi..."

"Tidurlah. Kalau ada apa-apa, aku ada di depan..." Danupaksi menepuk punggung tangan gadis itu kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar.

Cempaka tidak bisa mencegah lagi. Memang benar apa yang dikatakan Danupaksi. Meskipun mereka bersaudara, tapi bisa mendatangkan malapetaka bila ada yang melihat Danupaksi tidur di kamar ini. Cempaka masih terbaring, namun matanya terpentang lebar menatap langit-langit kamarnya.

Sementara pintu kamar sudah tertutup kembali setelah Danupaksi keluar. Terdengar suara pemuda itu memanggil penjaga, dan memerintahkan untuk tetap berada di depan pintu kamar ini. Sementara Cempaka berusaha untuk tidur kembali, tapi begitu sulit. Bayang-bayang mimpi tadi masih membekas nyata di dalam ingatannya.

"Oh...," keluh Cempaka jadi gelisah.

***
DUA
Sementara itu jauh di luar Kerajaan Karang Setra, tepatnya di kaki lereng Gunung Ajibarang, tampak seorang laki-laki muda berwajah tampan tengah duduk bersila di atas sebongkah batu besar dan pipih. Rambutnya panjang meriap sedikit tergelung ke atas. Sebuah pohon kayu yang cukup rindang menaunginya dari sengatan cahaya matahari.

Pemuda itu duduk bersila, tapi matanya terpejam. Kedua telapak tangannya menempel pada lutut yang ditekuk. Dada yang terbuka lebar, bergerak turun naik teratur. Angin siang ini cukup keras, membuat baju putih tanpa lengan yang dikenakannya berkibar-kibar. Pemuda itu membuka kelopak mata saat telinganya mendengar ranting patah terinjak.

"Itu dia! Seraaang…!" Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras, disusul berlompatannya beberapa orang bersenjata golok terhunus dari dalam semak belukar. Sekitar dua puluh orang itu langsung menyerang pemuda yang tengah duduk bersila di atas batu.

"Hup!" pemuda itu bergegas melompat, menghindari sabetan sebilah golok yang begitu cepat mengarah ke pinggangnya. Dan begitu kakinya mendarat ke tanah, satu serangan cepat datang dari arah samping. Bergegas pemuda berbaju putih tanpa lengan itu menggeser kakinya ke samping, sehingga tebasan golok itu lewat sedikit. Namun angin tebasan golok yang begitu kuat membuat tubuhnya agak limbung. Pada saat yang hampir bersamaan, sebuah kaki melayang deras mengarah ke punggungnya.

"Uts!" Cepat-cepat pemuda itu berkelit, namun tidak bisa lagi menghindari satu pukulan keras yang mendarat di bahu kanannya. Dia memekik tertahan, dan tubuhnya terdorong limbung. Pada saat itu satu tendangan keras menggeledek mendarat di punggungnya, sehingga membuatnya terjerembab mencium tanah. Belum lagi bisa bangkit, sebuah golok meluruk deras ke arahnya. Buru-buru digelimpangkan tubuhnya sehingga tebasan golok itu hanya mengenai tanah kosong. Tapi beberapa golok kembali cepat mencecarnya, membuat pemuda itu harus bergelimpangan menghindari setiap serangan yang datang beruntun tanpa henti.

"Hup!" Begitu ada kesempatan, pemuda itu bergegas melompat bangkit berdiri. Namun belum juga dapat berdiri tegak di atas kedua kakinya, satu pukulan keras kembali mendarat di dadanya. Pukulan yang begitu keras dan cepat luar biasa, tidak dapat dihindari lagi.

"Akh!" pemuda itu memekik tertahan. Tubuhnya kembali limbung terdorong ke belakang. Pada saat itu, salah seorang pengeroyoknya telah melompat cepat sambil berteriak keras, mengibaskan goloknya ke arah leher. Namun mendadak saja orang itu terpental sebelum berhasil membabatkan goloknya ke leher pemuda itu. Belum lagi ada yang menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebatan cepat. Dan entah bagaimana awalnya, tahu-tahu dua puluh orang itu sudah berpelantingan dan golok mereka beterbangan ke udara!

Jerit dan pekik terdengar sahut-menyahut. Namun kedua puluh orang itu bergegas bangkit berdiri. Semua terperanjat. Ternyata golok tidak lagi berada di tangan mereka. Dan lebih terkejut lagi, karena tiba-tiba saja di samping pemuda itu sudah berdiri seorang gadis berparas cantik mengenakan baju biru.

"Nisanak, siapa kau? Kenapa menolong iblis keparat itu?" bentak salah seorang yang mengenakan baju kuning ketat. Wajahnya dihiasi kumis tebal melintang. Wanita berbaju muda itu tidak menyahut. Diliriknya pemuda di sampingnya. Wajah yang tampan, terlihat membiru lebam. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Pemuda itu memegangi dadanya, dengan bernapas tersengal.

"Kau terluka?" tanya wanita itu tidak menghiraukan dua puluh orang yang kelihatan berang.

"Ya..." desah pemuda itu pelahan. Lemah sekali suaranya.

"Siapa mereka? Kenapa mengeroyokmu?"

"Aku... aku tidak tahu." Wanita berbaju biru muda itu memandangi wajah pemuda di sampingnya dalam-dalam. Tersirat sesuatu dalam sinar matanya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, disambarnya tubuh pemuda itu, dan langsung melesat pergi.

"He!" "Berhenti... !" Tentu saja kedua puluh orang itu jadi terkejut setengah mati. Mereka cepat-cepat memungut goloknya yang tergeletak di tanah, dan langsung berlompatan mengejar. Namun wanita berbaju biru itu sudah lenyap bagai ditelan bumi. Meskipun sudah tidak terlihat lagi bayangannya, kedua puluh orang itu terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

***

Di mana sebenarnya wanita berbaju biru itu? Ternyata dia berada di atas pohon yang cukup tinggi dan lebat. Wanita itu mengawasi dua puluh orang yang berlarian cepat dan semakin jauh meninggalkan tempat ini. Setelah kedua puluh orang itu tidak terlihat lagi, barulah tubuhnya melompat turun sambil membawa pemuda yang nampak lemah. Diletakkannya pemuda itu duduk di bawah pohon.

"Kakang..." agak tertahan suara wanita cantik berbaju biru muda itu. Sepasang bola matanya yang bening bulat dan indah, agak berkaca-kaca merayapi wajah yang tampan biru lebam. Sedangkan yang dipandangi hanya diam, duduk bersila. Sinar matanya sangat redup. Perlahan mengangkat kepalanya, membalas tatapan mata wanita di depannya.

"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku." ucap pemuda itu lirih.

"Oh, Kakang...! Kau tidak mengenaliku lagi...?!" semakin terdengar tersendat suara wanita itu.

Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya memandanginya saja. Redup sekali sinar matanya. Bahkan raut wajahnya juga demikian kosong, bagai tidak memiliki gairah hidup lagi. Tiba-tiba saja wanita berbaju biru muda menghambur, langsung memeluk pemuda itu. Tangisnya tak dapat ditahan lagi, terisak-isak menyembunyikan wajahnya di dada yang bidang terbuka lebar. Tapi pemuda itu hanya diam saja dengan raut wajah terlihat kebingungan. Perlahan dilepaskan pelukan wanita cantik berbaju biru pemuda itu.

"Nisanak, kenapa menangis?" pelan sekali suara pemuda itu bertanya.

"Kakang... kau..." tersendat suara wanita cantik berbaju biru muda itu. Perlahan digeser duduknya agak menjauh. Sepasang bola matanya berputar merayapi wajah yang lesu tanpa gairah kehidupan lagi. Perlahan sekali gadis menggeleng-gelengkan kepalanya. Tatapan matanya seperti tidak mempercayai apa yang ada di depannya ini.

"Kakang... Aku Pandan, Kakang. Kau tidak mengenaliku lagi?" tersendat suara gadis berbaju biru tua itu. Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya memandangi saja dengan mata redup. Sementara gadis yang mengaku bernama Pandan Wangi itu jadi keheranan, bercampur sedih melihat pemuda yang selama ini dirindukan tidak mengenalinya lagi. Pandan Wangi mengamati pemuda berbaju rompi putih yang diyakini adalah Rangga itu, sambil menggeleng beberapa kaget.

"Kakang, ke mana pedangmu?" tanya Pandan Wangi ketika melihat di punggung pemuda itu tidak ada pedang. Padahal senjata itu adalah ciri dan kebanggaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Pedang..." pemuda yang diyakini Pandan Wangi sebagai Rangga itu malah melihat seperti kebingungan.

"Oh, Kakang... Apa yang terjadi terhadapmu?" Pandan Wangi tidak lagi menyembunyikan kesedihannya. Air matanya jatuh berlinangan tak terbendung lagi. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan Pandan Wangi saat itu. Berhari-hari mencari Rangga yang sangat dicintai, tapi setelah bertemu, pemuda itu seperti orang bodoh, Bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Sedih, gundah, bingung, dan entah apa lagi yang ada di dalam dada gadis itu. Semua perasaannya hanya ditumpahkan lewat air mata. Inilah air mata yang pertama kali dalam hidupnya!

"Nisanak..." pelan suara Rangga.

"Oh, Kakang..." desah Pandan Wangi di sela isak tangisnya.

"Siapa kau ini? Mengapa menangis?" tanya Rangga.

"Kakang! Kau benar-benar tidak mengenaliku? Aku Pandan Wangi, Kakang. Kekasihmu..." sahut Pandan Wangi sambil menahan kesedihan yang amat sangat di hatinya.

"Pandan Wangi...?" Rangga memandangi gadis cantik di depannya. "Kakang, apa yang telah terjadi padamu? Mengapa begitu cepat melupakan diriku?" tanya Pandan Wangi.

"Aku.... Aku... tidak tahu," sahut Rangga kebingungan.

Pandan Wangi menyeka air mata dengan punggung tangannya, sebentar kemudian menarik napas panjang. Dirayapinya wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tampak kebingungan itu. Perlahan, gadis itu bisa menguasai perasaannya. Dugaannya, pasti Rangga mengalami sesuatu yang membuat dirinya sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi! Bahkan mungkin Rangga tidak mengetahui dirinya lagi. Pandan Wangi menggeser duduknya lebih mendekat lagi. Diambilnya tangan Rangga dan digenggamnya erat-erat. Sedangkan pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih itu hanya diam saja.

"Siapa namamu, Kakang?" tanya Pandan Wangi. Suaranya sudah terdengar agak tenang.

"Aku.... Aku," pemuda itu jadi kebingungan.

Dan Pandan Wangi langsung bisa menangkap kalau pemuda ini benar-benar tidak mengenali lagi dirinya. Dan semakin diyakini kalau Pendekar Rajawali Sakti mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan pikirannya, sehingga lupa akan segala-galanya. Bahkan dirinya sendiri saja tidak tahu. Pandan Wangi semakin erat menggenggam tangan pemuda itu.

"Namamu Rangga, Kakang. Julukanmu Pendekar Rajawali Sakti. Kau juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra. Dan aku sendiri bemama Pandan Wangi, kekasihmu, Kakang," jelas Pandan Wangi.

"Rangga.... Pandan Wangi..." pemuda itu menggumamkan nama-nama yang disebutkan Pandan Wangi. Dipandanginya wajah cantik di depannya lekat-lekat.

"Benar. Namamu Rangga dan aku Pandan Wanggi," Pandan Wangi mengulangi.

"Benarkah?"

"Benar, Kakang. Kau seorang pendekar, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti."

"Pendekar Rajawali Sakti..." lagi-lagi Rangga menggumam pelan.

"Itu julukanmu, Kakang. Di dalam rimba persilatan, kau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti," Pandan Wangi tidak jenuh menjelaskan.

"Benarkah aku seorang pendekar?" nada suara Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Ingin rasanya Pandan Wangi menangis dan menjerit sekuat-kuatnya menghadapi kenyataan ini. Tapi sekuat daya dia berusaha untuk bisa tenang. Digigit-gigitnya bibirnya sendiri, mencoba melawan gejolak perasaan yang beraneka ragam berkecamuk dalam dada. Pandan Wangi teringat pada mimpi-mimpi yang selalu menghantuinya belakangan ini. Apakah semua ini kenyataan dari setiap mimpi yang hadir di dalam tidurnya?

Pandan Wangi menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dicobanya untuk tetap tegar, meskipun hatinya tercabik bagai sehelai kain rapuh. Baru saja gadis itu hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan disertai langkah-langkah kaki yang berlarian menuju tempat ini. Pandan Wangi bergegas berdiri. Wajahnya langsung berubah menegang begitu melihat banyak orang berlarian ke arahnya sambil menghunus senjata. Sebentar gadis itu memandang ke sekelilingnya. Orang-orang itu datang dari segala arah, dan tempat ini benar-benar terkepung.

"Oh, ada apa ini...?" Pandan Wangi jadi kebingungan. Bergegas gadis itu membangunkan Rangga yang sejak tadi hanya diam duduk bersila. Pandan Wangi semakin bingung, karena sikap Rangga seperti tidak mempedulikan keadaan ini. Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu bersiul keras dua kali. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ringkik kuda, disusul munculnya seekor kuda putih yang tinggi dan tegap.



"Hup!" Sambil menyambar tubuh Rangga, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat cepat bagai kilat ke punggung kuda putih itu. Langsung saja digebah, sehingga membuat kuda putih itu terlonjak meringkik keras. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya, kuda putih itu berlari cepat.

"Hiya!! Hiyaaa...!"

"Kejar! Jangan biarkan mereka lolos...!" terdengar teriakan memerintah yang begitu keras. Pandan Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Langsung dikeluarkan senjatanya. Pedang Naga Geni yang berwarna merah itu berkelebatan cepat membuka kepungan orang yang berjumlah begitu banyak. Sungguh luar biasa! Kibasan pedang merah itu membuat orang-orang yang mengepung menjadi porak-poranda bagai daun-daun kering terhempas angin!

"Ayo, Putih! Cepat pergi dari sini!" seru Pandan Wangi seraya menghentakkan tali kekang kuda putihnya. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut, dibarengi ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah!

Sementara Pandan Wangi terus mengibaskan cepat pedangnya sambil menghentakkan tali kekang agar kuda putih itu terus bergerak cepat membuka jalan keluar dari kepungan yang semakin terlihat rapat. Sedangkan Rangga yang berada di belakang Pandan Wangi, hanya diam saja. Sedikit pun tidak melakukan sesuatu. Padahal Pandan Wangi berusaha keras keluar dari kepungan ini. Sedikit demi sedikit, gadis itu bisa menghalau para pengepungnya. Dan begitu melihat ada celah, bergegas digebah kudanya kuat-kuat.

"Hiyaaa...!" Kuda putih itu meringkik keras, langsung melompat melewati beberapa kepala. Bagaikan kilat, kuda putih itu berlari menerobos kelebatan hutan. Pandan Wangi terus menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.

Sementara di belakang, orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak. Suara-suara keras bernada memerintah terus terdengar, disertai umpatan dan caci maki. Namun Pandan Wangi sudah begitu jauh bersama kuda putihnya dan Pendekar Rajawali Sakti yang membonceng di belakang.

***

Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya. Dipandanginya Rangga yang turun dari kuda seperti bukan seorang pendekar saja. Lompatannya begitu berat, dan seperti tanpa daya. Gadis itu melangkah mendekati sungai kecil yang mengalir tepat di depannya. Sedangkan Rangga hanya diam saja, duduk bersandar di bawah pohon. Kuda putih sudah asyik merumput tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih itu.

Pandan Wangi menghampiri setelah selesai membasuh mukanya di sungai. Sambil mendesah panjang, gadis itu duduk di depan Rangga. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian digenggamnya tangan Rangga erat-erat. Perlahan tangan pemuda itu dibawa ke depan bibirnya, dan dikecupnya lembut. Terasa dingin punggung tangan pemuda itu, dan Pandan Wangi menggenggamnya penuh kehangatan.

"Walaupun aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku yakin kalau kau adalah kekasihku," kata Pandan Wangi pelan.

"Nisanak! Mengapa kau begitu yakin kalau aku kekasihmu?" tanya Rangga.

"Meskipun kau jauh berubah, bahkan tidak mengenali dirimu sendiri, tapi hatiku mengatakan kalau kau adalah Rangga," tegas Pandan Wangi pasti.

"Jika aku memang Rangga, apa yang kau ketahui tentang diriku?"

"Oh, Kakang. Mengapa kau siksa aku seperti ini?" keluh Pandan Wangi lirih. "Katakan, Kakang. Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan dirimu?"

Pemuda yang diyakini Pandan Wangi sebagai Pendekar Rajawali Sakti itu melepaskan genggaman tangan Pandan Wangi, kemudian bangkit berdiri. Pelahan-lahan kakinya terayun mendekati sungai. Dia berlutut di tepi sungai dan memandangi wajahnya yang terpantul di air. Sementara Pandan Wangi sudah berdiri. Dihampirinya pemuda itu, lalu berdiri di belakangnya. Agak lama juga Rangga memandangi dirinya di dalam sungai yang berair jernih, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri dan berbalik menghadap Pandan Wangi. Dipandanginya gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Ceritakan tentang diriku yang sebenarnya, Nisanak," pinta Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menceritakan tentang diri Pendekar Rajawali Sakti. Diceritakan juga tentang pertemuannya, pengembaraannya mengarungi rimba persilatan yang penuh kekerasan dan tanpa mengenal arti kehidupan wajar. Hanya hukum rimba yang ada. Siapa kuat, dialah yang menguasai kehidupan! Sampai pada hal-hal terkecil Pandan Wangi menceritakan. Dan Rangga mendengarkan penuh perhatian.

"Ada sesuatu yang kau ingat, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah mengakhiri ceritanya tentang diri Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepalanya.

"Kakang..., dari mana asalmu?" tanya Pandan Wangi mencoba membuka ingatan Rangga.

"Aku... aku tidak tahu," sahut Rangga.

"Kau tidak lahir ke dunia ini dengan begitu saja, bukan? Kau tidak langsung besar, dan tentu punya ayah, ibu, saudara, dan tempat kelahiran. Apa kau tidak tahu itu, Kakang?"

Pemuda berbaju rompi putih itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya menyiratkan ketidak-mengertian terhadap penjelasan Pandan Wangi.

"Aku yakin, kau pasti Rangga. Tapi, mengapa kau jadi tidak ingat dirimu sendiri...?" Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Pandan Wangi benar-benar tidak mengerti. Sungguh tidak diketahui, apa penyebabnya sehingga Rangga menjadi seperti ini? Yang tidak mengetahui lagi siapa dirinya yang sebenarnya. Bahkan tidak tahu dari mana berasal. Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir! Tidak mengenali dunia yang dipijaknya. Gadis itu jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana dia bisa mengetahui dan menolongnya kalau yang hendak ditolong saja tidak ingat apa-apa? Tapi bukanlah Pandan Wangi kalau menyerah begitu saja. Gadis itu bertekad dalam hati, untuk mengembalikan Rangga seperti semula. Namun dia tidak tahu, bagaimana caranya, dan dari mana harus memulai?

"Kakang, di mana kau sebelum berada di hutan itu tadi?" tanya Pandan Wangi.

"Di hutan...?"

"Iya, waktu kita diserang tadi."

"Aku tidak tahu. Tapi..."

"Tapi apa, Kakang?" Pandan Wangi mulai gembira melihat Rangga mulai berpikir.

"Aku..., aku tidak ingat," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mari, Kakang. Kita kembali ke tempat itu," ajak Pandan Wangi.

Pemuda yang tidak bisa mengingat apa pun itu hanya menuruti saja. Kakinya melangkah di samping Pandan Wangi yang sudah menuntun kuda putihnya. Mereka berjalan sambil berbicara apa saja. Terutama Pandan Wangi. Pembicaraannya selalu mengarah tentang siapa diri Rangga sebenarnya. Gadis itu tidak juga putus asa, meskipun yang diajak bicara selalu tidak tahu, seperti orang linglung.

***
TIGA
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan tempat pertama kali menemukan Rangga yang kini tidak mengenal lagi dirinya. Masih terlihat beberapa mayat bergelimpangan tak tentu arah. Bau anyir darah menyebar terhempas angin yang tertiup agak kencang. Sedangkan pemuda berbaju rompi di sampingnya hanya berdiri saja memandangi mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

"Di tempat ini kita bertemu, Kakang," jelas Pandan Wangi.

"Kenapa banyak orang mati di sini?" tanya Rangga seperti orang bodoh.

"Mereka yang menyerang kita tadi, dan hendak membunuhmu," sahut Pandan Wangi.

"Membunuhku…?! Apa salahku?"

"ltulah yang harus kita ketahui, Kakang. Mengapa mereka hendak memhunuhmu?"

"Aku..., aku tidak mengerti. Mereka tiba-tiba saja datang lalu menyerangku. Aku... aku...."

"Teruskan, Kekang... Teruskan," Pandan Wangi mulai gembira melihat Rangga mulai bisa mengingat sesuatu.

"Oh, batu ini..." Rangga menghampiri sebongkah batu yang cukup besar. "Aku ingat. Ketika aku duduk di sini, mereka tiba-tiba menyerangku. Tapi.... Aku tidak tahu, mengapa mereka tiba-tiba menyerangku?"

"Sebelum duduk di sini, kau berada di mana?" tanya Pandan Wangi mulai melihat adanya harapan.

Pemuda berbaju rompi putih itu tidak segera menjawab. Sebentar dipandanginya gadis cantik di dekatnya, kemudian pandangannya merayapi ke sekeliling. Perlahan-lahan kakinya terayun melangkah. Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Rangga terus berjalan menuju Utara, menyibak semak belukar dan rapatnya pepohonan di dalam hutan ini.

Dan Pandan Wangi mulai berseri wajahnya kala mendapatkan bekas jejak-jejak kaki tertera pada tanah berumput dan dipenuhi daun kering. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara Pandan Wangi semakin gembira melihat jejak kaki semakin jelas tertera. Namun tiba-tiba mereka berhenti. Ternyata di situ terdapat seekor kuda hitam sedang merumput di depan, di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.

"Dewa Bayu...," desis Pandan Wangi begitu mengenali kuda hitam itu. Bergegas Pandan Wangi menghampiri kuda yang telah berpelana itu. Pandan Wangi memegang tali kekang, dan membawanya mendekati Rangga yang memegangi tali kekang kuda putih milik gadis itu.

"Kakang, kau ingat! ini kuda siapa?" tanya Pandan Wangi.

Rangga tidak langsung menjawab. Dihampiri kuda hitam itu dan diambil tali kekangnya dari tangan Pandan Wangi. Sementara gadis itu menyingkir, menghampiri kudanya sendiri. Gadis itu tersenyum, karena kuda hitam itu terangguk-angguk menyorongkan kepalanya pada pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga tersenyum dan menoleh memandang Pandan Wangi yang juga tengah tersenyum gembira. Semakin diyakini kalau pemuda itu adalah Rangga. Karena, Dewa Bayu tidak akan bersikap demikian pada seseorang yang tidak dikenalnya.

"Kuda ini jinak sekali, Pandan. Siapa pemiliknya?" tanya Rangga seraya mengelus-elus leher kuda hitam itu.

"Kaulah pemiliknya," sahut Pandan Wangi.

"Aku?" Rangga memandangi kuda hitam itu, kemudian melompat naik ke punggungnya.

Dan Pandan Wangi tersenyum penuh keharuan melihat kuda itu tidak bergeming sedikitpun. Jelas sudah, kalau pemuda itu memang benar-benar Rangga. Tapi masih ada ganjalan di hati gadis itu. Masih belum jelas, mengapa Rangga jadi lupa akan dirinya sendiri?

"Bagaimana, Pandan? Kuda ini kelihatannya menyukaiku," Rangga tersenyum lebar.

"Kau gagah sekali, Kakang," agak tersedak suara Pandan Wangi.

Gadis itu melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Seekor kuda putih yang tegap dan berotot indah. Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama menggebah kudanya perlahan-lahan melintasi padang rumput yang tidak seberapa luas ini. Sesekali Pandan Wangi melirik pemuda yang berkuda di sampingnya.

Setiap kali memandang wajah pemuda itu ada sesuatu yang membuat hatinya begitu trenyuh. Namun, Pandan Wangi tidak ingin menunjukkan kegalauan hatinya. Mereka kembali berhenti setelah tiba di seberang padang rumput itu. Tak ada lagi jejak yang bisa diikuti, dan berhenti di tempat ini. Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya. Rangga juga mengikuti, lalu berdiri di samping kanan gadis itu.

"Ke mana lagi?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu," sahut Rangga seperti kebingungan.

"Cobalah kau ingat-ingat, Kakang. Pernahkah kau lewati tempat ini?"

"Entahlah...," desah Rangga terdengar ragu-ragu.

Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Hanya dipandangi saja wajah pemuda yang nampaknya sedang berusaha mengingat-ingat. Dengan sabar gadis itu menunggu Rangga untuk bisa mengingat, apakah pernah melewati daerah ini atau tidak. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mengingat sesuatu, tiba-tiba saja.

"Hik hik hik...!"

***

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul seorang perempuan tua berjubah hitam memegang cambuk ekor kuda. Rambutnya yang tergelung ke atas seluruhnya berwarna putih. Ada sebuah amel berwarna kuning emas menghiasi gelungan rambutnya, Di lehernya melingkar seuntai kalung dari batu-batu hitam, bagai tasbih seorang pendeta. Keterkejutan Pandan Wangi lenyap saat melihat Rangga tengah terpaku memandangi perempuan tua itu.

"Kau,... Kau..., iblis!" tiba-tiba Rangga menggeram.

"Hik hik hik...," perempuan tua itu terkikik.

"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!" Cepat sekali, tahu-tahu Rangga sudah melompat menerjang perempuan tua itu. Namun mendadak nenek perempuan tua berjubah hitam itu mengibaskan cambuknya, menyampok terjangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga Rangga tidak bisa lagi berkelit menghindarinya.

Ctar! "Akh...!"

"Kakang...!" pekik Pandan Wangi terkejut.

Rangga terpelanting dan bergulingan di tanah namun bisa cepat bangkit. Tampak di dada sebelah kirinya membiru bekas cambukan perempuan tua itu. Sementara Pandan Wangi berlari menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi cemas.

"Tidak," sahut Rangga.

"Menyingkirlah kau, Pandan."

"Bagus! Kau juga boleh maju sekalian, Kipas Maut!" dengus perempuan tua itu dingin. Suaranya kering dan serak.

"Siapa kau?!" sentak Pandan Wangi.

"Hik hik hik... Tanyakan saja pada kekasih tololmu itu, Kipas Maut!" sahut perempuan tua itu.

Pandan Wangi memandang Rangga yang saat itu juga menoleh padanya.

"Cambuk saktiku sudah membuatnya pulih," kata perempuan tua itu lagi.

"Kakang...," pelan suara Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu...," sahut Rangga, bisa dimengerti arti pandangan Pandan Wangi. Padahal gadis itu belum bertanya apa-apa lagi padanya.

"Aku..., aku... Akh!"

"Kakang...!"

"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!" Rangga menerjang perempuan tua itu. Namun mendadak saja, perempuan tua berjubah hitam itu mengibaskan cambuknya.

"Ctar!" Rangga tidak sempat berkelit lagi. Cambuk itu tepat mengenai dada sebelah kirinya! Tiba-tiba saja Rangga meraung keras sambil memegangi kepalanya yang terdongak ke atas. Seketika Pandan Wangi panik. Tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Sementara Rangga sudah menggeliat-geliat di tanah, meraung keras bagai ayam disembelih. Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan tua berjubah hitam itu. Tapi dia sudah tidak ada lagi di sana!

"Kakang..., kau kenapa?" Pandan Wangi semakin cemas melihat keadaan Rangga yang menggelepar dan meraung-raung di tanah.

Pandan Wangi menghambur memeluk Rangga yang tiba-tiba saja mengejang kaku, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi! Dari mulutnya mengalir cairan hijau kekuning-kuningan. Pandan Wangi memeluk tubuh pemuda itu, dan pandangannya beredar ke seIiing. Tak ada seorang pun di tempat yang sunyi ini. Sementara Rangga masih belum sadarkan diri. Dadanya bergerak begitu lemah, dan kelopak matanya tertutup rapat. Pandan Wangi membersihkan cairan yang keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kakang, kau kenapa?" tersendat suara Pandan Wangi. Pandan Wangi memberikan beberapa totokan di sekitar dada Rangga. Tak, berapa lama kemudian, pemuda itu mulai siuman. Mulutnya mengeluh panjang dan agak lirih suaranya. Sebentar dikerjapkan matanya, kemudian bergegas bangkit duduk. Dipandanginya gadis cantik yang duduk dengan menekuk kedua lututnya.

"Pandan..., kaukah itu?"

"Oh, Kakang. Kau..., kau sudah ingat..?" Pandan Wangi gembira.

Pandan Wangi begitu gembira. Langsung dipeluknya pemuda itu. Keras sekali pelukan Pandan Wangi, hingga membuat Rangga sesak napas untuk sesaat. Dengan lembut, Rangga melepaskan pelukan gadis itu.

"Pandan? Mengapa kau ada di sini?" tanya Rangga penuh keheranan.

"Aku rindu padamu, Kakang. Aku selalu bermimpi buruk tentang dirimu," ungkap Pandan Wangi tanpa sungkan-sungkan lagi.

"Mimpi buruk?"

"Ya. Mimpi tentang keadaanmu."

"Ah, sudahlah! Bagaimana keadaan Danupaksi dan Cempaka?" tanya Rangga yang tidak mau berpikir lebih jauh lagi.

"Mereka baik-baik saja. Oh, ya. Danupaksi menitipkan ini padamu."

Pandan Wangi lalu menyerahkan selongsong bambu halus yang dititipkan Danupaksi kepadanya. Rangga menerimanya, dan membuka isinya. Ternyata hanya sebuah surat yang tidak begitu penting, dia segera menyimpan dalam lipatan bajunya. Rangga kembali menatap dalam-dalam Pandan Wangi. Rasanya, ingin diungkapkan seluruh perasaan hatinya. Tapi mengingat masih ada semacam gannjalan di hatinya, Rangga seperti tidak tahu harus berbuat apa. Sejenak suasana menjadi hening.

"Aku gembira kau sudah kembali pulih," ujar Pandan Wangi, memecahkan keheningan di antara mereka.

"Pulih...? Ada apa dengan diriku?" Rangga kelihatan heran.

"Jadi...?!" Pandan Wangi terkejut.

Dipandanginya dalam-dalam pemuda berbaju rompi putih itu. Gadis itu bukan hanya terkejut, tapi juga heran. Bagaimnna mungkin seseorang bisa begitu cepat melupakan peristiwa yang baru saja dialami? Dan ini terjadi pada Rangga, seorang pendekar digdaya yang sangat disegani baik lawan maupun kawan. Pandan Wangi semakin tidak mengerti, apa yang terjadi sebenarnya pada Rangga.

"Sebenarnya, apa yang terjadi padaku, Pandan? Mana...! Mana pedangku?" Rangga terkejut begitu disadari pedangnya tidak ada.

"Itulah yang ingin kutanyakan padamu, Kakang," jelas Pandan Wangi. Pandan Wangi bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri kudanya.

Sementara Rangga masih terduduk di atas rerumputan. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berdiri saat Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Hanya sekali lesatan, Rangga sudah duduk di atas punggung kuda hitamnya.

"Kau sudah pulih, tentu kau tahu apa yang terjadi hingga pedangmu hilang," kata Pandan Wangi.

Rangga tidak menjawab. Otaknya bekerja beberapa saat, mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Bahkan kini pedang pusakanya hilang. Pelahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, memandang Pandan Wangi.

"Siapa perempuan tua yang membawa cambuk ekor kuda itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi, mencoba membantu ingatan Rangga.

"Wanita tua? Wanita tua yang mana, Pandan?" Rangga malah balik bertanya.

"Belum lama dia muncul, lalu menghilang begitu saja setelah membuatmu pingsan tadi. Dia hanya mengatakan kalau cambuknya sudah bisa memulihkanmu kembali," jelas Pandan Wangi.

"Tapi aku juga heran, dia bisa mengenaliku. Bahkan kelihatannya begitu membenci melihat aku ada di sini."

"Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Rangga.

"Kalau aku tahu, untuk apa bertanya padamu," rungut Pandan Wangi.

Rangga meringis. Pertanyaannya memang bodoh. Tentu saja Pandan Wangi tidak tahu, dan tidak mungkin bertanya kalau sudah tahu. Rangga merutuk dirinya sendiri dalam hati.

"Aku juga tidak tahu, Pandan," ujar Rangga

"Tapi, sepertinya kau tadi mengenalnya, Kakang!"

"Oh, ya...?" Rangga terkejut.

"Kelihatannya kau amat membenci. Bahkan langsung menyerang. Tapi dia berhasil mencambuk dadamu. Katanya, cambukan itu bisa memulihkan semua ingatanmu," jelas Pandan Wangi kembali.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Pandan. Dia mencambukku, untuk memulihkan ingatanku...? Memangnya aku ini kenapa?" Rangga benar-benar kebingungan.

"Aku tidak tahu kau kenapa, Kakang. Tapi yang jelas ingatanmu sempat hilang. Bahkan kau tidak mengenali dirimu lagi. Kau juga tidak mengenali diriku dan tidak ingat setiap kejadian yang baru saja kita alami. Hanya itu yang kuketahui tentang dirimu," jelas sekali tutur kata Pandan Wangi.

Sedangkan Rangga hanya diam saja membisu. Diraba punggungnya yang kosong. Tidak ada lagi Pedang Rajawali Sakti di situ. Pendekar Rajawali Sakti lalu kembali memandang Pandan Wangi lekat-lekat. Penjelasan gadis itu memang gamblang, tapi membuatnya jadi bertambah bingung. Yang masih dipikirkan, mengapa pedangnya bisa terpisah dari dirinya. Belum pernah senjata andalannya itu ditinggalkan, meskipun hanya sebentar saja.

"Ada yang bisa diingat, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak... Eh, tunggu! Bukit Sanggung...!"

"Bukit Sanggung...?"

"Ayo, Pandan!"

Pandan Wangi tidak sempat lagi bertanya, karena Rangga sudah menggebah cepat kudanya. Buru-buru gadis itu melarikan kudanya mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sulit dimengerti, mengapa tiba-tiba Rangga menyebut Bukit Sanggung. Namun si Kipas Maut itu mulai gembira, karena Rangga sudah bisa mengingat kembali.

***

Bukit Sanggung memang tidak begitu indah untuk dinikmati. Hampir seluruh permukaan bukit itu hanya terdiri batu-batu kapur yang mudah sekali longsor, tidak terlalu tinggi, namun puncak bukit ini dapat terlihat jelas dari tempat yang cukup jauh sekalipun. Hanya sebentar Pandan Wangi memandangi bukit itu lalu mengalihkan perhatiannya pada pemuda berbaju rompi yang duduk di punggung kuda hitam di samping kanan.

"Tidak ada apa-apa di sini, Kakang," kata Pandan Wangi.

"Ada sebuah desa di balik bukit ini. Hm..., cukup sulit untuk ke sana," sahut Rangga.

"Kita bisa memutarinya."

"Sulit. Kalaupun bisa, makan waktu lama. Bisa dua pekan baru sampai."

"Tapi, bukit ini kelihatan kecil."

"Banyak jurang dan lembah serta rawa yang melingkari bukit ini. Belum lagi batu-batu itu sering longsor tiba-tiba," jelas Rangga.

"Lalu...?" "Hanya dengan satu cara."

"Rajawali Putih?" tebak Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, kemudian melompat turun dari punggung kudanya. Ditepuknya leher kuda itu tiga kali, maka Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pandan Wangi juga bergegas turun dari kudanya. Gadis itu hanya memandangi kedua ekor kuda yang berlari meninggalkan tempat ini. Sementara Rangga sudah berdiri memandang ke langit. Sebentar kemudian, mulutnya bersiul keras melengking tinggi. Nada suaranya terdengar aneh di telinga.

Pandan Wangi tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti itu memanggil Rajawali Putih. Tiga kali bersiul, bernada sama dalam waktu yang berselang cukup lama. Kepalanya masih terdongak memandang ke langit yang terlihat cerah siang ini. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum saat melihat satu titik keperakan di angkasa. Pandan Wangi jadi ikut melihat ke langit, dan juga tersenyum begitu melihat seekor burung rajawali tengah meluncur cepat ke arah mereka. Semakin lama terlihat jelas bentuknya yang besar bagai sebuah bukit kecil melayang di angkasa.

"Kemarilah, Rajawali!" seru Rangga keras seraya melambaikan tangannya.

"Khraghk!" Rajawali Putih menukik keras, dan langsung mendarat di depan Rangga. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih itu melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa itu. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri memandangi. Meskipun pernah melihat burung raksasa ini, tapi dia masih juga terpana.

"Ayo, Pandan! Apa mau tinggal di sini?" seru Rangga menyuruh Pandan Wangi naik.

"Oh! Eh, iya.... Hup!" Pandan Wangi melompat ringan bagai kapas tertiup angin. Manis sekali ditempatkan dirinya, duduk didepan Rangga. Sedangkan pemuda berbaju rompi putiuh itu menepuk leher burung raksasa itu tiga kali.

"Khraghk!"

Hanya sekali kepakan sayap saja, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke angkasa. Sekejap Pandan Wangi memejamkan mata. Dirasakan jantungnya seperti copot, dan darahnya berhenti mengalir begitu Rajawali Putih melambung tinggi ke angkasa. Untung saja Rangga tidak melihat, jadi si Kipas Maut itu tidak perlu merasa malu. Rajawali Putih terus meluncur ke atas Puncak Bukit Sanggung. Tampak dari atas, puncak bukit itu hanya terdiri dari tumpukan batu kapur rapuh dan mudah longsor. Hampir seluruh permukaannya putih bagai terselimut salju.

Tiga kali Rajawali Putih memutari puncak bukit itu, kemudian meluncur ke arah Barat. Sangat jelas terlihat keadaan di bawah sana dari ketinggian seperti ini. Dan Pandan Wangi membenarkan kata-kata Rangga tentang Bukit Sanggung kini. Memang tidak mudah untuk melaluinya. Apalagi menggunakan kuda. Tarlalu besar resikonya.

Pandan Wangi kembali menahan napas ketika tiba-tiba saja Rajawali Putih menukik, menuju sebuah hutan yang tidak begitu labat. Tapi burung rajawali raksasa itu tidak mendarat turun, dan hanya berputar-putar saja di atas permukaan hutan ini. Dan Pandan Wangi dapat melihat kalau di tengah-tengah hutan ini terdapat sebuah perkampungan yang tidak begitu besar. Nampak suasana di perkampungan itu sunyi sekali. Hanya beberapa orang saja terlihat. Begitu kecil, seperti seekor semut.

"Apa nama desa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak keras, karena angin di atas sini begitu bising.

"Desa Sanggung," sahut Rangga.

"Ke sana tujuan kita, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.

Rangga tidak menjawab. Diperintahkan Rajawali Putih agar mendarat di luar desa. Kembali Pandan Wangi merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak ketika Rajawali Putih meluruk deras menuju sebuah tempat yang tidak begitu banyak ditumbuhi pepohonan. Ringan sekali burung rajawali raksasa itu mendarat, sehingga tidak dirasakan kedua penunggangnya.

"Hup!" Rangga melompat turun, diikuti Pandan Wangi.

"Rajawali, jangan jauh-jauh. Aku masih membutuhkanmu," kata Rangga berpesan.

"Khraghk!"

Burung rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak memekakkan telinga. Pandan Wangi masih mematung memandangi burung raksasa itu dengan perasaan kagum.

"Ayo, Pandan," ajak Rangga.

"Oh!" Pandan Wangi tersentak kaget. Buru-buru gadis itu mengayunkan kakinya mengikuti Rangga yang sudah jalan lebih dahulu. Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

Mereka berjalan menembus hutan yang tidak begitu lebat, menuju Desa Sanggung yang terlihat jelas dari atas. Letaknya memang di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat. Maka, mudahlah bagi mereka untuk berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

***
EMPAT
Pandan Wangi agak heran juga, karena hampir semua penduduk Desa Sanggung selalu memperhatikannya. Terlebih lagi terhadap Rangga. Tapi, tak ada seorang pun yang menyapa. Mereka memperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Ingin gadis itu bertanya pada Rangga, tapi tidak mau membuka mulut lebih dulu. Ingin diketahui, ke mana tujuan Rangga di desa ini.

Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun kelihatan terawat. Halaman yang luas dipenuhi berbagai macam tanaman, sehingga dapat dipetik hasilnya. Seorang laki-laki berusia lanjut, menghampiri sambil terbungkuk-bungkuk. Nampaknya sudah mengenal Rangga.

"Oh, Den.... Mari silakan, Den," sambut laki-laki yang hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut saja.

"Terima kasih, Ki Buyut" sahut Rangga seraya melangkah kembali.

Laki-laki tua yang dipanggil Ki Buyut itu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi terpaksa mengikuti dari belakang. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak para penduduk desa memperhatikan dari jarak yang cukup jauh, di luar halaman rumah ini.

Ki Buyut mempersilakan Rangga dan Pandan Wangi duduk setelah mereka berada di beranda depan. Mereka duduk di sebuah balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan. Sementara Pandan Wangi masih juga memperhatikan sekelilingnya. Hannya masih diliputi rasa penasaran melihat tingkah para penduduk di desa ini.

"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke sini, Den." ujar Ki Buyut Kaweyan.

Rangga hanya tersenyum saja.

"Maaf, Ki. Apakah Kakang Rangga pernah datang ke sini?" tanya Pandan Wangi.

Ki Buyut Kaweyan memandangi gadis yang duduk di samping Rangga. Baru kali ini gadis itu dilihat dan dikenalinya. Pandan Wanai buru-buru memperkenalkan dirinya, dan mengaku sebagai teman dekat Pendekar Rajawali Sakti.

"Kira-kira dua pekan yang lalu, Den Rangga pernah berada di sini. Yaaah..., lebih kurang sepekan lamanya," jelas Ki Buyut setelah mengetahui gadis yang bertanya tadi adalah teman dekat Rangga. Tapi ada juga dugaan di hatinya kalau Pandan Wangi adalah kekasih pemuda berbaju rompi putih itu.

Pandan Wangi melirik Rangga yang hanya diam saja. Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih diliputi kabingungan, akibat ingatannya sedikit terganggu sehingga melupakan dirinya sendiri. Sedangkan Rangga sendiri seperti mengenal Ki Buyut, bahkan sepertinya memang kenal dekat. Hanya saja, yang masih belum bisa diingat, apakah ada sesuatu yang pernah terjadi di Desa Sanggung ini. Maka sekarang dicobanya untuk mengingat kembali.

"Ki Buyut, apakah Kakang Rangga mengalami seuatu di sini? Hm..., maksudku suatu peristiwa," tanya Pandan Wangi lagi. Terpaksa harus gadis itu yang lebih banyak bertanya, karena Rangga masih diliputi kebingungan. Malah hanya diam saja.

"Wah! Kalau masalah kejadian, seharusnya seluruh penduduk desa ini berterima kasih kepada Den Rangga, Nini Pandan Wangi. Tapi ini malah sebaliknya. Mereka begitu senang waktu Den Rangga terjerumus ke dalam jurang penuh lumpur dan batu-batu cadas berkapur, " sahut Ki Buyut Kaweyan.

"Bisa dijelaskan, mengapa Kakang Rangga terjerumus, Ki?" desak Pandan Wangi seraya melirik pemuda di sampingnya.

"Seharusnya Nini Pandan menanyakan pada Den Rangga sendiri. Aku sendiri tidak begitu jelas mengetahui kejadiannya. Tapi menurut apa yang kudengar, Den Rangga bertarung melawan Anta Gopa yang lebih dikenal sebagai Iblis Selaksa Racun. Aku tidak tahu persis, bagaimana kejadiannya sampai Den Rangga terjerumus ke dalam jurang," jelas Ki Buyut Kaweyan.

"Siapa itu Anta Gopa, Ki?" cecar Pandan Wangi yang mulai melihat adanya jalan terang untuk mengetahui sebab-sebab Rangga bisa melupakan dirinya sendiri.

"Seorang tokoh hitam yang sakti dan digdaya, Nini Pandan. Tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup menandingi, karena seluruh tubuhnya mengandung racun yang sangat ganas dan mematikan. Bahkan setiap gerakannya menimbulkan hawa racun. Di mana dia berada, di sekitarnya pasti dipenuhi hawa racun yang bisa membuat orang tewas hanya karena menghirup udara beracun di sekitar tubuhnya," kembali Ki Buyut Kaweyan menjelaskan.

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Diliriknya orang-orang yang masih memandang ke arah rumah ini dari luar halaman. Gadis itu heran mengapa seluruh penduduk seperti enggan mendekati rumah ini. Dan Pandan Wangi baru menyadari kalau di sekitar rumah ini sangat sepi, tak ada orang lain lagi selain Ki Buyut Kaweyan ini.

"Mereka semua tidak ada yang berani datang ke sini, Nini Pandan," ujar Ki Buyut, seolah mengetahui jalan pikiran Pandan Wangi.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi.

"Mereka takut keracunan, Nini," pelan suara Ki Buyut Kaweyan. Mata tuanya sedikit melirik ke arah Rangga yang masih tetap diam, duduk di samping Pandan Wangi.

"Maksudmu, Ki?" Pandan Wangi ingin penjelasan lebih jauh, meskipun sudah bisa menduga.

"Mungkin Den Rangga lebih tahu, Nini," sahut Ki Buyut merasa tidak enak untuk menjelaskannya.

"Mereka takut padaku, Pandan. Aku dianggap sudah tercemar racun akibat bertarung melawan Iblis Selaksa Racun," sahut Rangga menjelaskan tanpa diminta.

"Oh...," Pandan Wangi mendesah lirih.

"Dan sebaiknya kau juga jangan terlalu dekat denganku, Pandan," sambung Rangga lagi.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi.

"Mungkin aku tidak akan terpengaruh racun itu, tapi kau lain."

"Kita sudah tiga hari bersama-sama, tapi aku tidak merasakan adanya kelainan apa pun? Aku tidak percaya kalau kau bisa tercemar racun, Kakang. Aku tahu siapa dirimu. Aku pun tidak percaya kalau...," kata-kata Pandan Wangi terputus.

"Aku hanya manusia biasa, Pandan. Waktu bertarung melawan Iblis Selaksa Racun, aku juga merasakan hawa racun yang menyebar dari seluruh tubuhnya. Saat itu kepalaku terasa pening. Itulah sebabnya aku bisa dikalahkannya," tutur Rangga mulai teringat kembali pertarungannya melawan Iblis Selaksa Racun.

"Apakah racun itu yang juga menyebabkan dirimu kehilangan ingatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Entahlah," desah Rangga pelan.

***

Memang sulit untuk mencari sebab, mengapa Rangga bisa sempat kehilangan ingatan. Mungkin kalau tidak ditolong seorang perempuan aneh yang membawa senjata cambuk ekor kuda, Pendekar Rajawali Sakti itu masih belum bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya. Tapi Pandan Wangi masih belum mengerti, mengapa perempuan tua itu tiba-tiba muncul, dan membebaskan Rangga dari ketidaksadarannya.

Pandan Wangi benar-benar tidak tahu, dari mana harus memulai. Sebab, Rangga sendiri belum begitu pulih benar ingatannya. Terlebih lagi, tidak ada seorang penduduk pun yang suka didekati. Mereka takut terkena hawa racun, karena Pandan Wangi selalu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka juga menjauhi Ki Buyut Kaweyan.

"Pandan, kau sudah siap?"

"Oh!" Pandan Wangi tersentak dari lamunannnya.

"Kau melamun lagi, Pandan," tegur Rangga tahu-tahu sudah barada di samping gadis itu.

"Ayo kita berangkat sekarang, Kakang," kata Pandan Wangi seraya malompat naik ke punggung kudanya. Pandan Wangi memang berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya di depan Rangga, meskipun hatinya selau dirundung kegelisahan yang mendalam. Gadis itu selalu memikirkan keadaan Rangga yang belum benar-benar pulih ingatannya. Kadang-kadang Pendekar Rajawali Sakti itu masih juga lupa akan dirinya. Bahkan tidak jarang lupa pada Pandan Wangi ataupun Ki Buyut Kaweyan.

Tiga hari mereka berada di rumah Ki Buyut Kaweyan. Dan selama itu tidak ada yang bisa diperoleh walau hanya sekadar petunjuk. Mereka memang memutuskan untuk meninggalkan desa ini. Begitu juga Ki Buyut Kaweyan yang bersikeras untuk ikut dalam pengembaraan mereka, mencari kejelasan tentang jati diri Pendekar Rajawali Sakti yang seperti hilang. Terutama mencari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Tidak berapa lama kemudian, tiga ekor kuda bergerak meninggalkan halaman depan rumah Ki Buyut Kaweyan. Mereka mengendalikan kuda pelahan-lahan melintasi jalan desa yang berdebu. Beberapa penduduk yang kebetulan berada di jalan itu, bergegas menyingkir. Mereka seakan-akan takut, bagaikan melihat sosok makhluk mengerikan di atas punggung tiga ekor kuda.

Memang menyakitkan, tapi tak ada yang perduli. Hanya Pandan Wangi yang hatinya begitu sedih melihat sikap penduduk Desa Sanggung ini. Namun tidak ingin ditunjukkan kepedihan hatinya di depan Rangga. Sekuat daya gadis itu berusaha tegar dan tabah menghadapi kenyataan ini. Tekadnya sudah bulat, harus mengembalikan Rangga seperti semula dan harus mendapatkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang hilang dari punggung Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.

Ketiga penunggang kuda yang baru saja melewati perbatasan Desa Sanggung, langsung menghentikan langkah kuda masing-masing. Tiba-tiba saja di sekeliling mereka sudah bermunculan sekitar dua puluh orang bersenjata golok terhunus. Pandan Wangi mengenali kalau mereka semua adalah pengeroyok Rangga saat ingatan Pendekar Rajawali Sakti itu hilang.

"Ki Buyut! Rupanya kau benar-benar pengkhianat busuk!" salah seorang dari mereka membentak.

Pandan Wangi memandangi orang yang mengeluarkan suara itu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, mengenakan baju agak ketat berwarna merah. Tangannya memegang golok cukup besar ukurannya, yang berkilatan tertimpa cahaya matahari.

"Siapa dia, Ki Buyut?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik.

"Urawan, Wakil Ketua Partai Golok Perak," sahut Ki Buyut menjelaskan.

"Hm..., jadi mereka semua orang-orang Partai Golok Perak?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya sendiri.

"Benar," sahut Ki Buyut Kaweyan.

"Mereka dari Desa Sanggung?"

"Bukan. Tapi, tempat mereka memang tidak jauh dari desa itu."

"Kenapa mereka menuduhmu pengkhianat?" tanya Pandan Wangi lagi.

Belum lagi Ki Buyut Kaweyan menjawab, laki-laki berbaju merah yang dikenal bernama Urawan sudah membentak lagi. Suaranya keras, dan terdengar buas sekali.

"Apa yang kalian bicarakan, heh? Kalian mau coba-coba melawan, ya?!"

"Hm...," dengus Pandan Wangi yang muak melihat tingkah Urawan. Kalau saja Rangga tidak buru-buru mencegah, gadis itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Terpaksa Pandan Wangi diam saja, walaupun dadanya menggelegak menahan geram.

Sementara Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya sungguh indah dan ringan sekali. Sehingga saat kakinya menjejak tanah, tak terdengar satu suara sedikit pun.

"Aku tahu siapa dirimu, Urawan. Pergilah sebelum kulaporkan perbuatanmu pada Pemimpin Besar Partai Golok Perak," ancam Rangga tenang. Namun di balik suaranya yang tenang, tersimpan nada kemarahan yang meluap.

"Phuih! Jangan coba-coba mengancam, Pendekar Rajawali Sakti. Semua orang boleh gentar dan mengagumimu. Tapi aku tahu kalau kau sekarang ini tidak lebih dari seonggok sampah busuk! Kau harus mampus sebelum malapetaka yang lebih besar menimpa seluruh manusia!" lantang suara Urawan.

"Lancang sekali mulutmu, Urawan!" bentak Ki Buyut Kaweyan gusar.

"Kau juga harus mampus, Ki Buyut!" dengus Urawan ketus.

"Kata-katamu tidak mungkin lagi bisa dimaafkan, Urawan!" desis Ki Buyut Kaweyan menggeram. Wajah laki-laki tua itu memerah bagai terpanggang. Mendadak saja, Ki Buyut Kaweyan melompat sambil berteriak keras menerjang Urawan.

Namun rupanya Urawan sudah bersiap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan untuk berkelit. Dan dengan cepat goloknya dikibaskan ke arah pinggang Ki Buyut Kaweyan.

Wut! "Uts!" Cepat sekali Ki Buyut Kaweyan menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok Urawan hanya beberapa rambut di depan perut laki-laki tua itu. Namun Ki Buyut Kaweyan langsung melentingkan tubuhnya ke atas, melewati kepala laki-laki berbaju merah itu. Dan dengan satu tendangan keras, Urawan berhasil dibuat terjengkang ke depan.

"Setan keperat...!" geram Urawan bergegas memutar tubuhnya sambil mengibaskan goloknya.

Meskipun sudah berusia lanjut, namun Ki Buyut Kaweyan masih teriihat lincah. Manis sekali dihindari tebasan golok Urawan. Bahkan masih juga mampu memberikan serangan balasan. Pertarungan tidak mungkin bisa dihindari lagi. Bahkan Rangga sendiri sudah tidak bisa mencegah. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengawasi sembilan belas orang lainnya, kalau-kalau berbuat curang. Begitu juga Pandan Wangi.

Jurus demi jurus terlewat cepat. Namun belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Kini Ki Buyut Kaweyan sudah menggunakan senjatanya yang berupa rantai baja putih berbandul bola berduri dengan senjata itu, Ki Buyut Kaweyan semakin sukar ditaklukkan. Namun, rupanya Urawan juga bukan lawan enteng. Permainan jurus-jurus goloknya sungguh dahsyat dan sangat berbahaya. Gerakan-gerakannya sangat luar biasa. Setiap kibasan goloknya mengandung hantaman angin yang begitu kuat disertai hawa panas menyengat.

Memasuki jurus kedua puluh, tampak kalau Ki Buyut Kaweyan mulai goyah. Laki-laki tua itu tidak sanggup menghadapi hawa panas yang membuat dadanya terasa sesak, dan sulit bernapas. Entah sudah berapa kali tubuhnya harus bergelimpangan menghindari serangan Urawan. Bahkan sudah tidak terhitung lagi, berapa kali menerima pukulan dan tendangan keras. Hingga suatu saat...

"Mampus kau! Hiyaaat...!" Mendadak saja Urawan berteriak keras sambil melontarkan satu pukulan tangan kiri yang sangat cepat dan bertenaga dalam tinggi. Saat itu Ki Buyut Kaweyan baru saja bangkit berdiri, dan tidak mungkin lagi menghindarinya.

Des! "Akh...!" Ki Buyut Kaweyan memekik keras. Tubuh tua itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan pada saat Ki Buyut Kaweyan limbung, Urawan sudah melompat cepat sambil mengibaskan goloknya beberapa kali.

"Hup! Uts...!" Ki Buyut Kaweyan masih berusaha berkelit menghindari tebasan golok yang mengandung hawa panas luar biasa. Namun pada kibasan yang entah keberapa kali, laki-laki tua itu tidak bisa lagi menghindari. Sehingga...

"Akh...!" lagi-lagi Ki Buyut Kaweyan memekik keras. Darah langsung mengucur deras dari bahu laki-laki tua itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke balakang. Pada saat itu, Urawan sudah melompat kembali sambil menghunus golok lurus ke depan. Dalam posisi seperti itu, tak ada lagi kesempatan bagi Ki Buyut Kaweyan untuk berkelit. Namun belum juga ujung golok Urawan dapat menyentuh tubuh laki-laki tua mendadak...

"Hup! Hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya sambil mancabut kipas baja putih yang terselip di sabuknya. Dangan kipas terbuka lebar, gadis itu mengepakkannya, menyampok golok Urawan.

Tring! Bunga api memijar saat kedua senjata itu beradu tidak jauh di depan dada Ki Buyut Kaweyan. Pandan Wangi sempat mendorong laki-laki tua itu hingga terhuyung ke arah Rangga. Sementara Urawan sempat terkejut, lalu bergegas melompat mundur. Tampak bibirnya yang tebal meringis kecil. Sepasang matanya memerah bagai sepasang bola api yang berkobar menyala.

"Setan betina!" geram Urawan mengumpat.

"Kau terlalu kejam, Urawan. Tidak sepatutnya memberi contoh buruk pada anak buahmu!" dengus Pandan Wangi dingin.

"Phuih! Apa pedulimu...?!" bentak Urawan gusar. Goloknya sudah dilintangkan di depan dada.

Sementara itu Rangga membantu Ki Buyut Kaweyan menghentikan darah yang mengalir dari luka di bahu. Tidak terlalu lebar, tapi cukup dalam sehingga darah yang keluar begitu banyak. Rangga memberikan tiga totokan di sekitar luka, sehingga darah berhenti mengalir seketika. Sementara itu Urawan yang sudah memuncak amarahnya menggerak-gerakkan goloknya di depan dada. Kakinya bergerak bergeser menyusur tanah. Pandangan matanya sangat tajam menusuk, mengamati sikap Pandan Wangi yang hanya diam saja sambil memain-mainkan kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing.

"Mampus kau, perempuan laknat! Hiyaaat...!" seru Urawan keras.

"Hup! Hiyaaa...!"

"Pandan, mundur...!" seru Rangga keras.

***

Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin lagi membendung pertarungan. Urawan sudah menyerang lewat jurus-jurus pendek, mencecar Pandan Wangi yang sempat terhenti mendengar seruan Rangga yang begitu keras. Untung saja gadis itu masih bisa cepat berkelit, dan menjaga jarak. Sehingga masih bisa mengontrol setiap serangan yang cepat datangnya dan sangat dahsyat itu. Rangga tak dapat lagi mencegah. Sementara Urawan tampak begitu bernafsu hendak merobohkan si Kipas Maut.

Namun rupanya Pandan Wangi bukanlah seorang gadis lemah, tanpa ilmu olah kanuragan. Kali ini Urawan mendapat lawan tangguh dan sudah banyak mengenyam pahit getirnya kehidupan rimba persilatan yang keras dan penuh persaingan. Meskipun Urawan langsung mengerahkan jurus-jurus ampuh, namun belum juga berhasil mendesak pertahanan Pandan Wangi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Kipas Maut itu mampu membalas dahsyat. Urawan jadi kelabakan menghindari setiap serangan kipas baja putih yang sebentar mengembang dan sebentar kemudian menutup rapat!

"Lepas…!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras. Seketika itu juga dikebutkan kipasnya yang mengembang tarbuka. Urawan tampak terkesiap, buru-buru dikebutkan goloknya melindungi leher dari serangan si Kipas Maut.

Trang!

"Akh...!" Semua orang yang berada di situ jadi terlongong kecuali Rangga yang sudah mengetahui kedigdayaan Pandan Wangi. Sungguh sukar dipercaya! Golok Urawan yang begitu besar dan kelihatan berat terpenggal buntung oleh kipas baja putih Pandan Wangi. Belum lagi Urawan bisa terbebas dari rasa terkejut, Pandan Wangi sudah berteriak keras sambil melayangkan satu tendangan lurus ke arah dada.

"Hiyaaat...!"

Des! "Akh...!" kembali Urawan memekik keras tertahan. Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terjajar ke belakang sejauh tiga batang tombak. Dan belum lagi sempat bangkit berdiri, Pandan Wangi sudah melompat. Langsung dijejak dada laki-laki itu dengan lututnya yang tertekuk. Ujung kipas yang runcing tajam, ditekan ke tenggorokan Urawan.

"Aku bisa membunuhmu dengan mudah, keparat!" geram Pandan Wangi mengancam.

"Phuih! Kau pikir aku takut mati? Heh!?" dengus Urawan sengit.

Plak!

"Akh!" Satu tamparan keras mendarat di pipi Urawan, hingga laki-laki itu terpekik. Darah muncrat keluar dari mulutnya.

Pandan Wangi bergegas bangkit berdiri dan melangkah mundur beberapa tindak. Sementara Urawan masih tergeletak, dan matanya memerah menyimpan kemarahan yang amat sangat. Mulutnya menggeram sambil menyeka darah dengan punggung tangan kanan pada dua sudut bibirnya. Pelahan dia bangkit berdiri.

"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran mengirim kalian semua ke neraka!" bentak Pandan Wangi tajam.

Urawan tidak menyahuti. Dipandanginya Pandan Wangi dengan hati panas terbalut dendam. Belum pernah dirinya dipecundangi begini rupa oleh seorang gadis di depan anak buahnya. Urawan mengegoskan kepalanya sedikit, dan tiba-tiba saja sembilan belas anak buahnya bergerak maju, sambil melintangkan golok di depan dada.

"Tahan...!" seru Rangga keras.

Seruan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam itu membuat orang-orang yang hendak mengeroyok langsung berhenti bergerak. Mereka semua memandang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melangkah menghampiri Pandan Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu kini berdiri tegak di samping si Kipas Maut.

"Dengar! Jika tetap membandel, kalian akan mati sia-sia! Kami bukan musuh kalian, tapi si Iblis Selaksa Racun!" lantang suara Rangga berbicara.

"Kami semua memang hendak membunuh si Iblis Selaksa Racun. Tapi kau harus mati lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Urawan tidak kalah lantangnya.

"Siapa yang memerintahkan kalian untuk membunuhku?" tanya Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Tak ada seorang pun yang menjawab. Sembilan belas orang anggota partai Golok Perak itu saling berpandangan satu sama lainnya, kemudian sama-sama memandang Urawan yang agak terpisah dari anak buahnya. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi menatap tajam Urawan yang melangkah mundur beberapa tindak.

"Jangan hiraukan manusia-manusia iblis ini! Kalian semua akan mati keracunan jika tidak membunuhnya!" seru Urawan lantang.

"Jika aku memang menyebarkan racun, kalian tentu tidak akan melihat Ki Buyut hari ini. Juga, gadis ini" Rangga menunjuk Pandan Wangi di sampingnya.

Sembilan belas orang itu kelihatan ragu-ragu dan bimbang, setelah melihat kenyataan kalau Ki Buyut Kaweyan dan Pandan Wangi masih hidup. Padahal orang itu selalu berdekatan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan menurut kabar, siapa saja yang berdekatan dengan Pendekar Rajawali Sakti akan mati ketika itu juga.

Memang sudah tersiar desas-desus kalau Pendekar Rajawali Sakti terkena racun akibat bertarung melawan si Iblis Selaksa Racun. Bahkan pemuda berbaju rompi putih ini sempat menghilang berapa waktu. Setelah saling berpandangan sejenak, sembilan belas orang bersenjata golok itu bergegas pergi. Mereka tidak mempedulikan Urawan yang berteriak-teriak memerintahkan untuk tetap tinggal. Melihat sikap anak buahnya itu, Urawan jadi gusar. Mulutnya menggeram, mengumpat, dan memaki habis-habisan.

***
LIMA
Merasa tidak ada lagi pengikutnya, Urawan jadi kelabakan juga. Matanya berputar, merayap ke sekeliling mencari sesuatu. Tapi yang diinginkan tidak ditemukan. Sebentar dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Pandan Wangi. Pandangannya lalu tertuju pada Ki Buyut Kaweyan yang sudah berada di punggung kudanya. Tak ada lagi yang bisa diharapkan Urawan. Untuk mundur pun rasanya tidak mungkin lagi. Di mana akan ditaruh mukanya? Posisi Urawan saat ini memang tidak menguntungkan sama sekali. Dan disadari kalau dirinya tidak mungkin menghadapi ketiga orang itu. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja tidak mampu apalagi Pendekar Rajawali Sakti.

"Persetan...!" dengus Urawan. Tiba-tiba saja laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu melompat menerjang Pandan Wangi yang berada di samping Rangga. Tentu saja perbuatan nekadnya membuat si Kipas Maut terkejut. Demikia pula Rangga yang jadi terpana karena tidak menyangka same sekali kalau Urawan akan berbuat senekad ini.

"Hiyaaa...!"

"Hait!"

Pandan Wangi cepat-cepat berkelit memiringkan tubuhnya ke samping, menghindari pukulan Urawan yang begitu cepat mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi mendadak saja Urawan merubah arah serangan, sebelum pukulannya yang diarahkan pada Pandan Wangi mencapai sasaran. Cepat sekali laki-laki itu memutar tubuhnya seraya melayangkan satu tendangan kilat menggeledek ke arah Rangga.

"Hap!" Tangkas sekali Rangga menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tendangan Urawan hanya berada beberapa jengkal di depan dadanya. Secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya, begitu kaki Urawan lewat. Dan bagai seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti itu menukik deras dengan kaki berada di bawah.

Ternyata Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat, disertai lurukan yang tidak dapat diikuti pandangan mata biasa. Hal ini membuat Urawan tidak sempat lagi menghindari serangan balik pemuda berbaju rompi putih itu.

Des! Des! Prak!

"Aaa...!" Urawan menjerit melengking tinggi. Due kali kaki Rangga menyambar kepala Urawan hingga pecah. Laki-laki hampir setengah baya itu langsung menggelepar di tanah. Darah berlumuran deras keluar dari kepala yang remuk terkena tendangan maut jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

"Kakang...," panggil Pandan Wangi begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari Urawan yang sudah tidak bergerak-gerak lagi.

Rangga berpaling, memandang si Kipas Maut yang sudah berada di sampingnya kembali. Kedua pendekar itu memandangi mayat Urawan yang kepalanya pecah berlumuran darah. Saat itu Ki Buyut Kaweyan juga, menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda milik dua pendekar itu. Dia sendiri masih berada di punggung kudanya. Luka di bahunya sudah terbalut kain yang berlumuran darah.

"Seharusnya kau tidak perlu membunuhnya, Kakang," kata Pandan Wangi pelan.

"Aku muak melihat manusia berkepala dua seperti dia!" sahut Rangga mendengus.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengambil tali kekang kudanya dari tangan Ki Buyut Kaweyan. Dengan satu loncatan indah dan sangat ringan, Pendekar Rajawali Sakti itu naik ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi segera naik ke kuda putihnya sendiri, yang tinggi dan tegap pemberian Rangga. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka menggebah kudanya pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.

Rangga berkuda paling depan, sedangkan Pandan Wangi berada di belakangnya bersama Ki Buyut Kaweyan. Tak ada seorang pun yang membuka mulut, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Jalan pikiran yang berbeda, namun menuju pada titik yang sama. Tampak sekali kalau Pandan Wangi selalu mendesah lirih manakala melihat punggung Rangga yang kosong, tanpa sepucuk pedang pun.

"Ke mana tujuan kita sekarang, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama juga berdiam diri.

"Entahlah. Aku menurut saja ke mana Den Rangga pergi," sahut Ki Buyut Kaweyan juga pelan.

Pandan Wangi menarik napas panjang dan terdengar berat. Diliriknya kuda Ki Buyut Kaweyan yang membawa beban cukup banyak juga. Entah apa yang dibawa laki-laki tua itu, Ki Buyut Kaweyan hanya mengatakan kalau yang dibawa adalah bekal untuk perjalanan.

Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda di depan. Ada jarak sekitar tiga batang tombak antara mereka. Meskipun kelihatan laju kuda mereka sama, tapi Dewa Bayu terlihat semakin membuat jarak saja. Kuda hitam itu memang luar biasa, dan bukan kuda sembarangan.

***

Sudah tiga desa disinggahi, dan selalu saja terjadi masalah. Sudah beberapa kali Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Buyut Kaweyan harus bentrok melawan orang-orang rimba persilatan yang hendak membunuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Entah dari mana tersebarnya berita tentang diri Pendekar Rajawali Sakti yang tercemar racun mematikan. Tak ada seorang pun yang mau mendekat.

Setiap kali menjumpai seseorang dalam perjalanan, maka orang itu selalu menghindar karena takut terkena racun yang menyebar dari tubuh Rangga. Memang sanngat menyakitkan, tapi harus dihadapi dengan tabah. Namun hal ini membuat Rangga jadi berang juga. Sulit dimengerti, kenapa setiap orang yang dijumpai selalu menghindar. Bahkan tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang mengejar hendak membunuhnya.

Yang lebih menyakitkan lagi, yang mengejar adalah tokoh-tokoh rimba persilatan dari golongan putih. Hal ini membuat Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Buyut Kaweyan jadi serba salah. Karena jelas, tidak mungkin memerangi orang-orang yang berada satu jalur dalam memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan.

"Setan...!" umpat Rangga ketika baru saja akan menghampiri seorang laki-laki perambah hutan.

Laki-laki setengah tua dan berdada telanjang itu langsung lari sambil berteriak-teriak minta tolong begitu melihat Rangga yang selalu didampingi Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan menghampiri. Entah dari mana sumbernya, hampir semua orang yang dijumpai selalu mengenali Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu hal yang tidak biasanya terjadi. Rangga bukan saja terkenal karena kedigdayaannya, tapi kini juga dikenal karena menyebarkan maut. Pendekar Rajawali Sakti itu seperti momok yang sangat menakutkan.

"Sabar, Kakang. Mereka yang tidak tahu apa-apa tidak bisa disalahkan," kata Pandan Wangi meredakan amarah Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Tidak seharusnya mereka berbuat seperti itu padaku, Pandan!" rungut Rangga gusar.

"Kehidupan tidak selamanya mengenakkan, Den Rangga. Ada kalanya kita berada di atas, tapi juga ada kalanya berada di bawah. Rasa manis tidak akan selamanya bisa dikecap. Tentu ada juga pahitnya," Ki Buyut Kaweyan ikut berbicara.

Rangga menatap laki-laki tua yang selalu setia mengikutinya sejak dari Desa Sanggung. Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebenarnya Rangga tidak ingin menyusahkan Ki Buyut Kaweyan lagi. Apalagi sudah terlalu banyak membuat kesulitan pada laki-laki tua itu.

Bahkan anak dan istri Ki Buyut Kaweyan tewas hanya karena menolongnya dari kejaran orang-orang yang hendak membunuhnya saat Rangga terluka berat. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali teringat pada pertarungannya, yang benar-benar melelahkan dan sangat menguras tenaga.

Belum pernah dia bertarung hingga dua hari dua malam penuh tanpa henti. Tapi kalau saja tidak dicurangi, tentu lawannya bisa dikalahkan. Rangga mendesah panjang, lalu mendongakkan kepalanya.

"Aku tidak tahu, bagaimana harus membalas budimu, Ki Buyut," desah Rangga pelan.

"Tidak ada yang harus dibalas, Den. Semua yang kulakukan atas dasar kerelaan. Bahkan anak dan istriku tersenyum gembira bisa mengorbankan nyawan demi seorang junjungan," jawab Ki Buyut Kaweyan mantap.

"Junjungan...?!" Pandan Wangi mengerutkan keningnya, lalu menatap dalam-dalam Ki Buyut Kaweyan.

"Pandan, Ki Buyut ini dulu seorang penasehat terpercaya ayahku. Dia tahu kalau aku...," ucapan Rangga terputus.

"Semua kuketahui dari kalung yang dikenakannya. Hanya ada tiga. Dan itu dikenakan oleh Rangga Pati Permadi, Danupaksi, dan Cempaka. Aku tahu semua itu. Bahkan juga tahu kalau Karang Setra kini sudah menjadi kerajaan yang besar," sambung Ki Buyut Kaweyan.

"Dan kau jangan sekali-kali memanggilku dengan sebutan Gusti, Ki Buyut," selak Rangga cepat.

Ki Buyut Kaweyan hanya tersenyum saja. Sementara Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak disangka kalau Ki Buyut Kaweyan dulunya seorang penasehat adipati di Kadipaten Karang Setra yang kini sudah menjadi Kerajaan Karang Setra. Tidak heran kalau seorang penasehat pribadi pasti mengetahui semuanya, termasuk kalung yang merupakan pertanda keturunan sah Adipati Arya Permadi.

Dan Pandan Wangi tidak ingin bertanya, bagaimana Ki Buyut Kaweyan meninggalkan Karang Setra lalu menetap di Desa Sanggung. Padahal, desa itu jauh dari Kota Kerajaan Karang Setra, meskipun masih termasuk wilayah kerajaan itu. Seperti juga halnya bekas para pembesar kadipaten lainnya, tentu Ki Buyut Kaweyan meninggalkan Karang Setra karena tidak suka mengabdi pada Wira Permadi yang merebut kekuasaan secara tidak sah. (Untuk lebih jelas, baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah, Api di Karang Setra)

"Ayo, kita jalan lagi," ajak Rangga seraya menggebah kudanya.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara lagi. Kali ini sengaja melintasi pemukiman penduduk, untuk mencegah ketidakenakan di hati Pendekar Rajawali Sakti. Masalahnya sudah jelas, bahwa kabar tentang diri Rangga yang terjangkit racun mematikan sudah menyebar luas. Apalagi racun itu dapat menular dan bisa mematikan! Bahkan bisa jadi kabar itu sudah sampai ke Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Dan inilah yang dikhawatirkan Pandan Wangi.

"Kakang, Kotaraja tidak jauh lagi dari sini. Bagaimana kalau singgah dulu di istana?" usul Pandan Wangi, bernada ragu-ragu.

"Untuk apa?" tanya Rangga enggan.

"Kau bisa menyebar telik sandi untuk mencari keterangan sumber berita bohong ini, Kakang. Yang terpenting adalah mencari si Iblis Selaksa Racun,." sahut Pandan Wangi memberi alasan atas sarannya tadi.

Rangga hanya tersenyum saja. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti itu telah merencanakan hendak kembali ke istana untuk melihat keadaan selama ditinggalkan mengembara. Tapi sesuatu telah terjadi sehingga rencananya terhalang. Bahkan sekarang ini sepertinya enggan menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya itu.

Belum berapa jauh mereka melanjutkan perjalanan, mendadak dikejutkan suara gaduh dan jeritan-jeritan melengking. Kadang-kadang bahkan juga terdengar keluhan keras, disertai denting senjata beradu. Suara-suara itu datang tidak jauh di depan mereka. Sebentar ketiga orang itu saling berpandangan, lalu cepat menggebah kudanya menuju ke arah suara tadi.

Meskipun sudah cepat menggebah kudanya, namun Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Pendekar Rajawah Sakti. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu berlari bagaikan tarbang saja. Sebentar saja sudah begitu jauh meninggalkan dua orang penunggang kuda di belakangnya.

"Hiya! Hiya…!" Rangga terus menggebah kudanya dencan cepat seakan-akan lupa kalau masih ada dua orang yang tertinggal jauh di belakang. Dewa Bayu terus berlari cepat meninggalkan debu dan dedaunan kering yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.

"Oh, tidak…!" pekik Rangga tiba-tiba.

***

Apa yang disaksikan Pendekar Rajawali Sakti itu memang sungguh sukar dipercaya. Suara-suara yang didengarnya sudah tidak ada lagi, tepat pada saat dirinya tiba. Rangga bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Kedua bola matanya membeliak tidak percaya, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan tidak tentu arah. Yang membuat pemuda berbaju rompi putih itu terbeliak, ternyata mayat-mayat itu mengenakan seragam Prajurit Karang Setra.

Apalagi jumlahnya juga tidak sedikit. Sekitar lima puluh orang bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Rangga benar-benar terpaku, karena tidak melihat setetes darah pun yang mengalir membasahi tanah. Mayat-mayat yang bergelimpangan dengan wajah membiru itu memang tidak terluka. Pendekar Rajawali Sakti itu mendekati salah satu mayat, dan memeriksanya.

"Tidak..! Tidak mungkin...!" Rangga mendesis seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sukar baginya untuk mempercayai kalau mayat-mayat berseragam prajurit ini tewas karena keracunan.

Tepat pada saat Rangga bangkit berdiri, Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan muncul. Mereka bergegas melompat turun dari punggung kuda masing-masing, dan bergegas pula menghampiri Rangga yang tengah terpaku memandangi mayat-mayat berseragam Prajurit Karang Setra.

"Kakang...," pelan suara Pandan Wangi, agak tarcekat di tenggorokan.

"Iblis Selaksa Racun...," desis Ki Buyut Kaweyan mengenali ciri-ciri kematian para Prajurit Karang Setra.

"Oh, benarkah...?!" Pandan Wangi tersentak kaget, setengah tidak percaya. Pandan Wangi ingin memeriksa salah satu mayat di dekatnya, tapi Rangga keburu mencegah dan menarik tangan gadis itu. Cepat-cepat Rangga membawanya menyingkir jauh-jauh. Demikian juga Ki Buyut Kaweyan yang bergegas meninggalkan tempat itu sambil menuntun tiga ekor kuda.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak ingin kau mati seperti mereka, Pandan," sahut Rangga.

"Maksudmu...?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.

"Mereka semua tewas karena racun, yang tersebar dari seluruh tubuh si Iblis Selaksa Racun. Sekali saja kau sentuh tubuh mereka, maka racun yang ada akan berpindah padamu," Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi masih belum mengerti dan ingin bertanya lagi, tapi tidak punya kesempatan karena Rangga sudah mendekati mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Gadis itu hendak menghampiri, tapi Ki Buyut Kaweyan sudah keburu mencegahnya. Dia hanya bisa melihat Pendekar Rajawali Sakti yang tengah menumpuk mayat-mayat itu menjadi sepuluh tumpukan. Kemudian ditimbunnya mayat-mayat itu dengan ranting-ranting kering.

Tak berapa lama kemudian, api berkobar membakar tubuh-tubuh prajurit yang bertumpukan tertimbun ranting kering. Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan. Gadis itu hendak mendekati Rangga, tapi Ki Buyut Kaweyan epat-cepat mencekal tangan gadis itu.

"Kenapa, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Jangan, Nini. Den Rangga baru saja menyentuh tubuh mereka," tegas Ki Buyut Kaweyan agak khawatir juga.

"Jangan khawatir, Ki. Tidak ada sedikit racun pun yang bisa bersarang di tubuhku," kata Rangga seraya tersenyum.

"Tapi...," Ki Buyut Kaweyan masih terlihat khawatir.

"Kakang Rangga kebal terhadap segala jenis racun, Ki," Pandan Wangi memberitahu.

"Racun itu sangat dahsyat dan mematikan, Den," masih terdengar kekhawatiran dalam nada suara Ki Buyut Kaweyan.

"Memang benar, Ki. Dan aku sempat juga terbius. Meskipun kebal terhadap segala jenis racun, tapi aku sempat terbius karena terlalu banyak menghirup udara beracun sewaktu bertarung dengannya. Aku sempat goyah dan terjerumus ke dalam jurang setelah mendapat tiga pukulan beruntun di dada," jelas Rangga.

"Oh! Kau sudah bisa mengingatnya, Kakang?" seru Pandan Wangi gembira.

Rangga hanya tersenyum saja. Memang, sedikit demi sedikit Rangga mulai pulih kesadarannya. Dan itu terjadi secara bertahap serta memerlukan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi, selama dalam perjalanan ini, secara tidak langsung, beberapa peristiwa yang terjadi membangkitkan ingatan Rangga kembali.

"Kakang, bagaimana awal mulanya hingga kau bisa bertarung dengan Iblis Selaksa Racun?" tanya Pandan Wangi.

"Peristiwanya sendiri terjadi di Desa Sanggung. Waktu itu aku menemukan banyak penduduk yang tewas akibat keracunan. Kucoba untuk menyelidiki dan kutemukan sumbernya dari mata air yang sudah tercemar racun akibat Iblis Selaksa Racun sering mandi di situ. Aku memintanya untuk meninggalkan Sanggung, tapi dia membangkang. Bahkan mengancam hendak membunuh semua orang di Kerajaan Karang Setra...," Rangga mulai mengisahkan.

"Dan akhirnya kau bertarung dengannya?" tebak Pandan Wangi langsung.

"Benar. Aku tidak punya pilihan lain lagi. Orang itu sangat berbahaya. Terlebih lagi ketika dengan kepala sendiri aku melihat beberapa orang dari Partai Golok Perak tewas hanya karena tersentuh sedikit saja."

"Kakang, apakah kepandaian manusia beracun sangat tinggi?" tanya Pandan Wangi agak bergidik juga mendengar Iblis Selaksa Racun mampu menewaskan orang hanya dengan menyentuhkan sedikit saja ujung jarinya.

"Tidak. Bahkan boleh dikatakan dangkal. Tapi tidak mudah untuk mendekatinya. Aku sendiri kesulitan untuk bisa menyentuhnya. Racun yang tersebar dari seluruh tubuhnya sangat dahsyat. Apalagi dia juga memiliki suatu ilmu yang sangat aneh. Bisa menolakkan apa saja tanpa melakukan sesuatu."

"Maksudmu?" Pandan Wangi tidak mengerti.

"Dia seperti memiliki benteng yang mengelilingi tubuhnya. Entah apa namanya, yang jelas tidak mudah ditembus," Rangga merasa sukar untuk menjelaskannya.

Meskipun masih belum begitu mengerti, tapi Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dia tahu betul kalau Rangga mengalami kesulitan untuk menjelaskannya. Memang Pendekar Rajawali Sakti itu sendiri belum mengetahui ilmu yang digunakan Iblis Selaksa Racun, sehingga memiliki suatu bentuk pertahanan yang tidak terlihat dan sukar ditembus.

Mereka kembali meneruskan perjalanannya setelah api yang membakar mayat-mayat Prajurit Karang Setra mengecil. Angin yang berhembus agak keras siang ini menyebarkan debu bekas bakaran. Mereka kembali menunggang kuda pelahan-lahan, dan tak ada yang membuka suara sedikit pun.

"Uhk..!" tiba-tiba Ki Buyut Kaweyan mengeluh dan terbungkuk sambil memegangi dadanya.

"Ki..!" Pandan Wangi yang berkuda di samping laki-laki tua itu terkejut.

Bruk! Mendadak saja Ki Buyut Kaweyan terguling jatuh dari punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas melompat turun dan hendak menghampiri laki-laki tua itu. Tapi belum sempat menyentuhnya, Rangga sudah mencegah lebih dahulu.

"Pandan, jangan...!"

"Tapi...," Pandan Wangi tidak jadi menyentuh tubuh Ki Buyut Kaweyan yang mengerang dan merintih lirih sambil memegangi dada.

"Mundur, kataku!" bentak Rangga seraya melompat turun dari punggung Dewa Bayu.

Pandan Wangi tidak mengerti, tapi melangkah mundur juga. Bergegas Rangga menghampiri Ki Buyut Kaweyan yang menggeletak di tanah. Erangan dan rintihan lirih terdengar dari bibir yang terlihat membiru. Rangga memeriksa dada laki-laki tua itu, lalu mengeluh panjang.

"Kakang, kenapa Ki Buyut?" tanya Pandan Wangi tidak berani mendekat.

"Menyingkirlah lebih jauh, Pandan Wangi. Ki Buyut terkena hawa beracun," sahut Rangga memperingatkan.

"Hawa beracun...?!" Pandan Wangi benar-benar, tidak mengerti, tapi akhirnya melangkah mundur juga menjauhi tempat itu.

Sementara Rangga merobek baju yang dikenakan Ki Buyut Kaweyan. Ditempelkan kedua telapak tangannya di dada yang mulai terlihat membiru itu, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Ki Buyut Kaweyan.

"Tidak perlu, Den. Percuma...," rintih Ki Buyut Kaweyan lirih. Rangga menghentikan usahanya. Pelahan dijauhkan kedua telapak tangannya dari dada laki-laki tua itu. Sedangkan napas Ki Buyut Kaweyan mulai tersengal. Wajahnya pun sudah mulai membiru, dan bibirnya bergetar seolah-olah hendak mengucapkan sesuatu. Rangga mendekatkan telinganya ke bibir yang sudah membiru itu.

"Den..., pedang itu ada di...," terputus suara Ki Buyut Kaweyan yang begitu lemah. "Ki...,"

Rangga berusaha agar Ki Buyut Kaweyan bisa bertahan untuk beberapa saat. Sebentar Ki Buyut Kaweyan terbatuk sebelum melanjutkan kata-katanya. Rangga semakin mendekatkan telinganya di depan bibir laki-laki tua itu.

"Aku menyimpan pedangmu di Goa Kera..., akh!"

"Ki...!" sentak Rangga. Tapi Ki Buyut Kaweyan sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Seluruh wajah dan tubuhnya membiru. Dari mulutnya keluar buih berwarna kuning kehijauan. Rangga berlutut sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara jauh di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu, Pandan Wangi hanya bisa memperhatikan.

"Begitu besar jasamu padaku, Ki. Semoga kau tenang di samping Hyang Widi," desah Rangga lirih.

Dengan lesu, Pendekar Rajawali Sakti itu mengumpulkan ranting kering, lalu menumpuknya di tubuh Ki Buyut Kaweyan. Dengan batu pemantik api dinyalakan ranting-ranting kering itu. Api cepat berkobar melahap ranting yang tertumpuk di atas tubuh Ki Buyut Kaweyan. Pelahan-lahan Rangga melangkah mundur menjauh. Hanya dengan cara itulah pengaruh racun bisa dihilangkan.

"Kakang...," panggil Pandan Wangi, agak tersendat suaranya.

Rangga menoleh dan menghampiri gadis itu. Untuk beberapa saat mereka hanya berhadapan saling pandang. Rangga tidak tahu, apakah Pandan Wangi sudah tercemar racun yang tersebar dari tubuh Iblis Selaksa Racun atau belum. Tapi hatinya merasa khawatir juga.

"Kakang, apakah aku juga sudah terkena hawa racun itu?" tanya Pandan Wangi seperti bisa membaca arti sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Entahlah," desah Rangga tidak yakin.

Pandan Wangi menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga menghempaskan tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang untuk menaungi diri dari sengatan matahari. Sementara Pandan Wangi hanya berdiri saja memandangi api yang masih berkobar membakar tubuh Ki Buyut Kaweyan.

***
ENAM
Rangga menghentikan lari kudanya secara tiba-tiba. Ternyata seorang perempuan tua mengenakan baju hitam telah menghadang di tengah jalan. Tangan kanannya memegang cambuk berbentuk ekor kuda. Jubah hitam yang panjang, berkibar-kibar tertiup angin senja. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di samping Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mengenali perempuan tua itu, meskipun belum tahu namanya.

"Hhh...! Kau lagi, Cambuk Sakti!" dengus Rangga bernada kurang senang melihat perempuan tua itu menghadang jalannya.

"Hik hik hik.... Aku akan selalu ada selama kau belum memenuhi tuntutanku, Pendekar Rajawali Sakti!" tegas perempuan tua yang dikenal Rangga bernama si Cambuk Sakti.

"Kakang, apa maksudnya?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik.

"Jangan dengarkan kata-katanya, Pandan, dia orang yang tidak waras!" sahut Rangga.

"Hik hik hik... Kau akan berkata lain tentang diriku, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja kau...."

"Persetan dengan cucumu, Cambuk Sakti!" sontak Rangga memotong cepat.

"Sebenarnya aku tidak akan memaksamu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah memenangkan sayembara yang kuadakan untuk cucuku Nilam Kencana. Hanya kau yang cocok menjadi suaminya, karena berhasil mengalahkannya," tegas si Cambuk Sakti.

"Kakang, ada apa lagi ini?" tanya Pandan Wangi.

Rangga tidak menyahuti, tapi langsung melompat turun dari punggung kudanya. Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tak ada suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput di depan kuda hitam tunggangannya.

Sementara Pandan Wangi bergegas melompat turun, tapi hanya berdiri saja di samping kuda putihnya. Dia tidak mengerti, tapi berbagai macam dugaan mulai memenuhi benaknya. Satu masalah belum lagi selesai, kini muncul persoalan lagi.

"Cambuk Sakti, sebenarnya aku juga tidak ingin berurusan denganmu. Sama sekali aku tidak pernah berniat mengikuti sayembaramu. Bahkan mendengar pun tidak pernah. Nilam Kencana sendiri yang tiba-tiba menyerangku tanpa alasan pasti. Sungguh... Aku tidak punya maksud apa-apa, dan tidak melukainya sedikit pun. Aku hanya membuatnya tidak sadarkan diri untuk beberapa saat," Rangga mencoba menjelaskan duduk permasalahnnya.

"Aku tahu itu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan tidak akan pernah kusangkal. Tapi bagaimanapun juga, kau sudah berhasil mengalahkan cucuku, dan sumpahku sudah jatuh. Siapa saja yang berhasil mengalahkan Nilam Kencana, maka dialah jodohnya. Dan kau harus menerimanya, Pendekar Rajawali Sakti," jelas Cambuk Sakti.

"Tidak mungkin...!" dengus Rangga.

"Tidak ada waktu lagi untuk berdebat, Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menikahi cucuku, atau memilih mati!" dingin sekali suara si Cambuk Sakti bernada ancaman.

"Langkahi dulu mayatku, perempuan edan!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba. Gadis itu jadi panas mendengar semua pembicaraan itu. Rasa cemburunya menggelegak bercampur berang. Pandan Wangi percaya betul kalau Rangga tak mungkin akan menoleh pada wanita lain. Dan gadis itu sudah bisa menebak, apa yang terjadi sebenarnya.

"Hik hik hik..," Cambuk Sakti terkikik. "Bagus! Memang hanya kau satu-satunya penghalang, Kipas Maut."

Sret! Pandan Wangi langsung saja mengeluarkan kipas baja putihnya yang selalu terselip pada sabuk pinggang. Tapi kipas itu belum juga dibuka, dan hanya digenggam dengan tangan kanan. Pelahan kakinya melangkah menghampiri Rangga dan berdiri tegak di samping pemuda itu.

"Kau masih kuberi kesempatan sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Atau lebih senang jika gadis itu enyah lebih dahulu?" ujar Cambuk Sakti seraya tersenyum sinis pada Pandan Wangi.

"Keparat..!" geram Pandan Wangi memuncak amarahnya. Bagaikan seekor kijang, si Kipas Maut melompat menerjang si Cambuk Sakti. Rrrt...! Cepat sekali gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu mengebutkan kipasnya yang langsung terbuka lebar. Dengan jurus-jurus pendek yang cepat, gadis itu menyerang Cambuk Sakti.

Tapi Pandan Wangi jadi tersentak juga, karena perempuan tua itu bisa menghindari setiap serangannya. Bahkan diiringi senyum sinis, dan kadang-kadang tawa terkikik mengejek. Tentu saja hal ini membuat si Kipas Maut jadi semakin gusar.

"Hiya! Hiya! Hiyaaat...!" Pandan Wangi meningkatkan serangan-serangannya yang semakin dahsyat. Kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing, berkelebatan cepat mengurung tubuh si Cambuk Sakti. Namun setiap serangannya selalu dapat dihindari dengan manis oleh Cambuk Sakti. Bahkan tiba-tiba saja...

"Lepas...!" Tap!

"Akh!" tiba-tiba saja Pandan Wangi memekik tertahan.

Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tangan kiri si Cambuk Sakti bergerak cepat menepak pergelangan tangan kanan Pandan Wangi yang memegang kipas baja putih kebanggaannya. Dan tanpa terbendung lagi, kipas baja putih itu melayang terpental ke udara. Sejenak si Kipas Maut terkesiap. Belum lagi Pandan Wangi sempat melompat ingin mengejar senjata mautnya, si Cambuk Sakti sudah mengebutkan senjatanya yang berbentuk cambuk ekor kuda.

Ctar!

"Aaakh...!" Pandan Wangi menjerit keras.

Ujung cambuk yang berbulu halus itu tepat menghantam dada Pandan Wangi. Akibatnya, gadis itu terpental ke belakang sejauh beberapa tombak. Secepat itu pula si Cambuk Sakti melompat sambil berteriak keras.

Buk! Satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi mendarat di tubuh Pandan Wangi sebelum menyentuh tanah. Tak pelak lagi, gadis itu bergulingan beberapa kali sambil memekik keras agak tertahan. Tendangan Cambuk Sakti tepat menghantam perutnya.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" teriak Cambuk Sakti keras. Bagaikan seekor macan betina, perempuan tua itu kembali melompat sambil mengebutkan cambuknya ke arah tubuh Pandan Wangi yang masih bergulingan di tanah.

"Hiyaaat... !" Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Kakinya merentang lurus ke depan, Pendekar Rajawali Sakti itu memotong arus si Cambuk Maut, dan sempat dikibaskan tangannya ke arah dada.

"Uts!" Buru-buru si Cambuk Sakti melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran dua kali di udara. Dan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Tepat pada saat itu, Rangga juga sudah berdiri kokoh di atas sepasang kakinya membelakangi Pandan Wangi yang tergeletak sambil merintih lirih.

"Huh! Rupanya kau lebih memilih mati daripada diberi kesenangan hidup!" dengus si Cambuk Sakti sengit.

"Cambuk Sakti, kau jangan memaksakan kehendakmu. Nilam Kencana belum cukup umur untuk memilih calon suami. Dia baru berusia lima belas tahun, dan masih banyak yang harus dilakukannya," ujar Rangga mencoba menyadarkan kekeliruan perempuan tua itu.

"Jangan mencari-cari alasan, Pendekar Rajawali Sakti! Kau tinggal pilih, menikahi Nilam Kencana atau mati!" bentak si Cambuk Sakti.

"Cambuk Sakti, sebaiknya persoalan ini tidak perlu diperpanjang. Aku yakin, Nilam Kencana sendiri tidak menyetujui rencanamu. Dia masih belum dewasa, dan masih perlu banyak belajar untuk bekal hidupnya," Rangga tetap berusaha menyadarkan perempuan tua berjubah hitam itu.

"Cerewet!" bentak si Cambuk Sakti geram.

Baru saja Rangga akan membuka mulut lagi, tiba-tiba saja perempuan tua yang berjuluk Cambuk Sakti itu sudah cepat menerjang. Mau tidak mau Rangga terpaksa melayani perempuan tua itu. Dan, dipergunakanlah jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

***

Kemarahan si Cambuk Sakti semakin memuncak, karena Rangga seperti bermain-main saja. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya berkelit dan menghindari setiap serangannya tanpa membalas satu serangan pun. Bahkan gerakan-gerakannya seperti mengejek.

Ctar! Ctar!

Si Cambuk Sakti mengebut-ngebutkan cambukya beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan. Namun dengan gerakan yang manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti itu mampu berkelit. Bahkan tak satu pun serangan si Cambuk Sakti yang menemui sasaran. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua berjubah hitam itu semakin berang, karena merasa dipermainkan pemuda berbaju rompi putih itu.

"Phuih! Tahan seranganku kali lni, bocah sombong!" dengus si Cambuk Sakti geram.

Cepat sekali perempuan tua itu merubah jurusnya. Dan kali ini Rangga tidak bisa lagi menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Serangan-serangan yang dilancarkan Cambuk Sakti kali ini sungguh dahsyat dan sulit diterka arahnya.

"Uts!" Rangga merunduk ketika ujung cambuk berbentuk buntut kuda itu menyambar kepalanya. Namun belum juga bisa menegakkan kepalanya lagi, mendadak si Cambuk Sakti melayangkan satu tendangan menyimpang mengarah ke perut. Cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga Rangga tidak sempat menghindarinya.

Buk!

"Heghk..!" Pendekar Rajawali Sakti itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Dan belum lagi bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, ujung cambuk buntut kuda itu sudah menggelegar menjilat dada.

"Akh...!." Rangga memekik keras. Seluruh rongga dada Pendekar Rajawali Sakti itu bagai terbakar, dan mendadak saja napasnya terasa sesak.

Pada saat itu, si Cambuk Sakti sudah menyerang kembali. Rangga benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bisa mengambil napas barang sejenak. Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja pulih dari cedera akibat bertarung melawan Iblis Selaksa Racun dan membuatnya bagai hilang ingatan itu, jadi bulan-bulanan si Cambuk Sakti, Rangga benar-benar tidak berdaya sama sekali. Tubuhnya jadi sasaran empuk setiap pukulan dan tendangan perempuan tua itu. Bahkan tidak terhitung lagi, berapa cambukan mendarat di tubuhnya.

"Mampus kau, bocah keparat! Tidak ada yang boleh menghina cucuku!" bentak si Cambuk Sakti sengit.

"Hih, hiyaaa...!" Cambuk Sakti mengangkat tubuh Rangga, dan melayangkan pukulan kerasnya ke wajah pemuda berbaju rompi putih itu. Kemudian disusul sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi, sehingga membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu membumbung tinggi ke angkasa.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba meluncur sebuah bayangan merah ke arah Pendekar ajawali Sakti. Belum lagi bayangan merah itu berhenti mencapai tubuh Rangga yang masih melayang di angkasa, dari atas meluruk deras seekor burung raksasa berwarna hitam berkilat. Cepat sekali burung raksasa itu menyambar tubuh Rangga dan membawanya pergi.

Pada saat tubuh Rangga dilemparkan ke udara oleh Cambuk Sakti, terlihat sebuah bayangan merah meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Belum juga bayangan merah itu berhasil mencapainya, tiba-tiba dari atas meluruk deras seekor burung raksasa berwarna hitam. Cepat sekali burung itu menyambar tubuh Rangga dan membawanya pergi.

"Nilam...!" seru si Cambuk Sakti begitu mengenali bayangan merah yang berkelebat hendak menyambar tubuh Rangga tadi.

Bayangan merah itu memang ternyata seorang gadis berwajah cukup cantik. Bajunya merah ketat, sehingga memetakan tubuhnya yang ramping dan indah. Setiap orang yang melihatnya tidak akan percaya kalau gadis itu masih berusia lima belas tahun. Memang, tubuhnya benar-benar sudah berbentuk indah bagai seorang gadis dewasa.

"Nenek kejam! Kenapa ingin membunuh Kakang Rangga?" rungut Nilam Kencana memberengut.

"Bocah keparat itu sudah sepantasnya mampus, Nilam!" dengus si Cambuk Sakti.

"Tapi, Kakang Rangga calon suamiku, Nek," rengek Nilam Kencana manja.

"Lupakan saja, Nilam."

"Tidak!" sentak Nilam Kencana keras. Gadis itu memandang sosok tubuh ramping yang tergeletak di tanah. Pada saat yang sama, Cambuk Sakti juga berpaling menatap Pandan Wangi.

"Siapa dia, Nek?" tanya Nilam Kencana.

"Pandan Wangi. Dia kekasih Rangga," jawab si Cambuk Sakti mantap.

"Kekasih Kakang Rangga...?!"

"Benar..."

"Huh! Tidak ada seorang pun yang boleh merebut Kakang Rangga dari tanganku!" dengus Nilam Kencana.

Mendadak saja gadis muda berbaju merah itu melompat sambil berteriak keras. Tangannya terkepal erat mengarah ke kepala Pandan Wangi. Pada saat itu, Pandan Wangi tidak bisa berbuat lain, dan hanya mampu membeliak saja dengan sikap pasrah. Tapi belum juga Nilam Kencana berhasil menyarangkan pukulannya, tiba-tiba...

"Khraghk..!" Wut!

Mendadak seekor burung rajawali putih raksasa meluncur deras menyambar tubuh Pandan Wangi yang tergolek di tanah. Sehingga pukulan Nilam Kencana hanya mengenai tanah tempat Pandan Wangi tadi terbaring tanpa daya.

"Heh...!" si Cambuk Sakti terkejut bukan main.Terlebih lagi Nilam Kencana. Gadis itu jadi terlongong mendongak ke atas, menatap burung rajawali putih raksasa yang membawa Pandan Wangi dalam cakarnya. Kedua perempuan itu terbengong beberapa saat sampai bayangan burung raksasa itu lenyap dari pandangan.

"Apa arti semua ini...?" si Cambuk Sakti bertanya-tanya sendiri.

"Nek.., bagaimana ini?" rengek Nilam Kencana.

Si Cambuk Sakti tidak bisa menjawab.

"Nenek harus dapatkan Kakang Rangga untukku. Dia calon suamiku, Nek...," rengek Nilam Kencana. "Ayo kita pulang saja, Nilam," ajak si Cambuk Sakti.

"Tidak! Aku akan mencari Kakang Rangga! Dia harus menikah denganku!" sentak Nilam Kencana seraya melesat berlari cepat.

"Nilam...!"

Tapi Nilam Kencana sudah begitu jauh, karena mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

"Dasar anak bengal!" gerutu si Cambuk Sakti. Tapi perempuan tua berjubah hitam yang memegang senjata cambuk buntut kuda itu bergegas mengejar cucunya. Larinya begitu cepat karena mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi. Bahkan hampir mencapai taraf kesempurnaan. Si Cambuk Sakti memang seorang tokoh rimba persilatan yang cukup disegani baik kaum golongan putih maupun hitam. Segala tindak dan tingkah lakunya yang tidak beraturan membuat kesulitan dua golongan dalam rimba persilatan untuk menentukan golongan mana yang cocok untuknya.

"Nilam, tunggu...!" seru si Cambuk Sakti keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Aku akan mencari Kakang Rangga, Nek!" sahut Nilam Kencana juga keras.

"Kita cari sama-sama, Nilam!"

***
TUJUH
"Ohhh...," Rangga merintih lirih. Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak saat membuka matanya. Belum juga tubuhnya bisa bangkit berdiri, sebuah tangan yang halus telah menahan dadanya. Maka pemuda berbaju rompi putih itu putih itu pun kembali terbaring di atas batu pipih yang beralaskan tikar. Rangga memandangi seraut wajah cantik yang amat dikenalnya. Wanita itu mengenakan baju hitam yang ketat, dan selembar cadar hitam melingkar lehernya.

"Intan...," pelan suara Rangga.

"Lukamu tidak terlalu parah, Kakang. Tapi berbaringlah dulu agar jalan darahmu kembali normal," lembut suara perempuan cantik berbaju hitam itu yang ternyata adalah Intan Kemuning.

"Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Rangga ingin tahu.

"Hanya kebetulan saja, Kakang. Kebetulan aku lewat, dan melihatmu bertarung melawan seseorang. Tampaknya kepandaian lawanmu cukup tinggi juga, sehingga kau terdesak sekali," tutur Intan Kemuning.

Rangga menarik napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya. Pelahan dia beranjak duduk. Intan Kemuning hendak mencegah, namun Pendekar Rajawali Sakti itu menolak halus. Rangga duduk bersila, dan kedua telapak tangannya berada di lutut. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi Intan Kemuning dalam-dalam. Entah sudah berapa lama mereka tidak berjumpa lagi sejak peristiwa di Lembah Neraka. (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah Sabuk Penawar Racun)

Rangga kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan baru disadari kalau tempat ini merupakan sebuah goa yang tidak begitu besar. Cahaya matahari masih bisa menerobos masuk menerangi bagian dalam goa ini.

"Di mana ini, Intan?" tanya Rangga.

"Goa Kera," sahut Intan Kemuning yang juga bernama Putri Rajawali Hitam.

"Goa Kera...?!" Rangga terperanjat.

"Ada apa, Kakang? Kelihatannya kau terkejut sekali mendengarnya," Intan Kemuning memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam.

"Intan, apakah kau...."

"Jangan khawatir, Kakang. Pedangmu aman bersamaku," selak Intan Kemuning memotong kata-kata Rangga.

"Di mana kau simpan pedangku, Intan?"

"Itu." Intan Kemuning menunjuk ke satu arah. Rangga langsung melayangkan pandangannya ke arah yang ditunjuk gadis itu, dan menjadi terpana. Memang Pedang Pusaka Rajawali Sakti masih utuh tergantung di dinding bersama warangkanya. Sungguh pedang itu tidak dilihatnya tadi, karena letaknya memang cukup tersembunyi, terhalang dua buah batu yang menjorok keluar dari dinding goa ini.

"Kebetulan pedangmu kutemukan di sini. Aku tidak sengaja. Waktu itu aku mencari tempat untuk berteduh karena hujan lebat. Ketika kulihat goa ini maka segera kumasukinya. Terus terang, Kakang. Aku terkejut sekali melihat pedangmu ada di sini, tapi kau sendiri tidak ada. Aku jadi penasaran dan menunggumu sampai tiga hari, tapi kau tidak muncul juga," Intan Kemuning menjelaskan bagaimana dia bisa menemukan Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

"Jadi kau bukannya tidak sengaja menolongkukan?" tebak Rangga langsung.

"Terus terang, iya. Aku memang sengaja mencarimu, Kakang. Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tinggalkan senjata pusaka itu di tempat ini?"

"Aku tidak meninggalkannya di sini, Intan," pelan suara Rangga.

"Apa yang telah terjadi, Kakang? Mengapa sampai terpisah dengan senjata pusakamu?" tanya Intan Kemuning.

Rangga menarik napas dalam-dalam. Dan tanpa ragu-ragu lagi diceritakan semua yang terjadi. Mulai dari pertarungannya dengan Iblis Selaksa Racun, hingga terjerumus ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Rangga memang tidak tahu kalau saat terjerumus ke dalam jurang, dirinya ditolong Ki Buyut Kaweyan. Dan laki-laki tua itulah yang menyelamatkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ini, begitu mengetahui pemiliknya kehilangan ingatan.

Tindakan Ki Buyut Kaweyan memang tepat. Jelas terlalu berbahaya bagi Rangga jika masih membawa pedang pusaka yang sangat dahsyat, sementara dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Rangga menceritakan semua itu sambil berusaha mengingat-ingat semua kejadian yang dialaminya: Sedangkan Intan Kemuning mendengarkan penuh perhatian.

"Lalu, siapa yang bertarung denganmu?" tanya Intan Kemuning.

"Si Cambuk Sakti. Ah..., sebaiknya kau tidak perlu mengetahui persoalannya, Intan," Rangga tidak ingin persoalannya dengan si Cambuk Sakti diketahui gadis ini.

Intan Kemuning mengangkat bahunya saja. Dugaannya, pasti pertarungan itu karena persoalan pribadi antara Rangga dengan perempuan tua itu. Tapi hatinya masih penasaran, karena Pendekar Rajawali Sakti bisa diperdaya. Bahkan dibuat babak belur begini rupa.

"Kau seperti mengalah tadi, Kakang," pancing Intan Kemuning.

"Entahlah, Intan. Waktu itu tiba-tiba saja aku seperti lupa pada semua jurus-jurusku. Bahkan sama sekali seperti tidak tahu caranya bertarung," sahut Rangga.

"Mungkin pengaruh racun yang berada di jalan darahmu masih tersisa, Kakang."

"Mungkin juga," desah Rangga.

"Tapi sekarang sudah tidak ada lagi pengaruh racun pada dirimu. Rupanya senjata yang digunakan lawanmu membuyarkan racun yang mengendap dalam jalan darahmu, Kakang. Aku sendiri tidak mengerti. Tapi tadi aku sempat mencoba dan berhasil mengeluarkan sisa-sisa racun itu yang bisa membuatmu tiba-tiba jadi hilang ingatan," Intan Kemuning mencoba menjelaskan.

"Apa yang kau lakukan, Intan?" tanya Rangga ingin tahu.

"Aku hanya menyalurkan hawa panas saja. Itu kulakukan setelah memeriksa bekas cambukan di tubuhmu yang seperti melepuh bagai terkena besi panas," jelas Intan Kemuning lagi.

"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.

***

"Khraghk…!"

Rangga mendongakkan kepalanya saat mendengar suara berkaokan keras dan agak serak. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum melihat Rajawali Putih menukik turun menghampirinya. Ringan sekali burung rajawali raksasa itu mendarat di depan Rangga. Sementara di depan mulut goa, Intan Kemuning memandangi di samping seekor burung rajawali raksasa berwarna hitam pekat berkilat.

"Hup!" Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dipandanginya Intan Kemuning yang masih juga berdiri di samping Rajawali Hitam.

"Pergilah, Kakang," ucap Intan Kemuning. Rangga menepuk leher Rajawali Putih tiga kali.

"Khraghk!"

Bagaikan kilat, Rajawali Putih melesat membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar saja burung raksasa itu sudah melayang menembus awan. Setelah berputar tiga kali, burung raksasa itu lalu meluncur deras menuju arah Utara. Sedangkan di depan mulut Goa Kera, Intan Kemuning melangkah masuk ke dalam goa. Tinggal Rajawali Hitam yang masih mendekam di samping mulut goa.

Sementara di angkasa, Rangga terus meluncur bersama Rajawali Putih. Pandangannya tidak lepas mengamati setiap jengkal tanah yang dilewatinya. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti benar-benar ingin mencari si Iblis Selaksa Racun. Tidak ada cara lain untuk menghentikan manusia yang mengandung racun di seluruh tubuhnya itu, selain melenyapkannya dari muka bumi ini.

"Rajawali, langsung ke Karang Setra!" seru Rangga.

"Khraghk!"

Rajawali Putih menambah kecepatan terbangnya menuju Istana Karang Setra. Dari ketinggian seperti ini, bangunan istana itu sudah terlihat, meskipun jaraknya masih jauh. Dan Rangga memandanginya disertai perasaan rindu yang mendalam. Semakin lama, semakin jelas terlihat bangunan megah ya berdiri kokoh dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kuat.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengerutkan keningnya saat melihat penjagaan disekitar benteng begitu ketat. Bahkan prajurit panah sudah siaga meluncurkan anak panah. Mereka berbaris di atas tembok benteng. Demikian pula prajurit berkuda yang sudah berbaris rapi di alun-alun istana. Belum lagi prajurit jalan kaki dan beberapa kereta kuda. Suasana di dalam benteng istana itu bagaikan sedang mempersiapkan peperangan.

"Aneh..., ada apa ini?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu memerintahkan Rajawali Putih untuk mengelilingi sekitar bangunan istana. Setiap jengkal tanah diperhatikan dengan seksama. Bahkan setiap bangunan yang ada diteliti dari atas. Rangga benar-benar tidak mengerti, suasana di Karang Setra bagaikan hendak perang saja!

"Rajawali, aku turun di belakang istana," pinta Rangga.

"Khraghk!" Rajawali Putih meluruk deras ke bagian belakang istana itu. Dan belum lagi burung raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melompat turun, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Tiga kali Rangga berputar di udara, kemudian manis sekali didaratkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan satu suara sedikit pun. Sementara Rajawali Putih kembali membumbung tinggi ke angkasa. Tapi burung raksasa itu tidak jauh-jauh meninggalkan Istana Karang Setra.

"Hup!" Indah sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas atap bangunan istana. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu berlari lincah di atas atap bangunan megah ini.

Wut! Rangga meluruk turun begitu sampai di atas jendela kamar Danupaksi. Pemuda berbaju rompi putih itu menjulurkan kepalanya ke dalam melalui jendela kamar yang terbuka. Tak ada siapa-siapa di dalam kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melompat mendekati jendela kamar lainnya lagi. Rangga tahu kalau kamar ini ditempati Cempaka.

Pendekar Rajawali Sakti itu menahan napas dan merapatkan tubuhnya ke dinding ketika mendengar suara dari dalam kamar. Jelas itu adalah suara Cempaka dan Danupaksi. Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian melesat naik ke atas, dan hinggap pada balok yang melintang di atas jendela. Dari sini bisa terlihat seluruh isi kamar tanpa diketahui orang yang berada di dalam. Sengaja Rangga tidak ingin memperlihatkan diri. Dia ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini.

"Aku yakin, Kakang Rangga pasti tidak akan setuju terhadap rencanamu ini, Danupaksi," terdengar suara Cempaka.

"Apa yang kulakukan ini demi keamanan seluruh negeri, Cempaka. Meskipun hanya satu orang, tapi sangat berbahaya dan sukar ditandingi. Hhh.... Kalau saja Kakang Rangga ada, kita tidak mungkin kehilangan begitu banyak prajurit dan para jawara istana, " sahut Danupaksi bernada mengeluh.

"Mungkin ini kenyataan dari mimpi-mimpi burukku, Danupaksi," pelan suara Cempaka.

"Ya, mungkin juga," desah Danupaksi.

"Danupaksi, apakah Karang Setra akan hancur seperti yang ada dalam mimpiku?" tanya Cempaka seperti untuk dirinya seradiri. "Aku melihat Istana Karang Setra terbakar, dan Kakang Rangga terlempar ke dalam api. Sedangkan kita semua terkurung di dalamnya tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Aku takut, Danupaksi. Aku takut mimpiku jadi kenyataan," suara Cempaka terdengar agak bergetar.

"Tenanglah, Cempaka. Jangan panik. Mudah-mudahan saja Kak Pandan bisa menemukan Kakang Rangga secepatnya, sehingga kita semua tidak perlu mengorbankan begitu banyak prajurit Yaaah.... Terus terang saja, aku merasakan akan sia-sia...," keluh Danupaksi.

"Danupaksi, apa tidak sebaiknya kita mendahului sebelum dia menjarah ke sini?" usul Cempaka.

"Percuma saja, Cempaka. Lembah Mayat bukanlah tempat yang mudah dijangkau. Bisa-bisa separuh prajurit akan tewas sebelum sampai di sana," sahut Danupaksi.

"Tapi, Kakang...."

"Kita tunggu saja di sini. Kalaupun mimpimu harus iadi kenyataan, kuharap Kakang Rangga tidak ada di sini dan bisa membalas," potong Danupaksi mendesah.

Tak ada lagi terdengar suara percakapan. Kini yang terdengar suara-suara langkah keluar dari kamar itu. Sementara Rangga yang berada di balok melintang di atas jendela, bergegas meluruk turun. Sebentar tercenung di depan jendela kamar Cempaka, kemudian dengan cepat dia melesat ke bagian belakang istana. Pendekar Rajawali Sakti itu mendongak, dan masih melihat Rajawali Putih berputar-putar di atas sana.

"Rajawali, ke sini!" panggil Rangga seraya melambaikan tangannya. Rajawali Putih meluruk deras. Dan belum juga burung raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melenting tinggi, langsung hinggap di punggung Rajawali Putih.

"Khraghk!" Bagaikan kilat, Rajawali Putih meluncur deras melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga dipunggungnya. Burung raksasa itu masih berputar berapa kali mengelilingi bangunan megah di Kerajaan Karang Setra itu.

"Ke Lembah Mayat, Rajawali Putih!" perintah Rangga.

"Khraghk!"

***

"Hup!" Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih sebelum burung raksasa itu mendarat di tanah. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu memandang sekitarnya. Daerah ini begitu sunyi tanpa adanya tanda-tanda kehidupan. Lembah Mayat memang suatu tempat yang tidak pernah didatangi orang. Bahkan kelihatannya sangat angker, dan banyak dihuni ular berbisa dan binatang berbahaya lainnya.

Pelahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya ke tengah-tengah lambah ini. Begitu sunyi dan sangat mencekam sekali. Bahkan angin pun seakan-akan enggan berhembus. Namun demikian, Rangga masih merasakan hidungnya mencium bau yang tidak sedap. Seperti bau bangkai buruk yang dapat membuat perut jadi mual, bercampur bau amis memuakkan. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti tidak menghiraukan semua itu.

"Heh...!" mendadak pemuda berbaju rompi putih itu tersentak kaget. Tiba-tiba saja terdengar suara seperti orang bertarung. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling sekali lagi. Segera ditajamkan telinganya, mempergunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suara pertempuran itu datang dari balik sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit kecil di dalam lembah ini.

Gundukan tanah memanjang mirip sebuah kuburan raksasa. Di atasnya terdapat dua buah batu menyembul pada bagian ujungnya. Itulah sebabnya mengapa lembah ini disebut Lembah Mayat. Apalagi ditambah aroma busuk yang selalu menyebar, sehingga menambah keangkerannya.

"Hup!" Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah berada di puncak gundukan tanah bagai kuburan raksasa itu. Matanya seketika terbeliak begitu melihat dua orang tengah bertarung sengit. Rangga mengenali kedua orang itu, dan langsung menahan napas. Ternyata orang berbaju hitam ketat seperti kewalahan karena tidak bisa menjangkau orang yang mengenakan baju merah ketat. Padahal, orang berbaju merah itu tidak menggunakan senjata apa pun juga.

"Intan, mundur... !" seru Rangga seraya melentingkan tubuhnya, meluruk mendekati tempat itu.

"Kakang...! Hup!" Gadis berbaju hitam ketat yang ternyata memang Intan Kemuning, bergegas melompat mundur mendekati Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri tegak, dan tanpa berkedip menatap tajam seorang laki-laki yang kelihatan masih muda. Seluruh wajahnya penuh bisul. Bahkan hampir seluruh kulit tubuhnya mengeluarkan cairan kuning kental yang menyebar bau tidak sedap. Rambutnya yang panjang, dibiarkan meriap hampir menutupi wajahnya.

"He he he.... Akhirnya kau muncul juga, Pendekar Rajawali Sakti," laki-laki berwajah buruk penuh bisul itu terkekeh memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam.

"Aku memang sengaja mencarimu, Iblis Selaksa Racun!" dingin nada suara Rangga.

"He he he..., bagus. Hari ini kita tentukan, siapa yang akan merajai rimba persilatan. Kau atau aku, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Menyingkirlah kau, Intan," perintah Rangga tanpa berpaling sedikit pun.

"Hati-hati, Kakang," bisik Intan Kemuning.

Rangga tidak menyahuti. Bukannya meremehkan peringatan gadis itu, tapi dia memang sudah tahu kalau Iblis Selaksa Racun sukar ditaklukkan. Ilmu olah kanuragan yang dimiliki laki-laki buruk penuh bisul itu memang tidak tinggi. Bahkan bisa dikatakan sangat rendah. Namun ilmu meringankan tubuhnya sungguh sempurna sekali. Tapi yang terpenting adalah, Iblis Selaksa Racun memiliki suatu ilmu yang bisa membentengi dirinya sehingga sukar ditembus dan tidak terlihat oleh pandangan mata. Meskipun Rangga mempergunakan aji 'Tatar Netra' ataupun aji 'Mata Dewa', tetap saja tidak bisa melihat tabir yang menyelimuti tubuh Iblis Selaksa Racun.

Pelahan-lahan Rangga menggeser kakinya ke samping menjauhi Intan Kemuning. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Seakan-akan sedang mengukur kesiapan dan tingkat kepandaian yang dimiliki lawan, meskipun sudah tahu kalau lawannya hanya memiliki kepandaian rendah. Tapi Rangga harus hati-hati, dan tidak ingin membuat kesalahan untuk kedua kalinya.

"Bersiaplah, Iblis Selaksa Racun! Hiyaaat...!" seru Rangga keras.

"Hait!" Iblis Selaksa Racun menggeser kakinya sedikit ke samping ketika Rangga melompat cepat menerjangnya. Dengan gerakan lambat, laki-laki berbaju merah itu menghentakkan tangannya ke depan. Dan...

"Uh!" Buru-buru Rangga melentingkan tubuhnya ke atas ketika dirasakan adanya hawa dingin meluncur ke arahnya. Begitu jelas terasa kalau hawa dingin itu meluncur melewati bawah telapak kakinya. Dan Rangga tahu kalau hawa dingin itu mengandung racun yang sangat berbahaya dan mematikan. Dua kali Rangga berputaran di udara, dan manis sekali mendarat di samping kanan Iblis Selaksa Racun. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan kakinya, menendang iga lawan.

Dug! "Ikh... !" Rangga terperanjat bukan main. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur. Sungguh tidak diduga sama sekali! Begitu kakinya menghantam iga Iblis Selaksa Racun, dirasakan seperti menendang segumpal karet sehingga tendangannya berbalik arah. Hampir saja Rangga terkena arus tenaga dalamnya sendiri kalau saja tidak cepat-cepat membuangnya ke arah lain.

"He he he...," Iblis Selaksa Racun terkekeh.

***
DELAPAN
Sementara itu, tidak jauh dari Lembah Mayat, tampak serombongan prajurit yang dipimpin Danupaksi dan Cempaka bergerak menuju lembah yang mengandung hawa busuk itu. Mereka bergerak hati-hati dan penuh kewaspadaan. Terlebih lagi setelah memasuki daerah yang belum pernah dipijak manusia sebelumnya, dan terkenal akan ular berbisanya.

Tapi tiba-tiba saja mereka dikejutkan sebuah bayangan biru yang berkelebat menghadang. Tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju biru ketat dengan sebuah kipas terbuka di depan dada. Danupaksi dan Cempaka kenal, siapa gadis itu.

"Kak Pandan...!" seru Cempaka seraya bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Danupaksi juga bergegas turun dari kudanya. Diperintahkan para prajuritnya untuk tetap berwaspada. Mereka menghampiri Pandan Wangi yang sudah melipat kembali kipas baja putihnya, dan menyelipkan di pinggang.

"Kalian mau ke mana?" tanya Pandan Wangi.

"Ke Lembah Mayat," sahut Danupaksi.

"Kak Pandan sendiri, kenapa berada di sini?"

"Aku memang sengaja mencegat kalian di sini," sahut Pandan Wangi.

"Mencegat kami...?!" Cempaka tidak mengerti.

"Sebaiknya kalian perintahkan para prajurit kembali ke istana. Keamanan istana lebih penting daripada mengejar satu orang yang kini sudah ditangani," kata Pandan Wangi.

"Kak Pandan tahu tentang Iblis Selaksa Racun?" tanya Danupaksi.

"Aku sudah tahu sebelum kalian tahu. Kembalilah ke istana dan tunggu kami di sana," sahut Pandan Wangi.

Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan. "Kak Pandan sudah bertemu Kakang Rangga?" tanya Cempaka.

"Sudah," sahut Pandan Wangi tersenyum.

"Oh, di mana sekarang?" tanya Cempaka lagi. Hatinya memang sudah demikian rindu ingin segera bertemu kakak tirinya itu.

"Ada," sahut Pandan Wangi. "Sekarang Kakang Rangga sedang bertarung melawan Iblis Selaksa Racun di Lembah Mayat."

"Apa...?!" Danupaksi dan Cempaka benar-benar terkejut mendengarnya.

Sungguh tidak disangka kalau Rangga kini sedang bertarung melawan orang yang seluruh tubuhnya mengandung racun dahsyat dan sangat mematikan itu. Terlihat jelas pada raut wajah mereka, kecemasan yang amat sangat.

"Kita harus membantunya, Kak Pandan," kata Cempaka.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan, Cempaka. Kakang Rangga sudah dibantu Putri Rajawali Hitam. Aku yakin mereka berdua mampu menghadapi manusia beracun itu," tegas Pandan Wangi mantap.

"Putri Rajawali Hitam...? Siapa dia?" tanya Danupaksi (Bagi para pembaca yang mau tahu lebih jauh tentang Putri Rajawali Hitam, silakan baca Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Sepasang Rajawali)

"Aku sendiri belum begitu tahu persis. Tapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan tampaknya sudah mengenal dekat dengan Kakang Rangga. Demikian juga sebaliknya, Kakang Rangga seperti sudah lama mengenal Putri Rajawati Hitam," Pandan Wangi mencoba coba menjelaskan.

Cempaka memandangi Pandan Wangi dalam-dalam. Sesama wanita, bisa dirasakan adanya sesuatu di dalam nada suara Pandan Wangi. Dan Cempaka tahu perasaan apa itu.

Sedangkan Pandan Wangi membalikkan tubuhnya seraya menarik napas panjang. Entah kenapa, mendadak saja dirasakan dadanya menjadi sesak. Terbayang kembali peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Dirinya dibuat tidak berdaya oleh si Cambuk Sakti, dan hampir saja mati. Juga, masih terlihat jelas dalam bayangannya, bagaimana Rangga dibuat seperti barang mainan oleh perempuan tua yang hendak menjodohkan Pendekar Rajawali Sakti dengan cucunya. Untunglah Rangga disambar oleh seekor burung rajawali hitam pada saat yang kritis sekali.

Pandan Wangi sendiri tidak mengerti, mengapa Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak berdaya menghadapi si Cambuk Sakti. Dan Pandan Wangi sendiri juga tertolong nyawanya oleh Rajawali Putih. Gadis itu hampir tidak percaya kalau telah dibawa ke belakang Goa Kera, dan dirawat oleh seorang gadis cantik berbaju hitam yang mengaku bernama Putri Rajawali Hitam. Di goa itu juga dilihatnya, bagaimana Putri Rajawali Hitam merawat luka-luka yang diderita Rangga. Dan dia juga melihat, kalau Putri Rajawali Hitam begitu akrab dan... ah! Pandan Wangi mendesah panjang, tidak ingin mengingat lagi peristiwa itu.

"Kak Pandan...," Cempaka menepuk pundak Pandan Wangi.

"Oh!" Pandan Wangi tersentak bangun dari lamunannya.

"Kenapa Kak Pandan menangis?" tanya Cempaka agak kaget juga melihat ada titik air mata menggulir di pipi yang halus itu.

"Oh! Eh..., tidak... " Buru-buru Pandan Wangi menyeka air mata yang tidak terasa menggulir di pipinya. Beberapa kali ditariknya napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya yang mendadak terasa sesak.

"Kak...," lembut suara Cempaka.

"Pergilah kalian. Tinggalkan tempat ini," kata Pandan Wangi.

"Tapi, kenapa Kakak menangis?" tanya Cempaka.

"Tidak apa-apa, Cempaka. Aku hanya mengkhawatirkan Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi berusaha tersenyum.

"Apakah keadaan Kakang Rangga begitu gawat, Kak?" tanya Cempaka.

Pandan Wangi tidak menjawab. Diayunkan kakinya menuju ke Lembah Mayat yang sudah terlihat di depan. Sementara Cempaka dan Danupaksi saling berpandangan sesaat.

"Sebaiknya kau bawa saja para prajurit ke istana, Danupaksi," usul Cempaka.

"Kau sendiri?"

"Aku akan bersama Kak Pandan."

Danupaksi segera memerintahkan para prajuritnya untuk kembali ke istana, tapi dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama Cempaka. Tak ada para prajurit yang membantah, dan sebenarnya mereka juga enggan datang ke tempat angker itu. Bergegas mereka memutar arah kembali ke istana. Danupaksi menghampiri adik tirinya yang sudah melangkah mengikuti Pandan Wangi.

"Apa pun yang terjadi, kita harus selalu bersama-sama, Cempaka," tegas Danupaksi setelah bisa mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu.

Cempaka hanya tersenyum tipis saja. Mereka kemudian mempercepat langkahnya menyusul Pandan Wangi yang sudah berjalan cukup jauh menuju Lembah Mayat. Mereka bertiga berjalan berdampingan tanpa berkata-kata lagi. Sesekali Cempaka memperhatikan wajah, yang kelihatan tegang dan penuh berbagai macam perasaan, namun rasanya tidak ingin banyak tanya. Cempaka bisa merasakan kalau Pandan Wangi menyimpan api cemburu.

***

Sementara itu pertarungan antara Rangga melawan Iblis Selaksa Racun masih terus berlangsung sengit. Namun terlihat jelas kalau pertarungan itu berjalan kurang menarik, karena Rangga masih juga belum mampu memperpendek jarak dengan lawannya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti itu terpental setiap kali mencoba menembus tirai halus yang melindungi Iblis Selaksa Racun.

Sedangkan tidak berapa jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat Intan Kemuning memperhatikan disertai hati yang penuh kecemasan. Kakinya melangkah mundur, karena daerah sekitar pertarungan mulai terasa dingin. Dan dia tahu kalau daerah itu sudah dipenuhi hawa beracun yang dapat membuat orang mati seketika jika menghirupnya. Intan Kemuning berpaling ketika mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Bergegas Putri Rajawali Hitam itu melompat menghampiri dan mencegah Pandan Wangi, Cempaka, dan Danupaksi lebih mendekat.

"Tetap di sini, Pandan Wangi," kata Intan Kemuning.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi yang tidak ingin diatur oleh seorang gadis yang mungkin sebaya dengannya.

"Udara beracun semakin menyebar. Terlalu berbahaya bagi...," Intan Kemuning memutus kalimatnya. Dipandanginya Cempaka dan Danupaksi.

"Mereka adik-adik Rangga," jelas Pandan Wangi memperkenalkan.

"Oh! Aku sahabat Kakang Rangga. Kalian boleh memanggilku Intan," Intan Kemuning memperkenalkan diri.

Cempaka dan Danupaksi juga memperkenalkan diri. Tampak sekali kalau Danupaksi merayapi terus wajah cantik Putri Rajawali Hitam ini. Dan Intan Kemuning mengetahui hal itu. Buru-buru dialihkan pandangannya pada Pandan Wangi.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Intan Kemuning.

"Baik. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Pandan Wangi tanpa tersenyum sedikit pun.

Intan Kemuning mengajak Pandan Wangi menjauh dari Cempaka dan Danupaksi. Sebentar Pandan Wangi memandang kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian mengikuti Intan Kemuning.

"Kenapa kau bawa mereka ke sini? Terlalu berbahaya, Pandan," tegur Intan Kemuning.

"Aku tidak bisa mencegah, Intan. Mereka juga punya hak untuk mempertahankan Karang Setra. Kau kan tahu, kalau Iblis Selaksa Racun ingin menghancurkan Karang Setra hanya karena merasa terusik oleh Kakang Rangga," jawab Pandan Wangi agak ketus.

Intan Kemuning mengangkat bahunya. Memang tidak mungkin Pandan Wangi mencegah kedatangan mereka ke tempat ini, meskipun daerah ini sangat berbahaya. Terlebih lagi akibat pertarungan itu hawa beracun memenuhi daerah ini, dan semakin menyebar luas.

***

"Hiyaaa... !" Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga tubuhnya melenting tinggi ke atas, lalu bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti itu menukik deras sambil mencabut pedang pusakanya. Saat itu juga cahaya biru berkilau menyemburat menerangi daerah Lembah Mayat ini.

Wut! Wut! Dua kali pedang Rangga dikebutkan kuat-kuat, lalu dengan cepat ditusukkan ujungnya tepat mengarah ke ubun-ubun kepala Iblis Selaksa Racun.

"Hup! Hiyaaa...!" Cepat sekali Iblis Selaksa Racun menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah, menghindari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti yang mengancam ubun-ubun kepalanya. Namun belum juga sempat bangkit berdiri, Rangga sudah menerjang kembali sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali. Dengan mempergunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Pendekar Rajawali Sakti mencoba membuka pertahanan Iblis Selaksa Racun yang begitu kokoh.

"Keparat...!" geram Iblis Selaksa Racun sambil berlompatan, menghindari tebasan-tebasan pedang Rangga yang begitu cepat.

"Awas kaki...!" seru Rangga tiba-tiba.

Wut! Cepat sekali Rangga mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Iblis Selaksa Racun terperanjat. Ternyata pedang itu mampu menembus tabir yang membentengi tubuhnya. Buru-buru dia melompat ke atas, menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya biru itu. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' sambil melesat ke atas mengikuti lesatan Iblis Selaksa Racun.

Des! "Akh...!" Iblis Selaksa Racun memekik keras tertahan. Hantaman jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir itu mendarat telak di dada Iblis Selaksa Racun. Jurus yang sangat dahsyat dan mengandung hawa panas luar biasa itu membuat tubuh Iblis Selaksa Racun terpental beberapa tombak ke belakang.

Beberapa kali Iblis Selaksa Racun bergulingan di tanah. Pada saat itu, pedang Rangga sudah melintang di depan dada, sedangkan kedua kakinya berpijak merentang agak tertekuk di tanah. Digosoknya mata pedang dengan telapak tangan kirinya. Sesaat kemudian, cahaya biru menggumpal di ujung pedang membentuk bulatan seperti bola sebesar kepala manusia dewasa. "Aji 'Cakra Buana Sukma'!

Hiyaaaa...!"

Tepat pada saat Iblis Selaksa Racun baru berdiri, Rangga menghentakkan bola biru terang. Bagaikan kilat, cahaya biru itu meluncur deras dan langsung menghajar tubuh Iblis Selaksa Racun. Sebentar saja seluruh tubuh laki-laki berbaju merah itu sudah terselubung cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti.

"Ugh ! Akh... !" Iblis Selaksa Racun menggeliat-geliat, berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Sementara Rangga pelahan-lahan menggeser kakinya mendekati. Namun tiba-tiba saja...

Blarrr...!

"Akh...!" Rangga memekik keras tertahan. Mendadak saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terpental ke belakang.

Sedangkan Iblis Selaksa Racun telah terbebas dari selubung cahaya biru. Tapi laki-laki berbaju merah yang seluruh wajah dan tubuhnya penuh bisul itu jatuh berlutut di tanah. Rupanya seluruh kekuatannya telah dikeluarkan untuk melawan aji 'Cakra Buana Sukma'.

Sementara Rangga bergulingan beberapa kali di tanah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melompat bangkit berdiri, dan langsung melesat cepat ke arah Iblis Selaksa Racun. Pada saat yang bersamaan, Iblis Selaksa Racun juga sudah bisa bangkit berdiri. Segera dihentakkan tangannya ke depan.

"Hiyaaa...!"

"Hait!" Rangga mengebutkan pedangnya beberapa kali sambil tubuhnya berputaran di udara. Dan dia terus meluruk deras mengarah pada Iblis Selaksa Racun.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras menggelegar.

Wut! Cras...! "Aaa...!" Iblis Selaksa Racun tidak bisa lagi menghindari tebasan pedang yang bersinar biru itu. Hanya sebentar laki-laki penuh bisul itu mampu menjerit melengking tinggi, kemudian berdiri tegak tak bergeming.

"Hih!" Rangga menendang dada laki-laki berbaju merah itu. Seketika Iblis Selaksa Racun terguling ambruk, dan kepalanya menggelinding terpisah! Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal buntung. Rangga menarik napas panjang dan memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di balik punggung. Dia berbalik begitu mendengar suara-suara langkah kaki menghampiri.

"Jangan dekat!" seru Rangga keras begitu melihat Cempaka dan Danupaksi mendekati. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti melangkah seketika. Pandan Wangi bergegas menghampiri Cempaka dan Danupaksi, lalu membawa mereka menjauh. Tentu saja kedua adik tiri Rangga itu jadi kebingungan, tapi akhirnya mundur juga menjauh.

"Pandan, bawa mereka pulang," tegas Rangga.

"Kakang...!" agak tersendat suara Cempaka.

"Jangan membantah, Cempaka!" bentak Rangga.

Rangga mengambil sulur pohon yang kuat dan cukup besar, kemudian bersiul keras melengking tinggi. Tak berapa lama kemudian dari angkasa meluruk seekor burung rajawali putih raksasa. Dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu melemparkan sulur kayu itu, dan cakar Rajawali Putih pun langsung menangkapnya.

"Cepat, Rajawali!" seru Rangga keras.

"Khraghk...!" Cepat sekali burung rajawali raksasa itu melesat ke angkasa membawa Rangga yang tergantung berpegangan pada sulur kayu. Sekejap saja bayangan mereka sudah lenyap ditelan kabut yang mulai turun menutupi sekitar Lembah Mayat ini.

Sementara yang ditinggalkan hanya memandangi saja. Terutama Cempaka dan Danupaksi yang tidak mengerti, mengapa Rangga begitu tergesa-gesa meninggalkan mereka. Bahkan tidak ingin didekati.

"Ayo pulang, Cempaka, Danupaksi," ajak Pandan Wangi. Pandan Wangi sempat melirik pada Intan Kemuning yang hanya berdiri saja. Intan Kemuning tersenyum, kemudian berbalik dan cepat sekali melesat pergi. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Putri Rajawali Hitam itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.

"Kak Pandan, ada apa dengan Kakang Rangga?" tanya Cempaka tidak bisa menyimpan rasa penasarannya.

"Kakang Rangga hendak membuang racun yang berada di tubuhnya," jelas Pandan Wangi.

"Apakah Kakang Rangga tidak apa-apa?" tanya Danupaksi yang juga tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.

"Tidak..."

"Sungguh?" Pandan Wangi hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.

Padahal dia sendiri sebenarnya juga mengkhawatirkan keadaan Rangga yang tentu saja kini tengah berjuang melawan racun yang disebarkan Iblis Selaksa Racun. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi bisa jadi berbahaya. Sebab, racun yang berada di tubuhnya bisa menyebar dan membahayakan orang lain.

Kalau toh Pendekar Rajawali Sakti tadi bisa bertarung melawan Iblis Selaksa Racun, tanpa terbius, itu karena Rangga selalu memperhatikan keseimbangan pengerahan hawa murninya. Dulu, waktu bertarung pertama kali melawan laki-laki beracun itu, Rangga sama sekali tidak memperhatikan.

Baru setelah Rajawali Putih mengajarkan, Pendekar Rajawali Sakti itu menyadarinya. Dan kini Rangga perlu waktu untuk menghilangkan racun itu. Tak ada yang tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti itu menyembuhkan dirinya. Hanya dirinya dan Rajawali Putih yang tahu.
TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar