Walau pun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya besar di tangan tiga orang pendeta Lama yang sakti itu, akan tetapi Pek Han Siong tidak merasa gentar, bahkan dia berbesar hati. Tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu sihir yang amat berbahaya itu dapat dia hadapi dengan perlindungan batu giok mustika yang dia terima dari Hay Hay.
Di samping itu dia pun merasa yakin bahwa Hay Hay selalu membayanginya dan selalu siap untuk membantunya bila mana dirinya terancam bahaya maut. Dan sebagai seorang sahabat, dia dapat mengandalkan kemampuan Hay Hay. Jika mereka berdua yang maju bersama, maka dia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun.
Han Siong bahkan merasa gembira mengingat akan ajakan Hay Hay untuk bertualang ke Tibet. Memang urusannya dengan Dalai Lama harus diselesaikan dengan baik. Jika tidak, selama hidupnya dia akan dibayangi ancaman dari Tibet yang agaknya tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk menculik dan membawanya ke Tibet untuk dijadikan Dalai Lama!
Dan bertualang bersama seorang sahabat seperti Hay Hay tentu akan menggembirakan. Bukan hanya karena Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan dan juga memiliki ilmu sihir yang kuat, namun dia juga sudah mengenal Hay Hay sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi walau pun mata keranjang tidak ketulungan lagi. Kini dia mulai mengenal Hay Hay. Memang mata keranjang, akan tetapi tidak pernah melakukan pelanggaran susila.
Akan tetapi kegembiraan itu segera lenyap bila dia teringat kepada Ouw Ci Goat, teringat akan peristiwa yang terjadi di malam jahanam itu. Biar pun di luar kesadarannya, biar pun dia telah menggauli Ci Goat di luar kehendaknya dan di bawah pengaruh ilmu hitam yang jahat, namun dia harus bertanggung jawab! Dan inilah yang amat menyusahkan hatinya. Dia harus mengawini Ci Goat untuk menebus aib yang diderita gadis itu, akan tetapi hal itu akan dilakukannya secara terpaksa karena sesungguhnya, walau pun dia merasa suka dan kasihan kepada Ci Goat, namun dia tidak mencintanya.
Han Siong mengira bahwa perjalanan menuju Tibet itu tentu akan memakan waktu yang sangat lama. Namun sungguh di luar dugaannya bahwa ketika mereka tiba di perbatasan Tibet, tiga orang pendeta Lama itu bukannya melanjutkan perjalanan ke barat, melainkan mengajaknya menuju ke sebuah bukit.
Pada saat tiga orang pendeta Lama itu mengajak membelokkan perjalanan menuju bukit, mereka baru saja tiba di sebuah dusun yang indah di perbatasan Tibet. Dusun ini bernama Wang-kan di kaki Pegunungan Ning-jing-san, di sebelah timur Sungai Lan-cang (Mekong). Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong singgah pada sebuah kedai makan di dusun Wang-kan itu, sebuah kedai yang menjual makanan cia-jai (pantang daging).
Ketika tiga orang pendeta Lama bersama Han Siong memasuki kedai yang cukup besar itu, para pelayan segera menyambut mereka dengan sikap hormat. Agaknya ketiga orang pendeta Lama ini tidak asing di situ dan melihat sikap para pelayan itu, mereka nampak takut-takut sehingga Han Siong dapat menduga bahwa tiga orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti orang di daerah itu. Padahal kota Lasha, ibu kota Tibet di mana Dalai Lama tinggal, masih cukup jauh dari situ.
"Hidangkan sayur dan roti terbaik, kami lapar sekali. Juga arak yang tua, hawanya begini dingin dan kami ingin menghangatkan badan,” kata Pat Hoa Lama, orang yang termuda di antara tiga pendeta Lama itu.
Han Siong tak merasa heran mendengar pendeta itu memesan minuman arak, minuman yang biasanya dipantang oleh para pendeta. Selama dalam perjalanan tiga orang pendeta Lama itu bukan saja minum arak, bahkan tidak pantang daging pula! Dan para pelayan di kedai makan itu pun agaknya tidak merasa heran.
Hal ini saja sudah aneh dan tidak sewajarnya, pikir Han Siong. Memang ada banyak hal yang mencurigakan pada tiga orang pendeta Lama ini. Pernah pada suatu malam ketika Han Siong pura-pura pulas, dia mendengar ketiga orang pendeta Lama ini membicarakan wanita, pengalaman mereka dengan para wanita dan dia mendapat kesan bahwa mereka pun agaknya tidak pantang menggauli wanita!
Orang-orang macam apakah para pendeta Lama ini, yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama? Padahal menurut apa yang pernah didengarnya, Dalai Lama serta para pendeta Lama di Tibet adalah orang-orang yang memusatkan seluruh kehidupan mereka untuk urusan rohani, bukan saja pantang makanan barang berjiwa dan pantang minuman keras, juga pantang bergaul dengan wanita dan menjauhi kesenangan dunia. Namun tiga orang pendeta Lama ini makan daging, minum arak dan bicara tentang wanita!
Akan tetapi tentu saja Han Siong pura-pura tidak mempedulikan semua itu. Setiap malam dia selalu merasa betapa ada daya tarik yang amat kuat, dan dia tahu bahwa pada saat seperti itu, tiga orang pendeta Lama itu memperkuat pengaruh ilmu hitam mereka kepada dirinya dan dia pun berpura-pura jatuh di bawah pengaruh mereka. Kalau timbul dorongan supaya dia tidur pulas, dia pun pura-pura tidur! Padahal, dengan bantuan pengaruh batu giok mustika, dia mampu menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, diperkuat oleh tenaga saktinya sendiri.
Ketika hidangan dikeluarkan, tanpa ragu dan tanpa rikuh lagi Han Siong juga ikut makan. Diam-diam dia menduga di mana adanya Hay Hay dan apakah kawannya itu pun sedang makan. Dia kagum bukan main karena selama dalam perjalanan ini dia tak pernah melihat bayangan Hay Hay. Begitu pandainya Hay Hay membayangi perjalanan mereka sehingga sama sekali tidak sampai terlihat atau terdengar oleh mereka yang dibayangi.
Selagi mereka makan dan hampir selesai, tiba-tiba saja masuklah seorang tamu baru dan melihat betapa tiga orang pendeta itu menoleh dengan mata terbelalak kagum, Han Siong pun melirik. Dan dia pun merasa kagum. Gadis yang memasuki kedai itu memang pantas untuk dikagumi oleh setiap orang pria.
Seorang gadis yang bentuk tubuhnya tinggi semampai dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna, dada bidang membusung, leher panjang, pinggang ramping dan pinggul besar dan bulat. Wajahnya manis sekali dan rambutnya yang hitam panjang dikuncir dua seperti kebiasan gadis Tibet. Kulit mukanya putih kemerahan dan segar, sepasang mata sipit akan tetapi bersinar tajam, sepasang alis yang hitam sekali, subur namun bentuknya kecil panjang melengkung, hidungnya agak besar seperti hidung kebanyakan orang Tibet. Namun mulutnya kecil, dengan sepasang bibir yang penuh dan kemerahan karena sehat.
Pakaiannya sederhana dan ringkas, pakaian wanita Tibet pada umumnya. Yang menarik, pada ikat pinggangnya terselip sebatang pecut yang biasanya dipergunakan orang untuk menggembala ternak.
Han Siong yang melirik merasa heran sekali. Apakah gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun ini seorang gadis penggembala? Akan tetapi, ketika dia melangkah masuk ke dalam kedai makan itu, langkahnya bebas dan tegap, sama sekali tidak malu-malu seperti kebiasan gadis dusun. Bahkan sepasang mata yang sipit itu dengan terbuka melihat ke kanan kiri dan memandang kepada tiga orang pendeta Lama penuh perhatian.
Kemudian, ketika gadis itu memandang kepadanya, sepasang alis yang hitam subur itu berkerut. Hanya sebentar karena gadis itu sudah disambut oleh seorang pelayan tua yang tersenyum ramah kepadanya.
"Heii, nona Mayang! Kiranya engkau sudah kembali lagi dari mengantar domba-domba itu menyeberangi Sungai Lan-cang? Silakan duduk, hendak makan sayur labu kesukaanmu itu?"
Dara itu tersenyum dan Han Siong semakin kagum. Indah bukan main deretan gigi seperti mutiara teratur rapi itu ketika gadis yang disebut Mayang itu tersenyum.
“Benar, Paman, sudah menyeberang dengan selamat. Ya, aku ingin makan dengan sayur labu, dan tolong beri anggur manis."
Pelayan itu mengangguk-angguk dan kini Han Siong melihat betapa ketiga orang pendeta Lama itu berbisik-bisik di depannya. Dia pura-pura tidak melihat atau mendengar, seperti orang yang setengah sadar, akan tetapi diam-diam dia memperhatikan dan mendengar Pat Hoa Lama yang dia tahu paling cabul dan mata keranjang itu berbisik kepada dua orang temannya.
"Wah, Suheng, tidak kusangka di sini terdapat yang seperti dia! Hebat...! Ahh, sebaiknya kalau malam ini kita bermalam di sini semalam. Bagaimana?"
Gunga Lama yang paling tua di antara mereka, menyeringai!
"Dasar engkau rakus dan mata keranjang, Sute. Baiklah, namun harus aku yang pertama kali menghisap madu kembang itu."
Mereka bertiga menyeringai dengan lagak genit dan diam-diam Han Siong mengerahkan tenaga batinnya untuk bersabar agar mukanya tidak membuka rahasia hatinya. Meski pun dia tidak mengenal gadis itu, tetapi kalau tiga orang monyet tua ini hendak mengganggu gadis itu, terpaksa dia akan turun tangan menghalangi mereka. Biar sandiwaranya gagal tidak mengapa, karena bagaimana pun juga dia tidak rela membiarkan kekejian terjadi di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk menentangnya.
Sesudah selesai makan, Pat Hoa Lama bangkit dari tempat duduknya dan dengan lagak seorang pendeta sejati, dia pun menghampiri meja gadis manis itu dan merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk.
"Omitohud..., semoga engkau dilimpahi berkah yang membuat hidupmu bahagia, Nona."
Gadis yang sedang makan itu mengangkat wajahnya dan memandang kepada pendeta Lama yang berdiri di depannya. Han Siong melirik dan dia pun melihat betapa sepasang mata pendeta Lama itu mencorong penuh wibawa, maka tahulah dia bahwa Pat Hoa Lama telah menggunakan sihir untuk mempengaruhi gadis itu!
Akan tetapi dia belum berani melakukan sesuatu, hendak melihat terlebih dulu bagaimana perkembangan selanjutnya. Kalau sudah mencapai titik berbahaya bagi gadis itu, barulah dia akan turun tangan dengan resiko permainan sandiwaranya akan ketahuan. Dia melihat gadis itu mengejap-ngejapkan matanya yang sipit, lalu dia pun berkata dengan lembut,
"Maafkan aku, lo-suhu. Sayang sekali aku belum menerima upah menggiring sekelompok domba itu menyeberang sehingga hari ini tak mungkin aku bisa menyerahkan sumbangan kepadamu. Uangku hanya cukup untuk pembayar makanan ini. Maaf, dan lain kali saja.”
Pat Hoa Lama kelihatan tersenyum dan mengangguk-angguk. “Omitohud, Nona memang dermawan dan bijaksana. Tidak mengapa, Nona. Malam nanti pun masih belum terlambat kalau Nona hendak menyerahkan kebaktian. Pinceng menanti di gubuk peristirahatan, di luar pintu gerbang barat dusun ini. Nah, sampai malam nanti, Nona. Kami tunggu!"
Dalam kalimat terakhir ini terkandung getaran kuat yang terasa pula oleh Han Siong. Dia melihat nona itu mengangguk, maka diam-diam Han Siong marah bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah terpengaruh sihir dan mudah diduga bahwa malam nanti gadis itu tentu akan datang ke tempat yang dijanjikan Pat Hoa Lama, datang seperti seekor kijang muda menyerahkan diri kepada sekelompok serigala yang haus darah dan buas!
Biarlah, pikir Han Siong. Kalau sampai terjadi gadis itu nanti datang dan tampak terancam bahaya barulah dia akan turun tangan. Syukur kalau Hay Hay yang membayangi mereka tahu pula akan bahaya yang mengancam gadis Tibet bernama Mayang itu dan Hay Hay yang turun tangan menyelamatkannya supaya dia tak usah membuka rahasia permainan sandiwaranya.
Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong bangkit dan mereka menghampiri meja kasir. Pada saat Han Siong melirik, dia melihat gadis itu justru sedang mengamati mereka dengan penuh perhatian. Sungguh celaka, pikir Han Siong gemas, tentu gadis itu benar-benar sudah terpengaruh sihir! Pat Hoa Lama yang agaknya mengenal baik pemilik kedai itu, setelah membayar lalu bertanya lirih kepada pemilik kedai makan.
"Siapakah gadis penggembala itu?"
"Ahh, lo-suhu maksudkan Mayang? Dia bukan gadis dusun ini dan pekerjaannya adalah mengawal atau menggiring kelompok domba atau ternak lain dari satu ke lain daerah. Dia terkenal cekatan dan dapat dipercaya, juga pandai sekali menggiring ternak yang ratusan ekor banyaknya. Ia memang gadis luar biasa. Kenapa lo-suhu bertanya tentang Mayang? Dia puteri seorang janda, begitu kami dengar, sudah tidak berayah lagi."
"Omitohud, kasihan sekali," kata Pat Hoa Lama sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Kami hendak mendoakan gadis itu, dan siapa tahu barang kali kami dapat mengabarkan tentang pekerjaannya sehingga kelak banyak saudagar ternak yang akan menggunakan tenaganya.”
Mereka lalu meninggalkan kedai itu dan keluar dari dusun Wang-kan. Ketika tiba di luar pintu gerbang, dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di tepi jalan, di luar sebuah hutan kecil. Agaknya gubuk ini memang sengaja dibangun penduduk Wang-kan sebagai tempat peristirahatan.
Agaknya orang-orang daerah itu memang mempunyai kebiasaan membangun bangunan gubuk sederhana di luar dusun sebagai tempat peristirahatan bagi para pendatang yang tidak memiliki keluarga di dusun itu atau sebagai tempat peristirahatan bagi para perantau dan pedagang yang kebetulan lewat di dusun itu.
Gubuk itu sederhana sekali, lantainya tanah dan hanya ada sebuah ruangan dan sebuah kamar. Di lantai tanah kering itu terdapat jerami kering dan di dalam kamar ada sebuah dipan kayu sederhana dan kasar, ditilami dengan jerami kering sebagai kasurnya. Walau pun sederhana tempat itu cukup bersih. Agaknya para pendatang yang mempergunakan tempat itu pun tahu diri dan selalu membersihkan tempat itu sebelum meninggalkannya.
"Kita berhenti di sini dan malam ini kita bermalam di gubuk ini," kata Gunga Lama kepada Han Siong. Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Sikapnya amat penurut dan taat seperti orang yang kehilangan semangat sehingga tiga orang pendeta Lama itu merasa lega.
"Kau mengasolah di dalam kamar itu, Pek Han Siong. Tetapi malam nanti engkau tidur di ruangan ini karena kamar itu akan kami pakai," kata Pat Hoa Lama sambil menyeringai.
Kembali Han Siong mengangguk lalu dia pun memasuki kamar itu dan merebahkan diri di atas dipan berkasur jerami kering. Dengan pendengarannya yang sudah terlatih tajam itu dia mengetahui bahwa ketiga orang pendeta Lama itu duduk bersila di atas jerami yang menilami lantai tanah di ruangan dan mereka berbisik-bisik.
Han Siong lalu mengerahkan pendengarannya dan kembali perutnya terasa panas karena mereka itu membicarakan gadis bernama Mayang tadi! Mereka menanti gadis itu seperti segerombolan serigala yang telah mengilar melihat seekor kijang yang datang mendekati tempat persembunyian mereka.
Han Siong turun dari dipan, hati-hati agar jangan sampai terdengar mereka. Tiga orang itu merasa yakin bahwa dia berada di bawah pengaruh ilmu hitam mereka, maka tentu saja mereka lengah dan tidak mengira bahwa dia sebetulnya masih sadar sepenuhnya, berkat pengaruh batu giok mustika yang memperkuat daya tahannya sendiri. Dia lalu mendekati bilik dan dari celah-celah bilik dia mengintai ke luar, ke arah belakang gubuk itu.
Kebetulan sekali dia melihat bayangan biru berkelebat ke atas sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu. Hay Hay! Siapa lagi kalau bukan kawannya itu yang meloncat ke atas pohon besar itu? Tempat yang baik sekali untuk membayangi mereka yang kini berada di dalam gubuk.
Lega rasa hati Han Siong melihat kawannya begitu dekat. Kalau gadis bernama Mayang itu datang tentu Hay Hay akan melihatnya dan bukan Hay Hay jika matanya tidak menjadi ‘hijau’ melihat gadis yang demikian manisnya, dan sudah pasti Hay Hay tak akan tinggal diam saja melihat seorang gadis semanis itu memasuki gubuk. Dia tentu akan mengintai dan apa bila melihat gadis itu terancam bahaya, sudah pasti Hay Hay akan turun tangan menolong.
Dia tidak perlu lagi membuka rahasia permainan sandiwaranya! Dengan hati terasa lega dan tenang Han Siong lalu merebahkan dirinya lagi di atas dipan dan tak lama kemudian dia pun tidur nyenyak.
Tidak keliru dugaan Han Siong. Bayangan biru yang berkelebat ke atas pohon besar itu memang Hay Hay. Berhari-hari pemuda ini membayangi ke mana pun tiga orang pendeta Lama membawa Han Siong pergi. Sering kali dia harus mengomel panjang pendek karena dia sungguh harus mengalami banyak penderitaan dengan pekerjaannya yang tidak enak ini.
Karena dia harus membayangi dengan hati-hati, maka dia tidur di mana saja asal dapat mengamati mereka. Kalau mereka itu enak-enak tidur di rumah penginapan atau di rumah keluarga di dusun, dia terpaksa harus tidur di udara terbuka untuk mengamati mereka. Kalau mereka makan di kedai, dia harus puas makan seadanya dengan membeli roti dan daging kering untuk bekal.
Tadi pun ketika Han Siong dan tiga orang pendeta itu makan di kedai, Hay Hay terpaksa mencari penjual makanan dan membeli lalu membungkus makanan itu untuk bekal. Dan sekarang mereka kembali berhenti, tidak meneruskan perjalanan malah memasuki gubuk peristirahatan umum itu!
Kembali dia harus mencari tempat persembunyian sambil mengamati. Ketika melihat ada sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu, dia pun cepat meloncat ke atas pohon dan bersembunyi di balik daun-daun pohon yang lebat. Dia duduk nongkrong di atas dahan, bersembunyi di balik dedaunan dan terpaksa menggaruk-garuk lehernya ketika ada semut merah menggigitnya.
Dia menggaruk leher, memelintir semut itu sambil mengomel, lalu mengeluarkan buntalan makanan yang dibelinya tadi. Mana ada enaknya makan sambil nongkrong pada dahan pohon yang banyak semutnya itu? Apa lagi kalau makanan itu adalah kue atau roti model Tibet yang sederhana dan rasanya hambar!
"Hemm, Pek Han Siong, jika kelak engkau tak bersikap baik kepadaku, engkau sungguh seorang manusia yang tidak kenal budi!" Dia mengomel sambil makan roti yang hambar itu, sekedar untuk mengisi perutnya yang menjerit-jerit kelaparan. "Untuk kepentinganmu aku harus bersusah-payah begini. Hemm...!”
Akan tetapi kalau dia mengenang nasib Pek Han Siong, timbullah perasaan iba di dalam hatinya. Memang, dia sendiri juga terseret ke dalam banyak kesengsaraan hanya karena dia harus menggantikan tempat anak ajaib itu! Akan tetapi dibandingkan dengan apa yang menimpa diri Han Siong, sungguh nasibnya masih jauh lebih baik.
Memang dia pernah difitnah, disangka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi sangkaan itu segera terhapus sesudah ternyata bahwa pelakunya bukan dia, melainkan Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang ternyata adalah ayah kandung Hay Hay sendiri! Namun Han Siong bernasib jauh lebih buruk. Adik kandungnya, Pek Eng menjadi korban Si Kumbang Merah.
Dan semenjak kecil Han Siong dikejar-kejar para pendeta Lama untuk diculik dan dipaksa menjadi pendeta! Kemudian, baru saja Han Siong telah ‘memperkosa’ atau menggauli Ci Goat di luar kesadarannya, namun dia belum tahu bahwa gadis yang digaulinya itu telah tewas di tangan tiga orang pendeta Lama yang terkutuk itu!
Kasihan Han Siong yang tentu dikejar-kejar perasaan berdosa terhadap Ci Goat. Pemuda itu memang pantas dibantu dan ditolong. Pikiran ini mengusir kekesalan hati Hay Hay dan mendadak saja roti Tibet yang tadinya hambar itu kini terasa lezat! Memang, bumbu yang paling sedap untuk makanan adalah perut lapar dan hati tenteram!
Setelah makan dan melihat betapa sepinya gubuk di bawah itu, Hay Hay cepat turun dari pohon. Dengan sangat hati-hati dan dengan cara menyusup-nyusup, bahkan ada kalanya pemuda ini harus bertiarap dan merangkak-rangkak, dia lantas mendekati gubuk. Dengan pendengarannya yang tajam, dari luar gubuk itu dia dapat menangkap pernapasan lembut dari Han Siong yang tidur nyenyak di dalam kamar, dan suara tiga orang pendeta Lama itu bercakap-cakap diiringi tawa kecil di ruangan. Dia lalu mundur lagi dan naik ke pohon.
Han Siong sudah tidur dan tiga orang pendeta itu pun beristirahat. Agaknya mereka akan bermalam di gubuk itu, pikirnya. Dia pun harus beristirahat. Malam nanti dia harus berjaga sehingga sore ini sebaiknya tidur seperti Han Siong!
Dan tak lama kemudian Hay Hay pulas tanpa dengkur. Hal ini penting sekali karena kalau sampai dia mendengkur di dalam tidurnya, tentu akan mudah didengar orang dan tempat persembunyiannya tidak lagi menjadi tempat persembunyian!
Malam itu udara dingin bukan main dan kembali Hay Hay menyumpah-nyumpah ketika melihat api unggun dinyalakan orang di bawah, di dalam gubuk itu. Han Siong enak-enak di gubuk dan dihangatkan api unggun, namun dia harus menahan dingin di dalam pohon yang banyak semut dan nyamuknya!
Karena daun-daun di sekelilingnya mendatangkan hawa yang lebih dingin, maka dia pun kemudian turun dari atas pohon dan duduk bersembunyi di balik sebatang pohon. Tanah mengeluarkan hawa yang hangat, tidak sedingin di antara daun-daun itu. Malam itu dingin dan sunyi, akan tetapi langit bersih, penuh bintang sehingga cuaca tidak begitu gelap.
Tiba-tiba Hay Hay terkejut dan cepat menyelinap ke balik batang pohon, seperti hendak mengecilkan tubuhnya agar jangan sampai kelihatan orang. Dia kaget sekali karena tidak menyangka-nyangka bahwa di tempat sunyi itu akan ada orang lewat. Dia lalu mengintai dari balik pohon dan hampir saja mulutnya mengeluarkan siulan saking kagumnya.
Cuaca remang-remang. Dia tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas, akan tetapi garis-garis lengkung tubuh itu nampak sangat jelas. Tubuh seorang wanita! Jelas masih muda. Pinggang itu! Dada itu! Pinggul itu! Dia terbelalak kagum.
Seorang wanita muda dengan bentuk tubuh yang hebat sekali! Sempurna! Belum pernah dia melihat seorang wanita muda dengan tubuh sesempurna itu. Agak jangkung, ramping dengan garis lengkung yang indah. Dan lenggangnya. Bukan main!
Akan tetapi kekagumannya seketika hilang saat dia melihat wanita muda itu melenggang-lenggok ke arah gubuk! Celaka, pikirnya. Wanita muda itu agaknya tidak tahu siapa yang berada di dalam gubuk. Seperti seekor kelinci memasuki goa di mana terdapat tiga ekor harimau kelaparan yang tentu akan merobek-robek tubuh dan mengganyang dagingnya yang lunak!
Dia hendak memperingatkan, akan tetapi wanita itu sudah terlampau dekat dengan gubuk. Apa bila dia bersuara, tentu akan terdengar dari dalam. Dia pun bangkit dan bermaksud hendak meloncat dan menangkap wanita itu lalu dibawanya pergi menjauhi gubuk.
Akan tetapi tiba-tiba saja dia tertegun dan menahan gerakannya karena dia melihat gadis yang ‘lemah’ itu, yang disangkanya lemah karena melihat lenggang-lenggok yang begitu lemah gemulai, kini mengeluarkan sebatang cambuk dari ikat pinggangnya. Kini gadis itu berdiri di depan gubuk, tangan kanan memegang gagang cambuk dan tangan kiri bertolak pinggang! Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kelemahan atau rasa takut, bahkan ada sikap menantang!
Pada saat itu pula terdengar suara dari dalam gubuk, suara parau seorang di antara tiga pendeta Lama itu, suara yang mengandung getaran penuh wibawa.
"Omitohud...! Engkau sudah datang, nona Mayang? Masuklah, sudah semenjak tadi kami menanti kunjunganmu, nona manis. Kami sudah siap untuk melayanimu!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Benarkah itu suara seorang di antara tiga pendeta Lama itu? Kata-katanya demikian genit dan mengandung kecabulan! Apakah wanita ini seorang tokoh sesat yang menjadi kawan mereka? Ataukah dia seorang calon korban yang datang karena pengaruh sihir? Karena jelas bahwa suara tadi didukung oleh kekuatan sihir yang dahsyat! Akan tetapi wanita itu tetap berdiri tegak, malah kini terdengar suaranya, nyaring lantang dan terdengar merdu.
"Hemm, tiga orang pendeta Lama palsu! Memang aku telah datang berkunjung memenuhi panggilan kalian. Keluarlah kalian untuk menerima hajaran karena pendeta-pendeta palsu semacam kalian lebih berbahaya dari pada penjahat yang paling besar!" Sebagai penutup kata-katanya, wanita muda itu menggerakkan tangan kanannya hingga terdengarlah bunyi ledakan yang nyaring dari cambuknya.
Hay Hay terbelalak kagum! Suaranya merdu, nyaring dan gagah! Dan cambuk yang dapat mengeluarkan ledakan seperti itu tentu digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang hebat! Apa lagi nampak betapa ujung cambuk itu ketika meledak mengeluarkan asap!
“Ehhh...?!” Dari dalam gubuk terdengar seruan kaget dan tak lama kemudian, pintu gubuk itu terbuka.
Cahaya api unggun kini menyorot keluar dan kembali Hay Hay harus menahan mulutnya untuk tidak bersiul nyaring. Kini seberkas cahaya jatuh menimpa wajah wanita itu dan dia terpesona! Wajah gadis itu serasi dengan keindahan bentuk badannya. Manis sekali! Dan usianya nampak begitu muda!
Kini muncullah tiga orang pendeta Lama itu dan mereka melangkah maju menghampiri wanita itu dengan mata terbelalak penuh keheranan. Terutama sekali Pat Hoa Lama yang tadinya menyangka bahwa dia sudah berhasil menguasai Mayang dengan ilmu sihirnya.
Karena merasa penasaran, begitu berhadapan dengan gadis itu, Pat Hoa Lama langsung mengerahkan kekuatan sihirnya melalui pandangan mata, gerakan tangan dan suaranya. Matanya menatap tajam kepada kedua mata gadis itu, tangan kirinya membuat gerakan bergoyang kekanan kiri dan suaranya terdengar lembut akan tetapi penuh kekuatan yang menggetarkan hati, bahkan dapat terasa pula oleh Hay Hay yang sedang mengintai dari balik batang pohon.
"Nona Mayang, engkau berhadapan dengan kami, tiga orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar darimu! Kami perintahkan kepadamu, berlututlah dan menyerah, engkau akan merasa berbahagia ! Huahhhh...!" Teriakan terakhir itu amat kuat.
Hay Hay terkejut karena dia mengira bahwa tentu gadis itu tidak akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir yang mengandung kekuatan gabungan ketiga orang itu. Akan tetapi dia terbelalak ketika melihat gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi juga mengerikan karena dalam keadaan seperti itu, gadis itu masih mampu tertawa mengejek dan kembali cambuknya mengeluarkan suara ledakan-ledakan yang langsung membuyarkan pengaruh sihir yang dilontarkan Pat Hoa Lama.
"He-heh-hi-hi-hik! Kalian tiga ekor monyet tua ini masih berani menjual lagak di depanku? Apakah kalian telah menjadi tiga ekor monyet yang hendak membadut? Tidak laku di sini, sama sekali tidak laku!"
Hampir saja Hay Hay bersorak! Dia begitu girang sampai mulutnya terasa melebar karena dia tertawa bergelak tanpa mengeluarkan suara, sampai perutnya terasa keras dan kaku! Entah ilmu apa yang dikuasai gadis manis itu, tapi yang jelas sihir dari tiga orang pendeta Lama itu sama sekali tak mampu menguasai, mempengaruhi apa lagi menundukkannya!
Tiga orang pendeta Lama itu agaknya pun menyadari akan hal ini. Mereka menjadi marah sekali. "Bagus, ternyata engkau adalah siluman betina cilik yang banyak tingkah! Engkau tidak mau dihadapi dengan lembut, agaknya minta kami menggunakan kekerasan!" kata Gunga Lama.
Sekali tangannya bergerak, tongkatnya yang memakai kelenengan hitam mengeluarkan bunyi berkelening nyaring dan ujung tongkat itu sudah menyambar ke arah kepala gadis itu. Serangan ini hebat sekali karena pendeta yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu memiliki tenaga yang dahsyat. Bahkan suara kelenengan yang berdentingan nyaring itu saja sudah merupakan suatu serangan yang dapat membingungkan lawan.
Dengan gerakan lincah dan indah karena bentuk tubuhnya memang elok, ketika mengelak pinggang yang ramping seperti batang pohon yang liu mematah ke samping dan pinggul yang menonjol besar dan bulat itu seperti menari, dan dari samping, cambuk gadis itu lalu meledak-ledak, menyambar dengan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya ke arah punggung lawan! Agaknya gadis itu memperlakukan Gunga Lama seperti seekor di antara ternak yang digembalanya, yang nakal dan tidak penurut, maka yang dicambuk adalah punggungnya.
“Tarrrrr...!”
Akan tetapi dengan memutar tongkatnya Gunga Lama sudah berhasil menangkis pecutan itu kemudian dia pun menyerang lagi. Terjadilah perkelahian seru antara kedua orang ini. Melihat pertempuran antara dua orang itu, walau pun baru beberapa jurus saja, Hay Hay segera dapat menilai bahwa dalam hal ilmu silat ternyata gadis itu tidak selihai kekuatan sihirnya.
Agaknya, menandingi Gunga Lama itu saja akan sukarlah baginya untuk menang bahkan mungkin akhirnya dia akan kalah. Dan dua orang pendeta Lama yang lainnya belum turun tangan! Diam-diam dia merasa khawatir dan bingung.
Bila dia muncul menolong gadis itu, tentu rahasia Han Siong akan ketahuan. Kalau tidak menolong, tentu gadis itu akhirnya tertawan dan dia bergidik ngeri kalau membayangkan apa yang akan terjadi bila gadis itu tertawan oleh tiga orang pendeta yang ternyata jahat itu! Kini barulah dia tahu bahwa tiga orang pendeta Lama itu bukanlah orang-orang suci seperti yang mereka tonjolkan, melainkan orang-orang jahat yang bahkan tidak pantang mengganggu seorang gadis remaja, dengan niat yang jahat dan cabul!
Melihat betapa dua orang pendeta Lama yang lain menonton sambil siap dengan senjata mereka, Hay Hay cepat menyelinap pergi mendekati gubuk dari belakang dan tidak lama kemudian, nampaklah api besar membakar gubuk itu! Dia tadi mendekati bilik dari mana dia tadi mendengar dengkur atau pernapasan Han Siong yang tertidur, dan menempelkan mulut pada bilik itu dia berbisik,
"Han Siong pemalas kau! Bangun, gubuk ini akan kubakar untuk menolong gadis di luar itu!"
Han Siong telah tergugah oleh suara ledakan-ledakan cambuk tadi dan mendengar suara Hay Hay ini, dia merasa girang bukan kepalang. Memang dia pun dapat menduga bahwa suara cambuk itu tentulah cambuk gadis yang siang tadi berada di rumah makan.
"Lakukanlah!" bisiknya kembali.
Hay Hay membakar gubuk itu dari belakang dan begitu melihat api berkobar, Han Siong segera berteriak-teriak, "Kebakaran...! Ahh, sam-wi lo-suhu..., kebakaran…!"
Dia berlari keluar seperti orang kebingungan, lalu masuk kembali, persis kelakuan orang yang sudah kehilangan akal karena berada di bawah pengaruh sihir.
Janghau Lama dan Pat Hoa Lama yang sudah siap untuk mengeroyok serta menangkap Mayang merasa sangat terkejut, dan mereka menjadi khawatir sekali ketika melihat Han Siong masuk kembali ke dalam gubuk yang terbakar. Pemuda itu sangat penting baginya, lebih penting dari pada gadis yang hanya akan menjadi permainan mereka belaka. Maka mereka cepat berlari meninggalkan Gunga Lama yang masih berkelahi melawan Mayang untuk menolong Han Siong dari ancaman api yang mengamuk.....