Ternyata Mayang bukan seorang gadis yang bodoh. Begitu bertanding melawan Gunga Lama, secara diam-diam dia terkejut dan juga khawatir. Di luar perkiraannya, lawannya itu tangguh bukan main! Da pun tahu bahwa dia masih kalah dalam hal tenaga, dan melawan seorang saja, banyak kemungkinan dia akan kalah, apa lagi kalau sampai mereka bertiga maju bersama.
Memang dia telah memperhitungkan secara matang dan sudah siap mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri sebelum dua orang pendeta lainnya ikut maju mengeroyoknya. Sekarang, melihat betapa gubuk itu terbakar dan dua orang pendeta yang tadi menonton kini berlari ke arah gubuk, sedangkan pendeta yang menyerangnya juga nampak terkejut, dia pun menggunakan kesempatan itu untuk melompat jauh ke dalam kegelapan malam.
Gunga Lama baru merasa penasaran setelah dara itu melarikan diri. "Hei, siluman betina, mau lari ke mana kau?" teriaknya sambil mengejar dengan langkah kakinya yang lebar.
Mendadak Gunga Lama merasa ada angin menyambar dari kiri. Cepat dia merendahkan tubuh mengelak dan sebutir batu menyambar lewat di atas kepalanya.
"Huhh!' Dia mendengus dan cepat dia meloncat ke arah dari mana menyambarnya batu tadi, tongkatnya menghantam dengan keras.
"Desss...!"
Tongkat itu menghantam semak-semak yang ternyata kosong. Tidak ada seorang pun di balik semak-semak itu dan ketika Gunga Lama hendak mengejar lagi dia telah kehilangan jejak. Lagi pula yang terpenting adalah menyelamatkan Pek Han Siong, maka dia pun lari ke arah gubuk yang masih terbakar itu. Hatinya merasa lega melihat dua orang sute-nya sudah berada di luar gubuk bersama Han Siong, dalam keadaan selamat.
"Mana iblis betina itu, Suheng?" tanya Pat Hoa Lama.
Gunga Lama menggeleng kepala. "Siluman itu menghilang ke dalam kegelapan,” katanya acuh, tak peduli betapa Pat Hoa Lama kelihatan kecewa bukan main. Daging yang sudah berada di ujung bibir dapat lolos!
"Bagaimana gubuk itu bisa terbakar?" tanya Gunga Lama kepada kedua orang sute-nya.
Dua orang pendeta itu menggeleng kepala dan mereka memandang kepada Han Siong dengan penuh selidik, namun pemuda itu nampak muram dan tidak bersemangat. Mereka bertiga rupanya merasa curiga, dan dengan pemusatan kekuatan sihir, mereka kemudian memandang pemuda itu dan Gunga Lama berseru dengan suara menggeledek.
"Pek Han Siong, katakan siapa yang membakar gubuk?!"
Han Siong dilindungi oleh batu giok mustika, maka meski pun dia merasa betapa seluruh tubuhnya bergetar, tetapi pikirannya masih sadar. Dia pura-pura linglung dan menggeleng kepalanya.
"Tidak tahu..., aku tidur... tahu-tahu ada kebakaran. Aku berteriak-teriak..."
"Hemm, tentu siluman betina itu membawa kawan yang melakukan pembakaran itu," kata Janghau Lama. "Sungguh mengherankan sekali, siapa gadis itu sebetulnya? Dia mampu menahan kekuatan ilmu kita!"
"Memang kelak perlu diselidiki. Ilmu silatnya pun tidak jelek. Akan tetapi urusan kita lebih penting. Mari kita bawa Sin-tong, dan terpaksa kita harus melanjutkan perjalanan malam ini juga."
Mereka lantas menggandeng tangan Han Siong, diajak menuju ke sebuah bukit, berjalan dengan hati-hati dan tidak dapat cepat karena jalan menuju ke pendakian bukit itu hanya merupakan jalan setapak yang amat liar…..
********************
"Nona, ke sini. Cepat lari ke arah ini!"
Gadis itu terkejut melihat seorang pemuda menggapai kepadanya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa keselamatannya terancam oleh ketiga orang pendeta Lama itu, maka dia pun menurut saja, melompat ke arah pemuda itu berdiri, kemudian mengikuti pemuda itu lari menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan. Sesudah pemuda itu berhenti di tempat terbuka yang berada di tengah hutan, barulah dia turut berhenti. Tangan kanannya masih memegang cambuknya dan pernapasannya agak memburu.
"Siapa engkau?" tanyanya sambil mencoba menembus kesuraman malam supaya dapat mengamati wajah pemuda yang berpakaian biru itu.
Seorang pemuda yang bertubuh sedang, nampak tegap karena dadanya yang bidang. Di punggung pemuda itu nampak sebuah buntalan dan sebuah caping lebar yang menutupi buntalan, tergantung pada punggungnya.
"Aku? Aku adalah tukang bakar gubuk," kata Hay Hay sambil tersenyum, diusahakan agar senyumnya nampak manis dan menarik walau pun usaha ini sia-sia belaka karena betapa pun manisnya senyum yang dipamerkan, tetap saja gadis itu tidak dapat melihat jelas!
"Ahh, kiranya engkau yang membakar gubuk tadi?" Gadis itu tertegun karena tadi pun dia merasa betapa terbakarnya gubuk itu telah menyelamatkan dirinya dari ancaman bahaya. "Mengapa engkau lakukan itu?"
"Aha! Mengapa, ya? Aku memang suka bermain-main dengan api, Nona. Api itu demikian indahnya membakar gubuk. Warnanya kuning merah keemasan. Seperti emas! Ya, mirip emas, lebih indah lagi karena hidup, tidak seperti emas yang mati. Aku suka bermain api, Nona."
Mayang mengerutkan alisnya, mencoba lagi menembus malam yang tidak begitu terang untuk memperhatikan wajah pemuda itu.
"Apa kau gila?" tiba-tiba dia bertanya.
"Apa? Gila? Aku? Wah, belum! Mudah-mudahan tidak akan pernah. Lagi pula, bagaimana membedakan orang waras dan gila? Apakah tiga orang pendeta tadi juga waras?”
"Kalau tidak gila, kenapa jawabanmu begitu? Kenapa engkau membakar gubuk itu? Tidak mungkin karena kau suka bermain api!" Suara gadis itu mengandung kedongkolan karena merasa seperti dipermainkan.
"Yang aneh bukan aku tapi engkau, Nona. Sudah jelas kenapa aku membakar gubuk itu, tetapi engkau masih bertanya. Ini namaya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!"
"Tar-tarrr...!" Cambuk itu meledak.
Hay Hay berlagak terkejut dan ketakutan. Dia memegangi kepalanya. "Wah-wah, jangan main-main, Nona. Apa bila kena kepalaku, berat. Ke mana aku harus mencari pengganti kepalaku?"
Mayang tersenyum geli mendengar kata-kata itu, akan tetapi juga masih merasa jengkel. "Nah, jawablah yang benar kalau engkau tidak ingin kehilangan kepala! Mengapa engkau membakar gubuk itu tadi?"
“Ya ampun...! Nona cantik galak amat...” Dia sengaja memberi tekanan pada kata ‘cantik’ dan berbisik lirih ketika mengatakan ‘galak’ sehingga tidak terdengar oleh Mayang. Yang terdengar hanya “Nona cantik... amat...”
“Apa kau bilang?"
"Tidak, ehh… itu lho. Nona amat baik hati suka mengampuni aku. Begini, Nona. Tadi aku melihat Nona hendak dibunuh oleh pendeta raksasa yang amat menakutkan itu. Aku takut sekali, mau membantu tapi aku tidak berani. Aku hanya bisa merasa mendongkol kepada mereka, maka karena marah aku lantas membakar gubuk mereka. Nah, itulah sebabnya, Nona. Kemudian aku melihat nona di dalam kegelapan, maka aku mengajak Nona lari ke sini agar jangan sampai tersusul oleh mereka."
Mendengar kalimat terakhir itu, Mayang melirik ke kanan kiri dan belakang. Kalau benar mereka itu dapat mengejar dan menyusul, dia akan celaka! Dan pemuda ini hanya berani dan nekat saja, agaknya tidak memiliki kemampuan apa pun.
"Jangan khawatir, Nona. Mereka tidak akan dapat mengejar ke sini karena sedang sibuk dengan gubuk mereka yang terbakar," Hay Hay tersenyum.
"Hemm, engkau membikin aku menjadi malu saja! Gara-gara engkau, aku menjadi kaget melihat kebakaran itu sehingga aku melarikan diri seperti seorang penakut! Padahal kalau tidak kau ganggu, aku tentu sudah merobohkan tiga orang pendeta palsu yang jahat itu!"
Tentu saja diam-diam Hay Hay merasa geli. Akan tetapi dia harus melindungi Han Siong, betapa pun senangnya untuk bercakap-cakap lebih lama sambil berkenalan dengan gadis manis itu,. Sesudah gubuk itu dibakarnya untuk menyelamatkan gadis ini, tentu tiga orang pendeta itu kini telah membawa Han Siong pergi dari sana dan dia tidak ingin kehilangan jejak mereka.
"Kalau begitu maafkan aku, Nona. Akan tetapi aku harus cepat pergi dari sini, takut kalau mereka itu pergi jauh. Aku harus terus membayangi mereka."
Gadis itu mengangkat muka memandang heran. "Engkau? Membayangi mereka? Kenapa engkau ingin membayangi mereka? Sungguh berbahaya sekali membayangi mereka. Jika ketahuan, apa lagi kalau mereka tahu bahwa engkaulah yang membakar gubuk tadi, tentu engkau akan dibakar hidup-hidup!"
Hay Hay bergidik dan pura-pura merasa ngeri seakan ketakutan. "Aihh, ampun…! Jangan berkata demikian, Nona. Bagaimana pun juga aku harus mengikuti ke mana mereka pergi karena mereka telah menawan... saudara misanku.”
"Ahh, jadi pemuda... tampan itu saudara misanmu?"
"Dia tidak begitu tampan, nona!" kata Hay Hay cepat.
"Tapi mengapa mereka menawan dia?"
"Hemm, mungkin karena tampan itulah. Katanya dia akan dijadikan pelayan. Aku merasa khawatir, maka aku lalu mengikuti mereka dengan diam-diam supaya aku tahu ke mana saudaraku itu dibawa. Kalau ternyata dia enak menjadi pelayan, hidup berkecukupan dan senang, aku pun akan ikut masuk menjadi pelayan mereka. Aku tidak kalah tampan oleh saudara misanku."
Mayang merasa geli, akan tetapi juga mendongkol. Ucapan itu membuat dia ingin sekali melihat wajah pemuda ini dengan jelas. Dia tak percaya pemuda yang angin-anginan dan ketololan ini setampan pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu.
"Tidak usah kau kejar dan cari. Aku tahu ke mana mereka akan pergi."
"Ehh? Engkau tahu, Nona? Apakah Nona adalah sahabat dan kenalan mereka?"
"Hushh! Ngawur saja kau bicara! Jika aku sahabat mereka, bagaimana tadi aku berkelahi dengan mereka? Tetapi aku pernah melihat mereka bertiga. Mereka memimpin puluhan orang pendeta Lama dan berkumpul di bukit tak jauh dari sini, yaitu Bukit Bangau. Ketika aku menggiring ternak beberapa hari yang lalu, aku melihat mereka masih berada di situ, dan kurang lebih dua bulan yang lalu aku melihat mereka bertiga itu pun berada di sana. Aku yakin bahwa saudaramu itu pasti diajak ke puncak Bukit Bangau."
"Kalau begitu, sekarang juga aku hendak mengikuti mereka ke Bukit Bangau," kata Hay Hay.
"Hemmm, kalau begitu engkau hanya akan menjadi seekor katak kecil yang menghampiri mulut bangau untuk dicaplok dan habis sekali telan!" Suara gadis itu mengejek.
"Ehh? Kenapa begitu?"
"Sudah kukatakan bahwa tiga orang pendeta Lama itu mempunyai banyak anak buah di sana, kukira tak kurang dari seratus orang dan tempat itu dijaga ketat. Tiga orang pendeta itu begitu lihai dan anak buahnya banyak. Kalau engkau mengikuti mereka mendaki bukit, bukankah hal itu sama dengan bunuh diri dan mati konyol?"
Hay Hay tersenyum lebar. "Aih, Nona yang baik. Kenapa engkau mengkhawatirkan benar keadaan diriku?"
Walau pun cuaca agak gelap, akan tetapi nampak jelas betapa gadis itu menjadi marah, tubuhnya meregang dan sepasang tangannya dikepal, "Siapa yang peduli akan nasib dan keadaanmu? Meski pun engkau dibunuh seratus kali aku tidak peduli! Aku hanya kasihan kepada saudara misanmu itu, karena dia tentu akan berduka kalau mendengar engkau mati konyol di sana."
"Aduh… senangnya hati Han Siong!"
"Siapa itu Han Siong?"
"Saudaraku yang tampan itulah. Dia tentu senang sekali mendengar betapa engkau amat memperhatikan dia, Nona...”
"Tutup mulutmu atau kutampar kau nanti!" Gadis itu membentak galak.
Hay Hay cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk. “Maafkan aku, Nona. Kalau aku tidak boleh mengikuti mereka, lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita lewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi baru aku akan melakukan penyelidikan ke bukit itu dan kalau mungkin aku akan membebaskan saudara misanmu."
"Apakah tidak berbahaya untukmu, nona?"
"Tidak. Andai kata aku kewalahan, masih ada subo-ku (ibu guru) yang akan menolongku. Aku dapat mendaki Ning-jing-san, ke puncak Awan Kelabu, menghadap subo untuk minta bantuannya. Kalau aku bersama subo, jangankan baru tiga orang pendeta palsu tadi, biar ditambah sepuluh lagi semacam mereka, aku tidak takut!"
Sombongnya, pikir Hay Hay. Sombong akan tetapi manis. Galak tetapi juga gagah berani. Seorang gadis hebat. Ingin sekali dia melihat wajah gadis itu dengan jelas. Lalu dia mulai mengumpulkan kayu kering.
"Untuk apa?" tanya gadis itu sambil duduk di atas sebongkah batu sebesar perut kerbau.
"Untuk membuat api unggun," kata Hay Hay. "Kalau harus melewatkan malam di sini, kita perlu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin."
"Api unggun akan nampak dari jauh."
"Ehh, apakah engkau takut kalau tempat kita sampai diketahui orang?"
Suara merdu itu mengandung kemarahan. "Siapa takut? Kalau engkau saja tidak merasa takut, bagaimana aku takut? Huh, kalau sampai ada musuh datang, yang mampus lebih dulu adalah engkau, bukan aku! Mengapa mesti takut?"
Hay Hay tersenyum. "Ha-ha-ha, aku pun tidak takut, Nona, karena aku yakin bahwa Nona tentu tak akan membiarkan aku disembelih orang. Nona terlampau gagah dan terlampau baik untuk membiarkan aku dibunuh."
Dara itu diam saja sehingga Hay Hay tidak tahu bagaimana tanggapannya terhadap kata-katanya itu. Akan tetapi, pada waktu dia mulai menumpuk kayu dan hendak membuat api unggun, gadis itu segera menghampiri dan duduk di dekat tumpukan kayu, membantunya sehingga dia merasa girang karena hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu tidak marah lagi.
Kalau Hay Hay menghendaki, dengan sekali menggosok dua batang kayu kering sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya, tentu akan segera timbul api. Akan tetapi dia tak ingin memperlihatkan kepandaiannya, dan dia pun menggosok-gosok dua batang kayu dengan tenaga biasa.
Melihat sampai beberapa lamanya pemuda itu tidak juga berhasil membuat api, Mayang menjadi tidak sabar. Disambarnya dua batang kayu itu dari tangan Hay Hay, lalu dia pun menggosok-gosok beberapa kali sampai kayu kering itu terbakar. Tumpukan kayu dibakar dan jadilah api unggun yang cukup besar, terang dan hangat.
"Aduhhhh...! Ya Tuhanku... , sungguh hebat bukan main...!"
Gadis itu mengangkat muka memandang. Dia melihat pemuda itu terbelalak memandang kepadanya, sepasang matanya terbuka lebar dan mulutnya juga terbuka sehingga terlihat tolol seperti orang kehilangan semangat.
"Ihhh…! Engkau ini kenapa sih?" tanya Mayang yang agak terkejut juga karena tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu nampak demikian kaget.
“Bukan main...! Sudah kuduga bahwa engkau tentu cantik manis, Nona, akan tetapi tidak seperti ini! Cantik jelita seperti bidadari! Sungguh, engkau cantik jelita dan manis bukan main!"
Mayang sudah meloncat berdiri. Tinggi ramping! Kedua tangannya bertolak pinggang dan agaknya jari jemari kedua tangannya dapat melingkari pinggang yang kecil itu. Mata yang sipit itu mengeluarkan cahaya berkilat, mulutnya cemberut dan hidung yang sedikit besar namun bentuknya indah itu kembang kempis, cupingnya nampak jelas bergerak seperti cuping hidung seekor kuda betina dilanda birahi.
"Kau... kau...! Berani engkau mempermainkan dan mengolokku? Engkau hendak kurang ajar kepadaku, ya? Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Hay Hay kelihatan terkejut dan terheran-heran, mengembangkan kedua lengannya lantas dia pun berkata, "Ampun Dewi...! Apakah dosa hamba? Siapa yang mempermainkan dan memperolokkan siapa? Nona, ketika tadi bertemu denganmu dalam cuaca yang remang-remang, aku hanya mengetahui bahwa Nona mempunyai bentuk tubuh yang ramping dan padat berisi, juga mempunyai suara yang merdu, dan dalam keremangan itu aku melihat garis-garis wajahmu yang sangat manis. Kemudian, setelah kita membuat api unggun dan cahaya api unggun jatuh menerangi wajahmu, baru aku melihat bahwa Nona benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa, jauh melampaui dugaanku semula. Jika aku melihat wajah Nona yang begini cantik jelita lalu kukatakan itu dengan terus terang, apakah hal itu merupakan sebuah dosa? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa Nona berwajah buruk, bersuara parau dan berperawakan jelek bila keadaannya sama sekali berlawanan? Memang Nona memiliki wajah yang cantik jelita dan manis, bentuk tubuh tinggi ramping yang sempurna, dan suara yang merdu seperti suara burung dewata. Nah, salahkah aku? Jika Nona menganggap aku bersalah, berdosa dan layak dibunuh, silakan saja!" Hay Hay sengaja memanjangkan lehernya seperti seekor angsa yang siap menyerahkan lehernya untuk dipenggal!
Mendengar pidato panjang itu dan melihat sikap Hay Hay, mau tidak mau Mayang tertawa dan dia pun lalu duduk kembali, kini mengamati wajah pemuda yang duduk di depannya terhalang api unggun. Harus diakuinya bahwa pemuda ini mempunyai wajah yang tampan, memang tidak kalah oleh saudara misannya itu walau pun ketampanan mereka berbeda.
Saudara misannya yang ditawan oleh tiga orang pendeta Lama itu memiliki wajah yang bentuknya bulat, berkulit putih dengan alis hitam tebal, mata sipit. Sedangkan pemuda di depannya ini selain bertubuh tegap dengan dada yang bidang, juga hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar gembira dan bentuk wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing. Mulut dan matanya sungguh mempunyai daya tarik yang kuat sekali.
"Apakah engkau agak miring?" tiba-tiba Mayang bertanya. Hay Hay melongo keheranan.
"Miring? Apanya yang miring?” tanyanya tak mengerti.
Mayang tidak menjawab, melainkan meletakkan jari telunjuk kirinya ke atas dahi sendiri, diletakkan agak menyerong. Sekarang Hay Hay baru mengerti dan dia cemberut. Kurang ajar! Dia disangka gila!
"Kau kira aku ini setengah gila, Nona? Aih, kira-kira dong kalau menghina orang. Kenapa Nona menganggap aku gila?"
"Habis, bicaramu aneh-aneh. Engkau memujiku habis-habisan dan anehnya aku tidak jadi marah kepadamu. Biarlah kuanggap semua omonganmu tadi seperti ocehan seorang gila. Ataukah engkau seorang laki-laki perayu yang palsu, yang biasa menyanjung dan memuji wanita dengan rayuan maut untuk kau jatuhkan hatinya? Begitukah?"
Hay Hay menggelengkan kepala. "Aku hanya seorang laki-laki yang jujur dan tidak mau berpura-pura, Nona. Kalau aku melihat setangkai bunga yang indah dan harum, aku akan memujinya seperti apa adanya, tidak berpura-pura tak suka. Apa bila aku melihat seorang gadis yang cantik seperti Nona, aku tidak berpura-pura alim, pura-pura tidak mau melihat akan tetapi dengan diam-diam melirik sampai mataku menjadi juling! Aku akan menatap secara langsung dan mengagumi kecantikanmu. Aku akan terus terang memujimu, bukan untuk merayu atau menjilat."
"Kalau begitu engkau mata keranjang!" seru Mayang.
Hay Hay tersenyum dan kembali Mayang tertegun. Pemuda ini dapat tersenyum demikian wajar dan terbuka, seperti senyum kanak-kanak, tidak dibuat-buat.
"Nona, lebih baik dianggap mata keranjang akan tetapi jujur dalam mengagumi kecantikan seorang wanita dari pada dianggap alim akan tetapi diam-diam mempunyai pikiran yang cabul terhadap seorang wanita!”
Mayang tertegun. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang pria yang ucapannya dan sikapnya seperti pemuda ini! Biasanya seorang pria akan bersikap kurang ajar dan kasar, atau kalau pun nampak sopan santun tapi pandang matanya mengandung nafsu birahi yang cabul.
Akan tetapi pemuda ini sikapnya kelihatan ugal-ugalan karena terlampau jujur mengakui dan mengagumi kecantikannya tanpa disembunyikan lagi. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memuji-muji kecantikannya akan tetapi tidak membuat dia tersinggung, bahkan merasa bangga dan gembira karena pujian itu sewajarnya dan jujur, tidak menyembunyikan pamrih yang cabul terhadap dirinya.
“Siapa sih engkau ini? Maksudku, siapa namamu dan dari mana engkau datang?"
"Namaku? Orang-orang memanggil aku Hay Hay, Nona, dan aku tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Aku seorang pengembara, empat penjuru adalah dinding rumahku. Langit menjadi atap rumahku dan tanah ini menjadi lantai rumahku. Ada pun saudara misanku itu bernama Pek Han Siong, dia adalah putera ketua Pek-sim-pang di kota Kong-goan. Aku sedang merantau dan bertemu dengan Han Siong ketika tiba-tiba muncul tiga orang pendeta Lama itu dan mereka menangkap Han Siong. Aku lalu mengikuti mereka sampai malam ini berjumpa denganmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah engkau, nona?”
"Aku Mayang, tinggal bersama ibuku dan subo-ku di sebuah puncak di Pegunungan Ning-jing-san. Subo memelihara hewan ternak, ada pun pekerjaanku adalah mengurus hewan ternak. Kadang kala aku juga menerima pekerjaan mengirim dan menggiring ternak yang diperdagangkan orang, dari satu ke lain daerah.”
Diam-diam Hay Hay merasa kagum. Gadis ini memang hebat. Melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya. Menggiring ternak yang sampai ratusan banyaknya melintasi daerah-daerah yang sunyi pasti amat berbahaya. Tentu karena dia mempunyai kepandaian tinggi maka dia berani melakukan tugas berbahaya itu. Kalau hanya perampok-perampok biasa saja akan celakalah mereka bertemu dengan gadis seperti Mayang.
“Engkau tentu seorang gadis Tibet, bukan? Dan apakah ayahmu juga tinggal di puncak itu? Engkau tadi hanya menyebut ibumu dan subo-mu.”
“Ibu adalah seorang wanita Tibet, ayahku... seorang pria Han akan tetapi dia sudah pergi meninggalkan ibu, entah ke mana, entah masih hidup ataukah sudah mati.”
Hay hay merasa betapa ada kedukaan terkandung dalam suara gadis itu, maka dia pun mencoba untuk menghiburnya. "Engkau masih beruntung, Mayang, sebab masih memiliki seorang ibu. Sejak bayi aku sudah tidak punya ibu. Ibuku telah meninggal dunia."
"Dan ayahmu?"
Hay Hay merasa dada dan perutnya panas. Kepada siapa pun juga dia tidak akan sudi mengaku bahwa ayah kandungnya adalah Si Kumbang Merah, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, bahkan dia sendiri dilahirkan akibat dari pemerkosaan yang dilakukan penjahat itu kepada ibu kandungnya!
"Hemmm, seperti juga engkau, ayahku pergi, entah ke mana. Mungkin juga... dia sudah mati!"
Keduanya diam sejenak. "Engkau dan saudara misanmu itu tidak mempunyai kepandaian akan tetapi berani melakukan perjalanan di daerah yang rawan ini. Sungguh tabah.”
“Tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan engkau, Mayang. Engkau seorang wanita, seorang gadis remaja yang amat muda...”
"Tidak muda sekali, usiaku sudah delapan belas tahun!"
Hay Hay tersenyum. "Ya, seorang gadis dewasa, tetapi engkau berani menentang orang-orang jahat yang lihai. Maukah engkau menceritakan bagaimana engkau sampai bentrok dengan tiga orang pendeta Lama itu?"
"Sore hari tadi ketika sedang makan di kedai makanan di dusun Wang-kan, aku bertemu dengan tiga orang pendeta itu yang juga sedang makan bersama siapa tadi nama saudara misanmu itu? Han Siong? Ya, mereka makan bersama Han Siong. Lalu seorang di antara ketiga orang pendeta itu, yang tinggi bongkok itu, menghampiri mejaku minta sumbangan. Pada saat itu dia telah mencoba menyihirku, dan dengan sihirnya dia memerintahkan aku untuk datang ke gubuk itu pada malam hari ini. Maka aku pun datanglah!"
Hay Hay terkejut. Gadis ini dengan enak saja menceritakan bahwa dia disihir orang, dan dia pun teringat betapa tadi pun tiga orang pendeta itu tidak berhasil menguasai Mayang dengan kekuatan sihir. Diam-diam dia kagum bukan main.
"Mayang, engkau disihir malah datang berkunjung kepada mereka? Apakah engkau tidak takut disihir? Apakah engkau mampu melawan kekuatan sihir mereka?"
Mulut itu tersenyum mengejek. Ujung hidungnya bergerak sehingga terlihat manis sekali! "Huh, siapa takut menghadapi permainan kanak-kanak itu?"
"Engkau pandai bermain sihir?"
"Siapa sudi menjadi dukun sihir? Akan tetapi subo telah menggemblengku untuk melawan serangan sihir orang sehingga aku kebal terhadap segala macam permainan kanak-kanak itu! Lagi pula, sebagai seorang penggiring ternak dalam jumlah banyak, aku harus pandai menguasai ternak dengan kekuatan batin. Aku tidak bisa menyihir orang lain, akan tetapi tak seorang pun akan mampu menguasaiku dengan kekuatan sihirnya."
"Dan engkau datang ke gubuk itu mau apa?”
"Mau menghajar mereka, karena tiga orang pendeta itu palsu. Mereka bukan orang suci melainkan orang-orang jahat yang mempunyai niat cabul terhadap diriku. Tetapi, sebelum aku berhasil menghajar mereka, mendadak engkau muncul dan membikin kacau dengan membakar gubuk !"
Hay Hay tersenyum. Tentu saja dia lebih tahu. Apa bila gubuk itu tidak dibakarnya, tentu sekarang Mayang telah tertawan!
"Mayang, apakah engkau tidak salah bahwa tiga orang pendeta Lama itu akan membawa saudara misanku ke Bukit Bangau? Menurut pengakuan mereka ketika mereka mengajak saudara misanku dengan paksa, mereka adalah utusan Dalai Lama untuk mencari... ehh, pelayan pria."
"Mereka bohong! Bahkan menurut dugaan subo, ketiga orang itu adalah pendeta-pendeta Lama yang pernah mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama. Pemberontakan itu telah dihancurkan dan mungkin saja tiga orang itu merupakan sisa dari para pimpinan pemberontakan yang sudah dibasmi itu. Nanti aku akan melaporkan kepada subo tentang perbuatan mereka terhadap diriku, sebab perbuatan itu telah membuktikan bahwa mereka adalah pendeta-pendeta palsu atau pendeta sesat!”
Kaget juga hati Hay Hay mendengar keterangan yang sama sekali tak pernah diduganya itu. Mereka bukan utusan Dalai Lama? Kalau begitu, mengapa mereka berkeras hendak membawa Han Siong yang sejak kecil memang dicari oleh para pendeta Lama di Tibet karena Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama?
"Mayang, kalau begitu mengapa tidak sekarang saja kita menghadap subo-mu? Aku ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang mereka! Aku sangat mengkhawatirkan saudara misanku!"
Gadis itu memandang Hay Hay dan dia merasa heran. Pemuda ini tampan dan perayu, akan tetapi lemah dan tidak pandai silat, juga kadang ketololan. Begitu berjumpa sudah bersikap demikian akrab dan menyebut namanya begitu saja tanpa sebutan nona seolah-olah mereka sudah lama sekali bergaul dan menjadi sahabat. Namun anehnya dia tidak merasa tersinggung karena sikap Hay Hay demikian wajar!
"Hay Hay, engkau tidak mengenal subo-ku. Kau sangka mudah saja bagi orang luar untuk menghadap subo? Kalau engkau tidak pandai membawa diri dan kalau tidak berkenan di hatinya, salah-salah begitu bertemu engkau akan dibunuh begitu saja!”
"Wah? Begitu jahatkah subo-mu itu, Mayang?"
"Sama sekali tidak jahat, akan tetapi dia paling benci kepada laki-laki yang lemah, apa lagi seorang penjilat dan perayu seperti engkau. Sebab itu aku khawatir sekali kalau engkau akan dibunuhnya begitu dia melihatmu."
Mendengar ini hati Hay Hay bukannya jeri malah menjadi semakin tertarik. Akan tetapi dia bersikap pura-pura ketakutan. "Wah, sungguh berbahaya sekali. Aku akan bersikap baik-baik, Mayang. Tetapi kalau memang sudah nasibku tewas di tangan subo-mu, sudahlah, aku tidak akan merasa penasaran karena dia subo-mu!"
“Kenapa engkau tidak penasaran kalau dibunuh subo-ku?” Gadis itu tertarik.
Hay Hay tersenyum. “Aku akan mati dengan mata tertutup atau setengah terbuka karena aku akan selalu mengenangmu dan menghibur diri bahwa yang membunuhku adalah guru dari seorang gadis seperti bidadari yang...”
“Sudah, jangan mulai merayu lagi!” Mayang membentak akan tetapi tidak marah. “Jangan khawatir, kalau subo hendak membunuhmu, aku yang akan mintakan ampun bagimu dan biasanya subo akan memenuhi permintaanku. Akan tetapi kenapa engkau nekat hendak ikut aku menemui subo?”
“Aku sangat mengkhawatirkan nasib saudara misanku itu, dan aku hendak minta bantuan subo-mu untuk membebaskan dia.”
Kini Hay Hay mulai percaya akan keterangan Mayang bahwa tiga orang pendeta Lama itu tidak pergi ke Lasha dan agaknya memang ada suatu rahasia yang tersembunyi di balik sikap para pendeta itu. Kalau mereka benar utusan Dalai Lama, tentu mereka merupakan pendeta-pendeta yang kedudukannya tinggi dan berwatak saleh, tidak seperti mereka itu yang telah membunuh Ci Goat, juga mempunyai niat cabul terhadap Mayang.
Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, apa lagi kalau dibantu anak buah yang sampai seratus orang banyaknya. Dia perlu bantuan Mayang dan terutama sekali subo-nya yang agaknya merupakan seorang sakti yang mengasingkan diri di tempat sunyi ini.
"Baik, kalau begitu mari kita berangkat sekarang. Akan tetapi kuperingatkan engkau, Hay Hay, bahwa jalan pendakian ke rumah kami amat sukar. Apa lagi dilakukan malam-malam begini. Sekali engkau salah langkah dan jatuh, maka engkau langsung menggelinding ke dalam jurang yang amat curam dan tubuhmu akan hancur, nyawamu akan melayang."
"Aku tidak takut, Mayang. Kalau aku takut berarti aku memandang rendah kepadamu."
"Ehh? Kenapa begitu?"
"Karena aku yakin engkau tentu akan melindungi aku dan menjadi petunjuk jalan agar aku tidak sampai terguling ke dalam jurang. Kalau aku takut, berarti aku kurang percaya akan kemampuanmu."
Mayang tersenyum akan tetapi juga mengerutkan alisnya, "Engkau... hemm, engkau bisa berbahaya!"
Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksudkan, dan dengan kakinya dia lalu menginjak-injak api unggun sampai padam. Dia menganggap pemuda ini sungguh berbahaya karena pandai sekali berbicara, pandai mengambil hati dengan rayuan-rayuannya yang sungguh menyenangkan hati!
Maka berangkatlah mereka menyusup-nyusup di antara pohon-pohon. Mayang berjalan di depan dan Hay Hay di belakangnya. Perjalanan yang sangat sukar karena cuaca remang-remang, akan tetapi agaknya gadis itu sudah mengenal benar daerah itu. Dia melangkah tanpa ragu dan Hay Hay mengikuti dari belakangnya.
Dia tahu bahwa gerakan gadis ini tentu akan lebih lincah dan gesit apa bila dia melakukan perjalanan sendiri saja. Kini, bila Mayang terlampau cepat, Hay Hay segera berseru agar jangan meninggalkannya sehingga gadis itu melangkah biasa saja, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat.
Hay Hay memang sengaja tidak mau tergesa-gesa karena diam-diam dia harus mengenal daerah yang dilewatinya. Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya di tempat tinggal Mayang, maka yang terpenting dia harus tahu ke mana arah dia pergi dan mengenal jalan kalau dia terpaksa harus melarikan diri dari tempat itu.
Lagi pula senang sekali berjalan di belakang gadis itu. Walau pun cuaca remang-remang, akan tetapi dia bisa menikmati penglihatan yang amat indah, yaitu gerakan tubuh Mayang ketika melenggang di depannya. Akhirnya mereka mulai mendaki bukit yang oleh dara itu dikatakan sebagai tempat tinggal ibunya dan gurunya.
Pegunungan Ning-jing-san mempunyai banyak puncak dan mereka tadi memang berada di daerah pegunungan itu. Sebuah di antara puncaknya menjadi tempat tinggal Mayang, bersama ibu dan subo-nya. Puncak itu disebut Puncak Awan Kelabu dan menjadi tempat pertapaan guru Mayang. Di tempat itu mereka mengusahakan ternak dan biar pun hidup di tempat sunyi, mereka tidak kekurangan sesuatu.
Sesudah mereka mendaki puncak itu, Hay Hay memperoleh kenyataan bahwa peringatan gadis itu memang benar. Jalan setapak itu amat sukar dilewati, licin dan juga sempit. Ada jalan yang lebarnya hanya setengah meter, di kanan kirinya merupakan jurang yang amat curam. Sekali kaki terpeleset maka nyawa taruhannya.
"Aih, sungguh mengerikan!” kata Hay Hay berpura-pura. "Kalau jalan ke tempat tinggalmu begini sukar, bagaimana engkau bisa menggiring ternak melalui jalan seperti ini?”
"Untuk menggiring ternak dapat melalui jalan lain yang lebar. Akan tetapi jauhnya dua kali lipat! Kalau tidak menggiring ternak lebih cepat lewat jalan ini."
"Wah, sungguh berbahaya...!" Hay Hay sengaja bersikap ketakutan.
"Kau takut?"
"Wah, kalau tanpa bantuan, bagaimana aku dapat melalui jalan berbahaya di depan itu, Mayang?"
“Huhh! Engkau laki-laki lemah tiada guna!" Mayang mengomel, akan tetapi dia memegang tangan Hay Hay dan menggandeng melewati jalan yang sempit dan licin itu.
Di belakang gadis itu, Hay Hay tersenyum nakal. Alangkah lembut dan hangatnya tangan Mayang! Dia pura-pura semakin ketakutan lantas menggenggam tangan itu kuat-kuat, dan gadis itu pun memperkuat pegangannya sehingga kedua tangan itu saling pegang dengan eratnya.....!