Pendekar Rajawali Sakti eps 058 : Darah Seratus Bayi

SATU
"Oaaa...!

Tangisan bayi terdengar begitu menyayat, memecah kesunyian malam yang begitu hening. Tangisan bayi itu berasal dari sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu. Di dalam kamar yang berukuran tidak terlalu besar, seorang ibu muda tengah berusaha membujuk bayinya agar berhenti menangis. Tidak jauh dari dipan kayu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Semua penduduk di Desa Jati Wengker, memanggilnya Ki Sampir.

"Susui saja biar diam, Nyai," ujar Ki Sampir sambil melinting daun tembakau.

"Heran! Dia tidak mau diam, Kang," jelas wanita muda itu lesu.

"Badannya panas, tidak?"

"Tidak."

Nyai Sampir mengeluarkan puting susu, dan menyumpalkannya ke mulut bayi. Tapi bayi berusia beberapa bulan itu malah meronta, tak mau disusui ibunya. Akibatnya, Nyai Sampir jadi kelabakan juga melihat polah bayinya yang tidak seperti biasanya ini.

"Aku takut, jangan-jangan ada yang mengganggunya, Kakang," kata Nyai Sampir, agak bergetar nada suaranya.

"Jangan berpikir yang bukan-bukan, Nyai," sergah Ki Sampir.

Nyai Sampir menggendong bayinya, sambil menimang-nimang supaya diam. Tangisan bayi itu mulai mereda setelah berada di dalam pelukan ibunya yang hangat. Tak berapa lama kemudian, bayi itu tidak menangis lagi. Nyai Sampir mengeluarkan puting susunya kembali, dan menyumpalkan ke mulut yang mungil itu.

"Dia tidak mau menyusu, Kakang," kata Nyai Sampir.

Di wajahnya yang lesu, tersirat kecemasan melihat bayinya tidak mau lagi menyusu. Sedangkan Ki Sampir diam saja, seperti tidak peduli. Bahkan malah asyik mempermainkan asap tembakau yang mengepul dari lubang hidungnya. Pada saat itu terdengar ketukan dipintu. Suami istri itu saling berpandangan. Ketukan di pintu kembali terdengar semakin keras.

"Siapa malam-malam begini bertamu...?" dengus Ki Sampir enggan, seraya bangkit berdiri.

Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu menghampiri pintu. Tapi belum juga sempat dibuka, mendadak saja pintu yang terbuat dari kayu biasa itu sudah terdobrak dari luar.

Brak!

"Heh...?!"

Ki Sampir tersentak kaget. Cepat dia melompat mundur, menghindari pecahan daun pintu rumahnya. Belum juga hilang keterkejutan Ki Sampir dan istrinya, mendadak saja melesat masuk sesosok tubuh hitam.

"Siapa kau...?!" bentak Ki Sampir.

Sosok tubuh hitam yang wajahnya tertutup kain hitam itu tidak menjawab. Matanya malah menatap Nyai Sampir yang memeluk bayinya erat-erat di tepi dipan. Bola matanya nampak berkilat, melihat bayi yang mungil dan montok di dalam pelukan ibunya.

"Aku minta bayimu," tegas sosok tubuh hitam itu. Suaranya terdengar dingin dan menggetarkan. Tak ada tekanan nada. sedikit pun. Begitu datar, sehingga membuat Ki Sampir dan istrinya terhenyak, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Dan sebelum sempat ada yang menyadari, mendadak saja sosok tubuh hitam itu melompat ke arah Nyai Sampir. Kedua tangannya terulur hendak merampas bayi dalam pelukan Nyai Sampir.

"Hei...?!" seru Ki Sampir.

"Hiyaaat...!"

Ki Sampir langsung melompat cepat begitu tersadar, dan secepat itu pula dilepaskan satu pukulan keras ke arah sosok tubuh hitam itu. Namun dengan hanya meliukkan tubuhnya sedikit, pukulan Ki Sampir berhasil dielakkan. Dan kini sosok tubuh hitam itu berbalik, tidak jadi merampas bayi di dalam gendongan ibunya.

"Aku hanya ingin bayimu. Tapi kau sudah membuat kesulitan!" desis sosok hitam itu dingin.

Ki Sampir melangkah mundur beberapa tindak. Disambarnya sebatang golok yang menempel di dinding rumah ini. Seketika golok itu dikebutkan cepat sekali, sehingga saningnya terlempar ke depan. Kalau saja sosok tubuh hitam itu tidak cepat mengegoskan tubuhnya ke samping, sarung golok yang meluncur deras itu mungkin telah menghantam dadanya.

"Keluar kau dari rumahku!" bentak Ki Sampir.

Ki Sampir yang sedikit menguasai ilmu silat, sudah bisa meraba kalau sosok tubuh hitam ini pasti akan membuat malapetaka bagi keluarganya. Maka goloknya cepat dikebutkan ke depan, mengarah ke dada sosok tubuh hitam itu. Tapi dengan sedikit saja menarik tubuhnya ke belakang, orang itu berhasil mengelakkan tebasan golok Ki Sampir. Dan sebelum Ki Sampir bisa menarik pulang goloknya, dengan kecepatan yang luar biasa orang berselubung kain hitam itu memberi satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke kepala. Ki Sampir tidak sempat lagi menghindari serangan balasan yang cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Meskipun sudah berusaha, tapi tetap saja pukulan itu menghantam keras kepalanya.

Prak!

"Aaakh...!" Ki Sampir menjerit keras melengking tinggi. Laki-laki itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang retak terkena pukulan begitu keras tadi. Sebentar kemudian Ki Sampir jatuh menggelepar di tanah. Darah tampak merembes keluar dari kepalanya. Sosok tubuh hitam itu mengambil golok Ki Sampir yang tergeletak di lantai, lalu menghunjamkannya ke dada laki-laki malang ini.

Bres!

"Aaa...!"

Jeritan panjang yang menyayat, mengakhiri hidup Ki Sampir malam ini. Sebentar tubuhnya masih mampu bergerak meregang nyawa, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah semakin banyak keluar dari dada yang tertembus goloknya sendiri.

"Tolooong....'" jerit Nyai Sampir sekuat-kuatnya.

"Huh!" sosok tubuh hitam itu mendengus.

Tubuh orang itu berputar, dan cepat melompat menghampiri Nyai Sampir yang menjerit-jerit meminta tolong. Pada saat itu, terdengar suara-suara kentongan dipukul bertalu-talu saling sambut. Suara itu semakin ramai terdengar memecah kesunyian malam di Desa Jati Wengker ini.

Nyai Sampir terus menjerit-jerit sambil mempertahankan bayinya yang hendak dirampas sosok tubuh hitam itu. Maka tarik-menarik pun terjadi. Yang satu ingin merebut bayi, yang satu ingin mempertahankannya. Pertahanan Nyai Sampir membuat sosok tubuh hitam itu jadi berang. Terlebih lagi, suara kentongan semakin ramai terdengar.

"Keparat, hih...!"
Plak!
"Akh...!"

Hanya sekali saja sosok tubuh hitam itu melayangkan tamparan keras ke kepala, membuat Nyai Sampir terpekik. Dia langsung jatuh tersungkur ke lantai rumahnya. Bayi yang dipertahankannya, kini sudah berpindah tangan. Malah tangisnya semakin menggiris hati. Sebentar sosok tubuh itu menatap Nyai Sampir yang tergeletak berlumuran darah yang keluar dari kepalanya. Rupanya pukulan sosok tubuh hitam itu demikian keras, sehingga kepala Nyai Sampir retak, dan tewas seketika.

Sementara suara kentongan di luar semakin keras terdengar, dan menuju ke rumah ini. Sosok tubuh hitam itu cepat memutar tubuhnya, lalu melesat ke luar melalui pintu yang terdobrak hancur. Tapi begitu kakinya menjejak tanah diluar, beberapa orang sudah menyambutnya dengan golok terhunus di tangan.

"Bunuh maling keparat itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"

Sambil menggendong bayi yang terus menangis, sosok tubuh hitam itu berjumpalitan di udara menghindari serangan-serangan yang datang dari beberapa orang. Sementara tidak jauh, terlihat penduduk Desa Jati Wengker berlarian sambil berteriak-teriak mengacungkan parang dan obor. Tampaknya mereka menuju ke rumah Ki Sampir.

"Setan alas...!" desis sosok tubuh hitam itu ketika melihat penduduk Desa Jati Wengker berhamburan kearahnya.

Ketika sosok tubuh hitam itu menjejakkan kakinya di luar, beberapa orang sudah menyambutnya dengan golok terhunus.

"Bunuh maling keparat itu...!"

Sambil menggendong bayi yang terus menangis, sosok tubuh hitam itu terus menghalau serangan-serangan yang datang dari para penduduk. Maka dia cepat cepat melepaskan beberapa pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah beberapa orang yang menyerangnya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berlumuran darah.

Sosok tubuh hitam itu cepat melompat kabur. Tapi beberapa penduduk yang mungkin sudah begitu marah, langsung menyergap kembali. Sosok tubuh hitam itu terpaksa bergerak cepat, berlompatan sambil melontarkan pukulan-pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Jeritan-jeritan panjang melengking terdengar saling sambut. Sosok tubuh hitam itu segera melentingkan tubuh keudara, lalu hinggap di atas sebatang pohon yang tinggi.

Sedikit matanya melirik ke arah para penduduk yang terus berusaha mengejarnya. Namun, dia cepat melesat kabur dan lenyap ke dalam lebatnya pepohonan, terselimut kegelapan malam. Penduduk Desa Jati Wengker terus berusaha mengejar. Mereka semua membawa obor, membuat suasana malam yang pekat menjadi terang benderang.

Tapi sosok tubuh hitam itu benar-benar lenyap. Sementara itu dirumah Ki Sampir, seorang laki-laki setengah baya bertubuh tegap yang terselimut baju putih agak ketat, tengah termenung memandangi mayat suami istri itu. Beberapa orang masih terlihat disekitar rumah itu. Empat orang juga terlihat di dalam rumah.

"Terlalu...!" desis laki-laki setengah baya itu menggeram.

Dipandanginya empat orang yang berada di dalam rumah ini. Mereka semua rata-rata masih muda, dan di pinggang masing-masing terselip sebilah golok. Pada saat itu seorang laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua, menerobos masuk ke dalam. Dia sedikit tertegun melihat mayat Ki Sampir dan istrinya tergeletak di lantai.

"Iblis itu sudah kabur," kata laki-laki tua berjubah biru itu melaporkan. "Bagaimana mereka?" dia menunjuk kedua mayat itu.

"Sudah meninggal," sahut laki-laki setengah baya.

"Kau harus segera bertindak, Jumpana. Penculik bayi itu tidak bisa dibiarkan begitu saja," desis orang tua berjubah biru itu.

Laki-laki setengah baya yang dipanggil Jumpana, hanya terdiam saja. Kerut-kerut di wajahnya terlihat menegang, menahan kemarahan yang meluap di dalam dada. Dia adalah Kepala Desa Jati Wengker ini. Sedangkan laki-laki tua berjubah biru itu adalah pamannya. Dan empat anak muda yang bersamanya adalah para pengawal kepala desa itu.

"Tidak ada jalan lain, aku harus memberi tahu hal ini pada Eyang Wasista,"

Ki Jumpana memberi keputusan seraya menatap laki-laki tua berjubah biru yang dikenal bernama Ki Ampal. Sudah kukatakan sejak kemarin, iblis itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Memang sudah saatnya kau meminta bantuan ke Padepokan Awan Perak," tegas Ki Ampal seperti. menyesali kelambanan Kepala Desa Jati Wengker ini.

"Landira...," panggil Ki Jumpana.

"Ya, Ki," sahut seorang anak muda yang mengenakan baju merah muda.

"Kau segera pergi ke Padepokan Awan Perak. Katakan pada Eyang Wasista kalau aku membutuhkan bantuannya. Juga ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini," perintah Ki Jumpana.

"Malam ini juga, Ki?" tanya pemuda yang dipanggil Landira itu.

"Iya, cepat...!"

Landira kelihatan ragu-ragu, tapi akhirnya berangkat juga. Ki Jumpana kemudian memerintahkan pada tiga orang pengawalnya yang lain untuk membereskan mayat Ki Sampir dan istrinya. Kemudian, dia sendiri melangkah keluar dari rumah itu, diikuti oleh Ki Ampal. Sementara di luar, masih banyak penduduk yang berkerumun. Mereka memandangi Ki Jumpana dan Ki Ampal dengan wajah yang sukar dinikmati. Ki Jumpana hanya memandangi mereka sesaat, kemudian melangkah pergi. Para penduduk yang berkerumun bergegas menyingkir memberi jalan pada kepala desanya.

***

Siang itu seluruh penduduk Desa Jati Wengker diselimuti suasana berkabung. Hampir semua penduduk mengantarkan jenazah Ki Sampir dan istrinya ke tempat peristirahatan yang terakhir. Bagi keluarga yang memiliki anak bayi, tentu merasa cemas akan keselamatannya. Peristiwa semalam benar-benar telah menggemparkan seluruh Desa Jati Wengker. Setelah menguburkan jenazah Ki Sampir dan istrinya, semua orang bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing.

Suasana di Desa Jati Wengker benar-benar sunyi. Tak seorang pun terlihat berada diluar. Jalan desa yang cukup besar tampak lengang. Hanya hewan-hewan piaraan saja yang terlihat berkeliaran di jalan tanah berdebu ini. Sementara itu Ki Jumpana dan Ki Ampal duduk-duduk di beranda depan rumah. Mereka memandangi jalan yang tampak lengang, tanpa seorang pun terlihat disana. Tiga anak muda pengawal kepala desa itu, berdiri di belakang Ki Jumpana.

"Kenapa Eyang Wasista belum datang juga, Paman?" tanya Ki Jumpana seperti bertanya pada diri sendiri.

"Tunggu saja sebentar lagi," sahut Ki Ampal menyabarkan.

Baru saja Ki Jumpana bangkit dari duduknya, terdengar derap langkah kaki kuda dari kejauhan. Tak berapa lama kemudian, terlihat debu membumbung keangkasa diujung jalan. Lamat-lamat, terlihat empat ekor kuda dipacu cepat membelah jalan yang berdebu ini, Ki Jumpana bergegas melangkah keluar dari beranda rumahnya, disusul Ki Ampal dan tiga orang pemuda pengawal kepala desa itu.

Setelah cukup dekat, baru terlihat jelas keempat penunggang kuda itu. Seorang penunggang yang berada paling depan adalah Landira, utusan Ki Jumpana yang ditugaskan ke Padepokan Awan Perak. Sedangkan tiga penunggang kuda lainnya yang berada di belakang, adalah tiga orang pemuda yang cukup tampan dan tegap. Masing-masing di pinggang mereka tergantung sebilah pedang panjang yang ujung gagangnya berbentuk bulan sabit.

"Hooop...!"

Keempat penunggang kuda itu segera berlompatan turun begitu berada dekat didepan Ki Jumpana. Mereka serentak membungkuk memberi hormat. Landira bergegas menghampiri kepala desa itu, dan kembali memberi hormat.

"Mana Eyang Wasista?" Ki Jumpana langsung bertanya tidak sabar.

"Maaf, Ki. Eyang Wasista sedang berhalangan. Dan beliau mengirimkan tiga orang murid utamanya. Widura, Jambala, dan Sentaka," Landira memperkenalkan ketiga pemuda yang datang bersamanya.

Ki Jumpana memandangi ketiga anak muda yang memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya. Ki Jumpana sudah mengenal yang bernama Widura, tapi dua orang lainnya tidak dikenalnya. Mereka memang berasal dari Padepokan Awan Perak, dan merupakan murid utama Eyang Wasista.

"Mari, silakan masuk," ajak Ki Jumpana.

Semula kepala desa itu agak kecewa. Tapi setelah mengetahui kalau yang dikirim adalah Widura, kekecewaannya sedikit terkikis. Dia memang sudah melihat dan mengetahui kemampuan yang dimiliki Widura. Meskipun masih berusia sekitar dua puluh lima tahun, tapi Widura sudah memiliki kepandaian tinggi. Malah boleh dikatakan sukar dicari tandingannya disekitar Desa Jati Wengker.

Mereka semua kemudian masuk ke dalam rumah Ki Jumpana yang cukup besar ini. Mereka duduk di depan, melingkari sebuah meja bundar yang cukup besar. Ki Jumpana sendiri duduk didampingi pamannya, Ki Ampal. Landira dan ketiga pengawal lainnya berdiri di belakang kepala desa itu. Sedangkan di depan Ki Jumpana, duduk Widura, Jambala, dan Sentaka.

Pada saat itu keluar seorang gadis berwajah cukup cantik mengenakan baju merah muda yang agak ketat, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan gempal. Dia membawa sebuah baki perak, berisi cawan perak dan tiga buah guci arak. Diletakkannya minuman itu diatas meja, dan diisinya cawan-cawan itu dengan arak yang menyebarkan bau harum mengundang selera.

"Silakan," ucap gadis itu lembut, sambil menghiasl bibirnya dengan senyum manis.

"Terima kasih," ucap Widura juga memberi senyum cukup manis pula.

Mereka kemudian menikmati arak yang disediakan tadi. Ki Jumpana memperkenalkan gadis itu, yang ternyata memang putrinya. Namanya Kinanti. Widura sempat melirik ke arah Kinanti, yang pada saat itu juga melirik ke arahnya. Entah kenapa, wajah Kinanti seketika berubah memerah. Cepat-cepat kepalanya tertunduk menyembunyikan rona merah diwajahnya.

"Aku ke belakang dulu, Ayah," pamit Kinanti.

Tanpa menunggu jawaban ayahnya, Kinanti bergegas meninggaikan ruangan depan ini. Sebentar Widura masih sempat memandangi, sampai gadis itu lenyap dibalik pintu. Kemudian pandangannya cepat dialihkan, saat mendengar batuk kecil dari Ki Jumpana.

"Kalian pasti sudah tahu, apa yang sedang terjadi di desa ini," kata Ki Jumpana membuka pembicaraan.

"Kakang Landira sudah bercerita cukup banyak di perjalanan, Ki," jelas Widura dengan sikap sopan.

"Kalau begitu, aku tidak perlu lagi bercerita banyak," ujar Ki Jumpana.

"Hanya ada satu pertanyaan, Ki," pinta Widura.

"Katakan," sahut Ki Jumpana.

"Apakah peristiwa ini sudah pernah terjadi sebelumnya di sini?" tanya Widura.

"Sejak aku menjadi Kepala Desa Jati Wengker ini, belum pernah terjadi suatu peristiwa yang sampai menimbulkan korban jiwa. Dan ini peristiwa pertama yang dialami penduduk Desa Jati Wengker," jelas Ki Jumpana.

"Lalu, apa saja yang diambilnya, Ki?" tanya Widura lagi.

"Anak bayi," sahut Ki Jumpana.

"Bayi...?" Widura mengerutkan keningnya.

"Tidak ada harta sedikit pun...?"

"Tidak. Hanya bayi yang diambil iblis itu. Aku sendiri tidak tahu, untuk apa bayi yang baru berumur beberapa bulan diculiknya. Dan peristiwa semalam, orang itu sempat membunuh dua suami istri sebelum mengambil bayinya. Malah beberapa penduduk yang mencoba menangkap, juga ada yang tewas. Bahkan tidak sedikit yang terluka parah."

"Hm.... Tampaknya orang itu memiliki kepandaian tinggi juga. Dan yang pasti, perbuatannya itu memiliki tujuan," agak bergumam nada suara Widura.

"Kau tahu, kenapa dia menculik bayi?"

"Hanya ada dua kemungkinan, Kakang Widura," sahut Jambala.

"Apa?"

"Untuk dirinya sendiri, atau untuk orang lain."

"Maksudmu?"

Jambala tidak segera menjawab. Pandangannya segera beredar merayapi wajah-wajah yang ada di ruangan ini. Mereka semua mengharapkan penjelasan dari Jambala, yang tampaknya mengerti persoalan seperti ini.

***
DUA
"Pertama, orang itu menculik untuk dirinya sendiri. Entah untuk bersekutu dengan iblis, atau untuk kesempurnaan ilmu yang sedang dituntutnya," jelas Jambala.

"Lalu yang kedua?" tanya Ki Jumpana tidak sabar ingin tahu.

"Untuk orang lain," sahut Jambala.

"Maksudmu?"

"Orang yang menyuruhnya menggunakan bayi itu untuk menuntut ilmu hitam, atau untuk membangkitkan orang mati. Memang aku pemah mendengar adanya ilmu yang dengan perantara darah dari bayi-bayi, bisa membangkitkan orang mati," kembali Jambala menjelaskan.

"Ohhh...," desah Ki Jumpana panjang.

Sungguh tidak diduga kalau persoalan penculikan bayi ini akan melibatkan orang-orang berkepandaian tinggi, yang tidak mungkin bisa dihadapinya. Terlebih lagi untuk ukuran penduduk Desa Jati Wengker, yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun juga.

Penjelasan Jambala memang bisa membuat semua orang menjadi resah. Tapi memang itulah kenyataan yang sedang dihadapi sekarang ini. Lagi pula, untuk apa orang berpakaian serba hitam itu menculik bayi...? Bahkan sekarang ini sudah mulai menggunakan kekerasan, dan sudah menimbulkan begitu banyak korban jiwa.

"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" desah Ki Jumpana seperti mengeluh.

"Kita atur penjagaan di setiap sudut desa, Ki. Kumpulkan pemuda-pemuda yang memiliki kepandaian silat, meskipun hanya sedikit. Pokoknya semua orang didesa ini bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri dan semua orang di desa ini. Terutama, kaum laki-lakinya," Widura langsung memberi saran.

"Tidak banyak pemuda di desa ini yang mengerti ilmu silat, Widura," jelas Ki Jumpana, tentang keadaan desanya yang memang sangat lemah di dalam pertahanan.

"Paling tidak, kita buat beberapa pos penjagaan di luar batas desa yang sering dilalui orang," saran Widura lagi.

"Benar, Ki. Penjagaan dapat diatur secara bergilir. Katakanlah, kita membuat pagar betis, dan mewaspadai siapa saja yang masuk ke desa ini," sambung Sentaka yang sejak tadi diam saja.

"Baiklah. Aku serahkan semua ini padamu, Widura," Ki Jumpana menyetujui usul murid utama Padepokan Awan Perak itu.

Meskipun dicekam ketakutan yang amat sangat, tapi penduduk Desa Jati Wengker bersedia mengadu nyawa dalam menghadapi manusia iblis penculik bayi itu. Dan begitu mendengar kalau ketiga murid utama Padepokan Awan Perak membutuhkan tenaga untuk penjagaan keamanan, tanpa disuruh lagi mereka segera mendaftarkan diri. Bukan hanya para pemuda, tapi juga orang-orang tua ikut serta dalam barisan keamanan desa.

Hal ini membuat Ki Jumpana terharu atas kesetiaan warga desanya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, dia turun langsung dalam pembuatan pos penjagaan dibeberapa tempat di pinggiran desa, yang memang sering dilalui orang-orang keluar masuk desa ini. Mereka juga membuat pos penjagaan di beberapa tempat yang dianggap tepat untuk mendirikan pos penjagaan.

Malam itu suasana di Desa Jati Wengker terlihat lain dari biasanya. Di beberapa sudut desa, terlihat obor menyala terang dari pos-pos penjagaan yang dibuat penduduk bersama ketiga murid Padepokan Awan Perak. Setiap pos penjagaan berisi paling tidak, tiga atau empat orang yang memegang senjata apa saja yang bisa digunakan.

"Kau yakin dengan begini bisa mengatasi keadaan, Kakang Widura?" tanya Sentaka.

Saat itu ketiga murid Padepokan Awan Perak tengah berkeliling Desa Jati Wengker. Mereka mengadakan perondaan untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi setiap saat, meskipun seluruh Desa Jati Wengker tampaknya dalam penjagaan yang ketat malam ini.

"Kita lihat saja. Ini baru permulaan," sahut Widura kalem.

Tapi mendadak saja ayunan langkah mereka terhenti ketika terdengar teriakan panjang melengking tinggi. Sebentar ketiga murid Padepokan Awan Perak itu saling melemparkan pandangan, kemudian serentak berlompatan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menuju sumber teriakan tadi. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di depan sebuah rumah yang dikerumuni orang-orang. Nyala api obor menerangi sekitarnya. Mereka yang berkerumun, segera menyingkir begitu melihat kedatangan ketiga murid Padepokan Awan Perak itu.

"Ada apa ini...?" tanya Widura seraya menerobos masuk dari pintu yang hancur berantakan.

Di dalam rumah, terlihat dua mayat tergeletak di lantai. Di dekat mayat-mayat itu tampak seorang wanita tengah terduduk sambil menangis menggerung-gerung. Widura bergegas menghampirinya. Darah mengucur dari bahu kanan wanita itu, seperti tersabet senjata tajam. Pada saat itu, Ki Jumpana menerobos masuk diikuti Ki Ampal dan Kinanti.

"Ki... Tolong, Ki. Dia menculik bayiku...," rintih wanita itu begitu melihat Ki Jumpana.

Wanita itu langsung menubruk Ki Jumpana, dan menangis sesenggukan sambil memeluk kaki kepala desanya. Ki Jumpana membangunkannya perlahan-lahan, lalu menyerahkan wanita itu pada Kinanti Putri kepala desa itu kemudian membawanya duduk di balai-balai bambu yang hampir berantakan.

"Kita kecolongan, Widura," desah Ki Jumpana seraya menatap Widura.

Murid Padepokan Awan Perak hanya terdiam saja merayapi dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi. Darah masih mengucur menggenangi lantai. Malam ini mereka benar-benar kecolongan. Korban sudah jatuh lagi, meskipun penjagaan begitu ketat.

"Apa tidak ada yang melihat kedatangannya?" tanya Ki Ampal.

Tak seorang pun yang menjawab. Mereka yang bertugas jaga memang sama sekali tidak melihat kedatangan penculik bayi itu. Semua peronda langsung berdatangan begitu mendengar jeritan, tapi keadaan di rumah ini sudah berantakan. Bahkan sudah tergeletak dua mayat.

Peristiwa semalam membuat Widura jadi lebih senang menyendiri. Hal ini merupakan pukulan berat bagi dirinya. Dia tidak tahu lagi, harus berbuat apa untuk mengatasi keadaan yang jelas semakin memburuk. Meskipun semua laki-laki di Desa Jati Wengker ini masih tetap meronda, tapi peristiwa penculikan bayi itu tetap saja berlangsung. Bahkan sudah tiga malam ini kejadian itu terulang, tanpa ada seorang pun yang berhasil memergokinya.

Mereka yang sempat hidup, hanya mengatakan kalau penculik itu mengenakan baju serba hitam. Tak ada seorang pun yang bisa mengenali wajahnya yang terselubung kain hitam. Hal ini membuat Widura harus memeras otak untuk menghentikan penculikan bayi itu.

"Kakang...."

Widura berpaling ketika mendengar sapaan lembut dari belakang. Tampak Kinanti sudah berdiri dekat dibelakangnya. Sungguh tidak diketahuinya kalau gadis ini sudah di dekatnya. Pikirannya memang tadi tengah melayang, sehingga tidak mengetahui kedatangan Kinanti. Widura menggeser duduknya, memberi tempat pada putri kepala desa itu. Namun Kinanti malah duduk di depan pemuda murid Padepokan Awan Perak ini.

"Sejak pagi tadi, kau kuperhatikan tidak beranjak dari sini," kata Kinanti.

"Aku memikirkan keadaan yang semakin memburuk," ujar Widura seraya menghembuskan napas panjang.

"Bukan hanya kau saja, Kakang Widura. Semua orang juga resah. Iblis penculik bayi itu benar-benar cerdik," timpal Kinanti.

Pada saat itu Jambala datang menghampiri tergopoh-gopoh. Widura segera bangkit dan menunggu sampai Jambala dekat.

"Ada apa, Jambala?" tanya Widura.

"Kau ditunggu Ki Jumpana. Ada utusan dari Desa Gadak Arum," sahut Jambala memberi tahu.

"Ada apa mereka datang ke sini...?" tanya Widura seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu. Sebaiknya, segeralah temui mereka," sahut Jambala.

Widura bergegas melangkah tanpa bicara lagi, sedangkan Jambala dan Kinanti mengikuti dari belakang. Mereka kini berjalan cepat menuju rumah Kepala Desa Jati Wengker. Beberapa orang terlihat di depan rumah. Juga ada sekitar dua puluh kuda yang berjajar di bawah pohon waru. Widura langsung menerobos masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu. Di dalamnya, sudah menunggu Ki Jumpana yang selalu didampingi Ki Ampal. Ada enam orang duduk di seberang meja kepala desa itu. Ki Jumpana langsung memperkenalkan Widura pada empat orang utusan dari Desa Gadak Arum. Widura menganggukkan kepala, kemudian duduk di samping Sentaka.

"Mereka datang untuk meminta si lblis Seribu Nyawa...," kata Ki Jumpana langsung memberi tahu maksud kedatangan utusan dari Desa Gadak Arum itu.

"Iblis Seribu Nyawa...? Siapa dia?" tanya Widura.

"Itulah yang tidak kumengerti, Widura. Mereka menyangka kalau si Iblis Seribu Nyawa tinggal di desa ini," kata Ki Jumpana, agak mendesah suaranya.

Widura memandangi empat orang laki-laki dari Desa Gadak Arum. Dia tahu, Desa Gadak Arum cukup jauh letaknya dari Desa Jati Wengker ini. Mereka harus melewati Hutan Alas Waru yang jarang sekali dilalui orang.

"Maaf. Kenapa saudara-saudara menyangka kalau desa ini menjadi tempat tinggal si..., siapa tadi namanya?" tanya Widura pada laki-laki bertubuh kekar dan berkumis tebal melintang, yang duduk tepat di depannya.

"Iblis Seribu Nyawa," sahut laki-laki kekar itu. Tadi Ki Jumpana memperkenalkan namanya adalah Jongkor.

"Ya.... Kenapa saudara-saudara menyangka kalau si Iblis Seribu Nyawa tinggal di sini?" Widura mengulangi pertanyaannya.

"Sudah lama kami mengejar iblis itu. Dan kami dengar, iblis itu sekarang berada di sini...," jelas Jongkor.

"Begini, Saudara Jongkor. Saat ini kami juga tengah menghadapi malapetaka besar. Hampir setiap malam kami kehilangan anak-anak bayi...."

"Apa...?!" Jongkor terbeliak, sebelum Widura menyelesaikan kalimatnya.

"Kenapa terkejut, Saudara Jongkor?" tanya Widura.

"Tunggu dulu...," ujar Jongkor. "Jadi kalian juga sedang berhadapan dengan iblis itu...?"

Kini ganti Widura dan Ki Jumpana yang terkejut. Mereka semua jadi terdiam dan saling pandang. Tanpa diduga sama sekali, ternyata utusan dari Desa Gadak Arum ini juga berurusan dengan si penculik bayi yang selama beberapa hari ini membuat keresahan di Desa Jati Wengker.

"Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi, Kakang Jumpana?" Jongkor tampak menyesalkan Ki Jumpana yang tidak mengatakan hal itu sejak tadi, dan malah menunggu kedatangan Widura.

"Aku ingin mengatakannya, tapi kau selalu saja mendesakku untuk menyerahkan iblis itu. Mana sempat semuanya kujelaskan padamu...?" dengus Ki Jumpana tidak terima disalahkan.

"Maaf. Masalahnya, Iblis itu sudah mengambil lebih dari dua puluh bayi didesaku," jelas Ki Jongkor yang ternyata memangku jabatan kepala desa juga di Desa Gadak Arum.

"Dua puluh bayi...?!" Ki Jumpana terbeliak mendengarnya.

"Benar! Dan entah berapa nyawa lagi yang akan melayang. Tapi, beberapa hari ini dia tidak muncul. Dan baru dua hari yang lalu kudengar kalau iblis keparat itu ada di sini. Bahkan beberapa desa yang juga bernasib sama dengan Desa Gadak Arum, sudah tahu kalau si Iblis Seribu Nyawa selalu masuk ke desa ini setelah melakukan penculikan terhadap bayi-bayi berumur beberapa bulan," jelas Ki Jongkor, singkat dan jelas.

"Ooo.... Jadi kau menyangka kalau Iblis itu salah seorang warga desaku...?" terdengar agak sumbang nada suara Ki Jumpana.

"Semula kuduga begitu. Maaf, aku tidak tahu kalau di desa ini juga mengalami hal yang sama," ucap Ki Jongkor.

"Ah, sudahlah.... Aku sedang mengalami musibah besar, dan tolong jangan menambah-nambahi lagi," desah Ki Jumpana.

"Kalau begitu, kami mohon diri. Maaf telah mengganggu ketenanganmu, Kakang Jumpana," ucap Ki Jongkor seraya bangkit berdiri.

"Tunggu dulu...!" cegah Widura.

Ki Jongkor tidak jadi melangkah keluar dari ruangan ini.

"Apa kau tidak ingin menangkap si Iblis Seribu Nyawa itu?" tanya Widura.

"Sudah terlalu banyak aku kehilangan orang, hanya untuk menangkap iblis itu. Bagiku sekarang, yang terbaik adalah memperkuat keamanan desa sendiri. Iblis itu akan pergi kalau bayi-bayi disini sudah habis. Dia pasti akan muncul bila mencium bau darah bayi," jelas Ki Jongkor.

Setelah berkata demikian, Kepala Desa Gadak Arum itu beranjak pergi diikuti pengawal-pengawalnya. Ki Jumpana bergegas mengikuti dan berdiri di ambang pintu mmahnya. Saat itu Ki Jongkor sudah berada di punggung kudanya. Ada sekitar dua puluh orang yang ikut bersamanya. Setelah memberi salam penghormatan, Ki Jongkor cepat menggebah kudanya meninggalkan rumah kepala desa itu.

"Setan! Tingkahnya dari dulu tidak pernah berubah!" rutuk Ki Jumpana.

"Tetap saja dia mementingkan diri sendiri, tanpa mempedulikan kesulitan orang lain," sambung Ki Ampal juga mendengus.

Sementara itu Widura, Sentaka, dan Jambala masih tetap duduk menghadap meja besar di ruangan depan yang cukup luas. Mereka saling berpandangan satu sama lainnya, kemudian sama-sama beranjak pergi, dan keluar dari pintu lain.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang Widura?" tanya Jambala setelah mereka berada di luar rumah Ki Jumpana.

"Iblis Seribu Nyawa.... Hm..., sepertinya nama itu pernah kudengar," gumam Widura perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Kau benar, Kakang. Kita memang pernah mendengarnya sama-sama dari Eyang Wasista," tegas Sentaka yang lebih pendiam dan tidak banyak bicara.

"Ya...! Aku ingat sekarang...!" sentak Widura seperti baru terbangun dari ingatannya.

"Tapi apa mungkin dia orangnya, Kakang? Bukankah Eyang Wasista pernah cerita kalau si Iblis Seribu Nyawa sudah tewas," sergah Jambala.

"Memang rasanya tidak mungkin, Kakang," sambut Sentaka.

"Apa kalian tidak mendengar kata-kata Ki Jongkor tadi...?" ujar Widura.

"Dia mengatakan kalau perusuh itu bernama Iblis Seribu Nyawa."

"Tapi kita belum membuktikan kebenarannya, Kakang. Mungkin dia hanya mengada-ada saja menyebut nama itu," kilah Jambala lagi.

"Aku rasa, sudah waktunya kita memberitahukan hal ini pada Eyang Wasista," ujar Widura agak menggumam.

"Apa itu sudah perlu, Kakang?" tanya Sentaka.

"Benar, Kakang Widura. Sebaiknya diseliki dulu kebenaran cerita Ki Jongkor tadi. Siapa tahu bukan si Iblis Seribu Nyawa, tapi orang lain yang menggunakan nama itu hanya untuk menakut-nakuti saja," Jambala membenarkan pendapat Sentaka.

"Dari mana kita mulai menyelidikinya? Sedangkan, sampai saat ini belum ada yang melihat wujud si penculik bayi itu," tanya Widura.

"Kenapa tidak dimulai dari Hutan Alas Waru saja, Kakang?" usul Sentaka.

"Benar, Kakang. Ki Jongkor bilang, si Iblis Seribu Nyawa selalu menghilang di Hutan Alas Waru yang menuju Desa Jati Wengker ini. Dugaanku, dia bersembunyi tidak jauh dari desa ini," selak Jambala.

Widura mengangguk-anggukkan kepala. "Kita tidak perlu ke sana. Lebih baik, malam ini tunggu dia di perbatasan dekat Hutan Alas Waru," ujar Widura.

"Kalau memang benar dia datang dari sana, siangnya kita geledah seluruh hutan itu." Sentaka dan Jambala tersenyum.

Paling tidak, dengan kedatangan Ki Jongkor, sekarang mereka mempunyai gambaran untuk bertemu si perusuh itu. Dan ketiga murid Padepokan Awan Perak ini bersepakat untuk menunggu si penculik bayi itu di dekat perbatasan Hutan Alas Waru dan Desa Jati Wengker.

Seperti yang sudah direncanakan, Widura dan kedua adik seperguruannya sudah berada di perbatasan Desa Jati Wengker dan Hutan Alas Waru. Mereka sudah berada di sana pada saat matahari tenggelam. Ada dua pos penjagaan tidak jauh dari perbatasan ini, dan terlihat sekitar enam orang berjaga-jaga di sana. Sementara malam terus merayap semakin larut. Ketiga murid Padepokan Awan Perak itu menanti dengan perasaan tegang dan mencekam. Mereka menunggu munculnya orang yang selama ini mengacau beberapa desa di sekitar Hutan Alas Waru. Sosok yang belum dikenal, tapi sudah menimbulkan begitu banyak korban.

"Kau yakin malam ini iblis itu akan muncul, Kakang?" tanya Sentaka, agak berbisik suaranya.

"Mudah-mudahan saja dia muncul," sahut Widura.

"Tapi bisa saja dia muncul dari arah lain," sergah Sentaka lagi.

"Ssst...! Dengar...," desis Jambala.

Sentaka dan Widura terdiam. Mereka memasang telinga tajam-tajam. Sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi. Begitu jauh, seakan-akan berada diseberang Hutan Alas Waru ini. Ketiga murid dari Padepokan Awan Perak itu saling berpandangan. Kemudian mereka cepat keluar dari tempat persembunyian ketika tangis bayi itu semakin keras terdengar, dan berasal dari Desa Jati Wengker.

Pada saat itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat melintasi dua pos penjagaan. Enam orang yang berada didalam pos penjagaan itu tampak terkejut, dan langsung berhamburan keluar untuk mengejar bayangan hitam yang berlari cepat ke arah Hutan Alas Waru.

"Itu dia...!" seru Widura.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"

Ketiga murid Padepokan Awan Perak itu berlompatan cepat menuju ke arah sosok hitam yang berlari cepat sambil membawa sesuatu dalam pelukannya. Begitu cepatnya ketiga pemuda itu berlompatan, sehingga berhasil mengejar dan menghadang sosok tubuh hitam itu.

"Berhenti...!" sentak Widura lantang. Sosok tubuh hitam itu seketika menghentikan larinya. Widura dan kedua adik seperguruannya sempat tertegun, karena wajah orang itu tidak dapat dikenali. Seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam yang pekat. Hanya dua lubang kecil saja terlihat di matanya.

"Phuih! Rupanya kalian murid si jahanam Wasista!" desis orang berbaju serba hitam itu dingin menggetarkan.

"Sudah..., jangan banyak omong.

Serang saja iblis keparat itu, Kakang Widura," sergah Jambala yang memang sudah tidak sabar lagi.

"Hiyaaat...!"

Jambala langsung melompat sambil memberi satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun sosok tubuh hitam itu berhasil mengelakkan serangan dengan meliukkan tubuhnya ke kanan. Dan dengan cepat sekali tubuhnya berputar, lalu memberi satu tendangan keras luar biasa.

"Hait!"

Jambala cepat melentingkan tubuhnya dan langsung berputar ke belakang, menghindari tendangan sosok tubuh hitam itu. Pada saat yang sama, Sentaka sudah melompat cepat menyerang. Pedangnya langsung dicabut, dan dikibaskan ke arah kepala orang itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang itu berputar dan memasang dadanya.

"Heh...!" Sentaka terkejut setengah mati.

Cepat-cepat serangannya ditarik kembali, karena di depan dada orang berbaju serba hitam itu terpeluk sosok bayi yang terselimut kain tebal. Dan pada saat yang tepat, sosok tubuh hitam itu melepaskan satu tendangan ke arah Sentaka. Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat lagi dihindari lagi.

Des!

"Akh!" Sentaka terpekik agak tertahan.

Tubuh pemuda itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang, namun cepat memutar tubuhnya. Kakinya berhasil dijejakkan di tanah, meskipun agak terhuyung. Sentaka merasakan dadanya jadi sesak, akibat tendangan orang itu.

"Hiyaaat...!"

Kali ini Jambala melakukan serangan kilat. Pedangnya yang tergantung dipinggang dikeluarkan. Seketika pedang itu cepat dikebutkan ke arah kaki sosok tubuh hitam dari arah samping kanan. Dan sosok tubuh hitam itu hanya mengangkat kaki kanannya saja, membuat tebasan padang Jambala berada di bawah telapak kaki, orang berbaju serba hitam itu cepat menurunkan kakinya. Langsung dijejaknya pedang itu hingga ke tanah.

"Hih...!"

Jambala mencoba menarik pedangnya. Pada saat yang sama, orang berbaju hitam itu mengangkat kakinya, langsungdiberikannya satu tendangan keras yang tepat menghantam dada Jambala.

Diegkh!

"Akh...!" Jambala terpekik keras. Murid Padepokan Awan Perak itu terpental ke belakang sejauh satu batang tombak. Jambala jatuh bergulingan di tanah beberapa kali, dan cepat melompat bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang terasa begitu sesak.

"Kalian belum cukup melawanku! Suruh si Wasista ke sini...!" dengus orang itu dingin.

"Kau sudah berani menghina guruku, Iblis...!" desis Widura yang sejak tadi tidak melakukan serangan.

Sosok hitam itu memutar tubuhnya, langsung menatap tajam Widura. Sedangkan Widura sendiri menatap tidak kalah tajamnya. Beberapa saat mereka saling berhadapan dan bertatapan tajam, seakan akan sedang mengukur kepandaian masing-masing.

Sret!

Widura langsung mencabut pedangnya. Sudah bisa diketahui kalau orang yang dihadapinya ini berkepandaian tinggi. Ini terbukti dari caranya menjatuhkan Jambala dan Sentaka dengan mudah sekali. Meskipun kedua adik seperguruannya tidak mengalami luka yang berarti, tapi sudah membuat Widura harus berhati-hati menghadapinya.

"Kalian akan menyesal karena berani berurusan dengan Iblis Seribu Nyawa...!" desis orang berbaju serba hitam itu.

"Kau yang akan menyesali malam naasmu saat ini, Iblis Keparat..!" desis Widura tidak kalah dinginnya.

"Hap!"

Sosok tubuh hitam yang menamakan dirinya Iblis Seribu Nyawa itu, segera mengebutkan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya tetap memeluk bayi yang kini sudah diam, karena jalan darahnya diberi totokan lunak agar tidak terus menangis.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Widura cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, dia meluruk deras sambil cepat memutar pedangnya. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Iblis Seribu Nyawa, pedangnya langsung dikebutkan ke arah perut orang berbaju serba hitam itu.

Bet!

"Uts!"

***
TIGA
Hanya sedikit saja Iblis Seribu Nyawa menarik kakinya ke belakang, maka tebasan pedang Widura berhasil dielakkannya. Lalu kakinya cepat diangkat Langsung diberikannya satu tendangan berputar yang cepat dan dahsyat. Widura bergegas melompat ke belakang. Dan begitu tendangan itu lewat, kembali tubuhnya melesat sambil menusukkan pedangnya.

"Hiyaaat...!"
Bet!
"Hap!"

Manis sekali Iblis Seribu Nyawa menarik tubuhnya ke kanan, sehingga pedang Widura lewat sedikit di samping tubuhnya. Pada saat itu, dilepaskannya satu sodokan keras ke arah perut. Namun dengan cepat Widura menghentakkan tangan kirinya, menangkis sodokan orang berbaju serba hitam itu.

Plak!

Satu benturan tangan tak dapat dihindari lagi. Widura cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Mulutnya meringis, karena tangannya seperti tersengat jutaan lebah ketika berbenturan tadi.

"Hap!"

Widura cepat mengebutkan pedangnya ke depan, ketika Iblis Seribu Nyawa sudah memberi satu pukulan lagi dengan tangan kanan. Kebutan pedang Widura membuat orang berbaju serba hitam itu terpaksa menarik pulang serangannya. Saat yang bersamaan, Jambala dan Sentaka berbarengan berlompatan menyerang. Pedang mereka berkelebatan cepat mencecar manusia berpakaian serba hitam itu.

Sementara dari arah Desa Jati Wengker, terlihat orang-orang berlarian menuju ke arah pertarungan itu. Cahaya obor seakan-akan hendak merubah suasana malam yang pekat ini menjadi terang benderang. Suara kentongan pun terdengar dipukul bertalu-talu saling sambut dan saling susul. Maka malam yang semula sunyi, kini jadi ramai. Bahkan juga ditingkahi teriakan-teriakan penduduk Desa Jati Wengker yang berdatangan menghampiri pertarungan ketiga murid Padepokan Awan Perak itu melawan si Iblis Seribu Nyawa.

"Kepung...! Dia jangan diberi kesempatan kabur...!" terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah.

Tampak Ki Jumpana mengatur warga desanya untuk mengepung tempat itu. Sementara pertarungan antara ketiga murid Padepokan Awan Perak melawan si Iblis Seribu Nyawa terus berlangsung sengit. Melihat sekitar tempat itu sudah terkepung puluhan penduduk Desa Jati Wengker, manusia serba hitam itu jadi kelabakan juga.

"Sial...!" rutuknya sengit.

Keadaan yang tidak menguntungkan ini membuat Iblis Seribu Nyawa jadi geram. Tapi justru hal itu membuatnya kurang waspada. Akibatnya satu pukulan yang dilepaskan Widura tidak dapat dihindari lagi, telak menghantam dadanya. Dia terhuyung-huyung ke belakang. Dan sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali harus menerima satu tendangan keras dari Jambala.

"Hiyaaa...!"

Sentaka tidak mau ketinggalan. Dengan cepat dia menerjang. Pedangnya kontan dibabatkan ke punggung orang itu. Sabetan pedang Sentaka yang begitu cepat, tak dapat dihindari lagi. Meskipun sudah berusaha menghindar, namun pedang itu telak menghantam punggung lawan.

Bret!

"Akh...!"

Si penculik bayi itu terhuyung-huyung kedepan. Darah sudah mengucur deras dari punggungnya. Namun cepat dia menguasai diri. Tubuhnya cepat mengegos ketika Jambala sudah melontarkan satu pukulan keras. Pukulan Jambala yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam, sayangnya tak mengenai sasaran. Bahkan si Iblis Seribu Nyawa berhasil memasukkan satu sodokan ke arah perut Jambala

"Hugkh!" Jambala mengeluh pendek.

Pemuda itu terbungkuk sambil memegangi perutnya. Pada saat itu, si Iblis Seribu Nyawa memberi satu pukulan keras dengan tangan kirinya ke wajah Jambala. Akibatnya murid Padepokan Awan Perak itu terpekik keras, dan terpental ke belakang.

"Hiyaaa...!"

Mendapat kesempatan yang sedikit ini, orang berbaju serba hitam itu cepat melompat kabur. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang tinggi sekali, sehingga berhasil melewati beberapa kepala orang yang mengepung tempat ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berlari cepat masuk ke dalam hutan.

"Kejar...! Jangan biarkan lolos!" teriak Ki Jumpana memberi perintah.

Penduduk Desa Jati Wengker yang mengepung tempat itu, seketika berhamburan mengejar. Tapi begitu melihat si Iblis Seribu Nyawa masuk ke dalam hutan, mereka menghentikan pengejarannya. Tak ada seorang pun yang berani masuk ke dalam hutan yang terkenal angker itu.

Widura menghampiri Jambala yang terkapar di tanah. Dan sebelum Widura sempat menyentuh tubuhnya, Jambala sudah bangkit berdiri sambil memegangi perut. Sentaka menghampiri saudara seperguruannya itu. Juga, Ki Jumpana dan Ki Ampal.

"Kau terluka, Jambala?" tanya Widura.

"Sedikit," sahut Jambala seraya meringis.

"Dia berhasil menculik satu bayi lagi," jelas Ki Jumpana.

"Kami akan segera mengejamya, Ki. Dia sudah terluka cukup parah," kata Widura.

"Bagaimana dengan Jambala? Kelihatannya dia mengalami luka juga," tanya Ki Jumpana seraya memandangi Jambala.

"Aku tidak apa-apa, Ki. Ini biasa," sahut Jambala.

"Kau masih bisa jalan, Jambala?" tanya Widura sedikit khawatir juga.

"Lari pun aku sanggup," sahut Jambala.

"Bagus. Ayo berangkat, selagi dia belum pergi jauh," ajak Widura.

"Kami pergi dulu, Ki," pamit Sentaka.

"Salam untuk Kinanti," seloroh Jambala.

"Kunyuk, kau...! Masih bisa bergurau juga," rungut Widura seraya menepuk pundak adik seperguruannya.

Jambala hanya meringis saja. Kemudian, ketiga murid Padepokan Awan Perak itu bergerak masuk ke dalam Hutan Alas Waru. Ki Jumpana dan semua penduduk Desa Jati Wengker yang berada diperbatasan, hanya memandangi sampai ketiga pemuda itu hilang ditelan lebatnya hutan.

"Apa mungkin mereka bisa kembali...?" tanya Ki Ampal seperti untuk dirinya sendiri.

"Mudah-mudahan saja mereka selamat," ujar Ki Jumpana.

Kepala desa itu memerintahkan warganya untuk kembali ke rumah masing-masing. Sedangkan yang bertugas jaga malam, kembali ke pos masing-masing. Memang tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Dan tak seorang pun yang mau menanggung akibat bila harus menembus Hutan Alas Waru pada malam hari begini. Terlebih lagi, mereka juga melihat sendiri kalau si Iblis Seribu Nyawa yang telah menculik bayi-bayi dan membunuh beberapa penduduk, masuk ke dalam hutan itu. Dan memang sejak kedatangan Ki Jongkor, Hutan Alas Waru jadi semakin angker bagi seluruh penduduk Desa Jati Wengker.

Mereka semua kini sudah tahu kalau di dalam hutan itulah tempat tinggal si Iblis Seribu Nyawa. Sosok yang selama ini sangat ditakuti, dan dibenci. Ki Jumpana menghentikan ayunan kakinya saat melihat Kinanti berlari-lari menghampiri. Ki Ampal juga ikut berhenti melangkah, dibarengi empat orang pengawal yang selalu mendampingi ke mana saja Ki Jumpana pergi. Kinanti mengatur napasnya sebentar begitu berada di depan ayahnya.

"Kenapa kau ke sini, Kinanti?" tegur Ki Jumpana.

"Kudengar, dia muncul lagi. Benar, Ayah...?" tanya Kinanti masih dengan napas agak tersengal.

"Benar," Ki Ampal yang menyahuti.

"Lalu, ke mana Kakang Widura?" tanya Kinanti lagi.

"Mengejar ke dalam hutan, bersama Jambala dan Sentaka," sahut Ki Jumpana memberi tahu.

"Ayah membiarkan saja...?"

Tersirat kecemasan di wajah gadis ini. Ki Jumpana tersenyum, lalu menghampiri anak gadisnya ini dan mengajaknya melangkah. Laki-laki setengah baya itu melingkarkan tangannya di pundak Kinanti.

"Rupanya kau sudah besar, Kinanti," kata Ki Jumpana tidak terlepas dari senyumnya.

"Ayah...," Kinanti jadi manja.

Wajah gadis itu menyemburat merah menahan malu. Ki Jumpana tahu, ada perubahan pada diri anak gadisnya sejak kedatangan Widura ke desa ini. Bahkan beberapa kali Kinanti kelihatan bicara berdua saja bersama murid utama Padepokan Awan Perak itu. Sebagai orang tua, Ki Jumpana sudah bisa mengerti, dan tidak keberatan sama sekali.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Beberapa orang masih terlihat bergerombol. Bahkan setiap rumah telah diterangi pelita atau obor. Maka suasana di desa itu kini jadi terang benderang, seperti sedang mengadakan pesta panen. Hampir semua laki-laki didesa ini berada di luar rumah, membawa senjata yang bisa digunakan. Keadaan diDesa Jati Wengker ini seperti dalam keadaan perang saja. Di mana-mana terlihat orang membawa senjata dari berbagai bentuk dan jenis.

"Sampai kapan keadaan ini akan berlangsung...?" desah Ki Jumpana dalam hati.

***

Sementara itu di dalam Hutan Alas Waru, sesosok tubuh hitam berlari-lari sambil memeluk seorang bayi berusia beberapa bulan dalam dadanya. Bayi itu seperti tertidur lelap. Sosok tubuh itu agak terseok-seok, dan terus berlari. Tidak dihiraukannya lagi darah yang bercucuran keluar dari punggungnya. Dia terus berlari menuju sebuah pondok kecil yang hanya diterangi sebuah lentera di bagian beranda depan.

"Uhk...!" dia mengeluh begitu sampai di depan pondok. Dengan tangan agak bergetaran, sosok itu mengetuk pintu pondok yang tertutup rapat Berkali-kali pintu itu diketuk. Tak berapa lama kemudian, pintu terbuka. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun, muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia tampak terkejut melihat sosok tubuh hitam yang berada di depan pintunya.

"Karmapati.... Kenapa kau...?"

Sosok tubuh hitam itu tidak menjawab, dan langsung menyerahkan bayi yang berada di dalam gendongannya. Lalu, dia cepat menerobos masuk. Dan begitu berada di dalam, tubuhnya jatuh terguling di lantai. Pemuda berbaju merah itu bergegas menutup pintu, dan menaruh bayi yang tampak tenang itu di atas dipan kayu dekat pintu. Kemudian bergegas dihampirinya sosok tubuh hitam itu.

"Apa yang terjadi...?" tanya pemuda berbaju merah ini seraya membuka selubung yang menutupi kepala orang berbaju serba hitam itu.

"Jangan banyak tanya! Berikan totokan dipunggungku!" bentak orang berbaju hitam yang dipanggil Karmapati itu.

Ternyata di balik selubung kain hitam, tersembunyi seraut wajah cukup tampan. Mulutnya meringis saat dipunggungnya menerima beberapa totokan. Darah langsung berhenti mengalir. Pemuda berbaju merah itu membantu Karmapati berdiri, dan memapahnya menuju pembaringan dari kayu. Karmapati merebahkan tubuhnya di sana.

"Ambilkan aku air, Legawa," pinta Karmapati.

Pemuda berbaju merah yang bernama Legawa itu bergegas menuang air dari dalam kendi tanah liat, ke dalam gelas bambu. Kemudian diberikannya pada Karmapati. Air dingin itu cepat berpindah keperut.Karmapati

"Apa yang terjadi? Kenapa sampai terluka begini?" tanya Legawa.

"Ini semua gara-gara murid sikeparat Wasista!" desis Karmapati.

"Sudah kukatakan, sebaiknya kita pindah ke desa lain dulu. Tapi kau masih tetap saja nekat masuk ke desa itu," Legawa tampak menyesalkan kejadian ini.

揟anggung, Legawa. Dan semuanya akan selesai," tegas Karmapati.

Legawa diam saja. Dibantunya Karmapati saat membuka bajunya. Lalu, dibersihkannya darah yang melekat dipunggung. Setelah membubuhkan obat yang membuat Karmapati meringis, Legawa membalut luka itu dengan kain bersih.

"Bagaimana upacara nanti?" tanya Karmapati setelah bisa duduk bersila.

"Sudah kusiapkan semua," sahut Legawa.

"Aku rasa, ini yang terakhir, Legawa. Apa sudah cukup semuanya?"

"Tinggal tiga lagi," sahut Legawa.

"Keberhasilan sudah membayang didepan mata, Legawa. Dunia persilatan akan gempar. Aku puas bisa melaksanakan semua ini," jelas Karmapati disertai senyumnya yang terkembang Iebar.

"Tapi kau terluka begini, Karmapati. Sebaiknya tugasmu kugantikan saja. Biar aku yang mencari sisanya," usul Legawa.

"Luka ini tidak akan bisa menghalangiku, Legawa."

"Bagaimanapun juga, kau harus istirahat Jangan memaksakan diri, yang akhirnya akan merugikan dirimu sendiri," Legawa menasihati.

"Kau akan mencari ke mana?"

"Kau tidak ingin berpindah dari Desa Jati Wengker, bukan...? Aku akan memperoleh sisanya di sana juga. Hm.... Apa masih ada bayi di sana, Karmapati?"

"Lebih dari cukup."

"Mudah-mudahan saja aku tidak bertemu ketiga murid Padepokan Awan Perak itu," desis Legawa.

"Yang dua tidak ada apa-apanya, Legawa. Tapi kau harus hati-hati dengan yang bernama Widura. Kepandaiannya cukup tinggi, bahkan hampir menyamai gurunya. Aku sempat dibuatnya repot," Karmapati memperingatkan.

"Akan kubuat mereka jatuh bangun. Lihat saja besok malam. Kau akan mendengar salah seorang, atau mungkin ketiganya terkapar tak bernyawa lagi."

"Sudahlah, aku ingin semadi dulu. Kau kerjakan saja bayi itu. Aku belum membuka totokannya," ujar Karmapati tidak ingin meneruskan.

"Kau totok dia...?!" Legawa tampak terkejut.

"Terpaksa, daripada menyusahkan."

Legawa bergegas menghampiri bayi mungil yang berselimut kain cukup tebal. Sebentar diperiksanya, keadaan bayi itu kemudian ditatapnya Karmapati yang sudah dalam sikap bersemadi.

"Hanya totokan ringan, tidak akan membuatnya mati," jelas Karmapati.

"Dia bisa mati kalau tidak segera kau katakan tadi!" dengus Legawa.

Karmapati tidak menyahuti, karena sudah memejamkan mata dan menghilangkan semua yang berhubungan dengan dunia. Jiwa dan pikirannya dikosongkan, menyatu dengan alam sekelilingnya. Sementara Legawa membawa bayi itu ke bagian belakang pondok, membiarkan Karmapati bersemadi untuk memulihkan kesehatan tubuhnya.

***

Pagi baru saja datang. Ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Burung-burung berkicau menyambut datangnya sang surya, yang akan menerangi mayapada. Di dalam Hutan Alas Waru, terlihat ketiga murid Padepokan Awan Perak berjalan lesu menembus lebatnya hutan ini. Semalaman mereka tidak tidur, menjelajah hutan yang Iebat ini. Mereka memang tengah mencari si penculik bayi yang mengacau Desa Jati Wengker. Bahkan beberapa desa di sekitar Hutan Alas Waru.

"Ke mana lagi kita cari, Kakang? Rasanya seluruh hutan sudah dijelajahi, tapi tidak juga bertemu iblis keparat itu," nada suara Jambala terdengar kesal.

"Iya, nih. Seluruh tulangku rasanya seperti akan copot," keluh Sentaka.

Widura menghentikan langkahnya. Dia juga sebenarnya sudah letih. Semalaman mereka menerobos hutan yang Iebat ini, tanpa membawa sedikit hasil yang menggembirakan. Sosok serba hitam yang mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa itu seperti lenyap ditelan hutan ini. Jambala dan Sentaka langsung menghem-paskan tubuhnya, menggeletak direrumputan yang masih dibasahi embun.

"Sebaiknya kita kembali saja ke Desa Jati Wengker, Kakang. Barangkali saja malam nanti kita beruntung," usul Sentaka.

"Aku jadi penasaran. Apa benar orang itu si Iblis Seribu Nyawa...?" gumam Widura tanpa menghiraukan celotehan kedua adik seperguruannya.

"Sudah jelas dia mengaku begitu, Kakang," dengus Jambala.

"Orang mengaku siapa pun, bisa saja. Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi," bantah Widura. "Lagi pula, untuk apa dia menculik bayi...?"

"Mungkin saja waktu itu belum mati, dan sekarang sedang menyempurnakan ilmunya lagi," kilah Sentaka.

"Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Dan yang pasti, kalau kita sudah tahu, siapa sebenamya penculik bayi itu," sergah Jambala.

Mereka jadi terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Widura menyandarkan punggungnya ke pohon beringin yang sangat besar dan menjulang tinggi. Pandangannya beredar berkeliling. Hanya pepohonan saja yang terlihat di sekitamya. Sementara Sentaka dan Jambala sudah bangkit berdiri, langsung menyibakkan rerumputan yang menempel di tubuh.

"Ayo kita kembali ke Desa Jati Wengker, Kakang," ajak Jambala.

Ketiga murid Padepokan Awan Perak itu kembali berjalan. Mereka terus berbicara, saling bertukar pikiran membahas penculikan bayi-bayi didesa-desa sekitar Hutan Alas Waru. Tanpa ada yang menyadari, pembicaraan itu didengar seseorang yang duduk di balik pohon, tempat Widura tadi menyandarkan punggungnya.

Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju rompi putih. Gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung, menyembul dari balik punggungnya. Pemuda itu baru menampakkan diri setelah ketiga pemuda murid Padepokan Awan Perak jauh meninggalkan tempat ini. Dia melangkah memutari pohon, dan berdiri tegak memandangi ketiga pemuda yang semakin jauh, dan lenyap ditelan lebatnya Hutan Alas Waru ini.

"Hm...," gumam pemuda itu perlahan.

***
EMPAT
Tiga malam berturut-turut terjadi penculikan bayi di Desa Jati Wengker. Bahkan selama dua malam ini, tidak sedikit penduduk desa yang jadi korban. Dan kali ini, bukan sosok tubuh hitam yang muncul. Tapi sosok tubuh merah yang seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain merah. Kemunculannya lebih gila lagi daripada sosok tubuh hitam beberapa waktu lalu. Bahkan sepertinya sengaja menampakkan diri, membunuhi beberapa penduduk, lalu menghilang di dalam Hutan Alas Waru.

"Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!" geram Widura berang.

Pemuda itu memandangi mayat-mayat penduduk Desa Jati Wengker yang bergelimpangan di sekitamya. Ada sekitar dua belas orang tergeletak tak bernyawa. Sedangkan sosok tubuh merah yang mereka kejar, menghilang di dalam Hutan Alas Waru.

"Aku menduga kalau dia bukan orang yang kemarin, Kakang," duga Sentaka yang sempat bertarung cukup lama juga sebelum Widura dan Jambala datang membantu.

"Kau benar. Kita menghadapi dua orang gila yang menjengkelkan," desis Widura.

"Aku rasa, sudah saatnya Eyang Wasista diberi tahu," saran Jambala.

"Aku tidak bermaksud meremehkan kalian bertiga. Tapi keadaan semakin gawat. Dan kalau didiamkan terus, bisa-bisa seluruh penduduk desa ini habis dibantai. Orang-orang itu semakin nekat dan gila saja," sergah Ki Jumpana.

"Aku yang akan memberi tahu Eyang Wasista, Ki," kata Widura. "Ayo, Jambala, Sentaka...."

"Kalian akan pergi sekarang?" tanya Ki Jumpana.

"Benar, Ki. Agar besok pagi sudah sampai disini lagi bersama Eyang Wasista," sahut Widura.

Ki Jumpana tidak mencegah lagi Widura meminta Jambala menyiapkan kuda. Bergegas Jambala berlari ke rumah Ki Jumpana untuk menyiapkan kuda. Sedangkan Ki Jumpana sendiri memerintahkan warga desanya untuk mengurus mayat-mayat yang masih bergelimpangan.

"Bayi siapa lagi yang diculik malam ini, Ki?" tanya Widura.

揟idak seorang pun bayi yang diculik malam ini," sahut Ki Jumpana.

"Tidak ada penculikan bayi? Aneh...," desis Widura seakan-akan tidak percaya.

"Aku sendiri tidak tahu. Setelah tiga malam berturut-turut menculik bayi, dan dua malam belakangan ini mereka muncul tanpa menculik bayi seorang pun," jelas Ki Jumpana, juga keheranan.

Widura terdiam. Pandangannya dilayangkan kearah tempat Kinanti terlihat berdiri disamping rumah seorang penduduk bersama empat orang gadis lain. Setelah berbicara sebentar pada Ki Jumpana, Widura menghampiri Kinanti yang sejak tadi berdiri saja disamping sebuah rumah penduduk yang beberapa malam ini selalu terang benderang. Empat gadis lain yang bersama Kinanti, segera menyingkir begitu melihat Widura datang.

"Kudengar kau akan kembali ke padepokan malam ini juga, Kakang...?" tanya Kinanti mendahului, begitu Widura berada dekat di depannya.

"Terpaksa. Aku harus memberi tahu Eyang Wasista," sahut Widura.

"Apa kehadiran Eyang Wasista bisa merubah keadaan?" tanya Kinanti seperti menyangsikan.

"Kurasa, hanya Eyang Wasista yang bisa mengatasi keadaan ini. Kalau mereka memang benar orang-orangnya si Iblis Seribu Nyawa, hanya Eyang Wasista yang bisa menghadapinya. Terlebih lagi, bila si Iblis Seribu Nyawa memang benar-benar masih hidup."

"Aku sudah dengar pertarungan antara Iblis Seribu Nyawa melawan Eyang Wasista. Bahkan beberapa ketua padepokan juga ikut dalam pertempuran itu," kata Kinanti lagi.

"Tapi apa benar si Iblis Seribu Nyawa masih hidup? Waktu itu, kan banyak mata yang melihat kalau dia sudah mati."

"Inilah yang membuatku tidak mengerti, Kinanti. Hanya Eyang Wasista sajalah yang bisa menjernihkan semuanya," sahut Widura agak mendesah.

"Kakang Widura...!" tiba-tiba terdengar teriakan memanggil. Widura berpaling. Ternyata yang berteriak tadi adalah Jambala, yang sudah berada di punggung kuda bersama Sentaka. Masih ada satu kuda lagi yang kosong. Dan kuda itu untuk pemuda ini.

"Aku harus segera pergi, Kinanti," pamit Widura.

"Berapa lama?" tanya Kinanti.

"Besok pagi aku sudah kembali lagi ke sini," sahut Widura.

"Hati-hati, Kakang...," hanya itu yang bisa diucapkan Kinanti.

Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian Widura memutar tubuhnya. Kakinya melangkah cepat menghampiri kedua adik seperguruannya yang sudah menunggu di atas punggung kuda masing-masing. Dengan gerakan ringan sekali, Widura melompat naik ke punggung kuda. Sebentar ditatapnya Kinanti yang juga tengah memandanginya. Kemudian, pemuda itu menggebah kudanya, diikuti Jambala dan Sentaka.

"Jangan khawatir, Kinanti. Kakang Widura pasti kembali!" teriak Jambala menggoda.

"Hiya! Hiya...!"

Kinanti hanya tersipu saja mendengar teriakan Jambala. Sementara ketiga pemuda Padepokan Awan Perak sudah jauh meninggalkan Desa Jati Wengker ini. Mereka memacu cepat kudanya, menembus pekatnya malam.

Widura, Jambala dan Sentaka terus memacu kudanya semakin jauh meninggalkan Desa Jati Wengker. Malam yang begitu pekat dan berkabut memang menyulitkan untuk memandang jauh. Sehingga ketika sebuah bayangan hitam berkelebat, tak ada yang sempat melihat. Bayangan hitam itu meluruk deras ke arah Widura yang berkuda paling depan. Tapi sebelum bayangan hitam itu sempat mengenai tubuh Widura, Sentaka sudah melihat lebih dulu.

"Awas, Kakang...!" seru Sentaka memperingatkan.

"Uts! Yeaaah...!"

Widura langsung melentingkan tubuh, melompat dari punggung kudanya yang masih berlari cepat Dua kali pemuda itu berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah. Sementara Sentaka menghentikan lari kudanya, Jambala terus menggebah kudanya mengejar kuda Widura.

"Hup!"

Sentaka melompat turun dari punggung kudanya, langsung mendarat di samping Widura. Di depan mereka kini sudah berdiri sesosok tubuh hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Sehingga, wajahnya sulit dikenali.

"Kau rupanya...," desis Widura dingin.

"Tidak ada gunanya kalian kembali kepadepokan. Mereka sudah musnah!" dengus sosok tubuh hitam itu.

"Setan keparat...! Kubunuh kau!" geram Sentaka langsung memuncak amarahnya.

"Hiyaaat...!"
Sret!
Wuk!

Cepat sekali Sentaka melompat menerjang orang berbaju serba hitam itu. Pedangnya sudah tercabut dan langsung ditebaskan ke arah Ieher orang itu. Namun dengan hanya sedikit mengegoskan kepalanya, orang berbaju serba hitam itu berhasil menghindari tebasan pedang Sentaka.

"Hiyaaa...!"

Saat itu Widura juga melompat menyerang begitu serangan Sentaka tidak membawa hasil. Dua kali Widura melepaskan pukulan cepat dan beruntun.

"Hait...!"

Orang berbaju serba hitam itu meliuk-liukkan tubuh, menghindari serangan Widura. Dan dia cepat melompat mundur beberapa langkah. Belum lagi orang itu sempat menarik napas lega, Sentaka sudah menyerang cepat dengan permainan pedangnya. Di saat pertarungan itu berlangsung, Jambala datang sambil menuntun kuda Widura. Dia langsung melompat turun dari kudanya, dan terjun ke dalam kancah pertempuran untuk membantu kedua saudara seperguruannya.

Menghadapi keroyokan tiga orang murid Padepokan Awan Perak, tampaknya orang berbaju serba hitam itu tidak mengalami kesulitan. Gerakan-gerakannya sungguh lincah dan ringan, sehingga terasa sukar bagi ketiga pemuda itu untuk memasukkan serangan. Bahkan dalam beberapa jurus saja, Sentaka dan Jambala sudah terkena pukulan telak. Tapi kedua pemuda itu tidak patah semangat. Mereka kembali bangkit dan melakukan serangan lagi.

"Modar...!" tiba-tiba orang berbaju serba hitam itu berseru lantang. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya dikebutkan ke depan, tepat menghantam dada Jambala yang berada dalam jangkauan pukulannya. Begitu cepatnya pukulan itu datang, sehingga Jambala tidak sempat lagi menghindar.

Des!

"Akh...!" Jambala terpekik nyaring. Pemuda itu terpental sejauh dua batang tombak. Dari mulutnya menyemburkan darah kental agak kehitaman. Sebentar Jambala menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi.

"Keparat...!" desis Widura geram melihat Jambala tidak bangun-bangun lagi.

Sret!
"Hiyaaat..!"

Kemarahan Widura sudah mencapai batas takaran, sehingga pedangnya segera dicabut. Langsung pedangnya dikebutkan ke arah dada orang berbaju serba hitam itu. Tapi manis sekali orang itu berhasil mengelak, dan cepat menarik kakinya ke belakang beberapa tindak. Pada saat itu, Sentaka melompat menerjang dari arah kiri. Pedangnya ditusukkan dengan kemarahan meluap-Iuap. Hal ini membuat pertahanannya jadi terbuka. Dan begitu pedang Sentaka lewat di depan dada, orang berbaju serba hitam itu cepat mengebutkan tangan ke arah perut.

Diegkh!

"Ugkh...!" Sentaka mengeluh pendek.

Pemuda itu terbungkuk begitu perutnya terkena sodokan keras dan bertenaga dalam tinggi. Selagi Sentaka terbungkuk, orang berbaju serba hitam itu melepaskan satu pukulan di wajahnya. Begitu kerasnya pukulan orang itu, sehingga Sentaka terpekik dan kepalanya terdongak ke atas.

"Yeaaah...!"

Belum juga Sentaka bisa melakukan sesuatu, orang berbaju hitam itu sudah memberi satu tendangan menggeledek ke dada. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada Sentaka.

"Aaa...!" Sentaka terpental sejauh dua batang tombak. Tubuhnya menghantam sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping. Pemuda itu menggelepar di antara reruntuhan pohon, lalu diam tak berkutik lagi. Darah tampak mengucur deras dari lubang hidung dan mulutnya.

"Sentaka...," desis Widura agak tersentak, melihat Sentaka juga menggeletak tak berkutik lagi. Sambil menggeram marah, Widura melompat cepat menyerang orang berbaju serba hitam itu. Pedangnya berkelebat cepat, mengurung lawannya. Serangan-serangan Widura yang begitu cepat dan beruntun, membuat orang berbaju hitam itu jadi kelabakan menghindarinya.

Beberapa kali dia terpaksa harus menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah, menghindari tebasan dan hunjaman pedang Widura. Pemuda murid Padepokan Awan Perak itu benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan untuk balas menyerang. Amukannya seperti kesetanan, tidak mempedulikan tenaganya yang terkuras banyak.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

"Uts...!"

Hampir saja pedang Widura menebas leher. Untung saja orang berbaju serba hitam itu segera menarik kepalanya kebelakang. Tapi sebelum sempat menguasai diri, satu tendangan berputar telah dilepaskan Widura dengan kecepatan luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Diegkh!

"Akh...!" orang berbaju hitam itu menjerit keras. Tendangan yang dilepaskan Widura tepat menghantam dadanya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dada yang terasa sesak akibat terkena tendangan Widura tadi. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, Widura sudah melancarkan serangan kembali. Pemuda itu meluruk deras dengan ujung pedang tertuju langsung ke dada.

"Gila...!" desis orang berbaju hitam itu terbeliak. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Ujung pedang Widura sudah begitu dekat ke dada. Tapi sebelum menyentuh kulit dadanya, mendadak saja berkelebat bayangan merah, disusul sebuah cahaya keperakan yang berkelebat cepat menghantam pedang Widura.

Trang!

"Ikh...!" Widura terpekik kecil. Cepat pemuda itu menarik pedang, dan segera melompat mundur beberapa tindak. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping orang berbaju serba hitam sudah berdiri sesosok tubuh merah. Seluruh kepala juga terselubung kain merah.

"Rupanya Iblis Seribu Nyawa ada dua orang. Bagus! Biar kalian seribu orang, malam ini harus mampus di tanganku!" desis Widura dingin dan menggetarkan.

"Bicaralah sepuasmu, karena sebentar lagi kau akan menyusul gurumu ke neraka," desis orang yang mengenakan baju merah.

Setelah berkata demikian, orang berbaju merah itu langsung melompat menyerang dengan pedang tergenggam ditangan. Serangannya cepat sekali membuat Widura agak kelabakan menghindarinya. Tapi pemuda itu cepat menguasai keadaan. Bahkan berhasil memberi beberapa serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan pun kembali terjadi dengan sengrtnya. Terlebih lagi setelah orang yang berbaju hitam terjun ke dalam kancah pertempuran mengeroyok Widura.

Menghadapi seorang saja, Widura sudah harus memeras seluruh kemampuannya. Apalagi, sekarang ini harus menghadapi dua orang yang berkepandaian tinggi. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Widura sudah benar-benar kewalahan. Dan sekarang ini dia tidak mampu lagi memberi serangan balasan. Pemuda itu bagai dijadikan bola mainan, tanpa mampu memberikan perlawanan lagi. Entah sudah berapa kali tubuhnya menerima pukulan maupun tendangan keras.

Darah sudah mengucur dari mulut dan hidungnya. Bahkan pakaiannya sudah robek-robek berlumuran darah. Widura juga tidak tahu lagi, sudah berapa kali tubuhnya menerima goresan ujung pedang. Pemuda itu benar-benar sudah tidak dapat bertahan lagi. Dan kini malah jatuh tersungkur ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Dia hanya dapat merintih sambil menggulirkan tubuhnya perlahan. Saat itu, orang berbaju hitam sudah meluruk deras dengan pedang tertuju ke dadanya.

"Oh, matilah aku...," desah Widura dalam hati. Namun begitu ujung pedang orang berbaju hitam itu hampir menembus dada Widura, mendadak saja berkelebat cepat bagai kilat sebuah bayangan putih. Bayangan putih itu menyambar tubuh Widura, dan membawanya pergi.

"Setan...!" maki orang berbaju hitam itu geram. Pedangnya menembus ke dalam tanah cukup dalam. Bukan hanya dia saja yang terkejut. Malah orang berbaju merah pun terbeliak matanya melihat bayangan putih berkelebat cepat menyambar Widura yang sudah berada di ambang maut.

"Sudah, Karmapati. Ayo kita pergi," ajak orang berbaju merah.

"Huh!" orang berbaju hitam itu mendengus kesal.

Sambil menggerutu, kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Kakinya sempat menendang mayat Jambala yang menghalangi jalannya. Murid Padepokan Awan Perak yang malang itu menggelimpang sejauh tiga batang tombak, dan baru berhenti setelah membentur batu. Dan kini dua orang yang seluruh kepalanya terselubung kain itu, berlompatan cepat, lalu menghilang didalam kegelapan malam.

***

"Auw...!" Widura mengaduh.

"Sakit..?"

Widura hanya meringis saja sambil memandangi wajah cantik di depannya. Dengan lembut, Kinanti merawat luka-luka di tubuh pemuda itu. Di dalam kamar yang cukup besar ini bukan hanya ada mereka berdua, tapi juga ada Ki Jumpana, Ki Ampal, dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung tampak menyembul dari balik punggungnya.

"Untung saja kau masih bisa selamat, Kakang. Aku sudah cemas waktu kau berangkat tadi," kata Kinanti sambil membalut luka di tubuh pemuda itu.

揚emuda ini yang menyelamatkan nyawamu, Widura," sambung Ki Jumpana memberi tahu.

Widura memandang pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di samping Ki Jumpana. "Terima kasih," ucap Widura.

"Tapi, maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan kedua temanmu," ucap pemuda itu.

Widura terdiam. Dia tahu kalau Jambala dan Sentaka sudah tewas. Dan dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Yang bertanggung jawab hanya dua manusia penculik bayi itu. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas kematian Jambala dan Sentaka, juga beberapa penduduk Desa Jati Wengker.

"Boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?" tanya Widura setelah bisa menguasai perasaannya.

"Rangga," sahut pemuda berbaju rompi putih itu.

Widura mencoba bangkit berdiri, tapi malah meringis merasakan nyeri pada seluruh tubuhnya. Kinanti membantu pemuda itu bangkit dari pembaringan. Gadis itu juga membantu mengenakan pakaian pemuda itu, Pakaian yang baru, karena baju Widura tadi sudah tidak karuan lagi bentuknya.

"Aku harus segera ke padepokan, Ki. Aku khawatir ucapan mereka benar," kata Widura.

"Kau masih lemah, Widura," Ki Jumpana mencoba mencegah.

"Aku masih kuat berkuda, Ki. Yang kukhawatirkan, mereka benar-benar telah menghancurkan Padepokan Awan Perak," Widura tetap memaksa hendak pergi.

Meskipun Ki Jumpana dan Kinanti berusaha mencegah, tapi Widura tetap saja bertekad hendak pergi. Dan meskipun dengan langkah tertatih-tatih, pemuda itu meninggalkan kamar ini. Kinanti membantu memapah sampai ke depan rumah kepala desa ini. Sambil menahan nyeri, Widura melompat naik ke punggung kudanya. Matanya merayapi wajah Ki Jumpana, Kinanti, dan Ki Ampal yang juga tengah memandanginya dengan berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dada. Widura memang sudah menceritakan pertarungannya, hingga mengakibatkan tewasnya Jambala dan Sentaka.

"Aku ikut denganmu, Widura," pinta Rangga.

Widura sebenarnya ingin menolak. Tapi melihat Rangga sudah melompat naik ke punggung kudanya, dia tidak dapat lagi menolak. Setelah berpamitan, kedua pemuda itu menggebah kudanya meninggalkan rumah kepala desa ini. Suasana di Desa Jati Wengker masih kelihatan terang benderang oleh nyala pelita dan api obor yang terpancang sepanjang jalan dan di depan-depan rumah.

"Aku belum pernah melihatmu di desa ini. Apakah kau pengembara?" Widura membuka suara setelah jauh berada di luar Desa Jati Wengker.

"Benar. Aku memang pengembara yang kebetulan lewat dan melihatmu dalam keadaan mengkhawarirkan," sahut Rangga.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Widura.

"Sudah sepantasnya kita saling menolong," Rangga merendah.

"Ki Jumpana pasti sudah menceritakan keadaan di desa ini...," kata Widura, agak pelan suaranya.

"Sedikit," sahut Rangga.

"Aku menyesal tidak bisa memenuhi harapan mereka. Aku gagal melaksanakan tugas yang diberikan guruku," nada suara Widura terdengar mengeluh.

"Kau belum gagal. Hanya saja, keberuntungan belum berada di pihakmu," hibur Rangga. "Aku yakin, suatu saat mereka pasti bisa kau kalahkan."

"Kau hanya menghiburku saja," desah Widura. "Oh, ya.... Bagaimana kau bisa menyelamatkan aku dari hunjaman pedang iblis itu?" Widura mengalihkan pembicaraan. Rangga hanya tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaan itu.

"Aku rasa sukar bagi orang biasa untuk melakukannya. Aku sendiri tadinya sudah pasrah," kata Widura lagi.

"Seharusnya, kau bisa menyelamatkan diri sendiri. Dan aku juga hanya kebetulan saja bisa menyelamatkanmu," lagi-lagi Rangga merendah.

"Kata-katamu selalu saja menghibur dan merendahkan diri. Aku yakin, kau bukan hanya pengembara biasa, tapi seorang pendekar. Apa julukan kependekaranmu, Kisanak?"

"Panggil saja aku Rangga."

"Kau pasti memiliki nama julukan," kejar Widura lagi.

"Apakah itu perlu?"

"Aku sering mendengar nama-nama pendekar ternama dan digdaya. Sepertinya, aku pernah mendengar nama seorang pendekar yang mirip denganmu. Memakai baju putih tanpa lengan, membawa pedang bergagang kepala burung dan menunggang kuda hitam, selain tunggangan anehnya seekor burung rajawali raksasa. Kalau tidak salah, julukan pendekar itu... Pendekar Rajawali Sakti. Apakah itu dirimu...?"

Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Diakui kalau pengamatan Widura memang cermat Rangga memang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan julukan itu sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan. Bahkan orang-orang dikalangan persilatan sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa, selain seekor kuda hitam yang tak ada bandingnya. Namanya, Dewa Bayu. Kecepatan larinya juga tak ada yang mengalahkan. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak menonjolkan diri. Dan biasanya orang akan tahu sendiri, siapa dirinya yang sebenarnya.

***
LIMA
"Iblis...!" desis Widura sambil memandangi padepokannya yang tinggal puing-puing saja.

Asap tipis masih mengepul di atas reruntuhan bangunan Padepokan Awan Perak. Tak ada satu bangunan pun yang masih berdiri. Semua sudah hancur, rata dengan tanah. Bahkan api masih terlihat di beberapa tempat Di antara puing-puing itu terlihat mayat-mayat berserakan, saling tumpang tindih. Bahkan beberapa di antaranya tertimbun reruntuhan bangunan yang hangus terbakar. Widura melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Rangga. Mereka melangkah mendekati reruntuhan bangunan ini. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam batin Widura saat ini. Rangga hanya bisa melihat wajah pemuda itu selalu berubah-ubah, dengan sinar mata memancarkan ketegangan.

"Ohhh...."

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan rintihan lirih. Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian bergegas mencari sumber rintihan yang hanya terdengar sesaat itu. Suara itu terdengar lagi, dan kali ini lebih lirih. Bahkan hampir saja menghilang ditelan hembusan angin.

Pendekar Rajawali Sakti dan Widura melangkah mendekati reruntuhan Padepokan Awan Perak. Rangga melihat wajah Widura memancarkan ketegangan. Memang, bangunan tempatnya berlatih selama ini tinggal puing-puing saja. Dan diantara puing-puing itu terlihat mayat mayat temannya berserakan!

Rintihan lirih itu tepat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. "Oh, benarkah...?!" Rangga tersentak begitu berpaling.

Di sebelah kanannya terdapat reruntuhan batu dan balok-balok kayu yang saling tumpang tindih. Tapi dia begitu yakin kalau rintihan itu datang dari tumpukan batu dan balok-balok kayu itu. Bergegas dihampirinya reruntuhan itu, dan diamatinya sesaat. Saat itu kembali terdengar rintihan lirih tertahan yang begitu pelan.

"Widura, ke sini....'" teriak Rangga memanggil.

Widura yang tengah memeriksa ditempat lain, bergegas beriompatan menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menunjuk ke arah tumpukan batu dan balok-balok kayu di depannya. Sebentar Widura memandangi tumpukan puing yang masih mengepulkan asap, kemudian bergegas menyingkirkan batu-batu dan balok yang bertumpuk saling tumpang tindih.

Kedua pemuda itu terus membongkar tumpukan reruntuhan puing, hingga akhirnya menemukan sesosok tubuh tua yang berlumuran darah. Baju jubah putih panjang yang dikenakan, sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Hanya gerak-gerik halus di dadanya saja yang menandakan kalau orang tua itu masih hidup.

"Eyang...," desis Widura, langsung mengenali orang tua itu.

Buru-buru Widura mengeluarkan laki-laki tua yang ternyata Eyang Wasista dari reruntuhan ini, kemudian dibawanya ke bawah pohon yang luput dari kehancuran. Hati-hati sekali pemuda itu membaringkan tubuh Eyang Wasista di atas rerumputan yang hampir kering.

"Eyang...," panggil Widura perlahan, dekat di telinga laki-laki tua itu.

Mendengar suara Widura, Eyang Wasista membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sebentar ditatapnya wajah muridnya itu, kemudian berpindah menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sisi lain dari dirinya. Eyang Wasista kembali menatap Widura dengan sinar mata redup, seakan-akan sudah tak ada lagi napas kehidupan pada dirinya.

"Apa yang terjadi, Eyang? Kenapa bisa sampai begini...?" tanya Widura, agak tertahan nada suaranya.

"Widura.... Pergilah ke Padepokan Selendang Maut dan..., Padepokan Bulan Sabit..," lemah dan agak tersendat-sendat suara Eyang Wasista.

Widura hanya menganggukkan kepala saja. Hampir-hampir pemuda itu tidak kuasa lagi menahan air matanya yang hampir menitik. Sekuat tenaga dicobanya untuk tetap bertahan, dan memperlihatkan ketabahan di depan gurunya ini.

"Katakan pada mereka, Iblis Seribu Nyawa masih hidup...." Selesai berkata demikian, tubuh Eyang Wasista mengejang kaku, lalu menghembuskan napasnya yang terakhir.

"Eyang...!" jerit Widura langsung memeluk tubuh laki-laki tua yang sudah seperti ayahnya sendiri itu. Tapi Eyang Wasista sudah tidak bergerak lagi. Tubuhnya terkulai, meskipun Widura memeluk dan mengguncang-guncangnya. Pemuda itu tak kuasa lagi menahan air matanya, yang langsung menitik membasahi wajah Eyang Wasista. Rangga yang menyaksikan semua itu, juga tak sanggup lagi bertahan.

Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Memang sulit menerima kenyataan, jika ditinggal pergi seseorang yang paling dicintai. Sementara Widura masih larut dalam kesedihan Dan Rangga sudah melangkah menjauh. Dirayapinya puing-puing reruntuhan Padepokan Awan Perak. Sungguh mengenaskan menyaksikan reruntuhan sebuah padepokan yang cukup punya nama. Tak ada seorang pun yang tersisa hidup. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, bersama reruntuhan bangunan padepokan ini.

"Rangga...," panggil Widura, agak tersedak suaranya.

Rangga berpaling, dan memutar tubuhnya. Widura sudah bangkit berdiri di samping tubuh Eyang Wasista. Pemuda itu saling melemparkan pandang tanpa berkata-kata. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menghampiri murid Padepokan Awan Perak itu. Tinggal Widura yang tersisa.

"Kita bereskan dulu di sini, baru melaksanakan amanat eyang gurumu," ujar Rangga.

Widura tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi, dan hanya dapat mengangguk perlahan. Diturutinya saja apa kata Pendekar Rajawali Sakti.

Setelah menguburkan mayat Eyang Wasista dan semua murid Padepokan Awan Perak, Rangga segera mengajak Widura pergi ke Padepokan Selendang Maut dan Padepokan Bulan Sabit.

"Widura, kau tahu letak kedua padepokan itu?" tanya Rangga.

"Cukup jauh juga. Padepokan Selendang Maut yang terdekat dari sini, hanya dua hari perjalanan berkuda. Sedangkan Padepokan Bulan Sabit, tiga hari," jelas Widura.

"Kalau begitu, kita harus menggunakan Rajawali Putih. Dan kau bisa menjadi penunjuk jalan."

Widura tercekat juga mendengar Pendekar Rajawali Sakti menyebut-nyebut Rajawali Putih. Dia berpikir, seberapa besarnya rajawali yang katanya berukuran raksasa itu. Rangga memang terpaksa memanggil Rajawali Putih untuk mengantarkan mereka ke kedua padepokan itu. Kedatangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu membuat Widura hampir saja pingsan berdiri.

"Gunakan kecepatanmu yang terbaik, Rajawali!" perintah Rangga setelah berada di angkasa.

"Khraaagkh...!"

Widura yang berada di belakang Rangga, memeluk pinggang Pendekar Rajawali Sakti erat-erat Jantungnya seolah-olah terasa berhenti berdetak. Baru pertama kali ini dia menunggang seekor burung rajawali raksasa. Dan pengalaman ini tidak pernah diimpikan sebelumnya.

"Jangan terlalu tegang begitu, Widura. Rajawali Putih tidak akan menjatuhkanmu dari atas!" seru Rangga kencang.

Widura hanya diam saja. Kalau Rangga melihat betapa pucatnya wajah pemuda itu, pasti tertawa terbahak-bahak. Untung saja Widura berada di belakang, dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Khraaagkh...!"

Dengan menunggang Rajawali Putih, waktu yang seharusnya dibutuhkan dua hari, hanya dilalui sebentar saja. Bahkan tidak sampai setengah hari, mereka sudah berada di atas Padepokan Selendang Maut. Apalagi Widura telah mengetahui letak padepokan itu. Jadi, mereka tidak sulit untuk mencarinya. Dari angkasa, Rangga terkejut setengah mati karena padepokan itu sudah rata dengan tanah.

"Widura, kau lihat itu...?" Rangga menunjuk ke arah Padepokan Selendang Maut yang sudah hancur rata dengan tanah.

"lya, aku lihat!" sahut Widura sekeras-kerasnya, agar suaranya tidak mengalahkan deru angin yang begitu kencang di angkasa ini.

"Kau ingin lihat ke sana, Widura?" Rangga menawarkan.

"Kita lihat saja dulu. Barangkali masih ada yang hidup," sahut Widura.

Rangga memerintahkan pada Rajawali Putih untuk turun. Tanpa diminta dua kali, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu menukik turun dengan kecepatan luar biasa. Sebentar saja burung itu sudah mendarat di antara puing-puing reruntuhan Padepokan Selendang Maut Rangga dan Widura berlompatan turun dari punggung Rajawali Putih.

Sebentar pandangan mereka beredar mengamati suasana yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat bergelimpangan, bahkan sudah mulai menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung. Tampaknya mereka sudah hancur lebih dulu daripada Padepokan Awan Perak, meskipun di beberapa tempat masih terlihat asap mengepul tipis.

"Tidak ada seorang pun yang hidup, Kakang Rangga," kata Widura agak mendesah. Dia sudah membiasakan diri memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan Kakang Rangga.

"Benar. Dan kelihatannya, sudah beberapa hari mereka tewas," sahut Rangga juga pelan.

"Dari caranya yang brutal, pasti perusuhnya adalah orang yang sama," duga Widura, tetap pelan suaranya.

"Rasanya, kita masih punya kesempatan untuk ke Padepokan Bulan Sabit," sambung Rangga.

"Apa tidak sebaiknya ke Padepokan Tongkat Baja dulu, Kakang Rangga?" Widura memberi usul.

"Eyang gurumu tidak menyebutkan padepokan itu."

"Memang tidak. Tapi Ketua Padepokan Tongkat Baja adalah adik kandung Eyang Wasista. Aku rasa, dia harus tahu kejadian ini," Widura beralasan.

"Apa Padepokan Tongkat Baja juga punya urusan dengan si Iblis Seribu Nyawa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Tidak. Tapi, aku tetap saja khawatir melihat cara-caranya yang brutal seperti ini. Dia bukan lagi manusia, Kakang. Tapi iblis yang haus darah," agak mendesis nada suara Widura.

"Kita akan ke Padepokan Tongkat Baja setelah melaksanakan amanat eyang gurumu," Rangga menetapkan.

Widura tidak segera memberi tanggapan. Pemuda itu melirik ke arah Rajawali Putih yang mendekam di dekat pohon kemuning. Kemudian ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri disampingnya.

"Dengan tunggangan ajaibmu, rasanya kita bisa pergi ke kedua tempat dalam satu hari ini," ujar Widura.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih. Widura bergegas mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa bicara lagi, mereka berlompatan naik kepunggung Rajawali Putih. Sebentar kemudian, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke angkasa. Widura memberi arah yang harus dituju pada Pendekar Rajawali Sakti. Bagaikan kilat, burung rajawali raksasa itu melesat cepat begitu diberi tahu arah yang ditunjukkan.

***

Widura dapat menarik napas lega ketika melihat Padepokan Bulan Sabit masih tetap utuh, tidak seperti dua padepokan sebelumnya. Rangga memerintahkan Rajawali Putih turun agak jauh dari padepokan. Kemudian kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menuju Padepokan Bulan Sabit.

Sesampainya di padepokan itu, mereka disambut seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berperut buncit seperti gentong air. Kepalanya kelihatan kecil, tanpa sehelai rambut pun yang tumbuh. Tangannya menggenggam sebatang tongkat pendek dengan kedua ujungnya berbentuk bulan sabit berwarna kunlng keemasan. Di kalangan persilatan, julukannya adalah Pendekar Sabit Emas.

"Ada kabar apa dari Kakang Wasista?" tanya Pendekar Sabit Emas ketika kedua pemuda tamunya ini berada di dalam ruangan yang cukup besar dan indah.

"Hanya ada satu pesan yang harus kusampaikan," sahut Widura.

"Katakan," pinta Pendekar Sabit Emas.

"Tapi sebelumnya, aku ingin memberi tahu dulu kalau Padepokan Awan Perak dan Padepokan Selendang Maut sudah musnah," jelas Widura, sangat hati-hati bicaranya.

"Apa...?!" Pendekar Sabit Emas tersentak kaget setengah mati.

Dia sampai terlonjak bangkit dari duduknya. Kedua bola matanya berkilatan, merayapi wajah Widura dan Rangga bergantian. Seakan-akan dia ingin memastikan kebenaran kabar yang disampaikan Widura barusan.

"Widura, aku kenal dirimu sejak masih kecil. Kau murid utama Padepokan Awan Perak. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main...!" agak keras suara Pendekar Sabit Emas.

"Maafkan aku, Paman. Mungkin cara penyampaianku kurang tepat. Tapi, memang begitulah keadaan yang sebenarnya," ujar Widura seraya menjura memberi hormat.

"Bagaimana itu bisa terjadi...?" Pendekar Sabit Emas masih belum bisa mempercayai.

Widura segera menceritakan semua peristiwa yang terjadi, yang bermula dari kedatangan seorang utusan dari Desa Jati Wengker. Widura juga menceritakan musibah yang dialami desa itu, sehingga dia dan dua orang adik seperguruannya ditugaskan Eyang Wasista untuk mengamankannya. Tapi kedua adik seperguruannya tewas. Dan begitu dia kembali ke padepokan untuk melaporkan semua yang terjadi di Desa Jati Wengker, keadaan di Padepokan Awan Perak sudah rata dengan tanah. Tak ada seorang pun yang hidup lagi. Bahkan Eyang Wasista sendiri tewas.

Tapi sebelum menghembuskan napas yang terakhir, Ketua Padepokan Awan Perak itu sempat memberi beberapa pesan. Widura juga menyampaikan kabar buruk kalau nasib Padepokan Selendang Maut tidak jauh berbeda dengan yang dialami Padepokan Awan Perak. Semua diceritakan secara gamblang, tanpa ada yang dikurangi maupun ditambah. Sementara Pendekar Sabit Emas mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun dia tidak mengeluarkan suara sampai Widura menyelesaikan semua kisahnya.

"Rasanya sulit dipercaya kalau Iblis Seribu Nyawa masih hidup, dan sekarang membalas kekalahannya dengan cara brutal dan keji...," desis Pendekar Sabit Emas, setengah bergumam nada suaranya, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

"Hanya tinggal padepokan ini saja yang belum terjamah, Paman," kata Widura.

Pendekar Sabit Emas terdiam sambil merayapi Rangga yang duduk di samping Widura. Sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja mendengarkan semua percakapan ini. Bahkan Widura sendiri sampai lupa memperkenalkan Rangga pada Ketua Padepokan Bulan Sabit itu.

"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Sabit Emas langsung menebak.

"Oh, ya. Paman, dia temanku. Sudah banyak pertolongan yang diberikannya padaku. Namanya Rangga," selak Widura memperkenalkan.

"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, meskipun belum pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, ada semua padamu. Benarkah penglihatanku ini..,?" Pendekar Sabit Emas tidak menghiraukan kata-kata Widura.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

"Ah...! Kenapa aku tidak menyadari sejak tadi...? Rupanya yang ada didepanku ini seorang pendekar digdaya yang termasyhur, dan selalu menjadi pembicaraan di kalangan kaum kependekaran," puji Pendekar Sabit Emas.

"Mereka hanya melebihkan saja, Paman. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pendahulu," Rangga merendah.

"Kau tidak perlu rendah diri begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang bisa berkenalan denganmu, meskipun dalam suasana yang tidak menyenangkan ini."

Lagi-lagi Rangga tersenyum dan memberi salam penghormatan. Sedangkan Pendekar Sabit Emas membalas dengan menjura pula. Sementara itu Widura hanya memperhatikan saja. Sejak semula dia memang sudah menduga kalau Rangga sebenarnya adalah Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba persilatan di setiap kemuneulannya. Dan sekarang baru jelas setelah Rangga mengakui, meskipun dengan merendahkan diri.

"Kalian tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat sajalah dulu. Kamar untuk kalian sudah disiapkan," ujar Pendekar Sabit Emas.

erima kasih," ucap Rangga seraya bangkit berdiri.

Sedangkan Widura yang memang sudah teramat letih, sudah lebih dahulu berdiri. Pendekar Sabit Emas memanggil dua orang muridnya, dan menyuruh untuk mengantarkan Rangga dan Widura ke kamar peristirahatannya. Sedangkan dia sendiri kembali duduk di kursinya setelah Rangga dan Widura meninggalkan ruangan ini.

"Iblis Seribu Nyawa.... Hm, aku harus mempersiapkan penyambutan untuknya. Dia pasti datang setiap saat. Hhh...! Sukar dipercaya kalau padepokan Kakang Wasista dan padepokan Nyai Selendang Maut bisa hancur dalam waktu yang begitu singkat," Pendekar Sabit Emas berbicara sendiri.

Setelah memeras otak beberapa saat lamanya, laki-laki bertubuh gemuk dan berkepala gundul itu bangkit berdiri. Kakinya melangkah sambil mengayun ayunkan tongkatnya, meninggalkan ruangan besar dan indah ini.

***

Sementara itu, jauh dari Padepokan Bulan Sabit, tepatnya di Hutan Alas Waru, Karmapati dan Legawa tengah duduk bersila menghadap sebuah altar batu yang dikelilingi puluhan tulang-tulang tengkorak anak-anak bayi. Di dekat altar batu itu terdapat sebuah tempayan dari tanah liat yang penuh berisi darah. Tempayan itu memang berukuran sangat besar, dan cukup dimasuki satu orang dewasa. Kedua anak muda itu menatap lurus tak berkedip ke arah tempayan.

Tiba-tiba saja, darah di dalam tempayan itu bergolak mendidih. Asap kemerahan mengepul, menyebarkan aroma yang tidak sedap menusuk hidung. Perlahan-lahan, dari dalam tempayan itu muncul sesosok tubuh yang berlumuran darah. Sosok tubuh itu bangkit, lalu keluar dari dalam tempayan. Kemudian, dia naik ke atas altar, dan duduk bersila dipermukaan altar batu itu.

Darah yang menempel di tubuhnya, perlahan-lahan mencair. Dan sekarang, tampaklah sosok seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya warna merah menyala, dan cukup ketat Seluruh rambutnya berwarna merah bagai tersiram darah. Tatapan matanya begitu tajam, mencerminkan kekejaman dan kebengisan yang tiada tara.

"Ha ha ha...!" laki-laki tua itu tertawa terbahak-bahak.

Karmapati dan Legawa tampak tersenyum penuh kepuasan. Kedua pemuda itu bangkit berdiri, begitu laki-laki tua berbaju merah ini turun dari altar. Dipandanginya dua anak muda yang berdiri di depannya. Dia tersenyum, dan kembali tertawa terbahak-bahak.

"Mulai sekarang, setiap bulan purnama muncul, kalian harus bisa menyediakan seorang anak bayi padaku," tegas laki-laki tua itu.

"Masalah itu tidak perlu dirisaukan," sahut Karmapati.

"Benar! Selama Iblis Seribu Nyawa masih ada, tidak ada kesulitan untuk mendapatkan bayi," sambut Legawa.

"Ha ha ha...! Kalian benar-benar pengikutku yang setia. Mulai sekarang, kalian menjadi pengawal pribadiku."

Karmapati dan Legawa tersenyum lebar. Mereka senang dijadikan pengawal pribadi laki-laki tua ini. Tak ada yang lebih membanggakan bagi kedua pemuda itu, selain menjadi pengawal pribadi si Iblis Seribu Nyawa. Apalagi, laki-laki tua itu adalah tokoh kosen yang ditakuti dan selalu menggemparkan rimba persilatan. Dan kini, Karmapati dan Legawa berhasil membangkitkannya kembali dari kematian dengan merendam tubuh laki-laki tua ini didalam tempayan besar berisi darah seratus bayi.

Dan untuk kelangsungan hidupnya, Iblis Seribu Nyawa membutuhkan darah-darah bayi setiap bulan purnama jatuh. Bagi kedua pemuda itu tidak menjadi persoalan, karena bayi-bayi bisa didapat dengan mudah di mana saja. Setiap hari saja mereka bisa mendapatkannya, apalagi ini hanya setiap kali bulan.

"Sekarang aku yang akan menguasai dunia ini. Tak ada lagi yang bisa mengalahkanku. Kalian tidak perlu gentar menghadapi segala macam tantangan," tegas si Iblis Seribu Nyawa, jumawa.

api masih ada dua padepokan lagi yang belum dihancurkan, Iblis Seribu Nyawa," selak Karmapati. "Padepokan Tongkat Baja dan Padepokan Bulan Sabit."

"Aku tahu. Dua padepokan itu memang yang terkuat. Tapi kalian tidak perlu khawatir. Kematianku dulu hanyalah kematian semu. Mereka lupa kalau aku memiliki ilmu 'Seribu Nyawa'. Aku sewaktu-waktu dapat bangkit, bila ada orang yang membangkitkan seperti kalian. Karena, rohku memang tidak kemana-mana, untuk menunggu orang yang membutuhkan kehadiranku. Dengan merendam jasadku didalam darah seratus bayi, maka inilah saat kebangkitanku! Kehidupanku kini sudah kusempurnakan, dan tidak perlu lagi berendam di dalam darah seratus bayi. Sekarang mereka bukan tandinganku lagi. Tak ada yang bisa mengalahkanku di jagat raya ini. Ha ha ha...?" jelas Iblis Seribu Nyawa, panjang lebar.

Karmapati dan Legawa ikut tertawa. Sudah dua padepokan mereka hancurkan. Padepokan Selendang Maut dan Padepokan Awan Perak. Padahal saat itu si Iblis Seribu Nyawa belum sempurna betul kehidupannya. Iblis Seribu Nyawa masih direndam darah bayi agar kebangkitannya sempurna. Kematiannya dulu, adalah akibat bertarung dengan Eyang Wasista, Nyai Selendang Maut, dan Pendekar Sabit Emas. Dan kini Iblis Seribu Nyawa memang ingin melaksanakan dendamnya!

"Ayo, kita ke Padepokan Bulan Sabit. Aku harus membuat perhitungan dengan si Pendekar Sabit Emas," ajak Iblis Seribu Nyawa.

Mereka bergegas keluar dari dalam gua yang letaknya cukup tersembunyi. Sesampai diluar, mereka cepat melesat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu tingginya ilmu yang dimiliki, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh meninggalkan mulut gua ditengah Hutan Alas Waru.

***
ENAM
"Setan...!"

Iblis Seribu Nyawa menggeram marah bukan main begitu mendapati keadaan di Padepokan Bulan Sabit dalam keadaan kosong. Tak dijumpai seorang pun di dalam lingkungan padepokan itu. Benar-benar sunyi. Mereka memeriksa setiap bangunan yang ada, dan memasuki seluruh ruangan didalam bangunan padepokan itu. Tapi tetap saja tidak menjumpai siapa-siapa.

Iblis Seribu Nyawa dan dua orang pemuda pengawal pribadinya kembali ke tengah-tengah halaman depan yang cukup luas yang biasa digunakan untuk berlatih murid-murid Padepokan Bulan Sabit. Pada saat mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tiba-tiba saja dari atas atap bangunan dan pagar yang mengelilingi padepokan, bersembulan kepala-kepala. Lalu terlihat panah-panah yang siap dilepaskan.

"Keparat...!" desis Iblis Seribu Nyawa merasa telah masuk ke dalam perangkap.

Di atas atap bangunan utama berdiri Pendekar Sabit Emas yang didampingi Pendekar Rajawali Sakti dan Widura. Sedangkan seluruh murid Padepokan Bulan Sabit, sudah siap melepaskan panah ke arah Iblis Seribu Nyawa dan kedua pengawalnya. Mereka tinggal menunggu perintah saja untuk melepaskan anak panah yang sudah siap terentang dibusurnya.

"Seraaang...!" seru Pendekar Sabit Emas memberi perintah.

Seketika itu juga, dari segala penjuru berdesingan anak-anak panah ke arah Iblis Seribu Nyawa dan kedua pengawalnya. Serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan, membuat ketiga orang itu terpaksa berjumpalitan menghindarinya.

"Hiyaaa...!"

"Yeaaah...!"

Karmapati dan Legawa terpaksa menggunakan pedangnya untuk menghalau anak-anak panah yang menghujani tubuhnya. Sedangkan Iblis Seribu Nyawa tampak diam saja. Sesekali tangannya dikebutkan untuk menghalau anak panah yang menghujani tubuhnya. Beberapa batang anak panah berhasil menancap ditubuhnya. Tapi laki-laki tua berbaju merah dan seluruh rambutnya berwarna merah itu mencabut anak panah yang menancap ditubuhnya tanpa sedikit pun merasa sakit. Bahkan tak ada setetes darah pun yang keluar.

"Ha ha ha...!" Iblis Seribu Nyawa tertawa terbahak-bahak. Bahkan sekarang, sama sekali Iblis Seribu Nyawa tidak melakukan gerakan. Dibiarkan saja panah-panah itu menghantam tubuhnya. Sungguh menakjubkan! Panah-panah itu langsung rontok begitu menyentuh kulit tubuhnya.

Tentu saja hal ini membuat Pendekar Sabit Emas jadi terbeliak. Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja dengan mata tidak berkedip. Pendekar Rajawali Sakti juga merasa heran melihat laki-laki tua itu tidak terpengaruh oleh serbuan anak panah. Bahkan kulit tubuhnya begitu kebal, sehingga tak satu pun anak panah yang bisa melukainya.

"Dia benar-benar sudah menyempurnakan ilmu-ilmunya. Tak ada satu senjata pun yang mampu membunuhnya," gumam Pendekar Sabit Emas.

"Aku akan menghadapinya. Paman dan kau, Widura, hadapi yang dua orang itu," ujar Rangga.

"Tidak! Kedatangannya ke sini untuk mencariku. Jadi, sudah selayaknya kalau aku yang menyambutnya," sergah Pendekar Sabit Emas menolak keinginan Rangga untuk menghadapi si Iblis Seribu Nyawa itu.

Rangga tidak dapat lagi membantah, karena Pendekar Sabit Emas sudah melompat turun dari atap sambil berteriak memerintahkan murid-muridnya agar menghentikan serangan. Hujan anak panah langsung berhenti begitu kaki Pendekar Sabit Emas menjejak tanah, sekitar dua batang tombak di depan Iblis Seribu Nyawa. Sedangkan Karmapati dan Legawa sudah berada di belakang laki-laki tua berambut merah itu.

"He he he...! Memang seharusnya kau sendiri yang muncul, Pendekar Sabit Emas," ujar Iblis Seribu Nyawa diiringi tawanya yang terkekeh.

"Seharusnya kau dibakar sampai jadi abu...!" dengus Pendekar Sabit Emas.

api mengapa tidak kau lakukan? Dan sekarang sudah terlambat. Bersiaplah menerima kehancuranmu, Pendekar Sabit Emas," terdengar dingin nada suara Iblis Seribu Nyawa.

Pendekar Sabit Emas menggeser kakinya beberapa langkah ke samping ketika Iblis Seribu Nyawa mengebutkan kedua tangannya di depan dada. Karmapati dan Legawa melangkah mundur beberapa tindak, membiarkan Iblis Seribu Nyawa menghadapi musuh utamanya. Semua orang yang menyaksikan kedua tokoh itu saling berhadapan, diliputi perasaan tegang yang amat sangat

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Iblis Seribu Nyawa melompat menyerang Pendekar Sabit Emas. Satu pukulan dilepaskan lurus ke arah dada laki-laki bertubuh gemuk itu. Namun hanya mengegos ke kanan, Pendekar Sabit Emas berhasil menghindari pukulan lawan. Bahkan dengan cepat sekali tongkatnya dikebutkan.

Wuk!

"Hap!"

Iblis Seribu Nyawa melentingkan tubuh ke udara, membuat serangan Pendekar Sabit Emas hanya mengenai angin kosong di bawah kakinya. Dua kali laki-laki tua berambut merah itu melakukan putaran di udara, lalu manis sekali mendarat dibelakang Pendekar Sabit Emas. Begitu cepat tubuhnya berputar, dan langsung melontarkan satu tendangan berputar mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaat...!"
"Halt!"
Bet!

Pendekar Sabit Emas mengebutkan tongkatnya ke belakang, dengan tubuh sedikit berputar. Tak pelak lagi, tongkat berujung bulan sabit emas itu menghantam kaki Iblis Seribu Nyawa. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pendekar Sabit Emas malah terpental tiga langkah ke depan. Cepat keseimbangan tubuhnya dikuasai, sebelum si Iblis Seribu Nyawa melancarkan serangan lagi.

"Gila! Tenaganya jauh berlipat ganda...!" dengus Pendekar Sabit Emas dalam hati. Pendekar Sabit Emas cepat mempersiapkan jurus untuk serangan berikutnya. Sedangkan si Iblis Seribu Nyawa tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia hanya memperhatikan saja setiap gerak kembangan jurus yang dilakukan Pendekar Sabit Emas. Laki-laki tua berambut merah itu masih tetap diam, meskipun lawannya sudah melompat menyerang.

"Hiyaaat...!"

Cepat sekali serangan Pendekar Sabit Emas. Ujung senjatanya siap dihunjamkan ke tengah dada si Iblis Seribu Nyawa yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan malah dadanya sengaja dibuka lebar-lebar. Tak pelak lagi, senjata andalan Pendekar Sabit Emas itu amblas ke dalam dada Iblis Seribu Nyawa. Begitu kerasnya tusukan Pendekar Sabit Emas, sehingga ujung senjatanya tembus keluar dari punggung. Hasilnya, aneh! Iblis Seribu Nyawa malah hanya tersenyum saja. Sedikit pun dia tidak terpengaruh, meski dadanya tertembus senjata maut Pendekar Sabit Emas.

"Heh...?!" Pendekar Sabit Emas jadi terlongong tidak percaya. Senjatanya yang terbenam di dada Iblis Seribu Nyawa dicoba dicabut. Tapi sebelum tercabut keluar, Iblis Seribu Nyawa sudah cepat menghentakkan tangan kanannya tepat menghantam dada Pendekar Sabit Emas.

Plak!

"Akh...!" Pendekar Sabit Emas memekik keras. Tubuh gemuk itu terpental sejauh dua batang tombak. Senjatanya yang terbenam di dada si Iblis Seribu Nyawa terlepas dari genggaman. Keras sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Namun dia cepat bangkit berdiri, meskipun terhuyung-huyung. Dari mulutnya tampak terlontar darah kental agak kehitaman.

Sementara itu Iblis Seribu Nyawa mencabut tongkat bulan sabit yang menancap di dadanya. Senyuman masih tersungging di bibirnya. Dipandanginya senjata Pendekar Sabit Emas itu, setelah keluar dari dadanya. Tak sedikit pun terlihat adanya bekas luka. Sedangkan Pendekar Sabit Emas hanya bisa terlongong, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Bersiaplah menyusul teman-temanmu di neraka, Pendekar Sabit Emas !" desis Iblis Seribu Nyawa dingin.

Setelah berkata demikian, secepat kilat tubuhnya melunik deras ke arah Pendekar Sabit Emas. Tangan kanannya yang memegang tongkat lawannya, tertuju lurus ke arah dada Pendekar Sabit Emas. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, membuat Pendekar Sabit Emas tak punya kesempatan menghindar lagi. Tapi belum juga ujung tongkat berbentuk bulan sabit itu menghunjam dada, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar laki-laki gemuk berkepala botak itu.

Slap!

"Heh...?!"

Iblis Seribu Nyawa terkejut setengah mati. Ternyata calon korban yang sudah berada di depan mata, tiba-tiba saja lenyap. Maka tusukan tongkat berbentuk bulan sabit emas itu hanya mengenai angin saja.

"Setan...!" geram Iblis Seribu Nyawa gusar. Pandangannya beredar berkeliling. Tapi sekitarnya sudah sunyi kembali. Tak terlihat seorang pun di tempat ini. Laki-laki tua berambut merah itu menatap Karmapati dan Legawa yang juga jadi kebingungan. Mereka hanya melihat sekelebatan bayangan putih yang tiba-tiba membawa pergi Pendekar Sabit Emas. Dan memang, seluruh perhatian mereka tertumpah pada pertarungan Iblis Seribu Nyawa dengan Pendekar Sabit Emas. Sehingga, sekelilingnya tidak diperhatikan, dan tidak tahu kalau semua orang sudah meninggalkan padepokan ini.

"Setan belang...! Ke mana mereka semua, heh?!" bentak Iblis Seribu Nyawa berang melihat murid-murid Padepokan Bulan Sabit beserta ketuanya lenyap begitu saja.

Karmapati dan Legawa tidak menjawab, karena tidak tahu ke mana perginya semua orang yang tadi mengepung tempat ini. Pertarungan antara Iblis Seribu Nyawa melawan Pendekar Sabit Emas tadi memang sangat menarik. Akibatnya kedua pemuda itu jadi tak memperhatikan sekelilingnya.

"Keparat! Hiyaaa...!"

Iblis Seribu Nyawa mengumbar kemarahannya. Dilepaskannya pukulan-pukulan jarak jauh yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara-suara ledakan terdengar dahsyat menggelegar, menghancurkan bangunan-bangunan Padepokan Bulan Sabit ini.

"Bakar seluruh tempat ini...!" teriak Iblis Seribu Nyawa lantang menggelegar.

Karmapati dan Legawa bergegas menghampiri obor-obor yang terpancang di dekatnya. Lalu obor itu dinyalakan, dan dilemparkan ke atap-atap bangunan yang ada di sekeliling padepokan. Sebentar saja api sudah berkobar menyala. Meskipun sudah termakan api, namun ketiga orang itu masih tetap melepaskan pukulan-pukulan jarak jauh yang dahsyat kearah bangunan disekitarnya.

Padepokan Bulan Sabit benar-benar hancur. Setelah puas mengumbar kemarahan, Iblis Seribu Nyawa mengajak kedua pemuda itu untuk meninggalkan tempat ini. Mereka bergerak cepat, sehingga sebentar saja sudah tak terlihat lagi, menghilang ditelan kegelapan malam.

***

Sepeninggal Iblis Seribu Nyawa dan kedua pemuda pengawalnya, Pendekar Sabit Emas, Rangga, Widura, dan seluruh murid-murid Padepokan Bulan Sabit baru keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka memang bersembunyi di sebuah tempat di dalam ruangan bawah tanah, tidak jauh dari padepokan itu. Pendekar Sabit Emas termangu memandangi padepokannya yang hancur dan terbakar.

Padepokan yang didirikan bertahun-tahun itu kini telah rata dengan tanah. Tapi hatinya tetap bersyukur, karena tak seorang pun murid-muridnya yang tewas akibat kebrutalan si Iblis Seribu Nyawa. Juga dirinya masih beruntung karena mendapatkan kembali tongkat pusakanya yang tergeletak di dekat reruntuhan padepokan.

"Aku harus pergi ke Padepokan Tongkat Baja. Mudah-mudahan belum terlambat untuk memberi tahu mereka," kata Rangga.

"Aku tidak tahu, jika kau tidak menolong tepat pada waktunya, Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin nasib padepokanku akan lebih buruk lagi," desah Pendekar Sabit Emas.

ang penting sekarang, dirikanlah lagi padepokanmu, Paman. Aku akan terus mencegah tindakannya," tegas Rangga tidak ingin menerima pujian.

Pendekar Rajawali Sakti mengajak Widura. Setelah berpamitan, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Pendekar Sabit Emas memandangi sampai kedua anak muda itu lenyap di dalam hutan yang lebat. Kemudian murid-muridnya diperintahkan untuk membersihkan padepokan mereka yang hancur. Sementara Rangga dan Widura terus berlari ke tempat mereka meninggalkan Rajawali Putih. Kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tak berapa lama kemudian, mereka telah sampai. Rajawali Putih segera bangkit dan menghampiri begitu melihat Rangga dan Widura berlari-lari menghampirinya.

"Hup...!"
"Hap!"
"Khraaagkh...!"

"Ke Timur, Rajawali...!" ujar Rangga memberi petunjuk arah. Hanya sekali mengepakkan sayap saja, Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa.

Widura yang sudah beberapa kali menunggang burung rajawali raksasa ini, sudah tidak takut lagi. Namun begitu, masih juga pinggang Rangga dipeluk erat-erat. Bagaimanapun juga, sedikit rasa takut masih terselip dihatinya. Apalagi menyadari berada diketinggian yang tak pernah dibayangkan ini.

"Kau yakin mereka akan pergi ke Padepokan Tongkat Baja, Widura?" tanya Rangga.

"Aku rasa begitu," sahut Widura.

Rajawali Putih terus meluncur kearah Timur dengan kecepatan bagai kilat. Saat mereka melewati sebuah padang rumput yang luas, Rangga melihat tiga bayangan berkelebat cepat melintasi padang rumput itu. Rangga tahu, mereka adalah Iblis Seribu Nyawa dan kedua anak muda pengawalnya. Widura juga melihat mereka yang berlari cepat melintasi padang rumput itu.

"Benar dugaanku. Mereka menuju Padepokan Tongkat Baja," kata Widura.

idak kusangka mereka bisa bergerak begitu cepat," suara Rangga terdengar agak menggumam, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Mereka memang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak mungkin sanggup menghadapi dua orang pengawalnya," Widura mengakui tanpa malu-malu lagi.

Rangga tidak menanggapi Dia tahu, bagaimana perasaan Widura saat ini. Walau kemampuannya memang terbatas, tapi pemuda itu memiliki semangat untuk menghentikan rongrongan si Iblis Seribu Nyawa. Padahal, manusia yang bangkit dari kuburnya itu, sudah memiliki ilmu-ilmu yang begitu sempurna, setelah mendapatkan seratus darah anak-anak bayi berumur kurang dari setahun.

"Lebih cepat lagi, Rajawali. Kita harus mendahului mereka!" seru Rangga.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih mempercepat terbangnya, hingga melewati ketiga orang yang berlarian cepat dibawah sana. Rajawali raksasa itu terus meluncur cepat bagai kilat. Setelah melewati padang rumput, terus meluncur diatas hutan yang luas dan Iebat. Setelah melewati sebuah lembah, burung rajawali raksasa itu Iaki menukik turun, tepat berada di atas sebuah bukit yang tidak begitu tinggi. Di puncak bukit itu terlihat beberapa bangunan berdiri dikelilingi pagar kayu gelondongan yang tinggi dan kokoh.

"Khraaagkh...!"

Suara Rajawali Putih yang keras menggelegar, membuat orang-orang yang berada di sekitar bangunan itu itu jadi terkejut. Mereka semua mendongakkan kepala ke atas. Sementara Rajawali Putih terus meluncur turun. Orang-orang disekitar bangunan dikelilingi benteng itu, jadi kalang-kabut. Mereka berlarian berserabutan sambil berteriak-teriak ribut. Saat itu, Rajawali Putih sudah mendarat tepat ditengah-tengah lapangan yang cukup luas, tepat di depan sebuah bangunan yang paling besar.

Begitu Rangga dan Widura melompat turun, dari dalam bangunan itu muncul seorang laki-laki berusia setengah baya yang wajahnya masih terlihat gagah dan tampan. Dia juga terkejut begitu melihat di halamannya ada seekor burung rajawali raksasa. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Widura berdiri di depan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

aman...!" seru Widura seraya berlari menghampiri.

Sementara Rangga berjalan mengikuti di belakang pemuda itu. Laki-laki setengah baya yang dipanggil paman oleh Widura, hanya bengong saja. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Sementara di sekeliling mereka sudah berkumpul anak-anak muda dengan senjata terhunus di tangan.

"Widura.... Kaukah itu...?" laki-laki setengah baya ini seperti ingin meyakinkan dirinya.

"Benar, Paman. Aku Widura," sahut Widura. "Kenapa jadi bengong...?"

"Oh...!" laki-laki setengah baya itu jadi tergagap.

Sebentar laki-laki itu memandangi Widura, sebentar kemudian beralih pada Rajawali Putih, lalu berpindah pada Rangga yang berdiri sekitar lima langkah dibelakang Widura. Kembali dipandanginya Widura, seperti benar-benar ingin meyakinkan kalau murid kakaknya ini datang bersama seekor burung rajawali raksasa.

"Paman, ini Rangga. Dan itu Rajawali Putih tunggangannya," Widura cepat memperkenalkan Rangga pada laki-laki setengah baya ini.

"Rangga, pamanku ini dikenal berjuluk Pendekar Tongkat Baja. Makanya, padepokan ini juga dinamakan Padepokan Tongkat Baja."

Rangga menyodorkan tangannya, yang langsung disambut Pendekar Tongkat Baja. Laki-laki setengah baya itu meminta kedua tamunya ini untuk masuk, tapi Widura dengan halus menolaknya.

"Kedatanganku karena ada sesuatu yang penting," kata Widura.

"Ada amanat dari gurumu, Widura?" tanya Pendekar Tongkat Baja.

Widura tidak segera menjawab, tapi malah menghembuskan napas berat beberapa kali. Terasa sukar baginya untuk mengatakan semua yang telah terjadi selama ini. Tapi akhirnya, dengan perasaan berat dan dipaksakan, Widura menceritakan juga semuanya. Sejak dari awal hingga terakhir, semua peristiwa itu diceritakannya.

Pendekar Tongkat Baja jadi tercenung mendengar cerita Widura. Dia seperti tidak percaya setelah mendengar kalau kakaknya yang bernama Wasista sudah tewas. Dan padepokannya sudah hancur rata dengan tanah. Bahkan Padepokan Selendang Maut juga musnah. Yang membuatnya hampir tidak percaya, mereka semua hancur hanya oleh anak buah si Iblis Seribu Nyawa!

Padahal, tokoh kosen itu diketahuinya sudah tewas oleh Eyang Wasista, Dewi Selendang Maut, dan Pendekar Sabit Emas. Meskipun tidak ikut dalam pertarungan itu, tapi dengan mata kepala sendiri, sempat dilihatnya bagaimana Iblis Seribu Nyawa dibuat tidak berdaya oleh lawan-lawannya. Dan akhirnya tewas!

Demikian pula para pengikutinya yang berhasil dihancurkan. Tapi tidak sedikit yang berhasil melarikan diri. Dan mungkin diantaranya adalah anak buahnya yang sekarang, yang telah menghancurkan Padepokan Awan Perak dan Padepokan Selendang Maut.

"Sekarang mereka sedang menuju kesini, Paman. Itu sebabnya, aku dan Kakang Rangga langsung ke sini untuk memberi tahu agar Paman bersiap-siap menghadapi mereka," jelas Widura.

"Apa yang harus kulakukan...?" tanya Pendekar Tongkat Baja seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

"Kosongkan padepokan ini," selak Rangga.

"Kosongkan...?!"

"Mereka memang akan menghancurkan padepokan ini, tapi jangan sampai jatuh korban. Biarkan mereka melampiaskan kekecewaannya," jelas Rangga.

"Apakah itu bukan tindakan pengecut...?"

"Tidak! Demi menyelamatkan seluruh murid padepokan, maka bangunan ini harus dikosongkan. Mereka bukan lawan tanding yang ringan, karena berkepandaian tinggi. Harus dicari cara yang tepat untuk menghadapinya, tanpa harus menimbulkan korban banyak," kata Rangga lagi.

"Ikuti saja, Paman. Kakang Rangga sudah mempunyai rencana matang untuk menghadapi si Iblis Seribu Nyawa," bujuk Widura.

Pendekar Tongkat Baja memandangi Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Keningnya berkerut, dan kelopak matanya agak menyipit. Rangga sendiri agak jengah juga dipandangi begitu. Tapi, dibiarkannya saja Pendekar Tongkat Baja ini menilai dirinya. Pendekar Tongkat Baja mengalihkan pandangan pada burung rajawali raksasa yang mendekam ditengah-tengah halaman luas.

"Oh! Kenapa mataku jadi buta begini..? Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti...?" desah Pendekar Tongkat Baja.

Rangga hanya tersenyum saja.

"Benar, Paman. Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti," Widura membenarkan.

"Sungguh beruntung, aku bisa bertemu denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Maaf, kalau aku tadi sempat meremehkanmu," ucap Pendekar Tongkat Baja.

"Sudahlah, lupakan saja. Yang penting sekarang, padepokan ini harus segera dikosongkan. Sebentar lagi mereka datang," tegas Rangga tidak ingin memperpanjang.

"Baiklah. Akan kuturuti saranmu, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Pendekar Tongkat Baja.

Bergegas laki-laki setengah baya itu melangkah keluar dari beranda rumah yang berukuran cukup besar ini. Kemudian dengan suara lantang, diperintahkannya seluruh murid keluar dan berkumpul dihalaman. Dengan singkat, laki-laki setengah baya bertubuh tegap itu menjelaskan keadaan yang bakal dihadapi. Lalu, semua muridnya diminta untuk meninggalkan padepokan ini ke tempat perlindungan yang berada tidak jauh diluar pagar yang mengelilingi Padepokan Tongkat Baja. Tak ada seorang pun yang membantah. Mereka semua bergegas keluar dari padepokan, menuju tempat perlindungan.

"Widura, ikutlah bersama mereka. Aku akan mengawasi dari udara," kata Rangga.

"Baiklah. Tapi berhati-hatilah, Kakang," ujar Widura.

Setelah tidak ada seorang pun yang tinggal di sekitar padepokan ini, Rangga segera naik ke punggung Rajawali Putih. Lalu, burung raksasa itu melesat tinggi ke angkasa, dan berputar-putar di atas bangunan padepokan ini. Rangga terus mengamati keadaan sekitarnya dari angkasa. Pandangannya kemudian tertumpu pada tiga bayangan yang bergerak cepat menembus lebatnya hutan, menuju kepuncak bukit ini.

"Hm.... Mereka sudah datang," gumam Rangga dalam hati.

***
TUJUH
Kekecewaan kembali dialami Iblis Seribu Nyawa, begitu mendapati Padepokan Tongkat Baja dalam keadaan kosong. Rasa kecewanya menimbulkan kemarahan yang langsung dilampiaskan dengan penghancuran seluruh bangunan di Padepokan Tongkat Baja ini. Hingga tak ada satu bangunan pun yang tersisa berdiri tegak. Bahkan pagar yang mengelilingi padepokan ini pun ikut dihancurkan.

Sementara dari angkasa, Rangga memperhatikan semua itu dengan hati geram. Tapi semua itu masih berusaha ditahan agar kemarahannya tidak terpancing. Baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti melihat kebrutalan terjadi di depan matanya. Dan bukannya hal itu tidak ingin dicegahnya. Tapi, dia menunggu saat yang tepat untuk menghentikan semua kebrutalan ini.

Setelah melampiaskan kekecewaannya, Iblis Seribu Nyawa dan kedua anak buahnya meninggalkan Padepokan Tongkat Baja yang sudah hancur tak berbentuk lagi. Sementara Rangga masih mengawasi dari angkasa, sampai ketiga orang edan itu tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti kemudian turun dan mendarat di luar pagar Padepokan Tongkat Baja yang sudah hangus jadi arang.

Pada saat itu Pendekar Tongkat Baja, Widura, dan seluruh murid padepokan itu berdatangan. Mereka seperti tidak percaya melihat padepokannya hancur dalam waktu singkat. Semua yang ada disitu hanya dapat memandangi dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada. Terutama Pendekar Tongkat Baja. Kemarahannya begitu meluap-luap di dalam dada. Tapi, memang saat ini dia tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi setelah menyaksikan kebrutalan Iblis Seribu Nyawa menghancurkan padepokannya yang dibangun bertahun-tahun.

"Paman Tongkat Baja! Aku harap Paman bisa selekasnya datang ke Desa Jati Wengker bersama Paman Sabit Emas," pinta Rangga.

"Untuk apa aku datang ke sana?" tanya Pendekar Tongkat Baja.

"Karena di sanalah awal dari semua bencana ini. Tepatnya, di Hutan Alas Waru. Aku akan mencari kelemahan Iblis Seribu Nyawa itu di sana, sebelum kita semua menggempurnya," jelas Rangga mengemukakan rencananya.

"Rasanya tidak mungkin menghadapinya, meskipun seluruh pendekar di jagat ini bersatu," keluh Widura bergumam pelan.

"Seperti apa pun tangguhnya, pasti punya kelemahan. Dan kelemahannya itu yang harus ditemukan. Percayalah. Dia akan kuhadapi, meskipun kelemahannya belum kudapatkan," tegas Rangga meyakinkan.

"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Rasanya memang hanya kaulah yang bisa menghadapi kebrutalannya," ujar Pendekar Tongkat Baja, mantap. "Terus terang, dari caranya menghancurkan padepokanku ini saja, aku sudah bisa mengukur kemampuanku sendiri. Jelas, aku tidak mungkin bisa menandinginya."

"Tidak perlu merasa rendah diri begitu, Paman. Kita semua akan bahu membahu menghentikan segala perbuatannya. Aku yakin, Dewata akan selalu menyertai usaha yang mulia ini," hibur Rangga membesarkan hati Pendekar Tongkat Baja.

"Kau masih muda, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku selalu mengagumimu, meskipun baru kali ini bisa berjumpa langsung," kata Pendekar Tongkat Baja.

Rangga hanya tersenyum saja. "Aku akan pergi sekarang, Paman. Mudah-mudahan bisa secepatnya menemukan kelemahan si Iblis Seribu Nyawa itu," Rangga berpamitan.

"Aku ikut, Kakang," selak Widura.

"Jangan! Kau nanti bersama-sama pamanmu. Jemputlah Pendekar Sabit Emas, dan terus ke Desa Jati Wengker. Kita bertemu di sana," Rangga menolak permintaan Widura dengan halus namun tegas.

Widura sebenarnya ingin memaksa, tapi segera mengurungkan keinginannya. Sedangkan Rangga sudah melangkah menghampiri Rajawali Putih. Dengan satu lompatan indah, Pendekar Rajawali Sakti naik ke punggung burung raksasa itu. Setelah lehernya ditepuk tiga kali, Rajawali Putih melesat naik dan langsung membumbung tinggi ke angkasa dengan kecepatan luar biasa.

"Khraaagkh...!"

"Hm.... Tidak percuma kau ditempatkan pada urutan pertama dalam dunia persilatan," gumam Pendekar Tongkat Baja.

Pendekar Tongkat Baja dan Widura memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti sampai lenyap ditelan awan. Untuk beberapa saat, mereka masih berdiri memandang ke awan. Lalu, Pendekar Tongkat Baja memerintahkan murid-muridnya membangun kembali padepokan mereka yang hancur. Dia sendiri, kemudian mengajak Widura pergi ke Padepokan Bulan Sabit Dari situ, mereka terus ke Desa Jati Wengker bersama-sama Pendekar Sabit Emas, seperti yang diminta Pendekar Rajawali Sakti tadi.

***

Di angkasa, Rangga melihat Iblis Seribu Nyawa dan kedua orang anak buahnya berlarian menembus lebatnya hutan. Jelas sekali kalau tujuan mereka adalah Desa Jati Wengker. Dan yang pasti, mereka akan melewati Hutan Alas Waru. Dari angkasa seperti ini, terlalu sulit mengamati, jika mereka sudah memasuki Hutan Alas Waru. Karena hutan itu sangat lebat, dan sukar ditembus oleh penglihatan dari ketinggian seperti ini.

"Rajawali, aku akan sedikit menghambat mereka, turun di depan sana...!" ujar Rangga sambil menunjuk sebuah dataran cukup luas untuk didarati burung rajawali raksasa ini.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih menukik deras ke arah yang ditunjuk Rangga. Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa yang kemudian kembali melambung tinggi ke angkasa bersama beberapa pesan yang diberikan Rangga.

"Akan kutunggu dia di sini," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti melompat keatas, dan hinggap di cabang sebatang pohon yang cukup tinggi. Pandangannya lurus tak berkedip, menunggu munculnya si Iblis Seribu Nyawa dan dua orang anak buahnya yang telah mengacaukan beberapa desa di sekitar Hutan Alas Waru. Tidak berapa lama, Rangga sudah bisa melihat ketiga orang yang berlari cepat menuju ke arahnya.

Begitu dekat, Rangga cepat melompat turun dengan gerakan indah dan manis sekali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat menghadang didepan Iblis Seribu Nyawa. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba, membuat Iblis Seribu Nyawa terkejut Larinya kontan dihentikan. Begitu pula dua pemuda yang menyertainya. Mereka berhenti berlari dibelakang laki-laki tua berambut merah ini.

"Kau...," desis Iblis Seribu Nyawa. Laki-laki tua itu mengenali Rangga yang pernah dilihatnya di Padepokan Bulan Sabit. Dia adalah pemuda berbaju rompi putih yang berdiri bersama Pendekar Sabit Emas di atas atap. Ditatapnya tajam-tajam pemuda yang berdiri menghadang di depannya.

"Mau apa kau menghadang jalanku, Bocah?!" bentak Iblis Seribu Nyawa kasar.

"Menghentikan kebrutalanmu!" sahut Rangga, dingin dan datar.

"Menghentikanku...? Ha ha ha...!" Iblis Seribu Nyawa tertawa terbahak-bahak.

Karmapati dan Legawa yang berada dibelakang laki-laki tua berambut merah itu juga tertawa sinis. Sedangkan Rangga hanya diam saja. Tatapannya tetap tajam menusuk langsung ke bola mata Iblis Seribu Nyawa ini

"Aku melihatmu di Padepokan Bulan Sabit. Apakah kau murid si Pendekar Sabit Emas?" tanya Iblis Seribu Nyawa ingin tahu. "Kalau kau memang muridnya, lebih baik angkat kaki dari sini, sebelum kuhancurkan batok kepalamu!"

"Aku bukan muridnya, tapi sahabatnya. Dan aku tidak akan tinggal diam melihat padepokan sahabatku kau hancurkan!" tetap dingin nada suara Rangga.

"Ha ha ha.... Bagus! Makin banyak pendekar yang berdatangan, makin banyak pula darah yang menggenang. Aku senang bertarung dengan seorang pendekar muda sepertimu, Bocah. Darahmu pasti harum."

Rangga hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata yang dapat memancing kemarahan itu. Tapi dia tetap tidak ingin terpancing. Meskipun kata-kata Iblis Seribu Nyawa barusan begitu menyakitkan dan meremehkan sekali.

"Kau ingin menghentikanku, Bocah. Sekarang kenapa tidak menyerang?" lagi-lagi Iblis Seribu Nyawa memancing.

"Aku tidak akan menyerang sebelum didahului,", sahut Rangga dingin.

"Phuah...! Kau meremehkan aku, Bocah!" geram Iblis Seribu Nyawa.

"Sama seperti yang kau lakukan pada Padepokan Awan Perak, Padepokan Selendang Maut dan padepokan-padepokan lain. Kau juga meremehkan, dan menghancurkan mereka tanpa sisa. Aku ingin tahu, sampai di mana kemampuanmu, sehingga bisa menghancurkan dua padepokan dalam waktu singkat," kejar Rangga lagi.

"Beludak...!" bentak Iblis Seribu Nyawa geram. Semula Iblis Seribu Nyawa yang memancing kemarahan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sekarang, malah dirinya sendiri yang terpancing oleh kata-kata Rangga yang begitu halus, tapi sangat menusuk hati. Sambil mendengus dan menyemburkan ludahnya beberapa kali, Iblis Seribu Nyawa cepat menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Lalu....

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat Iblis Seribu Nyawa melompat memberi serangan cepat kepada pemuda berbaju rompi putih itu. Sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, maka pukulan yang dilepaskan laki-laki tua berambut merah itu lewat di samping tubuhnya. Namun Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang, saat merasakan angin pukulan itu mengandung hawa yang panas menyengat

"Phuih! Dahsyat sekali serangannya...!" desah Rangga dalam hati.

Belum juga Rangga sempat melakukan serangan balasan, Iblis Seribu Nyawa sudah kembali cepat menyerang. Beberapa kali pukulan yang keras dan cepat dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun semua serangan itu berhasil dielakkan Pendekar Rajawali Sakti, dengan mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Pertarungan antara Iblis Seribu Nyawa dengan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa, mereka sama-sama menghabiskan sepuluh jurus. Tapi sampai saat ini, belum satu jurus andalan pun yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu, kelihatannya tidak mudah bagi Iblis Seribu Nyawa mendesaknya.

"Akan kucoba dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'," desis Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti cepat merubah jurusnya. Kali ini kedua tangannya merentang lebar, seakan-akan membiarkan dadanya terbuka. Gerakan-gerakan kedua tangannya begitu cepat, membuat Iblis Seribu Nyawa tampak agak kewalahan menghadapi serangan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Beberapa kali tebasan tangan Pendekar Rajawali Sakti hampir mengenai sasaran, tapi Iblis Seribu Nyawa masih mampu menghindar. Bahkan setelah beberapa gebrakan berlangsung, laki-laki berambut merah itu berhasil melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merubah kembali jurusnya, menjadi jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', untuk mengimbangi serangan-serangan si Iblis Seribu Nyawa.

"Setan keparat...! Bocah ini mempermainkanku!" dengus Iblis Seribu Nyawa geram. Laki-laki tua berambut merah itu memang merasa sedang dipermainkan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Karena setiap kali menyerang, Rangga cepat merubah jurusnya menjadi jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat merubah jurusnya kembali begitu melakukan serangan balasan. Hal ini tentu saja membuat si Iblis Seribu Nyawa jadi kelabakan menghadapinya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya terasa jadi mentah, dan tidak berguna sama sekali.

"Hup...!"

Tiba-tiba saja Iblis Seribu Nyawa melesat kebelakang, melakukan putaran diudara beberapa kali. Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah, sejauh dua batang tombak dari Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti membiarkan saja, tidak bermaksud mengejar. Bahkan malah berdiri tegak dengan tenang. Bibirnya yang tipis dan agak kemerahan, menyunggingkan senyuman tipis yang hampir tidak terlihat

"Kenapa berhenti, Iblis Seribu Nyawa?" tanya Rangga, agak sinis.

"Siapa kau sebenarnya?! Belum pernah aku berhadapan dengan anak muda sampai lebih dari sepuluh jurus!" agak keras suara Iblis Seribu Nyawa.

Rangga tidak segera menjawab, tapi malah memberi senyuman yang cukup lebar dan manis. Dia tahu, kalau laki-laki tua berambut merah ini sudah mengakui ketangguhannya, meskipun tidak diucapkan secara langsung. Tapi dari kata-katanya tadi, sudah bisa dirasakan adanya nada pujian.

"Aku Rangga, orang-orang biasanya memanggilku Pendekar Rajawali Sakti," Rangga memperkenalkan diri tanpa ada nada kesombongan dalam suaranya.

"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Iblis Seribu Nyawa.

Laki-laki tua berambut merah itu memandangi Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Keningnya terlihat sedikit berkerut, dan matanya agak menyipit. Seakan-akan dia tengah teringat sesuatu, atau bahkan mungkin juga tengah menilai tingkat kepandaian yang dimiliki lawannya.

"Namamu pernah kudengar, Bocah. Hm.... Hampir semua orang di kalangan rimba persilatan selalu membicarakanmu. Tapi sayang sekali, jalan antara kita berdua saling berlawanan. Dan terpaksa kita berhadapan sebagai musuh," dingin sekali suara Iblis Seribu Nyawa.

"Mungkin saja tidak, jika kau rela kembali ke alammu," balas Rangga.

"Bocah setan...! Apa yang kau bicarakan, heh?!" bentak Iblis Seribu Nyawa langsung memerah wajahnya.

"Aku bicara yang sebenarnya. Kau sudah tidak patut lagi berada di dunia nyata ini, Iblis Seribu Nyawa. Sudah selayaknya kau tinggalkan dunia ini, dan hidup damai di alam akhirat" tenang sekali suara Rangga.

"Keparat..! Kau telah menghinaku, Bocah!" geram Iblis Seribu Nyawa.

"Aku tidak pernah menghina siapa pun juga. Aku tadi hanya mengingatkanmu. Kau sebenarnya sudah mati, dan tidak ada hak lagi hidup di dunia ini. Tapi, bisa juga jika perkataanku kau anggap suatu peringatan," ujar Rangga tetap tenang.

"Kau sudah membuka tantangan, Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang bisa menantangku. Mereka yang berani coba-coba menantang, harus mati ditanganku. Tidak peduli kau...!"

Setelah berkata demikian, Iblis Seribu Nyawa langsung melompat melakukan serangan kembali. Hatinya benar-benar panas menerima kata-kata yang diucapkan Rangga barusan. Begitu cepatnya serangan yang dilakukannya, sehingga membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari. Beberapa kali dia harus menjatuhkan diri di tanah, bergulingan dan cepat bangkit berdiri. Tapi Iblis Seribu Nyawa rupanya kali ini tidak ingin memberi kesempatan pada lawannya untuk melakukan serangan balasan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

***
DELAPAN
Rangga yang semula berniat hanya menghambat perjalanan si Iblis Seribu Nyawa ke Desa Jati Wengker, jadi merasa tidak punya kesempatan lagi untuk melepaskan diri dari pertarungan. Terlebih lagi, si Iblis Seribu Nyawa sudah memerintahkan kedua anak buahnya untuk ikut menyerang. Akibatnya pemuda berbaju rompi putih itu benar-benar tidak bisa keluar dari pertarungan yang dahsyat ini.

Menghadapi Iblis Seribu Nyawa sendiri saja, sudah cukup sulit Apalagi ditambah dua orang yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Akibatnya Rangga semakin kewalahan dan terus terdesak. Tapi Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali masih sempat memberi serangan balasan yang cukup membuat mereka sedikit kerepotan, meskipun tidak sampai membuat serangan dan pertahanan berantakan. Dan itu juga hanya sebentar saja. Selebihnya, Rangga sudah harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan gencar dan dahsyat

"Huh! Bisa habis tenagaku kalau begini terus!" dengus Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau keadaan yang dialaminya tidak menguntungkan sama sekali Dan juga disadari kalau tidak mudah keluar dari kancah pertempuran ini begitu saja. Mereka benar-benar ingin membunuhnya, dan tidak memberi kesempatan menarik napas sedikit pun.

"Aku harus meminta bantuan Rajawali Putih," desis Rangga bergumam dalam hati. Tapi tidak mudah bagi Rangga untuk memanggil Rajawali Putih. Apalagi serangan-serangan yang datang begitu beruntun, dan tidak ada kesempatan baginya untuk mengeluarkan siulan ajaibnya. Namun begitu memiliki kesempatan yang sedikit, langsung tidak disia-siakannya.

"Suiiit..!"

"Khraaagkh...!"

Begitu mendengar siulan, saat itu juga terdengar suara serak yang begitu menggelegar dari angkasa. Sebelum ada yang menyadari, tampak dari angkasa meluruk turun seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Kibasan kedua sayapnya begitu keras, membuat tiga orang yang mengeroyok Rangga jadi berpelantingan.

"Hiyaaa...!"

Bagaikan kilat, Rangga melentingkan tubuhnya, dan cepat naik ke punggung Rajawali Putih. Secepat kilat pula, Rajawali Putih melesat ke angkasa. Sedangkan Iblis Seribu Nyawa dan dua orang anak muda pengawalnya, jadi terbengong-bengong. Mereka seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikan.

Sedangkan di angkasa, Rangga meminta agar Rajawali Putih tidak terbang terlalu tinggi. Bahkan burung rajawali raksasa itu berputar-putar saja. Rangga memperhatikan Iblis Seribu Nyawa dan dua orang anak buahnya yang tengah mendongak ke atas.

"Heh...! Bukankah itu..." Pendekar Rajawali Sakti tersentak ketika melihat sekitar tiga puluhan orang bergerak cepat menuju padang rumput itu. Tampak jelas kalau yang berada paling depan adalah Pendekar Tongkat Baja, Pendekar Sabit Emas, dan Widura. Sedangkan yang mengekor dibelakang mereka adalah puluhan murid pilihan dari kedua pendekar itu.

"Mereka tidak akan sanggup menandingi si Iblis Seribu Nyawa, dan tidak boleh mati sia-sia. Aku harus cepat bertindak sebelum korban berjatuhan," gumam Rangga langsung mengambil keputusan. "Turunkan aku di depan mereka, Rajawali...!"

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih langsung meluruk deras secepat kilat, dan sebentar saja sudah dekat ke tanah yang berumput tebal bagai permadani terhampar. Rangga cepat melesat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya, tepat sekitar dua batang tombak di depan Iblis Seribu Nyawa.

"Phuih! Rupanya kau masih punya nyali bertemu dengan denganku, Pendekar Rajawali Sakti," dengus Iblis Seribu Nyawa sengit

"Majulah. Kita selesaikan semuanya hari ini," tantang Rangga.

"He he he.... Bagus! Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaa...!"

Iblis Seribu Nyawa langsung saja melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Menyadari akan ketangguhan pendekar muda itu, jurus-jurus yang dahsyat dan berbahaya langsung dikeluarkan. Sedangkan Rangga sengaja mengulur-ulur waktu dengan berlompatan dan meliukkan tubuhnya, mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Sementara Karmapati dan Legawa saling berpandangan. Dan sebelum mereka ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja muncul Pendekar Tongkat Baja, Pendekar Sabit Emas, Widura, serta murid-murid pilihan Padepokan Tongkat Baja dan Padepokan Bulan Sabit. Mereka berlari cepat ke arah dua orang anak buah si Iblis Seribu Nyawa itu.

Kemunculan mereka membuat Karmapati dan Legawa jadi kelabakan. Terlebih lagi, kedua pendekar kosen itu bersama Widura dan murid-murid dari dua padepokan, langsung menyerang. Karmapati dan Legawa adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi menghadapi dua orang pendekar dan keroyokan murid-murid dari Padepokan Tongkat Baja dan Padepokan Bulan Sabit, mereka jadi kewalahan.

"Kakang Tongkat Baja, pisahkan mereka...!" seru Pendekar Sabit Emas.

"Baik! Hiyaaat...!"

Pendekar Tongkat Baja langsung merangsek Karmapati, dan memaksa agar terpisah dari Legawa. Sedangkan Pendekar Sabit Emas terus mendesak Legawa. Kedua pendekar itu memerintahkan murid-murid mereka untuk menyingkir. Bahkan Widura sendiri jadi tidak kebagian lawan. Maka terpaksa dia hanya menjadi penonton saja bersama yang lain.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Pendekar Tongkat baja. Bagaikan kilat, laki-laki setengah baya bertubuh tegap itu melentingkan tubuh ke udara. Lalu cepat sekali tongkat baja hitamnya dikebutkan ke arah kepala Karmapati. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Tongkat Baja, sehingga membuat Karmapati jadi terperangah.

"Hait...!"

Cepat-cepat Karmapati mengegoskan kepalanya, menghindari sabetan tongkat baja hitam. Namun sebelum dia sempat melakukan sesuatu, mendadak saja Pendekar Tongkat Baja melakukan putaran cepat ke belakang. Bagaikan kilat, langsung dilepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!"

Karmapati terjungkal begitu punggungnya terhantam tendangan menggeledek yang dilepaskan Pendekar Tongkat Baja. Selagi pemuda itu terkapar di tanah, Widura cepat melompat Langsung pedangnya dibabatkan ke arah dada Karmapati.

"Hiyaaat..!"

Bet!

Karmapati hanya dapat terbeliak. Dan....

Cras!

"Aaakh...!" untuk kedua kalinya Karmapati menjerit keras melengking tinggi.

Widura yang sudah teramat benci pada pemuda itu, apalagi hatinya juga terselimut dendam, tak dapat lagi mengendalikan diri. Cepat sekali pedangnya diangkat dan ditusukkan ke dada Karmapati. Sekali lagi anak buah Iblis Seribu Nyawa itu menjerit keras melengking tinggi. Sebentar dia masih mampu menggeliat, kemudian diam tak bernyawa lagi.

huih!" Widura menyemburkan ludah sambil menarik keluar pedangnya dari dada Karmapati.

Sementara itu di lain tempat, Legawa jadi kehilangan kendali begitu melihat Karmapati tewas. Dan ini dimanfaatkan Pendekar Sabit Emas. Sehingga ketika pendekar berkepala gundul itu melepaskan satu pukulan keras ke arah dada, Legawa tidak dapat lagi menghindar. Pukulan itu cepat dan telak menghantam dadanya.

Des!

"Akh...!" Legawa memekik agak tertahan. Pemuda berbaju merah itu terpental sejauh satu batang tombak kebelakang. Tubuhnya terhuyung-huyung, mencoba menguasai keseimbangan. Tapi sebelum bisa dikuasai secara sempurna, Pendekar Sabit Emas sudah melancarkan satu serangan kilat.

"Hiyaaat..!"

Wuk!

Cepat sekali pendekar gendut itu mengebutkan senjata tongkat yang ujungnya berbentuk bulan sabit ke arah dada Legawa. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Legawa tak sempat lagi menghindar.

Cras!

"Akh...!" lagi-lagi Legawa memekik keras. Darah langsung menyembur keluar dari dadanya yang sobek tersabet ujung tongkat Pendekar Sabit Emas. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang mengucurkan darah segar.

"Kau tidak pantas hidup, Iblis Busuk! Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat Pendekar Sabit Emas melompat menerjang Legawa. Ujung tongkatnya yang berbentuk bulan sabit berwarna keemasan, mengancam lurus ke dada pemuda berbaju merah itu.

Bres!

"Aaakh...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar membelah angkasa! Legawa langsung jatuh terguling begitu Pendekar Sabit Emas mencabut senjatanya. Seketika darah muncrat membasahi bumi. Pendekar Sabit Emas melompat mundur sejauh beberapa tindak. Sebentar Legawa masih bisa menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Pendekar Tongkat Baja dan Widura bergegas menghampiri Pendekar Sabit Emas. Mereka berdiri berjajar, dan langsung mengarahkan pandangan pada pertarungan antara Rangga melawan Iblis Seribu Nyawa.

"Bagaimana...?" tanya Pendekar Sabit Emas.

"Sebaiknya kita tidak perlu turun tangan. Tunggu saja perkembangannya," ujar Pendekar Tongkat Baja.

"Aku yakin, Kakang Rangga bisa mengalahkan Iblis Seribu Nyawa," desis Widura.

ampaknya Pendekar Rajawali Sakti memang sudah bisa menguasai pertarungan," sambung Pendekar Tongkat baja.

"Tapi tubuh si Iblis Seribu Nyawa sangat kebal. Dia tidak mempan senjata," sergah Pendekar Sabit Emas.

Laki-laki setengah baya itu teringat dengan pengalamannya sendiri. Meskipun senjatanya sudah menembus dada laki-laki tua berambut merah itu, namun tidak mengakibatkan kematian. Bahkan hampir saja dia yang tewas. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak menyelamatkannya.

"Kita lihat saja, Pendekar Rajawali Sakti memiliki senjata dahsyat yang tidak ada tandingannya di dunia ini," jelas Pendekar Tongkat Baja lagi.

Memang pada saat itu, Rangga sudah mencabut pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Dengan pedang pusaka berada di tangan, serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti semakin dahsyat dan berbahaya. Akibatnya Iblis Seribu Nyawa terus terdesak dan kewalahan.

"Hup!"

Tiba-tiba saja Rangga melompat mundur sejauh lima langkah. Pedangnya cepat disilangkan di depan dada. Lalu dengan tangan kiri, mata pedang itu digosok-gosok. Cahaya biru langsung menggumpal membentuk bulatan sebesar kepala di ujung pedang. Dan mendadak....

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya ke depan. Seketika cahaya biru yang menggumpal di ujung pedangnya melesat ke arah Iblis Seribu Nyawa. Begitu cepatnya melesat, sehingga Iblis Seribu Nyawa tak sempat lagi menghindar.

"Ikh...!" Iblis Seribu Nyawa bergetar tubuhnya terselimut sinar biru yang memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dia menggeliat-geliat, mencoba melepaskan diri dari lingkaran sinar biru itu. Saat itu juga, Iblis Seribu Nyawa merasakan kekuatannya mengalir keluar deras sekali. Semakin mencoba bertahan, kekuatannya semakin mengalir ke luar. Bahkan tak terkendali lagi.

"Ufs...!" Sedikit demi sedikit, Iblis Seribu Nyawa tersedot mendekati Rangga. Tubuhnya terus menggeliat-geliat, mencoba melepaskan diri. Tapi tenaganya semakin tersedot keluar. Dan begitu dekat, Pendekar Rajawali Sakti segera menghentakkan tangan kirinya, dan langsung menempal didada laki-laki tua berambut merah itu.

Trek! Cring!

Rangga memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung, lalu cepat menghentakkan tangan kanannya. Maka tangan kanannya kini menempel di dada si Iblis Seribu Nyawa. Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu menggeletar, pertanda seluruh kemampuannya dikerahkan, dalam pengerahan aji 'Cakra Buana Sukma'.

Sementara Iblis Seribu Nyawa semakin mengendor perlawanannya. Darah sudah mengucur dari lubang hidung, mata, telinga, dan mulutnya. Hingga akhirnya tubuh laki-laki berambut merah itu hanya bisa mengelepar, dengan tubuh terbungkus sinar biru yang terus memancar dari kedua telapak tangan Rangga.

"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Lalu, kedua tangannya dihentakkan kuat-kuat.

Seketika itu juga tubuh Iblis Seribu Nyawa terpental kebelakang, lalu meledak. Dan kini tubuh laki-laki tua berambut merah itu hancur berkeping-keping. Memang sungguh dahsyat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir.

"Ufh...!" Rangga langsung jatuh terduduk lemas. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat. Pandangannya begitu nanar menatap serpihan tubuh Iblis Seribu Nyawa. Sinar biru sudah lenyap dari pandangan mata. Saat itu, Widura, Pendekar Tongkat Baja, dan Pendekar Sabit Emas berlari-lari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang Rangga...," panggil Widura perlahan.

Rangga mengangkat kepalanya perlahan-lahan. Ditatapnya Widura, lalu bergantian menatap Pendekar Tongkat Baja dan Pendekar Sabit Emas. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Widura hendak membantu, tapi Rangga mencegahnya lebih dahulu.

"Aku tidak apa-apa," elak Rangga perlahan.

"Kau terluka, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Tongkat baja.

idak. Hanya perlu waktu sedikit untuk memulihkan tenaga," sahut Rangga.

Saat itu, dari arah Hutan Alas Waru berdatangan penduduk Desa Jati Wengker. Di antara mereka terlihat Ki Jumpana dan putrinya serta Ki Ampal. Mereka langsung mengerumuni para pendekar itu.

"Maaf, kami datang terlambat," ucap Ki Jumpana tergesa-gesa begitu berada didepan para pendekar itu.

"Semua sudah berakhir, Ki," jelas Pendekar Tongkat baja.

"Kakang Rangga yang menewaskan si Iblis Seribu Nyawa," sambung Widura memberi tahu.

"Oh, syukurlah kalau begitu," desah Ki Jumpana lega.

"Rasanya, tidak ada lagi yang harus kulakukan. Maka, sekarang aku mohon diri dulu," ujar Pendekar Tongkat baja.

"Kenapa tidak singgah dulu di desa kami...?" Ki Jumpana menawarkan.

"Masih banyak yang harus kukerjakan, Ki. Maaf, aku tidak bisa meninggalkan murid-muridku yang sedang membangun padepokan kembali," dengan halus Pendekar Tongkat Baja menolak permintaan Kepala Desa Jati Wengker itu.

Ki Jumpana tidak bisa memaksa. Pendekar Tongkat Baja bergegas meninggalkan tempat itu diikuti murid-muridnya. Tak berapa lama kemudian, Pendekar Sabit Emas juga meninggalkan tempat itu bersama murid-murid pilihannya.

"Kenapa mereka begitu tergesa-gesa...?" Ki Jumpana seperti bertanya pada diri sendiri.

"Mereka harus membangun kembali padepokannya yang hancur, Ki," jelas Rangga.

"Heh...?! Memangnya kenapa?" tanya Ki Jumpana terkejut.

"Sukar dijelaskan, Ki," sahut Rangga.

"Nanti aku yang akan menjelaskannya, Ki," selak Widura.

"Terima kasih jika kau sudi menjelaskan semuanya padaku, Widura," ucap Ki Jumpana.

"Nanti akan kujelaskan di desa, karena aku sekarang butuh tempat tinggal," kata Widura agak sendu.

"Kenapa kau bicara begitu, Widura?" Ki Jumpana jadi bertambah kebingungan.

"Sebaiknya aku mohon diri," selak Rangga berpamitan.

Dan sebelum Ki Jumpana membuka mulutnya untuk mencegah, Rangga sudah cepat melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga dalam waktu singkat sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

"Ceritakan seluruhnya, apa yang terjadi sebenarnya, Widura," pinta Ki Jumpana.

Widura hanya menarik napas saja, kemudian mengayunkan langkahnya perlahan-lahan. Kinanti mensejajarkan langkahnya disamping pemuda itu. Sedangkan Ki Jumpana hanya memandangi saja. Sudah bisa ditebak kalau telah terjadi sesuatu di Padepokan Awan Perak. Kepala desa itu kemudian memerintahkan warga desanya untuk kembali.

Sedangkan secara perlahan-lahan. Widura menceritakan keadaan dirinya sekarang. Terutama setelah padepokannya hancur, dan gurunya tewas di tangan anak buah Iblis Seribu Nyawa. Semua itu diceritakan pada Kinanti yang setia mendengarkan. Gadis itu ikut merasakan penderitaan pemuda ini. Dia tahu kalau Eyang Wasista, bagi Widura bukan hanya sekadar guru. Tapi juga sebagai pengganti orang tuanya.

"Kau tidak perlu memikirkan tempat tinggal, Kakang. Aku yakin, Ayah pasti akan memberimu tempat tinggal. Tetaplah kau di Desa Jati Wengker. Seluruh warga desa pasti akan menerimamu sebagai pahlawan," ajak Kinanti lembut.

Widura hanya tersenyum tipis saja. Dipandanginya wajah gadis itu lamat-lamat. Dan tentu saja hal ini membuat Kinanti tertunduk degan wajah bersemu merah dadu. Widura menggamit lengan gadis itu dan digenggamnya erat-erat

"Kau bersedia mendampingiku, Kinanti?"

"Sebaiknya bicarakan saja dengan ayah," sahut Kinanti tanpa sanggup menatap mata pemuda itu. Suaranya juga terdengar pelan sekali.

"Tentu, setelah semuanya kembali tenang," janji Widura.

Mereka terus berjalan. Dan tanpa disadari, mereka kini berjalan paling belakang. Sedangkan Ki Jumpana tampaknya memang memberi kesempatan pada mereka berdua untuk bisa berbicara lebih banyak lagi. Dan kesempatan ini memang dimanfaatkan Widura untuk mengikat janji bersama gadis ini. Ternyata dari peristiwa berdarah, juga melahirkan benih-benih cinta di antara dua hati anak muda ini.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar