Pendekar Rajawali Sakti eps 048 : Genta Kematian

SATU
SEHARIAN lebih berada di punggung kuda, memang bukan hal yang menyenangkan. Pinggang terasa akan patah. Wajah dan seluruh tubuh terasa tebal oleh debu yang melekat bercampur keringat. Terlebih lagi saat berada di daerah yang gersang dan tandus seperti Ini. Tak ada pemandangan yang bisa dinikmati. Sejauh mata memandang. hanyalah kegersangan dengan pepohonan mengering tanpa daun. Rerumputan meranggas kekurangan air. Parit-parit tampak kering kerontang dan tanahnya sudah terbelah pecah.

Namun keadaan alam yang menyiksa dan tidak ramah ini tidak menghalangi perjalanan dua orang penunggang kuda. Padahal kuda yang ditunggangi tidak kuat lagi diajak berlari kencang, dan kelelahan sekali. Binatang itu terseok-seok dengan liur menetes dari mulutnya yang terbuka. Dua penunggang kuda itu ternyata gadis-gadis muda. Wajah mereka sudah memerah terpanggang matahari yang bersinar terik sekali.

“Sepertinya seluruh alam sudah mati semua, Kak Nila...,” keluh salah seorang gadis yang mengenakan baju kuning gading.

“Lelah...?” gadis satunya lagi yang mengenakan baju warna putih mencoba tersenyum. “Kalau lelah, jangan salahkan alam segala.”

Gadis berbaju putih yang dipanggil Nila itu tampaknya lebih dewasa daripada yang seorang lagi. Hal ini terlihat jelas dari raut wajah maupun sorot matanya yang memancarkan kematangan jiwa. Sedangkan gadis yang berbaju kuning masih kelihatan remaja sekali. Mungkin usianya baru beranjak tujuh belas atau delapan belas tahun

“Istirahat dului, Kak Nila. Kasihan nih, kuda-kudanya,” rengek gadis berbaju kuning gading itu.

“Mau istirahat di mana, Mutiara...?” lembut sekaii nada suara Nila. Gadis ini bernama lengkap Nila Komala.

Gadis berbaju kuning gading yang bernama Mutiara, tidak langsung menjawab. Memang percuma saja mereka beristirahat. karena tidak ada satu tempat pun yang cocok dijadikan tempat beristirahat. Keadaan di sekitar daerah ini semuanya sama. Hanya kegersangan saja yang ada.

“Hhh...! Mau apa sih kita ke sini, Kak?” lagi-lagi Mutiara mengeluh seraya menyeka keringat yang hampir mengering di leher.

“Atas perintah Eyang Jatibaya,” sahut Nila Komala, tetap lembut dan kalem suaranya.

“lya... aku tahu. Tapi untuk apa...?” desak Mutiara.

“Aku sendiri tidak tahu, Mutiara. Eyang Jatibaya hanya memerintahkan kita untuk ke tempat ini”

Mutiara kembali terdiam, langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian kembali ditatapnya gadis yang berkuda perlahan di sampingnya. Beberapa saat lamanya mereka tidak lagi membuka suara. Sementara mereka semakin jauh menembus daerah gersang yang panas ini. Mutiara mengambil kantung kulit tempat airnya. kemudian mendekatkan ke bibirnya dengan kepala agak menengadah.

“Sial..!” gerutu Mutiara sambil mengguncang-guncang tempat airnya.

“Kenapa?” tanya Nila Komala seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.

“Airku habis,” rungut Mutiara. “Kau masih punya, Kak?”

“Sama. Habis juga,” sahut Nila Komala seraya mengguncang kantung airnya.

“Hhh...! Kita bisa mati kehausan kalau begini terus,” keluh Mutiara.

Lagi-lagi Nila Komala hanya menggelengkan kepala saja. Sejak kemarin mereka berada di tempat gersang ini, Mutiara selalu saja mengeluh tidak henti-hentinya. Sedangkan Nila Komala hanya tersenyum saja men-dengar keluhan gadis itu, dan sama sekali tidak menanggapi.

Namun demikian, Mutiara tidak pernah merepotkan dengan minta pulang segala macam. Meskipun terus mengeluh, Mutiara tetap saja mengikuti Nila Komala. Memang kasihan juga melihatnya. Bukan hanya wajahnya yang memerah. tapi juga bibirnya sudah mengering pecah-pecah. Persediaan air sudah habis. Sedangkan mereka tidak tahu, sampai kapan perjalanan menyiksa ini akan berakhir. Dan sepertinya kegersangan memang sudah melanda seluruh permukaan bumi ini

“Berapa hari lagi kita berada di tempat ini, Kak?” tanya Mutiara lagi

“Aku tidak tahu,” sahut Nila Komala. “Yang aku tahu, kita harus terus berjalan ke arah Timur. Hanya itu saja,” jelas Nila Komala.

“Hhh.... Mampus deh, sekarang...!” keluh Mutiara singkat.

Lagi-lagi Nila Komala hanya tersenyum kecil. Sedangkan Mutiara terus menggerutu, menyesali dirinya yang mau saja ikut ke tempat seperti ini. Kalau saja dia bisa menolak.... Tapi tidak mungkin perintah gurunya ditolak. Bisa-bisa, akan mendapat hukuman yang lebih berat daripada ini. Lagi-lagi Mutiara mendengus kesal.

“Kak, lihat..!” seru Mutiara sambil menunjuk ke depan.

Tampak sebuah perkampungan dengan pepohonan yang tumbuh subur terbentang di depan mereka. Kedua gadis Itu baru saja melewati daerah gersang dan tandus, tanpa kehidupan sama sekali. Kini, setelah menempuh perjaianan panjang dan melelahkan, mereka baru bisa menemukan sebuah perkampungan yang tampak menghijau, menyejukkan mata.

Mutiara bergegas menggebah cepat kudanya. Sedangkan Nila Komala tetap menjalankan kudanya perlahan-lahan. Perkampungan itu memang tidak seberapa jauh lagi, sehingga Mutiara cepat sampai ke sana. Dia langsung melompat turun dari punggung kudanya. Namun, begitu kakinya menjejak tanah seketika itu juga dia jadi tertegun.

Pada saat Mutiara memutar tubuhnya, Nila Komala sudah berada di dekatnya. Dia turun dari kuda dengan gerakan manis sekali. Kemudian dihampirinya Mutiara, dan berdiri di sampingnya. Beberapa saat mereka terdiam dengan bola mata berputar, memandang ke sekeliling.

“Sepi. Tidak ada seorang pun di sini...” gumam Nila Komala seperti bicara pada dirinya sendiri.

Belum juga Mutiara sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara genta yang berdentang nyaring sehingga memekakkan telinga. Kedua gadis itu tersentak kaget Suara genta itu bagai hendak memecahkan seluruh pembuluh darah. Begitu keras, membuat jantung kedua gadis itu berdegup kencang.

“Mutiara, awas...!” seru Nila Komala tiba-tiba.

Begitu suara genta tadi berhenti berdentang, mendadak saja, secercah sinar merah kebiru-biruan meluncur deras ke arah mereka. Cepat sekali Nila Komala bertindak. Dia melompat bagai kilat, menerjang Mutiara yang malah terkesiap kaku. Mutiara jatuh berguling begitu terterjang dorongan keras Nila Komala. Namun....

“Aaakh...!” terdengar jeritan keras melengking tinggi

“Kak...!” Jerit Mutiara.

Tampak Nila Komala keras sekali terjerembab ke tanah. Gadis itu menyelamatkan jiwa Mutiara, tapi terlambat untuk menghindarkan dirinya sendiri dari cahaya merah kebiruan. Cahaya itu tepat menghantam dadanya.

Nila Komala menggelepar sambil menggerung-gerung dengan dada hangus terbakar. Sementara Mutiara tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Dia hanya bisa memandangi Nila Komala yang meregang menahan sakit yang amat sangat pada dadanya.

“Kak...,” parau suara Mutiara.

Namun Nila Komala sudah tidak bergerak-gerak lagi. Seluruh dadanya hangus menghitam. Perlahan Mutiara merayap mendekati Nila Komala. Namun sebelum mencapai tubuh gadis berbaju putih itu, mendadak sebuah bayangan keperakan berkelebat cepat menyambar ke arahnya.

“Ikh...! Uts...!” Cepat cepat Mutiara membanting tubuhnya ke tanah, lalu berguling beberapa kali. Maka bayangan itu lewat di atas tubuhnya. Dan sebelum Mutiara bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja bayangan Itu sudah kembali melesat cepat ke arahnya.

Sret!

“Yeaah...!” Mutiara langsung mencabut pedangnya, dan seketika itu juga dikibaskan ke arah bayangan keperakan itu. Namun tanpa diduga sama sekali, bayangan itu melesat cepat ke udara. Dan seketika itu juga, meluruk deras ke arah kepala, sehingga membuat Mutiara terperangah kaget.

Bet! Cepat sekali pedang Mutiara dikebutkan ke atas. Dan kembali dia terkejut, karena bayangan keperakan itu lagi-lagi melesat cepat sebelum ujung pedangnya mencapai sasaran. Kali ini bayangan keperakan itu menyambar tubuh Nila Komala yang sudah tak berdaya, lalu bagai kilat melesat meninggalkan Mutiara. Sekejap mata saja dia tidak terlihat lagi.

“Kak Nila...!” sentak Mutiara begitu tidak lagi melihat Nila Komala di tempatnya.

Mutiara jadi celingukan, sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi sekitarnya begitu sunyi. Tak terdengar suara sedikit pun juga, kecuali desir angin yang mengusik gendang telinga.

“Kak Nila...,” desis Mutiara parau.

Tanpa disadari, setitik air bening menggulir dari sudut mata gadis itu. Pandangannya tertuju lurus ke tempat bekas terbaringnya Nila Komala yang dadanya hangus menghitam setelah terkena terjangan cahaya merah kebiruan tadi.

Mutiara terduduk lemas di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Matanya tidak lepas memandangi tanah, tempat Nila Komala tadi tergeletak. Gadis itu menyeka air mata dengan punggung tangannya. Terdengar isak tertahan. Seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi melihat Nila Komala menghilang disambar bayangan keperakan tadi. Dia tidak tahu, apakah Nila Komala sudah mati atau masih hidup.

“Kak Nila…” semakin lemah suara Mutiara. Tubuh gadis itu semakin melemah. Pandangannya mulai kabur dan berkunang-kunang. Bersamaan dengan terdengarnya rintihan lirih, Mutiara jatuh terkulai. Gadis itu langsung tidak sadarkan diri. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tapi jiwanya juga teramat lelah.

***

Mutiara tidak tahu. sudah berapa lama tidak sadarkan diri setelah berjalan tanpa sedikit pun beristirahat. Perjalanan yang panjang dan menyiksa seketika di daerah gersang, tanpa ada air setetes pun. Itu pun masih ditambah hilangnya Nila Komala. kakak seperguruannya. Gadis itu mulai siuman saat merasakan sesuatu yang dingin menempel di keningnya.

“Ohhh ...” lirih sekali suara Mutiara. Perlahan-lahan kepala gadis itu bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri. Kemudian perlahan-lahan kelopak matanya terbuka. Terasa berat sekali. Seakan-akan kelopak matanya tidak mau dibuka. Namun akhirnya mata Mutiara terbuka juga. Meskipun pandangannya mengabur, berkunang-kunang. Kembali matanya dipejamkan beberapa saat, kemudian membuka kembali.

Yang pertama kali dilihat Mutiara adalah seraut wajah tua dengan mata bening. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Mutiara mengenali ruangan ini. Sebuah kamar yang ukurannya tidak terlalu besar, dan setiap hari dilihat dan ditempatinya. Di dalam kamar ini ada juga seorang pemuda dan seorang gadis cantlk yang mengenakan baju biru muda.

“Kau sudah sadar, Mutiara...?” terdengar suara lembut

Mutiara kembali memandang wajah laki-laki tua yang berada dekat pembaringan yang ditidurinya ini. Wajah tua yang sangat dikenalnya.

“Apakah….Apakah aku sudah mati...?” lirih sekali suara Mutiara. Hampir tidak terdengar di telinga.

“Kau masih hidup, Mutiara. Dan sekarang berada di kamarmu sendiri. Di Padepokan Gunung Gading,” Kembali terdengar suara lembut di telinga Mutiara.

“Eyang.., kaukah Eyang Jatibaya...?” Mutiara seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.

Laki-laki tua berjubah putih yang rambut, jenggot, dan kumisnya juga sudah memutih itu memberi senyuman lebar yang lembut. Sedangkan Mutiara terus merayapi wajah laki-laki tua yang mungkin usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun itu. Gadis ini seperti ingin memastikan kalau dirinya belum mati, dan yang berada di sampingnya. Ini benar-benar Eyang Jatibaya.

“Bagaimana aku bisa sampai ke sini...?” tanya Mutiara seperti pada dirinya sendiri

“Mereka yang membawamu ke sini. Mutiara,” Eyang Jatibaya memberi tahu.

Laki-laki tua berjubah putih itu menunjuk dua orang yang berdiri dekat jendela. Seorang pemuda berwajah tampan dan seorang gadis yang cantik sekali. Mutiara memandangi kedua orang yang ditunjuk Eyang Jatibaya tadi, yang membawanya kembali ke Padepokan Gunung Gading ini.

“Terima kasih,” ucap Mutiara seraya memberi senyum, meskipun lemah sekali

“Kau istirahat dulu, Mutiara. Aku ada perlu,” ujar Eyang Jatibaya seraya menepuk lembut pipi gadis itu

Mutiara hanya mengangguk saja. Eyang Jatibaya kemudian melangkah keluar, seraya mengerdipkan matanya pada dua orang yang berdiri membelakangi jendela. Kedua anak muda itu mengikuti. Gadis yang mengenakan baju biru muda, memberi senyum manis pada Mutiara sebelum keluar dari kamar ini. Bahkan sempat menepuk punggung tangan Mutiara yang terbaring lemah di ranjangnya.

Eyang Jatibaya terus berjalan menuju sebuah ruangan yang sangat besar. Tampak senjata berbagai bentuk berjajar rapi di sekeliling ruangan itu. Kemudian laki-laki tua Itu duduk di tengah-tengah ruangan, beralaskan selembar tikar. Sementara kedua anak muda yang mengikutinya juga ikut duduk bersama di depannya.

“Aku berterima kasih sekali, karena kalian telah menyelamatkan cucuku,” ucap Eyang Jatibaya.

“Hanya kebetulan lewat saja. Eyang,” sahut pemuda tampan yang duduk tepat di depan Eyang Jatibaya,

“Hm, ya…. Sejak tadi aku belum tahu nama kalian berdua,” ujar Eyang Jatibaya baru teringat kalau belum mengetahui dua orang anak muda yang telah menyelamatkan Mutiara.

“Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi,” pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu memperkenalkan diri, juga memperkenalkan gadis yang duduk di sebelahnya.

Mereka memang Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Gadis berbaju biru muda itu juga berjuluk si Kipas Maut, karena senjata yang sering digunakan berbentuk kipas yang terbuat dari logam berwarna keperakan yang sangat kuat.

“Sebenarnya kami tidak tahu akan dibawa ke mana gadis itu, untung ada seseorang yang lewat dan mengenalinya,” jelas Rangga.

“Ya. Anak muda itu salah satu muridku,” sahut Eyang Jatibaya. Kebetulan, dia memang akan kembali ke sini setelah menemui orang tuanya.”

“Maaf, Eyang. Kenapa Mutiara sampai bisa begitu?” selak Pandan Wangi, bertanya.

Eyang Jatibaya tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dlhembuskannya kuat-kuat Sepertinya laki-laki tua yang mengenakan jubah putih itu, terasa berat untuk mengatakannya.

“Sebenarnya Mutiara tidak sendirian. Dia berdua dengan kakaknya. Mereka sedang menjalankan tugas khusus dariku...,” jelas Eyang Jatibaya setelah cukup lama terdiam merenung.

“Boleh kami tahu, Eyang?” pinta Rangga, sopan.

“Sebenarnya...”

“Jika ini rahasia, sebaiknya tidak perlu diceritakan. Eyang,” potong Rangga cepat.

Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan adanya nada keberatan untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada laki-laki tua ini. Dan lagi, Rangga memang tidak ingin tahu benar. Bahkan langsung memendam keingintahuannya. Tapi tidak demikian dengan Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu malah jadi penasaran melihat sikap Eyang Jatibaya yang kelihatannya menyimpan sesuatu yang sangat berat untuk dikatakan.

“Katakan, Eyang. Kalau ada kesulitan, mungkin kami bisa membantu menyelesaikannya,” ujar Pandan Wangi agak mendesak.

“Maaf. Bukannya aku tidak percaya dan akan melupakan begitu saja jasa baik kalian. Tapi.... rasanya aku belum siap menceritakannya pada kalian berdua. Sekali lagi, aku mohon maaf.” ujar Eyang Jatibaya dengan nada suara yang sopan sekali.

“Sama sekali kami tidak mendesak. Mungkin terlalu pribadi sifatnya. Maaf kalau pertanyaan kami berdua telah membuat beban pikiranmu, Eyang,” ucap Rangga, lembut dan halus sekali suaranya.

“Terima kasih jika kalian bisa memahami.” ucap Eyang Jatibaya.

Ada sedikit kelonggaran di dada Eyang Jatibaya setelah mendengar pernyataan Pendekar Rajawali Sakti. Dan pemuda berbaju rompi putih itu memang tidak ingin mengetahui lebih banyak lagi, meskipun tahu kalau Pandan Wangi tidak puas. Rangga yang sudah paham betul pada sifat-sifat Pandan Wangi, segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya lagi. Sedangkan Eyang Jatibaya tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi. Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut diantarkan sampai ke depan pintu bangunan utama Padepokan Gunung Gading ini.

Bagi Pandan Wangi sendiri, hatinya terus bertanya-tanya tentang tugas yang diberikan Eyang Jatibaya pada dua orang muridnya. Memang sebuah tugas berat, dan mengandung bahaya tinggi. Menyelidiki sebuah gerombolan yang selalu menculik gadis-gadis pendekar. Eyang Jatibaya sendiri sebenarnya malu mengatakannya pada Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, karena muridnya ikut jadi korban. Biar bagaimana pun, Eyang Jatibaya harus menjaga nama baik padepokannya.

***
DUA
Pandan Wangi menghentikan lari kudanya begitu telah jauh menlnggalkan Padepokan Gunung Gading. Dan mereka memang masih berada di sekitar Lereng Gunung Gading. Melihat Pandan Wangi menghentikan kudanya, Rangga pun mengikuti Pendekar Rajawali Sakti memandangi Pandan Wangi yang memutar kudanya, kembali menghadap ke Padepokan Gunung Gading

“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga.

“Entahlah.... Rasanya ada yang janggal.” sahut Pandan Wangi agak mendesah.

“Apanya yang janggal?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi tidak menyahuti, tapi malah melompat turun dari punggung kudanya. Gadis itu melangkah dua tindak ke depan. Matanya lurus, menatap langsung ke Puncak Gunung Gading ini. Sementara Rangga masih berada di punggung kudanya, namun tak lama kemudian, turun juga. Dihampirinya Pandan Wangi yang berdiri mematung memandang ke Puncak Gunung Gading ini

“Kau melihat kejanggalan pada sikap Eyang Jatibaya. Pandan...?” tebak Rangga.

Pandan Wangi tetap tidak menyahuti, dan malah berpaling ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kembali pandangannya tertuju ke Puncak Gunung Gading ini. Dugaan Rangga barusan, memang tepat sekali. Pandan Wangi memang merasakan kalau sikap Eyang Jatibaya sangat janggal. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang ditutupi. Dan ini berhubungan dengan keadaan Mutiara yang mereka temukan dalam keadaan hampir mati kehausan.

“Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan, Kakang,” kata Pandan Wangi pelan.

“Semua yang ada di alam ini punya rahasia tersendiri, Pandan. Tidak ada yang aneh kalau Eyang Jatibaya mempunyai rahasia yang harus disimpan rapi.” kilah Rangga.

“Aku tahu, Kakang. Tapi...” suara Pandan Wangi terputus.

Saat itu terdengar suara genta yang berdentang keras memekakkan telinga. Suara genta itu demikian jelas, seakan-akan berada dekat sekali dengan telinga. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi merasa aliran darahnya seperti tersumbat. dan debaran jantungnya lebih keras dari biasanya

Mereka langsung menyadari kalau suara genta itu mengandung suatu kekuatan dahsyat Rangga dan Pandan Wangi segera mengerahkan hawa murni untuk menormalkan kembali aliran jalan darah. Kemudian pendengaran mereka ditutup sedikit. sehingga suara genta itu tidak lagi menyakitkan.

Namun kekuatan suara genta Itu terasa semakin dahsyat saja, sehingga kedua pendekar muda itu harus mengerahkan tenaga dalam untuk menangkalnya. Tampak tubuh Pandan Wangi bergetar. Keringat se-besar butiran jagung, menitik deras di seluruh tubuhnya

“Akh…” Pandan Wangi tiba-tiba saja memekik keras agak tertahan.

Tampak dari lubang hidung dan sudut bibirnya keluar darah segar. Sementara itu Rangga belum bisa berbuat sesuatu untuk menolong Pandan Wangi. Dirinya sendiri sibuk menahan gempuran suara genta yang semakin dahsyat kekuatannya. Namun melihat kekasihnya semakin kewalahan, Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin membiarkan begitu saja.

“Hup...!” Cepat Rangga melompat ke depan Pandan Wangi. Dan seketika itu juga tangannya direntangkan ke samping. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergetar, bergerak ke atas dan ke bawah. Kemudian dengan cepat sekali kedua tangannya dikatupkan di depan dada. sehingga sepasang telapaknya menempel di depan dada yang terbuka bidang.

“Berlindung di belakangku, Pandan...!” seru Rangga keras.

Pandan Wangi berusaha mendekati tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan susah payah. Dan begitu sampai di dekat punggungnya, seketika itu juga pemuda berbaju rompi putih Itu berteriak keras sekali. Bersamaan dengan teriakannya, Rangga menepukkan kedua telapak tangannya.

Plak! Begitu tangan Rangga beradu di atas kepalanya. Seketika itu juga keluar secercah cahaya kilat disertai teriakan dahsyat yang memekakkan telinga. Akibatnya suara genta itu berhenti seketika.

Perlahan-lahan Rangga menurunkan kedua tangannya. Keadaan seketika berubah sunyi. Tak terdengar sedikit pun suara, kecuali desir angin saja yang mengganggu gendang telinga. Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun sama sekali tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Rangga memalingkan kepala menatap Pandan Wangi. Tampak si Kipas Maut tengah sibuk membersihkan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya.

“Kau tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga.

“Dadaku sedikit sesak,” sahut Pandan Wangi.

Memang aneh dan dahsyat sekali suara genta itu. Bukan telinga yang diincar, tapi justru bagian dalam tubuh yang menjadi sasarannya. Hal ini sangat dirasakan Pendekar Rajawali Sakti yang saat itu darahnya jadi tidak beraturan, dan jantungnya berdetak lebih keras lagi.

“Hati-hatilah. Pandan. Barangkali masih ada serang...”

Belum juga habis Rangga berbicara, mendadak saja dari arah samping kanan mereka meluncur secercah cahaya merah kebiru-biruan. Sinar merah itu seperti tertuju pada Pandan Wangi.

“Pandan, awasss. .!” teriak Rangga keras.

“Ufts...!”

***

Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke samping, maka sinar merah kebiruan itu lewat sedikit di samping tubuhnya. Suatu ledakan keras terdengar ketika sinar merah kebiruan itu menghantam sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping. Pandan Wangi agak terkesiap juga ketika melihat pohon itu hancur jadi debu. Bisa dibayangkan, jika sinar itu tadi mengenai tubuhnya.

Dan sebelum Pandan Wangi bisa menarik nafas lega, kembali seberkas sinar merah kebiru-biruan melesat ke arahnya. Tapi kali ini Rangga sudah cepat bertindak. Dilemparkannya batu sebesar kepalan tangan ke arah sinar itu. Kembali sebuah ledakan keras terdengar begitu batu yang dilemparkan Rangga hantam sinar merah kebiruan itu.

“Hap...!” Pandan Wangi segera melompat ke dekat Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi tak terlihat seorang pun di sekitar tempat ini. Dan pada saat Rangga memutar kepalan ke arah kanan, mendadak saja....

Slap!

“Heps!”

Rangga cepat mendorong tubuh Pandan Wangi ke samping. Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan begitu sebuah bayangan keperakan berkelebat cepat menyambar ke arahnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut, karena bayangan keperakan itu tiba-tiba saja melenting ke atas. Maka hentakan tangannya hanya menyambar angin saja.

Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja bayangan keperakan sudah kembali meluncur cepat. Bergegas Rangga memutar tubuhnya, talu secepat itu pula melompat ke atas. Langsung dikirimnya dua pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!”

Des!

“Akh...!” mendadak Rangga terpekik begitu merasa satu pukulannya membentur benda keras.

Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja dadanya terasa terhantam sesuatu dengan keras sekali. Untuk kedua kalinya Rangga memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar deras ke bawah. Dua kali Rangga memutar tubuhnya, dan dengan manis mendarat di tanah berumput

“Ughk...!” Rangga mengeluh, merasakan sesak pada rongga dadanya.

Pada saat itu, bayangan keperakan sudah kembali berkelebat cepat ke arah Pandan Wangi. Sementara Rangga masih berusaha untuk menghilangkan rasa sesak yang melanda dadanya.

Wus! Degkh!

“Akh...!” Pandan Wangi yang tidak menyangka akan mendapat serangan begitu cepat dan mendadak sekali itu, tak mampu lagi menghindar. Sebuah sambaran tangan telah mendarat di bahunya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Dan sebelum menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu sebongkah batu yang cukup besar, melanda tubuhnya. Tubuh si Kipas Maut itu terlempar deras ke belakang. Hanya sedikit Pandan Wangi masih mampu menggerakkan tubuhnya, karena pada saat berikutnya bayangan keperakan itu sudah kembali berkelebat menyambarnya dengan kecepatan kilat.

“Kakang...!” Pandan Wangi masih mampu berteriak keras. Dan sekejap saja sudah lenyap disambar bayangan keperakan. Rangga yang baru saja bisa menghilangkan rasa sesak di dadanya, terperanjat bukan main.

“Pandan…” sentak Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti jadi terbengong. Karena begitu teriakan Pandan Wangi terdengar, saat itu juga tubuh gadis itu sudah lenyap, bersamaan dengan lenyapnya bayangan keperakan. Dan Rangga tidak sempat lagi melihat, ke mana arahnya.

Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi tempat ini sudah sunyi sekali. Tak terlihat ada seorang pun. Sepertinya tidak pernah terjadi sesuatu di Lereng Gunung Gading Ini. Begitu cepatnya peristiwa itu berlangsung, membuat Rangga masih belum bisa menyadari kalau Pandan Wangi lenyap bersama bayangan keperakan tadi.

“Oh.... Ke mana Pandan Wangi dibawanya...?” keluh Rangga dalam hati.

Meskipun tadi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sudah bersiaga penuh, namun gerakan bayangan keperakan itu tadi sungguh luar biasa cepatnya. Bahkan Rangga sendiri sampai tidak bisa melihat bentuk bayangannya. Hingga beberapa kali terpana, mengakibatkan satu pukulan telak di dada Pendekar Rajawali Sakti.

Untung saja pukulan itu tidak mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga Rangga tidak menderita luka yang berarti. Dengan sedikit pengerahan hawa murni, rasa nyeri dan sesak yang melanda rongga dadanya bisa dihilangkan. Namun pada saat yang sebentar itu, bayangan keperakan itu sudah cepat bertindak, dan membawa Pandan Wangi sebelum ada yang sempat menyadari.

“Hm.... Orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali.” gumam Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam-dalam beberapa kali, mencoba menenangkan diri agar bisa melakukan sesuatu tanpa dipengaruhi hawa amarah. Dihampirinya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu di bawah pohon bersama kuda putih milik Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti menepuk-nepuk leher kuda hitam itu beberapa kali.

“Dewa Bayu. Kau jaga si Putih. Aku akan memanggil kalian jika sudah bertemu Pandan Wangi,” kata Rangga pada kuda hitam itu.

Seperti bisa mengerti saja, kuda hitam itu meringkik keras dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Rangga kembali menepuk-nepuk leher kuda itu.

“Sebaiknya kau kembali saja ke Karang Setra, Dewa Bayu. Yang penting kau jangan sampai mendapat kesulitan oleh orang-orang yang menginginkanmu,” kata Rangga lagi.

Kembali kuda itu menyahuti dengan ringkikan keras dan anggukan kepala beberapa kali. Kemudian dihampirinya kuda putih tunggangan Pandan Wangi. Tak berapa lama kemudian, kedua ekor kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan-akan, mereka mengucapkan selamat tinggal pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kedua kuda itu berlari cepat menuruni lereng gunung ini.

Rangga memperhatikan dua ekor kuda yang terus berlari kencang menuruni lereng gunung ini, kemudian berbelok ke arah Selatan menuju Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti baru mengalihkan perhatian setelah kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.

***

Rangga menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan yang dinaungi sebatang pohon rindang. Sudah seharian mencari Pandan Wangi di sekitar Lereng Gunung Gading ini, tapi tanda-tandanya pun tidak pernah ditemukan. Sementara senja sudah demikian larut, Matahari hampir tenggelam dalam peraduannya. Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Tak berapa lama lagi, seluruh permukaan Gunung Gading ini akan terselimuti kegelapan.

Sesaat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti tertegun ketika telinganya mendengar alunan suara lembut dan merdu, mendendangkan irama lagu. Suara merdu itu demikian jelas terdengar, menyelusup terbawa angin di antara pohon-pohon dan bebatuan. Begitu lembut dan merdunya, membuat hati Pendekar Rajawali Sakti tergugah untuk mengetahui pemilik suara itu.

“Hm....” Rangga bangkit berdiri. Perlahan-lahan kakinya terayun setelah dapat memastikan arah sumber suara itu. Semakin dekat dengan sumber suara itu, semakin terdengar jelas. Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika melihat seorang gadis yang keadaan tubuhnya polos, duduk di atas batu di tepi sebuah danau kecil.

“Ohhh...” Rangga mendesah kagum. Sungguh tidak disangka kalau di sekitar Lereng Gunung Gading ini terdapat danau kecil yang indah. Airnya jernih kebiruan dan berkilatan indah bagai bertaburkan batu-batu permata. Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti tertegun menyaksikan keindahan alam di sekitarnya ini. Rasanya, seperti berada di dalam sebuah taman yang tertata dan terawat rapi oleh tangan-tangan ahli.

“Hei..!” gadis itu membentak begitu melihat ada orang di dekat danau ini. Langsung diraihnya kain yang tergolek di sebelahnya.

“Oh!” Rangga tersentak kaget ketika tiba terdengar bentakan keras, tepat saat alunan merdu itu berhenti. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti langsung beralih pada gadis yang hanya mengenakan selembar kain penutup tubuhnya. Bukan hanya Rangga yang terkejut. Gadis itu pun terkejut begitu menyadari ada seorang laki-laki berada di tempat ini. Bergegas dia turun dari atas batu dan menyembunyikan tubuhnya balik batu yang cukup besar. Hanya bagian leher kepalanya saja terlihat menyembul. Walaupun sudah menyembunyikan diri di balik batu, wanita itu masih juga menutupi tubuhnya dengan kain, agar tak terlihat.

“Siapa kau?! Mau apa datang ke sini..?!” sentak gadis itu.

“Aku.... aku Rangga. Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu terkejut. Apalagi mengganggumu,” sahut Rangga sedikit tergagap.

Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti. Jadi tergagap. Dan hatinya mendadak saja jadi tidak menentu. Wajahnya memerah melihat wajah cantik yang menyembul dari balik batu. Dia seperti melihat dewi yang turun mandi di telaga mayapada.

Gadis itu memang cantik sekali. Kulitnya bersih tanpa cacat sedikit pun juga. Bibir merahnya yang tipis dan mungil, begitu indah dipandang mata. Sepasang bola matanya bulat bening bagai bertaburan jutaan bintang yang berkedip, menambah daya pesona kecantikannya. Rangga benar-benar terpana menyaksikan sebentuk tubuh berwajah cantik dan indah itu

“Hei...! Kenapa menatapku begitu?” bentak gadis itu merasa tidak suka dipandangi sedemikian rupa.

“Oh! Maaf..., maaf...,” ucap Rangga tergagap. Buru-buru mukanya dipalingkan ke arah lain.

“Kenapa kau berada di sini?” terdengar lagi suara gadis itu.

Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, dan tidak putus seperti tadi. Bahkan terdengar dekat sekali. Rangga kembali berpaling dan langsung terbeliak manakala gadis itu sudah berada di dekatnya. Kini dia mengenakan baju warna merah muda yang ketat dan agak tipis, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Untuk beberapa saat, kembali Pendekar Rajawali Sakti terpana. namun cepat menguasal diri.

“Ditanya malah bengong..!” sentak gadis itu lagi.

“Oh! Eh.... maaf. Aku tidak sengaja berada di sini. Aku... aku kesasar, dan akan mencari jalan keluar dari hutan ini. Aku mendengar suara nyanyianmu, sehingga ke sini,” Rangga mencoba menjelaskan. meskipun tidak seluruhnya benar.

“Hm..., siapa namamu tadi?” tanya gadis itu, setengah bergumam suaranya.

“Rangga,” sahut Rangga menyebutkan namanya.

“Rangga...,” gumam gadis itu, mengulangi.

Gadis berwajah sangat cantik ini mengamati Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Matanya yang bulat dan bening bercahaya itu tidak berkedip merayapi pemuda berbaju rompi putih di depannya. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti merasa jengah juga. Rupanya memang tidak enak jika dipandangi dengan sinar mata penuh selidik seperti itu. Atau bahkan mungkin juga menilai, seperti menilai sebuah arca porselen yang cantik dan mulus.

“Dari mana asalmu?” tanya gadis itu lagi.

“Desa Pasir Batang.” sahut Rangga seenaknya saja.

Jawabannya memang asal saja, dan apa yang ada di kepalanya saat itu. Dan tampaknya jawaban Rangga yang seenaknya, dipercayai gadis itu. Rangga menyebut nama desa itu, karena memang pernah ke sana dan letaknya sangat jauh dari sini. Bisa makan waktu lebih dari tiga purnama untuk sampai ke sana dengan berkuda. Dan gadis cantik berbaju merah muda itu tidak tahu kalau Rangga asal menjawab saja.

“Di mana Desa Pasir Batang itu?” tanya gadis itu lagi.

“Di wilayah wetan,” sahut Rangga.

“Lalu, apa tujuanmu datang ke sini?”

“Hanya mencari pengalaman saja,” lagi-lagi Rangga menjawab asal saja yang terlintas dl benaknya.

“Hm..., Jadi kau pengembara?”

Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis berbaju merah muda Itu membalikkan tubuhnya. Lalu, kakinya melangkah pergi dengan ayunan kaki gemulai. Sesaat Rangga jadi terpana menyaksikan ayunan langkah yang begitu halus dan sedap dipandang mata.

“Hei..! Boleh aku tahu namamu?” seru Rangga begitu tersadar kalau gadis Itu belum memperkenalkan dirinya.

Namun Rangga tidak memperoleh jawaban sama sekali. Dan gadis itu terus saja berjalan semakin jauh, lalu lenyap ditelan lebatnya pepohonan di sekitar danau kecil ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri mematung memandangi ke arah kepergian gadis Itu. Sambil mengangkat bahunya sedikit, Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan kakinya berjalan. Dan tanpa disadari, arah yang dituju justru sama dengan arah yang dilalui gadis itu tadi.

***
TIGA
Saat itu senja sudah berganti malam. Matahari yang sepanjang siang hari memancarkan sinarnya yang terik, kini digantikan cahaya bulan yang lembut. Udara pun mulai terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Namun dinginnya udara disertai hembusan angin kencang, tidak membuat seorang gadis bergerak dari duduknya di sebuah tangga beranda bangunan besar yang dikelilingi pagar dari gelondongan kayu yang tinggi. Gadis yang mengenakan baju warna kuning gading itu adalah Mutiara, yang baru saja bisa bangkit dari pembaringan.

Pandangan gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu tidak berkedip ke satu arah. Pikirannya menerawang jauh ke satu tempat Di situ dia mengalami sesuatu yang mengerikan, dan hampir membuatnya lenyap dari muka bumi ini.

“Mutiara....”

“Oh...!” Mutiara tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teguran yang menyebut namanya dari arah belakang. Gadis itu memutar kepalanya sedikit, kemudian menggeser duduknya begitu mengetahui yang menegurnya adalah Eyang Jatibaya. Dan laki-laki tua berjubah putih yang masih kelihatan gagah itu duduk di samping Mutiara. Sedangkan Mutiara sudah kembali mengarahkan pandangannya ke depan.

“Kau teringat pada Nila Komala...?” tegur Eyang Jatibaya lagi, lembut.

“Hhh...,” Mutiara hanya menghembuskan napasnya saja.

“Nila Komala muidku yang terbaik. Aku juga menyesali nasibnya yang malang,” ujar Eyang Jatibaya perlahan.

Lagi-lagi Mutiara hanya menghembuskan napas saja. Sepertinya semua kata-kata yang diucapkan laki-laki tua itu tidak didengarkannya. Pikirannya sedang mengawang jauh, menembus cakrawala yang tak bertepi

“Eyang..,” ujar Mutiara tiba-tiba setelah lama terdiam diri, membisu.

“Ada apa, Mutiara?” lembut sekali suara Eyang Jatibaya.

“Boleh aku meminta sesuatu...?” pelan dan terdengar ragu-ragu nada suara Mutiara.

“Katakan saja. Mutiara,” sahut Eyang Jatibaya seraya tersenyum.

Sebentar Mutiara menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Sesaat, dipandangnya laki-laki tua yang duduk di sampingnya, kemudian pandangannya kembali tertuju lurus ke depan. Sementara Eyang Jatibaya masih menunggu dengan benak terus menduga-duga, apa yang akan diminta gadis ini.

“Kak Nila telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan diriku. Terlalu besar beban yang kutanggung jika dia sampai meninggal. Eyang,” ujar Mutiara, suaranya pelan dan terasa berat sekali.

Eyang Jatibaya masih terdiam menunggu kelanjutannya.

“Aku akan merasa menyesal seumur hidup jika terus berdiam diri di sini, Eyang,” sambung Mutiara.

“Apa maksudmu. Mutiara?” tanya Eyang Jatibaya semakin keras menduga.

“Jika Eyang mengizinkan, aku akan mencari Kak Nila.”

Eyang Jatibaya tersentak kaget mendengar per-mintaan gadis ini. Laki laki tua itu memang sudah menduga demikian. Tapi sungguh tidak disangka kalau Mutiara akan mengajukannya secepat ini. Baru sore tadi dia bisa turun dari pembaringannya, dan sekarang minta ijin mencari Nila Komala yang sudah menyelamatkan jiwanya dengan mengorbankan diri sendiri.

Eyang Jatibaya memandangi gadis dl sampingnya dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesungguhan di mata gadis itu. Namun keningnya semakin berkerut dalam saat menemukan kesungguhan di dalam sinar mata Mutiara yang redup.

“Eyang akan menyiksaku seumur hidup jika aku tidak diijinkan mencari Kak Nila,” desak Mutiara

“Ke mana kau akan mencarinya, Mutiara?” tanya Eyang Jatibaya setelah menghembuskan napas panjang.

“Ke tempat semula,” sahut Mutiara.

“Daerah itu sangat berbahaya. Mutiara. Kau tidak bisa pergi sendiri ke sana. Aku tidak ingin kehilangan muridku lagi,” pelan sekali nada suara Eyang Jatibaya.

“Seperti harapanmu, Eyang. Aku Juga berharap Kak Nila masih hidup. Kalaupun sudah mati, aku ingin melihat jasadnya dan menguburkannya secara layak,” Mutiara dengan nada memohon.

Untuk kesekian kalinya Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang. Perlahan dia bangkit berdri dan melangkah. menuruni undakan beranda depan bangunan utama padepokannya ini. Laki-laki tua itu berhenti setelah berada dl ujung undakan. Pandangannya lurus ke depan. Terlalu berat baginya untuk melepaskan Mutiara kembali ke daerah yang sudah mati tanpa kehidupan lagi itu.

Eyang Jatibaya sudah mencoba mengutus dua muridnya ke daerah itu. Dan hasilnya, sungguh menyakitkan sekali. Satu murid kesayangannya kini tak ketahuan bagaimana nasibnya. Beberapa kali Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang dan berat sekali. Perlahan kemudan tubuhnya diputar. Langsung ditatapnya Mutiara yang masih duduk memandang tanpa berkedip ke arah laki-laki tua berjubah putih itu.

“Beri aku kesempatan Eyang. Mudah-mudahan Hyang Widi selalu melindungiku dan Kak Nila,” ujar Mutiara memohon.

Kembali Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang dan berat. Kemudian kakinya terayun kembali menaiki undakan beranda depan yang berjumlah tujuh buah. Sebentar dia berhenti di samping Mutiara, kemudian kembali melangkah masuk ke dalam bangunan besar itu.

“Eyang...!” panggil Mutiara ingin jawaban laki-laki tua itu.

Mutiara bangkit berdiri dan mengejar Eyang Jatibaya yang terus saja melangkah masuk ke dalam. Dan gadis itu terus mengikuti sambil mendesak agar diizinkan mencari Nila Komala yang sampai saat ini tidak ketahuan bagaimana nasibnya.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan suasana di sekitar Padepokan Gunung Gading itu tampak sunyi senyap, tanpa terdengar satu suara sedikit pun. Hanya desiran angin saja yang terdengar ber-hembus mempermainkan dedaunan. Udara malam ini begitu dingin. Maka mereka yang menghuni padepokan itu lebih senang menghangatkan diri dalam kamar, kecuali yang malam ini terpaksa harus berjaga.

***

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, terlihat seekor kuda coklat berlari kencang keluar dari Padepokan Gunung Gading yang berada dl Puncak Gunung Gading. Kuda itu dipacu cepat oleh penunggangnya yang ternyata seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun. Gadis itu mengenakan baju warna kuning Gading dengan sebuah pedang tersampir di pinggangnya. Sementara itu, tak ada seorang penghuni padepokan pun yang mengetahui. Mereka masih terlelap dalam buaian mimpi. dalam selimut udara yang dingin.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Gadis itu terus menggebah cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan padepokan. Tubuhnya terguncang-guncang mengikuti irama langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Namun belum juga jauh meninggalkan padepokan itu, mendadak saja....

“Hooop...!” Gadis itu tiba-tiba sekali menghentikan kudanya. Sepasang bola matanya sedikit terbeliak, lalu bergegas melompat turun dari punggung kuda. Langsung dijatuhkan dirinya, begitu merasa pasti kalau laki-laki tua yang berdiri menghadangnya itu adalah Eyang Jatibaya. Gadis itu berlutut seperti memohon ampun.

“Bangun, Mutiara,” agak dingin nada suara Eyang Jatibaya.

“Maafkan aku, Eyang. Bukan maksudku untuk menentangmu,” ucap gadis berbaju kuning Gading yang ternyata memang Mutiara.

Gadis itu bangkit berdiri perlahan. Namun kepalanya tetap tertunduk, seakan-akan tak sanggup menentang sorot mata laki-laki tua berjubah putih itu. Sungguh tidak disangka kalau kepergiannya yang diam-diam ini masih juga diketahui oleh gurunya, bahkan menghadangnya di luar bangunan padepokan di Puncak Gunung Gading ini.

“Maaf, Eyang,” ucap Mutiara pelan. Begitu lirih sekali suaranya. Seakan-akan disesali dirinya yang telah pergi diam-diam tanpa berpamitan lebih.

“Kau pikir aku diam saja karena tidak peduli terhadap nasib Nila Komala?! Tidak, Mutiara! Aku sedang memikirkan cara yang terbaik, tanpa harus mengorbankan banyak nyawa. Aku juga menyesal karena telah mengirim kalian ke sana,” tegas Eyang dengan suara yang dalam.

“Aku tidak berpikir begitu, Eyang,” sahut Mutiara seraya mengangkat kepalanya.

“Lalu, kenapa pergi diam-diam?”

“Aku.... aku...,” Mutiara tidak sanggup meneruskan. Kembali gadis itu menundukkan kepalanya. Rasanya benar-benar tidak sanggup lagi membalas tatap mata Eyang Jatibaya yang begitu tajam. Belum pernah Mutiara melihat sinar mata gurunya begitu tajam berkilatan bagaikan hendak membakar seluruh tubuhnya hingga hangus. Terbetik rasa penyesalan di hati gadis itu.

“Kau masih terlalu muda, Mutiara. Kau belum menyadari betapa berbahayanya bertindak tanpa perhitungan matang. Kau harus bisa mengendalikan diri sendiri lebih dahulu, sebelum terjun ke dalam dunia luar.” kata Eyang Jatibaya mulai pelan dan lembut suaranya.

Mutiara hanya bisa diam saja. Kepalanya tetap tertunduk, tak sanggup membalas tatapan mata gurunya itu. Memang Eyang Jatibaya jarang sekali meluapkan amarahnya. Kalaupun marah, paling hanya sebentar saja. Dan itu hanya ditunjukkan dengan sikap. Laki-laki tua ini begitu matang dalam memahami arti kehidupan, sehingga segala tindakan dan ucapannya tak pernah meluncur begitu saja.

“Aku bukannya tidak mengijikanmu, Mutiara. Kulihat, kau belum cukup mampu menghadapi rintangan yang akan dilalui,” kata Eyang Jatibaya lagi.

“Tapi, Eyang..,” kembali Mutiara mengangkat kepalanya.

“Bisa kurasakan, apa yang kau rasakan sekarang ini, Mutiara. Tapi kau harus bisa mengalahkan perasaan hati dengan pikiran tenang dan penuh pertimbangan matang. Kau harus sadar, Mutiara. Kesalahan lama manusia adalah karena sering bertindak dengan menuruti kata hati. Bukan dengan pemlkiran matang.” jelas Eyang Jatibaya lagi.

“Aku sudah memikirkannya, Eyang,” mantap suara Mutiara.

“Tanpa dorongan kata hati?”

“Tidak,” sahut Mutiara lebih mantap. “Aku tidak percaya kau bertindak dengan pertimbangan dan pikiran yang matang, Mutiara.”

“Eyang... Izinkan aku mencari Kak Nila. Apa pun yang akan terjadi, harus kuhadapi. Eyang,” Mutiara memohon dengan sangat

“Kembalilah, Mutiara. Belum saatnya kau berada di dunia luar. Kau belum siap menghadapi segala macam cobaan yang tidak akan pernah terbayang sebelumnya.” lembut sekali suara Eyang Jatibaya membujuk gadis itu agar mengurungkan niatnya.

“Tidak, Eyang Sudah kuputuskan untuk mencari Kak Nila. Kalau pun harus mendapatkan jasadnya saja aku sudah merasa puas,” sahut Mutiara mantap.

Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang. Dia menyadari kalau tekad gadis ini sudah benar-benar bulat dan tidak bisa dirubah lagi. Mutiara memang keras dalam sikap dan tindakannya. Sekali memutuskan suatu, tidak akan pernah dicabut kembali. Gadis akan tetap pada pendiriannya dengan segala yang bakal dihadapi.

Walaupun yang membujuk Eyang Jatibaya tapi tetap saja Mutiara kokoh pada pendiriannya. Suatu sikap yang sebenarnya harus mendapatkan pujian. Namun hal ini yang membuat Eyang Jatibaya khawatir Mutiara masih teralu muda. Dan kata hatinya masih belum bisa dikalahkan oleh pikiran yang jernih dan matang. Hal ini akan mencelakakan diri sendiri. Itulah sebabnya, mengapa Eyang Jatibaya tidak pernah melepas Mutiara sendirian jika berada diluar padepokan.

“Baiklah. Kau kuizinkan pergi, Mutiara,” Eyang Jatibaya, akhirya menyerah juga.

“Oh! Terima kasih.... Terima kasih. Eyang.” Mutiara gembira bisa mendapatkan restu dari orang tua itu.

“Tapi kau tidak boleh pergi sendiri.” kata Eyang Jatibaya lagi.

“Maksud, Eyang?”

“Aku akan meminta Barada untuk menemanimu.”

”Tapi, Eyang,” Mutiara ingin menolak.

“Jika menolak, maka aku tidak akan mengizinkanmu,” potong Eyang Jatibaya cepat. Nada suaranya terdengar tegas sekali.

Mutiara langsung terdiam. dan tidak mungkin bisa menolak lagi. Menolak Barada, berarti pupus harapannya untuk mencari Nila Komala. Padahal dia ingin sekali melakukan pencarian itu seorang diri saja. Tapi Eyang Jatibaya sudah memutuskan. tidak bisa ditolak lagi. Mutiara akhirnya menerima juga, daripada gagal melaksanakan kainginannya. Dan yang pasti, tidak akan mungkin bisa mendapat kesempatan dua kail meninggalkan Padepokan Gunung Gading ini.

“Sekarang kau kembali dulu, besok pagi baru berangkat. Kau perlu persiapan yang cukup untuk menempuh perjalananmu,” tegas Eyang Jatibaya.

“Baik, Eyang,” sahut Mutiara.

Kali ini Mutiara tidak bisa lagi membantah. Restu Eyang Jatibaya sudah didapatkan, dan tidak ingin tercabut kembali. Baginya sudah cukup untuk mendapatkan restu daripada harus gagal meninggalkan Gunung Gadng ini.

***

Saat matahari baru menampakkan diri di balik cakrawala Timur, Mutiara sudah berangkat meninggalkan Padepokan Gunung Gading. Kali ini gadis itu didampingi seorang pemuda yang wajahnya tampan. Bentuk tubuhnya tegap dan berotot. Bajunya berwarna biru tua dengan sebuah pedang tersandang di punggungnya. Pemuda itulah yang dijanjikan Eyang Jatibaya untuk mendampingi Mutiara dalam usahanya mencari Nila Komala.

Mereka berkuda dengan cepat sekali, melintasi jalan berdebu yang di kiri dan kanannya ditumbuhl pepohonan subur. Sebenarnya Mutiara tidak menyenangi pemuda ini. Padahal sikap pemuda itu lembut dan penyabar sekali dan merupakan satu-satunya murid Padepokan Gunung Gading yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Tak ada seorang murid-murid Padepokan Gunung Gading yang menandingi kepandaiannya. Baik dalam ilmu olah kanuragan maupun ilmu kesaktian. Dia sering dipanggil dengan nama Barada.

“Kenapa kau diam saja. Mutiara?” tanya Barada membuka suara.

“Hhh...!” Mutiara hanya mendesah saja.

“Terus terang, Mutiara. Kau tidak suka aku mendampingimu, bukan...?” kata Barada lagi.

“Sudah tahu, kenapa tetap saja ikut?” dengus Mutiara ketus.

“Aku tidak bisa menolak, Mutiara. Kau kan tahu, bukan keinginanku untuk mendampingimu. Tapi ini perintah Eyang Jatibaya,” Barada mencoba menjelaskan dengan sikap sabar menghadapi keketusan gadis ini.

“Huh! Terus terang saja, kau juga senang, kan...?” terdengar sinis nada suara Mutiara.

“Mungkin,” sahut Barada seraya mengangkat bahunya.

“Huh!” dengus Mutiara.

Terus terang, Barada memang sudah lama menyukai gadis ini. Padahal sikap Mutiara padanya selalu tidak mengenakkan. Dan setiap kali bicara, selalu ketus dan siniis. Barada sendiri tidak mengerti. mengapa gadis ini tidak pernah bersikap manis padanya. Padahal dengan pemuda-pemuda lain di Padepokan Gunung Gading, sikap Mutiara tidak seperti ini.

Barada memang tidak tahu, kalau sikap Mutiara selalu ketus padanya. Karena, gadis itu tidak senang dengan sikap Barada yang menyukainya lebih dari saudara seperguruan. Yang jelas, dia tidak ingin jatuh cinta pada saudara seperguruan, dan selalu menganggap semuanya adalah saudara. Dan sikap Mutiara ini tidak pernah disadari Barada, hingga tetap menginginkan Mutiara menjadi kekasihnya.

Ingin rasanya Barada mendengar suara renyah dan lembut saat Mutiara tertawa, hanya untuknya. Bukan di depan teman-teman lainnya. Dan gadis itu tidak akan pernah tertawa riang atau bergurau jika Barada ikut berkumpul bersama-sama yang lainnya. Mutiara akan menjadi pendiam bila ada pemuda ini.

Sikap Mutiara yang tidak pernah menunjukkan persahabatan padanya, memang sudah diketahui semua penghuni Padepokan Gunung Gading. Bahkan Eyang Jatibaya sendiri mengetahuinya. Tapi laki-laki tua itu tidak pernah suka ikut campur persoalan pribadi murid-muridnya, kecuali jika tidak diminta secara khusus.

“Sebaiknya kau kembali saja, Barada.” kata Mutiara.

“Kau senang kalau aku dihukum, ya...?” dengus Barada sengit juga.

Memang sudah menjadi satu ketentuan yang tidak bisa dibantah lagi. Siapa saja yang sengaja lari dari tugas, hukumannya adalah penggal kepala. Eyang Jatibaya menganggap orang macam itu adalah pengkhianat dan pengecut yang tidak boleh dibiarkan hidup.! Sehingga tak ada seorang pun dari murid-muridnya yang berani mengkhianatinya. Mereka lebih baik mati dalam pertarungan daripada mati dipenggal. Mati dalam pertarungan akan sangat dihargai. Penghargaan itu berupa sebuah arca batu yang bertuliskan nama orang yang berhak, yang dibuat oleh Eyang Jatibaya bagi murid-muridnya yang binasa dan mati dalam tugas.

“Kalau takut dipenggal, bunuh diri saja,” Mutiara ketus.

“Bicaramu sudah melantur. Mutiara,” desis Barada. Meskipun hatinya mulai sedikit panas, namun Barada masih tetap berusaha menyabarkan diri. Dia selalu ingat pesan gurunya, agar tidak memancing persoalan. Apalagi sampai bentrok dengan gadis ini. Memang menghadapi Mutiara, Barada harus lebih banyak bersabar.

“Tidak senang...?” Mutiara semakin sinis.

Barada diam saja. Dia tahu kalau gadis ini mulai memancing kemarahannya. Dan ini yang harus dihindari sedapat mungkin. Meskipun hatinya kesal dan darahnya terus bergolak medidih, namun entah kenapa, Barada tidak punya kekuatan untuk marah. Sikap sabarnya yang sudah terkenal di Padepokan Gunung Gading, semakin terlihat sabar di depan Mutiara. Barada memang mengakui kalau menyukai gadis ini, meskipun perasaannya tidak pernah ditunjukkan.

“Sudahlah, Mutiara.... Kalau kau tidak suka, sebaiknya diam saja. Tidak perlu bicara padaku. Anggap saja kau berjalan sendiri dan aku janji tidak akan nelakukan sesuatu. Hanya mendampingimu saja.” kata Barada tidak ingin berlarut-larut.

“Bagus! Aku pegang janjimu, Barada.” sambut Mutiara.

Pernyataan seperti itu memang sudah dinantikan sejak tadi. Gadis itu tidak ingin Barada ikut campur dalam setiap persoalannya nanti. Apa pun yang akan terjadi, harus dihadapinya sendiri. Meskipun disadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya masih jauh di bawah pemuda itu.

“Aku akan diam saja, meskipun kau mati, Mutiara,” tegas Barada sengit.

“Itu lebih bagus lagi,” lagi-lagi Mutiara menyambutnya dengan senyum.

Namun itu hanya sebentar saja. Karena mendadak saja senyum dl bibir gadis itu lenyap, dan wajahnya agak memucat. Buru-buru Mutiara membuang mukanya. Untung saja Barada tidak sempat memperhatikan perubahan wajah gadis itu. Mereka terus berkuda tanpa bicara lagi. Namun kini Mutiara mulai diliputi suatu perasaan yang sukar dimengerti. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja terselip perasaan takut saat Barada memberi pernyataan terakhir tadi.

“Huh!” dengus Mutiara.

***

Mutiara menghentikan langkah kaki kudanya ketika melihat daerah gersang dan tandus membentang di depannya. Matahari yang bersinar terik, begitu menyengat. Membuat kulit terasa terbakar. Gadis itu menyeka keringat yang membanjiri sekujur wajahnya yang memerah terbakar terik sang mentari. Sementara Barada yang berada di belakangnya, hanya memandang ke sekeliling.

Perlahan Mutiara menggebah kudanya agar kembali berjalan. Kuda coklat ituu melangkahkan kakinya memasuki daerah gersang, dengan pepohonan meranggas dan rerumputan mengering layu. Sepanjang mata memandang hanya kegersangan yang tampak. Tanah yang dilalui, membuat debu semakin menebal terhembus angin

“Apa kau tidak salah jalan, Mutiara?” tanya Barada.

“Tidak,” sahut Mutiara singkat.

Sedkit pun gadis itu tidak berpaling. Memang selama dalam perjalanan, mereka hanya sesekali saja bicara. Dan biasanya Mutiara baru membuka mulut kalau ditanya. Itu pun dijawab singkat, tanpa memandang orang yang bertanya padanya. Tidak pernah sekali pun Mutiara mengeluarkan pertanyaan. Gadis itu benar-benar jadi pendiam kali ini. Sedangkan Barada, tidak mau mengusik. Dibiarkan saja sikap Mutiara yang menunjukkan permusuhan padanya.

“Tidak ada satu rumah pun di sini,” kembali Barada berkata dengan suara setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.

Sedangkan Mutiara sama sekali tidak menanggapi, dan tetap diam saja sambil mengendalikan kudanya agar tidak terlalu cepat berlari. Pengalamannya di tempat ini tidak ingin terulang lagi. Segala sesuatu harus bisa diperhitungkan dengan matang. Terutama persediaan air. Jangan sampai kehabisan seperti ketika datang bersama Nila Komala.

“Di mana Nila Komala hilang?” tanya Barada lagi.

“Masih jauh,” sahut Mutiara enggan.

“Seberapa jauh?”

“Setengah hari lagi. Itu juga kalau kau tidak cerewet bertanya terus,” kali ini jawaban Mutiara ketus sekali.

Mendapat jawaban yang tidak mengenakkan itu, Barada langsung terdiam. Dia tidak membuka suara lagi. Sementara itu mereka sudah tiba dl daerah berbatu. Tak ada satu pun tanaman yang hidup di sini. Bahkan seekor semut pun tidak dijumpai. Daerah ini benar-benar gersang dan mati, tanpa ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

Mereka terus bergerak meskipun jalan yang dilalui semakin terasa sulit. Karena jalan berbatu ini setiap saat bisa membuat kuda mereka tergelincir. Mereka hati-hati sekali mengendalikan kuda.

“Hup!”

Mungkin merasa sukar atau mungkin juga kasihan dengan kuda tunggangannya, Barada melompat turun. Kemudian kudanya hanya dituntun saja. Sedangkan Mutiara tetap berada di punggung kudanya sendiri. Gadis itu tidak pernah berhenti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mutiara menghentikan langkah kaki kudanya.

“Ada apa, Mutiara?” tanya Barada yang ikut berhenti berjalan.

Mutiara tidak menjawab. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan kening agak berkerut. Kemudian gadis itu membelokkan kudanya ke kanan, dan terus melanjutkan perjalanan lagi. Barada yang sengaja berjalan kaki, terus mengikuti tanpa sedikit pun mengeluarkan keluhan. Beberapa kali kerlngat yang membasahi leher disekanya dengan punggung tangan.

Barada merasakan wajahnya jadi tebal dan kaku sekali. Entah sudah berapa banyak debu yang menempel bercampur keringat. Perjalanan ini memang melelahkan sekali. Kalau bukan karena perintah langsung dari Eyang Jatibaya, pasti sudah sejak tadi Barada meninggalkan tempat ini. Akan dicarinya jalan yang lebih enak lagi, tanpa harus menyiksa diri.

***
EMPAT
Mutiara kembali menghentjkan langkah kudanya, kemudian melompat turun. Pandangannya lurus tak berkedip ke arah tanah berpasir di depannya. Perlahan-lahan kakinya melangkah. Tidak jauh di depannya, terlihat sebuah perkampungan yang tidak berpenghuni lagi. Di perkampungan itu, dia dan Nila Komala diserang. Dan di sana pula Nila Komala menghilang setelah terkena serangan.

Kembali Mutiara berhenti melangkah begitu sampai di perkampungan itu. Semua rumah di sini sudah hancur berantakan. Tak ada lagi yang masih utuh. Kembali gadis itu mengedarkan pandangannya berkeliling, kemudian menatap bangkai seekor kuda yang tergeletak dekat batang kayu kering Seekor kuda milik Nila Komala.

“Awas...!” seru Barada tiba-tiba.

Mendadak saja pemuda itu melompat cepat mendorong tubuh Mutiara. Tubuhnya langsung melenting berputaran beberapa kali di udara. Seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar. Tampak sebuah rumah hancur berkeping-keping. Dan begitu Barada menjejakkan kakinya, terlihat lagi seberkas cahaya merah kebiru-biruan kembali meluncur deras ke arah Mutiara.

“Di kananmu, Mutiara...!” seru Barada memperingatkan.

“Hup!” Mutiara langsung menarik tubuhnya ke belakang. Maka sinar merah kebiruan itu lewat sedikit di depan dadanya. Sinar itu menghantam sebatang pohon yang sudah mati, sehingga menimbulkan ledakan keras kembali. Suaranya keras menggelegar, memekakkan telinga.

“Houp!” Barada melompat, dan langsung mendarat di samping Mutiara. Hanya sedikit saja Mutiara melirik pemuda itu. Sebenarnya gadis itu ingin berterima kasih, karena telah diperingatkan sehingga lolos dari maut. Tapi hal itu tidak ingin ditunjukkannya. Entah kenapa, hanya dia sendiri yang tahu. Dan Barada juga tidak mengharapkan ucapan terima kasih gadis itu. Hatinya sudah cukup senang bisa menyelamatkan Mutiara dari serangan tadi.

“Kau melanggar janjimu sendiri, Barada...!” dengus Mutiara dengan suara agak tertahan.

“Maaf. Aku tidak bisa menahan diri,” sahut Barada.

“Sebaiknya kau menyingkir. Aku tidak ingin kau ikut campur,” tegas Mutiara.

Sebentar Barada memandangi gadis itu, kemudian melangkah mundur beberapa tindak. Mutiara mendelik melihat Barada hanya menyingkir beberapa langkah saja. Kembali Barada melangkah mundur menjauhi gadis itu, dan baru berhenti setelah jaraknya sudah mencapai sekitar dua batang tombak

Cukup jauh memang. Tapi tidak terlalu jauh untuk cepat bisa menolong. jika Mutiara terdesak. Sementara itu Mutiara berdiri tegak, menunggu datangnya serangan lagi. Dan belum berapa lama menunggu, tiba-tiba saja sebuah bayangan keperakan melesat cepat dari balik sebuah rumah yang rusak berantakan.

“Hup! Yeaaah...!”

Mutiara langsung melompat menyongsong begitu terlihat sebuah bayangan keperakan berkelebat ke arahnya. Gadis itu melontarkan beberapa pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Namun bayangan keperakan itu bergerak cepat dan indah sekali menghindari terjangan Mutiara.

Bayangan keperakan itu melesat ke atas, melewati kepala Mutiara. Kemudian tiba-tiba sekali, dia meluruk deras ke belakang gadis itu. Satu gerakan cepat dan tidak terduga sama sekali. Mutiara benar-benar tidak sempat lagi menyadari. Dan....

Deghk!

“Akh...!” Mutiara terpekik. Gadis itu terdorong ke depan begitu punggungnya terkena satu hantaman keras. Namun Mutiara cepat basa menguasai diri, dan segera memutar tubuhnya. Tapi sebelum melakukan sesuatu yang berarti. Mendadak saja bayangan keperakan itu sudah kembali berkelebat cepat menerjangnya. Kecepatannya luar biasa, membuat Mutiara terperangah. Gadis Itu tidak sempat lagi berkelit.

Bughk!

“Akh...!” untuk kedua kalinya Mutiara terpekik. Kali Ini dadanya terasa seperti terkena hantaman keras. Dan tak ampun lagi, Mutiara terjengkang keras sekali ke belakang. Gadis itu menggeliat, merasakan saklt di punggung dan dadanya. Begitu nyeri sekali, sampai-sampai sukar untuk mengatur napas. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di dalam rongga dadanya.

Sebelum Mutiara bisa melakukan sesuatu, mendadak saja bayangan keperakan itu sudah berkelebat lagi ke arahnya. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Mutiara untuk menghindar. Namun sebelum bayangan keperakan itu bisa menjamah tubuh Mutiara, mendadak saja sebuah bayangan putih melesat cepat bagaikan kilat memotong arus gerakannya.

Plak!

“Ughk!” terdengar keluhan pendek. Tampak bayangan keperakan itu terpental balik, dan berputaran di udara. Kemudian lewat suatu gerakan indah dan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah berpasir. Tampak kini satu ujud manusia yang mengenakan baju ketat berwarna keperakan yang mengkilat.

Tapi anehnya, seluruh tubuhnya terbungkus kain keperakan. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan tak ada satu lubang pun di matanya. Bentuknya memang tidak jauh berbeda dengan manusia. Dan lekuk tubuhnya begitu ramping dan indah, bagai tubuh seorang wanita.

Dan tidak jauh di samping Mutiara, kini sudah berdiri seorang pemuda mengenakan baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung, bertengger dl punggungnya. Mutiara mengenali pemuda yang pernah menolongnya itu, ketika dia hampir mati kehausan.

“Rangga,” desis Mutiara.

Pemuda berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Mutiara. Gadis itu bangkit berdiri, namun langsung memegangi dadanya. Napasnya terasa sesak, dan terasa nyeri sekali. Pukulan orang keperakan itu demikian keras, tapi rasanya tidak mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Hanya saja cukup membuat seluruh tulang di tubuhnya seperti remuk.

***

Hanya sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti melirik Mutiara. Dan pada saat itu, manusia bertubuh keperakan itu sudah melesat menerjangnya dengan cepat sekali. Kedua tangannya bergerak cepat melontarkan beberapa pukulan. Seketika itu juga Rangga mendorong tubuh Mutiara. Segera tubuhnya melenting ketika dari tangan yang terkepal itu meluncur cahaya-cahaya merah kebiruan.

Cahaya-cahaya merah kebiruan itu menghantam tanah tempat Rangga dan Mutiara tadi berdiri. Tanah itu langsung terbongkar, menimbulkan suara keras menggelegar. Tampak Rangga beberapa kali berputaran di udara, kemudian cepat meluruk ke arah manusia keperakan itu. Langsung dilontarkan dua pukulan beruntun yang cepat ke arah kepala.

“Yeaaah...!”

Namun dengan sedikit gerakan saja, orang yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan itu berhasil menghindari pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat pemuda berbaju rompi putih itu menjejakkan kakinya di tanah, orang keperakan itu sudah memutar tubuhnya. Langsung diberikannya serangan cepat dan beruntun.

Rangga manis sekali meliuk-liukkan tubuhnya yang diimbangi gerakan kaki lincah dan cepat. Saat itu Rangga mengerahkan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib’ Pendekar Rajawali Sakti ingin melihat dulu, sampai dimana kemampuan manusia aneh yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan itu. Sepertinya manusia aneh itu tidak mengenakan baju. Karena warna keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, tidak ada kerutan sama sekali.

Beberapa kali manusia aneh berwarna keperakan itu hampir berhasil menyarangkan pukulannya ke tubuh Rangga. Namun dengan gerakan indah dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari setiap serangan itu. Dan Jurus 'Sembilan Langkah Ajalb’ memang tangguh sekali. Sukar untuk dicari titik kelemahannya, karena jurus itu bisa dikatakan hampir sempurna.

Menyadari setiap serangan selalu berakhir sia-sia, manusia keperakan itu melompat mundur. Kedua tangannya tersilang di depan dada. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak tanpa berkedip memandangi makhluk berbentuk aneh itu. Baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti melihat seseorang yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan dan tidak memiliki mata.

“Kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi cobalah ini...!” terdengar dingin dan datar sekali suara orang keperakan itu.

“Hm.... siapa kau? Bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanya Rangga agak terkejut juga.

Namun manusia keperakan itu tidak menjawab. Malah mendadak saja kedua tangannya dinaikkan ke atas kepala. Lalu dengan cepat sekali diturunkan hingga sejajar dada. Perlahan tubuhnya digerakkan ke kiri dan ke kanan. Kemudian....

“Yeaaah...!” Tiba-tiba manusia keperakan itu menghentakkan tangannya ke depan. Satu dorongan kuat terasa sekali. Dan pada saat itu, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara. Seketika terdengar ledakan keras menggelegar. Rangga terkejut bukan main. Ternyata serangan orang aneh itu tidak menimbulkan bentuk, namun hasilnya luar biasa sekali.

Rumah berdinding batu yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti tadi, seketika hancur berkeping-keping. Seketika gumpalan debu mengepul ke angkasa, membentuk jamur raksasa. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya ke tanah, kembali manusia keperakan itu menghentakkan kedua tangannya.

“Yeaaah...!”

“Hap! Hiyaaa...!” Rangga sengaja tidak menghindar, namun segera menghimpun kekuatan tenaga dalam pada kedua telapak tangannya. Kemudian dengan cepat tangannya direntangkan ke samping, lalu seketika itu juga dihentakkan ke depan.

“Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!”

Glarrr!

***

Satu ledakan keras menggelegar terdengar ketika satu kilatan cahaya memijar tepat di depan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak pemuda berbaju rompi putih itu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan manusia keperakan itu berjumpalitan di udara beberapa kali. Kemudian tubuhnya jatuh dengan keras di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri.

Terlihat cairan merah merembes keluar dari daerah mulutnya yang tidak berbentuk. Sedangkan Rangga hanya meneteskan darah sedikit di sudut bibirnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat menggerakkan tangannya di depan dada, menyalurkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan tubuhnya.

Slap! Mendadak saja manusia keperakan itu melesat cepat, dan seketika itu juga lenyap. Sedangkan Rangga tidak sempat lagi memperhatikan. apalagi mengejar. Namun Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat arah yang dituju manusia aneh berwarna keperakan seluruh tubuhnya itu.

“Hm...!” Rangga bergumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Beberapa kali hal itu dilakukan, kemudian tubuhnya diputar. Dipandanginya Mutiara yang berdiri memperhatikan. Di samping agak ke belakang gadis itu, berdiri seorang pemuda mengenakan baju biru tua. Rangga mengenalinya, karena dia salah seorang murid Padepokan Gunung Gading. Meskipun belum pernah berbicara, tapi Pendekar Rajawali Sakti pernah melihatnya ketika berada di padepokan itu.

“Bagaimana, kau terluka?” tanya Rangga begitu telah dekat dengan kedua orang itu.

“Tidak,” sahut Mutiara seraya memberi senyum manis.

Rangga memandang pemuda yang berdiri di samping agak ke belakang dari gadis itu. Sementara pemuda itu menghampiri. Tangannya disodorkan ke arah Rangga.

“Aku Barada,” pemuda itu memperkenalkan diri.

Rangga menyambut uluran tangan itu sambil memperkenalkan diri juga. Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat Mutiara mencibirkan bibirnya pada Barada. Hanya sekilas saja, namun sempat membuat pemuda berbaju rompi putih itu bertanya-tanya juga. Diduganya kalau antara Barada dan Mutiara ada sesuatu pertentangan. Namun Rangga tidak mau mempersoalkannya. Baginya, adalah satu hal yang biasa bila saudara seperguruan ada pertentangan.

“Kenapa kalian berada di sini?” tanya Rangga.

“Ka....”

“Aku yang jawab!” sentak Mutiara memutuskan ucapan Barada.

Pemuda berbaju biru tua itu langsung terdiam. Barada sempat jengkel juga, namun hanya disimpan di dalam hati saja. Sedangkan kening Rangga semakin berkerut dalam. Baru saja dia menduga ada pertentangan di antara mereka berdua. Dan kini dugaan itu sudah ditunjukkan mereka.

“Ada apa di antara kalian ini?” tanya Rangga.

“Tidak ada apa-apa,” sahut Mutiara.

Rangga menatap Barada, namun yang ditatap hanya mengangkat bahu sedikit saja. Kepalanya sempat dilegoskan sedikit pada Mutiara. Dan Rangga kembali memandang Mutiara yang berdiri tepat di depannya.

“Baiklah ... Aku memang tidak perlu tahu tentang persoalan di antara kalian berdua. Tapi aku ingin tahu, untuk apa kalian berada di tempat ini?” Rangga mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab.

“Aku mencari Kak Nila, sedangkan dia hanya mengekor saja,” sahut Mutiara seraya melirik sadikit pemuda berbaju biru di sampingnya, agak ke belakang sedikit.

“Hm ...” Rangga menggumam pelan. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu dari Eyang Jatibaya kalau satu muridnya hilang di tempat ini. Tempat Mutiara diselamatkan dari kematian akibat kelelahan dan kehausan. Saat itu, kedua gadis ini tengah mengemban tugas penting dari Eyang Jatibaya. Suatu tugas rahasia yang tidak diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri tidak mendesak ingin tahu lebih banyak. Sekarang Mutiara kembali lagi bersama Barada untuk mencari Nila Komala. Dan Rangga merasa yakin kalau keikutsertaan Barada juga mengemban tugas tersendiri dari gurunya.

“Kalian kenal, siapa orang itu tadi?” tanya Rangga.

“Dialah yang telah menculik Kak Nila.” sahut Mutiara.

“Kau tahu di mana tempat orang itu bersembunyi?” tanya Rangga lagi.

Mutiara hanya menggelengkan kepalanya saja. Gadis itu sendiri tidak tahu. siapa sebenarnya orang yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan tadi. Apalagi tempat tinggalnya. Sedangkan gadis itu sendiri datang lagi ke sini dengan maksud mencari Nila Komala yang menghilang, dan kini entah dimana. Juga tidak diketahui nasibnya lagi.

“Eh! Teman wanitamu ke mana?” tanya Mutiara baru menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya sendiri.

Sedangkan gadis itu tahu kalau pemuda tampan ini berdua dengan seorang gadis cantik berbaju biru muda. Tapi sekarang Rangga hanya sendiri saja. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menjawab pertanyaan Mutiara, karena juga sedang mencari Pandan Wangi yang menghilang disambar bayangan keperakan.

“Jika kalian hendak melanjutkan perjalanan, silakan. Aku juga masih ada keperluan lain,” ujar Rangga menghindar.

Pendekar Rajawali Sakti langsung membalikkan tubuhnya, kemudian berjalan meninggalkan mereka sebelum ada Jawaban. Sedangkan Mutiara yang hendak mencegah kepergian Rangga, jadi mengurungkan niatnya. Mulut yang sudah terbuka. kini terkatup kembali. Gadis itu hanya memandangi pemuda berbaju rompi putih yang semakin jauh, kemudian lenyap di tikungan jalan berdebu ini.

“Ke mana lagi, Mutiara?” tanya Barada.

Mutiara hanya melirik saja pemuda itu, kemudian menghampiri kudanya. Tanpa membuka suara sedikit pun, gadis itu melompat naik ke punggung tunggangannya. Langsung dihentakkannya tali kekang kuda itu. Barada bergegas melompat naik ke punggung kudanya, kemudian mengikuti gadis itu. Langkah kaki kudanya disejajarkan di samping kuda yang ditunggangi Mutiara. Tak ada yang berbicara sedikit pun.

***

Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan mayapada ini. Kegelapan begitu pekat, tanpa cahaya bintang sedikit pun. Terlebih lagi cahaya bulan. Langit begitu kelam, membuat suasana malam ini begitu mencekam. Ditambah lagi hembusan angin yang keras, memperdengarkan suara menderu.

Di dalam kegelapan malam itu, terlihat seberkas cahaya api yang menyemburat di antara rumah-rumah yang hancur tak berbentuk lagi. Tampak Pendekar Rajawali Sakti duduk memeluk lutut. Pandangannya lurus, menatap api di depannya. Beberapa kali dilemparkannya ranting-ranting kering ke dalam api itu. Suara bergemeretak dari ranting-ranting yang terbakar seakan-akan ingin mengalahkan deru angln yang berhembus malam ini.

“Boleh aku ikut menghangatkan badan...?”

Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh. Entah dari mana datangnya. tahu-tahu di sampingnya sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju merah muda yang ketat dan agak tipis. Mau tak mau tubuhnya yang indah dan ramping, membentuk di balik bajunya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti memandangi. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja dengan manis sekali. Sama sekali Rangga tidak terkejut dengan kedatangan perempuan Itu, karena sebelumnya sudah mendengar suara tarikan napas halus dari belakang.

“Silakan,” ucap Rangga mempersilakan wanita cantik itu.

“Terima kasih.”

Wanita berbaju merah muda itu duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sudah kembali menatap ke arah api yang masih berkobar, membuat udara yang dingin ini agak berkurang. Namun, tetap saja tidak mampu mengusir seluruh dinginnya udara malam ini.

“Kita sudah pernah bertemu, bukan?” tanya Rangga seraya memalingkan wajahnya, kembali menatap wanita itu.

“Memang. Di tepi danau, di Lereng Gunung Gading,” sahut wanita itu.

Mereka memang pernah bertemu di tepi danau, di Lereng Gunung Gading. Tapi rasanya Pendekar Rajawali Sakti belum tahu namanya, meskipun pernah berjumpa sekali. Dia berusaha mengingat-ingat, apakah wanita cantik ini waktu itu sempat menyebutkan namanya atau tidak.

“Maaf. Waktu itu aku berkata kasar padamu. Soalnya kau...,” wanita itu tidak melanjutkan.

“Aku tidak sengaja,” ujar Rangga.

“Ya, aku tahu. Tapi... apa kau sempat melihat ..,” kembali wanita itu tidak meneruskan.

“Tidak,” sahut Rangga cepat. Padahal matanya sempat melihat bentuk tubuh wanita itu dalam keadaan polos di danau kecil yang berair indah itu. Tentu saja Rangga tidak akan mengakuinya. Dia tidak ingin ada permusuhan hanya karena persoalan sepele begini.

Wanita itu tersenyum senang dengan jawaban Rangga barusan. Manis sekali senyumnya, membuat Rangga sedikit harus menelan ludah. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memalingkan muka ke arah lain, karena tidak ingin tergoda. Dan memang, wanita ini memiliki daya yang begitu kuat untuk menggoda laki-laki. Bukan hanya bentuk tubuhnya yang indah dan wajahnya yang cantik, tapi juga senyuman dan tatapan matanya begitu mempesona. Seakan-akan sengaja mengundang setiap laki-laki untuk menjamahnya.

“Oh, ya... namaku Taria. Dan kau siapa?” wanita itu memperkenalkan namanya.

“Aku sudah memperkenalkan diri padamu.” sahut Rangga.

“Lupa.”

“Rangga.”

“Nama yang bagus,” puji wanita itu yang memperkenalkan dirinya bernama Taria.

“Kau juga,” balas Rangga kaku.

Taria hanya tersenyum saja mendengar jawaban dan melihat sikap Rangga yang kaku sekali. Memang pada saat itu, Rangga seperti sedang berperang melawan sesuatu. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tidak mengerti, kenapa mendadak saja punya perasaan yang belum pernah dialami selama lni. Sesuatu yang sukar dimengerti. Beberapa kali Rangga menghembuskan napas panjang dan berat sekali. Dan perasaan itu semakin nyata dan kuat sekali mendesak.

“Ada apa, Kakang?” tanya Taria lembut. Wanita ini langsung saja memanggil Rangga dengan sebutan kakang, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.

“Tidak..., tidak apa-apa,” sahut Rangga agak tergagap.

Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Taria yang selalu mengembangkan senyum manis sekali. Beberapa kali Rangga terpaksa menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak mengering

“Aku tinggal dulu sebentar,” kata Rangga.

Dan sebelum Taria bisa menyahuti, Pendekar Rajawali Sakti sudah bergegas melangkah pergi. Cepat sekali ayunan kakinya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sedangkan Taria masih tetap duduk tenang, memandang ke arah keperglan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm..., kuat sekali daya tahan kesadarannya,” desah Taria agak menggumam.

Wanita itu mengambil sebatang ranting, dan melemparkannya ke arah api. Kemudian matanya kembali memandang ke arah kepergian Rangga tadi. Dia tidak tahu, apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti di dalam kegelapan sana.

“Hm...” lagi-lagi Taria menggumam perlahan tidak jelas.

***
LIMA
“Aaa...!”

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi.

Jeritan itu jelas berasal dari tempat saat dia meninggalkan Taria tadi. Bergegas Rangga melompat cepat bagaikan kilat. Hanya beberapa kali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di dekat api unggun. Namun mendadak saja dia tertegun Ternyata wanita cantik yang ditnggalkannya tadi tidak ada lagi.

Tampak darah menggenang di dekat api Itu. Bergegas Rangga menghampiri. Ceceran darah terlihat jelas masih baru di tanah berdebu ini. Ada perasaan cemas terselip di hati Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya segera diayunkan mengikuti tetesan darah yang terlihat jelas di atas permukaan tanah.

Namun Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun, karena ceceran darah itu hanya berputar putar saja di sekitarnya. Rangga berhenti melangkah. Pandangannya beredar ke sekeliling, menatap lekat ke tanah.

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.

Darah yang terlihat memang hanya mengelilingi api unggun ini, dalam lingkaran yang cukup besar. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti sempat berpikir jauh, mendadak saja terasa adanya desiran halus dari arah belakang.

“Hap!” Cepat Rangga membungkukkan tubuhnya ke depan. Secepat Itu pula, tubuhnya berputar dengan bertumpu pada satu kali. Dan sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, mendadak satu kilatan cahaya keperakan berkelebat ke arahnya.

Wut!

“Uts...!” Rangga bergegas menarik kakinya ke belakang dua tindak. Ujung kilatan cahaya keperakan itu lewat sedikit di depan perutnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menarik tubuhnya agar tegak. Pada saat itu, kembali kilatan cahaya tadi berkelebat mengibas ke arah leher.

“Hap!” Rangga tak sempat lagi menghindar. Cepat-cepat dikatupkan telapak tangannya di depan muka. Saat itu terasa ada sesuatu yang dingin berada di dalam jepitan telapak tangannya. Dan terasa sekali adanya hentakan keras. Namun dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sentakan kuat itu berhasil ditahannya

“Hih...!” Saat itu juga, Rangga menghentakkan tangannya ke depan.

“Akh...!” Terdengar satu pekikan keras agak tertahan. Dan sebelum pekikan itu menghilang, Rangga sudah melompat sambil cepat mengirimkan dua pukulan beruntun, dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.

Des!

Rangga merasakan tangannya menghantam sesuatu, yang disusul suara mengaduh. Kemudian terlihat seseorang mengenakan baju warna putih terjungkal keras ke tanah. Namun dengan cepat sekali, orang itu bisa bangkit lagi berdiri tegak.

Rangga menyipitkan matanya, mencoba bisa melihat jelas. Di depannya kini berdiri seorang gadis yang wajahnya cantik sekali. Bajunya berwarna putih bersih. Sebilah pedang tergenggam menyilang di depan dadanya. Namun baju pada bagian dada itu teriihat menghitam, seperti hangus terbakar. Rangga mengamati gadis itu dalam-dalam dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

“Siapa kau, Nisanak? Kenapa menyerangku?” tanya Rangga.

Teng! Teng..!

Belum juga wanita itu menjawab, mendadak saja terdengar genta yang berdentang keras memekakkan telinga. Suara genta yang terdengar jelas menggema, sehingga menggetarkan jantung. Saat Itu, wanita berbaju putih mendongakkan kepalanya. Lalu, mulutnya mendesis bagal seekor ular. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu.

“Hei...!” Rangga tersentak. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat melompat mengejar, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Rangga tidak lepas memandangi wanita itu yang berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh di depannya.

Rangga terus berlari mengejar, tapi tetap menjaga jarak agar tetap berada di belakang wanita itu. Pendekar Rajawali Sakti merasa ada sesuatu di dalam genta yang terdengar tadi. Dan dia ingin mengetahui, kenapa wanita itu mendadak saja berlari kencang begitu mendengar suara genta tadi.

Di dalam kegelapan malam, dua orang berpakaian putih berlarian cepat menuju arah Selatan. Mereka melintasi dataran gersang dan tandus. Angin yang ber-hembus kencang menebarkan debu-debu. Suara-suara bergemeretak dari batu-batu yang retak, terdengar jelas. Namun keadaan alam yang tidak ramah ini, tak menghalangi dua orang yang terus berlari kencang bagai tengah bermain kejar-kejaran.

“Akan kuikuti terus, ke mana perginya,” ujar Rangga dalam hati.

***

Rangga menghentikan larinya ketika melihat wanita berbaju putih itu masuk ke dalam sebuah bangunan batu berbentuk puri yang cukup besar. Bangunan itu kelihatan sudah tua sekali. Seluruh dindingnya yang terbuat dari batu-batu persegi dan dihiasi berbagai macam ukuran itu ditumbuhi lumut tebai yang menghitam berkilatan. Pepohonan besar dan kecil merapat di sekitarnya.

Perlahan Rangga mendekati bangunan itu. Pendekar Rajawali Sakti mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga ayunan langkahnya tidak menimbulkan suara sedikit pun. Bahkan tarikan napasnya tak terdengar sama sekali.

Teng! Teng,..!

Kembali terdengar suara genta yang keras sekali. Suara genta itu terpantul dinding tebing yang berada di belakang bangunan tua itu, lalu menyusup di antara pepohonan, kemudian terbawa angin malam yang dingin membekukan.

Jelas sekali kalau suara itu datang dari bangunan tua berbentuk puri itu. Begitu memekakkan, membuat Rangga sampai mendekap telinganya rapat-rapat. Pendekar Rajawali Sakti merasa aliran darahnya seperti berhenti mengalir, dan jantungnya bagai tak berdetak sesaat

“Hup!” Tiba-tiba Rangga melompat ke alas ketika melihat seberkas cahaya api memendar dari dalam bangunan berbentuk puri itu. Cahaya api Itu semakin jelas terlihat, bergerak perlahan-lahan disertai suara-suara dengungan, bagai sekelompok lebah yang sedang terbang mencari madu. Saat itu, Rangga sudah hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi dan berdaun lebat sekali.

“Hm....”

***

Hampir saja Rangga melompat turun dari pohon itu, ketika melihat Pandan Wangi tengah terikat di atas gerobak kayu yang ditarik seekor kuda hitam. Tampak sekitar tiga puluh gadis cantik mengiringi, mengikuti dua orang yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan. Kepala dan wajahnya juga berwarna keperakan. Dua manusia keperakan itu berjalan paling depan, membawa tongkat berwarna keperakan yang bagian ujung atasnya berbentuk genta sebesar dua kali kepalan tangan orang dewasa.

Mereka terus bergerak keluar dari dalam bangunan berbentuk puri itu, dan terus memutari puri tiga kali. Kemudian mereka berhenti di depan pelataran bangunan itu, lalu membentuk lingkaran. Mereka mengelilingi Pandan Wangi yang terikat dengan tangan terentang di atas gerobak kayu. Tampak seorang gadis melepaskan kuda dari gerobak itu, dan membawanya keluar dari lingkaran. Sementara di atas pohon, Rangga terus memperhatikan dengan dada berdebar keras.

“Hiyaaa…!” Tiba-tiba saja salah satu dari orang bertubuh keperakan itu, melesat bagaikan kilat. Saat itu, Rangga sempat terhenyak. Karena, manusia keperakan itu melesat ke arahnya begitu cepat. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menyadari, manusia keperakan itu menghentakkan tongkatnya ke arah pohon tempat Rangga bersembunyi di sana.

Teng!

“Akh…!” mendadak Rangga memekik keras agak tertahan.

Suara mendentang, terdengar keras begitu tongkat keperakan itu dikebutkan. Dan seketika itu juga meluncur seberkas cahaya merah kebiru-biruan yang langsung meluruk deras ke arah pohon itu. Suara genta itu membuat telinga Rangga terasa pekak sekali. Dan saat telinganya tengah diliputi kepekakan, sinar merah kebiru-kebiruan itu meluncur menghantam pohon.

Glarrr!

“Yeaaah...!”

Bersamaan dengan terdengarnya ledakan menggelegar keras. terdengar pula teriakan keras. Dan begitu pohon itu hancur, terlihat pula satu bayangan putih berkelebatan di udara. Bayangan putih itu berputaran beberapa kali. lalu meluruk deras ke bawah. Tahu-tahu di dekat gerobak, tempat Pandan Wangi terikat di atasnya, berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Bersamaan dengan itu, manusia keperakan yang tadi menyerang pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri di samping manusia keperakan lainnya.

Kemunculan Rangga yang tiba-tiba itu sungguh mengejutkan yang lainnya. Gadis-gadis yang berdiri berkeliling di pelataran bangunan puri itu langsung menghunus senjata masing-masing. Dan kedua manusia keperakan itu seperti saling menoleh berpandangan. Kemudian mereka berbalik ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan sudut ekor matanya.

Wus!

Tiba-tiba salah seorang manusia keperakan itu melompat, dan tahu-tahu sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya ditekan keras ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Kalau saja dia memiliki mata, mungkin akan menyorot tajam memandang pemuda berbaju rompi putih di depannya.

“Kau terlalu gegabah datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti,” kata manusia keperakan Itu dengan suara yang dingin menggetarkan, dan terdengar seperti melecehkan.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja. Pendekar Rajawali Sakti memandangi dua orang manusia keperakan itu. Yang seorang pernah sedikit bentrok dengannya. Tepatnya menculik Pandan Wangi di depan hidung Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang seorang lagi, memiliki bentuk tubuh tegap yang otot-ototnya bersembulan keluar, juga lebih tinggi dari yang bertubuh ramping.

“Kau sudah berani melanggar daerah kekuasaan kami, maka harus mati malam ini juga, Pendekar Rajawali Sakti,” ancam manusia keperakan Itu.

“Siapa kalian sebenarnya?” tanya Rangga, tidak peduli dengan ancaman itu.

“Kau tidak berhak bertanya, Pendekar Rajawali Sakti!” bantak manusia keperakan satunya lagi, yang tidak bergerak dari tempatnya sejak tadi.

Rangga menatap manusia keperakan yang bertubuh tinggi tegap Itu. Suaranya begitu berat dan kasar. Jelas kalau suara itu milik seorang laki-laki. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit Pandan Wangi. Kelihatannya si Kipas Maut itu dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pedang dan kipas baja putih yang menjadi senjata andalan masih melekat di tubuhnya.

Satu keanehan merayapi benak Rangga. Biasanya seorang tawanan, akan dilucuti seluruh senjatanya. Tapi ini tidak sama sekali! Pendekar Rajawali Sakti kembali mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi gadis-gadis cantik yang berkeliling di sekitar pelataran puri sambil membawa senjata di tangan. Senjata mereka semua berupa pedang yang bentuk dan ukurannya berbeda.

“Bersiaplah. Pendekar Rajawali Sakti...!” manusia keperakan di depan pemuda berbaju rompi putih itu.

Dan seketika itu juga, manusia keperakan itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka terdengar suara genta berdentang keras memekakkan telinga. Rangga sempat terlonjak sekitar dua langkah ke belakang. Telinganya terasa sakit sekali mendengarnya. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti hilang dari rasa keterkejutannya manusia keperakan bertubuh ramping itu sudah memberi serangan cepat dan dahsyat

“Hiyaaa...!”

“Hap!”

***

Rangga cepat-cepat menyilangkan tangannya di depan dada, ketika manusia keperakan itu melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, tidak ada kesempatan lagi untuk berkelit. Mau tak mau pukulan itu harus ditangkis, untuk mengadu kekuatan tenaga dalam.

Plak!

Pukulan manusia keperakan itu tepat menghantam pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyilang di depan dada. Seketika Itu juga, Rangga terpental ke belakang sejauh dua batang tombak Sedangkan manusia keperakan itu juga benjumpalitan ke udara. Namun begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat melesat menerjang kembali bagai kilat.

“Hiyaaat…!”

“Hep!”

Rangga segera bersiap menghadapi serangan itu. Cepat-cepat tubuhnya mengegos ke kanan sedikit. Dan begitu pukulan manusia keperakan itu lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali kakinya dihentakkan ke depan. Pendekar Rajawali Sakti memberi satu tendangan keras menggeledek.

“Yeaaah...!”

Namun tanpa diduga sama sekali, manusia keperakan itu mengebutkan tongkatnya ke arah kaki. Buru buru Pendekar Rajawali Sakti menarik kembali tendangannya, sebelum sampai mengenai sasaran. Dan pada saat ttu, tubuhnya melenting ke belakang, dan berputaran satu kali. Padahal saat itu manusia keperakan tengah memberi satu pukulan keras dengan tangan kirinya.

Teng!

Tiba-tiba saja terdengar suara genta yang begitu keras memekakkan telinga. Pada saat itu, manusia keperakan yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat mundur beberapa tindak ke belakang. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping gerobak, tempat Pandan Wangi terikat dalam keadaan tidak sadarkan diri, sudah berdiri perempuan tua mengenakan baju keperakan panjang dan Ionggar.

Perempuan tua itu memegang sebatang tongkat berwarna perak yang bagian ujung atasnya terdapat tiga buah genta. Juga berwarna perak. Seluruh rambut yang tergelung ke atas, sudah berwarna putih. Rangga memperkirakan kalau wanita tua itu mungkin sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun.

“Hm…,” Rangga menggumam perlahan sambil menggeser kakinya ke kanan tiga langkah.

Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tidak berkedip mengawasi perempuan tua yang datang sambil memperdengarkan suara genta memekakkan telinga itu. Sedangkan perempuan tua berbaju keperakan itu mengegoskan kepalanya sedikit. Maka semua orang yang berkeliling di tempat ini segera menundukkan kepalanya. Bahkan dua manusia keperakan itu juga ikut menundukkan kepala.

“Ada apa ini?” tanya perempuan tua itu. Suaranya kering dan agak serak.

“Pemuda ini hendak merusak upacara penerimaan anggota, Nyai,” sahut salah seorang manusia keperakan yang bertubuh ramping.

“Dia telah melanggar wilayah kekuasaan kita,” sambung manusia keperakan satunya lagi

Perempuan tua itu menggumam. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam dan memerah. Sedangkan yang ditatap, malah membalas tidak kalah tajam juga.

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya perempuan tua itu, dingin.

“Aku Rangga,” sahut Rangga mantap.

“Apa maksudmu mengacau upacara ini?”

“Aku hanya ingin menjemput temanku,” sahut Rangga lagi seraya melirik Pandan Wangi.

“Itukah temanmu?” perempuan tua itu menunjuk Pandan Wangi dengan ujung tongkatnya. Terdengar suara bergemerincing dari genta-genta yang berada di ujung tongkat ittu.

“Benar,” sahut Rangga lagi lebih mantap.

“Kau boleh membawanya, tapi nanti setelah kami selesai mengadakan upacara, Anak Muda. Temanmu ini sudah berada di sini, dan upacara tidak bisa tertunda lagi. Dia akan menjadi salah seorang anggota Partai Genta Perak,” jelas perempuan tua itu.

“Tidak! Dia tidak boleh terikat siapa pun juga. Kalian semua boleh melarang, tapi aku akan tetap membawanya pergi dari sini…!” tegas Rangga.

“Nyai! Orang itu bisa membahayakan kita. Kepandaiannya tinggi sekali,” selak manusia keperakan yang bertubuh ramping.

Pada saat perempuan tua itu berpaling, dengan cepat sekali Rangga melesat dan langsung mendarat di atas gerobak kayu. Dan sebalum ada yang menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah melepaskan ikatan ditangan dan tubuh Pandan Wangi. Langsung tubuh gads itu dipondongnya di pundak.

“Hei...! Apa yang kau lakukan. ..?” sentak perempuan tua itu terkejut, begitu menyadari apa yang terjadi.

Namun Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lebih cepat melesat meninggalkan tempat itu sambil membawa Pandan Wangi.

“Keparat..! Kejar dan bunuh dia...!” seru perempuan tua itu geram.

Tanpa harus diperintah dua kali, seluruh gadis yang berada di pelataran bangunan puri langsung berlompatan mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

“Kalian berdua, dapatkan gadis itu kembali. Dan bunuh anak muda keparat itu!” perintah perempuan tua itu pada kedua manusia keperakan yang kini berdiri di depannya.

“Baik, Nyai,” sahut mereka bersamaan. Bagaikan kilat, kedua manusia keperakan itu melompat cepat mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang membawa Pandan Wangi. Sedangkan perempuan tua itu mendengus dan memaki kesal. Sambil menghentakkan tongkatnya, kakinya bergegas melangkah masuk ke dalam bangunan batu berbentuk puri itu.

***
ENAM
Rangga duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. Pandangannya lurus tanpa berkedip pada Pandan Wangi. Gadis itu masih tetap terbaring di atas pembaringan kayu yang beralaskan kain halus berwarna merah muda. Sedangkan di samping Pandan Wangi berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih.

Memang tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali Sakti selain membawa Pandan Wangi ke Padepokan Gunung Gading ini. Dia tidak mengerti terhadap keadaan Pandan Wangi yang belum juga sadarkan diri sejak kemarin. Padahal Rangga sudah memeriksanya. Sedikit pun tidak ada luka di tubuhnya. Juga tidak ada luka dalam, maupun satu totokan pun di tubuhnya. Detak jantung dan aliran darahnya tetap seperti biasa. Dan napasnya berjalan teratur baik sekali. Hal ini yang membuat Rangga jadi tidak mengerti, sehingga membawa Pandan Wangi ke Padepokan Gunung Gading Ini.

“Kalau memang benar kau menyelamatkannya dari tangan si Genta Kematian, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyadarkannya kembali, Rangga,” tegas laki-laki tua di samping Pendekar Rajawali Sakti Itu yang tak lain adalah Eyang Jatibaya.

“Siapa itu si Genta Kematian?” tanya Rangga seraya mengangkat kepala, dan memandang laki-laki tua di sampingnya.

“Penguasa Lembah Maut,” jawab Eyang Jatibaya.

“Apakah yang kau maksudkan perempuan tua bertongkat genta itu, Eyang?” Rangga menegaskan.

“Benar. Dialah si Genta Kematian.”

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan. Kembali pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada Pandan Wangi yang masih terbaring tak sadarkan diri. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Pendekar Rajawali Sakti menatap Eyang Jatibaya lagi.

“Apa yang harus kulakukan untuk memulihkan keadaan Pandan Wangi lagi, Eyang?” tanya Rangga.

“Kau tahu tentang kekuatan tenaga batin, Rangga?” Eyang Jatibaya balik bertanya.

Rangga menganggukkan kepalanya.

“Ilmu kekuatan tenaga batin yang dimiliki si Genta Kematian sudah demikian tinggi, sehingga tak seorang pun yang sanggup menandinginya,” Jelas Eyang Jatibaya pelan.

Rangga terdiam saja. Tentang ilmu kekuatan tenaga batin itu memang sudah didengarnya. Suatu Ilmu yang tidak berbentuk dan sukar dilawan. Memang ilmu itu tidak menyakiti, dan juga tidak mematikan seseorang. Tapi paling tidak dapat membuat orang tidak ingat tentang dirinya, sehingga dapat diperintah untuk melakukan apa saja.

Hanya ada satu cara untuk menghilangkan pengaruh ilmu itu. Pemilik ilmu itu harus dilenyapkan untuk selamanya. Tapi itu tidak mudah. Dan biasanya, orang yang bisa memiliki ilmu kekuatan batin, kepandaiannya sudah tinggi sekali. Sukar diukur dan dicari tandingannya. Rangga menyadari kalau kali ini akan mendapat satu tantangan yang tidak ringan. Tak ada cara lain untuk memulihkan Pandan Wangi kembali.

“Aku akan menantangnya bertarung, Eyang,” tegas Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

“Jangan bertindak bodoh, Rangga!” sentak Eyang Jatibaya terkejut mendengar pernyataan itu.

“Aku sering mendengar ilmu yang menggunakan kekuatan batin untuk menguasai jiwa dan alam pikiran manusia, Eyang. Dan aku tahu caranya untuk bisa memusnahkan ilmu itu,” kata Rangga mantap.

Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan melangkah ke jendela kamar ini. Dia berdiri di depan jendela itu sambil memandang ke luar. Sedangkan Eyang Jatibaya hanya memandangi pemuda berbaju rompi putih itu. Dia tahu, apa yang dimaksud Rangga barusan. Memang tidak ada cara lain untuk memusnahkan ilmu itu, selain bertarung secara langsung.

Ilmu itu hanya bisa digunakan dalam waktu dan suasana yang khusus. Jadi tidak mungkin bisa digunakan untuk pertarungan. Tapi jika orang yang menguasainya telah memiliki ilmu olah kanuragan yang telah mencapai tahap kesempurnaan, bisa juga mempengaruhi jiwa lawan dalam pertarungan. Caranya, dengan mengajak lawan memandang ke arah matanya. Hal ini akan membuat perhatian lawan jadi terpecah.

“Pikirkan dulu keinginanmu itu, Rangga. Si Genta Kematian bukanlah lawan yang enteng. Aku sendiri tidak mampu menandinginya,” Eyang Jatibaya mencoba untuk membatalkan niat Rangga yang ingin menantang bertarung si Genta Kematian demi menyelamatkan Pandan Wangi.

“Hanya itu cara satu-satunya, Eyang,” ujar Rangga seraya membalikkan tubuhnya.

“Aku tidak pernah menyangsikan kemampuan seseorang. Tapi untuk menantang si Genta Kematian, rasanya kau harus bisa mengukur kemampuan dirimu sendiri, Rangga. Maaf, bukannya merendahkan kemampuan yang kau miliki,” kata Eyang Jatibaya tanpa bermaksud merendahkan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau laki-laki tua itu hanya khawatir terhadap keselamatannya jika menantang si Genta Kematian. Dan yang pasti. Eyang Jatibaya sudah mengetahui kemampuan si Genta Kematian, sehingga bisa berkata demikian. Kalaupun tidak pernah bertarung, mungkin pernah menyaksikan perempuan tua itu bertarung dengan seseorang. Atau mungkin juga hanya mendengar saja. Dan yang terakhir ini biasanya tidak sama dengan kenyataan.

“Mudah-mudahan aku bisa menandinginya. Eyang,” kata Rangga tanpa ada maksud menyombongkan diri.

“Apa keinginanmu itu sudah mantap, Rangga?” tanya Eyang Jatibaya.

Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan mengangguk. Dan Eyang Jatibaya tidak bisa lagi mencegah. Dia hanya bisa berharap agar pemuda berbaju rompi putih ini bisa mengatasi si Genta Kematian. Karena selama ini, belum ada seorang pun yang bisa menandinginya. Mereka yang mencoba untuk menantang, terpaksa mati di tangan perempuan tua itu.

***

Pagi-pagi sekali Rangga sudah mengayunkan kakinya melintasi halaman depan bangunan besar Padepokan Gunung Gading. Di sampingnya, berjalan Eyang Jatibaya. Dan di belakang mereka, mengikuti enam orang murid Padepokan Gunung Gading. Mereka sudah menyandang sebilah pedang di pinggang. Semuanya masih muda-muda, dan bertubuh tegap berotot.

Rangga menghentikan ayunan kakinya setelah melewati pintu gerbang padepokan ini. Pendekar Rajawali Sakti memandang Eyang Jatibaya, kemudian beralih pada enam orang yang mengikutinya.

“Kau pasti perlu teman dalam perjalanan, Rangga. Hanya mereka ini yang bisa kuandalkan untuk membantumu,” Eyang Jatibaya menawarkan bantuan.

“Terima kasih, tapi....”

“Jangan menolak, Rangga. Mereka sudah menyatakan siap untuk menanggung segala akibatnya. Kau tidak boleh mengecewakan mereka, Rangga,” potong Eyang Jatibaya cepat, sebelum Rangga menyatakan keberatannya.

Rangga memandangi enam orang yang berdiri di belakang Eyang Jatibaya. Ingin rasanya menolak, tapi tidak mungkin mengecewakan orang tua yang telah berbaik hati hendak menjaga Pandan Wangi di padepokannya, selama Pendekar Rajawali Sakti ke Lembah Maut Dan lagi, enam orang pemuda itu kelihatannya sudah siap melakukan perjalanan yang sangat berbahaya ini.

“Mereka akan mematuhi dan mengikuti segala yang kau perintahkan, Rangga,” kata Eyang Jatibaya lagi.

“Baiklah. Mereka boleh ikut, tapi hanya bertugas menyelamatkan Mutiara dan Barada saja yang kini berada di sana,” kata Rangga tidak bisa menolak lagi.

“Bukan hanya Mutiara dan Barada, Rangga. Tapi juga Nila Komala dan gadis-gadis lainnya,” sambung Eyang Jatibaya.

Rangga hanya diam saja, lalu sebentar kemudian berjalan meninggalkan padepokan ini. Enam orang pemuda murid Eyang Jatibaya segera mengikuti setelah menjura memberi hormat pada gurunya itu. Sementara Eyang Jatibaya masih memandangi. Dia berharap dalam hati, agar pemuda itu bisa memperoleh kemenangan.

Sementara Rangga terus berjalan menuruni Puncak Gunung Gading ini. Jalannya demikian cepat, membuat enam orang yang mengikutinya agak kewalahan juga mengimbanginya. Di dalam hati, mereka mengagumi pemuda yang usianya pasti tidak berbeda jauh dengan mereka sendiri.

Rangga menghentikan ayunan kakinya saat tiba di tepi hutan yang baru saja dilalui. Kini Pendekar Rajawali Sakti dan enam orang yang menyertainya, akan memasuki Lembah Maut. Suatu daerah gersang dan tidak jauh dari Kaki Gunung Gading Ini. Pendekar Rajawali Sakti memandang lurus ke depan. Dari tempat ini, terlihat jelas lembah yang gersang itu. Dan baru kali ini disadari kalau daerah gersang itu memang sebuah lembah yang luas, seperti tidak bertepi.

“Kalian tidak membawa bekal sama sekali?” tanya Rangga seraya berpaling memandang enam orang itu.

“Untuk apa, Den?” salah seorang yang mengenakan baju warna biru, malah batik bertanya.

“Jangan panggil dengan sebutan itu. Panggil saja aku Rangga,” pinta Rangga.

Enam orang anak muda Itu menganggukkan kepalanya.

“Kita akan melalui lembah gersang itu. Paling tidak kalian harus mempunyai bekal air,” Jelas Rangga.

“Kami sudah terbiasa tidak minum untuk beberapa waktu,” sahut anak muda yang mengenakan baju biru itu lagi.

“Aku tidak tahu, akan berapa lama kita berada di sana. Dan aku tidak ingin kalian mati kehausan. Itu merupakan lembah maut, dan pasti kalian sudah mengetahuinya,” Jelas Rangga lagi

Kembali keenam orang itu saling berpandangan Mereka sudah dlberi tahu Eyang Jatibaya kalau akan ke Lembah Maut bersama pemuda berbaju rompi putih Ini. Tapi Eyang Jatibaya sendiri mengatakan kalau tidak sampai satu hari berada di sana, sehingga tidak perlu membawa bekal.

Mereka juga sudah diberi tahu kalau Rangga akan menantang si Genta Kematian yang menguasai seluruh lembah itu. Dan Eyang Jatibaya sangsi kalau Rangga tidak akan mampu menghadapi perempuan tua yang sudah terkenal tingkat kepandalannya. Sehingga laki-laki tua itu tidak perlu menganjurkan pada enam orang muridnya ini untuk membawa bekal.

“Kalian tentu orang-orang pilihan Eyang Jatibaya. Tapi pesanku, jika kalian sudah tidak tahan di sana, sebaiknya cepat tinggalkan lembah itu,” jelas Rangga

Enam anak muda ttu menganggukkan kepalanya. Rangga kembali melanjutkan perjalanannya. Dan enam anak muda Itu mengikuti dari belakang. Sebenarnya. kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak diikuti bisa digunakannya Rajawali Putih untuk membawanya ke tempat saat dia berhasil membawa Pandan Wangi. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena adanya enam orang murid Padepokan Gunung Gading ini.

Mereka terus berjalan cepat. Tak ada lagi yang membuka suara. Terlebih lagi enam anak muda yang harus memusatkan perhatian pada ilmu meringankan tubuh agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar Rajawali Sakti.

***

Malam sudah jatuh di permukaan bumi ini Kegelapan menyelimuti sekitar Lembah Maut. Namun kegelapan yang pekat itu, sedikit terusir oleh api unggun yang berkobar terang. Tampak tujuh orang laki-laki muda duduk mellngkari api unggun Itu. Mereka adalah enam orang murid Padepokan Gunung Gading dan Pendekar Rajawali Sakti. Sesudah menempuh perjalanan yang keras, mereka baru sampai di perkampungan mati yang tak berpenghuni.

Salah seorang bangkit berdiri sambil menggeliatkan tubuhnya, kemudian melangkah perlahan menlnggalkan tempat itu. Namun belum juga berjalan jauh, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghentikannya. Entah kapan bergeraknya, tahu-tahu pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri menghadang di depan anak muda itu.

“Mau ke mana kau?” tanya Rangga.

“Jalan-Jalan,” sahut anak muda itu masih diliputi keterkejutan, karena mendapat hadangan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba sekali.

“Tempat ini bukan untuk berjalan-jalan Terlalu banyak bahaya mengancam.” kata Rangga memperingatkan.

Dan sebelum anak muda itu membuka mulutnya. Mendadak saja terdengar suara genta yang berdentang keras mengejutkan. Suara genta itu membuat mereka semua terperanjat kaget. Lima orang anak muda yang masih duduk di sekitar api unggun seketika melompat bangkit berdiri.

Suara genta itu demikian jelas dan keras sekali, membuat telinga terasa pekak, dan seakan ingin pecah. Sementara Rangga masih berdiri tegak, namun tampak enam orang anak muda dari Padepokan Gunung Gading itu sudah menutup telinganya rapat-rapat. Suara genta itu terus terdengar berdentangan semakin keras.

“Gunakan tenaga dalam kalian, kerahkan ke pusat tubuh!” sentak Rangga memberi tahu.

Seruan keras Rangga tak dapat dilakukan enam orang anak muda itu. Karena tiba-tiba saja dari balik dinding rumah-rumah yang rusak, berlompatan gadis-gadis muda dan cantik sambil menghunus senjata barbagai macam bentuk. Mereka langsung mengurung ketujuh anak muda itu.

Sementara suara genta tadi sudah tidak terdengar lagi. Enam orang murid Padepokan Gunung Gading langsung terlongong. Karena tiba-tiba saja. mereka sudah dikepung gadis-gadis cantik yang menghunus senjata.

“Nila Komala ..” desis pemuda yang berada di dekat Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan pandangannya ke arah yang dipandang anak muda itu. Pandangan Rangga tertumbuk pada seorang gadis berbaju putih yang bagian dadanya hitam seperti terbakar. Gads itu menghunus pedang yang menyilang di depan dada.

“Yang mana Nila Komala?” tanya Rangga ingin memastikan.

“Itu, yang pakai baju putih,” tunjuk anak muda itu.

Baru saja Rangga hendak membuka mulut ingin bertanya lagi, mendadak saja kembali terdengar dentang suara genta tiga kail. Begitu suara itu berhenti, seketika itu juga gadis-gadis yang sudah mengepung langsung berlompatan menyerang. Hal ini membuat murid-murid Padepokan Gunung Gading jadi terperanjat kaget. Namun mereka cepat berlompatan berkelit, menghindari setiap serangan yang datang dari segala arah.

Seketika itu juga, suasana malam yang sunyi sudah pecah oleh pekik dan teriakan pertempuran ditingkahi suara denting senjata beradu. Namun anehnya, tak ada seorang pun dari gadis-gadis itu yang menyerang Rangga. Maka Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terpaku saja memperhatikan pertarungan. Tampak sekali kalau enam orang murid Padepokan Gunung Gading, kewalahan juga menghadapi gempuran yang gencar dari segala arah itu. Di samping jumlah gadis itu jauh lebih banyak.

“Aaa...!” Tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak salah seorang anak muda dari Padepokan Gunung Gading, terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, mendadak dari arah samping kanan berkelebat sebuah pedang panjang yang tipis.

Cras!

“Aaa...!” anak muda yang mengenakan baju warna kuning tua itu kembali menjerit keras. Hanya sebentar dia mampu berdiri limbung, sesaat kemudian sudah menggelepar di tanah dengan dada sobek mengucurkan darah. Sedangkan lehernya menganga lebar, hampir putus terpenggal pedang. Pemuda itu kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi, tewas bermandikan darah.

***

Pertempuran terus berlangsung sengit sekali. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah dua orang anak muda Padepokan Gunung Gading tewas berlumuran darah. Dan empat anak muda lagi, semakin kewalahan saja. Melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini tentu saja Rangga tidak bisa tinggal diam menyaksikan hal itu.

“Hiyaaat…!”

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat ke arah pertarungan itu. Namun sebelum sampai. Mendadak saja sebuah bayangan keperakan berkelebat cepat memotong arahnya. Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya, lalu berputaran ke belakang di udara. Kemudian manis sekali kakinya menjejak di tanah yang berpasir dan berdebu.

Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti ttu sudah berdiri seorang yang mengenakan pakaian tertutup warna keperakan. Tubuhnya tinggi dan tegap, dan otot-ototnya bersembulan ke luar. Rangga tahu kalau manusia keperakan ini sebenarnya ada dua. Dan baru satu ini yang muncul menghadangnya. Dan yang pasti, seorang lagi tengah menunggu giliran, sebelum si Genta Kematian sendiri muncul.

“Aku lawanmu, Anak Muda!” dengus manusia keperakan itu. Suaranya terdengar berat dan dingin.

“Hm... majulah.” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Untuk bisa menantang si Genta Maut, memang harus melewati orang-orangnya dulu. Dan ini sudah dipikirkannya sejak masih berada di Padepokan Gunung Gading.

Satu rintangan telah muncul. Dan ada beberapa rintangan lagi yang akan muncul menghadangnya. Namun semua rintangan itu akan dihadapl dengan segala tekad dan akibatnya. Kedatangannya kembali ke daerah gersang yang selalu dihindari setiap orang ini bertujuan untuk menantang si Genta Kematian. Jadi segala rintangan harus dihadapinya.

“Hiyaaat..!”

Bagaikan kilat, orang berpakaian serba tertutup dan berwarna keperakan itu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali pukulan keras dilontarkan secara beruntun, dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, segera mengegoskan tubuhnya menghlndari serangan itu.

“Yeaaah...!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya untuk memberi sodokan keras ke arah perut, begitu berhasil menghindari serangan orang keperakan itu. Namun sodokan Rangga juga tidak mengenai sasaran. Manusia keperakan itu berhasil menghindar dengan menarik tubuh ke kanan.

Pada saat itu, tanpa diduga sama sekali tubuhnya berputar disertai ayunan kaki yang keras menggeledek. Rangga benar-benar tidak menyadari kalau lawannya mampu membuat serangan di kala sedang menghindari serangan. Maka Pendekar Rajawali Sakti tak dapat lagi menghindari libasan kaki yang datang dengan kecepatan sangat tinggi itu.

Des!

“Akh…!” Rangga memekik pendek agak tertahan. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung ke belakang beberapa langkah begitu dadanya tersambar kaki manusia keperakan itu. Namun keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai. Dan segera Rangga mengerahkan hawa murni untuk mengusir rasa sesak yang melanda rongga dadanya.

“Hiyaaa...!”

Balum juga Rangga bersiap, manusia keperakan itu sudah kembali melompat cepat bagai kilat menerjangnya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti membuang dirinya ke tanah. dan bergulingan beberapa kali. Dua pukulan yang dilancarkan manusia keperakan Itu tidak mengenai sasaran sama sekali.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat sekali Rangga melompat bangkit berdiri, lalu segera melesat dengan tangan terentang lebar ke samping Pendekar Rajawali Sakti kini meluncur deras ke angkasa.

“Jangan lari, kau...!” seru manusia keperakan itu. “Yeaaah...!”

Seketika itu juga tubuh orang keperakan itu melesat cepat ke udara, mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Dan tindakan ini yang sebenarnya sedang dinantikan Rangga. Kesempatan baik ini tidak ingin dilewatkan begitu saja. Sambil mengerahkan Jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega’. Rangga segera memutar tubuhnya dua kali. Kemudian tubuhnya segera meluruk deras ke arah manusia keperakan Itu. Kedua tangannya yang terentang ke samping. cepat sekali berkelebatan menyambar ke beberapa bagian tubuh lawan.

“Hiya! Yeaaah...!”

“Uts!”

***
TUJUH
Beberapa kali serangan Rangga berhasil dihindari manusia aneh keperakan itu. Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti langsung merubah jurusnya menjadi Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', manusia keperakan itu tak mampu lagi menghindari. Dadanya terhantam pukulan Rangga yang keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.

“Yeaaah...!”
Deghk!
“Akh...!”

Orang yang seluruh tubuhnya tertutup kain keperakan itu, terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah kembali memberi satu pukulan keras ke kepalanya, begitu mendaratkan kakinya di tanah. Pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tak dapat dibendung lagi.

“Yeaaah...!”
Prak!
“Akh...!”

Untuk kedua kalinya manusia keperakan itu memekik keras. Tampak darah merembes di sekitar kepalanya. Beberapa saat dia masih mampu berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar di tanah sambil mengerang, meregang nyawa. Rangga bergegas melompat menghampiri. Saat itu juga tangannya bergerak cepat.

Bret!

“Oh...!” Rangga tersentak kaget ketika penutup kepala manusia keperakan itu direnggut paksa.

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat mundur. Sungguh tidak disangka kalau di balik selubung keperakan ini, tersembunyi seraut wajah rusak yang mengerikan sekali. Hampir seluruh daging diwajahnya mengelupas, seperti bekas terkena api.

Teng...!

Belum lagi keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti itu hilang, mendadak saja terdengar suara genta berdentang keras. Rangga langsung mengangkat kepalanya. Pada saat itu, gadis-gadis yang bertarung dengan murid-murid Padepokan Gunung Gading cepat berlompatan pergi.

Sebentar saja keadaan di sekitar tempat itu sudah kembali sunyi. Rangga kembali terperanjat karena semua murid Padepokan Gunung Gading yang menyertainya, kini tak ada lagi yang hidup. Mereka semua tergeletak tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh mereka. Namun, tak ada satu pun mayat yang menjadi lawan enam orang murid Padepokan Gunung Gading itu.

“Hm...” Rangga menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti teringat kata-kata Eyang Jatibaya. Si Genta Kematian memang jarang menampakkan diri. Tapi anak buahnya tendiri dari para pendekar wanlta yang memiliki kemampuan rata-rata cukup tinggi. Perempuan tua itu mengambil pendekar-pendekar wanita dengan cara menculiknya, kemudian mengosongkan jiwa mereka yang akhirnya bisa diperintah tanpa dapat menolak lagi.

Rangga kembali memandang mayat manusia keperakan yang tergeletak tidak jauh di depannya. Dia tidak tahu apakah orang ini juga telah dipengaruhi Jiwanya. atau memang pengikut setia si Genta Kematian. Tapi dari wajahnya yang rusak seperti mayat hidup itu, membuat Rangga jadi bimbang juga. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau gadis-gadis yang bertarung dengan enam orang murid Padepokan Gunung Gading tadi, pasti telah terpengaruh jiwanya.

“Aku harus menyelamatkan mereka,” desis Rangga bertekad.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melompat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar RajawaH Sakti itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tertelan kegelapan malam.

Tak ada lagi suara yang terdengar. Tak ada lagi manusia yang hidup terlihat di sana. Keadaan di perkampungan sunyi itu kembali seperti semula. Hanya desir angin malam yang dingin dan keras itu saja yang terdengar mengusik pendengaran.

***

Slap!

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat memotong arah larinya. Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Dan tahu-tahu didepannya kini sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda yang bertubuh ramping. Rangga mengenali gadis ttu, karena pernah beberapa kali bertemu. Gadis yang masih terselimut kabut misteri.

“Taria....” desis Rangga menghilangkan keterkejutannya.

Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Dia teringat ketika malam itu meninggalkan Taria seorang diri, dan kemudian terdengar jeritan gadis itu. Tapi Taria kemudian menghilang dengan meninggalkan ceceran darah. Namun darah itu hanya berputar di sekitar situ saja, seperti disengaja.

“Kenapa memandangku begitu, Kakang?” tegur Taria merasa jengah.

“Apa yang terjadi malam itu padamu, Taria?” Rangga malah bertanya minta penjelasan.

“Maaf, Kakang. Ada orang yang menyerangku. Satu orang berhasil kulukai, tapi mereka langsung kabur. Jadi aku mengejar mereka.” sahut Taria.

Rangga melangkah mendekati. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Untuk saat ini, dia hanya percaya saja.

“Kenapa kau kelihatan tergesa-gesa, Kakang?” tanya Taria begitu Rangga dekat di depannya

“Aku sedang mengejar mereka,” sahut Rangga.

“Mereka? Mereka siapa?” tanya Taria lagi.

“Genta Kematian,” sahut Rangga.

“Oh...?! Jadi kau berada di sini karena berurusan dengan perempuan tua itu...?” Taria agak terkejut juga.

“Ya! Aku akan menantangnya bertarung,” sahut Rangga.

“Sia-sia saja, Kakang. Lebih baik urungkan saja niatmu itu. Si Genta Kematian bukan orang sembarangan. Kemampuannya sangat tinggi dan sukar ditandingi,” Taria menasihati.

Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti juga mendapat nasihat yang sama dari Eyang Jatibaya. Dan sekarang gadis ini juga menganjurkan agar tidak perlu menantang si Genta kematian. Namun nasihat-nasihat itu malah membuat Pendekar Rajawali Sakti semakin ingin mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian perempuan tua yang ditakuti semua orang itu. Apakah memang kemampuannya sangat tinggi, atau hanya omong kosong saja. Pendekar Rajawali Sakti yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan keras di rimba persilatan, tidak akan mudah percaya begitu saja pada kemampuan seseorang sebelum dibuktikannya sendiri.

“Terima kasih, Taria. Tapi, maaf. Aku datang jauh-jauh memang untuk menantang Genta Kematian. Jadi tidak mungkin aku melangkah mundur lagi.” Ujar Rangga mantap.

“Kalau boleh kutahu, kenapa kau ingin menantang si Genta Kematian, Kakang?” tanya Taria.

“Persoalan pribadi,” sahut Rangga.

“Kalau hanya dendam, sebaiknya dibatalkan saja. Bukannya aku menyangsikan kemampuanmu, Kakang. Tapi kau harus berpikir seribu kali untuk bisa menantangnya,” lagi-lagi Taria menasihatkan.

Kembali Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya melewati gadis itu. Dia tidak ingin tertalu lama mendengar nasihat-nasihat yang tidak akan mengendurkan tekadnya untuk menantang si Genta Kematian. Perempuan tua itu harus bisa ditaklukkan, demi Pandan Wangi yang kini ter-baring tanpa daya di Padepokan Gunung Gading

“Kakang, tunggu...!” Taria bergegas menyusul, dan mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Kini dia tidak lagi mencoba membatalkan keinginan Rangga yang selama ini tidak ada yang pernah melakukannya. Gadis itu terus berjalan cepat mengimbang ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti yang berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

***

Rangga berdiiri tegak di depan bangunan tua berbentuk puri. Di tempat ini Pandan Wangi yang sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri telah ditemukan. Di tempat ini Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu si Genta Kematian, meskipun tidak sempat bentrok. Tapi dua orang bertubuh keperakan yang menjadi pengikut setianya, cukup tinggi kepandaiannya. Seorang dari mereka sudah tewas, tinggal seorang lagi yang pasti adalah wanlta. Walau wajahnya tidak terlihat, karena terselubung kain tipis keperakan yang sangat ketat, tapi bisa ditebak dari suara dan bentuk tubuhnya.

“Kau yakin d sini tempatnya, Kakang?” tanya Taria yang masih mengikuti Pendekar Rajawali Sakti

“Mungkin,” sahut Rangga.

Sementara Itu malam sudah hampir berganti pagi. Walau keadaan masih terselimut gelap, namun kicauan burung sudah sejak tadi terdengar ramai Kokok ayam jantan juga terus terdengar saling bersahutan, menambah hidupnya alam ini

“Si Genta Kematian tidak ada kalau siang hari, Kakang,” jelas Taria.

“Hm.... Tampaknya kau banyak tahu tentang Genta Kematian, Taria...” suara Rangga agak bergumam. dan bernada menyelidik.

“Hanya sedikit,” sahut Taria seraya tersenyum.

Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih belum mempercayai penuh padanya. Padahal sudah dikatakan kalau dirinya bukan salah satu gadis pengikut si Genta Kematian. Kecurigaan Rangga disebabkan Taria tidak mengatakan alasannya, kenapa berada di Lembah Maut ini. Lembah yang selama ini selalu dihindari semua orang. Sementara Itu Rangga menatap Taria dalam-dalam.

“Jangan menatapku begitu, Kakang..,” Taria merasa jengah.

“Siapa kau sebenarnya, Taria?” tanya Rangga tidak bisa menyembunyikan rasa curiga dan keingin-tahuannya.

“Sudah kujelaskan padamu, Kakang,” sahut Taria tetap menghindar halus.

“Kau belum mengatakan yang sesungguhnya, Taria. Kenapa berada di sini?” desak Rangga.

“Aku ada urusan pribadi,” sahut Taria.

“Dengan si Genta Kematian?” Rangga terus mendesak.

Taria diam saja, dan tampak sekali kalau mulai tidak senang didesak terus begitu. Tapi gadis ini tetap bertahan, dan malah memberi senyuman yang manis sekali. Sejenak Rangga terpaku dan jantungnya seketika berdetak kencang. Tapi buru-buru mukanya dipalingkan, menatap ke arah lain.

Pendekar Rajawali Sakti merasa ada sesuaru kekuatan aneh yang terpancar pada sinar mata gadis ini. Sesuatu yang membuat Pendekar Rajawali Sakti bagai terangsang kejantanannya. Hal ini belum pernah terjadi pada dirinya. Meskipun dengan Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti masih mampu mengendalikan diri. Tapi terhadap gadis ini, sepertinya desakan itu kuat sekali. Dan Rangga merasakan adanya kesulitan untuk menentangnya. Rangga benar-benar tidak mengerti, kenapa desakan itu selalu muncul setiap kali pandangannya bertemu dengan gadis itu.

“Mau ke mana, Kakang?” tegur Taria ketika Rangga melangkah hendak meninggalkannya.

“Kau punya tujuan sendiri, dan aku pun begitu. Jadi sebaiknya kita tidak bersama-sama,” Jawab Rangga seraya menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik.

“Kenapa begitu?” tanya Taria seraya mendekati.

Rangga tidak menjawab. Pemuda itu memutar tubuhnya sedikit dan memandang ke arah lain, saat Taria sudah berada di depannya. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak ingin memandang mata Taria yang disadarinya memiliki pancaran kekuatan aneh yang sangat besar. Bahkan mampu mengoyak relung hatinya serta membangkitkan kejantanannya.

“Kakang...” lembut sekali suara Taria. Gadis itu menjulurkan tangannya, lalu meraba dada Rangga dengan lembut sekali. Seketika itu juga Rangga merasa darahnya seperti berhenti mengalir, dan jantungnya jadi berdetak lebih kencang lagi. Rangga mencoba menghindar dengan melangkah mundur. Tapi..., Taria lebih cepat lagi bertindak. Gadis itu sudah melingkarkan kedua tangannya di leher Pendekar Rajawali Sakti.

Entah kenapa, Rangga seperti sukar menolak Bahkan pikirannya jadi mengambang jauh. Terlebih lagi saat matanya tak mampu lagi berpaling, dan terpaksa menatap bola mata Taria yang bening, bulat dan indah itu. Mata itu sungguh indah, memancarkan suatu kekuatan yang semakin mendesak kejantanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Taria...” desah Rangga masih mencoba mengembalikan kesadarannya.

Tapi Taria malah merapatkan tubuhnya. Jantung Rangga semakin keras berdetak saat merasakan sesuatu yang lembut menonjol menekan dadanya. Rangga semakin sukar mengendalikan diri saat merasakan hangatnya desah napas Taria yang menerpa lembut wajahnya.

“Cumbulah aku, Kakang. Puaskan seluruh keinginanmu. Cumbulah aku, Kakang..,” desah Taria lembut sekali.

“Ah...,” Rangga mencoba untuk memalingkan mukanya.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak sanggup lagi mengendalikan diri. Dan pemuda Itu benar-benar tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan saat bibir Taria sudah menempel di bibirnya. Seketika itu juga Rangga merasakan seluruh aliran darahnya jadi terbalik. dan jantungnya bagai terhenti berdetak. Kecupan Taria yang lembut dan hangat, membuat kepala Pendekar Rajawali Sakti mendadak Jadi pening.

“Oh....” Rangga mendesah lirih. Pendekar Rajawali Sakti seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dia tidak mampu lagi menolak, ketika Taria mengajaknya turun. Dan mereka kini sudah terduduk dl tanah berumput tebal. Perlahan-lahan Taria membaringkan tubuhnya, namun tidak melepaskan rangkulannya dl leher Rangga. Mau tidak mau, Pendekar Rajawali Sakti ikut turun.

“Ayolah, Kakang. Cumbulah aku sepuasmu,” desah Taria lembut menggairahkan.

Rangga merasa kepalanya semakin pening saja. Dan dirinya sudah tidak bisa lagi dikuasai. Apalagi ketika dengan gerakan lembut dan halus, gadis itu melepaskan pakaiannya satu persatu. Rangga tak kuasa lagi menahan diri begitu hampir seluruh pakaian yang melekat di tubuh Taria terlepas. Dengus napasnya sudah tidak terkendali, begitu cepat bagaikan kuda yang dipacu kencang di jalan mendaki.

“Ohhh...,” Taria mendesah lirih.

Rangga mendekap gadis itu, dan sementara itu Taria menggeliat-geliatkan tubuhnya yang berada di bawah himpitan Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya terus memperdengarkan rintihan dan desahan lirih, membuat Rangga semakin tidak mampu mengendalikan diri.

“Khraghk..!”

“Oh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara keras dan serak yang amat dikenalnya. Suara itu seakan-akan berada di dekat telinganya. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu terlonjak, dan melompat bangkit dari tubuh Taria.

“Jagat Dewa Batara.... Apa yang telah kulakukan...?!” sentak Rangga mendesah. Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah mundur seraya memalingkan mukanya dari tubuh Taria yang sudah hampir tidak berpakaian lagi. Hanya bagian pinggang saja yang masih tertutup.

“Kenapa kau, Kakang?” tanya Taria seraya bangkit duduk.

Gadis itu membenahi pakaian seadanya, namun membiarkan bagian dada dan paha terbuka. Sementara Rangga sempat melirik, namun cepat memalingkan mukanya. Dia tidak ingin terbelenggu lagi dalam lautan asmara yang memabukkan.

“Kakang...” lembut sekali suara Taria.

“Pergilah kau, Taria. Jangan ganggu aku!” sentak Rangga tanpa memandang sedikit pun.

“Kenapa? Apakah aku mengecewakanmu?” masih terdengar lembut suara Taria,

Rangga hanya menghembuskan napasnya saja. Sama sekali tidak dijawab pertanyaan itu. Dia hanya tidak ingin diganggu saat ini. Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau Taria memiliki sesuatu yang bisa menarik dan membangkitkan gairah seorang laki-laki, tanpa dapat dibendung lagi. Seperti....

“Oh...!” Rangga mendadak tersentak. Cepat tubuhnya berputar. Ditatapnya Taria dalam-dalam dan tajam sekali. Rangga seperti baru setelah dikejutkan teriakan Rajawali Putih. Seekor burung raksasa yang menjadi guru, sahabat, juga tunggangannya. Dan rupanya meskipun dalam jarak jauh, Rajawali Putih selalu menjaga Rangga. Burung raksasa itu selalu memperingatkan jika Pendekar Rajawali Sakti melakukan sesuatu yang dapat mengotori dirinya sendiri.

“Siapa kau sebenarnya, Taria?” tajam dan dingin sekali nada suara Rangga.

Taria tidak menjawab, tapi malah tersenyum seraya bangkit berdiri. Dengan gerakan halus dan gemulai, gadis itu mengenakan kembali pakaiannya Wajahnya yang cantik itu, tetap ceria dengan bibir menyungging-kan senyuman. Dan Rangga tetap menatap tajam, namun tidak berani langsung menatap mata gadis itu. Karena, di sanalah letak kekuatan yang dimiliki gadis itu.

“Tataplah mataku, Kakang. Kau akan menemukan kenikmatan dan kebahagiaan di sana,” Taria lembut sekali.

“Tidak..!” sentak Rangga begitu merasa adanya sesuatu daya tarik yang luar biasa membetot relung hatinya.

Sekuat daya, Pendekar Rajawalii Sakti mencoba bartahan agar tidak menatap mata gadis itu. Namun daya tarik aneh yang dirasakannya, semakin kuat saja. Tampak titik-titik keringat mulai mengalir di dahi Rangga.

“Iblis....” desis Rangga.

Slap!

Seketika Itu juga, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Kemudian dia langsung meluruk deras ke arah Taria. Kedua kakinya bergerak cepat dan lincah sekali, mengarah ke kepala gads Itu.

“Yeaaah...!”

“Kakang...! Uts!” Taria terkejut

Buru-buru Taria membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Maka kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam tanah, tempat Taria tadi berdiri. Ledakan keras terdengar menggelegar bersamaan dengan terbongkarnya tanah itu, hingga menlmbulkan gumpalan debu yang mengepul tinggi ke udara

“Tahan, Kakang..!” sentak Taria ketika Rangga sudah kembali melompat menerjangnya.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat melompat sambil memberi dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Hap!" Taria yang baru saja bisa bangkit berdiri, buru-buru melentingkan tubuhnya ke belakang dan berputaran beberapa kali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali memberi serangan dahsyat luar biasa. Terpaksa Taria harus berjumpalitan menghindarinya Gerakan gadis itu memang sungguh cepat luar biasa. Beberapa kali Rangga memberi serangan cepat dan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, tapi tidak satu pun berhasil mengenai sasaran.

“Hup...!” Tiba-tiba Rangga melompat mundur dan menghentikan serangannya. Dia berdiri tegak dengan pandangan lurus tak berkedip pada gadis itu. Sementara Taria hanya berdiri saja. Sikapnya masih terlihat lembut menggoda, disertai senyuman manls menggairahkan di bibir yang memerah itu.

“Katakan! Siapa kau sebenarnya?! Atau kau ingin aku bertindak lebih kejam lagi..?!” sentak Rangga, dingln nada suaranya.

“Kenapa kau mempersoalkan tentang diriku, Kakang? Apakah aku tidak pantas untukmu?” masih dengan lembut suara Taria.

“Kau jangan mencoba mempengaruhiku dengan ilmu 'Lemah Jiwa..!” sentak Rangga yang baru menyadari kalau Taria tadi mempergunakan limu 'Ilmu Jiwa’.

Ilmu itu memang tidak berbentuk, tapi sangat luar biasa akibatnya. Seorang lakl-laki yang sudah berilmu tinggi sekalipun, sangat sukar menyadari dengan cepat. Karena ilmu itu menyerang bawah sadar seseorang, dan langsung membangkttkan gairah kejantanan. Dan ilmu itu hanya khusus bisa dikuasai kaum wanlta. Yang pasti, digunakan untuk menjerat laki-laki.

“Hik hik hik....” tiba-tiba saja Taria tertawa terkikik.

“Heh..?!” Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti sampai terlonjak ke belakang dua langkah, begitu mendengar tawa Taria yang mengikik kering. Persis suara seorang perempuan tua. Dan kelembutan pada wajah serta sorot matanya seketika lenyap. Dan kini berganti seraut wajah tegang dan kaku, membuat siapa saja yang melihatnya akan bergidik ngeri.

“Siapa kau...?!” bentak Rangga kembali bertanya.

***
DELAPAN
Taria tetap saja tertawa mengikik kering. Pada saat itu, tiba-tiba saja tangannya dikebutkan ke atas. Maka dari dalam bangunan puri itu meluncur sebuah benda keperakan. Hanya sedikit saja wanita itu menggenjot tubuhnya, kemudian meluncur deras ke arah benda keperakan itu.

Tap! Taria kembali turun begitu benda keperakan Itu tertangkap. Dan Rangga jadi terhenyak ketika wanita cantik itu kini memegang sebuah tombak berwarna perak yang bagian ujung atasnya terdapat genta-genta kecil yang bergemerincing

“Genta Kematian...” desis Rangga agak terhenyak.

Pendekar Rajawali Sakti sungguh tidak mengerti. Pertama kali melihat wanita ini, dia mengenakan jubah putih. Bahkan sosok tubuhnya telah tua, berusia lebih dari delapan puluh tahun. Dan sekarang, berujud seorang gadis cantik dan masih muda. Bahkan bentuk tubuhnya menggairahkan. Namun tongkat yang kini berada di tangan kanannya, sudah memastikan kalau wanita itu adalah si Genta Kematian.

“Kaukah si Genta Kematian itu...?” tanya Rangga seperti ingin meyakinkan dirinya.

“Kau pikir aku ini siapa, Rangga?” dingin sekali suara wanita yang mengaku bernama Taria itu.

Rangga tidak perlu lagi penjelasan. Kini dia tahu kalau Taria sebenarnya adalah si Genta Kematian. Tapi masih belum bisa dimengerti dengan perubahan bentuk gads ini. Dia bisa menjadi tua dan juga bisa menjadi seorang gadis muda belia, cantik, dan menggairahkan. Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti mendengar ada orang yang bisa berubah-ubah dari tua ke muda dan sebaliknya. Jika hanya perubahan wajah saja, baginya sudah tidak mengejutkan lagi. Tapi seluruh tubuh dan wajah wanita ini benar-benar berubah jauh.

“Di mana kau sembunyikan gadis itu?” tanya Taria atau si Genta Kematian, dingin nada suaranya

“Untuk apa kau menanyakannya?” Rangga malah balik bertanya.

“Untuk apa...?! Heh..! Kau sudah merampas milikku. tahu?! Dan sekarang juga, kuminta kau mengembalikan gadis itu padaku!” bentak Taria kasar

“Hhh! Siapa di antara kita yang merampas? Kau atau aku..?” dingin sekali suara Rangga.

“Rupanya kau pandai juga bermain kata-kata. Rangga. Baik. Aku ingin tahu sampai di mana kemampuanmu,” desis Taria dingin.

Rangga hanya menggumam saja

“Ayo, Rangga. Bukankah kau ingin menantangku? Lima Jurus kuberikan padamu untuk menyerang,” nada suara Taria seperti meremehkan.

“Aku khawatir, tidak sampai tiga jurus kau sudah balas menyerang.“

Taria tertawa terbahak-bahak. Kemudian tongkatnya dhentakkan ke tanah. tepat di ujung jari kaki. Seketika itu juga tanah yang mereka pijak bergetar, bagai dlguncang gempa. Rangga sempat terlonjak kaget namun sesaat kemudian sudah melesat memberi serangan cepat dan dahsyat luar biasa.

Rangga yang sudah mengetahui siapa sebenarnya wanita itu, tidak lagi tanggung-tanggung dalam memberi serangan. Langsung saja dirangseknya si Genta Kematian itu dengan jurus-jurus maut dari rangkaian lima Jurus 'Rajawali Sakti' yang semakin sempurna dan dahsyat saja.

“Uts! Setan!” dengus Taria ketika satu pukulan Pendekar Rajawali Sakti hampir saja mengenai kepalanya.

Rangga baru saja mengerahkan dua jurus, namun si Genta Kematian sudah kelabakan menghindarinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa dibanting ke tanah, atau melompat ke belakang menghindari Pendekar Rajawali Sakti.

Dan dugaan Rangga memang tepat Begitu memasuki jurus ketiga. si Genta Kematian sudah tidak tahan lagi didesak terus-menerus. Kesombongannya diingkari sendiri dengan memberi satu serangan kilat, begitu berhasil mengelakkan satu pukulan Rangga yang mengarah ke dada

“Yeaaah...!”

“Hup!”

Rangga langsung melompat cepat ke belakang ketika Taria mengebutkan tongkatnya, hingga memper-dengarkan suara berdentang yang keras menggetarkan jantung. Sambaran tongkat itu demlkian keras dan dahsyat sekali, sehingga menimbulkan hempasan angin luar biasa, bagai badai. Rangga sampai terhuyung beberapa langkah ke belakang, menerima gempuran angin sambaran tongkat aneh itu.

“Kau melanggar janjimu sendiri. Genta Kematian,” desis Rangga dingin.

“Phuih! Ini daerah kekuasaanku! Aku bisa berbuat apa saja sesuka hatiku” bentak Taria geram.

“Oh.... Kalau begitu, aku yang akan memberimu kesempatan lima jurus untuk menyerang. Jika kau tidak sanggup mendesakku, maka kau harus mengakui kekalahanmu.” kali ini Rangga yang memberi kesempatan.

“Peduli setan! Hiyaaat...!”

Taria berteriak nyaring melengking tlnggi. Bagai anak panah lepas dari busur, si Genta Kematian melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti yang sudah slap menerima serangan sejak tadi. Dan begitu ujung tongkat Taria berkelebat mengancam kepalanya. maka cepat dan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mengelak dengan menundukkan kepala.

Wus!

Tongkat keperakan itu lewat sedikit di atas kepala Rangga. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan kepalanya kembali, si Genta Kematian sudah memberi serangan cepat luar biasa.

Saat itu juga Rangga meliukkan tubuhnya, mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang serlngkali digunakan untuk memancing dan mengamati tingkat kepandaian lawan. Tapi kali inl Rangga mempergunakan hanya untuk mengulur waktu agar perempuan itu menghabiskan lima jurus yang dijanjikannya.

“Setan...!” geram Taria yang merasa setiap kali serangannya dapat dimentahkan Pendekar Rajawali Sakti dengan manis sekali.

Beberapa kali Taria melancarkan gebrakan, namun beberapa kali itu pula terpaksa harus menelan kepahitan. Rangga selalu saja bisa mematahkan serangan, walaupun dengan gerakan-gerakan aneh dan tidak beraturan. Hal ini membuat si Genta Kematian itu jadi semakin berang. Dia merasa kalau Rangga hanya mempermainkan dirinya saja.

“Keparat kau, Rangga...!” desis Taria gusar.

“Sudah tiga jurus, Taria. Kau masih punya kesempatan dua jurus lagi,” kata Rangga mengingatkan.

“Persetan..!” geram Taria. Kembali si Genta Kematian melancarkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Dan kali ini tongkatnya berkelebat cepat, menimbulkan hempasan angln disertai dentangan genta yang berada di ujung tongkat itu. Suaranya demikian keras, membuat telinga terasa sakit. Namun Rangga sudah lebih dahulu menutup pendengarannya dengan mengerahkan hawa murni yang dipusatkan pada telinga.

Maka suara apa pun yang terdengar, tidak membuat perhatiannya buyar. Namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga tidak mau memandang kedua mata si Genta Kematian. Karena masih dlrasakan kalau wanita itu tetap mengerahkan ilmu 'Lemah Jiwa'. untuk membuyarkan perhatian dalam pertarungan ini.

***

Jurus demi Jurus berialu cepat. Tak terasa, si Genta Kematian justru sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus. Namun Pendekar Rajawali Sakti sampai sejauh itu belum bisa terdesak. Hal ini memang disengaja Rangga, agar wanita itu terpancing amarahnya. Dengan demikian, perhatian wanita itu akan targanggu.

Bahkan beberapa kali Rangga memberi gerak tipu dan pancingan yang membuat si Genta Kematian semakin bertambah geram saja jadinya. Wanita itu kini semakin hebat memberi serangan-serangan, yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak poranda bagai teramuk ribuan ekor gajah.

Pepohonan bertumbangan, batu-batu pecah berantakan terkena pukulan-pukulan yang tidak mencapai sasaran. Debu semakin banyak mengepul di udara, semakin membuat sesak udara di sekitar pertarungan itu. Sementara matahari mulai menampakkan cahayanya. Namun pertarungan itu terus berlangsung sengit sekali, seakan-akan tidak akan berhenti. Dan kini Rangga juga sudah memberi serangan-serangan cepat dan berbahaya sekali.

“Hiyaaat….!”

Tiba-tiba saja si Genta Kematian berteriak keras. Maka seketika itu juga tubuhnya melesat cepat ke udara sambil mengibaskan tongkatnya ke arak kepala Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu berjumpalitan di udara beberapa kali, kemudian cepat sekali menghentakkan tongkatnya kuat-kuat.

“Yeaaah...!”
Teng!
Slap!

Saat itu seberkas cahaya merah kebiru-biruan, meluncur deras keluar dari ujung tongkat itu. Cahaya itu langsung meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di tanah.

“Hup! Yeaaah..!”

Sama sekali Rangga tidak bergerak menghindar. Bahkan malah menyambutnya dengan menghentakkan tangannya ke arah bola cahaya merah kebiru-biruan itu. Tampak kedua kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti memancarkan sinar merah, yang berarti saat itu sudah mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali”.

Glarrr!

Ledakan keras terdengar menggelegar ketika bola cahaya merah kebiru-biruan itu menghantam tangan Rangga. Bunga api memercik ke segala arah, disertai kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa. Tampak Rangga terdorong ke belakang dua tindak, namun cepat sekali melentingkan tubuhnya ke angkasa.

“Hiyaaa...!” Taria yang juga dikenal berjuluk Genta Kematian, terkejut bukan main. Karena serangan yang diandalkannya tadi, mudah sekali terpatahkan. Bahkan kini Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat bagai kilat.

Sret!

Cring!

Cahaya biru berkilau, seketika memendar begitu Rangga menarik Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Secepat pedang itu keluar dari warangkanya, secepat itu pula dikibaskan ke arah dada si Genta Kematian.

“Yeaaah...!”

“Heh?!”

Taria terkejut setengah mati. Dan wanita itu tidak punya kesempatan lagi untuk berkelit menghindar. Dengan cepat sekali, tongkatnya dikibaskan ke depan dada. mencoba menangkis tebasan pedang yang memancarkan sinar biru menyilaukan mata itu.

Trang!
Trak!
“Heh.„?!”

Lagi-lagi Taria tersentak kaget. Mendadak saja tangannya terasa bergetar hebat ketika tongkatnya beradu keras dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas tubuhnya berputar ke belakang, dan langsung meluruk turun ke bawah. Pada saat yang sama, Rangga juga cepat meluruk turun. Hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya di tanah.

“Keparat..!” geram Taria mendelik. Wanita itu benar-benar marah bukan main, karena tongkatnya terpotong jadi dua bagian. Namun sebelum kemarahan yang bercampur keterkejutan dan ketidak-percayaan itu lenyap, mendadak saja Rangga sudah kembali melompat memberi serangan. Pendekar Rajawali Sakti langsung menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus andalan yang terakhir dari ilmu-ilmu 'Rajawali Sakti' yang dikuasainya.

“Uts...!”

Taria cepat-cepat membuang dirinya ke samping, dan meliukkan tubuhnya menghindari kelebatan pedang yang memancarkan cahaya biru itu. Saat itu juga disadari kalau dirinya sangat terdesak dan kewalahan sekali dalam menghadapi serangan Rangga yang demikian gencar dan dahsyat luar biasa.

Pedang Rajawali Sakti berkelebatan cepat, seakan-akan memiliki mata saja. Selalu memburu kemana saja si Genta Kematian itu bergerak menghindar. Beberapa gebrakan berlalu. Walaupun belum menampakkan hasil nyata, namun Rangga sudah bisa tersenyum. Karena si Genta Kematian mulai kelihatan limbung. Dan gerakan-gerakannya jadi tidak beraturan lagi.

“Setan...!” dengus Taria geram.

Si Genta Kematian langsung bisa merasakan kalau jiwanya mulai guncang, dan seperti mendapat kesukaran untuk mengatasi setiap serangan lawan. Beberapa kali dia memaki setiap kali hampir saja terkena tebasan ujung pedang yang bersinar biru berkilauan itu.

“Yeaaah...!” tiba-tiba Rangga berseru nyaring. Dan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya cepat ke arah leher wanita itu. Tebasan Rangga yang cepat dan didahului satu serangan pukulan tangan kiri. membuat si Genta Kematian jadi kelabakan. Wanita itu sudah telanjur terpancing oleh pukulan tangan kiri Rangga, sehingga terlambat menghindari tebasan pedang itu.

Cras

“Aaa...!” Diiringi satu jeritan melengking tinggi, si Genta Kematian mengejang kaku, kemudian ambruk menggelepar. Seketika itu juga kepalanya terguling terpisah dari leher. Darah langsung memuncrat keluar dari leher yang buntung tertebas pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Crek!

Rangga memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, seraya menghembuskan napas panjang dan berat. Dipandanginya mayat si Genta Kematian yang tergeletak di tanah dengan leher terpenggal. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas lega, mendadak saja terdengar ribut-ribut dari dalam bangunan puri Itu. Dan sebentar kemudian, dari dalam puri Itu berhamburan gadis-gadis cantik, mengejar sosok manusia yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan.

“Hiyaaa...!”

Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat memotong arus manusia keperakan itu. Langsung saja Rangga melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Begkh!

“Ukh...!” manusia keperakan itu mengeluh panjang begitu dadanya mendadak saja terkena satu hantaman keras yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Tak pelak lagi, tubuhnya terpental deras ke belakang. Dan begitu terbanting ke tanah, gadis-gadis yang berhamburan dari dalam puri langsung menyongsong-nya. Berbagai macam senjata, berkelebatan ke arah tubuh manusia keperakan itu.

“Hei...!” sentak Rangga mencoba mencegah.

“Aaa...!”

Namun cegahan Pendekar Rajawali Sakti terlambat. Karena, gadis-gadis itu sudah merajam manusia keperakan tadi. Rangga hanya bisa menghembuskan napas panjang saja, melihat tubuh manusia keperakan sudah tercincang tanpa ampun lagi. Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangannya pada dua orang gadis yang hanya berdiri agak jauh, sambil memperhatikan gadis-gadis lain yang sedang mencincang tubuh manusia keperakan.

Rangga bergegas menghampiri kedua gadis itu yang dikenalinya adalah Mutiara dan Nila Komala. Mutiara yang sudah kenal Rangga, bergegas memberi senyum dan langsung memperkenalkan Pendekar Rajawali Sakti pada Nila Komala.

“Di mana Barada?” tanya Rangga teringat kalau Mutiara kemarin bersama Barada.

“Tidak tahu,” sahut Mutiara.

Rangga mengerutkan keningnya menatap tajam Mutiara.

“Aku tertangkap, dan tidak tahu lagi di mana Barada. Mungkin kembali ke padepokan, atau mungkin juga sudah tewas,” Mutiara menjelaskan sebelum diminta.

“Sebaiknya kalian kembali saja ke padepokan,” ujar Rangga menganjurkan.

“Bagaimana dengan mereka?” tanya Nila Komala pada gadis-gadis yang sudah meninggalkan tubuh keperakan.

Tampak tubuh keperakan Itu sudah hancur tak berbentuk lagi. Rangga sendiri sampai tidak sanggup melihatnya. Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti berbuat seperti itu, mencincang orang hingga hancur tak berbentuk lagi. Tapi dia memang tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kalian boleh kembali ke tempat asal kalian masing-masing,” kata Rangga pada gadis-gadis itu.

Mereka mengucapkan terima kasih karena telah terbebas dari pengaruh si Genta Kematian. yang selama ini menguasai jiwa dan alam pikiran serta kehidupan mereka. Rangga hanya tersenyum saja Dan gadis-gadis itu kemudian meninggalkan tempat ini dengan tujuan masing-masing.

Rangga kemudian mengajak Mutiara dan Nila Komala kembali ke Padepokan Gunung Gading. Namun setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, terlihat Eyang Jatibaya, Barada, dan beberapa orang muridnya menghampiri. Mereka semua menunggang kuda. Tampak di antara mereka, terdapat Pandan Wangi yang berkuda di samping Eyang Jatibaya. Rangga segera menyongsong mereka, lalu membantu Pandan Wangi turun dari punggung kudanya. Kemudian mereka menghampiri Eyang Jatibaya yang tengah berbicara dengan kedua gadis muridnya itu.

“Aku benar-benar mengucapkan terima kasih padamu, Rangga. Ternyata kau mampu membebaskan daerah ini dari cengkeraman perempuan berhati iblis itu,” ucap Eyang Jatibaya sebelum Rangga membuka suaranya.

Sebenarnya, inilah yang ditugaskan oleh Eyang Jatibaya kepada dua murid wanitanya, Mutiara dan Nila Komala. Kedua gadis itu memang ditugaskan untuk menyelidiki keberadaan si Genta Kematian, sekaligus menyelelidiki kekuatan partainya. Namun apa mau dikata, ternyata Mutiara dan Nila Komala malah tertangkap.

“Hanya satu yang masih menjadi pertanyaanku,” ujar Rangga, agak mendesah suaranya.

“Apa itu?” tanya Eyang Jatibaya.

“Si Genta Kematian ternyata bukan perempuan tua, tapi masih muda dan...” Rangga tidak meneruskan.

“Dia bukan si Genta Kematian,” selak Nila Komala.

Semua orang yang berada di situ memandang Nila Komala yang sejak tadi hanya diam saja.

“Si Genta Kematian sudah lama meninggal. Sedangkan orang yang mengaku Genta Kematian adalah Taria, murid si Genta Kematian,” Nila Komala menjelaskan “Jasad si Genta Kematian ada di dalam puri”

“Masih utuh?” tanya Eyang Jatibaya.

“Sudah jadi tengkorak sebagian.”

“Yaaah.... Setinggi apa pun tingkat kepandaian seseorang, tidak akan mungkin melawan ketuaan dan kodrat,” desah Eyang Jatibaya.

Namun mendadak saja laki-laki tua itu tersentak. karena tanpa diketahui sama sekali. Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak ada lagi. Entah kapan dan bagaimana caranya, kedua pendekar itu sudah tidak terlihat lagi. Semua orang yang berada di situ tidak sempat memperhatikan.

“Kalian tahu, ke mana Rangga dan Pandan Wangi?” tanya Eyang Jatibaya pada murid-muridnya.

Semua murid-muridnya menggelengkan kepala saja. Memang tidak ada yang tahu, ke mana dan kapan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu pergi Eyang Jatibaya hanya mendesah panjang saja, kemudian memerintahkan semua muridnya untuk kembali ke padepokan. Tak berapa lama kemudian. mereka semua bergerak meninggalkan tempat itu.

“Kalian memang pendekar-pendekar sejati..,” gumam Eyang Jatibaya pelan.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar